Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Rancang Bangun Pesawat Terbang Mandiri Tanpa Awak dengan Empat Baling-Baling Penggerak (Autonomous Quadcopter) T1 612005082 BAB II

BAB II
DASAR TEORI

2.1. Sistem Gerak Quadcopter
Quadcopter memiliki empat baling-baling penggerak yang diposisikan tegak lurus
terhadap bidang datar seperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Bentuk Dasar Quadcopter

Masing-masing rotor (baling-baling dan motor penggeraknya) menghasilkan daya
angkat dan memiliki jarak yang sama terhadap pusat massa pesawat. Dengan daya angkat
masing-masing rotor sebesar lebih dari seperempat berat keseluruhan, memungkinkan
Quadcopter untuk terbang.

6

7
Untuk membantu menganalisa gerak dari Quadcopter, dibentuk 2 sistem koordinat
kartesian 3 dimensi yaitu sistem koordinat lokal pesawat (body frame, Qb) dan sistem
koordinat bumi (ground frame, Qg), seperti Gambar 2.2.
Fp1


Zb

Fp4

ψ
Yb
θ

R

Fp3

φ

Xb

Fp2

Fg


zg

yg
xg

Gambar 2.2. Ground Frame dan Body Frame
Ground frame merupakan kerangka tetap yang berada di bumi yang dijadikan acuan
terhadap body frame yang terdapat pada pesawat. Orientasi atau arah hadap dari pesawat
dapat direpresentasikan sebagai kerangka acuan pesawat (body frame) yang dirotasi oleh
matrix rotasi R.

8
Fp1

Fp4

M4

Zb

L
F p3

ψ
θ

M1
Yb

φ

Xb

Fp2

Fg
M3

M2


Gambar 2.3. Gaya Dorong dan Yawing Moment

Analisis gaya yang bekerja pada setiap rotor dapat ditunjukan pada Gambar 2.3.
Dengan berputarnya rotor menimbulkan efek aerodinamik yang menyebabkan gaya dorong
keatas yang berbanding lurus dengan kuadrat kecepatan angular rotor tersebut [13]:

Fp  kf  p 2

(2.1)

dimana kf adalah konstanta rotor yang diperoleh dari percobaan. Semakin cepat putaran rotor
menyebabkan gaya dorong tersebut semakin besar.
Setiap baling-baling memberikan gaya dorong keatas sebesar Fp yang tegak lurus
terhadap kerangka pesawat (body frame) atau searah sumbu zb. Sementara gaya gravitasi
bekerja pada pusat massa Quadcopter atau pada sumbu -zg. Jika ⃗ adalah vektor posisi dari
quadcopter dan m adalah massa dari quadcopter dengan rotasi matrik R didapatkan:

(2.2)

9


2
m d r2
dt


 0 



  0   R

mg 





0 
0 


 Fp 


Perbedaan gaya dorong ke atas pada masing-masing rotor menyebabkan gerak rotasi
dengan pusat rotasi O (pusat massa Quadcopter). Jika jarak antara pusat masa O dengan
pusat rotor adalah L maka:




Fres  Fp 4  Fp 2
  
  L  Fres



Fres  Fp1  Fp 3
  
  L  Fres


(2.3)

(2.4)

dimana ⃗θ adalah torsi yang bekerja searah sudut θ (roll) dan ⃗φ adalah torsi yang bekerja

searah sudut φ (pitch).

Sesuai dengan hukum III Newton tentang aksi dan reaksi, pada setiap rotor timbul
yawing moment yang berlawanan dengan arah putar propeller rotor tersebut [13], seperti
pada Gambar 2.3. Yawing moment ini berbanding lurus dengan kuadrat kecepatan angular
rotor sesuai dengan persamaan 2.8.

M  km  p 2

(2.5)

Pada persamaan 2.8, km merupakan konstanta yawing moment yang diperoleh dari percobaan.
Berdasarkan konfigurasi arah putar rotor pada Gambar 2.3, rotor 2 dan 4 berputar searah

dengan sudut ψ positif, sedangkan rotor 1 dan 3 berputar berlawanan arah atau sudut ψ

10
negatif. Sehingga rotor 2 dan 4 memberikan yawing moment searah sudut ψ negatif, dan
sebaliknya, rotor 1 dan 3 memberikan yawing moment searah sudut ψ positif. Sehingga bila
dikehendaki sudut ψ diam, atau  = 0, maka:
(2.6)

M 2  M 4  M1 M 3  0

Gerak dari Quadcopter ditentukan oleh kombinasi dari setiap gaya keatas (searah
sumbu zp)

yang ditimbulkan oleh masing-masing rotor. Sehingga dengan mengatur

kombinasi kecepatan putar masing-masing rotor, gerak dari quadcopter dapat diarahkan.
Sebagai contoh, jika diasumsikan Fp1 – Fp3 = 0, atau Quadcopter tidak melakukan rotasi pada
sudut φ dan sudut φ = 0, maka dengan memberikan kombinasi kecepatan angular yang
berbeda pada rotor 3 dan rotor 1, akan menyebabkan sudut θ ≠ 0, seperti pada Gambar 2.4.
zg

zp

Fp2 cos(θ)

Fp4

Fp2 cos(θ) + Fp4 cos(θ)

Fp4 sin(θ)

θ
Fp2 sin(θ) + Fp4 sin(θ)
O
θ

xg

Fp2

Fp2 cos(θ)

xp

Fg = mg
Gambar 2.4. Resultan Gaya Akibat Sudut θ ≠ 0

Fp2 sin(θ)

11
Berdasarkan Gambar 2.4, pada pusat massa O timbul gaya resultan searah sumbu xg
positif yang menyebabkan Quadcopter bergerak searah dengan gaya tersebut. Semakin besar
sudut θ menyebabkan gaya searah sumbu xg semakin besar. Jika diharapkan Quadcopter
bergerak datar searah sumbu xg, maka besarnya kombinasi gaya yang searah dengan sumbu
zg harus sama dengan besarnya ⃗ g. Hal yang sama pula dapat berlaku pada sudut θ. Dengan

mengatur kombinasi kedua sudut tersebut didapatkan resultan gaya yang dapat bergerak ke
segala arah.

2.2. Motor BLDC (Brushless Direct Current)
Quadcopter membutuhkan penggerak berupa baling-baling yang diputar oleh motor.
Spesifikasi yang harus dipenuhi oleh sistem gerak ini adalah torsi, efisiensi dan getaran yang

ditimbulkan oleh berputarnya motor dan baling-baling. Motor dengan getaran yang terlalu
besar dapat mengganggu sensor-sensor yang digunakan pada AHRS. Efisiensi motor
berkaitan dengan durabilitas terbang dari pesawat, mengingat sumber daya (battery) yang
digunakan terbatas.
Brushless Direct Current Motor atau biasa disebut BLDC adalah motor DC yang
proses komutasinya tidak menggunakan sikat seperti motor DC pada umumnya.
Dibandingkan dengan motor DC dengan sikat, BLDC memiliki beberapa kelebihan yaitu:
efisiensi tinggi, kecepatan dan torsi yang tinggi, respon dinamis yang tinggi, masa operasi
yang panjang dan operasi tanpa noise [15]. Sehingga dengan kelebihan-kelebihan tersebut,
BLDC banyak digunakan pada aplikasi aeromodelling dan termasuk pada quadcopter.
Motor BLDC adalah tipe motor sinkron. Artinya, medan magnet yang dihasilkan oleh
stator dan medan magnet yang dihasilkan oleh rotor mempunyai frekuensi yang sama. Rotor

12
(bagian motor yang berputar) pada BLDC terdiri dari magnet permanen, sedangkan stator
terdiri dari kumparan. Berbeda dengan motor DC dengan sikat, di mana rotor berupa lilitan
dan stator berupa magnet tetap.
Pada umumnya, motor BLDC yang banyak tersedia adalah tipe 3 fasa. Gambar 2.5
menunjukan gambar mekanik dan koneksi elektrik dari motor BLDC 3 fasa. Pengkabelan
kumparan stator tergabung menjadi 4 koneksi: A, B, C dan common1. Setiap fasa terdiri dari
dua buah kumparan identik yang terpisah.

Gambar 2.5. Struktur Mekanis dan Elektik Motor BLDC 3 fasa[18]

Untuk berputar penuh, motor BLDC memiliki 6 langkah komutasi. Setiap langkah
komutasi melibatkan 2 kutub yang dieksitasi. Permasalahan yang timbul dalam menjalankan
langkah-langkah komutasi ini adalah pendeteksian posisi rotor, karena posisi rotor
menentukan langkah komutasi yang harus dilakukan. Ada dua jenis metode yang digunakan,
yaitu dengan beberapa hall effect sensor

dan metode tanpa sensor (sensorless) yang

memanfaatkan BEMF (Back Electromotive Force).

1

Umumnya koneksi common merupakan koneksi didalam motor dan tidak dikeluarkan atau dihubungkan
dengan kabel keluar.

13
Pendeteksian posisi rotor dengan hall effect sensor memanfaatkan kepekaan sensor
ini dalam mendeteksi medan magnet permanen pada rotor. Beberapa hall effect sensor
diletakan sedemikian rupa hingga setiap posisi rotor dapat didteksi.
Metode sensorless memanfaatkan arus listrik yang dihasilkan kumparan yang tidak
tereksitasi yang diukur dari common dan kutub yang tidak tereksitasi, karena pada prinsipnya
kutub yang tidak tereksitasi merupakan kumparan yang dapat menghasilkan arus listrik jika
ada medan magnet menyinggungnya.
BLDC yang digunakan pada aeromodelling adalah BLDC sensorless 3 fasa. Untuk
menggerakannya digunakan ESC (Electronics Speed Controller). ESC merupakan
pengendali kecepatan BLDC dengan input berupa modulasi lebar pulsa (PWM). Dengan
antarmuka PWM, kecepatan motor dapat diatur dengan mudah oleh pengendali seperti
mikrokontroler. BLDC pada aeromodelling biasanya memiliki satuan kV, 1000 kV = 1000
RPM per Volt.

2.3. Baling-Baling (Propeller)
Baling-baling adalah alat yang mengubah gerak putar menjadi daya dorong. Daya
dorong inilah yang dimanfaatkan pesawat terbang dan kapal laut sebagai penghasil daya
dorong utama. Pembahasan baling-baling pada tugas akhir ini dibatasi hanya pada parameter
baling-baling yang digunakan dalam RC (Radio Control) aeromodelling.
Ada beberapa parameter penting yang dimiliki baling-baling pada RC aeromodelling.
Parameter-parameter ini bisa dijadikan pedoman untuk memilih baling-baling sesuai dengan
kebutuhan[11]:

14
1. Diameter dan pitch
Semua baling-baling RC yang tersedia memiliki 2 buah ukuran, yaitu diameter
dan pitch. Diameter dihitung berdasarkan diameter lingkaran yang dibentuk saat balingbaling berputar. Jika baling-baling dianalogikan sebagai sebuah sekrup, pitch merupakan
jarak yang ditempuh oleh baling-baling jika diputar 1 putaran penuh. Semakin panjang
diameter dan pitch baling-baling semakin banyak pula udara yang disapu dan semakin
besar pula daya dorong yang dihasilkan. Tapi diameter dan pitch dari baling-baling ini
harus disesuaikan dengan motor dan sumber daya yang digunakan. Biasanya produsen
motor sudah memeberikan spesifikasi baling-baling untuk motor-nya.
Satuan dari diameter dan pitch dari baling-baling RC adalah inch. Baling-baling
dengan ukuran 10x4.5 memiliki diameter 10 inch dan pitch 4.5 inch.
2. Jumlah bilah
Umumnya, jumlah bilah pada baling-baling RC aeromodelling adalah 2 bilah.
Tetapi ada beberapa yang menggunakan 3 bilah dan 4 bilah. Semakin banyak bilah pada
baling-baling menyebabkan semakin banyak udara yang disapu sehingga menghasilkan
daya dorong yang lebih besar. Semakin banyak bilah juga menuntut motor dengan torsi
yang lebih besar. Biasanya penambahan jumlah bilah bertujuan untuk memperkecil
diameter baling-baling, tentunya untuk menghasilkan performa yang sama (dengan
motor yang sama) pitch-nya harus dikurangi.

15

Gambar 2.6. Baling-baling dengan Bermacam Jumlah Bilah

3. Arah putar
Dengan arah gaya dorong yang sama, baling-baling RC aeromodelling memiliki
dua jenis arah putaran: searah jarum jam (CW, clockwise) dan berkebalikan arah jarum
jam (CCW, counter clockwise). Arah putar ini menentukan yawing moment yang
dihasilkan dari baling-baling. Pada Quadcopter, dibutuhkan sepasang baling-baling CW
dan CCW agar yawing moment saling menghilangkan.

b
a

Gambar 2.7. Baling-baling CW(a) dan CCW(b)

16

2.4. Attitude Heading Reference System (AHRS)
Informasi orientasi pesawat sangat penting untuk diketahui oleh sistem pengendali
utama pesawat. Informasi ini akan menjadi sumber masukan bagi pengendali utama untuk
mengendalikan kecepatan motor demi mempertahankan sudut orientasi yang telah
ditentukan.
Untuk mengetahui orientasi pesawat dalam ruang, Quadcopter membutuhkan sebuah
piranti elektronik yang disebut Attitude Heading Reference System (AHRS). AHRS
merupakan integrasi dari beberapa sensor dan menggunakan perhitungan tertentu untuk
memadukan data dari sensor-sensor tersebut.
Pada bagian selanjutnya akan dibahas teori dasar yang digunakan untuk membangun
AHRS. Pembahasan dimulai dengan sensor-sensor yang digunakan, teori rotasi matrik dan
algoritma yang dipakai untuk mendapatkan informasi orientasi yang akurat.

2.4.1. Akselerometer
Akselerometer adalah sensor yang digunakan untuk mengukur percepatan atau
perubahan kecepatan terhadap waktu. Sensor ini dipasang bersama benda yang akan diukur
akselerasinya, seperti mengukur perubahan kecepatan roket yang meluncur atau digunakan
untuk analisis getaran (vibration analysis) pada mesin, serta digunakan untuk mendeteksi
gerak dan kemiringan pada smart phone.
Pada aplikasinya dalam AHRS, akselerometer digunakan sebagai sensor pendeteksi
arah percepatan gravitasi yang nantinya akan diolah menjadi sudut kemiringan pesawat
terhadap bidang horisontal permukaan bumi

17
2.4.1.1. Konsep Akselerometer: Sistem Massa-Pegas
Akselerometer dapat dianalogikan sebagai sebuah sistem massa-pegas (mass spring
system) yang bekerja berdasarkan Hukum Newton dan Hukum Hooke. Prinsip kerja dari
sensor ini akan dijelaskan sebagai berikut.

Gambar 2.8. Sistem Massa-Pegas sebagai Akselerometer

Hukum Newton II menyatakan jika massa m dan mengalami percepatan sebesar a,
maka ada gaya yang bekerja pada massa tersebut sesuai dengan persamaan 2.7:

F  ma

(2.7)

Hukum Hooke menyatakan jika pegas dengan konstanta pegas k
direnggangkan sehingga berubah panjangnya sebesar Δx, maka ada gaya F yang bekerja pada
pegas tersebut dinyatakan dalam persamaan 2.8:

F   k x

(2.8)

Pada Gambar 2.8, diilustrasikan sebuah sistem dengan massa m1 yang bebas
bergerak secara horisontal pada sebuah bidang berdinding m2. Massa m1 dihubungkan ke
dinding bidang m2 oleh sebuah pegas. Awalnya bidang m2 diam (Gambar 2.8a) dan pegas
dalam kondisi tidak merenggang. Pada Gambar 2.8b, ada percepatan horisontal a yang

18
bekerja pada sistem ini yang menyebabkan pegas merenggang sebesar Δx. Renggangnya
pegas ini dikarenakan adanya gaya yang bekerja pada m1 akibat percepatan a. Dengan
menggabungkan Hukum Newton dan Hukum Hooke didapatkan:

ma  k x

(2.9)

Dimana,
k=konstanta pegas (N/m)
Δx=perenggangan pegas (m)
a=akselerasi sistem (m/s2)
Sehingga percepatan yang dialami oleh sistem sebesar:

a

k
x
m

(2.10)

Dengan persamaan 2.10, jika konstanta pegas dan massa diketahui, alat ukur
percepatan dapat dibuat hanya dengan mengukur perubahan panjang dari pegas.

2.4.1.2. Sensor Akselerometer Elektronik dengan Teknologi MEMS
Sensor akselerometer elektronik adalah sensor akselerometer yang hasil pengukuran
akselerasinya dinyatakan dalam tegangan atau data digital. Seperti dijelaskan sebelumnya,
bahwa akselerometer dapat dibangun dengan massa yang dikaitkan dengan pegas,
akselerometer elektronik memiliki prinsip yang sama dalam mengukur percepatan. Hanya
saja tidak mungkin untuk membuat sensor dengan ukuran yang relatif besar seperti Gambar
2.8. Hingga pada akhir abad 20 dikembangkan teknologi MEMS (Micro-Electro-Mechanical
Systems), yang mampu menerapkan prinsip akselerometer massa-pegas ke dalam sebuah
chip.

19
Akselerometer dengan teknologi MEMS memanfaatkan perubahan kapasitansi dua
buah plat terhadap perubahan jarak antar plat tersebut karena pengaruh akselerasi dari luar.
Prinsip kerja dari akselerometer kapasitif ini dijelaskan sebagai berikut.
Pada Gambar 2.9, terdapat plat yang tetap (Y) dan plat yang dapat bergerak secara
elastis (X). Saat sistem mendapatkan akselerasi (Gambar 2.9b), jarak antara kedua plat ini
akan berubah dan menyebabkan kapasitansi kedua plat juga berubah. Selanjutnya dengan
rangkaian elektronik perubahan kapasitansi ini diubah menjadi tegangan yang proporsional
dengan akselerasi eksternal yang dirasakan oleh sistem. Gambar 2.10 menunjukan foto
mekanika pengindraan percepatan dari sebuah chip akselerometer dengan teknologi MEMS.
Akselerasi

Pegas

Pegas

X

Y

b) Posisi normal tanpa percepatan

X

Y

a) Jarak X-Y merenggang karena
akselerasi

Gambar 2.9. Struktur Akselerometer Elektronik

20

Gambar 2.10. Foto Mikroskopik Mekanik Akselerometer
dengan Teknologi MEMS

2.4.1.3. Percepatan Statis dan Dinamis pada Akselerometer
Ada dua jenis percepatan yang dapat dideteksi oleh akselerometer, yaitu percepatan
statis dan percepatan dinamis. Percepatan dinamis adalah percepatan yang dialami oleh
benda bergerak, sedangkan percepatan statis adalah percepatan yang dialami oleh benda
diam.
Setiap benda dalam medan gravitasi bumi mendapatkan gaya tarik ke pusat bumi atau
disebut gaya berat. Sebagai contoh, meskipun batu pada permukaan tanah kelihatan diam,
tetapi ada percepatan statis yang bekerja pada batu tersebut karena pengaruh gaya tarik bumi.
Dalam mengukur percepatan dengan akselerometer, perlu ditilik apakah percepatan
statis atau dinamis yang bekerja pada sensor ini, karena hasil pengukuran akselerometer
merupakan gabungan antara kedua percepatan ini. Misalnya benda yang mula-mula diam dan

21
bergerak mendatar terhadap permukaan bumi. Benda tersebut mendapatkan dua percepatan,
yaitu percepatan gerak (dinamis) dan percepatan gravitasi yang arahnya ke bawah (statis).

a. massa-pegas dalam
keadaan normal

b. pegas merenggang
karena ada percepatan
dinamis (a )

a

c. pegas mengerut
karena ada percepatan
statis (gravitasi)

g

Gambar 2.11. Percepatan Statis dan Dinamis pada Akselerometer Massa-Pegas

Pada Gambar 2.11 diperlihatkan akselerometer massa pegas untuk menjelaskan
fenomena ini. Jika akselerometer massa pegas ini digerakkan searah tanda panah pada
akselerometer (Gambar 2.11a) maka pegas akan merenggang karena ada pengaruh gaya yang
menimbulkan percepatan. Dengan asumsi bahwa ada gaya gravitasi yang bekerja menuju
pusat bumi, jika akselerometer kita arahkan ke tanah (arah panah pada sensor menunjuk

22
pusat bumi, Gambar 2.11b ) pegas tidak akan merenggang tetapi mengerut. Respon pegas
terhadap percepatan statis (gaya berat) berlawanan dengan respon pegas terhadap percepatan
dinamis meskipun kedua percepatan memiliki arah yang sama.

2.4.1.4. Sumbu Pengukuran Akselerometer
Dalam mengukur percepatan, akselerometer memiliki sumbu pengukuran (axis).
Percepatan yang

searah dengan sumbu ini memiliki nilai maksimum, tetapi jika arah

percepatan ini membentuk sudut maka besarnya percepatan yang terukur merupakan
proyeksi percepatan yang bekerja terhadap sumbu pengukuran.

a percepatan dari luar membentuk

Sumbu pengukuran

sudut α

α

a cos 

percepatan yang dirasakan oleh
akselerometer

akselerometer

Gambar 2.12. Pengukuran Percepatan yang Membentuk Sudut
Terhadap Sumbu Pengukuran.

Gambar 2.12 menunjukan proyeksi percepatan dinamis pada akselerometer yang
hanya memiliki satu sumbu pengukuran. Akselerometer yang banyak tersedia biasanya
memiliki lebih dari satu sumbu pengukuran yang saling tegak lurus. Sumbu pengukuran ini
sama dengan sumbu pada sistem koordinat kartesian.

23

Gambar 2.13. Akselerometer dengan 3 sumbu pengukuran.

Jumlah dari sumbu pengukuran akselerometer menentukan kapabilitas dari sensor ini.
Untuk mendeteksi besar dan arah percepatan pada satu bidang dibutuhkan dua sumbu
pengukuran, dan jika dalam ruang dibutuhkan tiga sumbu pengukuran.
Pada pengaplikasiannya dalam AHRS, digunakan akselerometer 3 sumbu pengukuran
untuk mendeteksi arah percepatan gravitasi dalam ruang. Karena percepatan gravitasi
merupakan percepatan statis, maka sumbu pengukuran harus disesuaikan, mengingat arah
percepatan statis berkebalikan dengan percepatan dinamis jika diukur oleh akselerometer.
Sehingga akselerometer pada Gambar 2.13 memiliki sumbu pengukuran dinamis dan statis
seperti pada Gambar 2.14.
z

y

x

sumbu pengukuran
statis

x
y
sumbu pengukuran
dinamis

z

Gambar 2.14. Sumbu pengukuran percepatan dinamis dan statis

24
2.4.1.5. Parameter Akselerometer
Ada beberapa parameter penting yang dimiliki akselerometer yang tersedia di pasar.
Parameter ini penting untuk diperhatikan dalam memilih tipe akselerometer untuk
diaplikasikan dalam sebuah sistem.
1.

Jumlah sumbu pengukuran (axis)
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa jumlah sumbu pengukuran ini

menentukan kapabilitas akselerometer dalam mengukur besar dan arah percepatan. Sebagai
contoh akselerometer ADXL202 produksi Analog Device[] memiliki dua sumbu pengukuran,
sedangkan LIS3LV02DL produksi ST Microelectronics memiliki tiga sumbu pengukuran.
2.

Nilai skala penuh (full scale)
Nilai skala penuh merupakan percepatan maksimum yang dapat diukur oleh

akselerometer. Nilai skala penuh biasanya mempunyai jangkauan positif dan negatif .
Parameter ini penting untuk menentukan efektif tidaknya akselerometer yang akan dipilih
terhadap aplikasi dimana akselerometer digunakan. Sebagai contoh, untuk mengukur
akselerasi roket dengan percepatan maksimum 60g (588 m/s2, 1g=9.8 m/s2) akan sangat
tidak efektif jika menggunakan ADXL202 yang memiliki skala penuh ±10g.
3.

Antarmuka
Dalam pengaplikasiannya akselerometer dihubungkan ke unit pemroses seperti

mikrokontroler atau mikroprosesor. Ada dua jenis sistem antarmuka akselerometer untuk
berhubungan dengan unit pengolah, yaitu analog dan digital. Pada antarmuka analog, hasil
pengukuran percepatan direpresentasikan dalam tegangan keluaran sedangkan pada
antarmuka digital percepatan hasil pengukuran direpresentasikan dengan data digital.
Akselerometer dengan antarmuka digital menggunakan protokol komunikasi yang banyak

25
dipakai dalam sistem benam seperti I2C (Inter-Integrated Circuit), SPI (Serial Peripheral
Interface) dan PWM (Pulse Width Modulation). Di dalam akselerometer dengan keluaran
data digital sudah terdapat ADC (Analog Digital Converter) internal sehingga tidak
diperlukan lagi ADC tambahan.
4.

Frekuensi cuplik
Besarnya frekuensi cuplik akselerometer merupakan kemampuan akselerometer

untuk memperbarui data percepatan dalam periode waktu tertentu. Parameter ini penting
untuk diperhitungkan pada aplikasi akselerometer untuk mengukur jarak atau navigasi.

2.4.2. Giroskop Elektronik
Sensor giroskop adalah sensor yang dapat mengukur kecepatan angular dari sebuah
objek di mana sensor ini terpasang. Sensor ini sering digunakan pada sistem navigasi pesawat
untuk menentukan arah hadap.
Pembahasan giroskop pada tugas akhir ini hanya dibatasi pada giroskop elektronik
(prinsip kerjanya dan parameter-parameternya), agar pembahasan tidak melebar.

2.4.2.1. Prinsip Kerja Giroskop Garpu Tala
Ada banyak metode untuk mendeteksi kecepatan sudut, antara lain vibrating ring
gyroscope, tuning fork gyroscope, macro laser ring gyroscope

dan piezoelectric plate

gyroscope. Metode yang paling banyak digunakan dan diproduksi sampai sekarang adalah
giroskop garpu tala Draper2 (Draper tuning fork).

2

Charles Stark Draper Laboratory adalah organisasi riset non profit yang fokus terhadap perancangan dan pengembangan
teknologi mutakhir untuk solusi masalah keamanan nasional, eksplorasi ruang angkasa, kesehatan dan energi. Berlokasi di
Cambridge, Massachusetts. Dibangun oleh Charles Stark Draper (1902-1987) pada tahun 1930.

26
Giroskop garpu tala dibuat dengan memanfaatkan resonansi dari dua buah resonantor
yang bergetar yang disebabkan oleh efek Coriolis3. Efek Coriolis adalah defleksi yang timbul
pada kerangka acuan rotasi yang besarnya berbanding lurus dengan kecepatan rotasi.
Fenomena ini dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 2.15. Meriam pada Piring Besar yang Berputar.

Misal ada sebuah meriam pada pusat sebuah piring besar yang dapat berputar seperti
pada Gambar 2.15. Saat piring besar tersebut tidak berputar dan peluru ditembakan dari pusat
piring, pada umumnya peluru tersebut bergerak lurus dari pusat piring. Tetapi ketika piring
besar tersebut berputar dan meriam menembakan sebuah peluru, maka peluru tersebut tidak
memiliki lintasan lurus (seperti saat piring besar tidak berputar) tetapi berbelok. Hal ini
disebabkan karena adanya pengaruh rotasi piring terhadap gerak dari peluru. Semakin cepat
piring berputar, semakin besar pula pembelokan peluru yang terjadi. Fenomena inilah yang
disebut dengan efek Coriolis.

3

Coriolis efect, pertama kali dikemukakan oleh seorang ilmuwan Perancis bernama Gaspard-Gustave Coriolis
(1792-1843).

27
rotasi yang diukur
z





vibrasi



 co r

v

y

respon efek Coriolis

x

Gambar 2.16. Efek Coriolis pada Giroskop Garpu Tala.

Pada Gambar 2.16, jika ada benda bergerak dengan kecepatan
mendapat pengaruh rotasi dengan kecepatan sudut







v searah sumbu y, dan

pada sumbu z maka akan timbul



akselerasi Coriolis  cor yang searah dengan sumbu x:



 

cor  2v

(2.11)

MEMS Gyroscope dibangun berdasarkan prinsip Coriolis pada sebuah garpu tala
yang bergetar seperti pada Gambar 2.16. Jika garpu tala pada Gambar 2.16 digetarkan pada
sumbu y dan garpu tala tersebut diputar pada sumbu z, maka dengan prinsip Coriolis akan
timbul getaran juga pada arah sumbu x. Semakin cepat garpu tala ini diputar, maka akan
semakin besar getaran yang dirasakan pada sumbu x. Selanjutnya dengan rangkaian
elektronik getaran pada sumbu x ini dikonversikan ke dalam besaran elektrik sehingga
kecepatan putar dapat dengan mudah diukur dan diolah.

28
Dengan teknologi MEMS, sangat dimungkinkan untuk membuat giroskop dalam
ukuran sangat kecil, meskipun di dalamnya terdapat sistem mekanik yang rumit. Gambar[]
menunjukan foto mekanik giroskop garpu tala Draper dengan teknologi MEMS.

Gambar 2.17. Prototipe Pertama MEMS Gyroscope Garpu Tala Draper Laboratory

Seiring dengan berkembang pesatnya teknologi MEMS, membuat MEMS gyroscope
menjadi semakin kecil, kompak dan murah. Banyak produsen komponen elektronik yang
mengembangkan MEMS gyro ini, diantaranya adalah ST Microelectronics, Analog Device
dan InvenSense.

2.4.2.2. Sumbu Pengukuran Giroskop
Sama halnya dengan akselerometer, giroskop memiliki sumbu pengukuran. Rotasi
dideteksi berdasarkan sumbu pengukuran yang menjadi poros rotasi.
Ada banyak giroskop yang tersedia di pasar dan beberapa diantaranya memiliki lebih
dari satu sumbu pengukuran yang artinya ada lebih dari satu giroskop dalam sebuah chip.
Sumbu-sumbu rotasi pengukuran tersebut saling tegak lurus sehingga posisi masing-masing
giroskop didalamnya juga saling tegak lurus.

29
Pada penggunaannya dalam AHRS pada Tugas Akhir ini digunakan giroskop dengan
tiga sumbu pengukuran seperti pada Gambar 2.18.

Gambar 2.18. Sumbu Pengukuran Digital Gyroscope ITG3205[4]

2.4.2.3. Parameter Sensor Giroskop
Sensor gyroscope memiliki beberapa parameter yang menentukan karakteristik dan
kualitas dari sensor ini:
1. Resolusi
Resolusi dari gyroscope merupakan kecepatan putar minimum yang dapat dideteksi
oleh sensor. Pada gyroscope dengan keluaran data digital, resolusi dinyatakan dalam satuan
bit terkecil per kecepatan putar atau LSB/(°/s). Giroskop dengan resolusi tinggi dapat
mendeteksi perubahan orientasi yang kecil.
2. Full-scale Range
Full-scale Range merupakan jangkauan maksimum besarnya kecepatan putar yang
dapat dideteksi oleh sensor. Sebagai contoh, sensor gyroscope ITG3205[..] memiliki fullscale range sebesar ±2000°/s. Artinya, sensor ini dapat mendeteksi kecepatan putar
maksimum 2000° dalam satu detik atau 34.8894 rad/s.

30
3. ZRO (Zero Rate Output)
Zero Rate Output pada sensor gyroscope merupakan besarnya keluaran sensor saat
diam (tidak berotasi). Dalam implementasinya untuk mengukur arah hadap, yaitu dengan
mengintegralkan kecepatan sudut (keluaran gyroscope), keluaran giroskop harus di-offset
dengan ZRO-nya terlebih dahulu agar nilai ZRO ini tidak ikut diintegralkan dari waktu ke
waktu.
4. Short- or Long-term Drift
Pada saat diam, meskipun sudah di-offset dengan ZRO, data keluaran sensor
gyroscope tidak akan tetap 0°/s, tapi berubah-ubah. Perubahan ini kecil dan dengan frekwensi
yang lambat, akan tetapi sangat terasa nantinya jika diintegralkan dalam jangka waktu yang
lama. Short- or Long-term Drift merupakan nilai peak-to-peak dari keluaran giroskop saat
tidak ada rotasi.
5. Jumlah sumbu pengukuran
Ada banyak gyroscope yang diproduksi yang memiliki lebih dari satu sumbu
pengukuran. Misalnya LPY503AL produksi ST Microelectronics[20] memiliki 2 sumbu
pengukuran dan ITG3205 produksi Invensense[19] memiliki 3 sumbu pengukuran.
Jumlah sumbu pengukuran menentukan kapabilitas dari giroskop dalam mendeteksi
rotasi. Misalnya, giroskop dengan hanya dua sumbu pengukuran tidak cukup untuk
menentukan arah hadap dalam ruang. Untuk mengukur rotasi atau arah hadap dalam ruang
dibutuhkan 3 sumbu pengukuran.

31

2.4.3. Orientasi Kinematik
Pada bagian ini akan membahas perhitungan kinematis dari orientasi pesawat
terhadap bumi yang direpresentasikan dengan rotasi matrik.

2.4.3.1. Sistem Koordinat
Orientasi kinematik selalu berkaitan dengan perhitungan orientasi relatif dari sistem
koordinat lokal pesawat (body frame) ke sistem koordinat bumi (ground frame)[12]. Setiap
sensor pada pesawat baik akselerometer maupun giroskop bekerja pada sistem koordinat
lokal pesawat, sedangkan orientasi dari pesawat yang berkaitan erat dengan gaya gravitasi
bumi ditilik dari sistem koordinat bumi.

Gambar 2.19. Body Frame dan Ground Frame

Pada pembahasan ini, titik asal kedua sistem koordinat dipertemukan pada titik yang
sama untuk memudahkan analisis rotasi. Sistem koordinat bumi menggunakan notasi OXYZ
dan sistem koordinat lokal pesawat dinotasikan sebagai Oxyz. Vektor satuan untuk sistem
koordinat bumi (OXYZ) adalah I, J dan K. Sedangkan vektor satuan untuk sistem koordinat
lokal pesawat adalah i, j dan k. Dua sistem koordinat ini divisualisasikan pada Gambar 2.19.

32
Pada sistem koordinat bumi, vektor satuan I, J dan K ditulis sebagai:

1 
0
0
        
I  0 ,J  1 ,K  0
 
 
 
 0 
 0 
1 

(2.12)

Pada sistem koordinat lokal, vektor satuan i, j dan k ditulis sebagai:

1 
0
0
        
i   0  , j  1  , k   0 
 0 
 0 
1 

(2.13)

2.4.3.2. Representasi Orientasi dengan Rotasi Matrik
Pada bagian ini akan dibahas bagaimana merepresentasikan vektor pada sistem
koordinat lokal ke sistem koordinat bumi dan sebaliknya.


G
Vektor i jika dilihat dari sistem koordinat bumi dinotasikan sebagai i :

ixG 
  
i G  iyG 
 G
iz 
Selanjutnya,

(2.14)


ix G pada sistem koordinat bumi merupakan proyeksi vektor i ke sumbu X pada

sistem koordinat bumi:

ix

G

ix
Di mana

 
cos( X , i)

G


 
 i cos( X , i )

(2.15)



 i cos( I , i)

(2.16)

merupakan nilai kosinus sudut yang dibentuk vektor



I dan i .

33



Karena panjang vektor satuan I dan i bernilai 1, maka:

ix G  cos( I , i )

(2.17)

atau bisa ditulis:

ix

G



 I i cos( I , i)


ix G  I i
Dengan cara yang sama pada

iy G

dan

Sehingga vektor

(2.19)

iz G diperoleh:

 
i y G  J i

iz

(2.18)

G

(2.20)

 
 K i


i G dapat ditulis:


 I i 
    
i G   J i 
  
 K i 
Dengan cara yang sama pada

(2.21)



j G dan k G didapatkan:

 
 
I  j 
 I k 
         
j G   J  j  , k G   J k 
   
   
 K  j 
 K  k 
 

G
G
G
G
Selanjutnya dibentuk matrik R dari vektor i , j dan k :

  
R G  i G j G k G 



(2.22)

(2.23)

34

    
 I i I  j I  k 
       
R G   J i J  j J  k 
       
 K i K  j K  k 

 
 
 cos( I , i) cos( I , j ) cos( I , k ) 
 
 
  

G
R   cos( J , i ) cos( J , j ) cos( J , k ) 
 
 
  

cos(
K
,
i
)
cos(
K
,
j
)
cos(
K , k ) 

Dengan cara yang sama, vektor satuan pada sistem koordinat bumi

(2.24)

(2.25)

  
G
G
G
(I ,J ,K )

jika

ditilik dari sistem koordinat lokal dapat diperoleh dengan mengganti notasi I, J, K menjadi i,
j, k:


 
 
 I i 
 J i 
 K i 
              
I B  I  j  , J B  J  j  , K B  K j 
  
   
   
I

k
J

k
 


 K  k 

R B menjadi:
 
JB KB

   
J i K i 
    
J  j K  j
    
J k K  k 

(2.26)

Sehingga, jika dibentuk dalam sebuah matrik



R  IB

B


 I i
 
RB  I  j
 
 I k


 

 cos( I , i) cos( J , i) cos( I , i) 
 
 
  

B
R   cos( I , j cos( J , j ) cos( J , j ) 
 
 
  

cos(
I
,
k
cos(
J
,
k
)
cos(
K , k ) 


(2.27)

(2.28)

(2.29)

35
Matrik

R B dan RG

merupakan Direction Cosine Matrix (DCM) karena berisi

kosinus dari semua kemungkinan kombinasi vektor satuan pada sistem koordinat bumi dan
sistem koordinat lokal. DCM disebut juga matrik rotasi karena mendefinisikan rotasi dari
kerangka acuan satu ke kerangka acuan lainnya.
Dengan DCM, vektor pada sistem koordinat lokal dapat didefinisikan pada sistem


koordinat bumi dan sebaliknya. Ditinjau vektor r pada sistem koordinat lokal:

 rx B 
  
r B   ry B 
 B
 rz 

(2.30)


r akan dihitung pada sistem koordinat bumi dengan memanfaatkan DCM. Pada

sistem koordinat bumi vektor r dinotasikan:

Vektor

 rxG 
  
r G   ry G 
 G
 rz 
Ditinjau salah satu komponen vektor

rx

G

(2.31)


sebagai proyeksi vektor r terhadap sumbu X

(koordinat bumi):


 
G
rx  r cos( I G , r G )
G

(2.32)

Karena rotasi tidak mengubah panjang vektor dan sudut antara dua vektor, maka:

rG  r B

(2.33)

(2.34)

36

IG  I B 1
 
 
cos( I G , r G )  cos( I B , r B )

(2.35)

Sehingga persamaan 2.32 dapat ditulis:

 
 
B
B
rx  I r cos( I B , r B )
G

rx

G

 
 I B r B

(2.36)

(2.37)

Berdasarkan persamaan 2.21:


 I i   rx G 
    
  I  j    ry G 
    G 
 I k   rz 

(2.38)

 B   B   B
 ( I i )rx  ( I  j ) ry  ( I k ) rz

(2.39)

rx G

rx

G

Dengan cara yang sama didapatkan:

 
 
 
ry G  ( J i) rx B  ( J  j ) ry B  ( J  k )rz B
 
 
 
rz G  ( K i ) rx B  ( K  j ) ry B  ( K  k ) rz B

Sehingga jika dituliskan dengan matrik:

(2.40)

(2.41)

37

    
 I i I  j I  k   rx B 
          
r G   J i J  j J k   ry B 
         B 
 K i K  j K k   rz 


G
G B
r R r

(2.42)

(2.43)


Pada persamaan 2.43 dapat dicermati bahwa vektor r pada sistem koordinat lokal (



r B ) dirotasikan oleh RG menjadi vektor r G pada sistem koordinat bumi. Vektor r yang
bekerja pada sistem koordinat lokal pesawat bisa berupa kecepatan translasi, kecepatan
sudut, gaya, percepatan dan vektor-vektor lainnya.
Untuk mempermudah penulisan dan membedakan setiap komponen pada

RB

RG

dan

, digunakan notasi sebagai berikut:

 rXx

R G   rYx
r
 Zx

rXy
rYy
rZy

 rXx
R B  ( R G )T   rXy
r
 Xz

rXy 

rYz 
rZz 
rYx
rYy
rYz

(2.44)

rZx 
rZy 
rZz 

(2.45)

38
2.4.3.3. Rotasi Matrik dan Sudut Euler
3

Sudut Euler adalah 3 sudut yang membentuk rotasi sebuah objek dalam ruang (  ).
Sehingga dibutuhkan 3 parameter untuk merepresentasikan orientasi sebuah objek pada
sistem 3 dimensi Sudut-sudut itu antara lain:


rotasi dengan sumbu rotasi sumbu x, disebut dengan roll (φ)



rotasi dengan sumbu rotasi sumbu y, disebut dengan pitch (θ)



rotasi dengan sumbu rotasi sumbu z, disebut dengan yaw (ψ)
Dalam kaitannya dengan rotasi matrik, ketiga sudut Euler ini dapat membentuk rotasi

matrik dengan persamaan 2.46:
cos  cos
R   cos  sin
  sin 

sin  cos  cos  cos  sin
sin  sin  sin
sin  cos 

cos  sin  cos  sin  sin 
cos  sin  sin  sin  cos 

cos  cos 

(2.46)

Hal yang perlu diperhatikan pada pembentukan rotasi matrik dengan 3 sudut Euler
(atau sebaliknya) adalah urutan rotasi, karena urutan rotasi yang berbeda membentuk
orientasi yang berbeda, meskipun besarnya sudut-sudut pembentuk sama besarnya. Pada
persamaan 2.46, urutan yang dipakai adalah z-y-x atau yaw-pitch-roll.

2.4.4. Algoritma DCM-IMU (Direction Cosine Matrix Inertial Measurement
Unit)
Peran utama dari AHRS adalah mengolah data-data sensor untuk menghasilkan tiga
sudut Euler (roll, pitch dan yaw) yang tepat dan akurat. Sudut-sudut ini merupakan
representasi orientasi pesawat di udara terhadap kerangka acuan bumi. Selanjutnya, data tiga
sudut ini dimanfaatkan oleh pengendali gerak motor sebagai masukan umpan balik dari
sistem kendali loop tertutup.

39
Sebenarnya, sensor akselerometer dapat digunakan untuk mengukur sudut roll dan
pitch, dengan menghitung arah percepatan gravitasi. Namun, ada tiga alasan yang
menyebabkan sensor ini tidak bisa langsung digunakan sebagai sumber informasi tunggal
untuk orientasi pesawat:
1. Pengaruh percepatan dinamis
Percepatan yang bekerja pada pesawat bukan hanya percepatan gravitasi, tetapi juga
percepatan dinamis. Pesawat tidak akan hanya melayang dan diam (hovering), tetapi juga
bergerak dan timbul percepatan dinamis yang dirasakan oleh akselerometernya. Sehingga
percepatan dinamis akan mengganggu pengukuran percepatan statis (gravitasi bumi), yang
mengakibatkan pengukuran arah percepatan gravitasi menjadi tidak akurat.
Akan tetapi, pesawat tidak akan selalu mengalami percepatan atau perlambatan. Ada
kondisi di mana pesawat bergerak dengan kecepatan konstan. Pada kondisi ini, arah
percepatan gravitasi dapat diukur, karena tidak ada percepatan dinamis yang bekerja pada
akselerometer.
2. Pengaruh vibrasi
Akselerometer peka terhadap getaran yang ditimbulkan oleh sistem mekanik pesawat
seperti motor dan baling-baling. Hal ini mengakibatkan pengukuran arah percepatan statis
gravitasi menjadi terganggu akibat percepatan dinamis dari getaran. Meskipun demikian,
vibrasi pada akselerometer dapat diatasi dengan beberapa metode filter digital seperti LPF
(Low Pass Filter), MA (Moving Average) dan tapis Kalman.

40
3. Keterbatasan pengukuran sudut yaw
Akselerometer hanya mendeteksi arah percepatan gravitasi untuk mendapatkan sudut
roll dan pitch. Pada saat akselerometer dalam kondisi mendatar, tidak ada proyeksi
percepatan gravitasi untuk mendapatkan sudut yaw.

Berbeda dengan akselerometer, giroskop hampir tidak terpengaruh oleh getaran dan
percepatan dinamis translasi. Keluaran dari giroskop merupakan kecepatan sudut, integral
terhadap waktu dari keluaran giroskop ini adalah sudut. Namun karena giroskop memiliki
short-or-long term drift, semakin lama hasil integral tidak akan menghasilkan sudut yang
tepat.
Algoritma DCM-IMU[16] menggabungkan kedua sensor ini untuk mendapatkan
informasi orientasi pesawat yang akurat. Algoritma ini bekerja menggunakan rotasi matrik
yang selanjutnya diubah menjadi sudut-sudut Euler. Rotasi matrik dibentuk dari kecepatan
angular giroskop. Selanjutnya, dengan arah vektor gravitasi bumi oleh akselerometer, drift
dari rotasi matrik hasil pembentukan giroskop dideteksi dan menghasilkan drift error. Drift
error ini diumpankan balik dengan kontrol PI (Proposional Integral) sebagai koreksi error
yang terjadi. Gambar 2.20 menunjukan blok diagram dari proses algoritma DCM-IMU.

41
roll(φ)
giroskop

ω

update
rotasi
matrik

+

-

R

normalisasi

R

R→Euler

pitch(θ)
yaw(ψ)

kontrol PI

drift error

vektor gravitasi

detektor drift

akselerometer

arah utara magnet bumi
magnetometer

Gambar 2.20. Blok Diagram Algoritma DCM-IMU

2.4.4.1. Pembentukan Rotasi Matrik dari Kecepatan Sudut Giroskop
Rotasi matrik dapat dibentuk dengan perubahan sudut sesuai dengan persamaan 2.47:

 0

RG (t  dt )  RG (t )  RG (t )  d z
  d y

 1

RG (t  dt )  RG (t )  d z
 d y


 d z
0
d x

 d z
1
d x

d y 

d x 
0 

d y 

d x 
1 

(2.47)

(2.48)

karena,

d   dt
maka,

(2.49)

42

 1
 z dt  y dt 


RG (t  dt )  RG (t )   z dt
 x dt 
1
  y dt  x dt
1 


(2.50)

dimana,
RG= matrik rotasi

 x =kecepatan sudut pada sumbu x

 y =kecepatan sudut pada sumbu y
 z =kecepatan sudut pada sumbu z
Dengan persamaan 2.50, rotasi matrik dapat dibentuk dengan data kecepatan sudut
pada giroskop. Namun, karena adanya kemungkinan numerical error pada pembacaan sensor
giroskop, menyebabkan rotasi yang dibentuk tidak memenuhi orthogonalitas matrik rotasi.
Sehingga perlu dilakukan koreksi orthogonalitas dan normalisasi.
Matrik rotasi memiliki vektor-vektor baris yang saling tegak lurus. Seharusnya,
perkalian dot antar vektor baris pada matrik rotasi bernilai 0, karena adanya numerical error
pada pembacaan giroskop menyebabkan vektor-vektor baris (juga berlaku pada kolom) dari
matrik rotasi tidak saling tegak lurus dan perkalian dot antar vektor baris ini ≠ 0.

 rXx 
 rYx 
 rZx 
 
 
 
X   rXy  , Y   rYy  , Z   rZy 
r 
r 
r 
 Xz 
 Yz 
 Zz 

(2.51)

43

 rXx   rYx 
  
error  X Y   rXy    rYy 
r  r 
 Xz   Yz 

(2.52)

Selanjutnya untuk mengatasi kondisi ini, setengah dari error dibagikan kepada kedua vektor
baris:

 rXx 

 error 
 
r
X
X
Y



orthogonal
 Xy 
2
r 
 Xz  orthogonal

(2.53)

(2.54)

 rYx 

 error 
 
r
Y
Y
X



orthogonal
 Yy 
2
r 
 Yz  orthogonal

Untuk memperoleh Zorthogonal, digunakan cross product dari kedua vektor baris yang sudah
orthogonal:




Z orthogonal  X orthogonal  Y orthogonal

(2.55)

Langkah selanjutnya adalah menjaga magnitude dari masing-masing vektor agar
bernilai 1. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membagi setiap vektor baris dengan
magnitude-nya. Cara ini kurang efektif jika diimplementasikan dalam mikrokontroler dengan
keterbatasan memori dan kecepatan, karena melibatkan operasi akar dalam mencari

44
magnitude. Cara alternatif yang dapat dipakai adalah dengan menggunakan ekspansi Taylor
untuk memastikan magnitude dari setiap vektor baris agar bernilai 1.

X norm 

1
 3  X orthogonal  X orthogonal  X orthogonal
2

(2.56)

Ynorm 

1
3  Yorthogonal Yorthogonal  Yorthogonal
2

(2.57)

Z norm 

1
3  Zorthogonal Zorthogonal  Zorthogonal
2

(2.58)

2.4.4.2. Koreksi Drift
Pada proses sebelumnya telah didapatkan matrik rotasi bentukan giroskop yang
orthogonal. Namun, matrik rotasi ini belum akurat untuk merepresentasikan orientasi
pesawat terhadap kerangka acuan bumi, karena orientasi pesawat pada saat sistem mulai
bekerja belum diketahui. Masalah kedua adalah drift dan error kuantisasi dari pembacaan
giroskop menyebabkan rotasi matrik merambat berubah tidak sesuai dengan kenyataan fisik.
Untuk mengatasi masalah tersebut digunakan akselerometer sebagai referensi arah
percepatan gravitasi.
Jika diasumsikan tidak ada percepatan dinamis yang bekerja pada pesawat, dari data
akselerometer didapatkan vektor gravitasi yang terukur pada sistem koordinat lokal pesawat:

 AB x 
 

AB   AB y 
 B 
A z 

(2.59)

45

Berdasarkan rotasi matrik yang telah terbentuk, vektor gravitasi pada sistem koordinat bumi
jika dilihat dari sistem koordinat lokal adalah:

0

G B  R B  0 
 1 
 
  rXx
G B   rXy
r
 Xz

rYx
rYy
rYz

rZx   0 
rZy   0 
rZz   1

 rZx 

G B    rZy 
r 
 Zz 

Seharusnya vektor



B
A dan G B akan

(2.60)

(2.61)

(2.62)

sama jika rotasi matrik yang dibentuk adalah tepat.

Tetapi karena adanya error yang telah disinggung sebelumnya, error pitch roll diperoleh
dengan cross product dari kedua vektor:

errorroll _ pitch

 
 AB  G B

(2.63)

Kesalahan pada sudut roll dan pitch dapat dideteksi dengan menggunakan persamaan
2.63. Selanjutnya untuk mendeteksi error yaw digunakan arah hadap dari kompas digital.

46
Jika vektor


M B merupakan

vektor arah utara magnet bumi pada sistem koordinat lokal

pesawat:

 M Bx 
 

M B   M By 
 B 
M z 

(2.64)


G
Dan vektor U merupakan vektor arah utara pada sistem koordinat bumi:
 1 
U G   0 
0
 

(2.65)

Maka dengan cara yang sama error yaw diperoleh:

erroryaw

 
 M B U B

(2.66)

Selanjutnya error keseluruhan didapatkan:

errorroll _ pitch _ yaw  errorroll _ pitch  erroryaw

(2.67)

Untuk mengkompensasi kesalahan rotasi matrik yang terbentuk, error yang dideteksi
melalui perhitungan sebelumnya diumpankan ke proses pembentukan matrik rotasi dengan
kontrol PI (propotional-integral). Penggunaan kontrol loop tertutup ini bertujuan untuk
mendapatkan koreksi yang cepat dan tepat terhadap rotasi matrik yang dibentuk.

47
2.4.4.3. Perhitungan 3 Sudut Euler dari Matrik Rotasi
Sudut-sudut Euler merupakan representasi orientasi yang tepat dan mudah
diiplementasikan sebagai input kendali gerak pesawat. Sebagai contoh, untuk menjaga
keseimbangan pesawat saat dalam kondisi hovering (melayang diam), sistem kendali gerak
harus menjaga sudut pitch dan roll agar tetap 0° (datar terhadap permukaan bumi).
Setelah matrik rotasi sudah terbentuk dan terkoreksi, selanjutnya dengan persamaan
4, dari matrik rotasi ini didapatkan sudut-sudut Euler:

 rZy 

 rZz 

  arctan 

  arcsin  rZx 
 rYx 

 rZx 

  arctan 

(2.68)

(2.69)

(2.70)