STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTHANASIA ANTARA KUHP PASAL 344 DAN FIQH JINAYAH.
STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTHANASIA ANTARA KUHP PASAL 344 DAN FIQH JINA>YAH
SKRIPSI OLEH
:
RINA FATMAWATI AR-RANI NIM: C73210065
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Program studi Siyasah Jina>yah
Surabaya 2016
(2)
(3)
(4)
(5)
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian kepustakaan tentang “Studi Komparasi Tindak Pidana Euthanasia Antara KUHP Pasal 344 dan Fiqh Jina>yah”?. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana euthanasia menurut KUHP pasal 344 dan fiqh jina>yah? Dan bagaimana komparasi tindak pidana euthanasia menurut KUHP pasal 344 dan fiqh jina>yah ?.
Data penelitian diperoleh dari kajian pustaka yaitu berupa literatur buku fiqh juna>yah dan KUHP berupa undang-undang tentang kejahatan euthanasia yang menjadi obyek penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode komparatif analisis. yaitu memaparkan atau menjelaskan data yang diperoleh dan selanjutnya komparasi dengan pola pikir deduktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat umum, kemudian ditarik menjadi data, serta ditarik kesimpulan.
Hasil penelitian menyatakan bahwa Tindak pidana euthanasia merupakan tindakan
pencegahan atas penderitaan yang lebih parah dari seseorang mengalami musibah atau terjangkit suatu penyakit bisa dengan melalui suntikan atau penghentian medis. Menurut Pasal 344 KUHP dan sanksi hukumannya dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun, di mana seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alasan atas permintaan si korban sendiri. Pembunuhan yang diancam oleh pasal 344 KUHP memiliki sifat ketergantungan pada pihak lain. Terjadinya pembunuhan ini karna pembunuhan itu terjadi justru karena atas permintaan orang yang terbunuh sendiri dimana dalam KUHP dikenal dengan kejahatan euthanasia sedangkan dalam fiqh jina>yah tindak pidana euthanasia diberi hukuman berupa hukuman pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja dan pembunuhan salah, dimana di dalam pembunuhan ini ( menurut fiqih jinayah ) tergantung situasi dan kondisi dalam kasus tersebut.Sedangkan komparasi fiqh jina>yah tindak pidana euthanasia dan sanksi hukumannya. Dalam KUHP dikategorikan sebagai pembunuhan dan diancam dengan hukuman selama lamanya 12 tahun. Sedangkan dalam fiqh jina<yah tindak pidana euthanasia bisa dikategorikan sebagai pembunuhan sengaja, karena adanya larangan dalam nas terhadap tindakan membunuh,dokter melakukan suatu tindakan untuk mengakhiri hidup pasien. Dikategorikan sebagai pembunuhan semi sengaja merupakan pembunuhan atas permintaan keluarga si pasien karena perawatan yang sangat besar. Dikategorikan sebagai pembunuhan salah di mana pembunuhan ini lebih mengarah pada salah sasaran sehingga berujung kepada kematian, misalnya dokter menyuntikkan obat dengan dosis tinggi dan mengakibatkan pasien meninggal.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka ada beberapa saran yang perlu dicantumkan
antara lain: Pertama Bagi pihak pasien kejahatan euthanasia merupakan persoalan bioetik
yang sangat kompleks. Oleh karena itu, hendaknya bagi pasien perlu disikapi dengan sikap yang lapang, sabar dan berfikir positif. Kedua Bagi pihak dokter kejahatan euthanasia bisa ditekan dan tidak dilakukan oleh dokter, sehingga tidak ada lagi pengakhiran hidup seseorang atas nama belas kasihan, di mana seharusnya dokter harus memberikan semangat kepada pasien untuk kesembuhannya. Ketiga Bagi masyarakat hendaknya tidak mengikuti kejahatan euthanasia, karena masalah yang dihadapi masyarakat akan semakin kompleks dan semakin banyak pula hal-hal baru.
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
ABSRAKSI ... v
KATA PENGANTAR ... vi
BIODATA PENULIS ... vii
MOTTO ... viii
PERSEMBAHAN ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 9
E. Kegunaan Hasil Penelitian ... 9
F. Definisi Operasional ... 10
G. Metode Penelitian ... 11
H. Sistimatika Pembahasan ... 16
BAB II: EUTHANASIA DALAM KUHP ... 18
A. Pengertian Pembunuhan Euthanasia Dalam KUHP ... 18
B. Macam-Macam Euthanasia Dalam KUHP ... 27
(7)
BAB III: HUKUM PIDANA QISHASH ... 45
A. Pengertian Qishash (Pembunuhan) ... 45
B. Macam-Macam Pembunuhan ... 47
C. Sanksi Hukuman Euthanasia Dalam Hukum Islam ... 49
BABIV:STUDI KOMPARASI TERHADAP TINDAK PIDANA EUTHANASIA DALAM TINJAUAN FIQH JINAYAH DAN KUHP ... 63
A. Analisis Tentang Pengertian Tindak Pidana Euthanasia Dalam Tinjauan Fiqh Jina>yah Dan KUHP ... 63
B. Analisis Tentang Komparasi Tindak Pidana Euthanasia Dalam Tinjauan Fiqh Jina>yah Dan KUHP ... 72
BAB V: PENUTUP ... 83
A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 84 DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN-LAMPIRAN ...
(8)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum pidana atau fiqh jina<yah merupakan bagian dari syariat Islam yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah saw. Oleh karenanya pada zaman Rasulullah dan Al-khulafa Al-rasyidin, hukum pidana Islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau uly al-amri. Ada tiga bagian jarimah yang digolongkan menurut berat ringannya hukuman, yaitu hudud, qishas-diyat dan ta‟z<ir. Maka tidak boleh seorang pun melanggarnya. Bagi pihak-pihak berwenang agar menerapkan hukuman terhadap pelanggar dengan suatu hukuman yang membuatnya jera. Mayoritas manusia tidak mengindahkan aturan Al-Qur'an dan As-Sunnah, tapi mengindahkan peraturan penguasa dengan berbagai hukuman. Ini karena lemahnya keimanan terhadap Allah dan hari akhir, atau karena tidak adanya keimanan di benak mayoritas mereka, sebagaimana firman Allah:1
اوُعيِطَأ اوُنَمآ َنيِذّلا اَهّ يَأ اَي
َّ
ْمُكْنِم ِرْمأا ِِوُأَو َلوُسّرلا اوُعيِطَأَو
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (QS. Al Nisa‟: 59).2
1
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 9.
2
Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formulasi Syari‟at Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), 12.
(9)
2
Dalam syariah Islam kejahatan euthanasia atau yang dikenal dalam fiqh jinayah dengan istilah qishas dan diyat merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama. Proses pengharaman tersebut karena dapat merugikan serta dapat menimbulkan kematian. Jina<yah adalah tindakan kriminal atau tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan perundang-undangan. Fiqih jina<yah adalah mengetahui berbagai ketentuan hukum tentang perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf sebagai hasil pemahaman atas dalil yang terperinci. Tujuan disyari‟atkannya adalah dalam rangka untuk memelihara akal, jiwa, harta dan keturunan. Ruang lingkupnya meliputi berbagai tindak kejahatan kriminal, seperti pencurian, perzinahan, homoseksual, menuduh seseorang berbuat zina, minum khamar, membunuh atau melukai orang lain, merusak harta orang dan melakukan gerakan kekacauan dan lain sebagainya.
Dalam fiqh jinayah, tindak pidana (delik, jari<mah) diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukuman h}udu>d, qishas>h, diyat, atau ta‟zir>.3 Larangan-larangan syara‟ tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan setiap perbuatan yang diperintahkan, atau melakukan atau
3
Ali bin Muhammad bin Habib Mawardi, Al-Ahkâm al-Sulthaniyah, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-„Arabi, 1380 H), 192.
(10)
3
meninggalkan perbuatan yang telah ditetapkan fiqh jinayah atas keharaman dan diancamkan hukuman terhadapnya.
Adapun pengertian jina>yah, para fuqaha menyatakan bahwa lafal
jina>yah yang dimaksudkan di sini adalah setiap perbuatan yang dilarang oleh
syara‟, baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lain-lainnya. Sayyid Sabiq memberikan definisi jina>yah, bahwa istilah jina>yah menurut syara‟
adalah setiap perbuatan yang dilarang. Perbuatan yang dilarang itu menurut syara‟
adalah dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya mengenai agama, jiwa, akal, kehormatan, atau harta benda.4
Hukum pidana Islam dalam pengertian fikih dapat disamakan dengan istilah jari<mah yang diartikan sebagai larangan syara‟ yang dijatuhi sanksi oleh pembuat syari‟at (Allah) dengan hukuman had atau ta‟zir>. Para fuqaha meng-gunakan kata jina>yah untuk istilah jari>mah yang diartikan sebagai perbuatan yang dilarang.5 Pengertian jina>yah atau jari>mah tidak berbeda dengan pe-ngertian tindak pidana delik dalam hukum positif (pidana). Sebagian para ahli fiqh jinayah sering menggunakan kata-kata jina>yah untuk jari>mah yang diartikan sebagai perbuatan seseorang yang dilarang saja. Sedangkan yang dimaksud dengan kata jina>yah ialah perbuatan yang dilarang oleh syara‟, apakah perbuatan mengenai jiwa atau benda dan lainnya.6
4
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 9.
5
Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formulasi Syari‟at Islam dalam Perspektif Tata Hukum
Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), 123.
6
(11)
4
Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian hukum pidana Islam, maka dapat diketahui bahwa ruang lingkup pembahasan hukum pidana Islam meliputi dua aspek, yakni aspek tindak pidana dan aspek hukuman (sanksi pidana). Aspek tindak pidana meliputi aspek unsur dan syarat tindak pidana serta klasifikasi tindak pidana, sedangkan aspek hukuman meliputi aspek pertanggung jawaban, klasifikasi hukuman, dan ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaan dan gugurnya hukuman.
Salah satu tindak pidana dalam syariat Islam yaitu kejahatan
euthanasia. Paham ini dianut oleh orang-orang yang menderita penyakit yang
sudah gawat/ kritis dan merasa akan sakarotul maut lalu memohon mati dalam keadaan tenang tidak tersiksa dengan bantuan suntikan dokter atau obat bunuh diri. Mereka berpendapat bahwa hidup itu hanya sengsara saja. Sebab sudah pasti akan berakhir dengan kehancuran dan hidup hanya kegila-gilaan saja dan berakhir dengan mustahil saja.
Kejahatan euthanasia tidak dikenal dalam perundang-undangan hukum pidana dan istilah bukan intruksi hukum nama tersebut biasa dipakai orang untuk mengisahkan kematian yang mulus dan tenang, dalam arti bahwa orang tersebut akan meninggal dengan tenang, tentram tampa rasa nyeri, bebas ketakutan dan sebagainya. Dilihat dari buku perundang-undangan euthanasia
menyangkut soal keselamatn jiwa meskipun tidak dijelaskan tetapi ada hukum tentang hukuman tindak pidana tersebut yaitu menyangkut jiwa manusia, dimana
(12)
5
euthanasia mendekati dengan peraturan hukum yang terdapat dalam buku ke 2
bab IX pasal 344 KUHP.7
Pasal 344 adalah kematian belas kasihan (meroy death) sebab kematian belas kasihan terjadi apabila pasien berdasarkan permintaan untuk menghentikan kehidupannya. Permintaan tersebut dinyatakan jelas dan dengan kesungguhan hati sebab tanpa dasar permintaan jelas dan kesungguhan hati, maka hal itu sama dengan pembunuhan biasa (pasak 338) KUHP. Pasal 344 KUHP
menyebutkan “barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang
itu itu sendiri yang disebutkan dengan nyata-nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Dalam fiqh jinayah biasanya diakitkan dengan masalah suicide atau bunuh diri sedangkan dalam hukum pidana hukum bunuh diri dibahas dalam pasal tersendiri yaitu pasal 345 KUHP.8
Kematian yang diidamkan oleh pada penderita, sudah barang tentu, adalah kematian yang normal pada umumnya, jauh dari rasa sakit dan mengerikan. Kematian inilah yang dalam istilah medis disebut euthanasia yang dewasa ini diartikan dengan pembunuhan terhadap pasien yang tipis harapannya untuk sembuh. Euthanasia sebenarnya bukanlah merupakan suatu persoalan yang baru. Bahkan euthanasia telah ada sejak zaman Yunani purba. Dari Yunanilah euthanasia bergulir dan berkembang ke beberapa negara di dunia, baik di Benua Eropa sendiri, Amerika maupun Asia. Di negara-negara barat, seperti Swiss,
7
Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formulasi Syari‟at Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), 123.
8
(13)
6
euthanasia sudah tidak dianggap sebagai suatu pembunuhan lagi, bahkan euthanasia sudah dilegalisasi dan diatur dalam Hukum Pidana.9
Euthanasia merupakan suatu persoalan yang dilematik baik di kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan agamawan. Di Indonesia masalah ini juga pernah dibicarakan, seperti yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam seminarnya pada tahun 1985 yang melibatkan para ahli kedokteran, ahli hukum positif dan ahli fiqh jinayah, akan tetapi hasilnya masih belum ada kesepakaran yang bulat terhadap masalah tersebut.10
Demikian juga dari sudut pandang agama, ada sebagian yang membolehkan dan ada sebagian yang melarang terhadap tindakan euthanasia, tentunya dengan berbagai argumen atau alasan. Dalam Debat Publik Forum No 19 Tahun 1V, 1 Januari 1996, Ketua Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Prof. KH. Ibrahim Husein menyatakan bahwa, Islam membolehkan penderita AIDS dieuthanasia jika memenuhi syarat-syarat berikut:11
1. Obat atau vaksin tidak ada.
2. Kondisi kesehatannya makin parah.
3. Atas permintaannya dan atau keluarganya serta atas persetujuan dokter. 4. Adanya peraturan perundang-undangan yang mengizinkannya.
9
Hardinal, Euthanasia dan Persentuhannya dengan Hukum Kewarisan Islam Dalam Mimbar Hukum No 6 Tahun VII, (Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996), 7-8.
10
Akh. Fauzi Aseri, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana dan Hukum
Islam, dalam Problematika Hukum Kontempore, Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 51
11
Masjfuk Zuhdi, Penderita AIDS Tidak Boleh Dieuthanasia, Dalam Mimbar Hukum No. 6 Tahun VII, (Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996), 28.
(14)
7
Pro kontra terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini masih terus berlangsung.12 Mengingat euthanasia merupakan suatu persoalan yang rumit dan memerlukan kejelasan dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi umat Islam. Maka Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam pengkajian (muzakarah) yang diselenggarakan pada bulan Juni 1997 di Jakarta yang menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu tindakan bunuh diri.13
Melalui latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut dengan judul: “Studi Komparasi Tindak Pidana
Euthanasia Antara KUHP pasal 344 dan Fiqh Jina>yah”, yaitu
membandingkan tindak pidana mengambil harta dengan kekerasan atau pencurian dengan kekerasan tersebut antara fiqh jina>yah dan KUHP.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Melalui latar belakang tersebut diatas, terdapat beberapa permasalahan yang dapat peneliti identifikasi dalam penulisan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Tindak pidana euthanasia menurut fiqh jina>yah. 2. Tindak pidana euthanasia menurut KUHP.
3. Faktor-faktor yang melatar belakangi kejahatan euthanasia dan sanksi hukumnya menurut fiqh jina>yah dan KUHP.
12
Ibid., 51
13
(15)
8
4. Komparasi tindak pidana euthanasia antara KUHP pasal 344 dan dalam fiqh jina>yah.
5. Perbuatan yang dapat digolongkan terhadap kejahatan euthanasia dan sanksi hukumnya menurut fiqh jina>yah dan KUHP.
6. Dasar hukum kejahatan euthanasia dan sanksi hukumnya menurut fiqh
jina>yah dan KUHP.
7. Pengertian kejahatan euthanasia menurut KUHP dansanksi hukumannya. 8. Tinjauan fiqh jina>yah terhadap kejahatan euthanasia dan sanksi
hukumannya.
Adapun batasan masalah yang menjadi fokus peneliti dalam penelitian ini, yaitu peneliti akan mengkaji tentang :
1. Tindak pidana euthanasia dalam tinjauan fiqh jina>yah dan KUHP.
2. Komparasi tindak pidana euthanasia dalam tinjauan fiqh jina>yah dan KUHP.
C. Rumusan Masalah
Melalui latar belakang, identifikasi, dan batasan masalah tersebut di atas. Maka rumusan masalah yang akan peneliti kaji dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Apa yan dimaksud dengan tindak pidana euthanasia menurut KUHP pasal 344 dan fiqh jina>yah?
(16)
9
2. Bagaimana komparasi tindak pidana euthanasia menurut KUHP pasal 344 dan fiqh jina>yah.
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang peneliti kaji dalam penelitian ini, maka penulisan penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui penertian dari tindak pidana euthanasia menurut KUHP pasal 344 dan fiqh jina>yah.
2. Untuk mengetahui dan memahami komparasi tindak pidana euthanasia
mnurut KUHP pasal 344 dan fiqh jina>yah.
E. Kegunaan Hasil Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, sebagai berikut:
1. Teoritis
Secara teoritis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih hukum terhadap komparasi tindak pidana
euthanasia antara KUHP pasal 344 dan fiqh jina>yah. Dan penelitian ini
dapat dijadikan sebagai literatur dan referensi, baik oleh peneliti selanjutnya maupun bagi pemerhati fiqh jinayah dalam memahami persamaan dan perbedaan tindak kejahatan euthanasia menurut KUHP dan fiqh jina>yah.
(17)
10
2. Praktis
Secara praktis, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan berguna bagi masyarakat, khususnya masyarakat dan pemerhati atau peneliti lebih lanjut tentang komparasi tindak pidana
euthanasia antara KUHP pasal 344 dan fiqh jina>yah.
F. Definisi Oprasional
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penulisan penelitian ini, dan untuk berbagai pemahaman interpretatif yang bermacam-macam, maka peneliti akan menjelaskan beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Kejahatan euthanasia menurut Pasal 344 KUHP adalah sebuah kejahatan dimana perbuatan tersebut merupakan perintah dari pasien yang menyuruh seorang dokter atau seorang pelaku untuk membunuh dirinya karena ingin meninggal dengan tenang tanpa rasa nyeri, dimana sanksi hukumnya dalam
Pasal 344 KUHP menyebutkan “barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkan dengan nyata-nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Dalam fiqh jinayah sanksi hukum euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah suicide atau bunuh diri sedangkan dalam KUHP hukum bunuh diri
(18)
11
dibahas dalam pasal tersendiri yaitu pasal 345 KUHP. Di mana dalam penelitian ini kejadian Euthanasia jarang terjadi dalam penelitian ini.14
2. Fiqh Jina<yah: “ Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syara praktis yang
diambil dari dalil-dalil yang terperinci. atau fiqh adalah himpunan hukum-hukum syara yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci”. Sedangkan jina<yah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang syara, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta dan lainya”. Di mana yang di maksud dalam penelitian ini adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara dan dapat menimbulkan hukuman qishas atau diyat, di mana hukum qishas dan diyat adalah perbuatan yang hukumannya di tentukan atau di tetapkan ole Allah.15
G. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kajian pustaka, yaitu penelitian terhadap “komparasi tindak pidana euthanasia antara KUHP pasal 344 dan fiqh jina>yah”,.
1. Data yang dikumpulkan.
Berdasarkan judul dan rumusan masalah dalam penulisan penelitian ini, maka data-data yang akan dimpulkan oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
14
Hardinal, Euthanasia dan Persentuhannya dengan Hukum Kewarisan Islam Dalam Mimbar Hukum No 6 Tahun VII, (Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996), 7-8.
15
(19)
12
a. Data Primer
1. Pengertian sanksi kejahatan euthanasia menurut Pasal 344 KUHP. 2. Klasifikasi kejahatan euthanasia menurut Pasal 344 KUHP. 3. Motif-motif kejahatan euthanasia menurut Pasal 344 KUHP. b. Data Sekunder
1. Sanksi kejahatan euthanasia Menurut Ilmu kedokteran.
2. Sanksi kejahatan euthanasia menurut hukum positif. 2. Sumber Data
Untuk memperoleh data-data yang dibutuhkan oleh peneliti dalam penulisan penelitian ini secara tepat dan menyeluruh, maka peneliti menggunakan dua bentuk sumber data sebagai berikut:
a. Sumber Primer
Data primer yaitu merupakan sumber data utama dalam penelitian ini yang diperoleh oleh peneliti dari sumbernya secara langsung. Adapun yang dimaksud dengan data primer yaitu:
a) Pembunuhan dalam KUHP
b) Pembunuhan dalam Fiqh Jina>yah
c) Djazuli, Fiqh Jinayat (Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),
(20)
13
b. Sumber Sekunder
Data sekunder adalah data yang dibutuhkan sebagai pendukung data primer. Data ini bersumber dari referensi dan literatur yang mempunyai korelasi dengan judul dan pembahasan penelitian ini seperti buku, catatan, dan dokumen. Adapun sumber data sekunder yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini, ialah sebagaimana berikut:
1. Ali bin Muhammad bin Habib Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-„Arabi, 1380 H)
2. Ali Al-Shobuni, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Beirut: Dar Kutub Al-Ilmiyah, 2004.
3. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam
(Fikih Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, Cet-I, 2004
4. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, Cet-2, 2005.
5. Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari‟at Islam,Hudud dan
Kewarisan. (Radja Grafindo: Jakarta, 1404 H)
6. Jazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000)
7. Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset. 2005, Cet.II.
(21)
14
8. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam,Pustaka Setia Bandung, (Bandung: 2010)
9. Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, Formulasi Syari‟at Islam dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006)
10.Suharto. R.M, Hukum Pidana Materiil, Ed-2, Jakarta: Sinar Grafika, Cet-2, 2002.
11.Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012) 3. Teknik pengumpulan data
Untuk memperoleh data-data yang peneliti butuhkan dalam penulisan penelitian ini, maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data melalui buku dan jurnal yang ada di perpustakaan. Agar dapat memperoleh data yang akurat dan sesuai dengan kajian penelitian ini, yaitu.
Kepustakaan adalah menggali data tentang Euthanasia dalam KUHP dimana data yang dikumpulkan terdapat dalam literatur buku, Untuk melakukan studi kepustakaan, perpustakaan merupakan suatu tempat yang tepat guna memperoleh bahan-bahan dan informasi yang relevan untuk dikumpulkan, dibaca dan dikaji, dicatat dan dimanfaatkan.16
16
(22)
15
4. Teknik pengolahan data
Untuk mempermudah peneliti dalam menganalisa data-data yang telah dikumpulkan, maka peneliti menggap perlu melakukan pengolahan data melalui beberapa teknikpengolahan data sebagai berikut:
1. Pengeditan: Yaitu memeriksa kelengkapan data-data yang sudah diperoleh. Data-data yang sudah diperoleh diperiksa dan dieedit apabila tidak terdapat kesesuaian atau relevansi dengan kajian penelitian.
2. Pemberian kode: Yaitu memberikan kode terhadap data-data yang diperoleh dan sudah dieedit, kemudian dikumpulkan sesuai dengan relevansi masing-masing data tersebut.
3. Pengkategorisasian: Yaitu dengan mengkategorisasikan atau mensistematisasikan data. Data yang sudah diedit dan diberi kode kemudian diorganisasikan sesuai dengan pendekatan dan bahasan yang telah dipersiapkan.
5. Tekhnik analisa data
Setelah seluruh data-data yang dibutuhkan oleh peneliti terkumpul semua dan sudah diolah melalui teknik pengolahan data yang digunakan oleh peneliti, kemudian data-data tersebut dianalisis. Adapun data yang dianalisis
(23)
16
dalam penelitian ini yaitu berupa analisis euthanasia menurut. KUHP dan di komparasikan berdasarkan teori pembunuhan menurut fiqh jina<yah.17
Untuk menganalisa data yang sudah dikumpulkan dan diolah melalui teknik pengolahan data, penulis menggunakan metode deskripif analisis. Metode deskriptif yaitu merupakan salah satu metode analisa data dengan mendeskripsikan fakta-fakta secara nyata dan apa adanya sesuai dengan objek kajian dalam penelitian ini.18 yaitu KUHP dan fiqh jina>yah.
Selain itu, peneliti juga menggunakan metode landasan teori deduktif untuk menganalisa data-data yang sudah dikumpulkan dan diolah oleh peneliti dalam penelitian ini. Pola pikir deduktif yaitu metode analisa data dengan memaparkan data yang telah diperoleh secara umum untuk ditarik kesimpulan kepada data-data. Peneliti menggunakan metode ini untuk memaparkan secara umum mengenai komparasi tindak pidana euthanasia
dalam tinjauan fiqh jina>yah dan KUHP. dan kemudian ditarik kesimpulan secara khusus sesuai dengan analisis fiqh jina>yah dan KUHP.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah peneleliti dalam menyusun penulisan penelitian ini secara sistematis, dan mempermudah pembaca dalam memahami hasil penelitian
17
Sugiyono, Metode Penelitian., hal. 224.
18
(24)
17
ini, maka peneliti mensistematisasikan penulisan penelitian ini menjadi beberapa bab, sebagai berikut:
Bab pertama ini berisi tentang pendahuluan. Dalam bab ini, peneliti mengkaji secara umum mengenai seluruh isi penelitian, yang terdiri dari: Latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi oprasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua ini adalah Kejahatan Euthanasia dalam KUHP yang terdiri dari: Pengertian Kejahatan Euthanasia dalam KUHP, Dasar hukum Kejahatan
Euthanasia dalam KUHP, Rukun dan Kejahatan Euthanasia dalam KUHP,
Sanksi Kejahatan Euthanasia dalam KUHP.
Pada bab ketiga ini dijelaskan tentang Hukuman Pembunuhan Kejahatan
Euthanasia Menurut Fiqh jina>yah. Dalam landasan bab kedua ini, pertama
peneliti akan mengkaji tentang masalah yang terdiri dari: Hukuman Pembunuhan Kejahatan Euthanasia Menurut Fiqh jinayah yang terdiri dari: Pengertian Pembunuhan Kejahatan Euthanasia Menurut Fiqh jinayah, Dasar hukum Pembunuhan Kejahatan Euthanasia Menurut Fiqh jinayah, Rukun dan syarat Pembunuhan Kejahatan Euthanasia Menurut Fiqh jinayah, Sanksi Pembunuhan Kejahatan Euthanasia Menurut Fiqh jinayah.
(25)
18
Pada bab keempat ini akan dijelaskan hasil komparasi tindak pidana
euthanasia dalam tinjauan fiqh jina>yah dan KUHP , sanksi pembunuhan
euthanasia sengaja, sanksi euthanasia semi sengaja, sanksi euthanasia
pembunuhan salah.
Bab kelima menyajikan penutup. Dalam bab ini, peneliti akan memaparkan hasil penelitian, yang terdiri dari: Kesimpulan, Saran.
(26)
19
BAB II
EUTHANASIA DALAM KUHP
A. Pengertian Pembunuhan Euthanasia Dalam KUHP
Euthanasia secara etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu ; “ue”
yang berarti normal atau baik, dan “thanatos” yang artinya mati. Berdasarkan
penggalan katanya euthanasia berarti kematian secara baik atau mudah tanpa penderitaan. Secara bahasa kata euthanasia kemudian dikenal dalam dunia kedeokteran dan hukum, karena pada perkembangannya, istilah ini banyak digunakan dalam istilah-istilah hukum, terutama pada hukum pidana yang menyangkut delik pembunuhan.19
Dalam kamus kedokteran dinyatakan bahwa euthanasia mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian atau menghilangkan nyawa secara tenang dan mudah untuk menamatkan penderitaan. Pengertian ini memandang bahwa euthanasia merupakan tindakan pencegahan atas penderitaan yang lebih parah dari seseorang mengalami musibah atau terjangkit suatu penyakit. Jalan ini diambil, mengingat tidak ada cara lain yang bisa menolong seseorang untuk terlepas dari penderitaan yang luar biasa.20
Pengertian euthanasia secara bahasa menunjukan bahwa inti dari
euthanasia adalah tindakan yang menimbulkan kematian secara mudah dan baik
19
Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Jakarta; Djambatan, 2005) cet ke-2, 135
20
Gunawandi, Hukum Medik (medical Law), (Jakarta; Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia, 2007), 246
(27)
20
dalam pandangan medis. Motif utama euthanasia adalah menolong penderita untuk mengakhiri penderitaan atau memotong jalan penyebaran penyakit. Dengan kata lain euthanasia merupakan penentuan kematian seseorang, yakni penentuan untuk kelangsungan hidup seseorang setelah mengalami gangguan penderitaan yang berat dan diperkirakan tidak bisa diatasi.
Euthanasia biasanya berhubungan kematian sukarela yang dilakukan
untuk mengakhiri penderitaan seseorang akibat penyakit yang tidak bisa disembunyikan. Tindakan ini dilakukan dalam bentuk menyerupai bunuh diri, walaupun dilakukan dengan bantuan orang lain. Keputusan ini diambil untuk mengurangi beban penderitaan seseorang akibat penyakit yang sulit disembuhkan. Pelaksanaan euthanasia harus dilakukan atas seijin pengadilan, karena pada hakikatnya dalam praktek ini telah terjadi pelanggaran hukum, yakni menghilangkan nyawa manusia.
Menurut hukum Islam bahwa pengadilan sekalipun tidak berhak untuk menentukan hak hidup seseorang kecuali untuk hukuman yang telah ditentukan oleh nash, karena hak hidup seseorang hanya milik Allah Swt semata dan hanya dia yang berhak untuk mengambinya kembali tanpa terkecuali bahkan pengadialn sekalipun.21 Euthanasia merupakan pilihan untuk mati secara sukarela dengan bantuan pihak lain atas dasar kasihan atau niat menolong penderita suatu
21
(28)
21
penyakit, antar lain dari pihak rumah sakit, dokter atau pengadilan.22 Pilihan menghilangkan nyawa orang lain ini diambil mengingat beban penderitaan pasien maupun keluarga baik secara moril maupun material.
Melalui euthanasia, diharapkan bisa menghilangkan penderitaan pasien dan beban biaya perawatan dan penyembuhan dapat dihilangkan. Perkembangan euthanasia mulai muncul sejak abad ke- 19 dibeberapa negara Eropa dan Amerika. Di Amerika Serikat euthanasia baru dikenal tahun 1960, hingga mendapat legalisasi hukum. Namun di Swiss, euthanasia dilarang berdasarkan undang-undang federal tahun 1960, dengan asumsi bahwa euthanasia melanggar nilai-nilai kemanusiaan dan menodai hak manusia untuk terus memiliki harapan hidup dan melanjutkan kehidupannya. Di Inggris sempat muncul gerakan yang menamakan dirinya masyarakt euthanasia (euthanasia society). Gerakan ini berjuang untuk mendapatkan legalitas euthanasia secara hukum, sehingga tindakan ini bisa dilakukan tanpa pengajuan ke pengadilan, namun usaha gerakan ini digagalkan, terutama oleh kalangan agamawan Kristen.23
Dalam literatur kedokteran dan hukum terdapat pemahaman yang berbeda tentang hakekat euthanasia, apakah ia merupakan bunuh diri (suicide)
22
Lutfi As-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fiqh Kontemporer, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1998), 178
23
Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, (Jakarta; EGC, 2007), 180
(29)
22
atau pembunuhan (murder).24 Kesulitan ini terjadi, karena euthanasia dilakukan secara sukarela atas permintaaan orang yang bersangkutan, atau atas permintaan pihak-pihak yang memiliki alasan kuat untuk melakukan euthanasia. Sementara untuk memandang kematianpun menjadi kabur akibat perkembangan teknologi kedokteran. Sebelumnya, definisi kematian diindifikasikan oleh jantung dan hati yang sudah tidak berfungsi lagi.
Dalam perkembangan selanjutnya, kematian harus didiagnosa secara intensif melalui peralatan kedokteran, karena indikasi kematian semakin bertambah, yakni dengan menyertakan asumsi kematian pada jantung, hati, serta tidak berfungsinya otak dan tidak adanya zat yang menimbulkan aliran listrik. Penambahan indikator kematian ini pada akhirnya semakin mempersulit tindakan euthanasia, terutama berkaitan dengan keputusan tentang harapan hidup pasien.25
Berdasarkan pandangan di atas, pemahaman terhadap legalitas
euthanasia seharusnya dilakukan secara hati-hati, walaupun sifatnya sukarela.
Euthanasia tetap berindikasi sebagai sebuah pembunuhan terencana yang dilakukan atas dasar keinginan dari seseorang atau dari pihak-pihak tertentu yang menginginkannya. Euthanasia kemudian harus dipandang dalam konteks kemanusiaan, tidak hanya pada sisi medis, hal ini layak dilakukan untuk menghindari jatuhnya korban akibat keputusan medis yang tergesa-gesa.
24
Ibid, 181
25
M. Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, ( Jakarta; EGC, 1999), 105
(30)
23
Sementara itu, para pendukung euthanasia memandang bahwa tindakan ini merupakan penghargaan atas pilihan seseorang untuk mengakhiri penderitaan hidupnya yang tiada akhir. Selain itu, memaksa orang lain untuk melanjutkan hidupnya yang penuh penderitaan fisik dan kerugian material merupakan tindakan tidak masuk akal dan tidak menghargai hak untuk menentukan hidup manusia. Secara sosial euthanasia memerlukan pemikiran kritis dengan mempertimbangkan perasaan masyarakat sebagaimana tindakan aborsi, karena euthanasia akan berhadapan dengan nilai kemanusiaan dan peradaban. Kalangan agamawan memandang bahwa sikap dokter yang merekomendasikan atau melakukan tindakan euthanasia merupakan sikap menentang takdir Tuhan.26
Berdasarkan sudut pandang medis, euthanasia yang dilakukan sembarangan melanggar kode etik kedokteran untuk menyembuhkan pasien yang telah menjadi tanggung jawab mereka. Hak pasien untuk mendapatkan perawatan semaksimal mungkin, bahwa jika ada suatu kesalahan dalam perawatan medis, pasien bisa menuntut dokter maupun pihak rumah sakit ke pengadilan atas kelalain mereka.27
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka inti dari euthanasia adalah menghilangkan hak hidup seseorang dengan alasan untuk menghindari kerugian pada pihak lain, termasuk pasien lain yang masih memiliki harapan hidup.
26
Ibid.,156
27
Misbahul Munir, dalam http://tumoutou.net/702_04212/aris_wibudi.htm diakses pada tanggal 10 September 2008
(31)
24
Kematian secara sukarela (mercy death) ini dilakukan sebagai sebuah usaha untuk mencegah timbulnya kerugian yang lebih besar dengan mengorbankan satu orang.28
Euthanasia dalam dunia kedokteran merupakan usaha sebuah medis
yang dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran penyakit, setelah usaha-usaha penyembuhan secara medis gagal menyelamatkan pasien. Tindakan euthanasia
dilakukan kepada pasien yang tidak memiliki harapan untuk sembuh secara medis, sehingga kemungkinan bisa bertahan hidup sangat kecil, bahkan tidak ada sama sekali. Selain itu, euthanasia juga dilakukan untuk menghilangkan penderitaan yang panjang akibat penyakit yang tidak bisa diobati.29
Dalam prakteknya tindakan euthanasia dilakukan kepada pasien-pasien penderita penyakit akut dan menular. Usaha ini dilakukan dengan memberikan suntikan mematikan, seperti halnya yang dilakukan dalam hukuman mati. Pemberian suntik mati dilakukan setelah diagnosa dokter dan pemeriksaan medis intensif menunjukan keharusan untuk menghilangkan nyawa pasien.30
Keputusan melakukan euthanasia dilakukan untuk menghilangkan penyakit dan penderitaan pasien, disamping untuk menghindari penyebaran penyakit yang akan menular kepada banyak orang. Selain itu, euthanasia dilakukan dengan alasan bahwa harapan untuk sembuh secara medis dan tidak
28
M. Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, ( Jakarta; EGC, 1999), 106
29
Ibid., 106
30
(32)
25
ada lagi, sehingga biaya untuk pengobatan terbuang dengan percuma. Beberapa penyakit berat seperti kanker maupun leukemia merupakan beberapa penyakit yang sulit diobati, sehingga sangat berpotensi menjadi alasan tindakan
euthanasia. 31
Alasan juga berhubungan dengan pemberian perhatian kepada pasien yang masih memiliki harapan disembuhkan, sehingga banyak pasien lain yang bisa diselamatkan dan tidak terganggu oleh pasien yang menderita penyakit berat. Pelaksanaan euthanasia itu sendiri mengacu pada hasil diagnosa kedokteran dan izin dari pengadilan, dengan menunjukan bukti-bukti yang bisa melegalisasi tindakan euthanasia.32
Dalam kode etik kedokteran di Indonesia, setiap dokter memiliki kewajiban untuk terus berusaha melindungi dan mempertahankan hidup makhluk insani (pasien). Dalam kondisi apapun nyawa dan kehidupan manusia tetap harus dipertahankan dengan menerapkan berbagai perawatan dan perlakuan medis kepada pasien hingga pada titik akhir menjelang kematian. Dengan demikian hak pasien untuk mendapat perawatan medis hingga tuntas, sampai pada akhirnya meninggal secara alamiah.
Berdasarkan kode etik kedokteran di atas, maka seorang dokter tidak bisa melakukan tindakan euthanasia dalam kondisi apapun. Ia berkewajiban untuk terus melakukan tindakan medis hingga akhirnya pasien mati secara wajar,
31
Ibid., 107
32
Nur Jannah, dalam http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Eutanasia.html diakses pada tanggal 10 September 2008
(33)
26
bukan dengan tindakan kesengajaan menghilangkan nyawa manusia. Pembunuhan untuk alasan menghilangkan penderitaan pasien dan penyebaran penyakit merupakan tindakan yang melanggar kode etik kedokteran. Euthanasia
dalam pandangn kode etik kedokteran tersebut hanyalah sebuah tindakan lepas tangan atas tanggung jawab medis dan kemanusiaan untuk menyelamatkan kehidupan manusia.
Selain itu euthanasia yang dilakukan melalui diagnosa medis semata bisa membuka jalan bunuh diri. Bisa jadi, dengan mengacu pada suatu kasus euthanasia, pihak-pihak yang berkepentingan akan kematian seseorang akan dengan mudah melaksanakan niatnya.33 Sesuai dengan kode etik kedokteran, maka seorang dokter harus mempertahankan nyawa manusia dari tindakan bunuh diri, karena penghormatan terhadap hak hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam kondisi ini, dokter mimiliki kesempatan dan kewenangan untuk memberikan harapan hidup kepada pasien dengan melakukan perawatan yang intensif, sungguh-sungguh dan ikhlas, sehingga pasien kembali menemukan semangat untuk bertahan hidup. Kesetabilan mental pasien menjadi salah satu bagian dari terapi psikologis dalam dunia kedokteran untuk normalisasi fungsi saraf.34
33
M. Yusuf Hanafilah & Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, ( Jakarta; EGC, 1999), 13
34
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2004/09/22/brk,20040922-24,id.html diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:15 WIB
(34)
27
Sedangkan keputusan dokter untuk mengabulkan permintaan pasien merupakan tindakan yang membuka peluang pembunuhan, karena dengan ijin tersebut, maka pembunuhan akan terjadi melalui euthanasia. Euthanasia tanpa seijin pengadilan bisa dikategorikan dalam sebuah pembunuhan, mengingat tindakan ini akan menghilanghakan nyawa pasien yang kemungkinan masih bisa bertahan hidup dengan perawatan dalam jangka waktu yang masih lama.
Harapan hidup yang masih tersisa ini menjadi terbuang sia-sia, akibat keputusan yang tergesa-gesa sehubungan dengan status medis pasien. Berkaitan dengan kode etik kedokteran, secara moral dokter dan tenaga medis lainnya memiliki tugas dan kewajiban untuk bersikap professional dalam melakukan perawatan terhadap pasien, bersikap tulus ikhlas dalam melayani pasien serta berkonsultasi dengan dokterlain dalam penanganan pasien.
Selain itu, dokter juga perlu memberikan kesempatan kepada pasien untuk berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadah. Konsultasi dengan dokter lain dilakukan untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan lain berhubungan dengan harapan kesembuhan dan harapan hidup yang mungkin tidak bisa ditemukan oleh dokter yang bersangkutan. Bila hasil konsultasi antar dokter tetap sama, maka tindakan apapun bisa dilakukan, dengan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara konsultasi dengan keluarga dan penasehat merupakan dukungan moral bagi pasien untuk bertahan dalam kondisi terancam oleh penyakit.
(35)
28
Euthanasia melalui diagnosa dokter bisa berdampak negatif, yakni
membuka peluang bagi pelanggaran hukum. Bukti medis bisa dijadikan alat bukti bagi pengadilan untuk mengabulkan permohonan euthanasia, karena dokter merupakan saksi ahli dalam proses pengadilan. Dengan bukti dan kesaksian ahli, pihak yang menghendaki kematian pasien dengan sangat mudah memperoleh ijin pengadilan, sehingga nyawa manusia tidak lagi berharga. Kemudahan dalam pengmbilan tindakan euthanasia akan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi medis, rumah sakit maupun dunia kedokteran secara umum. Lembaga kesehatan yang diharapkan bisa menjadi benteng untuk mempertahankan kehidupan manusia tidak lagi dipercaya, karena justru di lembaga ini, hak hidup tidak dihormati.35
B. Macam-Macam Pembunuhan Euthanasia Dalam KUHP
Pada umumnya euthanasia diklasifikasikan dalam dua jenis, yakni
euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Namun demikian, beberapa pakar dan
penulis memberikan penjelasn yang berbeda mengenai dua jenis euthanasia
tersebut. Masing-masing perbedaan terletak dalam mendefinisikan terminology
euthanasia pasif. Sebagaian memberikan pengertian bahwa euthanasia pasif
merupakan euthanasia yang dilakukan dengan cara membiarkan pasien tanpa perawatan, sementara yang lainnya mengemukakan bahwa pasien mengalami penghentian proses perawatan dengan alasan kekurangan tenaga teknik dan alat
35
(36)
29
medis yang sesuai dengan penyakit pasien. Prof. Suparovic mengungkapkan kalsifikasi euthanasia sebagai berikut:36
1. Euthanasia pasif, yakni mempercepat kematian dengan cara menolak
memberikan pertolongan medis, atau menghentikan proses perawatan medis yang sedang berlangsung, misalnya dengan memberikan antibiotik pada penderita radang paru-paru berat (pneumonia) pemberian obat-obatan (drugs) dengan dosis tinggi dilakukan untuk mempercepat proses penghentian fungsi anatomi tubuh yang mendukung kehidupan manusia.
2. Euthanasia aktif yakni mempercepat kematian dengan mengambil tindakan
yang baik secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kematian, misalnya dengan memberikan tablet sianida atau menyuntikan zat-zat yang mematiakan kepada tubuh pasien. Tindakan ini langsung ditujukan untuk membunuh pasien, seperti halnya pada hukuman suntik mati, tindakan ini terkesan memperlakukan pasien sebagai pelaku tindak kriminal.
3. Euthanasia sukarela yakni mempercepat kematian atas persetujuan atau
permintaan pasien. Adakalanya permintaan tersebut tidak perlu dibuktikan dengan bukti secara tertulis, selama ada saksi sebagai bukti lain.
4. Euthanasia tidak sukarela (involuntary) yakni mempercepat kematian tanpa
persetujuan atau permintaan pasien. Bahkan bisa jadi bertentangan dengan kehendak pasien.
36
Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, (Jakarta; EGC, 2007), 184-185
(37)
30
5. Euthanasia nonvoluntary yakni mempercepat kematian atas sesuai dengan
keinginan pasien yang disampaikan melalui pihak ketiga, misalnya keluarga, atau atas keputusan pemerintah. Biasanya terjadi pada kasus penderita penyakit menular. Demi untuk memusnahkan endemik penyakit atau membatasi virus, maka seseorang berpenyakit menular harus dibunuh, sehingga orang-orang di sekitarnya tidak tertular penyakit yang diderita pasien. Secara medis tindakan ini menjadi sah tanpa memperhatikan sisi kemanusiaan, karena pandangan bahwa endemik penyakit bisa muncul pada setiap tubuh makhluk hidup. Frans Magnis Suseno menggolongkan
euthanasia ke dalam tiga kelompok, yaitu :37 a) Euthanasia pasif yaitu
mempercepat kematian dengan alasan tidak semua tekhnik kedokteran bisa memperpanjang kehidupan manusia. b) Euthanasia tidak langsung, yakni usaha memperingan kematian dengan efek samping bahwa pasien barangkali bisa meninggal lebih cepat, termasuk dengan memberikan narkotika dan obat-obatan terlarang, hipnotika dan analgetika, walaupun dilakukan dengan tidak sengaja. c) Euthanasia aktif, yakni proses kematian dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung tindakan menghilangkan nyawa.
37
(38)
31
Sementara itu, Lumerton J.P mengklasifikasikan euthanasia dalam beberapa bagian yang pada intinya adalah pembunuhan dan pernyataan kematian, yaitu ;38
a. Membiarkan seorang mati, yakni membiarkan terjadinya kematian karena pasien tidak lagi memerlukan perawatan lebih lanjut, karena tidak berharap bisa sembuh.
b. Kematian belas kasihan (mercy death), yakni pembunuhan yang dilakukan karena pasien meminta untuk menghentikan kehidupannya.
c. Pembunuhan belas kasihan (mercy killing), yakni tindakan pembunuhan melalui keputusan medis untuk mengakhiri kehidupan pasien, dengan atau tanpa persetujuan dari pihak pasien maupun pihak lain secara sukarela.
d. Kematian otak (brain death), yakni pernyatan kematian secara medis akibat otak tidak berfungsi lagi untuk mengatur denyut kehidupan manusia. Hasil diagnosa terhadap fungsi otak ini merupakan keputusan final dengan asumsi bahwa tidak ada indikasi lain yang lebih meyakinkan, selain otak yang tidak berfungsi.
Berdasarkan klasifikasi di atas, klasifikasi euthanasia pada intinya mengacu pada dua jenis tindakan dengan masing-masing ciri dan asumsi berbeda yaitu;39 Pertama; Euthanasia pasif, yakni euthanasia yang dilakukan dengan cara membiarkan seseorang yang dalam kondisi terkena penyakit, tidak mendapatkan
38
Soerjono Sukanto, Segi-Segi Hukum dan Kewajiban Pasien Dalam Kerangka Hukum Kesehatan,
(Bandung; Mandar Maju, 1990), 45-47
39
(39)
32
perawatan sebagaimana pasien seharusnya dirawat. Perlakuan ini dilakuklan secara sengaja untuk mempercepat terjadinya kematian, misalnya untuk penderita kanker akut yang sudah dianggap sudah tidak bisa disembuhkan. Tindakan inipun dilakukan melalui prosedur pemeriksaan dan diagnosa kedokteran. Jika secara medis pasien dipandang tidak memiliki harapan sembuh, maka tindakan
euthanasia dilakukan dengan terlebih dahulu meminta persetujuan dari
pengadilan. Kedua; Euthanasia aktif, yaitu tindakan pembunuhan yang dilakukan dengan cara menghilangkan nyawa seseorang secara langsung tertuju pada kematian, melalui suntikan atau pemberian obat-obatan yang mematikan. Tindakan ini jelas-jelas bertujuan untuk membunuh pasien secara langsung, tanpa proses yang lama. Tujuan lain dari tindakan ini adalah mempercepat proses penghentian penderitaaan, dengan asumsi bahwa kematian merupakan jalan terakhir untuk mengakhiri penderitaan dan penyebaran penyakit.
Tindakan euthanasia dilakukan, karena penderitaan akibat penyakit yang sulit disembuhkan. Pilihan untuk melakukan euthanasia diambil, setelah hasil perawatan pasien tidak menunjukan jalan lain untuk menghilangkan penderitaanya, tindakan itu sendiri tidak dilakukan serta merta atau secara sembarangan, melainkan sebagai akibat dari beberapa sebab sebagai berikut : 1. Kondisi pasien. Kondisi ini dapat diklasifikasikan pada beberapa kondisi
yakni :40
40
Lutfi As-Syaukani, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fiqh Kontemporer, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1998), 179
(40)
33
a. Ketidakmampuan pasien untuk bertahan terhadap penderitaan, yakni ketidakmampuan untuk mengatasi rasa sakit akibat penyakit berat, rasa sakit yang luar biasa dan ketakutan terhadap cacat.
b. Kekhawatiran pasien terhadap beban ekonomi yang tinggi dari biaya pengobatan karena untuk penyakit-penyakit yang sulit disembuhkan biaya pengobatannya sangat tinggi, bahkan tidak terjangkau oleh kalangan masyarakat bawah. Bila perawatan terus dibiarkan, maka biaya semakin berat ditanggung oleh pihak keluarga, sementara harapan untuk sembuh atau hidup pasien sangat tipis, bahkan tidak ada.
c. Ketakutan pasien terhadap derita menjelang kematian, karena beban derita fisik dan psikologis sangat berat, sehingga ada kesan bahwa proses menuju mati akan sangat sulit dan menyakitkan. Bila ini dibiarkan, maka diasumsikan bisa terjadi gangguan jiwa pasien.
2. Situasi tenaga medis. Terjadinya tindakan euthanasia bisa juga didasari oleh situasi tenaga medis yaitu;41
a. Tenaga medis memandang proses pengobatan sudah tidak efektif, yakni sudah melalui proses pengobatan dalam jangka waktu lama, tetapi kondisi pasien belum menunjukan perubahan. Hal ini dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari mal praktek yang bisa dituduhkan kepada tenaga medis.
41
Crisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, (Jakarta; EGC, 2007), 188
(41)
34
b. Perasaan kasihan terhadap penderitaan pasien, biasanya muncul dari pihak keluarga, mengingat kondisi pasien yang sulit diobati, kondisinya akan sangat menyedihkan dan mengingat pula penderitaan luar biasa yang akan dialami oleh pasien dalam jangka waktu yang panjang.
c. Tenaga medis mengabulkan permintaan pasien atau keluarga untuk menghentikan pengobatan, penghentian ini dilakukan karena tenaga medis memiliki pandangan bahwa pihak keluarga sudah tidak bisa lagi bersabar atas waktu pengobatan yang lama.
Berdasarkan sebab-sebab yang diuraikan diatas, kematian yang bersifat sukarela ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan, tetapi harus benar-benar sebagai sebuah alternative final dan mendapat legalitas hukum yang ditempuh melalui jalur peradilan. Bila pengadilan yang mengijinkan tindakan euthanasia, maka tindakan pembunuhan ini menjadi legal dan mendapat legalitas secara hukum. Namun perlu juga diteliti tentang latar belakang pengajuan permohonan, bisa jadi ada motif kejahatan di balik permohonan euthanasia, misalnya sengketa warisan, dengan maksud melancarkan maksud pemohon.
C. Sanksi Hukuman Euthanasia Dalam KUHP
Tindakan-tindakan untuk melakukan pembunuhan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan perundang-undangan perihal pencabutan
(42)
35
nyata atas permintaan, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia masih dianut sebagai akibat berlakunya asas konkordansi. Di alam KUHP masalah tersebut diatur tersendiri dalam bab “kejahatan” yang ditujukan terhadap jiwa manusia. Sudah barang tentu yang dibahas adalah dengan sengaja membunuh orang. Dari istilah kejahatan dengan sengaja ini mengalami deferensi 2 (dua) arah:42
1. Dengan sengaja merampas nyawa seseoang dengan memperberat pidana; 2. Dilakukan dengan keadaan tertentu yang bisa meringankan hukumannya.
Sebelumnya melanjutkan bahasan aspek pidana dari euthanasia, maka penulis kutip beberapa pasal yang berkaitan dengan kejahtan terhadap nyawa dan badan. Diantara pasal-pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :
Dalam Pasal 338 KUHP. “Barang siapa denan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan, dengan hukuman penjara
selama-lamanya 15 tahun”. Pasal 340 KUHP. “Barang siapa sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun”. Sedangkan dalam Pasal
344 KUHP. “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Pasal 345 KUHP. “Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu,
42
(43)
36
atau memberikan daya upaya kepadanya untuk itu, maka jika orang itu jadi membunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya 4 bulan”.43
Pasal 359 KUHP. “Barang siapa Karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara lamanya 5 tahun atau kurungan
selama-lamanya 1 tahun”. Pasal 351 KHUP. “Barang siapa menyaksikan diri orang di dalam keadaan bahaya maut, lali memberikan atau mengadakan pertolongan kepadanya sedang pertolongan itu dapat diberikannya atu diadakannya dengan tidak akan menguatirkan, bahwa ia sendiri atau orang lain akan kena bahaya dihukum kurungan selama-lamanya 3 blan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,- jika orang yang perlu ditolong itu mati”.
Pasal 304 KUHP. “Barang siapa dengan sengaja
menyebabkan/membiarkan oran gdalam kesengsaraan, sedangkan ia wajib member kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-banyakntya Rp. 4.500,”.44 Pasal 8
KUHP. “Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa olehsesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum”.45
Untuk melengkapi kajian ini penulis kutipkan pula pasal-pasal di dalam RUU-KUHP yang ada kaitannya dengan masalah euthanasia. Hal ini
43
R.Soesila, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lengkap dengan Komentarnya), (Bogor, Politis, 1991), 240-243.
44
Ibid, 340
45
(44)
37
sebagai pembanding ketentuan hukum yang berlaku dengan yang akan dating. Adapun pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 32 (48 KUHP).
“Barang siapa melakukan tindak pidana dalam keadaan darurat tidak dipidana”.
Pasal 42 (48 KUHP). “Barang siapa melakukan tindak pidana karena daya paksa tidak dipidana”. Pasal 443 ayat 1 (338 KUHP). “Barang siapa merampas nyawa
orang lain, ia dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling rendah 3 tahun”. Pasal 445 (344 KUHP). “Barang siapa merampas nywa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati atau atas permintaan keluarga dalam hal orang itu sendiri tidak sadar dipidana dengan pidana penjara paling lama 9
tahun”.
Pasal 448 (345 KUHP). “Barang siapa mendorong orang lain untuk
bunuh diri, menolongnya perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak katagori IV, kalau orang itu mati karena jadi bunuh diri”. Pasal 458 ayat 3 (359
KUHP). “Barang siapa karena kealpaan menyebabkan orang lain mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun an paling rendah 1 tahun atau denda
paling banyak katagori IV”. Pasal 413 (531 KHUP). “Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak member pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan
(45)
38
bahaya bagi dirinya sendiri atau orang lain, dipidana, jiak kemudian orang itu meninggal, dengan denda paling banyak katagori IV”.46
Dengan memperhatikan rumusan pasal-pasal KUHP serta yang ada di dalam RUU-KUHP akan dapat diketahui denan jelas tentang euthanasia dalam pengaturannya di dalam hukum positif Indonesia (KUHP) maupun di dalam KUHP kita mendatang. Dalam dunia kedokteran upaya mempercepat kematian seorang pasien yang sudah dalam kondisi koma (sekarat) ini dikenal 2 (dua) macam cara:47 Pertama, dengan memberikan obat atau suntikan yang bisa mempercepat kematian pasien (penderita). Tindakan ini juga bisa dilakukan baik karena permintaan pasien sendiri atau keluarganya ataupun karena ada penawarand ari dokter yang sedang menanganinya. Cara tersebut dikenal sebagai
euthanasia aktif; Kedua, dengan sengaja membiarkan pasien tersebut begitu saja,
tanpa memberikan bantuan perawatan dan pengobatan apapun. Pasien dibiarkan sampai meninggal dengan sendirinya. Tindakan ini bisa terjadi karena permintaan pasien sendiri atau keluarganya gar tidak dilakukan pengobatan lagi.cara ini disebut euthanasia pasif.
Bila meperhatikan pada pengerian euthanasia aktif, yaitu menghentikan kehidupan pasien secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya, maka jelas perbuatan tersebut dapat dinyatakan sebagai melanggar pasal 340 KUHP setidak tidaknya pasal 338 KUHP. Hal ini
46
Departemen Kehakiman RI, Naskah Rancangan KUHP (baru), 1993, 141-149
47
(46)
39
disebabkan perbuatan tersebut memnuhi rumusan unsur-unsur di dalam pasal 340 KUHP yaitu :
1) Adanya unsur perencanaan;
2) Adanya akibat berupa hilangnya nyawa orang lain;
3) Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara melawan hukum baik secara formil (melanggar undang-undang) maupun materiil (melawan kepatutan yang berlaku/dianut masyarakat dan etika kedokteran).
Sedangkan bentuk euthanasia pasif, secara yuridis masih terjadi problematika untuk dapat tiaknya dituntut berdsarkan pasal-pasal yang ada di KUHP. Pada euthanasia ini (pasif) sebenarnya juga ada tindakan / aktifitas dari
dokter dalam bentuk sikap “mendiamkan”, dengan tidak melakukan upaya
pengobatan lagi terhadap pasiennya yang sedang mendrita sakit. Sikap mendiamkan itu berupa tidak mengadakan upaya lagi tindakan pengobatan disebabkan dokter sudah sampai pada suatu kesimpulan kalupun diadakan upaya dengan melanjutkan pengobatan tersebut akan memawa pengaruh terhadap kondisi pasiennya.
Dalam hal setelah dokter melakukan segala kemampuannya dalam melakukan pengobatan tidak membawa hasil, sedangkan kondisi pasien sangat menderita akibat penyakitnya, dan tidak ada harapan untuk disembuhkan, maka dokter mengambil sikap (mungkin dengan persetujuan pasien/keluarganya) untuk melakukan tindakan mempercepat kematian pasiennya. Berkenaan dengan hal itu,
(47)
40
beberapa informan (dokter) yang menjadi responden penelitian di RSI UNISMA dapat diambil kesimulan bahwa, dokter tidak diperkenankan melakukan euthanasia baik euthanasia aktif maupun pasir. Sebab hal tersebut bertentangan dengan sumpah dokter dank ode etik kedokteran.48
Pendapat senada disampaikan oleh seoran dokter yang ada di Rumah Sakit Umum (RSU) Saiful Anwar bahwa dokter tidak diperkenankan untuk melakukan euthanasia baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasir. Bila para dokter melakukan euthanasia (mempercepat kematian) berarti para dokter telah melanggar kode etik dan sumpah dokter. Sebab para dokter dituntut dan berkwajiban untuk mengobati atau merawat sang pasien sampai hembusan nafas terakhir. Dan sebagai manusia beragama masih berpendapat bahwa yang menentukan kematian manusia adalah Tuhan Yang Maha Esa.49
Berkenaan dengan hal itu pula, psikiater RSU Saiful Anwar mengatakan, dokter seharusnya tidak meluluskan permintaan tersebut. Sebab hal itu bertentangan dengan sumpah dokter, yaitu dokter harus menghormati kehidupan manusia dan sekaligus bertentangan dengan ajaran agama Islam, karena masalah kehidupan dan mati ada yang mengaturnya, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu dokter harus berusaha mencari sebab-sebabnya (penyebab penyakit). Kalau sudah ditemukan lalu diberi penenang 9 obat untuk
48
Wawancara, tanggal 6 Juni 2015
49
(48)
41
meringankan penderitaan/obat untuk menghilangkan rasa sakitnya). Dan yang terakhir diberi motivasi:
a) Langsung kepada sipasien dengan melalui pendekatan keagamaan bahwa perbuatan tesebut sangat dimurkai Tuhan;
b) Pendekatan melalui bantuan keluarga, yaitu untuk meyakinkan pasien tersebut.
Sedangkan faktor penyebab dilakukannya euthanasia adalah : 1) Akiba adanya penyakit yang dasyat;
2) Ekonomi, sebab biaya pengobatan yang harus dikeluarkan sering juga memepengaruhi factor permintaan.
Jadi tidak ada alasan bagi dokter untuk mempercepat kematian. Ada suatu pandangan, bahwa tindakan yang diambil dokter itu merupakan suatu tindakan darurat, karena tindakannya tidak dapat dipidana sesuai dengan pasal 48 KUHP (sebagai alas an penghapus pidana). Dari hasil wawancara seorang dokter RSI Unisma Malang dapat diperoleh kesimpulan bahwa tindakan dokter tersebut tidak bisa dikategorikan dengan tindakan darurat seperti dimaksud dalam pasal 49 KUHP. Oleh karenanaya tindakan darurat dalam ilmu kedokteran adalah memberi pertolongan untuk menyelamatkan jiwa si pasien atau dengan mencegah kerusakan lebih lanjut dari organ-organ tubuh lainnya. Sedangkan tindakan darurat yang dimaksud pasal 48 KUHP itu dapat terjadi kalau dalam keadaan:50 1) Adanya benturan antara dua kemungkinan hukum;
50Masruchin Ruba‟I,
(49)
42
2) Adanya benturan antara kepentingan hukum dengan kwajiban hukum; 3) Adanya benturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum.
Dalam hal terjadi seperti dimaksud dalam butir I dan 2 plaku memilih untuk mengutamakan kepentingannya daripada kepentingan orang lain atau dari pada melakukan kewajiban untuk orang lain. Sedangkan pada buti 3 pelaku lebih memilih salah satu kewajiban daripada melaksanakan untuk memenuhi dua kewajiban yang mana tidak mungkin dilaksanakan.51
Dari bunyi pasal 344 KUHP dapat disimpulkan, bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alas an atas permintaan si korban sendiri. Pembunuhan yang diancam oleh pasal 344 KUHP memiliki sifat ketergantungan pada pihak lain. Terjadinya pembunuhan ini memang agak spesifik, karna pembunuhan itu terjadi justru karena atas permintaan orang yang terbunuh sendiri.52
Pasal 345 KUHP mengisaratkan pembunuhan yang dilakukan tersebut bersifat tidaklangsung karena sebenarnya yang melakukan pembunuhan adalah terbunuh sendiri. Sedangkan orang yang terancam pasal ini hanyalah sekedar memotivisir saja.53
Dari tiga pasal (340, 344 dan 345 KUHP) serta pasal-pasal lain yang tercantum dalam KUHP mengenai tindak kejahatan terhadap nyawa dapat diambil
51
Ibid., 84
52
Ibid., 84
53
(50)
43
pengertian induktif bahwa segala bentuk pembunuhan, baik dilakukan oleh siapapun dan dengan cara apapun yang dilakukan sengaja, tetapi diancam dengan pidana kecuali jika pembunuhan itu terjadi karena pembelaan. Analisis berikut ini akan memaparkan dapat tidaknya pasal-pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (terutama tiga pasal di atas) diterapkan pada tindakan euthanasia.54
Apalagi tindakan euthanasia yang dengan sadar dan sengaja seorang dokter melakukannya. Dengan demikian pasal-pasal tentang kejahatan terhadap nyawa sebagaimana tertera dalam KUHP kiranya dapat diteerapkan disini (dalam masalah euthanasia). Adapun penerapan pasal-pasal tersebut secara rinci adalah sebagai berikut:55
a. Pasal 340 KUHP, yaitu tentang ancaman terhadap pembunuhan berencana dapat diterapkan pada tindakan atas inisiatif dokter sendiri yang sedang meanngani pasien itu;
b. Pasal 344 KUHP tentang ancaman terhadapp embunuhan yang terjadi karena perminataan koraban (terbunuh) dapat diterapkan pada tindakan euthanasia atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya (euthanasia aktif);
c. Pasal 345 KUHP tentang ancaman pidana terhadap seseorang yang dengan sengaja mendorong dan atau membantu orang lain untuk bunuh diri dapat diterapkan apda euthanasia yantg dianjurkan atas anjuran dokter yang besangkutan.
54
Ibid., 86
55
(51)
44
Di sini dibedakan antara euthanasia aktif dan pasif, yang hakikatnya pengertian tersebut adalah membunuh. Hanya saja pada euthanasia pasif agak terselubung karna sulit dibuktikan. Apakah seorang doker mempunyai maksud agar pasiennya segera meninggal dunia. Sedang pada euthanasia aktif lebih mudah dibuktikan oleh pihak lain (dalam hal ini yang berwajib) karena dengan bantuan alat pendeteksi akan dapat diketahui apakah dokter telah memberikan obat atau suntikan kepada pasiennya yang berakibat meningalnya pasien itu atau tidak.
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa, pasal euthanasia baru boleh diterapkan apabila sudah diketahi akan dilakukan pengakhiran kehidupan yang tidak alamiah setelah ada permintaan dari yang bersngkutan, yang diajukan secara tegas dan sungguh-sungguh. Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka tindakan yang dilakukan dengan sengaja terhadap kehidupan seseorang secara teknis perundang-undangan menilai sebagai pembunuhan doodslag.
Peraktek euthanasia tersebut telah sering dilakukan di dunia Barat (Negara bagian Amerika) yaitu Cana. Bahkan telah banyak pula diantara mereka yang sempat di ajukan ke meja hijau untuk diadili. Itulah sebabnya sebelum mereka melakukan praktek euthanasia terlebih dahulu mereka mengadakan perjanjian dengan keluarga pihak pasien dengan maksud untuk memperoleh legalitas agar mereka terhindar dari tuntutan. Di Indonesia, baik menurut hukum maupun sumpah dokter dan etika kedokteran, euthanasia tidak diperbolehkan.
(52)
45
Selama ini belum pernah terdengar adanya kasus euthanasia di glar di Pengadilan, tetapi hal ini bukan berarti bahwa kasusu euthanasia tidak pernah dihadapi oleh para dokter.56
56
Djoko Prakoso, SH., dan Djaman Andhi Nirwanto, SH., Euthanasia (Hak Asasi Manusia dan Hak Pidana), (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984), . 63.
(53)
46
BAB III
HUKUM PIDANA QISHASH
A. Pengertian Qishash (Pembunuhan)
Di dalam hukum pidana Islam perbuatan yang dilarang oleh syara‟
biasa disebut dengan jarimah , sedangkan hukumannya disebut dengan uqubah . Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishas dan diyat serta jarimah ta‟zir.57Jarimahhudud merupakan jarimah yang diancam dengan hukuman had, sedangkan jarimah qishas dan diyat merupakan jarimah yang diancam dengan hukuman qishas atau diyat, dan jarimah
ta‟zir merupakan jarimah yang diancam dengan hukuman ta‟zir . Perbedaan dari ketiga jarimah itu adalah jika hukuman had merupakan hak Allah sepenuhnya sedangkan qishas dan diyat serta ta‟zir merupakan hak individu ( hak manusia ). Jarimah pembunuhan termasuk kedalam jarimah qisas dan diyat karena terdapat hak individu disamping hak Allah SWT. Setiap jarimah harus mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi yaitu;58
1. Nas yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman terhadapnya, dan unsur ini biasa disebut dengan Unsur Formil
57
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), IX
58
(54)
47
2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata ataupun sikap tidak berbuat, dan unsur ini biasa disebut dengan Unsur Materiil .
3. Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggunganjawab terhadap jarimah yang diperbuatnya, dan unsur ini biasa disebut dengan Unsur Moriil
Tindak pidana pembunuhan termasuk kedalam ketegori jarimah qisas
dan diyat. Dalam bahasa arab, pembunuhan disebut (qotl) yang sinonimya (amat)
artinya mematikan. Para ulama mempunyai definisi yang berbeda-beda walaupun kesimpulannya sama yaitu tentang menghilangkan nyawa orang lain. Berbagai
ulama‟ yang mendefinisikan pembunuhan dengan suatu perbuatan manusia yang
mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Yang pertama adalah didefiniskan oleh Wahbah Al-Zuhayliy yang mengutip pendapat Khatib Syarbini sebagai
berikut ”Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang”, Selain itu Abdul Qadir Al-Audah menerangkan bahwa pembunuhan adalah perbuatan seseorang yang menghilangkan kehidupan, yang berarti menghilangkan jiwa anak adam oleh perbuatan anak adam yang lain.59
Sedangkan menurut Ahmad Wardi Muslich definisi pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang mengakibatkan hilangnya
59
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Editor, diterjemahkan oleh Muhammad,Ahsin Sakho Dari ”At Tasri Al Fiqh Al Jian‟I ”, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2008), 177
(55)
48
nyawa, baik perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.60 Pengertian jarimah pembunuhan menurut Zainudin Ali dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana Islam adalah suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dan atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan/atau beberapa orang meninggal dunia.61 Jadi, banyak sekali pengertian-pengertian yang dapat ditarik kesimpulan bahwa pembunuhan itu merupakan aktifitas menghilangkan nyawa orang lain yang dapat dilihat dari berbagai aspek tinjauan hukum.
B. Macam-Macam Pembunuhan
Tidak semua tindakan kejam terhadap jiwa membawa konsekuensi untuk hukum Qishas. Sebab, diantara tindakan kejam itu ada yang disengaja, ada yang menyerupai kesengajaan, ada kalanya kesalahan, dan ada kalanya diluar itu semua. Jarimah Qishas dan Diyat sebenarnya dibagi menjadi dua, yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Para fuqahapun membagi pembunuhan dengan pembagian yang berbeda-beda sesuai dengan cara pandang masing-masing. Tetapi apabila dilihat dari segi sifat perbuatannya pembunuhan dapat dibagi lagi menjadi tiga, yaitu:62
a. Pembunuhan Disengaja (amd),
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan untuk membunuh orang lain dengan menggunakan alat yang dipandang layak untuk
60
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 137
61
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 24
62
(56)
49
membunuh. Sedangkan unsur-unsur dari pembunuhan sengaja yaitu korban yang dibunuh adalah manusia yang hidup, kematian adalah hasil dari perbuatan pelaku, pelaku tersebut menghendaki terjadinya kematian.63
Dalam hukum Islam pembunuhan disengaja termasuk dosa paling besar dan tindak pidana paling jahat. Terhadap pelaku pembunuhan yang disengaja pihak keluarga korban dapat memutuskan salah satu dari tiga pilihan hukuman yaitu qishas, diyat, atau pihak keluarga memaafkannya apakah dengan syarat atau tanpa syarat.64 Selain itu pembunuhan sengaja akan membawa akibat selain dari tiga hukuman tersebut yaitu dosa dan terhalang dari hak waris dan menerima wasiat.
b. Pembunuhan semi sengaja ( syibulamd )
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja tetapi tidak ada niat dalam diri pelaku untuk membunuh korban. Sedangkan unsur-unsur yang terdapat dalam pembunuhan semi sengaja adalah adanya perbuatan dari pelaku yang mengakibatkan kematian, adanya kesengajaan dalam melakukan perbuatan, kematian adalah akibat perbuatan pelaku.65 Dalam hal ini hukumannya tidak seperti pembunuhan sengaja karena pelaku tidak berniat membunuh. Hukuman pokok dari pembunuhan semi sengaja selain dosa karena ia telah membunuh seseorang yang darahnya diharamkan Allah dialirkan, kecuali karena
63
Ahmad Wardi muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 141
64
Ali, Zainudin, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 127
65
(57)
50
haq ( Alasan syari‟ ) adalah diyat dan kafarat, dan hukuman penggantinya adalah
ta‟zir dan puasa dan ada hukuman tambahan yaitu pencabutan hak mewaris dan pencabutan hak menerima wasiat.66
c. Pembunuhan tidak disengaja (khata)
Yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan tidak ada unsure kesengajaan yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia. Sedangkan unsur-unsur dari pembunuhan karena kesalahan yaitu sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Al Audah ada tiga bagian, yaitu adanya perbuatan yang mengakibatkan matinya korban, perbuatan tersebut terjadi karena kesalahan pelaku, antara perbuatan kekeliruan dan kematian korban terdapat hubungan sebab akibat. Hukuman bagi pembunuhan tersalah hampir sama dengan pembunuhan menyerupai sengaja yaitu hukuman pokok diyat dan kafarat, dan
hukuman penggantinya adalah ta‟zir dan puasa dan ada hukuman tambahan yaitu
pencabutan hak mewaris dan pencabutan hak menerima wasiat.
C. Hukuman Pembunuhan
Pembunuhan dalam syariat Islam diancam dengan beberapa macam hukuman, sebagian hukuman pokok dan dan pengganti. Berikut ini akan dijelaskan macam-macam hukuman bagi tindak pidana pembunuhan menurut hukum pidana Islam.
66
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Diterjemahkan Oleh Ahsin Sakho Muhammad dkk dari “Al tasryi‟ Al-jina‟I Al-Islami”, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2008), 338
(58)
51
a. Hukuman Qishas
1) Pengertian Qishas
Qishas dalam arti bahasa adalah menyelusuri jejak. Selain itu qishas
dapat diartikan keseimbangan dan kesepadanan. Sedangkan menurut istilah syara,
Qishash adalah memberikan balasan yang kepada pelaku sesuai dengan
perbuatannya. Karena perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah menghilangkan nyawa orang lain ( membunuh ), maka hukuman yang setimpal adalah dibunuh atau hukuman mati.
2) Dasar Hukum Qishash
Dasar dari hukuman qishas dalam jarimah pembunuhan yaitu
Al-Qur‟an surat Al Baqaarah ayat 178 dan al maaidah ayat 45 yang telah tercantum
dalam halaman diatas. Selain dari dua ayat tersebut dasar hukum dari hukum qishash juga terdapat dalam Al-Qur‟an surat Al Baqaarah ayat 179 yang berbunyi:67
قّتت ْ ّ ع ْ ْْ أ ح ص صقْ ف ْ
Artinya : Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Haiorang -orang y ang berakal, supaya kamu bertakwa. (QS. Al Baqaarah 179).
Selain itu hukuman Qishash ini dijelaskan dalam hadits An-Nas‟i yang berbunyi : Al Harits bin Miskin berkata dengan membacakan riwayat dan saya mendengar dari Sufyan dari 'Amru dari Mujahid dari Ibnu Abbas, dia berkata; dahulu pada Bani Israil terdapat hukum qishas namun tidak ada diyat pada
67
(1)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
86
kasihan, di mana seharusnya dokter harus memberikan semnagat kepada pasien untuk kesembuhannya.
3. Bagi masyarakat hendaknya tidak mengikuti kejahatan euthanasia, karena masalah yang dihadapi masyarakat akan semakin kompleks dan semakin banyak pula hal-hal baru.
(2)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id DAFTAR PUSTAKA
Achadiat Crisdiono M., Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, (Jakarta; EGC, 2007)
al-Husaini Imam Taqiyuddin abi Bakr bin Muhammad, Kifayat al-akhyar fî hall ghayat al-ikhtisar, (Suarabaya: Syirkat an-Nur Asia, t.t)
Amir M. Yusuf Hanafilah & Amri, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, ( Jakarta; EGC, 1999)
Anwar Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, ( Jakarta: RM Books, 2007) ---, Dalalah al-khafiy; Dirasah Usuliyah bi Ihalat Khassah
ila-Qadiyyat al-Qatl ar Rahim, dalam jurnal Al-Jami’ah, Vol.41, No.1, 2003 As-Syaukani Lutfi, Politik, HAM, dan Isu-isu Tekhnologi dalam Fiqh
Kontemporer, (Bandung; Pustaka Hidayah, 1998)
Aseri Akh. Fauzi, Euthanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum Pidana dan Hukum Islam, dalam Problematika Hukum Kontempore, Editor oleh Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995)
Audah Abdul Qadir, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, Diterjemahkan Oleh Ahsin Sakho Muhammad dkk dari “Al tasryi‟ Al-jina‟I Al-Islami”, (Jakarta: PT Kharisma Ilmu, 2008)
Bahnasi Ahmad Fathi, al-Jaraim fî al-Islam; Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, (Kairo: Maktabah al-Wa’y al-‘Arabi, t.t)
(3)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Departemen Kehakiman RI, Naskah Rancangan KUHP (baru), 1993,
Dawud Abu, Sunan Abî Dawud, Bab Salat, IV,139
F.Tengker, Kematian yang Digandrungi: Euthanasia dan Hak Menentukan Nasib Sendiri, (Bandung: Nova, t.t)
Gunawandi, S.H, Hukum Medik (medical Law), (Jakarta; Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia, 2007)
Khallaf Abdul Wahhab, „Ilm Usul al-Fiqh,cet.Ke-12 ( Kuwait:Dar al-Qalam, 1978)
Hakim Rahmat, Hukum Pidana Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010)
Hardinal, Euthanasia dan Persentuhannya dengan Hukum Kewarisan Islam Dalam Mimbar Hukum No 6 Tahun VII, (Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996) Mawardi Ali bin Muhammad bin Habib, Al-Ahkâm al-Sulthâniyah, (Beirut: Dâr
al-Kitâb al-‘Arabi, 1380 H)
Muhyono dkk Anton M., Kamus besar bahasa Indonesia, Cet. Ke-2 ( Jakarta: Balai Pustaka, 1989)
Mulyatno, KUHP, cet. Ke-6, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996)
Muslich Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) Muslich Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004)
Musthafa Al-Maraghi, Ahmad, Tafsir Al Maraghi, (Dar Al Fikr, Bairut, Jilid II, 1966)
Mustafa dkk Ibrahim, Al-mu‟jam al-wasît, ( Teheran: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.)
(4)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Nirwanto Djoko Prakoso, SH., dan Djaman Andhi, SH., Euthanasia (Hak Asasi
Manusia dan Hak Pidana), (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984)Zuhdi Prof. Drs. H. Masjfuk, Masailul Fiqhiyah, (PT. Midas Surya Grafindo, Jakarta, 1992)
Permono Sjechul Hadi, Rekayasa Genetika dan Euthanasia dalam Pandangan Hukum Islam, (Makalah, Jakarta, 1994)
Prakoso Djoko, SH., dan Djaman Andhi Nirwanto, SH., Euthanasia (Hak Asasi Manusia dan Hak Pidana), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984)
QS. Yunus (10): 56, Al-Qur‟an dan Terjemahanya, Departemen Agama Republik Indonesi.
Ruba’I Masruchin, Hukum Pidana I, (Malang; Universitas Brawijaya, tt)
Rais Ahmad Rahmad Rosyadi dan, Formulasi Syari‟at Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006)
R.Soesila, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lengkap dengan Komentarnya), (Bogor, Politis, 1991)
Salih Abdul Ghaffâr Ibrahîm, al-Qis asfi as-Syariah al-Islamiyah: Dirasah Muqaranah, (Kairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyah, 1989)
Shihab Alwi, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama,(Bandung: Penerbit Mizan, 1997)
Supriyadi Dr. Wila Chandra Wila, S.H, Hukum Kedokteran, (Mandar Maju, Bandung, 2001),
Sukanto Soerjono, Segi-Segi Hukum dan Kewajiban Pasien Dalam Kerangka Hukum Kesehatan, (Bandung; Mandar Maju, 1990)
(5)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Waluyadi, S.H, M.H, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Jakarta; Djambatan, 2005)
Zahrah Abu, al-„Uqubah wa al-Jarimah fi al-Fiqh al-Islami, ( Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabiy)
Zainudin Ali, , Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006)
Zuhdi Masjfuk, Penderita AIDS Tidak Boleh Dieuthanasia, Dalam Mimbar Hukum No. 6 Tahun VII, (Jakarta: Ditbanpera Islam, 1996)
http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:15
http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/Eutanasia.html diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:41WIB
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2004/09/22/brk,20040922-24,id.html diakses pada tanggal 10 September 2008 pukul 19:15 WIB
(6)
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id BIODATA PENULIS
Nama : Rina Fatmawati Ar-Rani
NIM : C73210065
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat tanggal lahir : Surabaya, 15 November 1991
Alamat : jl. Kalijudan 248 RT 05 RW 06 Surabaya
Fakultas/Jurusan : Syariah/ Siyasah Jinayh
Karya Tulis : “ STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA
EUTHANASIA ANTARA TINJAUAN FIQH JINA>YAH DAN