MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE TUBERKULOID DENGAN PENGOBATAN KLOFASIMIN, OFLOXASIN DAN MINOKSIKLIN SELAMA 18 BULAN.

LAPORAN KASUS
MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE TUBERKULOID DENGAN
PENGOBATAN KLOFASIMIN, OFLOXASIN DAN MINOKSIKLIN
SELAMA 18 BULAN
I Putu Adi Mahardika, dr. IGK Darmada, Sp.KK (K),
dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana / Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar

ABSTRAK
Morbus Hansen atau kusta adalah penyakit infeksi yang kronik dan menular,
disebabkan oleh Myobacterium leprae. Pintu masuk infeksi bakteri ini melalui kulit
yang sudah lecet dan berkembang pada bagian tubuh yang bersuhu lebih dingin.
Dilaporkan kasus seorang laki-laki berumur 33 tahun dengan diagnosis morbus
hansen tipe borderline tuberkuloid. Tanda klinis pasien tersebut berupa anestia pada
nodul eritema multipel berbentuk bulat dengan diameter 1-2,5 cm dan plak eritema
multipel berbentuk bulat dengan diameter 1-2 cm. Plak eritema berbentuk oval
dengan ukuran 3x4 cm sampai dengan 4x5 cm pada bagian tengahnya terdapat
central clearing dan terdapat nodul eritema multipel berbentuk bulat dengan diameter
1-1,5 cm. Pada pemeriksaan basil di cuping dan punggung tangan tidak ditemukan
kuman. Pemeriksaan histopatologis mengarah kepada morbus hansen tipe borderline

tuberculoid (BT). Penatalaksanaan diberikan klofasimin 1x 50mg/ hari, ofloxasin 1x
400mg/hari, minoksiklin 1x100 mg/hari selama 6 bulan, vitamin B1 B6 B12 1x1 dan
dilanjutkan dengan klofasimin dan ofloxasin selama 18 bulan. Prognosis pasien baik.
Kata kunci : Morbus Hansen, Kusta, RSUP Sanglah, M. leprae

1

BORDERLINE TUBERCULOID TYPE OF MORBUS HANSEN WITH
CLOFAZIMINE, OFLOXACIN AND MINOCYCLINE DURING 18 MONTHS

ABSTRACT
Morbus Hansen is an infectious disease caused by Myobacterium leprae. M. leprae
infects a wound and grows in colder area of human body. Reported the case 33 years
old man was diagnosed with borderline tuberculoid type of morbus hansen. Clinical
feature of the patient were anesthesia in the 1-2,5 cm round multiple erythema nodul
and 1-2 round plaque multiple erythema. The ovale plaque erythema sized 3x4 cm
until 4x5 cm with central healing, 1-1,5 round multiple erythema. Histopathological
exam show the characteristic of borderline tuberculoid type of morbus hansen.
Klofasimin 1x 50mg/ day, ofloxasin 1x 400mg/day, minoksiklin 1x100 mg/day as
long as 6 month, continued with kofasimin and ofloxasin as long as 18 month. With

good prognosis
Keyword: Morbus Hansen, Leprosy, RSUP Sanglah, M. leprae

mukosa mulut, saluran nafas bagian

PENDAHULUAN
Penyakit morbus hansen atau kusta
masih menjadi permasalahan yang

atas dan organ lain kecuali sistem saraf
pusat.1,2,3,4

dihadapi oleh sebagian besar negara

Menurut

berkembang. Kecenderungan tingkat

Epidemiological


sosial ekonomi yang rendah pada

morbus hansen tahun 2010, prevalensi

negara berkembang merupakan salah

tertinggi penyakit kusta terdapat di

satu faktor resiko penyakit morbus

India,

hansen ini. Morbus hansen atau kusta

sebanyak 87.190 jiwa pada tahun

adalah penyakit infeksi yang kronik

2009. Pada peringkat kedua terdapat


dan menular. Penyebabnya adalah

Brazil,

dengan

Myobacterium leprae yang bersifat

38.179

jiwa

intraseluler

ini

Indonesia berada pada peringkat ketiga

pertama kali akan menyerang kulit,


dengan jumlah penderita sebanyak

obligat.

Bakteri

WHO

dengan

Weekly

Report

jumlah

jumlah
pada

mengenai


penderita

penderita

tahun

2009.

2

21.026

jiwa

Berdasarkan

pada
dari


tahun

2009.

digolongkan kedalam beberapa jenis

laporan

WHO

berdasarkan teori Ridley dan Jopling,

tersebut, selama tahun 2009 terdapat

klasifikasi

sebanyak

1953) dan menurut WHO.2,4,7,8


Indonesia,

17.260

kasus

dengan

baru

14.227

di

kasus

teridentifikasi sebagai kasus morbus
hansen tipe multi basiler (MB) adalah
tipe yang dapat menular. Dengan
perbandingan


penderita

anak-anak

sebanyak 2.076 kasus dan perempuan
sebanyak 6.887 kasus. Pada tahun
2012 terjadi peningkatan jumlah kasus
baru sebanyak 18.994 orang dengan
15.703 kasus diidentifikasi sebagai
morbus hansen tipe multi basiler,

internasional

(Madrid,

Pada proses penegakan diagnosis dapat
diperoleh dengan mencari tanda utama
atau tanda kardinal yang ditunjukkan
pasien secara keseluruhan. Karena di

setiap

tempat

akan

memberikan

gambaran yang berbeda jika hanya
dilihat dari satu sisi saja. Pemeriksaan
penunjang dapat berupa pemeriksaan
bakterioskopik, pemeriksaan serologis,
dan pemeriksaan histopatologis.8

wanita

sebanyak

6.667


Pengobatan kusta pada awalnya hanya

anak-anak

sebanyak

2.191

menggunakan terapi dosis tunggal

kasus dan kasus relaps sebanyak 194

berupa diaminodifenil sulfon (DDS).

kasus. 3,5,6

Setelah beberapa tahun pemakaian

mengenai
kasus,

Perkembangan

penyakit

morbus

hansen memerlukan jumlah bakteri M.
leprae minimal untuk menimbulkan

gejala klinis, derajat infeksi dan derajat
penyakit. Hal ini sangat erat kaitannya
dengan sistem imunitas seseorang. M.
leprae menginfeksi melalui kulit yang

lecet pada bagian tubuh yang bersuhu
relatif lebih dingin dan pada bagian
hidung.

Morbus

hansen

dapat

DDS terjadi resistensi terhadap terapi
dosis tunggal ini. Untuk menangani
resistensi

terhadap

menyarankan

untuk

DDS,

WHO

menggunakan

metode pengobatan kombinasi untuk
mengobati semua jenis kusta.4,9
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki, tuan A, berumur 33
tahun datang ke poliklinik kulit dan
kelamin RSUP Sanglah pada tanggal

3

18 Desember 2013 dengan nomor

dermatologis tidak ditemukan kelainan

rekam

Pasien

pada mukosa, rambut, kuku, kelenjar

datang dengan keluhan utama tangan

limfe dan tidak terdapat stigmata

tidak terasa dan timbul merah-merah

atopik. Ditemukan anhidrosis pada lesi

pada kaki dan tangan. Berdasarkan

atau kulit yang mengalami bercak

anamnesa bercak merah timbul pada

kemerahan pada saat pemeriksaan

wajah,

dan

fungsi kelenjar keringat. Kelainan kulit

punggung kaki kanan sejak 7 bulan

atau lesi ditemukan pada lengan atas

sebelum ke rumah sakit. Pada awalnya

dan bawah pada tangan kanan dan kiri,

bercak-bercak muncul pada lengan

serta pada punggung kaki kanan.

kanan bawah kemudian menyebar ke

Bentuk

efloresensi

kepala, badan dan punggung kaki.

eritema

multipel

Pasien mengeluh bercak ini mati rasa.

dengan diameter 1-2,5 cm dan plak

Penderita

eritema

medis

13.03.61.42.

badan,

juga

lengan

atas

mengeluh

sering

multipel

berupa
berbentuk

berbentuk

nodul
bulat

bulat

kesemutan di seluruh tubuh. Riwayat

dengan diameter 1-2 cm. Plak eritema

pengobatan sebelumnya pasien sudah

berbentuk oval dengan ukuran 3 x4 cm

pernah berobat ke dokter spesialis kulit

sampai dengan 4x5 cm pada bagian

dan kelamin dan diberikan rifampisin

tengahnya terdapat central healing,

600 mg, ofloksasin 400 mg dan

dan terdapat nodul eritema multipel

minoksiklin 100 mg.

berbentuk bulat dengan diameter 1-1,5

Pasien

memiliki

riwayat

rifampisin,

obat

untuk

digunakan

cortidex.

alergi

alerginya

Pada

saat

anamnesis, tidak ditemukan penyakit
penyerta, tidak ditemukan riwayat
transfusi dan operasi. Selain itu, tidak
ditemukan keluarga yang mengalami
penyakit yang sama. Status internus
pasien dalam batas normal. Pada status

cm. Pada pemeriksaan sensibilitas
ditemukan
terhadap

penurunan
raba,

nyeri,

sensibilitas
dan

suhu.

Penebalan saraf positif, n. auricularis
magnus positif, n. ulnaris sinistra
negatif, dan voluntary muscle test baik.
Keadaan umum tampak baik, tekanan
darah 110/70 mmHg, frekuensi nafas
20 kali/menit, nadi 80 kali/menit, suhu
36oC. Pada saat kontrol lanjutan tidak

4

pernah muncul lesi

baru.

Pasien

mengalami kerusakan integritas kulit
karena lesi sebelumnya yang sudah
diderita pasien.
Pada pemeriksaan basil tahan asam
(BTA) pada cuping kanan negatif,
pemeriksaan BTA cuping kiri negatif,
pemeriksaan BTA pada punggung
tangan

kanan

negatif.

Pada

pemeriksaan histopatologis ditemukan
epidermis tampak mengalami atrofi.
Sedangkan

pada

lapisan

dermis

tampak infiltrat padat sel radang
epiteloid histosit membentuk struktur
tuberkuloid granuloma, dan sel radang
limfosit

yang

tersebar

disekitar

granuloma. Tidak ditemukan area
bebas

sel

radang

(green

zone

negative). Infiltrat radang tersebut juga

berada di jaringan periadnexa, dan
perivaskuler. Diagnosis kerja adalah
morbus

hansen

tuberkuloid
berupa

(BT).

pemberian

tipe

borderline

Penatalaksanaan
klofasimin

1x

50mg/ hari, ofloksasin 1x 400mg/hari,
minoksiklin 1x100 mg/hari selama 6
bulan dan vitamin B1, B6, B12 satu
tablet per hari. Komunikasi informasi

dan edukasi (KIE) adalah kontrol
kembali setelah 7 hari.
DISKUSI
Perkembangan

penyakit

morbus

hansen memerlukan jumlah bakteri M.
leprae minimal untuk menimbulkan

gejala klinis, derajat infeksi dan derajat
penyakit. Hal ini sangat erat kaitannya
dengan sistem imunitas seseorang.
Sumber

penularan

penyakit

kusta

adalah dari penderita kusta lainya,
yang paling berpotensi menularkan
adalah penderita dengan tipe kusta
multi basilar. M. leprae menginfeksi
melalui droplet dari penderita kusta
tipe MB dan bisa juga masuk melalui
kulit yang lecet pada bagian tubuh
yang bersuhu relatif lebih dingin dan
pada bagian hidung. M. leprae bersifat
obligat intraseluler yang terutama pada
sel makrofag di seluruh pembuluh
darah pada dermis dan sel Schwann
pada jaringan saraf. Fagositosis pada
tubuh terjadi jika bakteri M. leprae
sudah menginfeksi tubuh. Pada kasus
sumber penularannya kurang jelas
karena

berdasarkan

anamnesis,

di

lingkungan keluarga tidak ada yang

5

mengalami

penyakit

diderita pasien.

seperti

yang

1,2,4,7,8

saraf perifer yang menebal, 3. BB (Mid

Morbus hansen dapat digolongkan
kedalam beberapa jenis berdasarkan
klasifikasi

internasional

(Madrid,

1953), menurut WHO dan teori Ridley
dan Jopling yang akan dibahas lebih
lanjut. Menurut teori Ridley dan
Jopling,

morbus

satelit biasanya ada dan terletak dekat

hansen

diklasifikasikan berdasarkan tipe atau
bentuk, yaitu: 1. TT (Tuberkuloid
Type) dimana lesi ini mengenai kulit

maupun saraf perifer. Lesi kulit bisa
satu atau beberapa, dapat berupa
makula maupun plakat, batas jelas dan
pada bagian tengah dapat ditemukan
lesi yang regresi atau central healing.
Permukaan lesi dapat bersisik dengan
tepi yang meninggi bahkan dapat
menyerupai gambaran psoriasis. Dapat
disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba dan kelemahan otot . 2.
BT (Borderline Tuberculoid) mirip
gambaran pada tipe TT, tetapi terdapat
gambaran hipopigmentasi, kekeringan
kulit atau skuama yang tidak jelas
seperti pada tipe tuberkuloid. Adanya
gangguan saraf yang tidak seberat tipe
tuberkuloid, biasanya asimetris. Lesi

merupakan

Borderline)

tipe

yang

paling tidak stabil diantara semua
spektrum penyakit kusta, disebut juga
bentuk dimorfik. Lesi berbentuk plak,
permukaannya dapat berkilat, batas
lesi

kurang

jelas

dan

cenderung

simetris. Lesi sangat bervariasi baik
ukuran, bentuk maupun distribusinya.
Bisa ditemukan lesi punched out, yaitu
hipopigmentasi berbentuk bulat pada
bagian tengah dengan batas jelas, 4.
BL (Borderline Lepromatous ) lesi
dimulai

dengan

infiltrat

yang

menyebar dengan cepat ke seluruh
tubuh.

Makula

lebih

kecil

dan

bervariasi bentuknya. Papul dan nodul
yang muncul lebih tegas walaupun
lebih kecil dan distribusinya hampir
simetris. Tidak terdapat kerusakan
saraf

berupa

hilangnya

sensasi,

hipopigmentasi, berkurangnya keringat
dan gugurnya rambut lebih cepat
muncul dibandingkan tipe LL dengan
penebalan saraf yang dapat teraba di
tempat predileksi, 5. LL (Lepromatous
Type) jumlah lesi infiltrat sangat

banyak, simetris, permukaan halus,
lebih eritematosa, berkilat, berbatas

6

tidak tegas. Distribusi lesi khas yaitu

pada saraf tepi (neuritis perifer),

di wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping

3.Ditemukannya

telinga, sedangkan pada bagian badan
pada

bagian

punggung

belakang,

tangan

dan

lengan,

permukaan

ekstensor tungkai bawah. Kerusakan
saraf yang luas menyebabkan anestesi
yang

disebut

glove

and

socking

anesthesi. Bila penyakit ini berlanjut,

maka makula dan papul baru muncul,
sedangkan lesi yang lama menjadi
plakat dan nodus. Pada stadium lanjut
serabut-serabut
mengalami

saraf

degenerasi

perifer
hialin

atau

fibrosis yang menyebabkan anestesi
dan atrofi otot tangan dan kaki. 1,7,8

M.

pemeriksaan bakteriologis.
Pada

kasus

pada

leprae
1,2.7,8

ditemukan

pasien

memenuhi 2 kriteria tanda cardinal
berupa lesi kulit yang mengalami mati
rasa dan terjadi penebalan saraf tepi.
Pemeriksaan penunjang yang biasanya
dilakukan

berupa

pemeriksaan

bakterioskopik,

pemeriksaan

histopatologis,

dan

pemeriksaan

serologis. Pemeriksaan bakterioskopik,
sediaan dibuat dari kerokan jaringan
kulit dan kerokan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan terhadap
BTA. Pengambilan kerokan idealnya

Sesuai dengan diagnosis kusta dilihat

dilakukan pada 4-10 tempat, pada

dari tanda klinis pada kasus berupa

umumnya

nodul dan plak eritema multipel

cuping telinga bagian bawah dan pada

dengan central healing di bagian

lesi yang paling eritematosa dan

tengahnya disertai dengan anestesia.

infiltratif. Tempat pengambilan sampel

Tanda

kardinal

digunakan

untuk

menegakkan diagnosis, terdiri dari 1.
lesi kulit yang mengalamai mati rasa
(hipopigmentasi atau erithematous),
2.Penebalan saraf tepi yang disertai
dengan

gangguan

fungsi

saraf.

Gangguan fungsi saraf tepi disebabkan
oleh peradangan kronis yang terjadi

harus

dilakukan

dicatat

pada

karena

kedua

untuk

membandingkan dengan jumlah basil
pada

tempat

penanganan.

yang
Hasil

sama

setelah

interpretasi

uji

bakterioskopik disajikan dalam bentuk
IB (indeks bakteri) dan IM (indeks
morfologi). Indeks bakteri dihitung
dengan melihat kepadatan BTA pada

7

sediaan dalam tiap rentang lapang

perpaduan

kedua

unsur

tipe
1,2.7,8

pandang dengan rentang skala 0

tuberkuloid dan tipe lepromatosa.

sampai 6+ (Ridley), dapat dilihat pada

Pada kasus pemeriksaan histopatologis

Tabel 1. Indeks morfologi adalah

ditemukan

perbandingan antara BTA bentuk solid

mengalami atrofi. Sedangkan pada

dan nonsolid. 1,2.7,8

lapisan dermis tampak infiltrat padat
sel

Tabel 1 Klasifikasi indeks Bakteri

epidermis

radang

membentuk

tampak

epiteloid
struktur

histosit
tuberkuloid

Nilai

Jumlah BTA

Lapang Pandang

1+

1-10

100

2+

1-10

10

3+

1-10

1

4+

11-100

1

di

5+

101-1000

1

perivaskuler. Hasil pemeriksaan sesuai

6+

>1000

1

dengan diagnosis kusta tipe borderline

0

0

100

granuloma, dan sel radang limfosit
yang tersebar disekitar granuloma.
Infiltrate radang tersebut juga berada
jaringan

periadnexa,

dan

tuberkuloid.

Pada kasus tidak ditemukan basil tahan

Pemeriksaan serologis kusta dinilai

asam pada pemeriksaan BTA pada

dari terbentuknya antibodi pada tubuh

cuping dan punggung tangan.

pasien yang terinfeksi oleh M. leprae.

Pemeriksaan histopatologis, gambaran

Antibodi yang terbentuk dapat bersifat

histopatologis tipe tuberkuloid adalah

spesifik dan non spesifik. Pemeriksaan

tuberkel

serologis dilakukan jika tanda klinis

dan

kerusakan

saraf,

terkadang ditemukan sedikit basil non

dan

solid bahkan tidak ditemukan sama

memberikan gambaran yang jelas. Uji

sekali basil. Pada tipe lepramatosa

serologis

terdapat subepidermal clear

zone,

menentukan kusta non klinis yang

bawah

tidak menimbulkan lesi di kulit. Uji

tidak

serologi yang biasanya digunakan

patologis ditemukan sel lepra dengan

adalah uji RIA (Radio Immuno Assay),

banyak basil. Tipe borderline adalah

uji MLPA (Mycobacterium Leprae

yaitu

daerah

epidermis

langsung

yang

di

jaringannya

uji

bakteriologis

juga

digunakan

belum

untuk

8

Particle

Aglutination),

uji

ELISA

Rifampisin 600 mg/ bulan, dikonsumsi

(Enzyme

Linked

Immuno-Sorbent

dihadapan

Assay),

dan

ML

dilakukan selama 6-9 bulan. Golongan

dipstick

petugas.

Pengobatan

(Myobacterium Leprae Dipstick).1,2.7,8

florokuinolon juga dapat digunakan

Pada

dilakukan

untuk tatalaksana kusta. Mekanisme

karena

kerja obat ini adalah menghambat

diagnosis sudah ditegakkan melalui

enzim DNA girase bakteri. Efek

anamnesis

samping yang timbul pada penggunaan

kasus

pemeriksaan

tidak
serologis

pemeriksaan

BTA

dan

pemeriksaan histopatologis.

obat golongan ini berupa nausea, diare

Regimen pada pengobatan untuk kusta
tipe pausi basiler (PB) dengan lesi
tunggal

diberikan

dosis

tunggal

rifampisin-ofloksasin-minosiklin

dan gangguan saluran cerna serta
berbagai gangguan sistem saraf pusat
termasuk

insomnia,

nyeri

kepala,

halusinasi, dan kecemasan. 1,4,10,11

(ROM) dengan dosis (dewasa 50-

Pada kasus ini, riwayat

70kg) rifampisin 300 mg, ofloksasin

sebelumnya pasien sudah diberikan

400

regimen

mg,

minosiklin

100

mg.

ROM.

pengobatan

Dengan

dosis

Pengobatan kusta yang paling banyak

rifampisin 600mg, ofloksasin 400mg

dipakai saat ini adalah DDS namun

dan minoksiklin 100mg. Karena pasien

sejak

memiliki alergi terhadap rifampisin

munculnya

kasus

resistensi

terhadap DDS maka diambil sebuah

maka

kebijakan untuk menggunakan metode

1x50mg,

pengobatan kombinasi dengan tujuan

minoksiklin 1x100mg selama 6 bulan

menurunkan

resistensi,

dan vitamin B1, B6, B12 satu kali per

memperpendek waktu pengobatan dan

hari lalu dilanjutkan dengan pemberian

pemutusan mata rantai penularan lebih

klofasimin dan ofloksasin saja selama

cepat. Sekarang metode pengobatan

18 bulan. Prognosis pasien baik karena

kombinasi diberikan kepada semua

tidak terdapat bakteri yang masih

penderita tipe kusta. Untuk kusta tipe

hidup pada tubuh pasien.

angka

diganti

dengan

ofloxasin

klofasimin
1x400mg,

PB diberikan Dapson 100 mg/hari,

9

SIMPULAN
Seorang laki-laki, berusia 33 tahun
menderita kusta tipe BT. Pasien diberi
pengobatan

metode

pengobatan

kombinasi berupa klofasimin 1x50mg,
ofloxasin

1x

400mg,

minoksiklin

1x100mg selama 6 bulan dan vitamin
B1, B6, B12 satu kali per hari dan
dilanjutkan

dengan

pemberian

4. Adriaty, D., Wahyuni, R.,
Iswahyudi, Prakoeswa, C. R.,
Abdullah, R., Agusni, I., et al.
(2012). Dapsone Resistance In
A Mycobacterium Leprae
Isolate With Two Point
Mutations In Folp Gene From
A Leprosy Patient. The
Indonesian Journal of the
Tropical
and
Infectious
Desease.108-111.
5. WHO.
(2010).
Weekly
epidemiological
record.
geneva: WHO.

klofasimin dan ofloxasin selama 18
bulan. Prognosis pasien baik karena
tidak terdapat bakteri yang masih
hidup pada tubuh pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin.
Fakultas
Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
2009.
2. Eduardo Chimenos Küstner,
M. P. (2006). Lepromatous
leprosy: A review and case
report. Oral Medicine and
Pathology, E474-E479.
3. Selum, & Umbul, W. C.
(2012). Risiko Kecacatan pada
Ketidakteraturan Berobat. The
Indonesian Journal of Public
Health, 8, 117–121.

6. WHO.
(2013).
epidemiological
geneva: WHO.

Weekly
record.

7. Parkash,
O.
(2009).
Classification of leprosy into
multibacillaryand
paucibacillary
groups:
ananalysis. FEMS Immunol
Med Microbiol, 55, 1-5.
8. LOCKWOOD, S. L. (2008).
Leprosy Type 1 (reversal)
reactions
and
their
management. Lepr Rev, 79,
372–386.
9. the COLEP Study Group.
(2008). Effectiveness of single
dose rifampicin in preventing
leprosy in close contacts of
patients with newly diagnosed
leprosy:cluster
randomised
controlled trial. BMJ, 336, 761764.

10

10. DESIKAN,
K.
V.,
SUNDARESH,
P.,
TULASIDAS, I., & RAO, E.
V. (2008). An 8–12 year
follow-up of highly bacillated
Indian leprosy patients treated
with WHO Multi- Drug
Teraphy. Lepr Rev, 79, 65-75.
11. WHO. (2005). Global Strategy
for Further Reducing the
Leprosy Burden and Sustaining
Leprosy Control Activities.
geneva: WHO.

11