WARTA Tenure Volume 9
D INAMIKA WG TENURE
Dukungan WG- Tenure untuk DKN dalam Fasilitasi Penyelesaian
Konflik Pengelolaan Hutan di Indonesia
Emila Widawati
Menyongsong diimplementasikannya REDD secara
penuh
, semestinya masalah land tenure men‐
jadi salah satu prioritas untuk dibenahi. Kejelasan
dan keamanan land tenure bagi semua pihak sampai
saat ini belum terealisasikan dengan baik. Tumpang
tindih lahan dan kepentingan menjadikan akar terjadi
‐nya konflik sosial yang nampaknya masih mewarnai
pengelolaan hutan di )ndonesia. Terjadinya konflik
tentunya menggangu praktek pengelolaan hutan yang
akan memperkecil peluang terwujudnya pengelolaan
hutan lestari. Di lain sisi keberadaan masyarakat di
dalam dan sekitar hutan tidak terelakkan, baik
masyarakat adat, masyarakat lokal, dan banyak di‐
jumpai pula masyarakat pendatang.
Dengan fokus kegiatan yang selama ini digeluti WG‐
Tenure antara lain melakukan study, share learning
disamping fokus lainnya, WG‐Tenure berharap bisa
berperan mendukung DKN dalam hal ini desk
resolusi konflik untuk penyelesaian konflik‐konflik
yang sedang difasilitasi yaitu dengan melakukan land
tenure assessment. Kegiatan ini didukung pen‐
danaanya oleh )CCO InterChurch Organization for
Development .
Land Tenure assessment dilakukan dengan
menggunakan metode RATA Rapid Land Tenure
Assessment , sebuah metode yang dikembangkan oleh
)CRAF dan para mitranya dengan tujuan untuk mem‐
perkuat basic klaim dari masing‐masing pihak yang
sedang berkonflik. Sementara itu bentuk‐bentuk dan
kronologis konflik yang terjadi didokumentasikan
dalam database konflik yang berbasis window yang
dikembangkan oleh Perkumpulan (uMa dengan label
(uma‐win. Sementara itu gaya para pihak dalam
menghadapi sengketa akan dianalisis dengan meng‐
gunakan perangkat AGATA Analisis Gaya Pihak
Bersengketa yang dikembangkan oleh Samdhana
)nstitute. (asil dari kegiatan ini diharapkan dapat
4
Working Group on Forest Land Tenure
memberikan gambaran yang lebih lengkap sehingga
dapat mendukung DKN dalam menfasilitasi penyele‐
saian konflik tersebut.
Land Tenure assessment dilakukan pada kasus
Agroforestry Kemenyan dan sengketa lahan
pertanian masyarakat di lokasi (T) PT. Toba Pulp
Lestari PT. TPL , Sumatera Utara. Assessment
dilakukan antara lain untuk a )dentifikasi
penguasaan lahan/land tenure tata kuasa , yaitu
gambaran atas penguasaan tanah baik oleh masyara‐
kat, pemerintah, pemerintah daerah, maupun pihak‐
pihak lainnya dalam suatu wilayah; b )dentifikasi
alokasi lahan tata kelola , analisa ini untuk mema‐
hami alokasi menurut tataruang wilayah dan juga
menurut masyarakat setempat akan alokasi atau ren‐
cana pengelolaan wilayah tersebut; c )dentifikasi
ijin‐ ijin tata ijin , yaitu ijin yang dikeluarkan di
wilayah tersebut, baik oleh pemerintah pusat, daerah
dan bahkan oleh masyarakat setempat.
Pertemuan Anggota WGTenure
Working Group on Forest Land Tenure terbentuk
pada pelaksanaan Workshop Masalah Penguasaan
Lahan di Kawasan (utan tanggal ‐ November
, hampir menginjak berusia tahun. Untuk
lebih menguatkan kelembagaan dan mempertajam
peran‐peran WG‐Tenure sesuai dengan visi dan
misinya WG‐Tenure akan mengadakan Pertemuan
Anggota yang rencananya akan diselenggarakan pada
BULAN SEPTEMBER 2011. Saat tulisan ini
diturunkan WG‐Tenure sedang melakukan evaluasi
kelembagaan sebagai persiapan penyelenggaraan
pertemuan anggota tersebut. Evaluasi dilakukan oleh
evaluator dengan melakukan wawancara baik lang‐
sung maupun tidak langsung terhadap perwakilan
anggota dan beberapa mitra strategis WGTenure.
***
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
KAJIAN DAN OPINI
Posisi Masyarakat terhadap REDD:
“Perundingan REDD Harus Perkuat Kemampuan Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat”
Oleh: Asep Yunan Firdaus
Masyarakat khususnya yang hidup di dalam dan seki‐
tar hutan seharusnya menjadi aktor kunci dalam upaya
memitigasi dan mengadapatasi dampak‐dampak
perubahan iklim. Namun demikian, faktanya pelibatan
masyarakat dalam pembentukan kebijakan Pemerintah
yang merespon perubahan iklim masih minim.
Keresahan atas situasi tersebut direspon oleh Kamar
Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional DKN dengan
mengkonsolidasikan perwakilan‐perwakilan masyara‐
kat dari berbagai wilayah di )ndonesia dalam rang‐
kaian workshop di daerah dan berpuncak di Jakarta
pada ‐ Desember
untuk merumuskan posisi
bersama masyarakat terhadap isu Perubahan )klim
khususnya skema REDD. Kamar Masyarakat DKN
menyatakan bahwa kertas posisi ini disusun guna
merespon berbagai perdebatan politik dan produksi
kebijakan yang merespon isu perubahan iklim yang
dinilai berpotensi merugikan dan mempersulit
kehidupan masyarakat.
Dalam putaran workshop yang diorganisir oleh Kamar
Masyarakat DKN di Ngata Toro, Kabupaten Sigi,
Sulawesi Tengah
‐ September , Putussibau,
Kapuas (ulu, Kalimantan Barat
‐ September ,
Waingapu, Sumba
‐ Oktober , Muluy, Paser,
Kalimantan Timur
November menemukan fakta
bahwa perubahan iklim sudah mengakibatkan
penurunan hasil panen hampir
%. Di beberapa
komunitas di Kabupaten Kapuas (ulu, hasil panen
dalam sepuluh tahun terakhir berkurang drastis dari
gantang berkurang hanya menjadi
–
gantang . Di Sumba, Nusa Tenggara Timur hasil panen
jagung mengalami penurunan akibat pola hujan tidak
jelas. (ingga November
, hasil padi ladang orang
Muluy di Kabupaten Paser Kalimantan Timur makin
menurun dibanding tahun‐tahun sebelumnya. Dari
sembilan belas kelompok kelompok terdiri dari
gabungan kepala keluarga dari satu keluarga inti.
Total KK‐nya KK yang buka ladang, hanya ada
kelompok yang memperoleh hasil kg, itupun dengan
jumlah benih lebih dari sekaleng. Pada
, mereka
hanya mengeluarkan benih kaleng. Dua kelompok,
sama sekali tidak mendapat hasil. Ada kelompok
hanya memperoleh hasil kurang dari kaleng. (asil
itu tidak akan mampu mencukupi kebutuhan hidup
sehari‐hari dimana pemanenan hanya dilakukan sekali
dalam setahun.
Kamar Masyarakat DKN juga merujuk kepada berbagai
laporan internasional yang menunjukkan betapa
rentannya masyarakat terhadap dampak‐dampak
perubahan iklim. Laporan Pembangunan Manusia
/
Badan Pembangunan PBB UNDP ,
menegaskan, kaum buruh tani, masyarakat adat sekitar
hutan, dan penduduk di pesisir pantai adalah golongan
yang paling rentan atas dampak perubahan iklim.
Temuan dan analisis serupa juga muncul dalam
laporan UNFCCC
mengenai Dampak,
Kerentanan dan Adaptasi di Negara‐negara
Berkembang. Seorang pakar perubahan iklim, Maarten
K. van Aalst
dari Lembaga Palang Merah
Belanda untuk Perubahan )klim dan Kesiapsiagaan
Bencana memprediksi skenario‐skenario buruk
penurunan hasil pangan yang sangat signifikan akibat
perubahan iklim. Sebuah laporan yang lain mengenai
Asesmen Dampak dan Adaptasi terhadap Perubahan
)klim
, mencatat penurunan produksi hingga
% gagal panen di beberapa komunitas di Filipina.
_____________________________________
gantang = kaleng susu = , kg
Rodel D. Lasco dari University of the Philippines Los Baños College, Laguna, Philippines dan Rizaldi Boer dari )PB, Bogor,
Working Group on Forest Land Tenure
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
5
KAJIAN DAN OPINI
Semua fakta di atas menggambarkan komunitas‐
komunitas yang hidup di dalam dan sekitar kawasan
hutan. Mereka merupakan bagian dari puluhan juta
masyarakat yang telah hidup secara turun temurun di
dalam dan sekitar kawasan hutan. Sebagian besar di
antara mereka telah membuktikan dirinya mampu
menjaga hutan secara lestari. Bahkan, komunitas
sungai utik di Kapuas (ulu mendapat sertifikat
pengelolaan hutan lestari dari Menteri Kehutanan.
Namun, fakta‐fakta menunjukan bahwa dalam
beberapa tahun terakhir, hutan‐hutan tersebut
semakin rentan karena perubahan iklim.
Di sisi lain, pemerintah mendorong kebijakan dan
proyek REDD menjadi euforia nasional dan menjadi
salah satu agenda pokok pemerintah saat ini. Namun
kebijakan ini sama sekali tidak memiliki hubungan
dengan upaya masyarakat untuk bertahan dan mampu
beradaptasi termasuk mengelola hutannya sendiri
secara lestari. Kebijakan‐kebijakan ini lebih
mengutamakan promosi peningkatan stok karbon yang
akan masuk skema pasar pasca
.
Meskipun skema REDD belum begitu jelas, namun
berbagai kebijakan instan Kementerian Kehutanan
dalam merespon REDD menunjukan bahwa hak atas
karbon hutan akan mengacu pada hak negara atas
kawasan hutan. (ak masyarakat atas hutan belum
diakui. Di sisi lain, secara saintifik, REDD merupakan
skema yang menjaga hutan sedemikian rupa untuk
menghindari kebocoran karbon. Artinya, di lokasi
proyek REDD, banyak pembatasan akses ke dalam
kawasan hutan akan diberlakukan.
Saat ini, sebagian pilot proyek REDD beroperasi di
kabupaten atau provinsi tempat hidup komunitas‐
komunitas yang disebut di atas. Bagaimana mungkin
komunitas di sekitar dan dalam kawasan hutan yang
sudah rentan karena perubahan iklim justru harus
dibatasi demi kepentingan stok karbon yang akan
dijual ke negara‐negara utara.
Pertanyaannya, REDD untuk siapa? Untuk masyarakat
atau para pemburu sertifikat karbon dari perusahaan‐
6
Working Group on Forest Land Tenure
perusahaan eksploitatif yang telah menghancurkan
sumber daya alam?
Dalam pernyataannya, Kamar Masyarakat DKN secara
tegas memosisikan dirinya mengkritik pendekatan
pemerintah dalam merespon isi Perubahan )klim dan
meminta kepada pemerintah untuk lebih menjamin
dan melindungi hak‐hak masyarakat baik atas
kepemilikan/akses terhadap hutan maupun dalam
proses pembentukan kebijakan.
Untuk meluruskan kembali pendekatan Pemerintah
dalam merespon isu perubahan iklim, Kamar
Masyarakat DKN mendesakkan beberapa usulan antara
lain
Pemerintah harus mengamandemen seluruh
kebijakan perubahan iklim yang mengancam eksistensi
masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam
dan sekitar kawasan hutan;
Pemerintah harus
memberikan perlindungan terhadap inisiatif‐inisiatif
adaptasi dan mitigasi yang dilakukan oleh masyarakat
yang hidup secara turun temurun di dalam dan sekitar
kawasan hutan, termasuk juga memberikan dukungan
yang memadai yang meliputi bantuan teknis dan
pendampingan‐pendampingan yang reguler;
Mendesak semua pihak yang terlibat dalam proses
pembuatan
kebijakan
dan
proyek‐proyek
penanggulangan perubahan iklim, terutama REDD
untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak‐
hak dan kebebasan dasar masyarakat yang hidup di
dalam dan sekitar kawasan hutan, termasuk
mengadopsi prinsip dan norma hak asasi manusia
nasional dalam kebijakan‐kebijakan baru di bidang
penanggulangan perubahan iklim;
Sesegera
mungkin meratifikasi Konvensi )LO No.
. ***
(sumber: Sendirian Menghadapi Iklim yang Berubah,
kertas posisi Masyarakat DKN terhadap kebijakan Miti
gasi dan Adaptasi Perubahan Iklim).
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
KAJIAN DAN OPINI
BABAK BARU MORATORIUM OSLO
Oleh: Dodik Ridho Nurrochmat*
sinker” yang baik. Namun, bukan berarti hutan primer
boleh dikonversi seenaknya karena terlepas dari
istilah populer untuk menyebut
keterbatasannya menyerap karbon, hutan primer
Letter of Intent Lo) Kerjasama
diyakini memiliki manfaat ekologi yang sangat besar,
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi &
baik yang terkait dengan fungsi tata air, keaneka‐
Degradasi (utan REDD antara pemerintah )ndonesia
ragaman hayati, penyedia hasil hutan non‐kayu,
dan Norwegia yang ditandatangani di Oslo pada
keindahan alam maupun fungsi lingkungan lainnya.
Mei
. )mplementasi Lo) ini dibagi dalam tiga
tahap yakni persiapan, transformasi dan kontribusi.
Demikian pula dengan moratorium konversi lahan
Saat ini Moratorium Oslo telah memasuki babak baru
gambut. Diakui bahwa lahan gambut merupakan
yakni fase transformasi, mulai Januari
sampai
penyimpan karbon yang sangat efektif. Namun, ma‐
dengan Desember
.
salah kerusakan dan perusakan lahan gambut tentu
tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberlakukan
Miskonsepsi Moratorium Oslo
moratorium konversi. Manajemen pengelolaan
Dalam Lo) istilah moratorium merujuk pada kegiatan
gambut yang lestari tidak cukup hanya memperhati‐
penundaan izin konversi hutan alam dan lahan gambut
kan aspek teknis tetapi juga memerlukan lingkungan
dalam jangka waktu dua tahun. Batasan hutan alam
sosial dan ekonomi yang kondusif.
sendiri menimbulkan ambiguitas karena hutan alam
adalah istilah teknis terkait asal usul pembentukan
Oleh karena itu, Lo) tidak dapat mengatur moratorium
hutan yang definisinya tidak diatur dalam peraturan
konversi lahan gambut secara parsial karena masalah
perundang‐undangan. Jika memperhatikan Lo) butir
pengelolaan lahan gambut tidak dapat dipisahkan dari
V)).c.ii, dimana aktivitas pembangunan ekonomi
ketentuan‐ketentuan yang telah ada, misalnya Undang
diarahkan di areal hutan yang telah terdegradasi maka
Undang Kehutanan Nomor Tahun
, Undang
dapat ditafsirkan bahwa hutan alam yang dimaksud
Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
dalam Lo) tersebut adalah hutan primer (primary
(idup Nomor Tahun
, dan Keputusan Presiden
forest).
Nomor
Tahun
.
Dalam
peraturan tersebut di‐
antaranya telah diatur tentang masalah penetapan dan
Masalahnya, moratorium yang diarahkan pada hutan
primer dalam rangka mereduksi emisi karbon pengelolaan hutan lindung dan kawasan lindung, ter‐
masuk lahan gambut. Dengan demikian, dalam ke‐
sebenarnya secara konseptual tidak tepat. Mengapa?
rangka peraturan perundang‐undangan moratorium
Karbondioksida diserap oleh tumbuhan dalam proses
fotosintesis. Proses fotosintesis ini lebih efektif hutan alam dan lahan gambut harus dikonstruksikan
sebagai bagian dari pengelolaan hutan lindung di
dilakukan oleh pohon‐pohon muda yang masih ber‐
dalam kawasan hutan dan/atau kawasan lindung di
tumbuh. Sementara, hutan primer yang tidak pernah
luar kawasan hutan .
ditebang umumnya banyak ditumbuhi pohon‐pohon
tua dan mengarah pada ekosistem klimaks yang
Moratorium konversi tidak dapat hanya bersandar
jumlah penyerapan dan pengeluaran karbonnya relatif
pada ketentuan Lo), tetapi harus memiliki payung
seimbang (net balance).
hukum yang kuat dan tidak bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Perlu digarisbawahi
Dengan demikian jelas bahwa dalam hal penyerapan
bahwa kebijakan moratorium yang tidak terarah
karbon, hutan primer sebenarnya bukan “carbon
Moratorium Oslo adalah
*) Penulis adalah Lektor Kepala Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB dan alternate International Council IUFRO (International
Union of Forest Research Organizations) periode 20102014.
Working Group on Forest Land Tenure
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
7
KAJIAN DAN OPINI
justru akan membahayakan lingkungan karena akan
memicu kelangkaan pasokan kayu yang bermuara
pada maraknya pasar kayu gelap dan illegal logging.
Dekonstruksi Etika Perdagangan Karbon
Pola pikir yang mereduksi fungsi lingkungan hutan
sekedar sebagai penyerap karbon tidak hanya me‐
lenceng secara ilmiah,
tetapi juga sangat berba‐
haya bagi lingkungan itu
sendiri. Skema pengu‐
rangan emisi dari de‐
forestasi dan degradasi
hutan REDD yang pada
mulanya
diharapkan
berpijak pada upaya per‐
baikan lingkungan, ter‐
nyata dalam perkem‐
bangannya lebih sarat
muatan politik.
Negara‐negara industri
menyodorkan skema ban‐
tuan dana kepada negara‐
negara
berkembang
untuk menurunkan emisi
dengan mengerem laju
deforestasi. Tentu saja
tidak ada skema pen‐
danaan yang gratis,
skema tersebut dapat di
‐klaim
negara‐negara
pemberi dana sebagai
capaian
yang
meri‐
ngankan kewajibannya
menurunkan emisi kar‐
bon dari industri mereka.
Skema semacam ini dike‐
nal sebagai “carbon offset”.
Alur pikir skema ini mirip jual beli surat penebus
dosa . Artinya, walaupun mereka berbuat banyak
dosa menggelontorkan emisi tidak masalah, asalkan
mereka beramal kepada si‐miskin mengurangi emisi
di negara berkembang pemilik hutan .
Di sisi lain, sangat penting untuk diperhatikan bahwa
harga karbon tidak boleh hanya diperbandingkan
dengan variabel harga semata‐mata dari komoditas
kayu, hasil pertanian atau hasil perkebunan. Konse‐
kuensi logis dari moratorium konversi adalah pengu‐
rangan penebangan kayu dan/atau pembatasan pem‐
bangunan pertanian termasuk perkebunan. Diban‐
dingkan dengan sek‐
tor perekonomian yang
lain, keterkaitan ke de‐
pan (forward linkage)
sektor
pertanian,
perkebunan dan kehu‐
tanan adalah yang
tertinggi.
Demikian pula efek
pengganda (multiplier
effect) baik output mul
tiplier, income multi
plier, dan employment
multiplier dari ketiga
sektor tersebut juga
sangat besar. Artinya,
jika tidak dilakukan
secara cermat dan ter‐
ukur, skema perda‐
gangan karbon dapat
mematikan tidak hanya
sektor hulu tetapi juga
akan memberikan efek
domino yang memukul
keberlangsungan hidup
sektor hilir, mencipta‐
kan lebih banyak pe‐
ngangguran, dan me‐
merosotkan
kese‐
jahteraan masyarakat.
Skema perdagangan karbon hanya akan bermanfaat
dan bermartabat jika memperhatikan tidak hanya
“leakages” tetapi juga “linkages” terhadap kepentingan
yang lebih luas. Oleh karena itu, praktik perdagangan
karbon yang hanya berlandaskan pada politik ke‐
pentingan tidak akan pernah dapat menyelesaikan ma‐
salah sehingga mekanisme seperti ini harus diper‐
Pemerintah )ndonesia tidak boleh
terjebak pada urusan moratorium
saja, tetapi secara paralel harus
dapat memanfaatkan momentum
fase transformasi Lo) ini untuk
mengalokasikan areal
terdegradasi bagi kepentingan
pembangunan, membenahi
peraturan dan penegakan hukum
kehutanan, serta mempercepat
penyelesaian rencana tata ruang
wilayah. (al terpenting yang perlu
digarisbawahi adalah Lo) harus
ditempatkan sebagai bagian dari
strategi pembangunan
nasional berkelanjutan dan bukan
sebaliknya.
8
Working Group on Forest Land Tenure
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
KAJIAN DAN OPINI
juangkan untuk didekonstruksi menjadi lebih adil
dan bermartabat.
Beberapa Catatan untuk Fase Transformasi LoI
Memasuki babak baru Lo) ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan. Pertama, perlu adanya
kejelasan lokasi dan luas areal moratorium. Total
dana milyar USD yang dijanjikan, sesungguhnya
nilainya sangat kecil jika konsekuensinya mencakup
keseluruhan
juta hektar hutan )ndonesia. Peme‐
rintah )ndonesia sendiri terlihat gagap dalam menin‐
daklanjuti kesepakatan ini.
Dalam Lo) disebutkan bahwa seluruh perangkat
organisasi dan payung hukum bagi pelaksanaan
kesepakatan ini sudah harus tuntas akhir tahun
.
Faktanya, tarik menarik kepentingan sangat kuat
sehingga sampai dengan bulan ketiga tahun
payung hukum yang ditunggu tak kunjung keluar.
Pemerintah terjerat keraguan dan kegamangan untuk
melangkah.
Demikian pula dengan penetapan lokasi pilot REDD.
Walaupun dalam kerangka pelaksanaan Lo) pemerin‐
tah telah menetapkan provinsi Kalimantan Tengah
sebagai lokasi pilot REDD, namun sederet potensi
hambatan telah menunggu. Barangkali secara fisik
provinsi Kalimantan Tengah memang sangat sesuai
sebagai lokasi pilot REDD karena di wilayah tersebut
terdapat hutan alam dan lahan gambut yang cukup
luas.
Namun, dari sisi efektifitas pemilihan provinsi
Kalimantan Tengah yang sarat dengan konflik tenurial
patut dipertanyakan. Di provinsi ini, tercatat lebih dari
tiga juta hektar kawasan hutan tumpang tindih peng‐
gunaannya dengan sektor lain, baik perkebunan, per‐
tanian, pemukiman, bahkan desa dan kota. Padahal,
moratorium konversi hutan hanya akan efektif di‐
terapkan jika telah ada tata ruang yang definitif
dengan tingkat konflik minimal.
Dari aspek hukum, implementasi Lo) juga memuncul‐
kan beragam interpretasi yang memicu ketidak‐
pastian. Moratorium yang sebenarnya hanya dituju‐
kan bagi izin‐izin baru, ternyata diusulkan oleh semen‐
tara kalangan untuk juga mengevaluasi seluruh ijin
Working Group on Forest Land Tenure
termasuk yang sudah berjalan. Tentu saja hal se‐
macam ini akan menimbulkan masalah ketidak‐
pastian hukum dan mengganggu iklim berusaha.
Selain itu, diperlukan pula kejelasan batasan hutan
alam dan lahan gambut yang dimoratorium. Selain
berpotensi mendongkrak pasar kayu gelap,
moratorium tanpa batasan wilayah yang jelas juga
akan bermuara pada situasi open access kawasan
hutan. Pada situasi demikian, hutan cenderung men‐
jadi barang publik yang bebas dijarah dan dirambah
siapa saja, sehingga dapat dipastikan eskalasi ke‐
rusakan hutan akan terjadi jauh lebih cepat dan
semakin luas dari sebelumnya. Thesa Garret (ardin
“the tragedy of the commons” yang meramalkan kehan‐
curan sumberdaya alam sebagai barang publik yang
open akses akan menemukan pembenaran empiris di
negeri ini.
Akhirnya, harus dapat dipastikan bahwa dana yang
dijanjikan terealisasi sesuai dengan skema. (al ini
sangat penting diangkat karena pencairan dana hanya
dapat dilakukan atas persetujuan parlemen Norwegia
dan pengelolaannya hanya dapat dilakukan oleh
lembaga keuangan internasional, sehingga perlu ada
kejelasan bagaimana mekanisme distribusi dan peng‐
gunaannya agar dana tersebut dapat bermanfaat
untuk menyejahterakan masyarakat, terutama
masyarakat sekitar hutan.
Pemerintah )ndonesia tidak boleh terjebak pada
urusan moratorium saja, tetapi secara paralel harus
dapat memanfaatkan momentum fase transformasi
Lo) ini untuk mengalokasikan areal terdegradasi bagi
kepentingan pembangunan, membenahi peraturan
dan penegakan hukum kehutanan, serta mempercepat
penyelesaian rencana tata ruang wilayah. (al ter‐
penting yang perlu digarisbawahi adalah Lo) harus
ditempatkan sebagai bagian dari strategi pemban‐
gunan nasional berkelanjutan dan bukan sebaliknya.***
w w w .w g-tenure.org
ALAMAT KONTAK:
DR. IR. DODIK RIDHO NURROCHMAT, M.ScF
Laboratorium Politik Ekonomi & Sosial Kehutanan
Departemen Manajemen (utan, Fakultas Kehutanan )PB
Kampus )PB Darmaga, Bogor
Tel/Fax:
,
(p:
Email: dnrochmat@yahoo.com
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
9
KAJIAN DAN OPINI
Apa kata mereka tentang
“Persepsi Masyarakat Sipil Merespon dan Memaknai
REDD”
Tahun
disepakati sebagai tahun tinggal landas bagi pelaksanaan penuh full implementation dari REDD. Pembicaraan
perubahan iklim dan REDD di forum global UNFCCC masih terus berlanjut, sementara focus dan energi seluruh pihak saat ini
tercurah pada upaya persiapan pelaksanaannya. Di lain pihak masyarakat khususnya yang tinggal di dalam dan sekitar hutan
yang akan menerima dampak ataupun terlibat dalam implementasi REDD saat ini tetap dalam kehidupan mereka yang nam‐
paknya masih menemui kendala dan masalah dalam kaitannya dengan praktik pengelolaan hutan itu sendiri.
Sejauh mana masyarakat sipil memahami REDD dan bagaimana merespon serta memaknainya? Kami memberikan ruang
kepada masyarakat sipil khususnya untuk memberikan opininya tentang Bagaimana Masyarakat Merespon dan Memaknai
REDD. Opini ini merupakan pendapat yang dikemukakan secara independen, dan bersifat individu.
Simak opini mereka!!
Jago Bukit
BPSE Yasanto
Merauke, Papua
Di Papua pada umumnya,
khususnya
Papua
Selatan,
masyarakat sipil apakah itu
masyarakat adat atau masyarakat
umum atau pekerja‐pekerja sipil tidak banyak tahu ten‐
tang REDD. Mereka jarang sekali mendengar REDD,
mereka juga tidak tahu apa itu hubungan antara
masyarakat adat, perubahan iklim dan skema REDD. Di
level pemerintahan juga terjadi hal yang sama, sebagian
besar dari mereka tidak tahu apa itu REDD ? Skema
REDD hanya diresponi oleh segelintir aktifis lingkungan
saja, namun aktifis LSM juga memiliki keterbatasan
dalam memasyarakatkan skema REDD kepada masyara‐
kat umum. Masyarakat adat Papua sebagai pemilik hak
ulayat atas tanah dan hutan belum tahu tentang skema
REDD. Jika skema REDD benar diimplementasikan se‐
cara konsisten dan bertanggung jawab ditambah lagi
pemahaman masyarakat adat tentang skema REDD cu‐
kup memadai, maka diyakini bahwa masyarakat adat
akan memilih skema Redd ketimbang menyerahkan
tanah dan hutan kepada investor. Tantangan bagi kita
pemerhati skema REDD.
Proyek Mifee Merauke yang akan membuka jutaan
hektar hutan di kabupaten Merauke sama sekali tidak
memperhitungkan dampak‐dampak pembukaan lahan
10
Working Group on Forest Land Tenure
secara besar‐besaran terhadap kerusakan lingkungan
dan perubahan iklim. Ketika kami dari LSM menyampai‐
kan masukan‐masukan tentang kerusakan lingkungan
dan perubahan iklim pada moment pertemuan tentang
Mifee, pihak Pemka Merauke sama sekali tidak menggu‐
brisnya dan mereka lebih mengutamakan perolehan
PAD Merauke dan kepentingan lainnya. Kelihatannya
satu dua LSM saja di Merauke yang berkoar‐koar ten‐
tang dampak pembukaan hutan terhadap perubahan
iklim dan skema REDD. Stakeholder yang lain tam‐
paknya masa bodoh dengan perubahan iklim.
Yasanto bekerjasama dengan Samdhana untuk tahun
akan melakukan sejumlah kegiatan yang terkait
dengan masyarakat adat dan perubahan iklim, termasuk
kegiatan mensosialisasikan perubahan iklim dan skema
REDD kepada masyarakat umum. Mudah an melalui
kerjasama tahun ini, semakin banyak masyarakat sipil
di Selatan Papua tahu tentang perubahan iklim dan
skema REDD. Kemudian yang juga menjadi tanda tanya
adalah semakin hari semakin berkurang orang bicara
tentang skema REDD mungkin pendapat ini salah dan
semakin sedikit stakeholder yang concern terhadap
perubahan iklim. Perubahan iklim dan skema REDD
yang cukup gencar digaungkan oleh banyak lembaga
atau organisasi beberapa tahun lalu, belakangan ini
cenderung menurun menurut kacamata kami – mungkin
salah. Mudah an penilaian ini salah. Selamat berjuang
menjadi pahlawan REDD. *
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
KAJIAN DAN OPINI
Dr. Ir. Tjipta Purwita, MBA
Plantation Director of PT MHP
REDD merupakan isu terbaru dalam
mitigasi perubahan iklim yang akan
diterapkan secara penuh pada tahun
. )ni berarti merupakan peluang
sekaligus tantangan bagi kita, untuk
mampu memanfaatkannya. (utan )ndonesia adalah
penghasil “greenproducts” yang sangat besar. Karena itu
pengurangan emisi dengan mencegah terjadinya
deforestasi dan degradasi hutan, serta upaya lain dalam
penerapan pengelolaan hutan lestari, menjadi keharusan
untuk diimplementasikan. Bila hal ini dapat dilakukan
secara sinergis, maka sudah selayaknya kita mendapatkan
insentif yang cukup memadai untuk terus melanjutkan
pengelolaan hutan secara lestari serta mendorong
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Bagaimana peranan masyarakat yang hidup di pinggir‐
pinggir hutan? Jawabannya, mereka adalah stakeholders
terdekat yang harus dilibatkan sejak dini dalam proses
implementasi skema REDD. Mereka berperan sebagai
penjaga hutan dari kemungkinan terjadinya kerusakan
Narasumber : ROSA GAZPER koordinator VOWE*
Pewawancara : Andi Saragih Mnukwar Papua
Menurut anda, apakah REDD itu telah terkomunikasi
kan dengan baik di tingkat masyarakat di Papua
Barat?. Fakta yang harus diakui saat ini adalah, hampir
sebagian besar masyarakat tidak pernah mendengar apa
yang disebut dengan REDD, saya pikir orang‐orang berpen‐
didikan yang tinggal di kotapun pasti masih banyak yang
belum pernah mendengarnya. Saya beruntung karena
mendapatkan informasi ini dari kawan‐kawan di LSM yang
setahun lalu seringkali membicarakan masalah ini.
Apakah REDD ini bisa menjadi sebuah peluang yang
bisa bermanfaat bagi masyarakat kita kedepan?. Seba‐
gai masyarakat, yang pertama dan terpenting bagi kami
adalah dampak apa yang kami dapat dari keadaan ini.
REDD adalah sebuah hal yang masih awam bagi masyara‐
kat di papua. Dari langkah awal saat ini di lakukan oleh
pemerintah daerah saja sudah ada masalah, sebagai con‐
toh seperti yang saya sebutkan diatas, bahwa masyarakat
belum pernah mendengar atau sengaja di beritahukan ten‐
tang program ini, justru kami mendapatkannya dari teman
‐teman di luar pemerintah, artinya apa?! Dari masalah
sosialisasipun pemerintah tidak mampu menjalankannya,
apalagi dalam tahap pelaksanaannya nanti? Pasti kami le‐
bih tidak tahu lagi.
Working Group on Forest Land Tenure
deforestasi dan degradasi hutan . Karena itu mereka
berhak mendapatkan informasi yang transparan mengenai
regulasi, kelembagaan, serta mekanisme implementasi
REDD yang terang, agar keterlibatannya betul‐betul
didasari oleh kesadaran yang tinggi untuk mengelola hutan
secara lestari dan berkelanjutan. Mereka berhak
mendapatkan porsi kompensasi yang layak agar mereka
memiliki capital yang mencukupi untuk hidup secara lebih
sejahtera dan terbebas dari persoalan kemiskinan.
Masyarakat sipil (civilsociety), perlu mengawal agar
proses implementasi REDD dapat berlangsung dalam
tatakelola (governance) yang benar. Masyarakat tempatan
(indegenuouspeople) sebagai komponen masyarakat sipil
yang terlemah , sekali lagi harus diprakondisikan untuk
siap melaksanakan implementasi REDD melalui
pengelolaan hutan yang bersifat kolaboratif dan
multipihak. Bahkan kini masyarakat lokal bersama dunia
usaha kehutanan lain perlu membulatkan tekad untuk
membangun kerjasama kemitraan yang mutualistis dalam
wadah (utan Rakyat (R , (utan Plasma, maupun (utan
Tanaman Rakyat (TR pada lahan yang terdegradasi,
kurang produktif, serta memiliki legalitas tenurial yang
pasti. *
Menurut anda, bagaimana
sebaiknya langkah yang
perlu dilakukan? Menurut
saya,
jika
keadaannya
demikian lebih baik kita tidak
usah menerima program ini,
karena saya kawatir kita tidak
akan mendapatkan manfaat‐
nya nanti. Untuk kepentingan mengurangi kecepatan pe‐
rubahan iklim saya pikir kita perkuat dan pertegas saja
kearifan lokal yang memang sudah ada selama ini di
masing‐masing masyarakat, karena dalam sejarahnyapun
aturan ini sudah dipahami dan dijalankan oleh masyarakat,
tanpa ada maksud untuk kepentingan sendiri. Kita dipapua
memiliki banyak kearifan lokal yang bisa dikembangkan
untuk pelestarian lingkungan. Tidak harus menggunakan
konsep REDD. Namun jika aturan mainnya jelas, dalam arti
masyarakat dapat memperoleh manfaatnya baik secara
langsung maupun tidak maka REDD adalah sebuah konsep
yang saya pikir memiliki fungsi ganda, yakni fungsi eko‐
nomi kalau kompensasi itu diperoleh masyarakat pemilik
hak ulayat dan fungsi lingkungan.
*VOYE adalah sebuah kelompok yang baru lahir tahun 2010,
kehadiran pemudapemudi yang bersemangat ini, tidak ter
lepas dengan pola pendekatan, pembinaan dari beberapa
temanteman NGO lokal di manokwari.
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
11
KAJIAN DAN OPINI
Perspektif Masyarakat Sipil Merespon dan Memaknai REDD
(Catatan Dari Nusa Tenggara Timur)
Oleh: Michel Riwu
Ormelling
memberi catatan sejarah bahwa pada
pertengahan abad tahun
M Gubernur (india
Belanda yang berkedudukan di Batavia memerintahkan
penduduk Pulau Timor menanam tanaman jagung Zea
mays sebagai tanaman budidaya sebagai cara untuk
mengatasi masalah kegagalan panen dan kelaparan yang
kerap melanda daerah ini. Masyarakat menerimanya dan
sejak saat itu tanaman jagung berkembang menjadi
tanaman pokok bagi penduduk di Timor dan bahkan lalu
menyebar ke berbagai pulau lain di NTT. Pada awal abad
, Pemerintah kolonial Belanda mengintrodusir ternak
sapi Bali Bos Javanicus syn. Bos sundaicus sebagai cara
untuk meningkatkan pendapatan rakyat di Timor.
Masyarakat juga menerimanya dan bahkan menjadi salah
satu komoditas pertanian andalan dari Timor, bahkan Nusa
Tenggara Timur. Jadi, menurut sejarahnya, kedua
komoditas pokok di NTT tersebut adalah hasil introduksi
dari luar sistem kemasyarakatan di Timor dan atau Nusa
Tenggara Timur. Perlu pula dicatat bahwa sama sekali tidak
ada catatan bahwa upaya introdusir tersebut didahului
dengan adanya proses sosialisasi yang makan waktu lama.
Mengapa masyarakat dapat menerima jenis‐jenis
introdusiran tersebut dan lalu mengusahakannya? Selain
karena kemungkinana ada sifat memaksa dari pemerintah
kolonial alasan lain yang dapat diduga adalah bahwa karena
dua komoditas tersebut memang menjawab kebutuhan
masyarakat. Masyarakat mengalami kelaparan dan
berpendapatan sangat rendah lalu ada solusi yang terang
benderang. Maka jadilah apa yang dimaui.
12
)su tentang pemanasan global telah cukup lama digaungkan
di Nusa Tenggara Timur tetapi bahkan sampai dengan
tahun
, yaitu ketika Forum DAS NTT melakukan
sosialisasi tentang REDD, masih cukup banyak masyarakat
yang memahami bahwa efek rumah kaca disebabkan oleh
banyaknya rumah yang menggunakan bahan banguna yang
terbuat dari kaca. Alih‐alih, banyak pula stakeholder dari
kalangan yang memiliki tingkat pendidikan yang jauh lebih
baik dari masayarakat desa memahami bahwa REDD
sesuatu yang bertalian dengan warna merah. Jika
memahami REDD saja masih merupakan suatu kesulitan
besar maka mudah diduga apa yang terjadi ketika kepada
berbagai stekholder yang ada di NTT disodori konsep
adaptasi dan mitigasi yang terkait perubaan iklim global.
Tidak semua stakeholder memberi respons seperti yang
dikemukakan tadi. Beberapa di antara mereka memiliki
paham tentang REDD akan tetapi mereka dibingungankan
dengan persamaan dan perbedaan di antara beberapa
varian terminologi REDD, REDD‐) dan REDD+. Akan tetapi
dengan beberapa penjelasan tentang hal‐hal yang
Working Group on Forest Land Tenure
membingungkan tersebut maka timbul beberapa
pertanyaan baru, antara lain, kapan REDD mulai bisa
dilakukan karena menanam bukan hal asing bagi
masyarakat, siapa yang akan mengelola REDD, apa hak dan
kewajiban masyarakat sebagai pelaku REDD dan segudang
pertanyaan lainnya yang terkait dengan cara bagaimana
REDD akan diimplementasikan. Pada pokok pertanyaan
ikutan ini maka beberapa kegamangan mulai terjadi dan
lalu respons terhadap REDD umumnya bernada skeptik.
Bagaimana memahami dua kontras situasi yang
diungkapkan di atas. Di masa lalu, introduksi jagung dan
sapi diberi respons sangat positif oleh masyarakat di NTT
tanpa perlu waktu yang lama. Pertama adalah adanya
kebutuhan yang mendasar. Lalu kebutuhan tersebut
direspsons secara tepat dan efektif oleh penguasa, siapapun
mereka, ketika itu. Poerwanto
menyatakan bahwa
perubahan sosial selalu berasal dari arah. Masyarakat
akan berubah ketika mereka sadar akan keperluan untuk
berubah imanen dan atau masyarakat akan berubah jika
pihak luar mampu meyakinkan bahwa mereka perlu
berubah dan lalu menjamin cara melakukan perubahan
dimaksud kontak . )tulah yang terjadi dalam sejarah
keberhasilan introduksi jagung dan sapi ke Timor, NTT.
Bagaimana dengan introduksi gagasan tentang REDD
sekarang ini. Di masa milenum baru. Bahwa ancaman
pemanasan global adalah suatu perkara yang perlu
diresponi secara postif tak perlu lagi diragukan. Masyarakat
memahami itu dan bahkan beberapa filosofi yang
terkandung dalam gagasan REDD inheren dalam budaya
tradisi mereka. Akan tetapi ketika terhadap beberapa
pertanyaan tentang apa, siapa, kapan, dan bagaimana
gagasan tersebut akan diimplementasikan belum memiliki
jawaban yang jelas maka tak pelak lagi idea bahwa tahun
adalah tahun tinggal landas bagi pelaksanaan penuh
full implementation dari REDD sungguh suatu utopia.
Masalahnya ada di mana? Menurut hemat penulis, akar
masalahnya ada pada tata kelola pemerintahan yang baik
good governance yang belum berjalan efektif dan efisien.
Selalu ada tiga pihak, yaitu pemerintah, swasta dan
masyarakat tetapi adalah pemerintah yang diberi mandat
untuk memerintah. Lalu, bagaimana perintahmu wahai
pemerintah? *
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
EVENT
Konferensi Internasional
“Forest Tenure, Governance, and Enterprise”
Oleh: Emila & Martua
)ndonesia dalam hal ini Kementerian Kehutanan menjadi
tuan rumah dalam Konferensi )nternasional sebagai tindak
lanjut dari konferensi sebelumnya yang diadakan di Acre,
Brasil pada Bulan Juli
dan di Yaoundè Kamerun pada
Bulan Mei
9. Kementerian Kehutanan bersama )TTO
dan RR) mengusung tema The International Conference
on Forest Land Tenure, Governance and Enterprise: Ex
periences and Opportunities for Asia in a Changing Con
text”. Konferensi diadakan di Villa Santosa (otel & Resort,
Senggigi Lombok pada tanggal ‐ Juli
. Konferensi
ini didukung dan bekerjasama dengan sejumlah elemen
masyarakat sipil, dan WG‐Tenure menjadi bagian dari
kepanitiaan tersebut.
Konferensi dibuka oleh Wakil Presiden Republik )ndonesia,
Prof. Boediono dan dihadiri oleh sekitar
peserta yang
berasal dari berbagai penjuru dunia. Unit Kerja Presiden
Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
UKP merupakan salah satu pembicara kunci pada acara
ini. Ketua UKP , Dr. Kuntoro Mangkusubroto mempresen‐
tasikan film pendek dan keynote speech dengan judul
Working Group on Forest Land Tenure
Importance of Land and Forest Tenure Reforms in
Implementing a Climate Change Sensitive Development
Agenda Pentingnya Reformasi Penguasaan (utan Dan
Lahan Dalam Mengimplementasikan Agenda Pemban‐
gunan Yang Peka Terhadap Perubahan )klim yang dise‐
but sebagai buah pemikiran bersama dengan beberapa
pihak. Keynote speech yang disampaikan oleh UKP
sangat menarik dan merupakan arahan baru penyelesain
konflik tanah dikawasan hutan yang diharapkan bisa men‐
jadi tonggak sejarah bagi terbangunnya safeguard bagi hak
hak masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan
hutan selama ini.
Dr. Kuntoro Mangkusubroto menyampaikan sebagai unit
kerja Presiden dituntut untuk dapat memandang berbagai
isu melalui perspektif lintas sektor, melampaui dinding‐
dinding birokrasi baik secara literal dan harfiah, untuk me‐
mastikan bahwa berbagai kegiatan berjalan di lapangan.
Juga untuk memastikan bahwa pemerintah mengerjakan
layanan publik sesuai dengan komitmen Presiden.
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
13
EVENT
Disampaikan oleh UKP bahwa salah satu komitmen
Presiden adalah menurunkan emisi sebesar % apabila
tidak ada campur tangan internasional dan sebesar %
apabila ada dukungan dari komunitas internasional pada
tahun
. Sekarang lebih dari % emisi di )ndonesia
berasal dari penggunaan lahan dan sector kehutanan, di‐
mana diprediksi akan terus terus bertambah sampai
dengan tahun
mendatang. Untuk itu maka penge‐
lolaan sumberdaya alam dan penggunaan lahan me‐
mainkan peran yang sangat vital untuk mewujudkan
komitmen Presiden tersebut.
Selaras dengan komitmen ini, )ndonesia juga menetapkan
target lainnya yaitu % pertumbuhan ekonomi. Untuk
mencapainya Pemerintah )ndonesia sudah melansir mas
ter plan ekonomi untuk menciptakan enam koridor
ekonomi. Untuk mewujudkan keseimbangan antara komit‐
men penurunan emisi dan pencapaian target pertumbuhan
ekonomi tersebut Pemerintah bertekad untuk mewujud‐
kan pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan penge‐
lolaan sumberdaya alam sebagai asset bangsa.
Pada tahun
sektor Kehutanan berkontribusi pada
GDP sebesar . %. Meskipun bukan sebagai penyumbang
devisa yang besar, tetapi berjuta masyarakat bergantung
hidupnya pada hutan dan hasil hutan, termasuk di dalam‐
nya masyarakat adat dengan adat istiadatnya. )su land ten‐
ure merupakan keniscayaan dalam pengelolaan sumber‐
daya alam secara nasional sebagai respon dari tantangan
perubahan iklim dan manfaat
bagi masyarakat yang hidup di
dalam dan sekitar hutan. Per‐
baikan tata kelola kehutanan
dan land tenure sejalan dengan
usaha pemerintah dalam upaya
mengurangi kemiskinan, di
mana terdapat sedikitnya
juta orang yang menggantung‐
kan hidup dari hutan berada di
bawah garis kemiskinan.
pengaturan land tenure yang tepat adalah syarat utama
dalam mewujudkan pembangunan dan kehidupan berke‐
lanjutan.
Sejarah panjang penguasaan hutan dan tanah telah mem‐
bawa negara ini pada suatu titik dengan dua tantangan
yang mendesak. Yang pertama, dualisme pendefinisian
hutan sebagai kategori biofisik dan administratif. )ndone‐
sia memiliki hutan yang luas, bahkan termasuk hutan
primer, yang mencapai juta hektar di luar wilayah yang
diklasifikasikan sebagai Kawasan (utan. Pada saat yang
sama, terdapat juta hektar lahan tidak berhutan di
dalam Kawasan (utan. Situasi ini menyebabkan adanya
hutan‐hutan yang berisiko terhadap pemanfaatan yang
tidak berkelanjutan dan terbatasnya akses untuk mengel‐
ola lahan untuk penggunaan yang optimal dan terbaik.
Yang kedua, hak‐hak pribadi yang belum diakui, termasuk
t
Dukungan WG- Tenure untuk DKN dalam Fasilitasi Penyelesaian
Konflik Pengelolaan Hutan di Indonesia
Emila Widawati
Menyongsong diimplementasikannya REDD secara
penuh
, semestinya masalah land tenure men‐
jadi salah satu prioritas untuk dibenahi. Kejelasan
dan keamanan land tenure bagi semua pihak sampai
saat ini belum terealisasikan dengan baik. Tumpang
tindih lahan dan kepentingan menjadikan akar terjadi
‐nya konflik sosial yang nampaknya masih mewarnai
pengelolaan hutan di )ndonesia. Terjadinya konflik
tentunya menggangu praktek pengelolaan hutan yang
akan memperkecil peluang terwujudnya pengelolaan
hutan lestari. Di lain sisi keberadaan masyarakat di
dalam dan sekitar hutan tidak terelakkan, baik
masyarakat adat, masyarakat lokal, dan banyak di‐
jumpai pula masyarakat pendatang.
Dengan fokus kegiatan yang selama ini digeluti WG‐
Tenure antara lain melakukan study, share learning
disamping fokus lainnya, WG‐Tenure berharap bisa
berperan mendukung DKN dalam hal ini desk
resolusi konflik untuk penyelesaian konflik‐konflik
yang sedang difasilitasi yaitu dengan melakukan land
tenure assessment. Kegiatan ini didukung pen‐
danaanya oleh )CCO InterChurch Organization for
Development .
Land Tenure assessment dilakukan dengan
menggunakan metode RATA Rapid Land Tenure
Assessment , sebuah metode yang dikembangkan oleh
)CRAF dan para mitranya dengan tujuan untuk mem‐
perkuat basic klaim dari masing‐masing pihak yang
sedang berkonflik. Sementara itu bentuk‐bentuk dan
kronologis konflik yang terjadi didokumentasikan
dalam database konflik yang berbasis window yang
dikembangkan oleh Perkumpulan (uMa dengan label
(uma‐win. Sementara itu gaya para pihak dalam
menghadapi sengketa akan dianalisis dengan meng‐
gunakan perangkat AGATA Analisis Gaya Pihak
Bersengketa yang dikembangkan oleh Samdhana
)nstitute. (asil dari kegiatan ini diharapkan dapat
4
Working Group on Forest Land Tenure
memberikan gambaran yang lebih lengkap sehingga
dapat mendukung DKN dalam menfasilitasi penyele‐
saian konflik tersebut.
Land Tenure assessment dilakukan pada kasus
Agroforestry Kemenyan dan sengketa lahan
pertanian masyarakat di lokasi (T) PT. Toba Pulp
Lestari PT. TPL , Sumatera Utara. Assessment
dilakukan antara lain untuk a )dentifikasi
penguasaan lahan/land tenure tata kuasa , yaitu
gambaran atas penguasaan tanah baik oleh masyara‐
kat, pemerintah, pemerintah daerah, maupun pihak‐
pihak lainnya dalam suatu wilayah; b )dentifikasi
alokasi lahan tata kelola , analisa ini untuk mema‐
hami alokasi menurut tataruang wilayah dan juga
menurut masyarakat setempat akan alokasi atau ren‐
cana pengelolaan wilayah tersebut; c )dentifikasi
ijin‐ ijin tata ijin , yaitu ijin yang dikeluarkan di
wilayah tersebut, baik oleh pemerintah pusat, daerah
dan bahkan oleh masyarakat setempat.
Pertemuan Anggota WGTenure
Working Group on Forest Land Tenure terbentuk
pada pelaksanaan Workshop Masalah Penguasaan
Lahan di Kawasan (utan tanggal ‐ November
, hampir menginjak berusia tahun. Untuk
lebih menguatkan kelembagaan dan mempertajam
peran‐peran WG‐Tenure sesuai dengan visi dan
misinya WG‐Tenure akan mengadakan Pertemuan
Anggota yang rencananya akan diselenggarakan pada
BULAN SEPTEMBER 2011. Saat tulisan ini
diturunkan WG‐Tenure sedang melakukan evaluasi
kelembagaan sebagai persiapan penyelenggaraan
pertemuan anggota tersebut. Evaluasi dilakukan oleh
evaluator dengan melakukan wawancara baik lang‐
sung maupun tidak langsung terhadap perwakilan
anggota dan beberapa mitra strategis WGTenure.
***
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
KAJIAN DAN OPINI
Posisi Masyarakat terhadap REDD:
“Perundingan REDD Harus Perkuat Kemampuan Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat”
Oleh: Asep Yunan Firdaus
Masyarakat khususnya yang hidup di dalam dan seki‐
tar hutan seharusnya menjadi aktor kunci dalam upaya
memitigasi dan mengadapatasi dampak‐dampak
perubahan iklim. Namun demikian, faktanya pelibatan
masyarakat dalam pembentukan kebijakan Pemerintah
yang merespon perubahan iklim masih minim.
Keresahan atas situasi tersebut direspon oleh Kamar
Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional DKN dengan
mengkonsolidasikan perwakilan‐perwakilan masyara‐
kat dari berbagai wilayah di )ndonesia dalam rang‐
kaian workshop di daerah dan berpuncak di Jakarta
pada ‐ Desember
untuk merumuskan posisi
bersama masyarakat terhadap isu Perubahan )klim
khususnya skema REDD. Kamar Masyarakat DKN
menyatakan bahwa kertas posisi ini disusun guna
merespon berbagai perdebatan politik dan produksi
kebijakan yang merespon isu perubahan iklim yang
dinilai berpotensi merugikan dan mempersulit
kehidupan masyarakat.
Dalam putaran workshop yang diorganisir oleh Kamar
Masyarakat DKN di Ngata Toro, Kabupaten Sigi,
Sulawesi Tengah
‐ September , Putussibau,
Kapuas (ulu, Kalimantan Barat
‐ September ,
Waingapu, Sumba
‐ Oktober , Muluy, Paser,
Kalimantan Timur
November menemukan fakta
bahwa perubahan iklim sudah mengakibatkan
penurunan hasil panen hampir
%. Di beberapa
komunitas di Kabupaten Kapuas (ulu, hasil panen
dalam sepuluh tahun terakhir berkurang drastis dari
gantang berkurang hanya menjadi
–
gantang . Di Sumba, Nusa Tenggara Timur hasil panen
jagung mengalami penurunan akibat pola hujan tidak
jelas. (ingga November
, hasil padi ladang orang
Muluy di Kabupaten Paser Kalimantan Timur makin
menurun dibanding tahun‐tahun sebelumnya. Dari
sembilan belas kelompok kelompok terdiri dari
gabungan kepala keluarga dari satu keluarga inti.
Total KK‐nya KK yang buka ladang, hanya ada
kelompok yang memperoleh hasil kg, itupun dengan
jumlah benih lebih dari sekaleng. Pada
, mereka
hanya mengeluarkan benih kaleng. Dua kelompok,
sama sekali tidak mendapat hasil. Ada kelompok
hanya memperoleh hasil kurang dari kaleng. (asil
itu tidak akan mampu mencukupi kebutuhan hidup
sehari‐hari dimana pemanenan hanya dilakukan sekali
dalam setahun.
Kamar Masyarakat DKN juga merujuk kepada berbagai
laporan internasional yang menunjukkan betapa
rentannya masyarakat terhadap dampak‐dampak
perubahan iklim. Laporan Pembangunan Manusia
/
Badan Pembangunan PBB UNDP ,
menegaskan, kaum buruh tani, masyarakat adat sekitar
hutan, dan penduduk di pesisir pantai adalah golongan
yang paling rentan atas dampak perubahan iklim.
Temuan dan analisis serupa juga muncul dalam
laporan UNFCCC
mengenai Dampak,
Kerentanan dan Adaptasi di Negara‐negara
Berkembang. Seorang pakar perubahan iklim, Maarten
K. van Aalst
dari Lembaga Palang Merah
Belanda untuk Perubahan )klim dan Kesiapsiagaan
Bencana memprediksi skenario‐skenario buruk
penurunan hasil pangan yang sangat signifikan akibat
perubahan iklim. Sebuah laporan yang lain mengenai
Asesmen Dampak dan Adaptasi terhadap Perubahan
)klim
, mencatat penurunan produksi hingga
% gagal panen di beberapa komunitas di Filipina.
_____________________________________
gantang = kaleng susu = , kg
Rodel D. Lasco dari University of the Philippines Los Baños College, Laguna, Philippines dan Rizaldi Boer dari )PB, Bogor,
Working Group on Forest Land Tenure
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
5
KAJIAN DAN OPINI
Semua fakta di atas menggambarkan komunitas‐
komunitas yang hidup di dalam dan sekitar kawasan
hutan. Mereka merupakan bagian dari puluhan juta
masyarakat yang telah hidup secara turun temurun di
dalam dan sekitar kawasan hutan. Sebagian besar di
antara mereka telah membuktikan dirinya mampu
menjaga hutan secara lestari. Bahkan, komunitas
sungai utik di Kapuas (ulu mendapat sertifikat
pengelolaan hutan lestari dari Menteri Kehutanan.
Namun, fakta‐fakta menunjukan bahwa dalam
beberapa tahun terakhir, hutan‐hutan tersebut
semakin rentan karena perubahan iklim.
Di sisi lain, pemerintah mendorong kebijakan dan
proyek REDD menjadi euforia nasional dan menjadi
salah satu agenda pokok pemerintah saat ini. Namun
kebijakan ini sama sekali tidak memiliki hubungan
dengan upaya masyarakat untuk bertahan dan mampu
beradaptasi termasuk mengelola hutannya sendiri
secara lestari. Kebijakan‐kebijakan ini lebih
mengutamakan promosi peningkatan stok karbon yang
akan masuk skema pasar pasca
.
Meskipun skema REDD belum begitu jelas, namun
berbagai kebijakan instan Kementerian Kehutanan
dalam merespon REDD menunjukan bahwa hak atas
karbon hutan akan mengacu pada hak negara atas
kawasan hutan. (ak masyarakat atas hutan belum
diakui. Di sisi lain, secara saintifik, REDD merupakan
skema yang menjaga hutan sedemikian rupa untuk
menghindari kebocoran karbon. Artinya, di lokasi
proyek REDD, banyak pembatasan akses ke dalam
kawasan hutan akan diberlakukan.
Saat ini, sebagian pilot proyek REDD beroperasi di
kabupaten atau provinsi tempat hidup komunitas‐
komunitas yang disebut di atas. Bagaimana mungkin
komunitas di sekitar dan dalam kawasan hutan yang
sudah rentan karena perubahan iklim justru harus
dibatasi demi kepentingan stok karbon yang akan
dijual ke negara‐negara utara.
Pertanyaannya, REDD untuk siapa? Untuk masyarakat
atau para pemburu sertifikat karbon dari perusahaan‐
6
Working Group on Forest Land Tenure
perusahaan eksploitatif yang telah menghancurkan
sumber daya alam?
Dalam pernyataannya, Kamar Masyarakat DKN secara
tegas memosisikan dirinya mengkritik pendekatan
pemerintah dalam merespon isi Perubahan )klim dan
meminta kepada pemerintah untuk lebih menjamin
dan melindungi hak‐hak masyarakat baik atas
kepemilikan/akses terhadap hutan maupun dalam
proses pembentukan kebijakan.
Untuk meluruskan kembali pendekatan Pemerintah
dalam merespon isu perubahan iklim, Kamar
Masyarakat DKN mendesakkan beberapa usulan antara
lain
Pemerintah harus mengamandemen seluruh
kebijakan perubahan iklim yang mengancam eksistensi
masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam
dan sekitar kawasan hutan;
Pemerintah harus
memberikan perlindungan terhadap inisiatif‐inisiatif
adaptasi dan mitigasi yang dilakukan oleh masyarakat
yang hidup secara turun temurun di dalam dan sekitar
kawasan hutan, termasuk juga memberikan dukungan
yang memadai yang meliputi bantuan teknis dan
pendampingan‐pendampingan yang reguler;
Mendesak semua pihak yang terlibat dalam proses
pembuatan
kebijakan
dan
proyek‐proyek
penanggulangan perubahan iklim, terutama REDD
untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak‐
hak dan kebebasan dasar masyarakat yang hidup di
dalam dan sekitar kawasan hutan, termasuk
mengadopsi prinsip dan norma hak asasi manusia
nasional dalam kebijakan‐kebijakan baru di bidang
penanggulangan perubahan iklim;
Sesegera
mungkin meratifikasi Konvensi )LO No.
. ***
(sumber: Sendirian Menghadapi Iklim yang Berubah,
kertas posisi Masyarakat DKN terhadap kebijakan Miti
gasi dan Adaptasi Perubahan Iklim).
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
KAJIAN DAN OPINI
BABAK BARU MORATORIUM OSLO
Oleh: Dodik Ridho Nurrochmat*
sinker” yang baik. Namun, bukan berarti hutan primer
boleh dikonversi seenaknya karena terlepas dari
istilah populer untuk menyebut
keterbatasannya menyerap karbon, hutan primer
Letter of Intent Lo) Kerjasama
diyakini memiliki manfaat ekologi yang sangat besar,
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi &
baik yang terkait dengan fungsi tata air, keaneka‐
Degradasi (utan REDD antara pemerintah )ndonesia
ragaman hayati, penyedia hasil hutan non‐kayu,
dan Norwegia yang ditandatangani di Oslo pada
keindahan alam maupun fungsi lingkungan lainnya.
Mei
. )mplementasi Lo) ini dibagi dalam tiga
tahap yakni persiapan, transformasi dan kontribusi.
Demikian pula dengan moratorium konversi lahan
Saat ini Moratorium Oslo telah memasuki babak baru
gambut. Diakui bahwa lahan gambut merupakan
yakni fase transformasi, mulai Januari
sampai
penyimpan karbon yang sangat efektif. Namun, ma‐
dengan Desember
.
salah kerusakan dan perusakan lahan gambut tentu
tidak bisa diselesaikan hanya dengan memberlakukan
Miskonsepsi Moratorium Oslo
moratorium konversi. Manajemen pengelolaan
Dalam Lo) istilah moratorium merujuk pada kegiatan
gambut yang lestari tidak cukup hanya memperhati‐
penundaan izin konversi hutan alam dan lahan gambut
kan aspek teknis tetapi juga memerlukan lingkungan
dalam jangka waktu dua tahun. Batasan hutan alam
sosial dan ekonomi yang kondusif.
sendiri menimbulkan ambiguitas karena hutan alam
adalah istilah teknis terkait asal usul pembentukan
Oleh karena itu, Lo) tidak dapat mengatur moratorium
hutan yang definisinya tidak diatur dalam peraturan
konversi lahan gambut secara parsial karena masalah
perundang‐undangan. Jika memperhatikan Lo) butir
pengelolaan lahan gambut tidak dapat dipisahkan dari
V)).c.ii, dimana aktivitas pembangunan ekonomi
ketentuan‐ketentuan yang telah ada, misalnya Undang
diarahkan di areal hutan yang telah terdegradasi maka
Undang Kehutanan Nomor Tahun
, Undang
dapat ditafsirkan bahwa hutan alam yang dimaksud
Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
dalam Lo) tersebut adalah hutan primer (primary
(idup Nomor Tahun
, dan Keputusan Presiden
forest).
Nomor
Tahun
.
Dalam
peraturan tersebut di‐
antaranya telah diatur tentang masalah penetapan dan
Masalahnya, moratorium yang diarahkan pada hutan
primer dalam rangka mereduksi emisi karbon pengelolaan hutan lindung dan kawasan lindung, ter‐
masuk lahan gambut. Dengan demikian, dalam ke‐
sebenarnya secara konseptual tidak tepat. Mengapa?
rangka peraturan perundang‐undangan moratorium
Karbondioksida diserap oleh tumbuhan dalam proses
fotosintesis. Proses fotosintesis ini lebih efektif hutan alam dan lahan gambut harus dikonstruksikan
sebagai bagian dari pengelolaan hutan lindung di
dilakukan oleh pohon‐pohon muda yang masih ber‐
dalam kawasan hutan dan/atau kawasan lindung di
tumbuh. Sementara, hutan primer yang tidak pernah
luar kawasan hutan .
ditebang umumnya banyak ditumbuhi pohon‐pohon
tua dan mengarah pada ekosistem klimaks yang
Moratorium konversi tidak dapat hanya bersandar
jumlah penyerapan dan pengeluaran karbonnya relatif
pada ketentuan Lo), tetapi harus memiliki payung
seimbang (net balance).
hukum yang kuat dan tidak bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Perlu digarisbawahi
Dengan demikian jelas bahwa dalam hal penyerapan
bahwa kebijakan moratorium yang tidak terarah
karbon, hutan primer sebenarnya bukan “carbon
Moratorium Oslo adalah
*) Penulis adalah Lektor Kepala Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB dan alternate International Council IUFRO (International
Union of Forest Research Organizations) periode 20102014.
Working Group on Forest Land Tenure
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
7
KAJIAN DAN OPINI
justru akan membahayakan lingkungan karena akan
memicu kelangkaan pasokan kayu yang bermuara
pada maraknya pasar kayu gelap dan illegal logging.
Dekonstruksi Etika Perdagangan Karbon
Pola pikir yang mereduksi fungsi lingkungan hutan
sekedar sebagai penyerap karbon tidak hanya me‐
lenceng secara ilmiah,
tetapi juga sangat berba‐
haya bagi lingkungan itu
sendiri. Skema pengu‐
rangan emisi dari de‐
forestasi dan degradasi
hutan REDD yang pada
mulanya
diharapkan
berpijak pada upaya per‐
baikan lingkungan, ter‐
nyata dalam perkem‐
bangannya lebih sarat
muatan politik.
Negara‐negara industri
menyodorkan skema ban‐
tuan dana kepada negara‐
negara
berkembang
untuk menurunkan emisi
dengan mengerem laju
deforestasi. Tentu saja
tidak ada skema pen‐
danaan yang gratis,
skema tersebut dapat di
‐klaim
negara‐negara
pemberi dana sebagai
capaian
yang
meri‐
ngankan kewajibannya
menurunkan emisi kar‐
bon dari industri mereka.
Skema semacam ini dike‐
nal sebagai “carbon offset”.
Alur pikir skema ini mirip jual beli surat penebus
dosa . Artinya, walaupun mereka berbuat banyak
dosa menggelontorkan emisi tidak masalah, asalkan
mereka beramal kepada si‐miskin mengurangi emisi
di negara berkembang pemilik hutan .
Di sisi lain, sangat penting untuk diperhatikan bahwa
harga karbon tidak boleh hanya diperbandingkan
dengan variabel harga semata‐mata dari komoditas
kayu, hasil pertanian atau hasil perkebunan. Konse‐
kuensi logis dari moratorium konversi adalah pengu‐
rangan penebangan kayu dan/atau pembatasan pem‐
bangunan pertanian termasuk perkebunan. Diban‐
dingkan dengan sek‐
tor perekonomian yang
lain, keterkaitan ke de‐
pan (forward linkage)
sektor
pertanian,
perkebunan dan kehu‐
tanan adalah yang
tertinggi.
Demikian pula efek
pengganda (multiplier
effect) baik output mul
tiplier, income multi
plier, dan employment
multiplier dari ketiga
sektor tersebut juga
sangat besar. Artinya,
jika tidak dilakukan
secara cermat dan ter‐
ukur, skema perda‐
gangan karbon dapat
mematikan tidak hanya
sektor hulu tetapi juga
akan memberikan efek
domino yang memukul
keberlangsungan hidup
sektor hilir, mencipta‐
kan lebih banyak pe‐
ngangguran, dan me‐
merosotkan
kese‐
jahteraan masyarakat.
Skema perdagangan karbon hanya akan bermanfaat
dan bermartabat jika memperhatikan tidak hanya
“leakages” tetapi juga “linkages” terhadap kepentingan
yang lebih luas. Oleh karena itu, praktik perdagangan
karbon yang hanya berlandaskan pada politik ke‐
pentingan tidak akan pernah dapat menyelesaikan ma‐
salah sehingga mekanisme seperti ini harus diper‐
Pemerintah )ndonesia tidak boleh
terjebak pada urusan moratorium
saja, tetapi secara paralel harus
dapat memanfaatkan momentum
fase transformasi Lo) ini untuk
mengalokasikan areal
terdegradasi bagi kepentingan
pembangunan, membenahi
peraturan dan penegakan hukum
kehutanan, serta mempercepat
penyelesaian rencana tata ruang
wilayah. (al terpenting yang perlu
digarisbawahi adalah Lo) harus
ditempatkan sebagai bagian dari
strategi pembangunan
nasional berkelanjutan dan bukan
sebaliknya.
8
Working Group on Forest Land Tenure
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
KAJIAN DAN OPINI
juangkan untuk didekonstruksi menjadi lebih adil
dan bermartabat.
Beberapa Catatan untuk Fase Transformasi LoI
Memasuki babak baru Lo) ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan. Pertama, perlu adanya
kejelasan lokasi dan luas areal moratorium. Total
dana milyar USD yang dijanjikan, sesungguhnya
nilainya sangat kecil jika konsekuensinya mencakup
keseluruhan
juta hektar hutan )ndonesia. Peme‐
rintah )ndonesia sendiri terlihat gagap dalam menin‐
daklanjuti kesepakatan ini.
Dalam Lo) disebutkan bahwa seluruh perangkat
organisasi dan payung hukum bagi pelaksanaan
kesepakatan ini sudah harus tuntas akhir tahun
.
Faktanya, tarik menarik kepentingan sangat kuat
sehingga sampai dengan bulan ketiga tahun
payung hukum yang ditunggu tak kunjung keluar.
Pemerintah terjerat keraguan dan kegamangan untuk
melangkah.
Demikian pula dengan penetapan lokasi pilot REDD.
Walaupun dalam kerangka pelaksanaan Lo) pemerin‐
tah telah menetapkan provinsi Kalimantan Tengah
sebagai lokasi pilot REDD, namun sederet potensi
hambatan telah menunggu. Barangkali secara fisik
provinsi Kalimantan Tengah memang sangat sesuai
sebagai lokasi pilot REDD karena di wilayah tersebut
terdapat hutan alam dan lahan gambut yang cukup
luas.
Namun, dari sisi efektifitas pemilihan provinsi
Kalimantan Tengah yang sarat dengan konflik tenurial
patut dipertanyakan. Di provinsi ini, tercatat lebih dari
tiga juta hektar kawasan hutan tumpang tindih peng‐
gunaannya dengan sektor lain, baik perkebunan, per‐
tanian, pemukiman, bahkan desa dan kota. Padahal,
moratorium konversi hutan hanya akan efektif di‐
terapkan jika telah ada tata ruang yang definitif
dengan tingkat konflik minimal.
Dari aspek hukum, implementasi Lo) juga memuncul‐
kan beragam interpretasi yang memicu ketidak‐
pastian. Moratorium yang sebenarnya hanya dituju‐
kan bagi izin‐izin baru, ternyata diusulkan oleh semen‐
tara kalangan untuk juga mengevaluasi seluruh ijin
Working Group on Forest Land Tenure
termasuk yang sudah berjalan. Tentu saja hal se‐
macam ini akan menimbulkan masalah ketidak‐
pastian hukum dan mengganggu iklim berusaha.
Selain itu, diperlukan pula kejelasan batasan hutan
alam dan lahan gambut yang dimoratorium. Selain
berpotensi mendongkrak pasar kayu gelap,
moratorium tanpa batasan wilayah yang jelas juga
akan bermuara pada situasi open access kawasan
hutan. Pada situasi demikian, hutan cenderung men‐
jadi barang publik yang bebas dijarah dan dirambah
siapa saja, sehingga dapat dipastikan eskalasi ke‐
rusakan hutan akan terjadi jauh lebih cepat dan
semakin luas dari sebelumnya. Thesa Garret (ardin
“the tragedy of the commons” yang meramalkan kehan‐
curan sumberdaya alam sebagai barang publik yang
open akses akan menemukan pembenaran empiris di
negeri ini.
Akhirnya, harus dapat dipastikan bahwa dana yang
dijanjikan terealisasi sesuai dengan skema. (al ini
sangat penting diangkat karena pencairan dana hanya
dapat dilakukan atas persetujuan parlemen Norwegia
dan pengelolaannya hanya dapat dilakukan oleh
lembaga keuangan internasional, sehingga perlu ada
kejelasan bagaimana mekanisme distribusi dan peng‐
gunaannya agar dana tersebut dapat bermanfaat
untuk menyejahterakan masyarakat, terutama
masyarakat sekitar hutan.
Pemerintah )ndonesia tidak boleh terjebak pada
urusan moratorium saja, tetapi secara paralel harus
dapat memanfaatkan momentum fase transformasi
Lo) ini untuk mengalokasikan areal terdegradasi bagi
kepentingan pembangunan, membenahi peraturan
dan penegakan hukum kehutanan, serta mempercepat
penyelesaian rencana tata ruang wilayah. (al ter‐
penting yang perlu digarisbawahi adalah Lo) harus
ditempatkan sebagai bagian dari strategi pemban‐
gunan nasional berkelanjutan dan bukan sebaliknya.***
w w w .w g-tenure.org
ALAMAT KONTAK:
DR. IR. DODIK RIDHO NURROCHMAT, M.ScF
Laboratorium Politik Ekonomi & Sosial Kehutanan
Departemen Manajemen (utan, Fakultas Kehutanan )PB
Kampus )PB Darmaga, Bogor
Tel/Fax:
,
(p:
Email: dnrochmat@yahoo.com
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
9
KAJIAN DAN OPINI
Apa kata mereka tentang
“Persepsi Masyarakat Sipil Merespon dan Memaknai
REDD”
Tahun
disepakati sebagai tahun tinggal landas bagi pelaksanaan penuh full implementation dari REDD. Pembicaraan
perubahan iklim dan REDD di forum global UNFCCC masih terus berlanjut, sementara focus dan energi seluruh pihak saat ini
tercurah pada upaya persiapan pelaksanaannya. Di lain pihak masyarakat khususnya yang tinggal di dalam dan sekitar hutan
yang akan menerima dampak ataupun terlibat dalam implementasi REDD saat ini tetap dalam kehidupan mereka yang nam‐
paknya masih menemui kendala dan masalah dalam kaitannya dengan praktik pengelolaan hutan itu sendiri.
Sejauh mana masyarakat sipil memahami REDD dan bagaimana merespon serta memaknainya? Kami memberikan ruang
kepada masyarakat sipil khususnya untuk memberikan opininya tentang Bagaimana Masyarakat Merespon dan Memaknai
REDD. Opini ini merupakan pendapat yang dikemukakan secara independen, dan bersifat individu.
Simak opini mereka!!
Jago Bukit
BPSE Yasanto
Merauke, Papua
Di Papua pada umumnya,
khususnya
Papua
Selatan,
masyarakat sipil apakah itu
masyarakat adat atau masyarakat
umum atau pekerja‐pekerja sipil tidak banyak tahu ten‐
tang REDD. Mereka jarang sekali mendengar REDD,
mereka juga tidak tahu apa itu hubungan antara
masyarakat adat, perubahan iklim dan skema REDD. Di
level pemerintahan juga terjadi hal yang sama, sebagian
besar dari mereka tidak tahu apa itu REDD ? Skema
REDD hanya diresponi oleh segelintir aktifis lingkungan
saja, namun aktifis LSM juga memiliki keterbatasan
dalam memasyarakatkan skema REDD kepada masyara‐
kat umum. Masyarakat adat Papua sebagai pemilik hak
ulayat atas tanah dan hutan belum tahu tentang skema
REDD. Jika skema REDD benar diimplementasikan se‐
cara konsisten dan bertanggung jawab ditambah lagi
pemahaman masyarakat adat tentang skema REDD cu‐
kup memadai, maka diyakini bahwa masyarakat adat
akan memilih skema Redd ketimbang menyerahkan
tanah dan hutan kepada investor. Tantangan bagi kita
pemerhati skema REDD.
Proyek Mifee Merauke yang akan membuka jutaan
hektar hutan di kabupaten Merauke sama sekali tidak
memperhitungkan dampak‐dampak pembukaan lahan
10
Working Group on Forest Land Tenure
secara besar‐besaran terhadap kerusakan lingkungan
dan perubahan iklim. Ketika kami dari LSM menyampai‐
kan masukan‐masukan tentang kerusakan lingkungan
dan perubahan iklim pada moment pertemuan tentang
Mifee, pihak Pemka Merauke sama sekali tidak menggu‐
brisnya dan mereka lebih mengutamakan perolehan
PAD Merauke dan kepentingan lainnya. Kelihatannya
satu dua LSM saja di Merauke yang berkoar‐koar ten‐
tang dampak pembukaan hutan terhadap perubahan
iklim dan skema REDD. Stakeholder yang lain tam‐
paknya masa bodoh dengan perubahan iklim.
Yasanto bekerjasama dengan Samdhana untuk tahun
akan melakukan sejumlah kegiatan yang terkait
dengan masyarakat adat dan perubahan iklim, termasuk
kegiatan mensosialisasikan perubahan iklim dan skema
REDD kepada masyarakat umum. Mudah an melalui
kerjasama tahun ini, semakin banyak masyarakat sipil
di Selatan Papua tahu tentang perubahan iklim dan
skema REDD. Kemudian yang juga menjadi tanda tanya
adalah semakin hari semakin berkurang orang bicara
tentang skema REDD mungkin pendapat ini salah dan
semakin sedikit stakeholder yang concern terhadap
perubahan iklim. Perubahan iklim dan skema REDD
yang cukup gencar digaungkan oleh banyak lembaga
atau organisasi beberapa tahun lalu, belakangan ini
cenderung menurun menurut kacamata kami – mungkin
salah. Mudah an penilaian ini salah. Selamat berjuang
menjadi pahlawan REDD. *
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
KAJIAN DAN OPINI
Dr. Ir. Tjipta Purwita, MBA
Plantation Director of PT MHP
REDD merupakan isu terbaru dalam
mitigasi perubahan iklim yang akan
diterapkan secara penuh pada tahun
. )ni berarti merupakan peluang
sekaligus tantangan bagi kita, untuk
mampu memanfaatkannya. (utan )ndonesia adalah
penghasil “greenproducts” yang sangat besar. Karena itu
pengurangan emisi dengan mencegah terjadinya
deforestasi dan degradasi hutan, serta upaya lain dalam
penerapan pengelolaan hutan lestari, menjadi keharusan
untuk diimplementasikan. Bila hal ini dapat dilakukan
secara sinergis, maka sudah selayaknya kita mendapatkan
insentif yang cukup memadai untuk terus melanjutkan
pengelolaan hutan secara lestari serta mendorong
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Bagaimana peranan masyarakat yang hidup di pinggir‐
pinggir hutan? Jawabannya, mereka adalah stakeholders
terdekat yang harus dilibatkan sejak dini dalam proses
implementasi skema REDD. Mereka berperan sebagai
penjaga hutan dari kemungkinan terjadinya kerusakan
Narasumber : ROSA GAZPER koordinator VOWE*
Pewawancara : Andi Saragih Mnukwar Papua
Menurut anda, apakah REDD itu telah terkomunikasi
kan dengan baik di tingkat masyarakat di Papua
Barat?. Fakta yang harus diakui saat ini adalah, hampir
sebagian besar masyarakat tidak pernah mendengar apa
yang disebut dengan REDD, saya pikir orang‐orang berpen‐
didikan yang tinggal di kotapun pasti masih banyak yang
belum pernah mendengarnya. Saya beruntung karena
mendapatkan informasi ini dari kawan‐kawan di LSM yang
setahun lalu seringkali membicarakan masalah ini.
Apakah REDD ini bisa menjadi sebuah peluang yang
bisa bermanfaat bagi masyarakat kita kedepan?. Seba‐
gai masyarakat, yang pertama dan terpenting bagi kami
adalah dampak apa yang kami dapat dari keadaan ini.
REDD adalah sebuah hal yang masih awam bagi masyara‐
kat di papua. Dari langkah awal saat ini di lakukan oleh
pemerintah daerah saja sudah ada masalah, sebagai con‐
toh seperti yang saya sebutkan diatas, bahwa masyarakat
belum pernah mendengar atau sengaja di beritahukan ten‐
tang program ini, justru kami mendapatkannya dari teman
‐teman di luar pemerintah, artinya apa?! Dari masalah
sosialisasipun pemerintah tidak mampu menjalankannya,
apalagi dalam tahap pelaksanaannya nanti? Pasti kami le‐
bih tidak tahu lagi.
Working Group on Forest Land Tenure
deforestasi dan degradasi hutan . Karena itu mereka
berhak mendapatkan informasi yang transparan mengenai
regulasi, kelembagaan, serta mekanisme implementasi
REDD yang terang, agar keterlibatannya betul‐betul
didasari oleh kesadaran yang tinggi untuk mengelola hutan
secara lestari dan berkelanjutan. Mereka berhak
mendapatkan porsi kompensasi yang layak agar mereka
memiliki capital yang mencukupi untuk hidup secara lebih
sejahtera dan terbebas dari persoalan kemiskinan.
Masyarakat sipil (civilsociety), perlu mengawal agar
proses implementasi REDD dapat berlangsung dalam
tatakelola (governance) yang benar. Masyarakat tempatan
(indegenuouspeople) sebagai komponen masyarakat sipil
yang terlemah , sekali lagi harus diprakondisikan untuk
siap melaksanakan implementasi REDD melalui
pengelolaan hutan yang bersifat kolaboratif dan
multipihak. Bahkan kini masyarakat lokal bersama dunia
usaha kehutanan lain perlu membulatkan tekad untuk
membangun kerjasama kemitraan yang mutualistis dalam
wadah (utan Rakyat (R , (utan Plasma, maupun (utan
Tanaman Rakyat (TR pada lahan yang terdegradasi,
kurang produktif, serta memiliki legalitas tenurial yang
pasti. *
Menurut anda, bagaimana
sebaiknya langkah yang
perlu dilakukan? Menurut
saya,
jika
keadaannya
demikian lebih baik kita tidak
usah menerima program ini,
karena saya kawatir kita tidak
akan mendapatkan manfaat‐
nya nanti. Untuk kepentingan mengurangi kecepatan pe‐
rubahan iklim saya pikir kita perkuat dan pertegas saja
kearifan lokal yang memang sudah ada selama ini di
masing‐masing masyarakat, karena dalam sejarahnyapun
aturan ini sudah dipahami dan dijalankan oleh masyarakat,
tanpa ada maksud untuk kepentingan sendiri. Kita dipapua
memiliki banyak kearifan lokal yang bisa dikembangkan
untuk pelestarian lingkungan. Tidak harus menggunakan
konsep REDD. Namun jika aturan mainnya jelas, dalam arti
masyarakat dapat memperoleh manfaatnya baik secara
langsung maupun tidak maka REDD adalah sebuah konsep
yang saya pikir memiliki fungsi ganda, yakni fungsi eko‐
nomi kalau kompensasi itu diperoleh masyarakat pemilik
hak ulayat dan fungsi lingkungan.
*VOYE adalah sebuah kelompok yang baru lahir tahun 2010,
kehadiran pemudapemudi yang bersemangat ini, tidak ter
lepas dengan pola pendekatan, pembinaan dari beberapa
temanteman NGO lokal di manokwari.
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
11
KAJIAN DAN OPINI
Perspektif Masyarakat Sipil Merespon dan Memaknai REDD
(Catatan Dari Nusa Tenggara Timur)
Oleh: Michel Riwu
Ormelling
memberi catatan sejarah bahwa pada
pertengahan abad tahun
M Gubernur (india
Belanda yang berkedudukan di Batavia memerintahkan
penduduk Pulau Timor menanam tanaman jagung Zea
mays sebagai tanaman budidaya sebagai cara untuk
mengatasi masalah kegagalan panen dan kelaparan yang
kerap melanda daerah ini. Masyarakat menerimanya dan
sejak saat itu tanaman jagung berkembang menjadi
tanaman pokok bagi penduduk di Timor dan bahkan lalu
menyebar ke berbagai pulau lain di NTT. Pada awal abad
, Pemerintah kolonial Belanda mengintrodusir ternak
sapi Bali Bos Javanicus syn. Bos sundaicus sebagai cara
untuk meningkatkan pendapatan rakyat di Timor.
Masyarakat juga menerimanya dan bahkan menjadi salah
satu komoditas pertanian andalan dari Timor, bahkan Nusa
Tenggara Timur. Jadi, menurut sejarahnya, kedua
komoditas pokok di NTT tersebut adalah hasil introduksi
dari luar sistem kemasyarakatan di Timor dan atau Nusa
Tenggara Timur. Perlu pula dicatat bahwa sama sekali tidak
ada catatan bahwa upaya introdusir tersebut didahului
dengan adanya proses sosialisasi yang makan waktu lama.
Mengapa masyarakat dapat menerima jenis‐jenis
introdusiran tersebut dan lalu mengusahakannya? Selain
karena kemungkinana ada sifat memaksa dari pemerintah
kolonial alasan lain yang dapat diduga adalah bahwa karena
dua komoditas tersebut memang menjawab kebutuhan
masyarakat. Masyarakat mengalami kelaparan dan
berpendapatan sangat rendah lalu ada solusi yang terang
benderang. Maka jadilah apa yang dimaui.
12
)su tentang pemanasan global telah cukup lama digaungkan
di Nusa Tenggara Timur tetapi bahkan sampai dengan
tahun
, yaitu ketika Forum DAS NTT melakukan
sosialisasi tentang REDD, masih cukup banyak masyarakat
yang memahami bahwa efek rumah kaca disebabkan oleh
banyaknya rumah yang menggunakan bahan banguna yang
terbuat dari kaca. Alih‐alih, banyak pula stakeholder dari
kalangan yang memiliki tingkat pendidikan yang jauh lebih
baik dari masayarakat desa memahami bahwa REDD
sesuatu yang bertalian dengan warna merah. Jika
memahami REDD saja masih merupakan suatu kesulitan
besar maka mudah diduga apa yang terjadi ketika kepada
berbagai stekholder yang ada di NTT disodori konsep
adaptasi dan mitigasi yang terkait perubaan iklim global.
Tidak semua stakeholder memberi respons seperti yang
dikemukakan tadi. Beberapa di antara mereka memiliki
paham tentang REDD akan tetapi mereka dibingungankan
dengan persamaan dan perbedaan di antara beberapa
varian terminologi REDD, REDD‐) dan REDD+. Akan tetapi
dengan beberapa penjelasan tentang hal‐hal yang
Working Group on Forest Land Tenure
membingungkan tersebut maka timbul beberapa
pertanyaan baru, antara lain, kapan REDD mulai bisa
dilakukan karena menanam bukan hal asing bagi
masyarakat, siapa yang akan mengelola REDD, apa hak dan
kewajiban masyarakat sebagai pelaku REDD dan segudang
pertanyaan lainnya yang terkait dengan cara bagaimana
REDD akan diimplementasikan. Pada pokok pertanyaan
ikutan ini maka beberapa kegamangan mulai terjadi dan
lalu respons terhadap REDD umumnya bernada skeptik.
Bagaimana memahami dua kontras situasi yang
diungkapkan di atas. Di masa lalu, introduksi jagung dan
sapi diberi respons sangat positif oleh masyarakat di NTT
tanpa perlu waktu yang lama. Pertama adalah adanya
kebutuhan yang mendasar. Lalu kebutuhan tersebut
direspsons secara tepat dan efektif oleh penguasa, siapapun
mereka, ketika itu. Poerwanto
menyatakan bahwa
perubahan sosial selalu berasal dari arah. Masyarakat
akan berubah ketika mereka sadar akan keperluan untuk
berubah imanen dan atau masyarakat akan berubah jika
pihak luar mampu meyakinkan bahwa mereka perlu
berubah dan lalu menjamin cara melakukan perubahan
dimaksud kontak . )tulah yang terjadi dalam sejarah
keberhasilan introduksi jagung dan sapi ke Timor, NTT.
Bagaimana dengan introduksi gagasan tentang REDD
sekarang ini. Di masa milenum baru. Bahwa ancaman
pemanasan global adalah suatu perkara yang perlu
diresponi secara postif tak perlu lagi diragukan. Masyarakat
memahami itu dan bahkan beberapa filosofi yang
terkandung dalam gagasan REDD inheren dalam budaya
tradisi mereka. Akan tetapi ketika terhadap beberapa
pertanyaan tentang apa, siapa, kapan, dan bagaimana
gagasan tersebut akan diimplementasikan belum memiliki
jawaban yang jelas maka tak pelak lagi idea bahwa tahun
adalah tahun tinggal landas bagi pelaksanaan penuh
full implementation dari REDD sungguh suatu utopia.
Masalahnya ada di mana? Menurut hemat penulis, akar
masalahnya ada pada tata kelola pemerintahan yang baik
good governance yang belum berjalan efektif dan efisien.
Selalu ada tiga pihak, yaitu pemerintah, swasta dan
masyarakat tetapi adalah pemerintah yang diberi mandat
untuk memerintah. Lalu, bagaimana perintahmu wahai
pemerintah? *
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
EVENT
Konferensi Internasional
“Forest Tenure, Governance, and Enterprise”
Oleh: Emila & Martua
)ndonesia dalam hal ini Kementerian Kehutanan menjadi
tuan rumah dalam Konferensi )nternasional sebagai tindak
lanjut dari konferensi sebelumnya yang diadakan di Acre,
Brasil pada Bulan Juli
dan di Yaoundè Kamerun pada
Bulan Mei
9. Kementerian Kehutanan bersama )TTO
dan RR) mengusung tema The International Conference
on Forest Land Tenure, Governance and Enterprise: Ex
periences and Opportunities for Asia in a Changing Con
text”. Konferensi diadakan di Villa Santosa (otel & Resort,
Senggigi Lombok pada tanggal ‐ Juli
. Konferensi
ini didukung dan bekerjasama dengan sejumlah elemen
masyarakat sipil, dan WG‐Tenure menjadi bagian dari
kepanitiaan tersebut.
Konferensi dibuka oleh Wakil Presiden Republik )ndonesia,
Prof. Boediono dan dihadiri oleh sekitar
peserta yang
berasal dari berbagai penjuru dunia. Unit Kerja Presiden
Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
UKP merupakan salah satu pembicara kunci pada acara
ini. Ketua UKP , Dr. Kuntoro Mangkusubroto mempresen‐
tasikan film pendek dan keynote speech dengan judul
Working Group on Forest Land Tenure
Importance of Land and Forest Tenure Reforms in
Implementing a Climate Change Sensitive Development
Agenda Pentingnya Reformasi Penguasaan (utan Dan
Lahan Dalam Mengimplementasikan Agenda Pemban‐
gunan Yang Peka Terhadap Perubahan )klim yang dise‐
but sebagai buah pemikiran bersama dengan beberapa
pihak. Keynote speech yang disampaikan oleh UKP
sangat menarik dan merupakan arahan baru penyelesain
konflik tanah dikawasan hutan yang diharapkan bisa men‐
jadi tonggak sejarah bagi terbangunnya safeguard bagi hak
hak masyarakat yang ada di dalam dan sekitar kawasan
hutan selama ini.
Dr. Kuntoro Mangkusubroto menyampaikan sebagai unit
kerja Presiden dituntut untuk dapat memandang berbagai
isu melalui perspektif lintas sektor, melampaui dinding‐
dinding birokrasi baik secara literal dan harfiah, untuk me‐
mastikan bahwa berbagai kegiatan berjalan di lapangan.
Juga untuk memastikan bahwa pemerintah mengerjakan
layanan publik sesuai dengan komitmen Presiden.
w w w .w g-tenure.org
- Warta Ten ur e Nomor 9 - Juli 2011
13
EVENT
Disampaikan oleh UKP bahwa salah satu komitmen
Presiden adalah menurunkan emisi sebesar % apabila
tidak ada campur tangan internasional dan sebesar %
apabila ada dukungan dari komunitas internasional pada
tahun
. Sekarang lebih dari % emisi di )ndonesia
berasal dari penggunaan lahan dan sector kehutanan, di‐
mana diprediksi akan terus terus bertambah sampai
dengan tahun
mendatang. Untuk itu maka penge‐
lolaan sumberdaya alam dan penggunaan lahan me‐
mainkan peran yang sangat vital untuk mewujudkan
komitmen Presiden tersebut.
Selaras dengan komitmen ini, )ndonesia juga menetapkan
target lainnya yaitu % pertumbuhan ekonomi. Untuk
mencapainya Pemerintah )ndonesia sudah melansir mas
ter plan ekonomi untuk menciptakan enam koridor
ekonomi. Untuk mewujudkan keseimbangan antara komit‐
men penurunan emisi dan pencapaian target pertumbuhan
ekonomi tersebut Pemerintah bertekad untuk mewujud‐
kan pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan penge‐
lolaan sumberdaya alam sebagai asset bangsa.
Pada tahun
sektor Kehutanan berkontribusi pada
GDP sebesar . %. Meskipun bukan sebagai penyumbang
devisa yang besar, tetapi berjuta masyarakat bergantung
hidupnya pada hutan dan hasil hutan, termasuk di dalam‐
nya masyarakat adat dengan adat istiadatnya. )su land ten‐
ure merupakan keniscayaan dalam pengelolaan sumber‐
daya alam secara nasional sebagai respon dari tantangan
perubahan iklim dan manfaat
bagi masyarakat yang hidup di
dalam dan sekitar hutan. Per‐
baikan tata kelola kehutanan
dan land tenure sejalan dengan
usaha pemerintah dalam upaya
mengurangi kemiskinan, di
mana terdapat sedikitnya
juta orang yang menggantung‐
kan hidup dari hutan berada di
bawah garis kemiskinan.
pengaturan land tenure yang tepat adalah syarat utama
dalam mewujudkan pembangunan dan kehidupan berke‐
lanjutan.
Sejarah panjang penguasaan hutan dan tanah telah mem‐
bawa negara ini pada suatu titik dengan dua tantangan
yang mendesak. Yang pertama, dualisme pendefinisian
hutan sebagai kategori biofisik dan administratif. )ndone‐
sia memiliki hutan yang luas, bahkan termasuk hutan
primer, yang mencapai juta hektar di luar wilayah yang
diklasifikasikan sebagai Kawasan (utan. Pada saat yang
sama, terdapat juta hektar lahan tidak berhutan di
dalam Kawasan (utan. Situasi ini menyebabkan adanya
hutan‐hutan yang berisiko terhadap pemanfaatan yang
tidak berkelanjutan dan terbatasnya akses untuk mengel‐
ola lahan untuk penggunaan yang optimal dan terbaik.
Yang kedua, hak‐hak pribadi yang belum diakui, termasuk
t