Warta Tenure Edisi 6

Kajian dan Opini

Apa itu REDD ?

Reducing Emissions from Deforestation and
Degradation in Developing Countries

Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi di Negara Berkembang
Oleh : Dr. Ir. Nur Masripatin, MSc

Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan

Tulisan ini dimaksudkan untuk menyediakan informasi umum tentang isu deforestasi dan degradasi hutan dalam
perubahan iklim serta sebagai sarana untuk mengkomunikasikan kepada berbagai pihak di Indonesia mengenai
perkembangan penanganannya di level nasional dan internasional.
Reducing Emission from Deforestation and Degradation in Developing Countries (REDD di negara berkembang) adalah
mekanisme internasional untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil
mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim
di sektor kehutanan, dan bersifat sukarela (voluntary) serta menghormati kedaulatan negara (sovereignty).
Menurut data dari World Resource Institute (WRI, 2000) yang dikutip dalam Stern Report disebutkan bahwa deforestasi
menyumbang sekitar 18% terhadap emisi gas rumah kaca (green house Gases/GHGs) global. Dari 18% kontribusi emisi

tersebut, 75% di antaranya berasal dari deforestasi di negara berkembang. Sementara itu emisi dari deforestasi di negara
berkembang diperkirakan akan terus meningkat sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk dan keperluan
pembangunan lainnya, apabila tidak ada intervensi kebijakan (policy approaches and positive incentives) yang
memungkinkan negara berkembang mengurangi deforestasi dengan tetap menjamin keberlanjutan pembangunan
nasionalnya.
Mekanisme perdagangan karbon di sektor kehutanan dalam rangka mitigasi perubahan iklim dibawah UNFCCC/Kyoto
Protocol yang melibatkan negara berkembang sampai saat ini baru terbatas pada A/R CDM (peningkatan kapasitas
penyerapan/penyimpanan carbon melalui kegiatan tanam menanam). Sedangkan REDD baru dalam tahap persiapan
pelaksanaan pilot percobaan/demonstration activities dan dalam proses penyiapan perangkat hukum pelaksanaan REDD.
Baik A/R CDM maupun REDD merupakan kegiatan mitigasi perubahan iklim.
Pada saat COP-11 di Montreal tahun 2005, Costarica, Papua New Guinea (PNG), dan negara-negara yang tergabung
dalam Koalisi Pemilik Hutan Tropis (Coalition for Rain Forest Nations/CfRN) mengajukan proposal tentang insentif untuk
avoided deforestation. Kemudian pada COP-13 di Bali tahun 2007 lalu telah berhasil disepakati beberapa hal penting antara
lain terkait aspek scientific, teknis dan metodologi, serta pertukaran informasi. Diharapkan pada COP-15 tahun 2009
mendatang di Denmark dapat dicapai kesepakatan mengenai modality, aturan dan prosedur implementasi REDD.

Working Group on Forest Land Tenure

www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 6 - September 2008


5

Kajian dan Opini
Beberapa Catatan dari Kesepakatan/keputusan COP-13 tentang REDD



COP-13 telah menghasilkan keputusan tentang pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi
(REDD) di negara berkembang. REDD juga merupakan bagian penting dari aksi mitigasi perubahan
iklim dalam “Bali Action Plan”



Dalam “Bali Action Plan”, disamping negara maju yang harus memenuhi kewajiban peningkatan target
penurunan emisi dan membantu negara berkembang (capacity building, technology transfer, financial)
dalam upaya mengurangi dampak negatif perubahan iklim, negara berkembang juga didorong
melakukan aksi nyata dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dalam konteks
pembangunan berkelanjutan, a.l. melalui integrasi upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklik ke dalam
perencanaan nasional dan sectoral planning




Beberapa butir penting dari keputusan COP-13 yang memerlukan tindak lanjut segera maupun
terjemahan lebih lanjuta untuk implementasinya di Indonesia antara lain:
 REDD dilaksanakan atas dasar sukarela (voluntary basis) dengan prinsip menghormati kedaulatan
negara (sovereignty),
 Negara maju sepakat memberikan dukungan untuk capacity building, transfer teknologi di bidang
metodologi dan institusional, pilot/demonstration activities,
 Untuk pelaksanaan pilot/demonstration activities dan implementasi REDD, diperlukan penguasaan
aspek metodologi sesuai standar internasional. Oleh karenanya COP-13 menyepakati indicative
guidance untuk pilot/demonstration activities, dimana terdapat tanggung jawab internasional, nasional
(Pemerintah Pusat) dan sub-nasional (pelaksana di daerah)

Bagaimana sebaiknya kita menterjemahkan hasil COP-13?
REDD masih dalam proses negosiasi di COP-UNFCCC (menyangkut policy approaches: REDeforestasi dan Degradasi
sudah disepakati, konservasi masuk bagian negosiasi ke depan; positive incentives: mekanisme pasar atau non pasar;
sumberdaya yang diperlukan, metodologi, tata cara implementasi REDD). Sementara itu efektivitas REDD akan
sangat tergantung pada komitmen negara Annex B (negara industri) untuk meningkatkan target penurunan emisi
GHGs.
Di tingkat nasional beberapa hal memerlukan penanganan antara lain adalah:

 Penguasaan/penyiapan metodologi/architecture dan strategi REDD, telah disiapkan melalui studi IFCA (Indonesia
Forest Climate Alliance) tahun 2007, dalam proses ini juga diidentifikasi gaps serta tindak lanjut yang diperlukan: (a)
REDD harus memenuhi persyaratan internasional di bawah UNFCCC dan sesuai dengan kebijakan dan prioritas
nasional, (b) metodologi untuk menentukan reference emissions level/baseline, penghitungan carbon dan monitoring
sebagai dasar untuk perhitungan pengurangan emisi/penghitungan insentif, harus credible, (c) strategi untuk
implementasi REDD harus menjamin bahwa mekanisme REDD memberikan manfaat bagi Indonesia
 Institusional termasuk governance terutama terkait dengan jaminan pemenuhan: (a) standar persyaratan dalam
UNFCCC dimana pengurangan emisi harus nyata, terukur, dan berdampak positif terhadap lingkungan, dengan
demikian sangat terkait dengan penanganan isu leakage, risks, permanence, (b) persyaratan Indonesia bahwa REDD dan
mekanisme internasional lainnya harus mendukung upaya Indonesia menuju sustainable development maupun
prioritas pembangunan nasional (misal : ekonomi, sosial: pro-growth, pro-job, pro-poor; perbaikan pengelolaan hutan,

6

Working Group on Forest Land Tenure

www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 6 - September 2008

Kajian dan Opini
sumber penghidupan), dan ekonomi (menurunnya kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan ekonomi nasional).

Untuk itu sudah semestinya Indonesia dapat meminimalkan kerusakan hutan yang antara lain dapat dilakukan melalui
pengurangan deforestasi dan degradasi hutan.
Selain itu REDD yang merupakan mekanisme internasional dapat
mendukung upaya Indonesia dalam mencapai tujuan reformasi yang telah/sedang dilakukan di sektor kehutanan, baik
melalui aliran dana, peningkatan kapasitas, maupun transfer teknologi.
Biaya REDD
Upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi memerlukan biaya yang di luar kemampuan dana domestik
kebanyakan negara berkembang. Biaya-biaya tersebut a.l. opportunity costs (biaya untuk kompensasi bagi pemilik hutan
atas nilai kegiatan yang paling menguntungkan) , implementation costs (biaya yang diperlukan untuk perbaikan
perencanaan dan pengelolaan), administrative costs (biaya operasional), dan transaction costs (biaya untuk penggalangan
dana, negosiasi dengan partner, monitoring, approval). Berdasarkan hasil analisis Union of Cocerned Scientists (UCS) tahun
2008, total biaya implementasi, administrasi, dan biaya transaksi sekitar US $ 1 untuk penurunan emisi per ton CO2.
Sedangkan opportunity costs menurut berbagai sumber berkisar antara US$ 1.84 - 18.86 per ton penurunan emisi CO2.
Skema REDD
REDD sampai saat ini masih dalam proses negosiasi di bawah SBSTA/COP-Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) untuk
aspek teknis/metodologis, sedang mengenai aspek kebijakan termasuk pendanaan masih menjadi bagian dari
pembahasan di Ad Hock Working Group on Long-Term Cooperative Action (AWG_LCA). Dengan demikian, perdagangan
carbon dalam rangka pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi yang terjadi (bila ada) adalah melalui pasar
sukarela (voluntary market). Inipun juga belum jelas apakah kredit yang diperoleh pembeli dapat diperjual-belikan dalam
compliance market nantinya.

UCS (2008) memperkirakan akan ada 3 macam pendekatan pendanaan REDD yaitu :
1. Direct Carbon Market, perusahaan di negara industry membeli kredit REDD untuk emissions allowance dalam sistem capand-trade di negerinya. Dengan REDD perusahaan ini diperbolehkan mengemisi lebih dari kuota di dalam negerinya
dan dikompensasi dengan pencegahan emisi dari deforestasi dan degradasi di negara berkembang. Pendekatan ini
seperti untuk CDM (project baseline), dan kemungkinan akan memasukkan REDD-national baseline setelah REDD
menjadi bagian dari pasar carbon pasca 2012. Potensi pendanaan diperkirakan mencapai puluhan milyar dollar per
tahun.
2. Market Linked. Pendekatan ini menciptakan pendanaan melalui pelelangan pendapatan atau alokasi allowance untuk
REDD dari sistem cap-and-trade, atau dengan menciptakan dual-market system dimana kredit REDD tidak fungible
dengan allowance negara industri. Potensi pendanaan diperkirakan mencapai beberapa puluh milayar dollar per
tahun.
3. Voluntary. Pendanaan sukarela yang berasal dari individu atau negara tidak dikaitkan dengan sistem cap-and-trade di
negerinya. ODA seperti kontribusi Norway $ 2.6 milyar yang diumumkan di Bali merupakan salah satu contoh
voluntary initiative . Perusahaan dan stakeholders lain juga dapat membeli kredit yang sekali kredit dibeli tidak lagi
dapat digunakan untuk emissions compliance di pasar carbon. Potensi pendanaan diperkirakan hanya mencapai
ratusan juta dollar per tahun.
Bersambung ke hlmn 11

Working Group on Forest Land Tenure

www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 6 - September 2008


7

Kajian dan Opini
yang tidak hanya akan berdampak pada perbaikan lingkungan tetapi juga ekonomi dan sosial dalam jangka
panjangnya), (c) distribusi insentif, tanggung jawab dan akuntabilitas pelaksanaan REDD dan pengelolaan dana
REDD.
 Pemahaman dan persepsi stakeholders yang sangat beragam, terutama terkati dengan masalah kedaulatan
(sovereignty) dan apa/seberapa besar manfaatnya bagi Indonesia
 Integrasinya kedalam kebijakan nasional, sektora, dan lokal (propinsi, kabupaten dst). Deforestasi tidak dapat
dilepaskan dari konteks pengelolaan hutan secara keseluruhan dan kebijakan pembangunan nasional. Oleh karenanya
kebijakan REDD semestinya menjadi bagian integral dari program/perencanaan sektoral dan nasional, dan
pemanfaatan skema REDD adalah untuk mendukung upaya perbaikan/peningkatan pengelolaan hutan dan
mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Tindaklanjut COP-13 untuk REDD
Sebelum COP-13, Indonesia dibawah koordinasi Departemen Kehutanan (melalui IFCA/ Indonesia Forest Climate Alliance)
telah menetapkan Road Map REDDI yang terbagi dalam 3 tahapan yaitu (1) Tahap persiapan/Readiness (tahun
2007/sebelum COP-13) untuk menyiapkan perangkat metodologi dan strategi implementasi REDDI,
komunikasi/koordinasi/ konsultasi stakehloders, termasuk penentuan kriteria untuk pemilihan lokasi uji coba (pilot
activities); (2) Tahap pilot/transisi (tahun 2008-2012), pada tahap ini akan dilakukan testing metodologi dan strategi, serta

transisi dari non-market (fund-based) ke mekanisme pasar (market mechanism); dan (3) Implementasi penuh (dimulai tahun
2012 atau lebih awal tergantung perkembangan negosiasi dan kesiapan Indonesia) dengan tata cara (rules and procedures)
berdasarkan keputusan COP dan ketentuan di Indonesia.
Hasil-hasil IFCA tahun 2007 dan COP-13 ditindaklanjuti dengan melakukan beberapa kegiatan antara lain:
- Sosialisasi hasil IFCA dan COP-13 ke seluruh stakeholder di daerah yang diselenggarakan di Propinsi-propinsi sesuai
dengan ketersediaan dana
- Penyiapan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Tata Cara REDD termasuk pilot/demonstration activities
- Pemilihan lokasi dan dimulainya pilot/demonstration activities
- Penyiapan posisi dan partisipasi aktif dalam negosiasi baik Subsidiary Body on Scientific and Technological Advice
(SBSTA), COP, inter-sessional meetings, dan pertemuan-pertemuan lain yang relevan
- Penyiapan perangkat institusi, metodologi, dan lain-lain untuk implementasi REDD setelah tahun 2012 (full
implementation)
- Komunikasi/koordinasi/konsultasi dengan stakeholders tentang perangkat/rencana yang dipersiapkan Departemen
Kehutanan
Apa manfaat REDD bagi Indonesia dan Seberapa besar potensi pasarnya?
Manfaat REDD harus dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi tanggung jawab sebagai anggota komunitas internasional dan
dari sisi kewajiban seluruh komponen bangsa untuk kepentingan nasional, terlepas ada tidaknya mekanisme
internasional yang mendorong/memaksa Indonesia untuk melakukannya.
Berdasarkan data FAO (2005), di antara 8,22 juta ha pengurangan hutan per tahun di 10 negara berkembang, Indonesia
menyumbang sebesar 22,86% atau sekitar 1,87 juta ha/tahun. Dengan demikian meskipun secara internasional di bawah

UNFCCC tidak berkewajiban menurunkan emisi, namun Indonesia telah merasakan dampak negatif dari kerusakan
hutannya baik dari sisi lingkungan (hilangnya keaneka-ragaman hayati termasuk sumberdaya genetik, bencana
lingkungan sejalan dengan kerusakan hutan), sosial (rusaknyan sumberdaya dimana masyarakat menggantungkan

8

Working Group on Forest Land Tenure

www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 6 - September 2008

Kajian dan Opini
Good Governance Terkait dengan Tenure
Masyarakat
Pelaksanaan REDD yang baik memerlukan kesepakatan
dan komitmen seluruh pihak yang terkait, terutama bila
hal ini akan berdampak pada ketiga kategori masyarakat
di atas. Oleh karena itu Kebijakan Nasional untuk REDD
perlu mencantumkan kesepakatan dan komitmen
seluruh pihak di tingkat lanskap, sebagai salah satu
kriteria REDD yang adil. Di dalam draft Peraturan

Menteri Kehutanan (Permenhut) tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan (REDD) dijelaskan bahwa REDD dapat
diimplementasikan antara lain pada areal izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kemasyarakatan (HKm), areal
izin usaha pemanfaaatan hasil hutan kayu pada hutan
tanaman rakyat (HTR), areal hutan adat, dengan
pemrakarsa masyarakat sebagai pemegang izin, sehingga
manfaat REDD dapat dinikmati langsung oleh
masyarakat. Namun bagaimana dengan masyarakat
yang belum mempunyai izin ataupun hak pengelolaan
hutan? Bila keadilan ingin kita unjung tinggi dalam
pelaksanaan REDD maka proses-proses multi-stakeholder
dalam memahami dan merencanakan REDD perlu
dilakukan; sedemikian rupa sehingga masyarakat yang
sampai saat ini belum mempunyai ijin usaha
pemanfaatan resmi dari pemerintah, tetap dapat
mendapat peluang untuk memperoleh manfaat dari
REDD
Keterbukaan dan partisipasi seluruh pihak sangat perlu

dalam pemetaan spasial untuk membuat data dasar

(baseline) sebelum proyek ini diimplementasikan. Kedua
prinsip ini akan mengikat seluruh pihak untuk mentaati
kesepakatan yang telah mereka rumuskan. Prinsipprinsip ini juga diperlukan dalam membuat perkiraan
biaya dan manfaat dari REDD yang aimplementasikan
pada lahan yang telah dihuni dan digarap masyarakat.
Dengan prinisp-prinsip itu diharapkan akan terbangun
rasa tanggung jawab (accountability) sekaligus terbangun
kesatuan upaya guna mencapai efisiensi dan efektivitas
REDD. Pengikutsertaan semaksimal mungkin seluruh
pihak dalam pengembangan metoda pengukuran
serapan karbon, serta sistem evaluasi proyek mulai dari
perumusan proposal, penyusunan organisasi proyek
baik untuk tujuan pasar yang regulated maupun voluntary
hingga ke perumusan rencana operasional, juga
merupakan prinsip good governance yang perlu dilakukan
untuk menjamin ternure masyarakat atas lahan kawasan
hutan dapat berjalan dengan baik, sesuai kerangka legal
yang ada, serta dalam norma-norma keadilan.
Pada akhirnya good governance dalam implementasi
REDD menghendaki seluruh pihak yang terkait untuk
tanggap terhadap permasalahan tenure masyarakat atas
lahan pada kawasan hutan, yang hingga kini masih pada
posisi tidak pasti dan tidak menentu. Pendekatan positiflegalistik mungkin bukan pilihan yang tepat untuk
mencapai keadilan dalam situasi ini; namun sensitivitas
para pihak dalam memahami akar-akar permasalahan
sangat diperlukan untuk menuju kesepakatan atas
keputusan yang bijaksana.

Apa Itu REDD ?
Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in Developing Countries
Sambungan dari hlm 8
Penutup
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah banyak berupaya untuk menyiapkan perangkat REDD, mulai dari
aspek regulasi, institusi, sampai aspek teknis/metodologis. Dengan sejumlah demonstration activities yang akan segera
operasional, kita dapat exercise dari beberapa aspek di atas dan memberikan input ke proses negosiasi. Banyaknya
inisiative yang sering diberi label 'voluntary market' di level sub-national (Project, Kabupaten, Propinsi) dapat
merupakan media exercise untuk REDD market dengan berbagai tahapan dan scales. Namun demikian, initiative tersebut
tidak akan memberikan manfaat jangka panjang bagi kepentingan nasional kita bila tidak dilakukan secara terkoordinasi
dan terintegrasi antara daerah dan pusat dan antar aktor yang terkait, serta menjaga konsistensi dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan kesepakatan maupun proses negosiasi UNFCCC.
Working Group on Forest Land Tenure

www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 6 - September 2008

11

Kajian dan Opini

Kepastian Tenure Masyarakat
dalam Pelaksanaan REDD
Oleh: Iman Santoso

(Koordinator Dewan Pengurus WG-Tenure)

Dewasa ini pemerhati perubahan iklim memperkirakan
bahwa 17 25% dari gas rumah kaca yang secara global
berada di atmosfir disumbang oleh proses deforestasi dan
degradasi hutan, dan sepertiga dari jumlah itu berasal
dari negara-negara yang sedang berkembang, termasuk
Indonesia. Dengan demikian bila negara-negara yang
sedang berkembang berhasil menekan laju deforestasi
dan degradasi maka mereka berjasa mengurangi laju
pemanasan global. Oleh karena itu berbagai wacana
telah melahirkan usulan agar negara-negara yang dinilai
berhasil menurunkan laju deforestasi dan degradasi
hutannya patut mendapat penghargaan dan ganjaran
yang layak. Wacana itulah yang kini disebut sebagai
Reducing Emission from Deforestation and Degradation
(REDD) yang akan diperjuangkan di berbagai fora
internasional.

Ada apa dengan REDD ?
Secara praktis REDD dilakukan melalui pengurangan
kegiatan atau penghentian penebangan hutan,
penghentian konversi kawasan hutan untuk
pembangunan sektor-sektor lainnya yang berbasis lahan.
Dengan melaksanakan REDD maka secara praktis
negara-negara yang sedang berkembang akan
mengurangi produksi kayunya dan menghentikan
pembukaan areal hutan untuk membangun wilayahnya.
Semua tindakan praktis itu pada hakekatnya merupalan
pengorbanan yang dilakukan demi mengurangi laju
pemanasan global.
Oleh karena itu pengorbanan
tersebut layak dipandang sebagai opportunity cost atau
kredit karbon yang harus ditanggung atau dibayar oleh
masyarakat dunia.
Di tingkat nasional upaya ini bisa diperhitungkan sebagai
suatu keuntungan, yaitu dalam bentuk penerimaan dana
untuk biaya pembangunan, terpeliharanya sumberdaya
hutan, maupun keuntungan politik lainnya. Namun di
Working Group on Forest Land Tenure

tingkat lokal, di mana REDD tersebut dilakukan, bisa jadi
tidak memberikan manfaat yang optimal, karena segala
'keuntungan' yang diterima di tingkat nasional itu tidak
seratus persen akan dinikmati oleh pelaksana lokal,
terutama masyarakat.
Disamping itu, penyelenggaraan proyek REDD di tingkat
lokal, akan menemui dua permasalahan sosial yang
saling terkait dengan keberadaan masyarakat di dalam
kawasan hutan (baca; hutan negara). Pertama, bahwa di
dalam suatu lanskap kawasan hutan untuk implementasi
REDD tidak mustahil telah ada komunitas masyarakat
yang
selama ini tidak mempunyai kejelasan dan
ketidakpastian hukum atas status penguasaaan tanah
yang dihuni dan digarap. Ketidakpastian tenurial
masyarakat atas lahan ini menyangkut ketidakpastian
mengenai siapa saja yang mempunyai hak atas lahan
pada lanskap itu, dan apa haknya serta sampai kapan hak
itu melekat pada mereka (insecured land tenure). Kesulitan
kedua adalah dalam meyakinkan para calon pembeli
kredit karbon bahwa masyarakat tersebut bersedia
melakukan REDD dalam jangka waktu tertentu,
sementara Pemerintah (pusat maupun daerah) tidak
seratus persen yakin bisa mengatur masyarakat agar
tetap menjaga hutannya dari kemungkinan penebangan
kayu untuk keperluan mereka sendiri, maupun untuk
menjaga agar kawasan hutan itu tidak dialihkan untuk
penggunaan lain selain hutan. Untuk itu, perencanaan
dan implementasi REDD yang baik dan adil harus
didukung dengan data dan informasi yang terkait
dengan aspek tenurial pada kelompok-kelompok
masyarakat yang ada di dalam kawasan hutan.

Siapa yang Berada di Suatu Lanskap REDD
Bila REDD diimplementasikan pada suatu lanskap
kawasan hutan, pelaksanaannya mungkin akan
dihadapkan pada kenyataan bahwa di lokasi itu telah ada

www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 6 - September 2008

9

Kajian dan Opini
ditetapkan oleh Pemerintah. Secara historis mereka
masyarakat yang telah lama menetap di hutan dan
tidak dapat dikatakan sebagai perambah hutan, karena
kehidupannya tergantung pada lahan dan sumberdaya
mereka bukan pendatang baru di tanah itu, bahkan
hutan yang secara turun menurun mereka kelola
dalam banyak hal mereka masih mempunyai kaitan
berdasarkan pengetahuan tradisional dan hukumemosional dengan tanahnya.
Dalam
hukum adat yang berlaku di komunitas itu. Keberadaan
urusan/administrasi kehutanan komunitas ini sering
Masyarakat Hukum Adat (MHA) tersebut - demikian
disebut sebagai Masyarakat Setempat, di mana bila
mereka disebut dalam Undang-Undang No.41/1999
REDD diimplementasikan pada kawasan hutan dimana
tentang Kehutanan mungkin belum disahkan oleh
mereka berada, maka secara bijaksana mereka harus
Peraturan Daerah, sehingga hak-hak pengelolaan hutan
diberi penjelasan sebelumnya dan diikut sertakan dalam
secara legal masih belum mereka miliki. Dalam situasi
implementasinya. Mereka juga berhak untuk menikmati
seperti ini maka pihak manapun yang akan
keuntungan-keuntungan dari REDD sebagaimana
mengimplementasikan REDD perlu secara bijaksana
dinikmati
oleh MHA meskipun tidak punya kekuasaan
memberikan penjelasan rencana implementasi REDD
yang cukup dalam proses pengambilan keputusan pada
sehingga mereka bisa secara sukarela menerima (free and
tahap perencanaan dan implementasi REDD.
prior informed consent) dan selanjutnya berperan besar
dalam perencanaan
Kelompok masyarakat lain
maupun pelaksanadan
yang perlu diperhatikan
REDD. Dan oleh karena itu
dalam pelaksanaan REDD
Pada akhirnya good
manfaat pelaksanaan
di kawasan hutan adalah
governance
dalam
implementasi
REDD harus lebih jelas dan
komunitas masyarakat
REDD menghendaki seluruh pihak
h a r u s
l e b i h
pendatang, yang tidak
m e m b a h a g i a k a n
termasuk
dalam kedua
yang terkait untuk tanggap
komunitas ini dibanding
kategori komunitas di atas.
terhadap permasalahan tenure
bila REDD tidak
Komunitas ini tinggal dan
masyarakat
atas
lahan
pada
dilaksanakan di lanskap
memanfaatkan lahan dan
kawasan hutan, yang hingga kini
tersebut. Lebih lanjut, bila
sumberdaya hutan, tanpa
ternyata keberadaan MHA
adanya kaitan emosional
masih pada posisi tidak pasti
telah ditetapkan dalam
dengan tanah maupun
dan tidak menentu.
suatu PERDA, peran
komunitas yang ada.
komunitas ini harus
K o m u n i t a s i n i
menjadi lebih sentral, di mana keputusan dan
mengokupasi lahan hutan yang telah ditunjuk atau
pelaksanaan REDD harus merupakan hasil keputusan
ditetapkan oleh Pemerintah, namun sering diabaikan
komunitas itu, karena UU No.41/1999 memberikan hak
keberadaannya dalam pengolaan lanskap kawasan
pengelolaan kepada MHA yang sudah di PERDA-kan;
hutan di mana mereka berada. Secara hukum mereka
meskipun Peraturan Pemerintah mengenai Hutan Adat
tidak mempunyai hak atas tanah dan sumberdaya hutan
belum terbit dan diberlakukan.
pada kawasan itu, namun secara normatif, keberadaan
Kemungkinan lain, pada lanskap kawasan hutan itu
sudah ada komunitas yang secara turun menurun tinggal
dan hidup tergantung pada lahan dan sumberdaya hutan
yang ada. Mereka sudah tidak menggunakan hukum
adat dalam pergaulan sehari-hari, sehingga mereka tidak
bisa lagi disebut dan ditetapkan sebagai MHA. Oleh
karena itu mereka tidak mempunyai hak pengelolaan
hutan meskipun sudah menempati dan menggarap
tanah jauh sebelum kawasan hutan itu ditunjuk atau
10

Working Group on Forest Land Tenure

mereka harus disikapi secara bijaksana, karena selama ini
mereka tidak pernah 'dipermasalahkan' atau 'dibiarkan'.
Ada baiknya bila REDD diimplementasikan pada
kawasan hutan yang telah diokupasi oleh kelompok
masyarakat ini terlebih dahulu dikomunikasikan pada
mereka, dan mengikutsertakan mereka dalam
implementasinya; meskipun dalam implementasinya
nanti mereka tidak berhak menerima keuntungan dari
kredit karbon.
www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 6 - September 2008

Kajian dan Opini
Good Governance Terkait dengan Tenure
Masyarakat
Pelaksanaan REDD yang baik memerlukan kesepakatan
dan komitmen seluruh pihak yang terkait, terutama bila
hal ini akan berdampak pada ketiga kategori masyarakat
di atas. Oleh karena itu Kebijakan Nasional untuk REDD
perlu mencantumkan kesepakatan dan komitmen
seluruh pihak di tingkat lanskap, sebagai salah satu
kriteria REDD yang adil. Di dalam draft Peraturan
Menteri Kehutanan (Permenhut) tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan (REDD) dijelaskan bahwa REDD dapat
diimplementasikan antara lain pada areal izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kemasyarakatan (HKm), areal
izin usaha pemanfaaatan hasil hutan kayu pada hutan
tanaman rakyat (HTR), areal hutan adat, dengan
pemrakarsa masyarakat sebagai pemegang izin, sehingga
manfaat REDD dapat dinikmati langsung oleh
masyarakat. Namun bagaimana dengan masyarakat
yang belum mempunyai izin ataupun hak pengelolaan
hutan? Bila keadilan ingin kita unjung tinggi dalam
pelaksanaan REDD maka proses-proses multi-stakeholder
dalam memahami dan merencanakan REDD perlu
dilakukan; sedemikian rupa sehingga masyarakat yang
sampai saat ini belum mempunyai ijin usaha
pemanfaatan resmi dari pemerintah, tetap dapat
mendapat peluang untuk memperoleh manfaat dari
REDD
Keterbukaan dan partisipasi seluruh pihak sangat perlu
dalam pemetaan spasial untuk membuat data dasar

(baseline) sebelum proyek ini diimplementasikan. Kedua
prinsip ini akan mengikat seluruh pihak untuk mentaati
kesepakatan yang telah mereka rumuskan. Prinsipprinsip ini juga diperlukan dalam membuat perkiraan
biaya dan manfaat dari REDD yang aimplementasikan
pada lahan yang telah dihuni dan digarap masyarakat.
Dengan prinisp-prinsip itu diharapkan akan terbangun
rasa tanggung jawab (accountability) sekaligus terbangun
kesatuan upaya guna mencapai efisiensi dan efektivitas
REDD. Pengikutsertaan semaksimal mungkin seluruh
pihak dalam pengembangan metoda pengukuran
serapan karbon, serta sistem evaluasi proyek mulai dari
perumusan proposal, penyusunan organisasi proyek
baik untuk tujuan pasar yang regulated maupun voluntary
hingga ke perumusan rencana operasional, juga
merupakan prinsip good governance yang perlu dilakukan
untuk menjamin ternure masyarakat atas lahan kawasan
hutan dapat berjalan dengan baik, sesuai kerangka legal
yang ada, serta dalam norma-norma keadilan.
Pada akhirnya good governance dalam implementasi
REDD menghendaki seluruh pihak yang terkait untuk
tanggap terhadap permasalahan tenure masyarakat atas
lahan pada kawasan hutan, yang hingga kini masih pada
posisi tidak pasti dan tidak menentu. Pendekatan positiflegalistik mungkin bukan pilihan yang tepat untuk
mencapai keadilan dalam situasi ini; namun sensitivitas
para pihak dalam memahami akar-akar permasalahan
sangat diperlukan untuk menuju kesepakatan atas
keputusan yang bijaksana.

Apa Itu REDD ?
Reducing Emissions from Deforestation and Degradation in Developing Countries
Sambungan dari hlm 8
Penutup
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah banyak berupaya untuk menyiapkan perangkat REDD, mulai dari
aspek regulasi, institusi, sampai aspek teknis/metodologis. Dengan sejumlah demonstration activities yang akan segera
operasional, kita dapat exercise dari beberapa aspek di atas dan memberikan input ke proses negosiasi. Banyaknya
inisiative yang sering diberi label 'voluntary market' di level sub-national (Project, Kabupaten, Propinsi) dapat
merupakan media exercise untuk REDD market dengan berbagai tahapan dan scales. Namun demikian, initiative tersebut
tidak akan memberikan manfaat jangka panjang bagi kepentingan nasional kita bila tidak dilakukan secara terkoordinasi
dan terintegrasi antara daerah dan pusat dan antar aktor yang terkait, serta menjaga konsistensi dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan kesepakatan maupun proses negosiasi UNFCCC.
Working Group on Forest Land Tenure

www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 6 - September 2008

11

12

Kajian dan Opini
Salah satu sumber emisi karbon terbesar berasal dari
sektor kehutanan. Indonesia yang memiliki sumberdaya
hutan cukup luas menjadi penyumbang emisi ketiga
terbesar. Emisi tersebut berasal dari aktivitas deforestasi
dan degradasi seperti penebangan, pembukaan lahan
gambut, kebakaran hutan, perubahan tata guna lahan
dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, dsb. Untuk
mengurangi emisi karbon dari sektor kehutanan,
sekarang sedang dibahas kesepakatan internasional
tentang Reducing Emission from Deforestation and
Degradation (REDD).
Bagi Indonesia, REDD dianggap sebagai salah satu
insentif untuk mengurangi deforestasi dan degradasi
hutan. Untuk itu, pemerintah Indonesia telah menyusun
peraturan tentang tata cara pelaksanaan REDD di
Indonesia. Salah satu tujuan pembuatan peraturan
adalah untuk mengantisipasi keinginan dari beberapa
daerah yang ingin segera mengimplementasikan REDD.
Beberapa daerah telah menujukkan minat bahkan ada
yang sudah siap menandatangani kontrak dengan pihak
investor, seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan
Papua. Selain itu ada pula daerah yang sudah memulai
dengan perdagangan karbon sukarela (Voluntary Carbon
Trading), seperti di Kabupaten Malinau, Kalimantan
Timur.
Bagi pemerintah daerah, insentif yang akan diperoleh
dari mekanisme perdagangan karbon atau REDD,
tampaknya cukup besar. Di NAD misalnya, pemerintah
propinsi NAD telah mendapat komitmen dari investor
(Meryl Linch) senilai USD 100 juta untuk implementasi
REDD pada kawasan seluas 100.000 hektar. Sementara
itu di Kabupaten Malinau, pemerintah kabupaten telah
menandatangani kesepakatan untuk mempersiapkan
implementasi perdagangan karbon sukarela, dengan
nilai USD 350.000 per tahun selama 3 tahun, untuk areal
seluas 350.000 hektar hutan.
Di balik keinginan dan kesiapan pemerintah daerah dan
pemerintah pusat, ada sejumlah kekhawatiran tentang
rencana implementasi REDD, terutama terkait dengan
isu tata kelola (governance) dan aspek sosial.
Tata kelola hutan (forest governance) di Indonesia masih
rawan dengan korupsi. Sistem yang korup ini tidak
hanya melibatkan aparat kehutanan dan birokrasi
pemerintah saja, tetapi juga terkait dengan partai politik,
aparat penegak hukum, pihak legislatif, dsb. Sebagai
contoh, akhir-akhir ini terungkap kasus korupsi dalam

Working Group on Forest Land Tenure

perubahan status kawasan hutan yang melibatkan
anggota DPR dan aparat pemerintah daerah.
Selain itu ditemukan pula inkonsistensi kebijakan
Departemen Kehutanan. Di satu sisi, melalui REDD,
pemerintah Indonesia ingin menunjukkan komitmen
dalam melindungi hutan. Namun di sisi lain, pemerintah
juga masih mengeluarkan ijin untuk penebangan kayu
dan pemanfaatan kawasan menjadi peruntukan lain,
seperti kelapa sawit. Dari berbagai permasalahan tata
kelola hutan di atas, maka tampaknya cukup sulit untuk
menerapkan REDD di Indonesia.
Keprihatinan lain terkait dengan peluang dan ancaman
dari REDD terhadap masyarakat.
Peluang bagi
masyarakat memang ada, seperti yang disebut di dalam
draft Permenhut tentang REDD. Namun regulasi tsb.
juga menyebutkan sejumlah persyaratan yang cukup
berat untuk dapat dipenuhi oleh masyarakat, misalnya
tentang biaya untuk verifikasi, metode penghitungan
Referensi Emisi, penghitungan perubahan luasan
tutupan lahan dan reduksi emisi dengan menggunakan
pedoman dari IPCC, serta memperkirakan pengalihan
deforestasi dan degradasi dari lokasi REDD. Peluang
masyarakat semakin kecil, karena lokasi-lokasi yang
dikelola masyarakat tidak luas (rata-rata kurang dari
10.000 hektar). Sementara itu investor lebih tertarik
dengan lokasi yang luas (di atas 10.000 hektar).
Selain itu, regulasi itu juga tidak terlalu kuat dalam
melindungi hak-hak masyarakat, terutama apabila
terjadi konflik. Tidak ada kejelasan tentang mekanisme
untuk menyelesaikan konflik. Jangankan mekanisme,
pihak yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan
konflik terkait dengan implementasi REDD juga tidak
diatur.
Oleh karena itu perlu dibangun suatu skema alternatif,
yang dapat memberikan peluang yang lebih besar
kepada petani, sekaligus menjamin hak-hak petani dalam
mengakses dan mengelola hutan.
Gagasan
Masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan dan telah
bekerja melindungi dan mengelola hutan secara lestari,
akan mendapat insentif dari orang-orang (individu dan
keluarga) yang tinggal di negara maju (supporter).
Mereka adalah orang-orang yang peduli terhadap upaya
untuk mengatasi perubahan iklim tetapi belum tahu
Bersambung ke hlm 32

www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 6 - September 2008

13

Kajian dan Opini

Apa kata mereka tentang “REDD”
Negara maju maupun negara berkembang telah sepakat untuk meningkatkan upaya dalam mengurangi dampak negatif
perubahan iklim seperti tertuang dalam keputusan COP-13 yang dikenal dengan Bali Action Plan. Sektor kehutanan di
Indonesia dianggap sebagai salah satu penyumbang emisi yang cukup signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (Green
House Gases/GHGs), yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan.
REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi di
negara berkembang merupakan isu terkini dalam proses negosiasi di bawah Konvensi Perubahan Iklim (United Nations
Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Indonesia memperoleh insentif yang cukup besar dalam
implemantasi REDD. Namun demikian, seperti apa mekanisme distribusinya dan siapa yang berhak menerima manfaat
tersebut? Bagaimana dengan kelompok masyarakat yang secara faktual telah terbukti mampu mengelola hutan secara
lestari, meskipun keberadaan mereka di dalam kawasan hutan belum memiliki jaminan kepastian akan haknya?
Kami memberikan kesempatan kepada para pihak untuk berbagi opini dalam upaya mendorong sistem insentif yang
berkeadilan dan mekanisme distribusi yang transparan dalam implementasi REDD. Opini dapat berupa telaah/analisis
singkat, kritik terhadap system atau mekanisme yang ada, juga bisa berupa saran atau usulan perbaikan.
SIMAK OPINI MEREKA!

Nurcahyo Adi

Fasilitator MFP-II-KEHATI-DEPHUT

Terdapat bukti-bukti yang menguat, dari berbagai penelitian, bahwa community forest
lebih menjanjikan untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari (Markku et al., 2007).
Namun saat ini muncul kekhawatiran bahwa rakyat (di sekitar dan di dalam hutan) akan
semakin terpinggirkan dengan skema REDD, apalagi dengan rezim land tenure dan
property rights yang berlaku saat ini dan menguasai pola pikir sebagian kita. Dalam draft
regulasi pemerintah (Permenhut) tentang REDD-pun hak-hak rakyat di sekitar hutan
untuk memperoleh manfaat dari skema tersebut belum terkakulasikan dengan lebih jelas.
Oleh karena itu, supaya rakyat juga memperoleh manfaat yang seimbang dan bisa
berpartisipasi dalam skema REDD ini, maka :
1. Akses terhadap informasi mengenai persoalan REDD ini harus terbuka lebar dan
transparan untuk meningkatan pemberdayaan dan posisi tawar mereka terhadap
skema REDD
2. Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan adalah suatu keharusan, sehingga meningkatkan
partisipasi dan keberterimaan masyarakat terhadap skema REDD
3. Membangun institusi yang mendorong keterlibatan masyarakat secara optimal, melalui cara-cara:
 Melindungi/mengakui hak-hak masyarakat (adat)
 Memperkuat lembaga-lembaga yang menyediakan bantuan teknis tentang persoalan REDD kepada
masyarakat
 Mengembangkan kemitraan antara perusahaan pengelola hutan (korporasi) dan masyarakat sekitar dan di
dalam hutan
14

Working Group on Forest Land Tenure

www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 6 - September 2008

Kajian dan Opini
REDD - BERPIKIR GLOBAL BERTINDAK LOKAL :
IMPLIKASINYA PADA MASYARAKAT DESA HUTAN
Upik Rosalina Wasrin

Fakultas Kehutanan IPB. Wasrinsy@indo.net.id
Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD) harus dilaksanakan
dalam upaya untuk mengatasi emisi rumah kaca di dunia. Skemanya dapat dilakukan
melalui penjualan karbon dari hutan produksi dan hutan konservasi yang ada di
Indonesia. Namun demikian, masih banyak masyarakat umum yang belum
memahami apa yang dimaksud dengan REDD, demikian pula masih banyak dijumpai
persepsi yang berbeda terhadap definisi (what), dimana bisa dilakukan (where), kapan
berlakunya (when), dan dengan siapa harus berproses (whom) serta bagaimana
pelaksanaan/ best practice REDD di lapangan.
Faktanya, pengurangan (reduksi) emisi karbon global tidak akan efektif selama
kepentingan kelompok yang diutamakan, dimana industri-industri besar negara maju
tetap dengan kebiasaannya mengeluarkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), sedangkan
dipihak lain negara-negara berkembang diharuskan menjaga hutan dengan berbagai
mekanisme yang tidak sederhana dan tidak mudah.
Masyarakat miskin yang tinggal di pinggir hutan mencapai lebih dari 20 juta penduduk, dan hampir 50% berada di
pulau Jawa. Dapat dipastikan bahwa keberadaan hutan di pulau Jawa Madura sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial
ekonomi masyarakat desa hutan. Bagaimana agar skema perdagangan karbon ini juga bisa bermanfaat langsung
terhadap masyarakat khususnya yang berperan sebagai “penjaga hutan” / forest guard ? tentu bukan melalui
mekanisme sebagai penjaga hutan, akan tetapi harus menggunakan cara yang lebih bermartabat. Konsep multi produk
dari ekosistem hutan baik hutan produksi maupun hutan lindung merupakan mekanisme cerdas yang harus didukung
dan dibantu oleh berbagai pihak. Misalnya praktek-praktek hutan tanaman kombinasi tumpangsari / tumpanggilir
dengan menanam berbagai jenis umbi-umbian, tanaman obat dan tanaman tumpangsari lainnya menurut musim
tanam dan kondisi tapak dibawah tegakan hutan, maka pada hakikatnya sistem ini telah dapat meningkatkan
produktivitas lahan hutan dan memberikan penghasilan sekaligus menjaga hutan dari gangguan dan kebakaran baik
sengaja atau tidak sengaja, disisi lain dengan intensifnya pengelolaan lahan hutan dan tegakan pohon diatasnya secara
nyata mencegah terjadinya penebangan liar artinya mencegah terjadinya degradasi hutan. Mekanisme perdagangan
karbon melulu hanya dengan memberikan semacam kompensasi dari menjaga hutan sangat tidak efektif tanpa
memperhitungkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan.
Di negara paternalistik seperti Indonesia, pada dasarnya masyarakat masih patuh terhadap larangan-larangan atau
aturan-aturan. Pada kondisi sekarang dimana perubahan iklim global telah berimbas sangat nyata pada kehidupan
masyarakat desa khususnya dalam tata waktu dan pola tanam tumpangsari dan tanaman di bawah tegakan. Sehingga
pada kondisi perubahan iklim saat ini, masyarakat harus dibantu untuk bisa beradaptasi terhadap perubahan iklim
dan juga diberi kompensasi jika bisa mempertahankan dan mengelola hutan secara lestari. Kompensasi dapat
diberikan juga dalam bentuk “Bantuan Tunai Langsung” (BTL) yang diarahkan penggunaannya untuk meningkatkan
usaha produktif baik didalam sistem agroforestri atau hutan tanaman kombinasi tumpangsari pangan. Kelembagaan
masyarakat desa baik berupa kelompok tani, koperasi atau yang lainnya asalkan jelas keberadaannya dalam jangka
panjang, dapat menjadi fondasi kelembagaan yang eligible.
Selama kurun waktu tertentu (tergantung pada daur tanaman), masyarakat desa hutan akan menggantungkan
kehidupannya pada hutan dalam bentuk yang sangat positif. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pengelolaan
hutan akan secara pasti memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk keluar dari masalah kemiskinan dan
meraih standar kehidupan yang wajar, khususnya jika mereka juga didukung untuk melakukan proses produksi pada
kegiatan hilir (pengolahan pasca panen) yang dapat berupa industri rumah tangga skala kecil.

Working Group on Forest Land Tenure

www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 6 - September 2008

15

Kajian dan Opini
PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI
LAHAN HUTAN DI INDONESIA (REDDI);
ANTARA HARAPAN DAN ANGAN-ANGAN
Ir. Nanang Roffandi Ahmad

Direktur Eksekutif APHI

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia sedang dikhawatirkan atas adanya ancaman
pemanasan global yang dapat mengganggu kehidupan mahluk hidup di dunia sebagai
akibat efek gas rumah kaca (GRK) yang akumulasi jumlahnya semakin banyak di
atmoster. Deforestasi dan adanya kebakaran hutan pada periode1997-2000 telah
menempatkan Indonesia sebagai negara peng-emisi terbesar ke-3 di dunia. Kenyataan ini
telah menempatkan Indonesia pada posisi yang sulit karena kampanye negatif (black
campaign) yang telah bergulir tersebut.
Padahal Nicholas Stern dalam Stern Review : The Economics of Climate Change mencatat bahwa deforestasi di negara
berkembang hanya menyumbang emisi CO2 sekitar 20 % dari emisi global, sementara carbon yang saat ini tersimpan
di ekosistem hutan (~ 4500 Gt CO2 lebih besar dari yang tersimpan di atmosfir (3000 Gt CO2). Oleh karenanya negara
maju (Annex I countries) lah yang menyumbang 80 % emisi dengan industrialisasinya yang berkewajiban untuk
melindungi hutan yang masih ada mengingat sebagian besar hutan berada di negara-negara berkembang (tidak
terkecuali di Indonesia) dimana deforestasi yang terjadi merupakan sebuah kebutuhan akibat pertumbuhan
penduduk yang meningkat.
Dalam membangun mekanisme pasar karbon apapun harus terlihat benang merahnya dari kerangka kerjasama
antara negara industri dengan negara berkembang dalam upaya mencegah dan mengatasi dampak perubahan iklim
global. Annex-1 Countries diwajibkan menurunkan emisi dengan cara mengubah teknologi yang digunakan dan atau
berinvestasi di negara-negara berkembang yang akan menghasilkan pengurangan emisi.
Peran hutan dalam stabilisasi iklim dan sebagai system penyangga kehidupan belum memperoleh penilaian yang
memadai dari sisi financial baik di dalam mekanisme yang tersedia di bawah konvensi perubahan iklim maupun
dalam system pasar terhadap produk dan jasa hutan. A/R CDM yang merupakan satu-satunya mekanisme pasar
yang tersedia di bawah Kyoto Protokol terhadap jasa penyimpanan CO2 melalui kegiatan penanaman pohon tidak
memberikan manfaat karena prosedur dan aspek metodologi yang kompleks. Oleh karenanya untuk mendorong
negara berkembang melakukan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan sehingga dapat
memberikan kontribusi signifikan terhadap stabilitas GHgs di atmosfer (stabilisasi iklim) diperlukan pendekatan
kebijakan internasional yang seluas mungkin sehingga memungkinkan setiap negara pemilik hutan berpartisipasi
sesuai dengan kondisi masing-masing. Disamping itu upaya pengurangan emisi dari deforestasi juga memerlukan
pendekatan kebijakan internasional yang tidak akan mengancam pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan
dan kehidupan masyarakat lokalnya.
Ada tiga prinsip yang menjadi pegangan bagi pembayaran jasa lingkungan (environment service payment) yaitu :

a. Prinsip Service Against Money
Dalam hal ini penerima jasa harus membayar kepada pemberi jasa, sekurang-kurangnya setara dengan
opportunity cost dari penggunaan lahan/hutan tersebut.

b. Prinsip Negosiasi
Pembayaran harus bersifat sukarela yang didorong oleh keinginan yang kuat (willingness to pay and or to sale).

c. Prinsip Polluter Pays
Dalam prinsip ini siapa yang membuat polusi diwajibkan untuk membayar kompensasi yang hasilnya akan
dipergunakan untuk menunjang pembangunan yang berwawasan lingkungan. Kewajiban tersebut tidak
menghilangkan kewajiban industri untuk membatasi limbah.
Pada tanggal 3-14 Desember 2007 di Bali diadakan acara United Nation Climate Change Conference (UNCCC). Salah satu

16

Working Group on Forest Land Tenure

www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 6 - September 2008

Kajian dan Opini
pembahasannya adalah tentang kesepakatan pelaksanaan program REDD yang bertujuan untuk mengatasi masalah
global warming yang mekanismenya sedang dalam proses pengujian.
Apakah mekanisme REDD yang disepakati nanti akan menjamin membawa manfaat? Belum ada jaminan, oleh karena
itu sudah menjadi kewajiban negara berkembang yang memiliki hutan hujan tropis untuk memegang teguh prinsipprinsip environment service payment serta kegiatan-kegiatan yang layak masuk dalam mekanisme REDD tersebut.
Mengenai jangka waktu pelaksanaan REDD semestinya harus sama dengan izin pemanfaatan jasa lingkungan yang
ada dalam PP No.6 Tahun 2007 jo. PP No.3 Tahun 2008, yang harus diatur lebih lanjut adalah Time-Frame yang harus
kita pertahankan yaitu selama lima tahun dan dapat diperpanjang. Penetapan lima tahun ini karena adanya evaluasi
RTRW lima tahunan sesuai UU RTRW. Apabila time-frame lebih lama dari lima tahun, dikhawatirkan akan
bertabrakan dengan revisi RTRW yang diatur dengan UU RTRW itu sendiri.
Untuk verifikasi sebaiknya tidak dibebankan kepada Pemrakarsa REDD secara langsung, akan tetapi diatur dalam
pembagian nilai pembayaran jasa lingkungan. Mengenai Sertifikasi, sekali lagi disarankan, apabila sertifikat REDD ini
akan selevel dengan CER, maka perlu diatur secara lebih jelas dalam Permenhut. Hal ini perlu dilakukan agar sertifikat
tersebut dapat memasuki pasaran global (go-global).
Besarnya pembayaran minimal harus dapat menutup seluruh biaya eksternalitas yang dikeluarkan Pemrakarsa,
ditambah allowance yang dapat menarik bagi Pemrakarsa untuk memasuki mekanisme ini sebagai alternatif kegiatan
yang terbaik. Atau besarannya harus sama dengan jumlah nilai pengorbanan (opportunity lost) pada saat mereka
memasuki mekanisme tersebut.
Sementara itu, distribusi insentif hasil pelaksanaan REDD sebaiknya diganti saja dengan distribusi pembayaran jasa
lingkungan dan lialibilitasnya. Diusulkan bahwa pembayaran atas jasa lingkungan tersebut berkisar antara 70 - 87,5%
diperuntukan bagi penghasil jasa. Yang dimaksud dengan penghasil jasa adalah Pemrakarsa tersebut dan masyarakat
yang berada di sekitar hutan. Kemudian sisanya sebesar 12,5 max. 30% digunakan untuk pendamping dan fasilitator
Pemrakarsa. Porsi Pemerintah dan Pemerintah Daerah seyogyanya ditiadakan, akan tetapi apabila UU mengharuskan
maka bagian Pemerintah (pajak dan PNBP) max 10% saja.
Inisiatif perdagangan karbon kehutanan lainnya yang telah ada tetap harus terbuka untuk dimanfaatkan. Hal ini
berarti mekanisme pasar CDM, REDD dan perdagangan karbon bebas (VCM) dapat menjadi pilihan yang paling baik
bagi negara berkembang.

Niken Sakuntaladewi

Puslit Sosek Kehutanan - ICRAF
REDD merupakan sebuah mekanisme yang ditawarkan untuk merespon permasalahan
perubahan iklim yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi, dengan kompensasi
yang cukup besar bila berhasil mengurangi emisi carbonnya. Upaya mulia ini
dimaksudkan untuk memperbaiki ekosistem global. Bagi Indonesia, revenue yang
didapat dari REDD ini dipercaya dapat mendukung pengelolaan hutan yang lebih
berkelanjutan.
Adanya revenue yang besar dari REDD ini menuntut persyaratan, kesiapan, kemampuan,
dan kerjasama berbagai pihak (termasuk masyarakat) untuk bisa meraihnya. Selanjutnya
perlu dipunyai base line untuk tingkat nasional, mekanisme monitoring, mekanisme
distribusi hasil pembayaran karbon dsb agar upaya pengurangan emisi karbon bisa
berjalan dengan baik. Ada pemahaman bahwa pemerintah/masyarakat akan
memperoleh keuntungan besar dari mekanisme ini, sementara banyak yang belum jelas
tentang peran yang harus mereka mainkan, tanggung jawab yang harus mereka pikul,
hak yang akan diterimakan, dsb.
Perlu diingat bahwa REDD bukan untuk mendulang uang, tapi merupakan investasi dimasa mendatang untuk
perbaikan lingkungan.
Working Group on Forest Land Tenure

www.wg-tenure.org - Warta Tenure Nomor 6 - September 2008

17

Info Kebijakan
Catatan Kritis Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI)

Reducing Emission from Deforestation and
Degradation (REDD)
Oleh: Emila

Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD RI) menyampaikan catatan kritis tentang REDD yang secara langsung diserahkan
oleh Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai Ketua Panitia Khusus Perubahan Iklim Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia 2008 kepada Menteri Kehutanan yang diwakili oleh Sekjen Departemen Kehutanan Dr. Boen M. Poernama,
pada acara Konsultasi Publik tentang Rancangan Permenhut tentang REDD.
Sebagai tindak lanjut dari Konferensi Perubahan Iklim di Bali pada Desember 2007, Dewan Perwakilan Daerah RI merasa
perlu untuk menyikapi Perubahan Iklim sebagai bagian dari pengembangan pembangunan baik di tingkat nasional
maupun di daerah. Catatam kritis ini merupakan hasil kajian DPD RI atas konsep REDD yang dikeluarkan oleh
Pemerintah dengan dibantu Indonesia Forest Climate Alliance (IFCA). Catatan kritis ini ke depan diharapkan dapat
dijadikan sebagai bahan rujukan bagi pemerintah dalam mengimplementasikan REDD, baik melalui demonstration
activities (kegiatan uji coba) maupun melalui mekanisme pasar secara sukarela (Voluntary Market Mechanism).
Pada kesempatan Konsultasi Publik tentang Rancangan Permenhut tentang REDD, yang diselenggarakan pada Tanggal
17 Juli 2008 bertempat di Gedung Manggala Wanabakti Jakarta, Ir. Sarwono Kusumaatmadja secara langsung
membacakan rekomendasi dari Catatan Kritis DP