Pengembangan Ict Dalam Pendidikan Multikultural
International Conference Proceeding
“ICT in Education For Peace”
PENGEMBANGAN ICT DALAM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL1
By
Sugeng Bayu Wahyono
Pendahuluan
My experience in several post-Cold War battlefields around the globe reveals that
a third pattern of violent conflict has emerged. This form involves not merely
political dimensions but the full spectrum of societal interaction. Rooted in
individual identification with a group, these armed struggles can be called
“identity conflicts”. No longer confined to battlefields, isolated targets, or
contested territory, the conflicts and violence now flows visibly into houses,
communities, schools, religious grounds, and communal property.
Kimberly A.
Maynard2
Apa yang digambarkan Maynard tersebut dalam sepuluh tahun terakhir ini
juga sudah mulai tampak gejalanya di Indonesia. Bahkan sejak berakhirnya rezim
pemerintahan Soeharto, ketika peran negara mengalami surut setelah lebih dari
tigapuluh tahun menjadi kekuatan hegemonik dan dominatif terhadap masyarakat,
konflik identitas yang merujuk pada etnis, ideologi, agama, dan kebudayaan terasa
semakin manifes. Masyarakat yang sebelumnya senantiasa berada pada posisi
yang terkooptasi dalam relasi negara-masyarakat, menunjukkan tanda-tanda
menguat dan secara bebas mengekspresikan identitasnya memanfaatkan ruang
publik yang telah longgar tanpa kontrol negara. Bersamaan dengan itu,
terbukannya peluang mengekspresikan identitas tersebut diikuti pula benturan
antarnilai yang menjadi landasan eksistensi identitasnya. Dengan lain perkataan,
iklim keterbukaan dan kebebasan mempunyai implikasi terhadap timbulnya
fenomena konflik identitas antarnilai, yang sebelumnya memang potensial tetapi
mampu dikendalikan secara efektif oleh kekuatan negara.
Pasca Perang Dingin juga mempunyai implikasi terhadap semakin
menguatnya konflik identitas di beberapa kawasan Asia Tenggara, terutama yang
1
Disampaikan dalam Seminar Internasional, ICT dalam Pendidikan Untuk Perdamaian,
diselenggarakan Jurusan Teknologi Pendidikan FIP UNY, Yogyakarta, 11 Mei 2011.
2
Kimberly A. Maynard, 1999, Healing Communities in Conflict: International assistance in
Complex Emergencies, New York: Colombia University Press, hal. 33-34.
1
International Conference Proceeding
“ICT in Education For Peace”
berlatar belakang agama dan identitas. Jika sebelumnya konflik lebih diwarnai
oleh pertarungan ideologi kapitalis dan komunis, sebagaimana yang terjadi di
Kamboja, Vietnam, dan Indonesia, maka pasca Perang Dingin lebih banyak
konflik bergeser ke isu agama, etnis, dan identitas budaya. Persoalan konflik di
perbatasan Thailand Selatan, Filipina Selatan, dan Indonesia bagian Timur adalah
contoh pertarungan ideologi agama. Sementara itu berbagai konflik identitas
antarperbedaan warga negara seperti kasus emigran di Malaysia, terus
menampakan gejalanya.
Bersamaan dengan itu, dalam satu dekade terakhir perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya Information and Communication
Technology
(ICT)
terus
mengalami
peningkatan
luar
biasa.
Bahkan
perkembangan ICT dewasa ini patut disebut sebagai revolusi teknologi informasi,
karena keberhasilannya memasuki semua aktivitas kehidupan manusia, tidak
hanya sebagai sumber pengaruh dari luar, namun sebagai bagian di mana segala
aktivitas manusia terjalin, sehingga dapat dikatakan ICT telah mampu
memperluas habitat manusia. Jarak fisik dan waktu menjadi semakin menyempit,
demikian pula “jarak” ekonomi, politik, social dan budaya terus mengalami
penyempitan, meskipun pengalaman keseharian manusia tetap mengakar dalam
lokalitas. Dalam situasi seperti itu antara jaringan (the net) dan diri (the self)
terjadi tarik menarik. Lingkungan ekonomi, politik, sosial, dan budaya
berkembang semakin mengglobal dan semakin terbuka sehingga sebagai
reaksinya seperti kebutuhan psikologis manusia akan identitas, lokalitas dan
familiaritas—rasa nyaman, dikenal dan diterima— juga terus meningkat.3 Dalam
keterlemaparannya di tengah proses globalisasi inilah, diri yang makin terisolasi
dan bingung, butuh merekonstruksi identitasnya yang tercecer. Manusia abad
informasi ini tak bisa lagi berlindung di tengah tradisi keluarga besar atau suku
yang tinggal bertetangga dalam satu kampong. Tak ada komunitas homogen—
baik tradisi, akar budaya, asal-usul, atau religi—di suatu wilayah informasional.4
3
4
Castells menggambarkan hal ini sebagai oposisi bipolar antara jaringan (the net) dan diri (the self).
Lihat dalam Adelin Tumenggung, 2005:5
Akan tetapi manusia adalah makhluk social. Identitas dan kebersamaan kelompok tetap merupakan
kebutuhan psikologi tak tergantikan. Ini mendorong terbentuknya komunitas-komunitas virtual. Ekspresi
2
International Conference Proceeding
“ICT in Education For Peace”
Dalam kaitannya dengan isu multicultural, persoalannya adalah apakah
kehadiran ICT dapat menjadi sarana komunikasi antarbudaya sehingga mampu
menciptakan perdamaian? Artinya, apakah melalui ICT atau media berjejaring itu
masyarakat dunia akan mampu saling mengenal dan berkomunikasi sehingga
dunia semakin damai? Atau justru kehadiran ICT itu akan menebalkan identitas
sosial, politik, budaya, agama, etnis dari masing-masing yang terlibat dalam
komunikasi berjejaring itu? Atau dengan kata lain kehadiran ICT ternyata juga
menyodorkan sejumlah masalah,
seperti
penguatan identitas
kelompok,
kesenjangan digital, ketidaksetaraan relasi, dominasi yang kuat, yang semuanya
bermuara pada kemapanan struktur sosial ekonomi dan tata hubungan dunia yang
tidak adil. Makalah ini akan mencoba mengupas segenap permasalahan tersebut
dengan harapan dapat memberikan sedikit kontribusi dalam upaya membangun
perdamaian melalui pendidikan multikultural.
kebutuhan ini juga tampak dalam gerakan berbasis media—dari internet, telepon seluler, radio
komunitas, news letter dan mailing list.
3
“ICT in Education For Peace”
PENGEMBANGAN ICT DALAM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL1
By
Sugeng Bayu Wahyono
Pendahuluan
My experience in several post-Cold War battlefields around the globe reveals that
a third pattern of violent conflict has emerged. This form involves not merely
political dimensions but the full spectrum of societal interaction. Rooted in
individual identification with a group, these armed struggles can be called
“identity conflicts”. No longer confined to battlefields, isolated targets, or
contested territory, the conflicts and violence now flows visibly into houses,
communities, schools, religious grounds, and communal property.
Kimberly A.
Maynard2
Apa yang digambarkan Maynard tersebut dalam sepuluh tahun terakhir ini
juga sudah mulai tampak gejalanya di Indonesia. Bahkan sejak berakhirnya rezim
pemerintahan Soeharto, ketika peran negara mengalami surut setelah lebih dari
tigapuluh tahun menjadi kekuatan hegemonik dan dominatif terhadap masyarakat,
konflik identitas yang merujuk pada etnis, ideologi, agama, dan kebudayaan terasa
semakin manifes. Masyarakat yang sebelumnya senantiasa berada pada posisi
yang terkooptasi dalam relasi negara-masyarakat, menunjukkan tanda-tanda
menguat dan secara bebas mengekspresikan identitasnya memanfaatkan ruang
publik yang telah longgar tanpa kontrol negara. Bersamaan dengan itu,
terbukannya peluang mengekspresikan identitas tersebut diikuti pula benturan
antarnilai yang menjadi landasan eksistensi identitasnya. Dengan lain perkataan,
iklim keterbukaan dan kebebasan mempunyai implikasi terhadap timbulnya
fenomena konflik identitas antarnilai, yang sebelumnya memang potensial tetapi
mampu dikendalikan secara efektif oleh kekuatan negara.
Pasca Perang Dingin juga mempunyai implikasi terhadap semakin
menguatnya konflik identitas di beberapa kawasan Asia Tenggara, terutama yang
1
Disampaikan dalam Seminar Internasional, ICT dalam Pendidikan Untuk Perdamaian,
diselenggarakan Jurusan Teknologi Pendidikan FIP UNY, Yogyakarta, 11 Mei 2011.
2
Kimberly A. Maynard, 1999, Healing Communities in Conflict: International assistance in
Complex Emergencies, New York: Colombia University Press, hal. 33-34.
1
International Conference Proceeding
“ICT in Education For Peace”
berlatar belakang agama dan identitas. Jika sebelumnya konflik lebih diwarnai
oleh pertarungan ideologi kapitalis dan komunis, sebagaimana yang terjadi di
Kamboja, Vietnam, dan Indonesia, maka pasca Perang Dingin lebih banyak
konflik bergeser ke isu agama, etnis, dan identitas budaya. Persoalan konflik di
perbatasan Thailand Selatan, Filipina Selatan, dan Indonesia bagian Timur adalah
contoh pertarungan ideologi agama. Sementara itu berbagai konflik identitas
antarperbedaan warga negara seperti kasus emigran di Malaysia, terus
menampakan gejalanya.
Bersamaan dengan itu, dalam satu dekade terakhir perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, khususnya Information and Communication
Technology
(ICT)
terus
mengalami
peningkatan
luar
biasa.
Bahkan
perkembangan ICT dewasa ini patut disebut sebagai revolusi teknologi informasi,
karena keberhasilannya memasuki semua aktivitas kehidupan manusia, tidak
hanya sebagai sumber pengaruh dari luar, namun sebagai bagian di mana segala
aktivitas manusia terjalin, sehingga dapat dikatakan ICT telah mampu
memperluas habitat manusia. Jarak fisik dan waktu menjadi semakin menyempit,
demikian pula “jarak” ekonomi, politik, social dan budaya terus mengalami
penyempitan, meskipun pengalaman keseharian manusia tetap mengakar dalam
lokalitas. Dalam situasi seperti itu antara jaringan (the net) dan diri (the self)
terjadi tarik menarik. Lingkungan ekonomi, politik, sosial, dan budaya
berkembang semakin mengglobal dan semakin terbuka sehingga sebagai
reaksinya seperti kebutuhan psikologis manusia akan identitas, lokalitas dan
familiaritas—rasa nyaman, dikenal dan diterima— juga terus meningkat.3 Dalam
keterlemaparannya di tengah proses globalisasi inilah, diri yang makin terisolasi
dan bingung, butuh merekonstruksi identitasnya yang tercecer. Manusia abad
informasi ini tak bisa lagi berlindung di tengah tradisi keluarga besar atau suku
yang tinggal bertetangga dalam satu kampong. Tak ada komunitas homogen—
baik tradisi, akar budaya, asal-usul, atau religi—di suatu wilayah informasional.4
3
4
Castells menggambarkan hal ini sebagai oposisi bipolar antara jaringan (the net) dan diri (the self).
Lihat dalam Adelin Tumenggung, 2005:5
Akan tetapi manusia adalah makhluk social. Identitas dan kebersamaan kelompok tetap merupakan
kebutuhan psikologi tak tergantikan. Ini mendorong terbentuknya komunitas-komunitas virtual. Ekspresi
2
International Conference Proceeding
“ICT in Education For Peace”
Dalam kaitannya dengan isu multicultural, persoalannya adalah apakah
kehadiran ICT dapat menjadi sarana komunikasi antarbudaya sehingga mampu
menciptakan perdamaian? Artinya, apakah melalui ICT atau media berjejaring itu
masyarakat dunia akan mampu saling mengenal dan berkomunikasi sehingga
dunia semakin damai? Atau justru kehadiran ICT itu akan menebalkan identitas
sosial, politik, budaya, agama, etnis dari masing-masing yang terlibat dalam
komunikasi berjejaring itu? Atau dengan kata lain kehadiran ICT ternyata juga
menyodorkan sejumlah masalah,
seperti
penguatan identitas
kelompok,
kesenjangan digital, ketidaksetaraan relasi, dominasi yang kuat, yang semuanya
bermuara pada kemapanan struktur sosial ekonomi dan tata hubungan dunia yang
tidak adil. Makalah ini akan mencoba mengupas segenap permasalahan tersebut
dengan harapan dapat memberikan sedikit kontribusi dalam upaya membangun
perdamaian melalui pendidikan multikultural.
kebutuhan ini juga tampak dalam gerakan berbasis media—dari internet, telepon seluler, radio
komunitas, news letter dan mailing list.
3