), PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS DEEP DIALOGUE/CRITICAL THINKING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA SMP.

(1)

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

BERBASIS DEEP DIALOGUE/CRITICAL THINKING

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI

MATEMATIKA SISWA SMP

(Studi Penelitian Kuasi Eksperimen terhadap Siswa Kelas VIII SMPN 29 Bandung)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Disusun oleh:

NONI HAFRIANI (0700939)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

BERBASIS DEEP DIALOGUE/CRITICAL THINKING

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA SMP

Oleh:

Noni Hafriani 0700939

Menyetujui: Pembimbing I

Dr. Kusnandi, M.Si.

NIP. 196903301993031002

Pembimbing II

Dra. Entit Puspita, M.Si.

NIP. 196704081994032002

Mengetahui:

Ketua Jurusan Pendidikan Matematika

Drs. Turmudi, M.Ed., M.Sc., Ph.D.


(3)

ABSTRAK

Noni Hafriani (2013), Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMP.

Pada penelitian ini, dikaji tentang pengaruh penerapan model pembelajaran Kontekstual Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT) terhadap peningkatan kemampuan komunikasi. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mengetahui apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking lebih baik dibandingkan dengan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional (2) Mengetahui bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan dengan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking

(DD/CT). Metode yang digunakan adalah metode kuasi eksperimen dengan desain kelompok kontrol pretest-postest. Sampel pada penelitian ini adalah 38 siswa di kelas yang mendapatkan pembelajaran dengan penerapan model Kontekstual Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking dan 42 siswa di kelas yang mendapatkan pembelajaran dengan penerapan model konvensional, diambil secara acak dari semua kelas VIII di SMP Negeri 29 Bandung. Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes tertulis yang mengukur kemampuan komunikasi siswa dan angket respon siswa. Hasil penelitian yang diperoleh adalah peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa dalam kelas yang mendapatkan pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran Kontekstual Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking lebih baik dibandingkan peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa dalam kelas yang mendapatkan pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran konvensional. Siswa dalam kelas yang mendapatkan penerapan model pembelajaran Kontekstual Berbasis

Deep Dialogue/Critical Thinking juga memberikan respon positif terhadap pembelajaran ini.


(4)

ABSTRACT

Noni Hafriani (2013), Application of Model-Based Contextual Learning Deep Dialogue / Critical Thinking to Improve Communication Skills Math Junior

High School Students.

In this study, examined the effect of the application of contextual learning model based Deep Dialogue / Critical Thinking (DD / CT) to increase communication skills. The purpose of this study was (1) Determine whether the increased communication skills students acquire math learning based contextual model by applying a deep dialogue / critical thinking better than the mathematical communication skills of students who received conventional learning (2) Knowing how to respond to students' learning with deep learning model based contextual dialogue / critical thinking (DD / CT). The method used is the method of quasi-experimental design with pretest-posttest control group. The samples in this study were 38 students in the class are getting the learning with the application of the model-based Contextual Deep Dialogue / Critical Thinking and 42 students in the class are getting the learning with the application of conventional models, drawn at random from all classes VIII in SMP Negeri 29 Bandung. The research instrument used was a written test that measures students 'communication skills and students' questionnaire responses. The results obtained are improved communication skills math students in the class to get lessons with the application of contextual learning model based Deep Dialogue / Critical Thinking better than improved communication skills math students in the class to get lessons with the application of the conventional learning. Students in the class are getting the application-based learning model Contextual Deep Dialogue / Critical Thinking also responded positively to learning.

Keywords: Contextual, Deep Dialogue / Critical Thinking (DD / CT), Communication


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang Masalah ... 1

2. Rumusan Masalah ... 6

3. Pentingnya Masalah ... 6

4. Tujuan Penelitian ... 7

5. Manfaat Penelitian ... 7

6. Definisi Istilah ... 8

7. Hipotesis ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... .. 10

1. Model Pembelajaran Kontekstual ... 10

2. Deep Dialogue/Critical Thinking ... 14

3. Kemampuan Komunikasi Matematika ... 24

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 28

1. Desain Eksperimen ... 28

2. Populasi dan Sampel ... 28

3. Variabel ... 29

4. Instrumen ... 29

5. Prosedur Penelitian ... 38

6. Analisis Data ... 39

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... . 46

1. Hasil Penelitian ... 47


(6)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... . 67

1. Kesimpulan ... 67

2. Implikasi ... 67

3. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(7)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Matematika adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari, karena matematika merupakan dasar dari mata pelajaran lain yang saling berkesinambungan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kualitas hasil belajar siswa SMP dalam mata pelajaran matematika masih rendah termasuk dalam kemampuan komunikasi, sehingga masih perlu ditingkatkan.(Solihin:2011).

Rendahnya kualitas proses pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah ketepatan pembelajaran yang digunakan. Pembelajaran dalam penyampaian materi yang digunakan oleh para guru di lapangan pada umumnya adalah pembelajaran konvensional yang menekankan penguasaaan dan manipulasi isi dengan latihan pengerjaan soal-soal atau drill and practice, prosedural, serta penggunaan rumus. Pada pembelajaran ini guru berfungsi sebagai pusat atau sumber materi, guru yang aktif dalam pembelajaran, sedangkan siswa hanya menerima materi. Para siswa menghafalkan fakta, angka, nama, tanggal, tempat dan kejadian; mempelajari mata pelajaran secara individu; dan berlatih dengan cara yang sama untuk memperoleh kemampuan dasar menulis dan berhitung.

Pada kenyataanya proses pembelajaran harus memungkinkan siswa memahami arti pelajaran yang mereka pelajari. Alferd North Whitehead


(8)

(Johnson, 2009:37) mengatakan “ Si anak harus menjadikan (ide-ide tersebut) milik mereka, dan harus mengerti penerapannya dalam situasi kehidupan

nyata mereka pada saat yang sama”. Dengan alasan tersebut, pembelajaran

kontekstual dalam pembelajaran matematika berusaha untuk mengajak para siswa melakukan hal tersebut, yaitu dengan membuat skenario pembelajaran yang saling berhubungan, dimulai dari konteks kehidupan nyata siswa (daily life) agar pembelajaran tersebut menjadi lebih bermakna. Model pembelajaran kontekstual juga memiliki potensi untuk membuat siswa mampu mengkomunikasikan ide dan gagasan.

Seorang siswa pernah bertanya kepada gurunya “ Pak, untuk apa kita belajar matematika?” Wajar jika selama ini siswa bertanya seperti itu, hal ini disebabkan siswa mencari makna, arti penting dan maksud, serta manfaat dari apa yang sedang siswa pelajari. Dengan model pembelajaran kontekstual dapat membantu siswa menemukan makna dan memahami konsep matematika yang tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari dan dengan harapan siswa dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Guru pun dapat menghubungkan dan menjawab, “dalam kehidupan sehari-hari matematika banyak digunakan, sebagai contohnya, bagaimana kamu memilih banyak pasang pakaian yang akan kamu gunakan apabila kamu memiliki 3 baju dan 2 celana? Dengan kombinasi seseorang dapat menentukan banyak pasangan pakaian yang dapat digunakan”. Selanjutnya guru memfasilitasi siswa untuk mengangkat objek dalam kehidupan nyata itu ke dalam konsep matematika.


(9)

Disadari bahwa matematika adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari, namun apakah matematika itu sebenarnya? Matematika adalah pola berfikir, pola mengorganisasikan, pembuktian logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol yang padat, lebih berupa symbol mengenai ide dari pada bunyi. Johnson dan Rising (Solihin: 2011), dan Kline (Solihin: 2011) mengatakan bahwa matematika bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam. Oleh karena itu matematika tidak pernah terlepas dari pemikiran secara kritis, logis dan sistematis dan matematika juga tidak terlepas dari ilmu pengetahuan lainnya seperti fisika, social, ekonomi dan ilmu alam.

Proses belajar-mengajar adalah proses dialog/komunikasi yang saling berkaitan dengan berpikir kritis. Proses bagaimana mengkomunikasikan apa yang ada dipikiran siswa, baik ke dalam sebuah bahasa matematika maupun mengkomunikasikan pemikirannya kepada guru dan teman lainnya. Sebagai proses komunikasi, praktik pembelajaran memerlukan prasyarat kesiapan fisik dan mental pelaku penyampai pesan dan penerima pesan pembelajaran. Pembelajaran berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking (DD/CT) mengakses paham konstruksi dengan menekankan dialog mendalam dan berpikir kritis. Dengan deep dialogue/critical thinking, seseorang diharapkan mampu disamping mengenali diri sendiri juga mengenal diri orang lain. Selain itu,


(10)

dengan dialog mendalam/berpikir kritis, orang akan belajar mengenal dunia lain di luar dirinya dan selanjutnya mampu menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakat. Hal ini membuka kemungkinan-kemungkinan untuk memahami makna yang fundamental dari kehidupan secara individual dan kelompok dengan berbagai dimensinya.

Komunikasi secara implisit menurut Effendy (Rohayati:10) merupakan proses yang menyampaikan suatu pesan seseorang kepada orang lain untuk memberitahukan atau mengubah sikap, pendapat, perilaku baik langsung secara lisan maupun tulisan (melalui media).

Menyadari pentingnya matematika sebagai alat komunikasi, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional menetapkan bahwa salah satu fungsi mempelajari matematika dalam kurikulum sekolah adalah mengembangkan kemampuan komunikasi gagasan melalui model matematika yang dapat berupa kalimat dan persamaan matematika, diagram, grafik atau tabel. Selain itu, Salah satu tujuan pembelajaran matematika adalah

mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau

mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, grafik, peta, diagram dalam menjelaskan gagasan (Depdiknas: 2003). Selain itu, kemampuan komunikasi matematika merupakan salah satu kompetensi yang harus dilaporkan secara deskriptif dalam proses penilaian pembelajaran di manasiswa diharapkan memiliki kemampuan komunikasi matematika yaitu siswa mampu menyatakan dan menafsirkan gagasan matematika secara lisan, tertulis, atau mendemonstrasikan (Depdiknas, 2003:15).


(11)

Dengan komunikasi dapat bertukar ide dan memperbaiki hal yang belum sempurna menjadi lebih sempurna. Dengan komunikasi juga guru bisa mengetahui psikologi siswa agar dalam pencapaian model dan metode yang diterapkan dapat dilaksanakan dengan efektif.

Baroody (Suzana, 2009:6) mengungkapkan bahwa paling tidak ada dua alasan penting yang menjadikan komunikasi dalam matematika perlu menjadi focus perhatian. Pertama, Mathematics as language; matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, alat untuk mengemukakan pola-pola atau menyelesaikan masalah, namun matematika juga merupakan alat yang tidak terhingga nilainya untuk dikomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat, dan cermat dan kedua, mathematics learning as social activity; matematika sebagai aktivitas social dalam pembelajaran matematika, interaksi antar siswa seperti juga komunikasi antar guru dan siswa yang merupakan bagian penting untuk memelihara dan mengembangkan potensi matematika siswa.

Namun, pentingnya kemampuan komunikasi matematika dalam kompetensi yang harus dimiliki tidak sejalan dengan hasil yang selama ini dicapai. Berdasarkan pengamatan, siswa sangat sulit dalam mengkomunikasikan gagasannya dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Hal ini dinyatakan oleh penelitian yang dilakukan Sunata (Solihin: 2011) yang menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematika siswa SMP masih rendah. Diperkuat oleh hasil penelitian Utari, Rukmana, dan Suhendra (Solihin: 2011) yang menyatakan bahwa pembelajaran metematika di


(12)

Indonesia saat ini dirasakan masih kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan gagasan matematika yang dimiliki siswa.

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti tentang

“Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Berbasis Deep

Dialogue/Critical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMP” melalui pembelajaran matematika.

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut :

a. Apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model kontekstual berbasis

deep dialogue/critical thinking lebih baik dibandingkan dengan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

b. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan model pembelajaran Kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking

(DD/CT)?

3. Pentingnya Masalah

Jika hasil penelitian ini signifikan, maka dapat dijadikan pertimbangan sebagai alternatif penerapan model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa SMP, sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran matematika.


(13)

4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking lebih baik dibandingkan dengan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

b. Mengetahui bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan model pembelajaran Kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking

(DD/CT).

5. Manfaat Penelitian

Jika hasilnya signifikan, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi:

a. Siswa

Deep dialogue/critical thinking dapat digunakan untuk melatih siswa dalam mengkomunikasikan pemikiran dan idenya baik secara lisan maupun tulisan kepada siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru, dan siswa dapat menerapkan pembelajaran matematika dalam kehidupan sehari-hari.

b. Guru

Untuk mengoptimalkan pembelajaran sebagai alternatif yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa.


(14)

c. Sekolah

Meningkatkan kualitas dan hasil belajar pembelajaran matematika.

6. Definisi Istilah

Untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda dari pembaca, maka peneliti memberikan penjelasan dari beberapa istilah yang digunakan :

a. Pembelajaran kontekstual

Pembelajaran kontekstual adalah model pembelajaran yang mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari atau situasi nyata sebagai media pembelajaran. Guru memberikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari secara individu ataupun berkelompok dapat menyimpulkan konsep materi pembelajaran matematika tersebut, kemudian guru memberikan soal yang berbentuk aplikasi.

b. Deep Dialogue/Critical Thinking (Dialog Mendalam/BerpikirKritis)

Deep dialogue/critical thinking adalah pendekatan yang mengkonsentrasikan kegiatan pembelajarannya untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman, melalui dialog secara mendalam dan berpikir kritis, serta tidak saja menekankan keaktifan peserta didik pada aspek fisik, akan tetapi juga aspek intelektual, sosial, mental emosional dan spiritual. Tahapan deep dialogue/critical thinking, meliputi: kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir.


(15)

c. Komunikasi matematika

Komunikasi dapat diartikan sebagai suatu peristiwa saling hubungan/dialog yang terjadi dalam suatu lingkungan kelas, dimana terjadi pengalihan pesan-pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang dipelajari di kelas. Pihak yang terlibat komunikasi dikelas adalah guru dan siswa. Jadi, kemampuan komunikasi matematika dalam penelitian ini adalah a) Mengungkap ide secara lisan dan tulisan, b) Mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang ide matematika dan hubungannya, c) Menggunakan situasi nyata dan menyatakan solusi masalah menggunakan gambar dan aljabar, d) Membuat situasi matematika dan menyediakan ide serta keterangan dalam bentuk tertulis, dan e) Menginterpretasikan ide matematika dalam bentuk gambar dan aljabar.

7. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, hipotesis penelitian ini sebagai berikut “Peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran dengan menerapkan model kontekstual berbasis

deep dialogue/critical thinking lebih baik dibandingkan dengan kemampuan komunikasi matematika siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional”.


(16)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metodekuasi eksperimen. Penelitian ini melibatkan dua kelas yaitu satu kelas eksperimen dan satu kelas kontrol. Masing-masing mendapat perlakuan berbeda dalam proses pembelajaran, tetapi materi yang sama. Pada kelas eksperimen diberikan pembelajaran menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking. Sedangkan pada kelas kontrol diberikan pembelajaran konvensional.

Dengan demikian desain eksperimen dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

O X O

O O (Ruseffendi, 1994)

Keterangan:

O: Pretest/postest berupa tes komunikasi matematika siswa

X:Perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis

deep dialog/critical thinking.

2. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP Negeri 29 Bandung. Sedangkan sampel yang diambil dari populasi harus


(17)

betul-betul representative yaitu dengan mengambil sampel dua kelas dari beberapa kelas sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol.

3. Variabel Penelitian

Variabel bebas pada penelitian ini yaitu penerapan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking dan satu variabel terikat yaitu kemampuan komunikasi matematika siswa SMP.

4. Instrumen

a. Instrumen Pembelajaran i. Silabus

Silabus adalah perangkat pembelajaran pendukung kurikulum. Silabus pada hakikatnya menjelaskan secara singkat mengenai materi yang akan dibahas dari setiap mata ajar dan tujuan yang hendak dicapai dari suatu pembelajaran, atau tahap belajar-mengajar atau dengan kata lain silabusmerupakan penjabaran standar kompetensi/kompetensidasar,

indikator ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan pencapaian kompetensi untuk penilaian. Silabus biasanya disusun oleh guru mata pelajaran yang telah disesuaikan dengan kurikulum sekolah.

ii. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

RPP adalah perkiraan atau proyeksi mengenai tindakan apa yang akan dilakukan pada saat melaksanakan kegiatan pembelajaran. RPP


(18)

biasanya disusun secara sistematis dan dalam jangka pendek yaitu 1 – 4 pertemuan. Perkiraan tindakan yaitu:

1. Rencana yang mengambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan telah dijabarkan dalam silabus

2. Pembelajaran adalah proses yang ditata dan diatur menurut langkah-langkah tertentu agar dalam pelaksanaannya dapat mencapai hasil yang diharapkan

3. RPP disusun untuk satu Kompetensi Dasar.

Adapun tujuan dan manfaat RPP adalah sebagai berikut:

1. Memberikan landasan pokok bagi guru dan siswa dalam mencapai kompetensi dasar dan indikator

2. Memberi gambaran mengenai acuan kerja jangka pendek

3. Karena disusun dengan menggunakan pendekatan sistem, memberi pengaruh terhadap pengembangan individu siswa

4. Karena dirancang secara matang sebelum pembelajaran, berakibat

natural effect. iii. LKS

LKS adalah alat bantu dalam pembelajaran. Dengan LKS siswa dapat mengambil kesimpulan mengenai konsep pembelajaran matematika pada materi tertentu.


(19)

b. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini maka digunakan instrumen penelitian yang terdiri atas instrumen tes dan instrumen non tes yang dimaksud untuk mengukur kemampuan komunikasi matematika siswa.Instrumen penelitian tersebut diukur dengan menggunakan lembar observasi,angket, danjurnalharian siswa.

i. Instrumen Tes

Instrumen tes ini terdiri atas pretest dan postest berupa soal uraian yang terdiri dari lima butir soal. Pemilihan bentuk tes berupa soal uraian bertujuan untuk mengungkapkan kemampuan komunikasi matematika siswa secara tertulis. Pretest dan postest diberikan pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pretest diberikan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematika awal siswa sebelum diberi pembelajaran. Sedangkan postest digunakan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematika setelah pembelajaran dilakukan pada kedua kelas tersebut. Setelah uji coba pretest dilaksanakan, kemudian dilakukan analisis mengenai validitas butir soal, reliabilitas tes, daya pembeda, dan indeks kesukaran butir soal tersebut. Selengkapnya hasil analisis uji coba soal dipaparkan sebagai berikut:

1. Validitas butir soal

Sebuah tes disebut valid apabila tes tersebut dapat dengan tepat mengukur apa yang hendak diukur (Kunto, 2007:59). Untuk


(20)

menguji validitas tiap butir soal digunakan rumus Koefisien Korelasi Product Moment dari Karl Pearson sebagai berikut :

Keterangan :

rxy = Koefisien korelasi antara X dan Y

N = Jumlah peserta tes X = Skor tiap butir soal

Y = Skor total setiap peserta tes

Interpretasi yang lebih rinci mengenai nilai rxy tersebut dibagi ke

dalam kategori berikut ini menurut Guilford (dalam Suherman, 2003:113).

Tabel 3.1

Nilai Koefisien Korelasi Product Moment

Koefisien Korelasi (rxy) Kriteria

0,00 rxy 0,20 Validitas sangat rendah 0,20 rxy 0,40 Validitas rendah

0,40 rxy 0,70 Validitas sedang 0,70 rxy 0,90 Validitas tinggi

0,90 rxy 1,00 Validitas sangat tinggi

Dari hasil perhitungan validitas pembanding dengan menggunakan Anates, diperoleh nilai koefisien validitas (rxy)sebesar


(21)

seluruh butir soal dari instrumen tes yang telah dibuat termasuk kategori sedang.

Hasil validitas butir soal dengan software Anates, disajikan pada Tabel 3.2 berikut.

Tabel 3.2 Validitas Butir Soal

No. Soal Koefisien Validitas Signifikan Korelasi

1 0, 688 Signifikan

2 0,848 Sangat signifikan

3 0,738 Sangat signifikan

4 0,743 Sangat signifikan

5 0,741 Sangat signifikan

2. Reliabilitas butir soal

Reliabilitas sebuah instrument tes berkaitan dengan masalah konsistensi (keajegan) tes tersebut sebagai alat ukur. Rumus yang digunakan untuk menguji reliabilitas instrument dalam penelitian ini adalah koefisien Alfa dari Cronbach, yaitu:

(Soemantri, 2006:48) Keterangan :

r11 = koefisien reliabilitas

n = banyaknya butir soal

jumlah varians skor setiap butir soal varians skor total

dengan


(22)

X = skor tiap butir

Y = skor total tiap peserta tes N = jumlah peserta tes

Realibilitas untuk tiap butir soal disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 3.3 Derajat Realibilitas

Derajat Reliabilitas Interpretasi 0,90≤ r11 ≤ 1,00 Sangat tinggi

0,70≤ r11< 0,90 Tinggi

0,40≤ r11< 0,70 Sedang

0,20≤ r11 < 0,40 Rendah

r11 < 0,20 Sangat rendah

Dari hasil perhitungan menggunakan Anates, diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,85. Berdasarkan Tabel 3.3 dapat disimpulkan bahwa reliabilitas instrumen yang digunakan termasuk kategori tinggi. Data perhitungan reliabilitas selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.

3. Indeks kesukaran

Suatu soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu sukar tetapi juga tidak terlalu mudah.Soal yang terlalu sukar dapat menyebabkan siswa merasa kesulitan dan tidak percaya diri dalam menyelesaikannya.Sebaliknya soal yang terlalu mudah tidak merangsang untuk meningkatkan usahanya dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Rumus yang digunakan untuk menguji indeks kesukaran adalah sebagai berikut :


(23)

Keterangan :

IK = indeks kesukaran tiap butir soal X = rata-rata skor tiap butir soal

SMI = skor maksimal ideal tiap butir soal

Interpretasi yang lebih rinci untuk indeks kesukaran tersebut dibagi ke dalam beberapa kategori berikut ini menurut Guilford (dalam Suherman, 2003: 170).

Tabel 3.4 Indeks Kesukaran

Nilai IK Indeks Kesukaran

0,00 Terlalu Sukar

0,00 IK 0,30 Soal sukar

0,30 IK 0,70 Soal sedang

0,70 IK 1,00 Soal mudah

1,00 Terlalu mudah

Hasil perhitungan indeks kesukaran soal dengan menggunakan Anates beserta kategorinya disajikan dalam Tabel 3.5 berikut.

Tabel 3.5

Hasil Perhitungan Indeks Kesukaran Soal Tes

No. Soal Koefisien Validitas Signifikan Korelasi

1 0,77 Mudah

2 0,63 Sedang

3 0,66 Sedang

4 0,66 Sedang


(24)

Data perhitungan indeks kesukaran selengkapnya dapat dilihat dalam lampiran.

4. Daya Pembeda Soal

Daya pembeda butir soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang tidak pandai. Daya pembeda butir soal dihitung dengan menggunakan perumusan:

SMI X X

DPab

Keterangan:

DP = Daya Pembeda

a

X = Rata-rata skor siswa kelompok atas

b

X = Rata-rata skor siswa kelompok bawah

SMI = Skor Maksimum Ideal

Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda yang digunakan sebagai berikut:

Tabel 3.6 Kriteria Daya Pembeda

Nilai Daya Pembeda Interpretasi

0,70<DP≤ 1,00 Sangat Baik

0,40<DP≤ 0,70 Baik

0,20<DP≤ 0,40 Cukup

0,00<DP≤ 0,20 Jelek


(25)

(Erman, 2003:16)

ii. Instrumen Non Tes

1. Lembar Observasi

Penelitian ini menggunakan dua jenis pedoman observasi yaitu pedoman observasi pelaksanaan pembelajaran yang berfungsi melihat keefektifan kegiatan guru dalam menerapkan model pembelajaran di kelas, dan pedoman observasi kegiatan siswa berfungsi untuk melihat keaktifan siswa dalam pembelajaran di kelas.Data ini bersifat relatif, karena dapat dipengaruhi oleh keadaan dan subyektivitas pengamat. Karena itu dibutuhkan instrumen tes lainnnya untuk melengkapi data yang diperoleh.

2. Angket

Angket atau skala sikap berfungsi untuk mengetahui umpan balik (feedback) siswa berupa sikap (non verbal) atau tanggapan (verbal) lewat sekumpulan pertanyaan dan pernyataan yang harus dilengkapi oleh siswa dengan memilih jawaban atau menjawab pertanyaan melalui jawaban yang telah disediakan mengenai model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking


(26)

Tabel 3.7

Teknik Pengumpulan Data

5. Prosedur Penelitian

Secara umum prosedur penelitian ini terdiri atas tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pengolahan serta analisis data hasil penelitian.

a. Tahap Persiapan

Pada tahap ini, dilaksanakan beberapa kegiatan yaitu: pengembangan perangkat pembelajaran (lembar kerja siswa), penyusunan instrumen dan uji coba instrumen, mengurus perizinan penelitian, dan memilih siswa kelas VIII di SMPN 29 Bandung sebanyak dua kelas untuk dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol.

b. Tahap Pelaksanaan

Instrumen Sasaran Waktu Tujuan

Tes

kemampuan Kritis

Siswa Sebelum perlakuan (pretest)

Setelah perlakuan (postest)

Mendapatkan data mengenai kemampuan awal komunikasi siswa Mendapatkan data mengenai

kemampuan komunikasi

siswasetelah diberi perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis

deep dialogue/critical thinking. Lembar

Observasi

Siswa Saat

pembelajaran

Mengetahui aktivitas siswa setiap tahapan pembelajaran

Angket Siswa Setelah

postest

Mengetahui sikap dan pendapat siswa terhadap pembelajaran dan soal yang diberikan


(27)

Pada tahap pelaksanaan penelitian dimulai dengan memberikan

pretest pada masing-masing kelas kontrol dan eksperimen untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematika awal siswa. Selanjutnya diberikan perlakuan sesuai perencanaan desain eksperimen, untuk kelas kontrol diberikan pembelajaran dengan menggunakan model konvensional dan kelas eksperimen diberikan pembelajaran dengan menggunakan model kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking. Observer melakukan observasi di kelas eksperimen selama pembelajaran berlangsung.

Pada tatap muka terakhir dalam rangkaian pelaksanaan penelitian diberikan postest pada masing-masing kelas kontrol dan eksperimendengan tujuan untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematika siswa setelah diberi perlakuan. Khusus untuk kelas eksperimen selain dilakukan postest juga diberikan angket untuk mengetahui respons siswa terhadap pembelajaran.

c. Tahap Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan

Setelah penelitian di lapangan selesai dilaksanakan, data yang telah diperoleh diolah untuk kemudian dianalisis dan dijadikan dasar dalam penarikan kesimpulan.

6. Analisis Data

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara yakni dengan memberikan tes (pretest dan postest), pengisian angket, dan


(28)

lembar observasi. Data yang diperoleh kemudian dikategorikan ke dalam jenis data kuantitatif dan data kualitatif.

a. Analisis Data Kuantitatif

Data kuantitatif adalah data yang berbentuk bilangan (Sugiyanto, 2009: 30). Data ini diperoleh dari hasil tes kemampuan komunikasi siswa. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan uji statistik terhadap data pretest dan data peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa (postest, gain atau skor indeks gain)kedua kelas. Data dianalisis untuk menguji hipotesis penelitian yang telah dibuat. Hipotesis diuji dengan melakukan uji perbedaan dua rata-rata. Uji perbedaan dua rata-rata dilakukan terhadap data postest, gain atau indeks

gain jika rata-rata skor pretest siswa kedua kelas adalah tidak berbeda secara signifikan, tetapi uji perbedaan dua rata-rata dilakukan terhadap data indeks gain jika rata-rata skor pretest siswa kedua kelas adalah berbeda secara signifikan.

Untuk mengetahui apakah rata-rata skor pretest siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda secara signifikan atau berbeda secara signifikan, maka dilakukan uji kesamaan dua rata-rata terhadap data skor pretest siswa kedua kelas.

Sebelum melakukan uji hipotesis dilakukan pengecekan semua syarat yang harus dipenuhi untuk pengujian tersebut. Syarat-syarat tersebut yaitu:


(29)

i. Menguji normalitas data pretest dengan tujuan untuk mengetahui apakah kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas yang sesuai untuk penelitian ini yaitu uji

Shapiro-Wilk. Karena Metode Shapiro-Wilk menggunakan sampel lebih dari 30 sampel. Jika data yang dianalisis tidak berdistribusi normal, maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan uji statistik nonparametris. Uji statistik nonparametris untuk penelitian ini yaitu uji Mann-Whitney.

ii. Setelah dilakukan uji normalitas dan diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji homogenitas. Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah sampel yang diteliti memiliki varians yang tidak berbeda secara signifikan atau berbeda secara signifikan. Jika data yang dianalisis memiliki varians yang berbeda secara signifikan, maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan statistik nonparametris. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan bantuan software

SPSS. Uji yang digunakan adalah uji Levene.

iii. Jika diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen, maka pengujian dilanjutkan dengan uji kesamaan rata-rata yang bertujuan untuk mengetahui kelas mana yang memiliki kemampuan komunikasi matematika yang lebih baik. Uji kesamaan rata-rata dilakukan dengan menggunakan


(30)

bantuan software SPSS. Uji yang digunakan adalah uji

Independent-Sampel T Test.

Apabila telah dilakukan pengujian pretest dan memperoleh hasil yang tidak berbeda secara signifikan maka untuk mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa akan dilakukan pengujian postest, gain atau indeks gain. Adapun rumus indeks gain menurut Meltzer (Solihin, 2010) sebagai berikut:

Indeks gain = postest pretest

maks pretest

Skor

Skor

Skor

Skor

 

Selanjutnya indeks gain yang diperoleh diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria indeks gain sebagai berikut.

Tabel 3.8 Kriteria Indeks Gain

Indeks gain Interpretasi

g > 0,7 Tinggi 0,3 < g 0,7 Sedang g  0,3 Rendah

Untuk melihat apakah terdapat perbedaan peningkatan

kemampuan komunikasi matematika siswa kelas

eksperimendengan siswa kelas kontrol dilakukan analisis indeks gain sebagai berikut.

1. Menguji normalitas data indeks gain dengan tujuan untuk mengetahui apakah kedua kelas berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas yang sesuai


(31)

untuk penelitian ini yaitu uji Shapiro-Wilk. Karena Metode

Shapiro-Wilk menggunakan sampel lebih dari 30 sampel. Jika data yang dianalisis berdistribusi tidak normal, maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan uji statistik nonparametris. Uji statistik nonparametris untuk penelitian ini yaitu uji Mann-Whitney.

2. Setelah dilakukan uji normalitas dilakukan dan diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji homogenitas. Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah sampel yang diteliti memiliki varians yang tidak berbeda secara signifikan atau berbeda secara signifikan. Jika data yang dianalisis memiliki varians yang berbeda secara signifikan, maka uji perbedaan dua rata-rata dilakukan dengan statistik nonparametris. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan bantuan

software SPSS. Uji yang digunakan adalah uji Levene.

3. Jika diketahui sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan homogen, maka pengujian dilanjutkan dengan uji kesamaan rata-rata yang bertujuan untuk mengetahui kelas mana yang memiliki peningkatan kemampuan komunikasi matematika yang lebih baik. Uji kesamaan rata-rata dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS. Uji yang digunakan adalah uji Independent-Sampel T Test.


(32)

b. Analisis Data Kualitatif

Analisis data kualitatif perlu dilakukan untuk mengetahui peningkatan komunikasi matematika siswa, sikap belajar siswa dalam pembelajaran matematika menggunakan penerapan model pembelajaran kontekstual berbasis deep dialogue/critical thinking, interaksi antara siswa dengan guru, serta interaksi antara siswa dengan siswa.

i. Analisis Data Observasi

Data hasil observasi merupakan data pendukung penelitian ini.Agar memudahkan dalam menginterpretasikannya, data disajikandalam bentuk tabel. Dari data tabel akan dianalisis apakah tujuan pembelajaran sudah tercapai atau belum.

ii. Analisis Data Angket

Data dalam angket berupa pernyataan berbentuk pernyataan tertutup, sebagian pernyataan positif dan sebagian lagi negatif, sehingga responden hanya memilih jawaban yang sesuai yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Skor untuk setiap pemilihan jawaban dari setiap pernyataan berturut-turut 5,4,2,1 untuk pernyataan positif, dan sebaliknya 1,2,4,5 untuk pernyataan negatif. (Suherman, 2003 : 191).


(33)

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dengan tujuan untuk mengetahui persentase dan frekuensi masing-masing alternatif jawaban serta untuk memudahkan dalam membaca data. Hasil angket dianalisis dengan cara mencari persentase masing-masing pernyataan untuk tiap pilihan jawaban, yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

P = f 100%

n Keterangan:

P = persentase jawaban

f = frekuensi jawaban

n = banyaknya responden

Data yang telah dipersentasekan kemudian ditentukan persentase angket keseluruhan untuk menganalisis komunikasi matematika siswa terhadap pembelajaran matematika yang menggunakan penerapan model pembelajaran kontekstual berbasis

deep dialogue/critical thinking dengan cara mengelompokkan data berdasarkan pernyataan yang diberikan, selanjutnya hasilnya diinterpretasikan dengan menggunakan persentase (Suherman, 2003) yaitu:

Tabel 3.9

Interpretasi Jawaban Angket Sikap Siswa

Persentase jawaban Interpretasi


(34)

0 <P < 25 Sebagian Kecil

25 ≤ P < 50 Hampir Setengahnya

P = 50 Setengahnya

50 <P < 75 Sebagian Besar

75 ≤ P < 100 Hampir Seluruhnya


(35)

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil temuan-temuan dari penelitian, disimpulkan bahwa :

a. Peningkatan komunikasi matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 29 Bandung yang mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking

(DD/CT) lebih baik dibandingkan peningkatan kemampuan komunikasi siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional.

b. Hampir seluruh siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT).

2. Implikasi

Model Pembelajaran Kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT) pada pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel dapat melatih siswa untuk mampu berpikir kritis dan imajinatif, menggunakan logika, menganalisis fakta-fakta, membagi rasa, dan saling mengasihi sehingga perbedaan pendapat dan pandangan yang ada dapat dipecahkan dan dicerahkan dengan dialog terbuka.

Pembelajaran ini juga dapat menjadikan siswa belajar melalui “mengalami, merasakan, mendialogkan bukan hanya sekedar “menghafalkan”.


(36)

3. Saran-Saran

Dari hasil penelitian ini beberapa saran yang dapat menjadi masukan yaitu :

a. Model pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT) dapat menjadi alternatif model pembelajaran untuk meningkatkan komunikasi matematika siswa SMP.

b. Bagi para guru matematika hendaknya selalu mengadakan perubahan dalam metode mengajarnya agar siswa tidak merasa jenuh dan bosan di dalam kelas.

c. Bagi calon guru (Mahasiswa) agar lebih giat lagi dalam belajar sehingga bisa meningkatkan ilmu pengetahuannya bahkan menumbuhkan ilmu-ilmu pengetahuan baru seiring dengan perkembangan zaman.

d. Bagi peneliti lain, hendaknya bisa menggunakan materi lain untuk mengetahui apakah model pembelajaran ini juga efektif untuk dipergunakan.


(37)

DAFTAR PUSTAKA

Arthana, Ketut. (2007). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking. [Online]. Tersedia :

http://fip.unesa.ac.id/bank/jurnal/tp-101-3-Pembelajaran_Inovatif_Berbasis_Deep_DialogueCritical_Thinking.pdf

Joko. (2010). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking. [Online]. Tersedia:

http://joko1234.wordpress.com/2010/08/12/pembelajaran-inovatif-berbasis-deep-dialoguecritical-thinking/

Puspita, Redda. (2007). Pengaruh Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Hasil Belajar. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Rohayati, Ade. (2010). CTL dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Berpikir Kritis. [Online]. Tersedia:

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/1960050 11985032_ADE_ROHAYATI/CTL_dalam__Pembelajaran_Mat_untuk_Menin gkatkan_Berpikir_Krit.pdf

Rudiansyah, Sandi. (2009). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMA melalui Model Pembelajaran Connected Mathematics Project (CMP). Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Ruseffendi. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.


(38)

Sadono, Kana Hidayah. (2006). implementasi kurikulum berbasis kompetensi dengan pendekatan contextual teaching and learning (ctl) pada mata pelajaran matematika pokok bahasan statistik dan statistika di sma muhammadiyah i yogyakarta. Yogyakarta: Bappeda Kota Yogyakarta.

Solihin, Ahmad. (2010). Pengaruh Pendekatan Problem Solving terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Sugiyanto. (2009). Pengaruh Model Pembelajaran Deep Dialogue/Critical Thinking dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika pada Materi Himpunan Siswa Kelas I MMI Pondok Pesantren Mathlabul Ulum Jambu Lenteng Sumenep. Skripsi Universitas Nusantara PGRI Kediri. Kediri: Tidak diterbitkan.

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Suherman, Erman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : JICA - Universitas Pendidikan Indonesia.

Suherman, Erman. (2007). Pendekatan kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. [Online]. Tersedia:

http://educare.e-fkipunla.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=38

Untari, Sri. (2007). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking. [Online]. Tersedia :

http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/12/pembelajaran-inovatif-berbasis-deep-dialoguecritical-thinking/


(1)

Noni Hafriani, 2013

Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dengan tujuan untuk mengetahui persentase dan frekuensi masing-masing alternatif jawaban serta untuk memudahkan dalam membaca data. Hasil angket dianalisis dengan cara mencari persentase masing-masing pernyataan untuk tiap pilihan jawaban, yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

P = f 100% n

Keterangan:

P = persentase jawaban

f = frekuensi jawaban

n = banyaknya responden

Data yang telah dipersentasekan kemudian ditentukan persentase angket keseluruhan untuk menganalisis komunikasi matematika siswa terhadap pembelajaran matematika yang menggunakan penerapan model pembelajaran kontekstual berbasis

deep dialogue/critical thinking dengan cara mengelompokkan data berdasarkan pernyataan yang diberikan, selanjutnya hasilnya diinterpretasikan dengan menggunakan persentase (Suherman, 2003) yaitu:

Tabel 3.9

Interpretasi Jawaban Angket Sikap Siswa

Persentase jawaban Interpretasi


(2)

46

0 <P < 25 Sebagian Kecil 25 ≤ P < 50 Hampir Setengahnya

P = 50 Setengahnya 50 <P < 75 Sebagian Besar 75 ≤ P < 100 Hampir Seluruhnya


(3)

Noni Hafriani, 2013

Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil temuan-temuan dari penelitian, disimpulkan bahwa :

a. Peningkatan komunikasi matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 29 Bandung yang mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking

(DD/CT) lebih baik dibandingkan peningkatan kemampuan komunikasi siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional.

b. Hampir seluruh siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT).

2. Implikasi

Model Pembelajaran Kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT) pada pokok bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel dapat melatih siswa untuk mampu berpikir kritis dan imajinatif, menggunakan logika, menganalisis fakta-fakta, membagi rasa, dan saling mengasihi sehingga perbedaan pendapat dan pandangan yang ada dapat dipecahkan dan dicerahkan dengan dialog terbuka.

Pembelajaran ini juga dapat menjadikan siswa belajar melalui “mengalami, merasakan, mendialogkan bukan hanya sekedar “menghafalkan”.


(4)

68

3. Saran-Saran

Dari hasil penelitian ini beberapa saran yang dapat menjadi masukan yaitu :

a. Model pembelajaran kontekstual berbasis Deep Dialogue/Critical Tinking (DD/CT) dapat menjadi alternatif model pembelajaran untuk meningkatkan komunikasi matematika siswa SMP.

b. Bagi para guru matematika hendaknya selalu mengadakan perubahan dalam metode mengajarnya agar siswa tidak merasa jenuh dan bosan di dalam kelas.

c. Bagi calon guru (Mahasiswa) agar lebih giat lagi dalam belajar sehingga bisa meningkatkan ilmu pengetahuannya bahkan menumbuhkan ilmu-ilmu pengetahuan baru seiring dengan perkembangan zaman.

d. Bagi peneliti lain, hendaknya bisa menggunakan materi lain untuk mengetahui apakah model pembelajaran ini juga efektif untuk dipergunakan.


(5)

Noni Hafriani, 2013

Penerapan Model Pembelajaran Kontekstual Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMP

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

DAFTAR PUSTAKA

Arthana, Ketut. (2007). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking. [Online]. Tersedia :

http://fip.unesa.ac.id/bank/jurnal/tp-101-3-Pembelajaran_Inovatif_Berbasis_Deep_DialogueCritical_Thinking.pdf

Joko. (2010). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking. [Online]. Tersedia:

http://joko1234.wordpress.com/2010/08/12/pembelajaran-inovatif-berbasis-deep-dialoguecritical-thinking/

Puspita, Redda. (2007). Pengaruh Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Hasil Belajar. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Rohayati, Ade. (2010). CTL dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Berpikir Kritis. [Online]. Tersedia:

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._MATEMATIKA/1960050 11985032_ADE_ROHAYATI/CTL_dalam__Pembelajaran_Mat_untuk_Menin gkatkan_Berpikir_Krit.pdf

Rudiansyah, Sandi. (2009). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMA melalui Model Pembelajaran Connected Mathematics Project (CMP). Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Ruseffendi. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.


(6)

70

Sadono, Kana Hidayah. (2006). implementasi kurikulum berbasis kompetensi dengan pendekatan contextual teaching and learning (ctl) pada mata pelajaran matematika pokok bahasan statistik dan statistika di sma muhammadiyah i yogyakarta. Yogyakarta: Bappeda Kota Yogyakarta.

Solihin, Ahmad. (2010). Pengaruh Pendekatan Problem Solving terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.

Sugiyanto. (2009). Pengaruh Model Pembelajaran Deep Dialogue/Critical Thinking dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika pada Materi Himpunan Siswa Kelas I MMI Pondok Pesantren Mathlabul Ulum Jambu Lenteng Sumenep. Skripsi Universitas Nusantara PGRI Kediri. Kediri: Tidak diterbitkan.

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Suherman, Erman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : JICA - Universitas Pendidikan Indonesia.

Suherman, Erman. (2007). Pendekatan kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. [Online]. Tersedia:

http://educare.e-fkipunla.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=38

Untari, Sri. (2007). Pembelajaran Inovatif Berbasis Deep Dialogue/Critical Thinking. [Online]. Tersedia :

http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/12/pembelajaran-inovatif-berbasis-deep-dialoguecritical-thinking/