Warta Tenure Volume 8
KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH)
SALAH SATU JALAN RESOLUSI KONFLIK,
PRAKONDISI PENYIAPAN IMPLEMENTASI REDD
Oleh: Ir. Sriyono, MM & Ir. Ali Djajono, MSc.
Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan
Ditjen Planologi, Kementerian Kehutanan
P
embentukan KP( telah menjadi amanat peraturan perundangan bidang kehutanan antara lain UU No. tahun tentang Konservasi Sumberdaya Alam (ayati dan Ekosistemnya; UU / tentang Kehutanan, PP / tentang Perencanaan Kehutanan, PP / Jo PP / tentang Tata (utan, Penyusunan Rencana Pengelolaan (utan, serta Pemanfaatan (utan; PP / tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; PP / tentang Organisasi Perangkat Daerah; Permenhut P. / Menhut‐))/ tentang Pembentukan Wilayah KP(; dan Permenhut P. /Menhut‐))/ tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria NSPK Pengelolaan (utan pada KP( Lindung KP(L dan KP( Produksi KP(P . Lalu mengapa harus ada KP(? Untuk menuju pengelolaan hutan lestari harus ada organisasi tingkat tapak sebagai organisasi teritory wilayah . Organisasi tingkat tapak tersebut adalah Kesatuan Pengelolaan (utan KP( yang benar‐benar menjalankan fungsi menagemen/pengelolaan pada wilayahnya.Tentang KPH
Kesatuan Pengelolaan (utan KP( adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Seluruh kawasan hutan di )ndonesia akan terbagi dalam wilayahwilayah KPH, serta akan
menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi, kabupaten/kota. KP( meliputi KP( Konservasi KPHK, KP( Lindung KPHL , KP( Produksi KPHP , dimana dalam satu wilayah KPH, dapat terdiri lebih dari satu fungsi
pokok hutan, dan penamaannya berdasarkan fungsi hutan
yang luasnya dominan.
Penetapan wilayah KPH menjadi kewenangan Menteri Kehutanan dan dapat dievaluasi untuk kepentingan
efisiensi dan efektivitas serta karena adanya perubahan tata ruang. Pada setiap wilayah KP( dibentuk institusi pengelola yang merupakan organisasi tingkat tapak yang akan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan hutan. Organisasi KP( tersebut harus dikelola oleh SDM yang profesional di bidang kehutanan.
Organisasi KP(L dan KP(P adalah Organisasi Daerah sementara Organisasi KP(K adalah Organisasi Pusat. Organisasi KP( menyelenggarakan fungsi pengelolaan (managemen) tidak menjalankan fungsi pengurusan
administrasi termasuk kewenangan publik. )nstansi Ada Institusi
Tidak ada Institusi
Potensi SDH
Potensi SDH (+)
(+)
(-) (-)
Perambahan Illegal Loging Rehabilitasi PHL
(2)
Pemerintah Dephut, Dinas Provinsi/Kab/Kota menyelenggarakan fungsi administrasi atau pengurusan hutan.
Selain tugas pengelolaan seperti digambarkan dalam bagan di atas tugas dan fungsi organisasi KP( lainnya antara lain adalah menjabarkan kebijakan kehutanan Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota untuk diimplementasikan; melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya; serta membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, sesuai kewenangannya bertanggung jawab terhadap pembangunan KP( dan infrastrukturnya. Sementara itu dana pembangunan KP( dapat bersumber dari APBN, APBD, serta sumberdana lain yang tidak mengikat. Pemerintah Kementerian Kehutanan berkewajiban menfasilitasi peningkatan kompetensi SDM pengelola KP( melalui Pendidikan dan Pelatihan.
Dengan menjalankan fungsi pengelolaan hutan tersebut, KP( mempunyai peran Strategis dalam mendukung penyelenggaraan pembangunan kehutanan, antara lain:
Optimalisasi akses masyarakat terhadap hutan
serta merupakan salah satu jalan bagi resolusi konflik. Keberadaan KP( di tingkat lapangan yang dekat masyarakat, akan memudahkan pemahaman permasalahan riil di tingkat lapangan, untuk sekaligus memposisikan perannya dalam penetapan bentuk akses yang tepat bagi masyarakat serta saran solusi konflik
Menjadi salah satu wujud nyata bentuk desentralisasi sektor kehutanan, karena
organisasi KP(L dan KP(P adalah organisasi perangkat daerah.
Keberadaan KP( mempunyai nilai strategis bagi kepentingan Nasional, antara lain mendukung
Gambaran
GambaranPembentukan Wilayah KPHPembentukan Wilayah KPH
KABUPATEN A
KABUPATEN B KPHP
KPHK
KPHK
KPHL TN
HP
CA TB HL
HL HP HL
TN
HL
KPHL
komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi karbon sebesar % pada tahun dimana % nya adalah sumbangan sektor kehutanan , karena KP( merupakan organisasi tingkat tapak lapangan yang akan berperan dalam penerapan pengelolaan hutan lestari, penurunan tingkat degradasi hutan, peningkatan rehabilitasi hutan, penurunan hotspot, serta dapat menjalankan fungsi Measurement, Reporting, Verification MRV yang merupakan salah satu indikator penting dalam penilaian keberhasilan penurunan emisi tersebut.
Menjamin penyelenggaraan pengelolaan hutan akan tepat lokasi, tepat sasaran, tepat kegiatan, tepat pendanaan.
Menjembatani optimalisasi pemanfaatan potensi pendanaan penanganan iklim sektor kehutanan untuk kepentingan pembangunan masyarakat.
Kemudahan dalam investasi pengembangan sektor kehutanan, karena ketersediaan data/informasi detail tingkat lapangan.
Menjamin Peningkatan keberhasilan penanganan rehabilitasi hutan dan reklamasi, karena adanya
organisasi tingkat lapangan yang mengambil peran untuk menjamin penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan reklamasi. Sekaligus akan menjalankan peran penanganan pasca kegiatan seperti: pendataan, pemeliharaan, perlindungan, monev.
KPH sebagai sebuah solusi konflik??
Pembentukan KP( bisa dijadikan sebagai peluang resolusi konflik. KP( dibangun sangat memperhatikan dan mempertimbangkan kekhasan masing‐masing daerah
local specific , sehingga KP( dibangun tidak seragam ,
untuk menghindari permasalahan pada masing‐masing wilayah lokasi .
Menjadi jembatan bagi terjalinnya komunikasi institusi di tingkat Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dengan masyarakat, karena KP( merupakan institusi pemerintah yang berada di tingkat tapak. Terjalinnya komunikasi
4 1. Perencanaan
Kehutanan 2. Pengelolaan
3. Litbang, Diklat Penyuluhan 4. Pengawasan
1. Tata hutan & RP 2. Pemanfaatan Hutan 3. Penggunaan
Kawasan Hutan 4. Rehabilitasi 5. Perlindungan &
Konservasi
PENGURUSAN HUTAN
BAGAN 1 POSISI PENGURUSAN DAN PENGELOLAAN HUTAN
Diselenggarakan Oleh KPH
(3)
SAMBUNGAN DARI HALAMAN 1
D)NAM)KA WG‐TENURE
Keberadaan masyarakat telah merubah hampir seluruh tutupan lahan di Wilayah KP(P Model Register Kabu‐ paten Lampung Tengah dengan berbagai jenis tanaman pertanian seperti jagung, singkong, padi, dan lain‐lain maupun perkebunan karet, sawit dan sedikit tanaman kehutanan akasia . Sementara itu permasalahan sertifi‐ kasi lahan di dalam kawasan ditemui di KP(L Model Rin‐ jani Barat, NTB. Bermacam‐macam sistem kelola masyarakat tradisional ditemui di calon KP( Model yang diusulkan Kab. Kuala Kapuas. (asil assessment dan analisa tenurial telah dipresentasikan pada workshop sosialisasi dan konsolidasi KP( di Mataram NTB dan di Kabupaten Lampung Tengah. Dari ketiga wilayah assess‐ ment tata batas kawasan hutan terlihat belum digunakan sebagai landasan untuk menetapkan wilayah KP(. Keberadaan masyarakat dengan tata kelolanya bisa dili‐ hat sebagai peluang dan tantangan, dengan mengede‐ pankan tetap terjaminnya fungsi hutan untuk mewujud‐ kan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari sesuai dengan cita‐cita pembentukan KP(. (asil assessment dan analisa land diakses di www.wg‐tenure.org
Melihat berbagai persoalan land tenure dalam pengel‐ olaan hutan serta kesiapan masyarakat dalam mengha‐ dapi implementasi REDD, dengan dukungan dana dari
Samdhana Institute, WG‐Tenure melakukan kegiatan
dengan fokus meningkatkan pemahaman para pihak ter‐ hadap permasalahan land tenure dalam persiapan dan kesiapan implementasi REDD di )ndonesia.
Diskusi dengan tema Permasalahan Land Tenure dan Persiapan Implementasi REDD: Antara Kebijakan dan Re alita” telah diadakan pada Mei yang lalu. Bagai‐
mana proses diskusi tersebut disajikan dalam rubrik Seri Diskusi. ***
antara )nstasni Pemerintah dengan masyarakat diharapkan dapat menjadi bahan bagi instansi pemerintah dalam menyusun program‐program di tingkatan masing‐masing Pusat‐Provinsi‐Kabupaten/ Kota . KP( harus berfungsi menterjemahkan program‐ program Pusat/Provinsi/Kab/Kota yang telah ditentukan ke tingkat lapangan sesuai kebutuhan specifik lokasi dan masyarakat setempat.
Sebagai organisasi tapak, KP( mempunyai mata dan tangan untuk menggali potensi sekaligus pemetaan social ekonomi masyarakat sekitar hutan. Disamping itu KP( dapat menjalin interaksi dan komunikasi intensif dengan masyarakat, sekaligus menggali alternative solusi sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan demikian KP( dapat mengejawantahkan potensi dan permasalahan menjadi kegiatan yang benar‐benar mencerminkan harapan masyarakat dan aspirasi masyarakat.
Menjadi jembatan bagi terjalinnya komunikasi institusi di tingkat Pusat/Provinsi/Kabupaten/kota dengan masyarakat, karena KP( merupakan institusi pemerintah yang berada di tingkat tapak. Terjalinnya komunikasi antara )nstansi Pemerintah dengan masyarakat diharapkan dapat menjadi bahan bagi instasni pemerintah dalam menyusun program‐program di tingkatan masing‐masing Pusat‐Provinsi‐Kabupaten/ Kota . KP( harus berfungsi menterjemahkan program‐ program Pusat/Provinsi/Kab/Kota yang telah ditentukan ke tingkat lapangan sesuai kebutuhan specifik lokasi dan masyarakat setempat. ***
”Sebagai
organisasi
tapak,
KPH
mempunyai
”mata
dan
tangan”
untuk
menggali
potensi
sekaligus
pemetaan
social
ekonomi
masyarakat
sekitar
hutan.
Disamping
itu
KPH
dapat
menjalin
interaksi
dan
komunikasi
intensif
dengan
masyarakat,
sekaligus
menggali
alternative
solusi
sesuai
kebutuhan
masyarakat.”
(4)
erusakan hutan disebabkan oleh tindakan manusia dan tindakan manusia akibat cara pikir yang digunakannya. Untuk itu bisa jadi kerusakan hutan bukan masalah penting, karena hanya soal kerusakan fisik. Sangat berbahaya apabila kerusakan cara pikir – di balik tindakan‐ tindakan manusia itu – tidak dapat diperbaiki. Dan memang terbukti sangat sulit memperbaikinya, dari‐ pada sekedar membangun tegakan hutan untuk mengganti hutan yang rusak. Tulisan ringkas ini menunjukkan hal tersebut.
Penyebab kerusakan hutan
Meskipun banyak faktor sebagai penyebab kerusakan hutan, namun ketidak‐pastian status kawasan hutan dan lemahnya pengelola hutan di tingkat tapak/ lapangan –Kesatuan Pengelolaan (utan KP( – diketahui sebagai akar masalahnya. Kenyataan‐ kenyataan berikut dapat dipertimbangkan sebagai argumen:
Kawasan hutan seluas , juta (a , % tidak dikelola secara intensif. Diantaranya seluas juta (a, dikelola Pemda Dep(ut, a .
Antara , ‐ , juta (a kawasan hutan terdapat kon‐ flik: tumpang‐tindih klaim, desa/kampung . desa di prop , serta izin sektor lain kebun/ tambang BPS dan Dep(ut, dan . Data nasional, Desember , luas kawasan hutan
produksi yang dikonversi dan telah dilepaskan/ dicadangkan oleh Menteri Kehutanan untuk budi‐ daya perkebunan seluas . . , (a untuk
unit perusahaan. Dari luas tersebut, tanaman yang telah direalisasikan hanya . . , ha ± , % . Fakta tersebut menunjukkan bahwa ijin untuk pembangunan perkebunan ternyata hanya dalih untuk memperoleh kayu. Kawasan hutannya sendiri akan ditelantarkan atau bahkan ijin pe‐ lepasan kawasan hutan diperjual‐belikan
Sudharto, .
Selama ‐ , anggaran Departemen Kehutanan rata‐rata sebesar Rp. . milyar per tahun, untuk mengurus kawasan hutan hanya , % DKN,
.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan hu‐ tan – juga sumberdaya alam lainnya – tidak benar‐benar dilakukan, dan secara politik belum pernah mendapat pri‐ oritas. Seluruh lembaga Pemerintah/Pemda sesuai UU No
/ tentang Kementerian Negara dan PP No. / tentang Organisasi Perangkat Daerah lebih ber‐ fungsi mengadministrasikan ijin pemanfaatan sumber‐ daya alam dan bukan mengelola sumberdaya alam. Untuk bidang kehutanan, Kementerian Kehutanan mengatasi masalah tersebut dengan membangun organisasi Ke‐ satuan Pengelolaan (utan KP( yang berfungsi mengel‐ ola hutan di tingkat tapak/lapangan.
Disamping itu belum ada mekanisme penyelesaian konflik penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan, dan peram‐ bahan hutan pada umumnya cenderung dibiarkan. Sejum‐ lah . desa di dalam kawasan hutan di atas menjadi bukti demikian itu.
Kerusakan hutan juga disebabkan oleh pembiaran terha‐ dap pemegang ijin pengusahaan hutan alam (P(/ )UP((K‐(A yang kinerjanya buruk. Dari penilaian kinerja ‐ diperoleh hasil penilaian berkinerja baik %, sedang %, dan buruk %. (al ini berarti bahwa dari perusahaan seluas , juta (a sekitar , juta (a % x , juta hutan alam produksi akan rusak, karena kinerja usahanya buruk, tanpa ada solusi kebijakan untuknya )smanto, .
Penyebab kegagalan menanam
Kementerian Kehutanan dalam lima tahun ke depan akan menggalakkan kegiatan penanaman melalui berbagai skema yang melibatkan masyarakat, seperti: (utan Ke‐ masyarakatan, (utan Rakyat, (utan Tanaman, (utan Rakyat Kemitraan, Restorasi Ekosistem serta Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai. Ditargetkan sampai dengan tahun akan ditanam setiap tahun berkisar , juta hektar sampai dengan , juta hektar, dan sampai diharap‐ kan mencapai seluas sekitar juta hektar.
Terkait dengan hal tersebut, Pokja Kebijakan Kementerian Kehutanan melakukan telaah terhadap penilaian GER(AN yang dilakukan oleh PT Equality )ndonesia tahun / di wilayah Propinsi Jawa Barat, realisasi penanaman cukup tinggi melebihi %.
Soal Tenurial, KPH dan
“The Trapped Administrators”
Oleh: Hariadi Kartodihardjo
Pengajar pada Fakultas Kehutanan )nstitut Pertanian Bogor dan Sekolah Pascasarjana )nsti‐ tut Pertanian Bogor dan Universitas )ndonesia, anggota Presidium Dewan Kehutanan Na‐ sional <hariadi@indo.net.id>.
(5)
Rata‐rata realisasi penanaman di kabupaten sekitar %. Namun tanaman yang hidup hanya sekitar %. Dari yang hidup sebagian besar kondisi pertumbu‐ hannya tidak bagus atau tidak sehat. Rata‐rata tanaman yang hidup dan sehat hanya sekitar %. Dengan kondisi ini maka diperkirakan tanaman program GER‐ (AN yang berhasil hidup sampai mencapai tingkat po‐ hon hanya sekitar % * * = % . (al ini akibat dilakukan penanaman tetapi tidak dipelihara karena ti‐ dak ada pengelolanya KP( atau lahannya konflik. (al yang terkait rencana penanaman di atas adalah pentingnya menjawab pertanyaan dimana lokasi juta (a di tengah‐tengah konflik penggunaan lahan saat ini dan siapa yang akan memelihara tanaman?
Birokrat terperangkap
Kondisi di atas sejalan dengan ide mengenai birokrat yang terperangkap the trapped administrators , yaitu
mereka yang setuju dengan perbaikan kebijakan namun ikut menghambat perubahan kebijakan ketika mengha‐ dapi konsekuensi negatif bagi dirinya Fox and Staw,
.
KP( dan penyelesaian masalah tenurial adalah bagian dari solusi kerusakan hutan maupun penyebab kega‐ galan penanaman, namun belum pernah mendapat du‐ kungan signifikan untuk mewujudkannya. Orientasi jangka panjang pembangunan KP( dan penyelesaian masalah tenurial belum pernah menjadi pilihan, sebali‐ knya orientasi menanam pohon tanpa ada yang mengel‐ olanya menjadi prioritas utama.
Realitas di atas sejalan dengan pendapat Niskanen , bahwa birokrat yang terperangkap seolah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menjalankan kebi‐ asaannya memaksimumkan anggaran tanpa memper‐ hatikan efektivitas manfaatnya, karena lebih
menguntungkan bagi dirinya. Akibat hal yang demikian itu, kebijakan kehutanan pada umumnya ber‐
isi prosedur administrasi birokrasi dan bukan solusi atas masalah nyata di lapangan. Untuk itu kebijakan prioritas Kementerian Kehutanan tidak akan efektif dijalankan apabila tidak disertai reformulasi peraturan ‐perundangan serta reformasi birokrasi. ***
Daftar pustaka
BPS Biro Pusat Statistik , . )dentifikasi Desa Dalam Kawasan (utan. Kerja sama Pusat Ren‐ cana dan Statistik Kehutanan, Departemen Ke‐ hutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik, Jakarta
BPS Biro Pusat Statistik , . )dentifikasi Desa Dalam Kawasan (utan. Kerja sama Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik, Jakarta
Departemen Kehutanan Dep(ut , a. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun ‐ . Departemen Kehutanan. Jakarta.
_______________________, b. Kebijakan Pembangunan (utan Tanaman Rakyat. Direktorat Bina Pengembangan (utan Tanaman. Departemen Kehutanan. Jakarta.
DKN Dewan Kehutanan Nasional , . Meniti Langkah Membangun Pilar Kehutanan: Prioritas Revisi Regulasi Pengelolaan (utan Alam dan (utan Tanaman. Jakarta.
Fox, F. V. and Staw, B. M. . The traPerum Perhuta‐ nied administrator: Effects of job insecurity and policy resistance upon commitment to a course of action. Administrative Science Quarterly,
: – .
)smanto, A. D., . Permasalahan )nstitusi Pengelolaan (utan dan Pemanfaatan (utan Alam Produksi. Disertasi. Draft. Sekolah
Pascasarjana. )PB. Bogor.
Kelompok Kerja Kebijakan, Kementerian Kehutanan. . Skenario Emisi dan Penyerapan Karbon. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Niskanen, W. A. . The peculiar economics of bu‐ reaucracy. American Economic Review, :
– .
Sudharto, D., . (ambatan )mplementasi Kebijakan Kehutanan. paper sebagai bahan diskusiinformasi oleh Pusat Kajian Agraria/PKA‐ )PB yang dihadiri oleh wakil‐wakil dari Departemen Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional pada tanggal Mei . Tidak diterbitkan.
KP( dan penyelesaian ma‐
salah tenurial adalah bagian
dari solusi kerusakan hutan
maupun penyebab kega‐
galan penanaman, namun
belum pernah mendapat
dukungan signifikan untuk
(6)
Belakangan ini berbagai lembaga di )ndonesia, baik lem‐ baga pemerintah maupun LSM, mulai terkena demam REDD. Demam ini terpicu karena perkembangan REDD di tingkat internasional sebagai prakarsa untuk merang‐ sang upaya‐upaya mitigasi perubahan iklim yang untuk sebagiannya terjadi karena emisi karbon dari defor‐ estasi dan degradasi hutan. Rangsangan yang digagas‐ kan adalah penyediaan insentif finansial bagi pemerin‐ tah dan pemangku kepentingan lainnya yang berperan dalam upaya‐upaya mengurangi emisi karbon karena deforestasi dan degradasi hutan tersebut, dan inilah yang kemudian dikenal dengan istlah REDD Reducing
Emisions from Deforestarion and Forest Degradation .
Keikutsertaan )ndonesia dalam Skema REDD sudah da‐ pat dipastikan karena merupakan salah satu negara yang mengusulkan dimasukannya hutan tropis dalam prakarsa global penanggulangan perubahan iklim yang dikembangkan UNCCC. Namun hal itu kemudian menuai kontroversi ketika banyak pihak mengkhawatirkan bahwa jika Skema REDD diterapkan, masyarakat yang berada di dalam dan disekitar hutan bukan saja akan terabaikan bahkan bisa jadi disingkirkan. Kekhawatiran ini diungkapkan dalam berbagai publikasi dan dalam berbagai forum yang membahas REDD ini, baik di tingkat lokal, nasional dan internasional.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan karena dalam pengelolaan sumberdaya hutan dimasa lampau, bahkan sampai saat ini,seringkali warga masyarakat setempat memang terabaikan. Pengabaian dan penyingkiran ini terjadi karena berbagai hal, terutamanya ketidak‐ jelasan hak‐hak masyarakat atas sumberdaya hutan. Tidak perlu disebutkan lagi bahwa dimasa lampau di banyak tempat di )ndonesia wilayah konservasi Taman Nasional, Cagar Alam, (utan Lindung, dan sebagainya , konsesi kehutanan (P( dan perkebunan (T) ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah. Akibatnya berbagai kelompok masyarakat yang selama beberapa generasi telah hidup di lokasi‐lokasi yang bersangkutan diperhadapkan dengan kenyataan bahwa mereka tidak berhak lagi atas wilayah hidup dan lahan‐lahan yang mereka gunakan selama ini. Memang disana‐sini ada upaya untuk mengatasi sengketa atas sumberdaya hutan antara masyarakat, pemerintah, dan perusahaan, namun kebanyakan upaya itu masih bersifat lokal.
Skema hutan kemasyarakatan (KM di hutan‐lindung dan pengakuan atas keberadaan hutan adat, misalnya, di be‐ berapa tempat cukup berhasil meredam sengketa antara masyarakat dan pemerintah.
Pertanyaannya kemudian adalah apakah REDD bisa terlak‐ sana dengan baik dalam keadaan seperti itu? Jangan‐jangan pihak‐pihak yang mengkhawatirkan bahwa REDD akan mem‐ perburuk keadaan masyarakat akan terbukti benar. Bisa di‐ pahami kemudian bahwa ada upaya penolakan terhadap Skema REDD itu, dan pekik perang AMAN No Rights, No REDD menjadi sangat masuk akal. Namun, jika kita melihat
kenyataan bahwa )ndonesia adalah salah satu negara pemra‐ karsa REDD di forum UNCCC, bahwa pemerintah )ndonesia sudah menyatakan komitmennya terhadap REDD di forum internasional itu, dan sudah pula melakukan berbagai persi‐ apan antara lain pembentukan Pokja REDD Nasional, penetapan Peraturan Menteri tentang REDD apakah ke‐ mudian upaya untuk menolak, atau setidak‐tidaknya menunda, REDD adalah sesuatu yang secara politis realistis? Sisi terangnya adalah bahwa pokok persoalan tentang distri‐ busi manfaat REDD pada masyarakat memang menjadi salah pokok perhatian para perunding di forum‐forum UNCCC tersebut. )ni tentu tidak terlepas dari prakarsa advokasi ber‐ bagai lembaga konservasi dan lembaga yang berperhatian terhadap masyarakat setempat indigenous people . Kepu‐
tusan mutakhir di Conference of Parties COP di Copenhagen
mengkaitkan Skema REDD dengan UNDR)P United Nations Declaration on the Rights of Indegenous People , walaupun
kemudian dinyatakan tidak mutlak mengikat. Juga Standar CCBA the Climate, Community dan Biodiversity Alliance men‐
syaratkan bahwa Skema REDD harus bermanfaat pula bagi masyarakat, bahkan mensyaratkan pula FP)C Free Prior In formed Consent dari masyarakat yang berada di kawasan
hutan yang akan dicakupkan dalam Skema REDD. Namun perlu dikatakan bahwa standar/prasyarat itupun bisa jadi hanya menjadi panduan yang tidak mengikat pula.
Bisa jadi memang bahwa gelasnya setengah penuh karena nampaknya REDD berpeluang digunakan untuk mengangkat dan memperjuangkan hak‐hak masyarakat lokal. Paling tidak, ketika nilai hutan berupa kredit karbon diperoleh dari hutan yang dibiarkan utuh, kepentingan masyarakat yang hidup dari sumber‐sumber hutan selain kayu semestinya lebih be‐ sar kemungkinannya bisa diakomodasikan dalam sistem pengelolaan hutan yang bersangkutan.
REDD bagi Masyarakat Setempat: Ancaman atau
Peluang
(7)
Namun penerapan program pengelolaan sumberdaya hutan apapun, termasuk program/proyek REDD, harus memper‐ timbangkan realita di lapangan. Beberapa kenyataan yang diamati adalah:
Timbunan karbon potensial berada di wilayahwilayah sengketa. Banyak hutan alam yang masih terjaga dan
merupakan timbunan karbon potensial REDD sudah menjadi wilayah konservasi dan/atau wilayah konsesi, sementara ada masyarakat yang tinggal di wilayah itu. Dalam beberapa kasus penetapan wilayah konservasi dan konsesi itu sendiripun dapat dipertanyakan karena tidak memenuhi prasyarat dan prosedur yang ditetap‐ kan oleh undang‐undang dan peraturan pemerintah yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. Beberapa sengketa yang ditengarai adalah antara lain:
a. Sengketa antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten: walaupun berada di daerah dan harus
pepertimbangkan dalam pengembangan tata‐wilayah daerah, kawasan konservasi pada umumnya meru‐ pakan kewenangan pemerintah pusat, dan ini ke‐ mudian di beberapa menjadi persoalan sendiri mana‐ kala pusat dan daerah tidak bisa bersepakat, ber‐ koordinasi, dan bekerjasama.
b. Sengketa antara pemerintah dan perusahaan. )ni bi‐
asanya menyangkut penegakan regulasi tentang pengelolaan hutan atau kawasan serta kewajiban‐ kewajiban menurut kontrak karyanya, termasuk ke‐ wajiban terhadap masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang dikelola. )ni adalah suatu persoalan tersendiri ketika kemapuan pemerintah untuk memantau sepak‐terjang perusa‐ haan dan menegakan aturan nyata‐nyatanya terba‐ tas.
c. Sengketa antara perusahaan dan masyarakat. Di cu‐
kup banyak wilayah konsesi (P(, perkebunan pe‐ rusahaan yang bersangkutan merasa berhak penuh atas sumberdaya hutan yang bersangkutan karena memang telah memperoleh ijin konsesi yang legal, sementara masyarakat di wilayah itu merasa mem‐ punyai claim sejarah atas wilayah yang sama.
d. Sengketa antara pemerintah dan masyarakat. Dalam
banyak kasus unit pengelola wilayah konservasi pe‐ merintah Dinas Kehutanan, BKSDA, Balai Taman Nasional merasa berwenang penuh atas wilayah yang secara legal memang menjadi jurisdiksinya, se‐ mentara masyarakat yang berada di wilayah yang bersangkutan merasa memiliki hak sejarah atas wilayah itu.
e. Sengketa pemerintah dan/atau perusahaan dengan LSM. Ada berbagai LSM )nternasional, Nasional,
dan Lokal yang ikut meramaikan dunia pengel‐ olaan sumberdaya alam. LSM‐LSM ini mengusung
berbagai agenda, antara lain agenda konservasi, agenda hak‐hak masyarakat, agenda pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, dan sebagainya. Mereka kemudian memperjuangkan agenda itu den‐ gan berbagai pendekatan, mulai dari pengembangan masyarakat community development , pengemban‐
gan program konservasi, fasilitasi kerjasama multi‐ pihak, sampai dengan advokasi konfrontasional. Dalam kegiatannya itu mereka sering berhadapan dengan para pemangku kepentingan lainnya karena perbedaan padangan dan pendekatan dalam mewu‐ judkan agendanya,
Uraian ringkas tentang sengketa ini barulah gambaran yang terlalu sederhana karena dalam kenyataannya seng‐ keta‐sengketa itu tidak hanya melibatkan dua pihak saja tetapi sering berupa sengketa multi‐pihak yang rumit dan sukar untuk diurai. Selain itu, masing‐masing pesengketa itu sering pula masih mengalami sengketa internal; ada sengketa kebijakan antar instansi pemerintah, ada seng‐ keta tata‐batas antar desa, ada tumpang‐tindih wilayah konsesi antar perusahan, dan sebagainya. Juga, hubungan antara para pesengketa itu – terutama jika salah satu pi‐ hak adalah masyarakat – seringkali sangat timpang, dan ini tentu akan menyulitkan penyelesaian sengketa itu den‐ gan cara‐cara yang baik.
Selain itu, masih banyak masalah lainnya, antara lain:
Kesiapan pemerintah daerah. Beberapa pemerintah
kabupaten yang terkena deman REDD dan berniat menjual karbon tanpa sepenuhnya memahami skema‐ nya. Ada yang dipicu pula oleh carbon cowboys, pe‐
rusahaan‐perusahaan intermediary yang berspekulasi
yang menebar janji penjualan karbon rupanya tanpa penjelasan yang memadai. Ada pula pemerintah kabu‐ paten yang cuek‐cuek saja walaupun sebagian wilayahnya telah dicanangkan sebagai wilayah REDD.
(8)
Singkat kata, masih terlalu banyak lembaga pemer‐ intah kabupaten yang berminat dan semestinya ber‐ peran penting namun tidak siap.
Kesiapan pemerintah desa dan kelemahan kelemba gaan masyarakat. Kemampuan kelembagaan
masyarakat untuk berpartisipasi secara bermakna juga merupakan tantangan yang besar. Partisipasi dalam skema REDD masyarakat hanya akan ber‐ makna bila dikembangkan berdasarkan hak‐hak yang jelas. Jika dalam kenyataannya hak‐hak itu belum ada, masyarakat memerlukan kemampuan untuk memperjuangkan hak‐hak itu melalui advo‐ kasi dan perundingan. Namun keterorganisasian sosial dan politik masyarakat untuk dapat melaku‐ kan hal itu masih sangat rentan semetara pemerin‐ tah desa sering memposisikan dirinya sebagai kepanjangan tangan pemerintah dan bukannya wakil masyarakat terhadap pemerintah dan pihak‐ pihak lainnya, dan kelembagaan adat dimana masih ada sudah terlemahkan.
Uraian ringkas diatas ini nampaknya memberikan gam‐ baran yang cukup suram tentang konteks sumberdaya hutan dalam mana REDD akan diterapkan.
Pertanyaannya kemudian apa yang dibutuhan untuk mengatasi masalah itu. Perlu diingat bahwa REDD nanti‐ nya akan sangat tergantung pada pasar karbon, dan para calon pembeli karbon tentunya mengharapkan kepas‐ tian bahwa investasi mereka benar‐benar akan mengu‐ rangi emisi karbon sebanding dengan investasi mereka. Pengelolaan timbunan karbon yang mencakup wilayah hutan yang cukup luas niscaya akan memerlukan koor‐ dinasi dan kerjasama antara semua pemangku kepentin‐ gan, namun gambaran suram tentang berbagai sengketa antara para pemangku kepentingan pengelola karbon yang mengancam terwujudnya pengelolaan yang baik niscaya akan dinilai sebagai cukup berisiko dan inves‐ tasi dalam keadaan itu pasti tidak akan dinilai sebagai gagasan yang baik.
Artinya, penciptaan iklim yang kondusif untuk investasi REDD menuntut kebijakan‐kebijakan pemerintah dan tindakan‐tindakan nyata dari semua pemangku ke‐ pentingan yang mengarah pada penyelesaian sengketa‐ sengketa yang ada, termasuk penyelesaian masalah hak‐ hak masyarakat. Sebagai penjual karbon, pemerintah perlu dapat memberikan jaminan bahwa hutan terjaga dan bahwa standar REDD terpenuhi, termasuk standar CCBA yang mensyaratkan bahwa masyarakat mendapat‐ kan manfaat yang layak dan sebanding dengan partisi‐ pasi mereka. Pertanyaanya kemudian adalah apakah insentif REDD bisa menjadi motivasi yang cukup kuat bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk menyelesaikan masalah‐masalah yang berkenaan dengan hak‐hak masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan sementara kita tahu bahwa masalah‐ masalah itu sebenarnya bukan masalah baru, bahkan dapat dikatakan sudah menahun.
Katakanlah bahwa memang demikian – bahwa pemerintah dalam rangka menciptakan dan memantapkan semua pra‐ syarat yang diperlukan untuk pelaksanaan REDD dengan berhasil akan cukup serius – lalu apakah yang dapat dan perlu dilakukan? Selain apa yang telah disebutkan diatas, se‐ cara ringkas beberapa gagasan lain diberikan sebagai berikut:
Pemberdayaan semua pihak. )ni bukan saja menyangkut
pemahaman tentang REDD sebagaimana yang disana‐sini sudah dilakukan dengan kegiatan sosialisasi , tetapi juga kemampuan nyata untuk mengelola kegiatan dan – ini yang terpenting – kemampuan untuk membangun ker‐ jasama melalui perundingan dan perencanaan kolabo‐ ratif. (al ini tentunya penting untuk semua pihak, tetapi terutama untuk masyarakat. Artinya perlu upaya persia‐ pan kelembagaan masyarakat, termasuk pemerintah desa, yang selama ini terabaikan.
Lalu siapakah yang akan melakukan hal ini? Dinas apakah di pemerintah kabupaten yang dapat mendamp‐ ingi masyarakat dalam pengembangan kesadaran dan kemampuan organisasi dan managerial yang memadai? Ada beberapa LSM – terutamanya LSM )nternasional den‐ gan mitra LSM lokal – yang telah mulai prakarsa untuk ini. Tetapi kita tahu bahwa usaha‐usaha LSM pada umum‐ nya hanya dilakukan pada skala yang terbatas dengan lokasi yang tersebar dan bisa jadi bahwa itu tidak cukup bermakna untuk skala REDD.
Pengelolaan sengketa. Sengketa yang berlanjut adalah
pertanda hubungan buruk antara para pemangku ke‐ pentingan dan menjadi hambatan dalam pengembangan kerjasama antara mereka. Karenanya diperlukan upaya untuk mengelola sengketa‐sengketa yang ada dan sejauh mungkin menyelesaikannya. Lebih ideal lagi mekanisme pengelolaan sengketa itu semestinya terlembagakan se‐ bagai bagian dari kerjasama antara para pemangku ke‐ pentingan.
Namun jika disadari bahwa penyelesaian persoalan hak‐ hak masyarakat adalah suatu upaya jangka‐panjang se‐ mentara program/proyek REDD akan mulai dilakukan pada tahun , pertanyaannya adalah apakah persoa‐ lan REDD bisa untuk sementara dilepaskan dari persoa‐ lan hak ini. Mungkinkah suatu winwin solution dapat
ditemukan, yakni suatu kesepakatan yang secara optimal memenuhi kepentingan semua pemangku kepentingan, dapat dikembangkan dalam waktu yang terbatas itu se‐ mentara kita tahu bahwa proses resolusi sengketa bisa jadi merupakan proses yang panjang? Juga, pengelolaan sengketa adalah suatu pendekatan pragmatis berdasar‐ kan kepentingan interest based dan bukan berdasarkan
hak rights based , dan apakah itu cukup sebagai dasar
REDD? Ataukah persoalan ini bisa diselesaikan sebagai bagian terpadu dari prakarsa persiapan untuk REDD –
REDDiness?
(9)
FP)C free prior informed consent – persetujuan yang
diberikan sebelumnya sebelum Skema REDD akan diterapkan , secara bebas, dan berdasarkan pemaha‐ man yang memadai. )ni merupakan salah satu pra‐ syarat keterlibatan masyarakat dalam REDD menurut standar CCBA dan juga merupakan salah satu prinsip dalam UNDR)P. Lalu, bagaimanakah ini dapat diwu‐ judkan? Mengingat keberadaan masyarakat sebagai‐ mana sudah digambarkan sekilas, dalam hal inipun cukup banyak tantangan yang perlu dihadapi. Jika kita serius tentang hal ini, nampaknya yang diperlu‐ kan bukan sekedar sosialisasi pada masyarakat dan kemudian meminta persetujuan tohoh‐tokoh masyarakat. Ada berbagai hal yang perlu dilakukan, antara lain:
Pendidikan lingkungan. Informed dalam FP)C ber‐
makna bahwa masyarakat benar‐benar memahami apa dan mengapa mereka menyetujui atau tidak menyetu‐ jui REDD. Artinya konsep‐konsep lingkungan dan REDD yang relevan seperti gas rumah‐kaca, emisi, pe‐ manasan global, deforestasi, degradasi hutan, nilai tambah additionality , kelanggengan permanence,
kebocoran leakage , kredit karbon, dan sebagainya –
perlu dipahami. Juga skema‐skema alternatif perhitun‐ gan dan distribusi insentif perlu dimengerti. Artinya perlu ada upaya kependidikan tersendiri untuk mem‐ bantu masyarakat untuk memahami semua itu.
Pengembangan perwakilan yang benarbenar represen tatif. Beberapa program mengambil jalan pintas den‐
gan meminta persetujuan pimpinan formal dan tokoh masyarakat. Walaupun kemudian program mendapat dukungan kelompok elit di masyarakat, perlu disadari bahwa kepentingan elit seringkali tidak sama atau bahkan bertentangan dengan kepentingan masyarakat banyak, dan jalan‐pintas itu bisa jadi menyesatkan dan menimbulkan persoalan dikemudian hari. Artinya perlu dimunculkan wakil‐wakil masyarakat yang benar ‐benar merepresentasikan keanekaragaman kepentin‐ gan yang ada dalam masyarakat.
Mekanisme pengambilan keputusan dan perencanaan yang demokratis di tingkat desa. Agar wakil masyarakat
benar‐benar representatif dan tidak terlepas dari kon‐ stituennya, mereka harus berangkat dari musyawarah di tingkat desa mereka. Sebagai bagian dari Sistem Per‐ encanaan Nasional UU No Tahun tentang Sis‐ tem Perencanaan Pembangunan Nasional , di setiap desa dilakukan Musrenbang Musyawarah Pemban‐ gunan Desa , dan dipikirkan bahwa REDD bisa dibahas
dalam forum Musrenbang ini. Namun kita tahu pula bahwa Musrenbang itu sendiri masih bermasalah ketika dalam kenyataannya penyelenggaraan didomi‐ nasi elit dan hanya menghasilkan daftar keinginan
wishlist dan masih jauh dari forum yang benar‐
benar demokratis yang menghasilkan rencana yang benar‐benar terkaji.
Proses konsultasi dan negosiasi yang berjenjang.
Karena program/proyek REDD pastinya meliputi ka‐ wasan yang cukup luas yang mencakup beberapa atau banyak desa dan berbagai pemangku kepentingan, perlu upaya untuk membangun kesepakatan antara semua pihak itu. Kesepakatan yang cukup luas itu diperlukan untuk mencegah kebocoran leakage.
Salah satu alternatif dalam membangun kesepakatan itu adalah proses yang berjenjang mulai dari musy‐ awarah di tingkat desa sampai musyawarah di tingkat kawasan. Lalu siapakah yang menyelenggarakan dan memandu proses konsultasi publik ini? Jika ingin di‐ lakukan dengan baik dengan melibatkan komunitas masyarakat, ada suatu proses yang cukup panjang yang perlu ditempuh, sementara kita melihat ken‐ yataan bahwa lembaga pemrakarsa menganggap proses yang baik terlalu merepotkan dan menyita waktu. Akibatnya berbagai jalan‐pintas ditempuh se‐ hingga proses konsultasi itu tereduksi menjadi for‐ malitas semata sekedar sebagai legitimasi. Bagaima‐ nakah ini bisa dihindarkan?
Perencanaan bersama. Kesepakatan yang dibangun
tidak dapat berhenti pada persetujuan umum tentang program/proyek REDD tetapi harus dijabarkan men‐ jadi rencana kerja operasional dimana semua pe‐ mangku kepentingan mengetahui apa yang harus dila‐ kukannya. Rencana inipun harus menjadi bagian dari kesepakatan. Apakah hal ini bisa dicakupkan dengan hasil yang cukup baik dalam proses musrenbang seba‐ gai telah disebutkan?
Semua pertanyaan itu menyangkut metodologi pendeka‐ tan masyarakat yang partisipatif dalam upaya demokra‐ tisasi pengelolaan sumberdaya alam. Paling tidak itu ga‐ gasannya. Pertanyaannya adalah mampu dan bersediakah para pemangku kepentingan untuk melaku‐ kan ini semua? Atau bisakah kemampuan itu dan semua prasyarat yang lain dikembangkan sambil jalan? Jika ti‐ dak, alih‐alih mendapatkan manfaat dari program REDD, yang akan terjadi justru kesimpangsiuran, kegagalan, dan kekecewaan masyarakat dan semua pemangku kepentin‐ gan lainnya. ***
(10)
Apa kata mereka tentang
“
Permasalahan Land Tenure,
Persiapan dan
Kesiapan Masyarakat dalam Implementasi
REDD”??
Tahun ‐ Pemerintah )ndonesia menyebutnya sebagai readiness phase implementasi REDD di )ndonesia. Pe‐
merintah menyusun strategi REDD) untuk readiness phase yang dimaksudkan untuk memberikan guidance tentang
intervensi kebijakan yang diperlukan dalam upaya menangani penyebab mendasar deforestasi dan degradasi hutan, serta infrastruktur yang perlu disiapkan dalam implementasi REDD/REDD plus. Sementara itu masyarakat sipil mela‐ kukan hal yang cukup beragam dalam merespon isu REDD. Samdhana )nstitute melakukan kegiatan dalam mendukung masyarakat sipil dengan nama yang terdengar hampir sama yaitu Preparedness untuk melihat peluang dan ancaman
atas program REDD.
Bagaimana realita yang terjadi saat ini? Degradasi dan deforestasi masih terus berjalan. Pembangunan kebun‐kebun sawit berskala besar terus berjalan dan disinyalir banyak yang mengubah tutupan lahan hutan. Selain itu masalah tumpang tindih penguasaan lahan dalam kawasan hutan juga masih belum dapat diselesaikan dengan baik.
Departemen Kehutanan mempersiapkan Kesatuan Pengelolaan (utan KP( menjadi salah satu prakondisi penting bagi penyiapan skema penanganan perubahan iklim dan pemanasan global. Keberadaan organisasi pengelola KP( di tingkat tapak akan mendukung skema penanganan perubahan iklim antara lain melalui a menjadi salah satu institusi penting yang akan mengurusi proses penanganan perubahan iklim atau pemanasan global b wilayah kelolanya menjadi kepastian bagi DA‐REDD c KP( bertugas mendokumentasikan dan meregister pemanfaatan hutan termasuk jasa lingkungan bagi penanganan perubahan iklim.
Kami memberikan ruang kepada para pihak untuk berbagi opini terkait permasalahan land tenure, KP(, persiapan dan kesiapan serta kewaspadaan masyarakat dalam implementasi REDD dengan harapan dapat memberikan masukan dan dukungan terhadap terbentuknya KP( yang efektif sebagai bagian dari upaya persiapan implentasi REDD. Di lain pi‐ hak memberikan ruang kepada masyarakat untuk merespon secara adil atas skema REDD. Opini ini merupakan penda‐ pat yang dikemukakan secara independen, individu, dan bukan atas nama institusi.
Ir. Hartina, MM
Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Barat
Undang‐undang No.
tahun
tentang Kehutanan m e n g a m a n a t k a n untuk melakukan pengelolaan hutan sesuai fungsi dan peruntukan hutan, juga mengamanatkan t e n t a n g P e m b e n t u k a n Wilayah Pengelolaan (utan perlu segera dilaksanakan baik di tingkat Provinsi,Kabupaten/Kota dan unit pengelolaan pasal ayat UU No. tahun dalam bentuk KP(P,KP(L dan KP(K.
Dasar pemikiran pembentukan Unit‐unit pengelolaan tersebut adalah efisiensi dan efektivitas dengan memperhatikan kriteria dan prasyarat tertentu seperti : . Prakondisi kawasan hutan yang mantap
y a n g d i t a n d a i o l e h k a w a s a n h u t a n tetap,mantap,permanen degan batas‐batas tetap; . Efisiensi yang ditandai oleh tingkat aksebilitas yang tinggi; . Efektivitas ditandai oleh ketepatan pengelolaan sesuai dengan fungsi dan peruntukan kawasan hutan.
KP( sebagai salah satu strategi dalam pembangunan kehutanan tingkat tapak dibentuk dengan memperhatikan : . ekosistem melalui pendekatan DAS; . Kewenangan dengan pendekatan wilayah administrasi pemerintahan dan status kawasan; serta . Kemampuan pengawasan dengan pendekatan Span of Control atau jenjang pengawasan yang mengadopsi
KP( di Jawa. Pengelolaan KP( dilakukan dengan menempatkan tenaga profesional secara permanen mulai dari Kepala KP( sampai dengan petugas lapangan mandor .
Memperhatikan hal tersebut diatas,sangat tepat apabila KP( dijadikan sebagai salah satu skema penanganan perubahan iklim dan pemanasan global.
(11)
Dengan pendekatan jenjang pengawasan sampai
tingkat tapak oleh mandor, maka KP( akan mampu mengurusi proses penanganan perubahan iklim serta mendoku‐mentasikan dan meregister pemanfaatan hutan.
Apabila KP( berada di Kabupaten maka akan memperkuat kelembagaan yang sudah ada di daerah,
dengan menempatkan mandor secara permanen dengan fungsi sebagai pengawas di tingkat tapak. Namun bagaimana apabila KP( berada di tingkat Provinsi, akan ada hal yang harus didiskusikan mendalam terkait dengan kelembagaan yang sudah ada secara riil di lapangan. *
Haryanto R. Putro
Staf Pengajar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
Sistem tenurial menentukan siapa yang memiliki dan siapa yang dapat menggunakan sum‐ berdaya, berapa lama dan pada kondisi apa. Sistem tenurial adat ditentukan pada tingkat lokal dan sering‐ kali didasarkan atas kesepakatan lisan atau hukum adat. Sistem tenurial juga dikodifikasikan menurut Undang‐ undang dan diterapkan oleh pemerintah sebagai hukum positif yang substansinya mengacu pada hukum adat. Kajian RR) dan )TTO menunjukkan bahwa kea‐ manan tenurial sangat penting sebagai basis identitas sosial, keamanan personal dan kelangsungan budaya masyarakat lokal. Keamanan tenurial juga penting un‐ tuk alasan ekonomi sebagai basis untuk menentukan siapa yang mendapatkan manfaat atau kerugian dalam kompetisi barang dan jasa ekonomi, termasuk jasa ling‐ kungan yang diberikan ekosistem hutan. Keamanan tenurial seringkali merupakan prasyarat yang harus dipenuhi dalam investasi modal oleh pemerintah dan dunia usaha, sebaliknya konflik tenurial akan mele‐ mahkan daya tarik investasi dan meruntuhkan pengel‐ olaan hutan lestari. Keamanaan tenurial juga berperan penting dalam struktur insentif yang memotivasi per‐ lindungan atau perusakan hutan. Banyak bukti bahwa menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan pada masyarakat lokal mendorong perbaikan kondisi hutan.
Kesiapan )mplementasi REDD diukur dari kinerja pengelolaan hutan lestari yang kemudian mampu mem‐ buktikan kelebihan stock karbon dalam biomasa, baik di atas tanah maupun di bawah tanah. Untuk )ndonesia, meningkatnya transparansi pengelolaan hutan, terma‐ suk persiapan implementasi REDD, telah menguak ban‐ yaknya persoalan konflik tenurial di dalam kawasan hu‐ tan yang selama beberapa dekade yang lalu tidak pernah tersentuh. (asil inventarisasi Departemen Kehutanan dan Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa se‐ jumlah desa , juta ha terletak di dalam ka‐ wasan hutan dan . desa , juta ha di tepi kawa‐ san hutan. Bisa dibanyangkan bahwa di desa‐desa
tersebut terjadi konflik tenurial yang intensitasnya ber‐ variasi. Penyelesaian masalah ini akan membutuhkan langkah panjang dan kesigapan Pemerintah untuk mem‐ benahi penataan kawasan hutan yang secara terintegrasi menyatu dengan kebijakan penataan ruang. Pemban‐ gunan KP( sebagai instrumen penataan kawasan hutan dan upaya mewujudkan keamanan kawasan hutan, se‐ cara holistik harus mampu menyelesaikan masalah kon‐ flik tenurial melalui penataan ruang kelola dan hak kel‐ ola masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Dalam hal konflik terjadi pada kawasan hutan yang telah terlanjur dibebani ijin, KP( harus mampu mengembangkan pola kemitraan antara pemegang ijin )UP((K dengan masyarakat tanpa mengabaikan sistem tenurial yang berlaku di tingkat tapak.
Pembangunan KP(, dengan demikian dapat menjem‐ batani pengelolaan hutan dan penyelesaian konflik tenu‐ rial pada tingkat tapak, keduanya merupakan prasyarat bagi terwujudnya kinerja pengelolaan hutan lestari. Ter‐ wujudnya KP( yang dikelola secara profesional dan menghargai ruang/hak kelola masyarakat, didukung dengan implementasi governansi kehutanan yang baik, merupakan jalan mulus untuk memperoleh insentif REDD+, bila pendekatan ini dapat disepakati pada tahun
. Dalam konteks ini, pembangunan KP( yang dii‐ kuti dengan investasi negara dan peningkatan kapasitas yang terencana, merupakan bagian tak terpisahkan bagi kesiapan )ndonesia untuk meraih kinerja pengelolaan hutan lestari dan implementasi REDD+ pada masa yang
akan datang. Pembentukan wilayah dan organisasi KP(, diikuti dengan penyusunan rencana bisnis tingkat KP( akan menjadi instrumen kunci bagi )ndonesia untuk menyelesaikan konflik tenurial, meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal, meraih kinerja pengelolaan hu‐ tan lestari dan mendapatkan insentif REDD+ pada masa
datang. Keberhasilannya tergantung pada keseriusan pemerintah, pemerintah propinsi dan pemerintah kabu‐ paten/kota dalam mengawal pembangunan KP( melalui governansi kehutanan yang baik. *
(1)
SERI DISKUSI
KP( dinilai sebagai sebuah upaya meningkatkan pengelolaan hutan di tingkat tapak, sehingga se‐ benarnya tidak ada kaitannya dengan hak atas tanah. Oleh sebab itu persoalan land tenure harus diselesaikan pada saat pembentukan KP( tersebut. Sebetulnya pendekatan non legalitas harus disuara‐ kan mengingat begitu banyak dan komplek masalah land tenure. )mplikasinya, pemerintah boleh mem‐ bentuk KP( KP(K, KP(P, dan KP(L namun den‐ gan pendekatan non legalitas maka di lapangan nampaknya harus ada KP(S KP( Sosial untuk bisa menjawab persoalan‐persoalan social terkait land tenure yang terjadi di lapangan. Di dalam UU / sebenarnya dimungkin adanya KP(A KP( Adat dan KP(KM KP( Kemasyarakatan tetapi dalam peraturan turunannya tidak diatur lagi. Masih tampak sebagian persepsi dalam membangun
KP( adalah seperti membangun rehabilitasi, se‐ hingga lebih banyak terkait masalah teknis dan ber‐ sifat liniear. Selain itu persepsinya bahwa KP( memberikan ijin‐ijin dan lain‐lain. Sehingga dipan‐ dang perlu untuk mengkomunikasikan konsep‐ konsep KP( secara benar.
Seringkali statement politik berakibat yang kurang baik di tingkat implementasi di lapangan sehingga sebai‐ knya kebijakan dipisahkan dari masalah politik. Seperti halnya statemen presiden yang akan mengu‐ rangi emisi sampai % pada tahun diang‐ gap kurang valid sehingga untuk mewujudkan state‐ ment politik ini menimbulkan beban yang cukup berat.
Kebijakan seringkali gagal karena gagal dalam peru‐ musan masalah y, mendefinisikan masalahnya ber‐ beda, kita tidak pernah bisa melihat fakta se‐ benar nya hanya melihat fakta yang ada di pikiran kita. )ndonesia masih kental dnegan mslh land ten‐ ure, kaitan dengan sertifikasi tidak bisa dipisahkan sehingga harus dijadikan bagian dari konsep REDD. Sesungguhnya land tenure adalah tujuan.
Organisasi KP(L dan KP(P adalah organisasi daerah, sehingga diperlukan kapasitas yang memadai. Ditegaskan oleh pemerintah bahwa SDM KP( harus professional, diilustraikan KP( seperti rumah sakit di dalam dinas kesehatan. Kepala KP( diperlukan forester, bahkan dimungkinkan harus bersertifikat. Saat ini diklat Kehutanan sudah melakukan pelati‐ han‐pelatihan.
———————————————————————————————————————————————————————————
1Iman Santoso, 2008. Kepastian Tenure Masyarakat dalam Pelaksanaan REDD. Warta Tenure Edisi 6, Jan 2009
2Ditjen Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2009. Pembangunan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan)
Perlindungan Manusia Human Security atas ancaman kebebasan manusia memenuhi kebutuhan dasarnya yang insentifnya harus diarahkan pada do no harm masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan hal
‐
(utang Ekologis Ecological Debt yaitu hutang negara industri kepada negara berkembang atas peman‐ faatan sumber daya alam yang menyebabkan kerusa‐ kan lingkungan termasuk gas rumah kaca, sehingga perlu diarahkan sesuai prinsip common but differen tiated responsibility dan harus mengatakan tidak pada carbon offset hal ‐
Ketidakpastian penguasaan Tanah Land Tenure Insecu rity yang merupakan tunggakan pekerjaan Ke‐ menterian Kehutanan, yang sekali lagi cenderung diabaikan, dan hal ini harus dibenahi hal ‐
Pola Produksi dan Konsumsi ProductionConsumption Pattern , perlu menjadi pertimbangan untuk tidak mengikuti permintaan pasar demand , tetapi mengi‐ kuti kemampuan daya dukung lingkungan, dengan fungsi ekologisnya hal ‐ .
Selain pilar (ELP ini masih terdapat hal hal penting lain yang perlu menjadi perhatian yaitu tentang kesenjangan partisipasi, kesenjangan pengetahuan, dan kesenjangan perdagangan dengan mata uang baru yaitu carbon, serta kesenjangan atas tunggakan masalah lama dan tum‐ buhnya masalah baru dalam bidang kehutanan. Jika (ELP dan beberapa point ini tidak dapat dijawab dalam pela‐ sanaan REDD, maka lebih baik tidak menggunakan REDD sebagai salah satu mekanisme pengurangan emisi. Boleh dikatakan buku ini memberikan lampu kuning pada REDD dengan daftar persyaratan yang cukup panjang untuk segera ditangani. ***
SAMBUNGAN DARI HALAMAN 27 RESENSI BUKU
(2)
RESENSI BUKU
Dalam perundingan )nternasional perubahan iklim, masyarakat adat menjadi salah satu isu yang hangat dibi‐ carakan baik oleh para pihak yang terlibat dalam perundin‐ gan maupun berbagai organisasi masyarakat sipil yang tu‐ rut mengamati perundingan tersebut. Masyarakat adat mu‐ lai masuk dalam panggung perundingan ketika REDD
Reducing Emission from Deforestation and Forest Degrada tion mulai dibicarakan, terutama sejak COP di Bali. Usu‐ lan yang mengemuka antara lain berbasis pada ketentuan yang tercantum dalam UNDR)P United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yang juga di tandatan‐ gani oleh pemerintah )ndonesia.
Namun, perjuangan mendorong hak masyarakat adat ke dalam teks negosiasi perubahan iklim tidaklah mudah. Ber‐ bagai kendala baik seperti hadangan sejumlah negara yang tidak mengadopsi atau menolak UNDR)P dan kendala tek‐ nis seperti isu metodologi, menjadi tantangan utama dalam mendorong isu ini.
Di sisi lain, tantangan dalam negeri juga menjadi kendala mengapa hak masyarakat adat sulit mendapat tempat dalam panggung negosiasi. Buku ini mencoba melihat ba‐ gaimana masalah hukum dalam negeri di )ndonesia men‐ jadi hambatan mengapa demikian sulit mengakomodasi masyarakat adat dalam berbagai proposal )ndonesia ke UNFCCC. Salah satu masalah utama adalah sulitnya men‐ gadopsi konsep hak masyarakat adat sebagai hak yang re‐ latif mandiri seperti hak milik, tidak berada di bawah kung‐ kungan kontrol hak menguasai negara (MN . (MN dalam banyak interpretasi dan praktek telah memenjarakan luas dan lebar hak masyarakat adat menjadi sekedar hak pengelolaan dan pemanfaatan atas hutan. Masalah‐masalah tersebut merupakan warisan masa lampau yang jika dite‐ lusuri jejaknya bisa ditengok hingga ke jaman Kolonial Belanda.
Dalam kompleksitas persoalan tersebut, hadir berbagai kebijakan REDD antara lain Permenhut /Menhut‐ ))/ tentang Penyelenggaran Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi (utan, dan Permenhut No. /Menhut‐))/ Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan De‐ gradasi (utan yang rupanya tidak banyak menolong men‐ gatasi hambatan dalam merespons hak masyarakat adat. Alasannya antara lain kebijakan‐kebijakan ini lahir sebagai pelaksanaan dari kebijakan yang lebih tinggi. Sehingga, esensinya sekedar meneruskan saja kebijakan yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, belum ada semangat politik yang benar‐benar serius untuk mengadposi hak‐hak masyarakat adat.
Akan tetapi dalam menjalankan REDD Readiness termasuk Lo) Pemerintah )ndonesia dan Pe‐ merintah Norwegia terdapat sebuah konsep penting dengan segala konsekuensi hukumnya yaitu, conditionalities, yaitu kon‐ sep hukum dalam perjanjian kerjasama multi/bi‐lateral di‐ mana kerjasama tertentu di‐ dorong di satu wilayah untuk
menciptakan kondisi kondisi tertentu bagi kerjasama yang lainnya halaman ‐ . Dalam mekanisme perubahan iklim, keberadaan masyarakat adat beserta hak‐haknya sesuai dengan berbagai instrument internasional, meru‐ pakan suatu conditionality. Dalam prakteknya condition ality pernah diterapkan oleh )MF International Monetary Fund lewat Structural Adjustment Program yang men‐ syaratkan banyak aspek untuk memperoleh pinjaman keuangan. Untuk mengukur pemenuhan syarat‐syarat tersebut, ditetapkanlah kriteria dan indikator yang cukup ketat. Nampaknya model structural adjustment yang dila‐ kukan pada agenda‐agenda ekonomi, saat ini dipraktekkan juga pada agenda sosial dan lingkungan.
Nampaknya penulis, sebagai seorang sarjana hukum pada perkumpulan untuk Pembaharuan (ukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (uMa telah belajar banyak, diluar disiplin ilmu hukum yang dipelajarinya di Fakultas (ukum UGM lulus tahun . Dimana penulis dengan gamblang, menjelaskan logika‐logika ekologi dan penye‐ bab pemanasan global bab . Demikian pula penulis me‐ mahami betul seluk beluk skema‐skema insentif peruba‐ han iklim dan proses‐proses negosiasinya bab )) , melalui keterlibatan aktifnya dalam berbagai forum.
Dalam bab ))) penulis menggunakan kekuatan nalar kritis untuk melihat masalah‐masalah hukum yang dihadapi Pemerintah maupun Masyarakat dalam menjabarkan agenda mitigasi perubahan iklim. Nampaknya penulis juga memiliki orientasi pemberdayaan, sehingga dengan tidak segan‐segan penulis melampirkan aturan‐aturan serta bahan‐bahan yang dibahasnya halaman ‐ untuk mengajak pembaca terlibat lebih jauh dalam mengem‐ bangkan pemikirkannya. Buku ini patut dibaca oleh para penggiat REDD, termasuk pemerintah yang akan men‐ jalankan program REDD Readiness, pendamping masyara‐ kat serta para ahli hukum. Buku ini bisa didapatkan di (uMa Jl. Jati Agung no , Jati Padang, Pasar Minggu, Ja‐ karta , telp/fax ‐ atau dapat diunduh melalui website (uMa http://www.huma.or.id ***
Pemanasan Global: Respons Pemerintah dan Dampaknya
Terhadap Hak Masyarakat Adat
Penulis
:
Bernadinus
Steni,
HuMa
2009,
115
halaman
(3)
RESENSI BUKU
Buku ini dibuat oleh be‐ berapa orang yang mewakili pandangan Forum Masyara‐ kat Sipil )ndonesia untuk Keadilan )klim Indonesian Civil Society Forum for Cli mate Justice/CSF , sebuah aliansi Ornop yang terdiri dari berbagai Ornop yang bergerak dalam bidang pe‐ lestarian alam dan lingkun‐ gan yang mempromosikan pengelolaan alam secara adil dan lestari. Para penulisnya sudah tidak asing lagi di antara aktifis ornop yaitu Bernadinus Steni learning Cen ter (uMa , Mardi Minangsari perkumpulan Telapak , Teguh Surya Walhi dan Giogio Budi )rianto )CEL . Para penulis yang memiliki latar belakang lembaga yang ber‐ beda, disiplin ilmu yang berbeda, serta pengalaman la‐ pang yang berbeda, secara bersama menuangkan pikirannya ke dalam buku kecil ini, yang sekaligus men‐ jadi pandangan CSF terhadap REDD, untuk tidak terjebak dalam posisi sederhana tolak atau terima REDD, tetapi mempertimbangkan suatu mekanisme yang seharusnya dapat digunakan untuk menyelamatkan ekosistem hutan )ndonesia hal
Buku ini secara ringkas menjabarkan lahirnya REDD dan beberapa varian lainnya yang dibawakan oleh berbagai pandangan pemerintah negara emitter dan negara yang mengakui memiliki hutan luas dengan segala kepentin‐ gannya. Misal REDD+ untuk memperluas cakupan insentif bagi negara yang mengguasai hutan luas dan juga mem‐ berikan insentif bagi kegiatan konservasi, perusahaan (T) skala besar, dan kemungkinan perkebunan kelapa sawit skala besar. Sehingga REDD selalu berwajah men‐ dua, disatu sisi dapat memberikan insentif bagi usaha pelestarian hutan, tetapi disisi lain berpotensi memberi‐ kan insentif kepada perusahaan kelapa sawit dan (T) yang melakukan perusakan hutan dalam proses produk‐
Lebih jauh melihat konsep dan asumsi REDD, buku ini menengok secara cepat pada wilayah Demonstration Area DA REDD di Aceh, Jambi dan Kalimantan Barat dalam skema REDD yang berbeda hal ‐ antara lain;
Skema Carbon Credit, melalui perjanjian dengan Carbon Conservation Pty dan Merryl Lynch selama tahun ‐ di Aceh, dijalankan oleh FF) pada hutan rawa yang masih % utuh.
Skema Community Carbon Pool, yang diharapkan dapat dikelola oleh masyarakat Sungai Utik‐Kalimantan Barat pada wilayah (PK dengan dukungan FF). Skema Restorasi Ekosistem, yang dikelola pada kawasan
hutan di wilayah Gunung Putri dan danau Sentarum juga di Kalimantan Barat dengan dukungan FF)
Skema G to G, yang dikelola oleh KFCP pada hutan rawa di Kalimantan Tengah, yang diperkirakan akan men‐ jalankan Carbon Offset
Penulis melihat masalah dan potensi masalah yang ada masih seputar ketidakpastian tanah dengan persyaratan perijinan yang mensyaratkan adanya bukti penguasaan dalam bentuk legal formal, yang tidak dapat dipenuhi masyarakat yang tidak terbiasa dengan masalah legal formal. Jika pendekatan dan cara‐cara ini diteruskan maka masyarakat adat akan semakin termarginalisasi dan berpotensi hanya menjadi penonton atas insentif REDD. Masalah lainnya yaitu masalah pembagian hasil yang belum ditemukan cara terbaik untuk mendistri‐ busikan manfaatnya. Masalah lain yang juga dilihat yaitu masalah kebijakan dalam proyek DA‐REDD yang me‐ nempatkan masyarakat sebagai objek dan bukan sebagai subjek dalam pengembangan DA‐REDD.
Melihat banyaknya resiko yang akan ditanggung karena kegiatan REDD ini, maka penulis merasa perlu mene‐ kankan pentingnya empat pilar dalam menilai apakah REDD menjawab masalah deforestasi dan aspek keadilan secara utuh. Ke pilar tersebut yang disingkat (ELP adalah:
REDD, Bisakah Menjawab Deforestasi dan Menghadirkan
Keadilan Iklim? Pembelajaran dari Indonesia
iPenulis;
Bernadinus
Steni,
Mardi
Minangsari,
Teguh
Surya
&
Giorgio
Budi
Irianto
Resensi
Buku
oleh;
Martua
T.
Sirait
ii———————————————————————————————————————————————————————————————————————————
iDiterbitkan oleh Forum Masyarakat Sipil )ndonesia untuk Keadilan )klim, , Jakarta halaman http://csoforum.net/, atas dukun‐
gan Samdhana )nstitute.
iiPeneliti )CRAF‐SEA, Samdhana )nstitute Fellow, email msirait@cgiar.org
(4)
SERI DISKUSI
KP( dinilai sebagai sebuah upaya meningkatkan pengelolaan hutan di tingkat tapak, sehingga se‐ benarnya tidak ada kaitannya dengan hak atas tanah. Oleh sebab itu persoalan land tenure harus diselesaikan pada saat pembentukan KP( tersebut. Sebetulnya pendekatan non legalitas harus disuara‐ kan mengingat begitu banyak dan komplek masalah land tenure. )mplikasinya, pemerintah boleh mem‐ bentuk KP( KP(K, KP(P, dan KP(L namun den‐ gan pendekatan non legalitas maka di lapangan nampaknya harus ada KP(S KP( Sosial untuk bisa menjawab persoalan‐persoalan social terkait land tenure yang terjadi di lapangan. Di dalam UU / sebenarnya dimungkin adanya KP(A KP( Adat dan KP(KM KP( Kemasyarakatan tetapi dalam peraturan turunannya tidak diatur lagi. Masih tampak sebagian persepsi dalam membangun
KP( adalah seperti membangun rehabilitasi, se‐ hingga lebih banyak terkait masalah teknis dan ber‐ sifat liniear. Selain itu persepsinya bahwa KP( memberikan ijin‐ijin dan lain‐lain. Sehingga dipan‐ dang perlu untuk mengkomunikasikan konsep‐ konsep KP( secara benar.
Seringkali statement politik berakibat yang kurang baik di tingkat implementasi di lapangan sehingga sebai‐ knya kebijakan dipisahkan dari masalah politik. Seperti halnya statemen presiden yang akan mengu‐ rangi emisi sampai % pada tahun diang‐ gap kurang valid sehingga untuk mewujudkan state‐ ment politik ini menimbulkan beban yang cukup berat.
Kebijakan seringkali gagal karena gagal dalam peru‐ musan masalah y, mendefinisikan masalahnya ber‐ beda, kita tidak pernah bisa melihat fakta se‐ benar nya hanya melihat fakta yang ada di pikiran kita. )ndonesia masih kental dnegan mslh land ten‐ ure, kaitan dengan sertifikasi tidak bisa dipisahkan sehingga harus dijadikan bagian dari konsep REDD. Sesungguhnya land tenure adalah tujuan.
Organisasi KP(L dan KP(P adalah organisasi daerah, sehingga diperlukan kapasitas yang memadai. Ditegaskan oleh pemerintah bahwa SDM KP( harus professional, diilustraikan KP( seperti rumah sakit di dalam dinas kesehatan. Kepala KP( diperlukan forester, bahkan dimungkinkan harus bersertifikat. Saat ini diklat Kehutanan sudah melakukan pelati‐ han‐pelatihan.
———————————————————————————————————————————————————————————
1Iman Santoso, 2008. Kepastian Tenure Masyarakat dalam Pelaksanaan REDD. Warta Tenure Edisi 6, Jan 2009
2Ditjen Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, 2009. Pembangunan KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan)
Perlindungan Manusia Human Security atas ancaman kebebasan manusia memenuhi kebutuhan dasarnya yang insentifnya harus diarahkan pada do no harm masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan hal
‐
(utang Ekologis Ecological Debt yaitu hutang negara industri kepada negara berkembang atas peman‐ faatan sumber daya alam yang menyebabkan kerusa‐ kan lingkungan termasuk gas rumah kaca, sehingga perlu diarahkan sesuai prinsip common but differen tiated responsibility dan harus mengatakan tidak pada carbon offset hal ‐
Ketidakpastian penguasaan Tanah Land Tenure Insecu rity yang merupakan tunggakan pekerjaan Ke‐ menterian Kehutanan, yang sekali lagi cenderung diabaikan, dan hal ini harus dibenahi hal ‐
Pola Produksi dan Konsumsi ProductionConsumption Pattern , perlu menjadi pertimbangan untuk tidak mengikuti permintaan pasar demand , tetapi mengi‐ kuti kemampuan daya dukung lingkungan, dengan fungsi ekologisnya hal ‐ .
Selain pilar (ELP ini masih terdapat hal hal penting lain yang perlu menjadi perhatian yaitu tentang kesenjangan partisipasi, kesenjangan pengetahuan, dan kesenjangan perdagangan dengan mata uang baru yaitu carbon, serta kesenjangan atas tunggakan masalah lama dan tum‐ buhnya masalah baru dalam bidang kehutanan. Jika (ELP dan beberapa point ini tidak dapat dijawab dalam pela‐ sanaan REDD, maka lebih baik tidak menggunakan REDD sebagai salah satu mekanisme pengurangan emisi. Boleh dikatakan buku ini memberikan lampu kuning pada REDD dengan daftar persyaratan yang cukup panjang untuk segera ditangani. ***
SAMBUNGAN DARI HALAMAN 27 RESENSI BUKU
(5)
DINAMIKA WG TENURE
Permasalahan Land Tenure, KPH, dan persiapan
implementasi REDD di Indonesia
Oleh:
Emila
(
Koordinator Eksekutif WGTenure)engurangan emisi dari deforestasi dan de‐ gradasi atau lebih dikenal dengan REDD men‐ jadi perbincangan hangat pada beberapa tahun belakangan ini. Tahun merupakan tahun terakhir yang ditetapkan )ndonesia sebagai phase per‐ siapan dan siap tinggal landas implementasi penuh REDD full implementation seperti telah disepakati oleh dunia. Sementara itu permasalahan land tenure masih menjadi persoalan dalam pengelolaan hutan di )ndone‐ sia. Bagaimana dengan kondisi land tenure yang masih carut marut ini kita mengahadapi pelaksanaan REDD? Permasalahan yang seringkali berujung pada konflik land tenure yang dijumpai pada pengelolaan hutan di )ndonesia antara lain disebabkan oleh batas kawasan hutan yang belum disepakati bersama baik oleh Pemer‐ intah maupun masyarakat, serta perencanaan pemban‐ gunan kehutanan yang kurang mengakomodir ke‐ beradaan masyarakat yang telah ada di dalam kawasan hutan. Salah satu fokus kegiatan dari Ditjen Planologi Kementerian Kehutanan adalah Pembangunan Wilayah Kesatuan Pengelolaan (utan KP( . Fokus kegiatan ini merupakan penjabaran dari kebijakan prioritas Ke‐ menterian Kehutanan yaitu Pemantapan Kawasan (u‐ tan. Dengan adanya KP( dan organisasi pengelolaanya di tingkat tapak ditujukan agar pengelolaan hutan dapat lebih efisien dan lestari. Peran strategis KP( yang di‐ harapkan pemerintah antara lain adalah optimalisasi akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan seba‐ gai resolusi konflik land tenure. Selain itu keberadaan KP( mempunyai nilai strategis bagi kepentingan Nasional, antara lain mendukung komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi karbon sebesar % pada tahun dimana %‐nya adalah sumbangan sektor kehutanan , karena KP( merupakan organisasi tingkat tapak lapangan yang akan berperan dalam penerapan pengelolaan hutan lestari, penurunan tingkat degradasi hutan, peningkatan rehabilitasi hutan, penurunan hotspot, serta dapat menjalankan fungsi Measurement, Reporting, Verification MRV yang merupakan salah satu indikator penting dalam penilaian keberhasilan penurunan emisi tersebut. WG‐Tenure melihat hal ini sebagai peluang yang cukup strategis dengan menem‐ patkan system land tenure yang telah ada sebagai bahan pertimbangan yang penting dalam pembentukan dan pengelolaan KP( ke depan.
Dengan dukungan dana dari Partnership for Govern
ance Reform (Kemitraan), WG‐Tenure bersama den‐
gan mitra di lapangan melakukan asesment dan analisa tenurial di wilayah KP( Model di tiga lokasi yaitu KP(P Model Register di Kabupaten Lampung Ten‐ gah, KP(L Model Rinjani Barat di Propinsi Nusa Teng‐ gara Barat, dan calon lokasi KP(L Model di Kabupaten Kapuas. Pemilihan lokasi dilakukan melalui koordinasi dengan Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan (utan WP ( Ditjen Planologi, Ke‐ menterian Kehutanan. Sebelum melakukan asesment dan analisa tenurial WG‐Tenure bekerjasama dengan )CRAF, (uMA, dan Samdhana )nstitute mengadakan pelatihan Perangkat Analisis Land Tenure. Pelati‐
han diikuti oleh staf BPK( Regio Sumatera, Kaliman‐ tan, dan Bali Nusa Tenggara ; staf Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten yang wilayahnya menjadi lo‐ kasi asesment; NGO calon asesor ; dan staf Planologi Kehutanan.
Metode kedua yang dikenalkan adalah Sistem Database Konflik yang dikembangkan oleh (uMa dan diberi label (uma‐win. (UMA sebuah perkumpulan untuk pemba‐ ruan hukum berbasis masyarakat dan ekologi mengembangkan sebuah perangkat analisis untuk meretas atau mengurai dinamika permasalahan tenu‐ rial dalam bentuk data base yang terkomputerisasi. (al ini sangat dibutuhkan untuk mengelola data yang cu‐ kup luas dan beragam data spatial, kebijakan, nu‐ merik/agregat, serta data‐data pendukung lainnya ter‐ masuk gambar dan disajikan dalam waktu relative singkat.
Perangkat lain yang coba dikenalkan adalah perangkat yang dikembangkan oleh Samdhana )nstitute untuk memahami gaya para pihak menghadapi dinamika per‐ bedaan. Dengan alat yang disebut AGATA Analisis Gaya Pihak Bersengketa dapat pahami gaya para aktor un‐ tuk menghadapi perbedaan, sehingga dapat dipilih proses penyelesaian konflik yang terjadi baik berupa mediasi, fasilitasi atau bentuk‐bentuk lainnya.
Sebagai tindak lanjut dari pelatihan WG‐Tenure beker‐ jasama dengan mitra di lapangan Mitra Samya Mata‐ ram, Mitra Lingkungan (idup Kalimantan Tengah, serta mitra individu melakukan assessment dan analisa land tenure di wilayah KP( Model.
(6)
KAJIAN DAN OPINI
SAMBUNGAN DARI HALAMAN 1 D)NAM)KA WG‐TENURE
Keberadaan masyarakat telah merubah hampir seluruh tutupan lahan di Wilayah KP(P Model Register Kabu‐ paten Lampung Tengah dengan berbagai jenis tanaman pertanian seperti jagung, singkong, padi, dan lain‐lain maupun perkebunan karet, sawit dan sedikit tanaman kehutanan akasia . Sementara itu permasalahan sertifi‐ kasi lahan di dalam kawasan ditemui di KP(L Model Rin‐ jani Barat, NTB. Bermacam‐macam sistem kelola masyarakat tradisional ditemui di calon KP( Model yang diusulkan Kab. Kuala Kapuas. (asil assessment dan analisa tenurial telah dipresentasikan pada workshop sosialisasi dan konsolidasi KP( di Mataram NTB dan di Kabupaten Lampung Tengah. Dari ketiga wilayah assess‐ ment tata batas kawasan hutan terlihat belum digunakan sebagai landasan untuk menetapkan wilayah KP(. Keberadaan masyarakat dengan tata kelolanya bisa dili‐ hat sebagai peluang dan tantangan, dengan mengede‐ pankan tetap terjaminnya fungsi hutan untuk mewujud‐ kan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari sesuai dengan cita‐cita pembentukan KP(. (asil assessment dan analisa land diakses di www.wg‐tenure.org
Melihat berbagai persoalan land tenure dalam pengel‐ olaan hutan serta kesiapan masyarakat dalam mengha‐ dapi implementasi REDD, dengan dukungan dana dari Samdhana Institute, WG‐Tenure melakukan kegiatan dengan fokus meningkatkan pemahaman para pihak ter‐ hadap permasalahan land tenure dalam persiapan dan kesiapan implementasi REDD di )ndonesia.
Diskusi dengan tema Permasalahan Land Tenure dan Persiapan Implementasi REDD: Antara Kebijakan dan Re alita” telah diadakan pada Mei yang lalu. Bagai‐ mana proses diskusi tersebut disajikan dalam rubrik Seri Diskusi. ***
antara )nstasni Pemerintah dengan masyarakat diharapkan dapat menjadi bahan bagi instansi pemerintah dalam menyusun program‐program di tingkatan masing‐masing Pusat‐Provinsi‐Kabupaten/ Kota . KP( harus berfungsi menterjemahkan program‐ program Pusat/Provinsi/Kab/Kota yang telah ditentukan ke tingkat lapangan sesuai kebutuhan specifik lokasi dan masyarakat setempat.
Sebagai organisasi tapak, KP( mempunyai mata dan tangan untuk menggali potensi sekaligus pemetaan social ekonomi masyarakat sekitar hutan. Disamping itu KP( dapat menjalin interaksi dan komunikasi intensif dengan masyarakat, sekaligus menggali alternative solusi sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan demikian KP( dapat mengejawantahkan potensi dan permasalahan menjadi kegiatan yang benar‐benar mencerminkan harapan masyarakat dan aspirasi masyarakat.
Menjadi jembatan bagi terjalinnya komunikasi institusi di tingkat Pusat/Provinsi/Kabupaten/kota dengan masyarakat, karena KP( merupakan institusi pemerintah yang berada di tingkat tapak. Terjalinnya komunikasi antara )nstansi Pemerintah dengan masyarakat diharapkan dapat menjadi bahan bagi instasni pemerintah dalam menyusun program‐program di tingkatan masing‐masing Pusat‐Provinsi‐Kabupaten/ Kota . KP( harus berfungsi menterjemahkan program‐ program Pusat/Provinsi/Kab/Kota yang telah ditentukan ke tingkat lapangan sesuai kebutuhan specifik lokasi dan masyarakat setempat. ***