Kawin Hamil, Anak Zina Dan Status Anak Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mk

KAWIN HAMIL, ANAK ZINA DAN STATUS ANAK
DALAM HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MK

M. Nurul Irfan
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
E-mail: nurul.irfan@uinjkt.ac.id

Abstrak: Masalah kawin hamil atau Married by Accident sudah sangat marak terjadi
masyarakat, ironisnya banyak di antara warga masyarakat yang menganggap bahwa
kasus ini sebagai hal biasa dan tidak merasa berdosa bila melakukannya. Anak lahir
dalam kasus ini disebut dengan anak zina yang pada dasarnya jika mengacu pada
konsep pemeliharaan nasab, maka ia tidak akan pernah mempunyai wali nasab secara
sah kepada bapak biologisnya. Oleh sebab itu pada saat anak zina yang berjenis
kelamin wanita akan menikah setelah memasuki masa layak menikah, ia mutlak
memerlukan wali hakim. Sebab jika tetap diwalikan oleh bapak biologisnya, sangat
boleh jadi perkawinannya tidak sah, karena ia lahir akibat dari perzinaan yang tidak
mungkin menjadi sebab terbentuknya hubungan nasab dengan ayah bilogisnya.
Prinsip dasar seperti inilah yang ditegaskan dalam sebuah hadis sahih riwayat Imam
Muslim bahwa anak hanya bsa bernasab kepada pemilik ranjang yang sah sedangkan
pezina hanya layak memperoleh sanksi hukum. Tetapi kenyataannya status Anak
sah yang didefinisikan oleh rumusan pasal 42 UU Perkawinan dan pasal 99

Kompilasi Hukum Islam masih menimbulkan pemahaman berbeda dalam kaitannya
dengan status anak sah menurut hukum Islam. Bahkan seolah-olah rumusan kedua
pasal ini, -selain akibat rumusan pasal 284 KUHP- sebagai pemicu atau penyebab
terjadinya berbagai kasus hamil luar nikah. Berbagai masalah pelik inilah yang akan
dicari jawabannya dalam tulisan ini.

229

PENDAHULUAN
Dalam Kajian Hukum Islam terdapat sebuah teori Maqâsid al-Syarî’ah, yaitu tujuantujuan mendasar diberlakukannya ajaran agama Islam atau tujuan pemberlakuan hukum Islam.
Inti dari teori Maqâsid al-Syarî’ah berupa makna dan tujuan yang dikehendaki oleh syarak
dalam mensyariatkan suatu hukum bagi kemaslahatan umat manusia. Teori ini di kalangan ulama
ushul fikih juga disebut dengan asrar al-Syarî’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terkandung di balik
hukum yang ditetapkan oleh syarak berupa kemaslahatan bagi umat manusia baik di dunia
maupun di akhirat.
Dalam hal ini ajaran Islam dengan konsep Maqâsid al-Syarî’ahnya sangat mementingkan
pemeliharaan terhadap lima hal prinsip, yaitu : agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Pemeliharaan terhadap kelima hal ini termasuk ke dalam al-Maslahah al-Haqîqiyyah.
Kelima hal di atas juga disebut dengan al-Kulliyyah al-Khams atau panca jiwa syariah
yang harus selalu dijaga dengan baik. Oleh karena agama harus dijaga, maka akidah harus bersih

dari unsur syirik dan kelima tiang agama dalam rukun Islam harus dilaksanakan dengan sebaikbaiknya. Dalam rangka menjaga agama ini disyariatkanlah jihad yaitu berperang di jalan Allah
untuk mempertahankan agama dari serangan musuh dan bersamaan dengan itu, siapapun yang
melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam agama harus ditarik kembali kepada ajaran
yang benar. Bahkan sanksi hukum harus diberlakukan bagi yang murtad dan melakukan
pelecehan-pelecehan terhadap agama, demikian halnya para pelaku bidah juga harus diberikan
sanksi hukum secara tegas.
Selanjutnya, syariat agama Islam diberlakukan untuk menjaga jiwa manusia. Menjaga
jiwa dan melindunginya dari berbagai ancaman berarti memelihara eksistensi kehidupan umat
manusia secara keseluruhan. Untuk mewujudkan hal itu, Islam menetapkan aturan hukum bagi
pelaku tindak pidana pembunuhan dan pelaku delik penganiayaan. Bila nyawa seorang muslim
melayang atau anggota tubuh rusak dan terluka akibat tangan seseorang tanpa alasan hukum
yang membolehkannya, maka pelaku dikenakan sanksi kisas atau diat. Dari pernyataan ini dapat
diketahui bahwa jiwa dan kehormatan fisik manusia dalam pandangan hukum Islam sangat
dihormati dan mahal harganya.
Kemudian tujuan syariat selanjutnya adalah untuk menjaga akal. Oleh karena akal harus
selalu dipelihara, maka syariat Islam menyatakan haram mengkonsumsi minum-minuman dan
makanan yang memabukkan. Dalam hal ini pemabuk, produsen, pengedar dan semua pihak yang
terlibat di dalamnya harus dikenai sanksi, baik sanksi hudud maupun takzir.
Hal prinsip keempat yang juga diperhatikan oleh syariat adalah tentang harta. Harta harus
dijaga secara baik, tidak boleh saling mencurangi dan menguasai dengan cara yang batil dalam

bermuamalah, tidak boleh mendzalimi hak-hak anak-anak yatim, mengorupsi, melakukan
penyuapan kepada hakim atau pejabat tertentu, memberikan hadiah dengan tujuan dan maksud
khusus kepada seorang pejabat, menggasab, mencuri atau merampok.
Tujuan pemberlakuan hukum Islam terakhir yang sekaligus menjadi tema sentral
pembahasan tulisan ini adalah nasab atau keturunan. Dalam rangka menjaga nasab inilah agama
Islam melarang segala bentuk perzinaan dan prostitusi serta sangat menganjurkan nikah untuk
melangsungkan keturunan umat manusia agar tidak punah dan mempunyai hubungan
kekerabatan yang sah dan jelas. Dalam tulisan ini akan penulis kemukakan tentang kawin hamil
atau Married by Accident, Anak Zina dan Status Anak dalam perspektif Hukum Islam baik
230

hukum Islam murni dalam berbagai nas baik Alquran dan hadis maupun hukum Islam Indonesia
yang terdapat dalam UU no 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada bagian
akhir tulisan ini akan penulis kemukakan juga tentang dampak putusan MK tentang Anak luar
nikah yang sangat kontoversial itu.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kawin Hamil dan Prilaku Masyarakat
Kawin hamil atau yang lebih popular dengan Married By Accident (MBA) adalah sebuah
kasus yang menggambarkan bahwa terjadinya perkawinan disebabkan karena adanya kecelakaan
berupa kehamilan sebelum pernikahan tersebut diselenggarakan. Anak zina adalah yang

dilahirkan oleh ibu kandungnya sebagai akibat dari perbuatan zina yang dilakukan oleh kedua
orang tuanya. Terkait status anak zina, kawin hamil dan berbagai masalah yang ada
hubungannya dengan anak zina ini menjadi sebuah kajian hukum Islam yang cukup penting
untuk dibahas dalam buku ini. Sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi tentang anak di luar
nikah adalah sebagai sebuah bentuk dikabulkannya uji materi atau judicial review atas pasal 43
ayat (1) UU no 1 Tahu 1974 tentang Perkawinan. Ketiga hal ini akan penulis uraikan secara
berurutan dengan pembahasan secara komparatif baik dari berbagai literatur kitab fikih maupun
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Secara harfiah kata married by accident terdiri dari tiga kata yaitu married, by dan
accident. Married adalah kata kerja bentuk past tense dari marry yang artinya kawin atau nikah.
By yang artinya dengan atau karena, merupakan kata keterangan dan accident adalah sebuah
kejadian mengejutkan atau kecelakaan. Jadi married by accident sering diartikan dengan nikah
karena kecelakaan, maksudnya karena telah terjadi sebuah kecelakaan berupa kahamilan yang
tidak diinginkan, maka seseorang terpaksa melakukan pernikahan. Dengan demikian, married
by accident adalah nikah karena kehamilan telah terlanjur terjadi yang pada umumnya tidak
direncanakan oleh salah seorang atau kedua pasangan yang mengalaminya.
Masalah married by accident ini sudah sangat populer, baik terjadi di kalangan remaja
kota maupun desa. Hal ini bisa jadi karena kasus-kasus hamil luar nikah ini telah menjadi
sesuatu yang sangat marak dan biasa terjadi di masyarakat. Belum dilakukan penelitian secara
serius dan mendalam mengapa hal ini terjadi. Penulis dalam kapasitas sebagai dosen di sebuah

universitas Islam terdepan di kawasan Ciputat dan di sebuah universitas terbesar di kawasan
Tangerang Selatan tidak jarang melakukan wawancara ringan dengan perserta kuliah di dua
kampus besar ini. Hal ini penulis lakukan hampir setiap penghujung semester dalam pertemuan
terakhir atau dua kali pertemuan sebelum terakhir dalam setiap perkuliahan di kelas.
Hasil wawancara ringan penulis di setiap kelas dalam setiap akhir semester ini sungguh
sangat mengejutkan. Sebab hampir setiap mahasiswa dan mahasiswi yang penulis tanya apakah
di tempat anda tinggal, baik tempat tinggal yang lama maupun tempat tinggal baru terjadi kasus
married by accident?. Jawaban yang diberikan oleh masing-masing peserta kuliah itu
menyatakan ada. Sangat jarang mahasiswa atau mahsiswi yang menyatakan tidak terjadi.1
Memang ada juga peserta kuliah yang menjawab tidak tahu. Terhadap mahasiswa yang
menjawab tidak tahu, biasanya penulis melakukan pengamatan sederhana lebih lanjut. Yaitu dari
cara mereka menyampaikan jawaban, bila dilakukan dengan nada datar dan yang bersangkutan
1

M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), Cet Pertama, hlm

145

231


kelihatan sebagai mahasiswa yang baik, Islami dan tampak seperti mahasiswa yang berakhlaq
mulia, maka penulis berasumsi bahwa mungkin saja mahasiswa ini sedang mengamalkan hadis
Nabi tentang tidak boleh membuka aib orang lain, sebagaimana sabda Nabi:

‫من ن س عن م من ك ب من ك ال ني ن س ه ع ه ك ب‬
‫س ه في‬
‫من س م‬
‫ه ع يه في ال ني اآخ‬
‫في ع خيه من س ك يق ي س فيه ع س ل ه له به‬
} ‫ابن م جه ابن ح‬
‫ال م‬

‫ضي ه ع ه عن ال ي م ق‬
‫عن بي ه ي‬
‫ي القي م من ي ع مع ي‬
‫من ك‬
‫ال ني اآخ ه في ع الع م ك الع‬
‫ م م ب ا‬، ‫يق ل الج { ا ح‬

Dari Abu Hurairah ra. dari Nabi SAW bersabda, barang siapa melepaskan beban penderitaan

duniawi seorang mukmin maka Allah akan melepaskan beban penderitaannya kelak di hari
kiamat, barang siapa membantu pihak lain yang sedang mengalami kesulitan-kesulitan duniawi
maka Allah akan membantu menyelesaikan kesulitannya kelak di hari kiamat, barang siapa
menutupi aib seorang muslim lain, maka Allah akan tutupi aibnya baik di dunia maupun aibnya
di akhirat kelak, Allah akan menolong hambanya selama hamba itu bersedia menolong
sudaranya, siapapun yang berupaya mencari jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan
memberikan kemudahan jalan menuju surga (HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidzi,
Ibnu Majjah dan Ibnu Hibban)2
Namun sebaliknya jika mahasiswa yang memberikan jawaban tidak tahu itu memang
benar-benar tidak tahu, berarti di lingkungan tempat ia tinggal memang benar-benar tidak terjadi
kasus hamil di luar nikah, walaupun acap kali jawaban ini masih belum meyakinkan penulis.
Terhadap mahasiswa yang memberikan jawaban tidak ada kasus hamil di luar nikah di tempat ia
tinggal, penulis berprasangka baik, semoga jawaban itu tidak salah. Sebab bisa jadi
ketidaktahuan yang bersangkutan hanya karena ia kurang bergaul di masyarakatnya sehingga
tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di lingkungan sekitarnya.
Apa yang sedang penulis paparkan dalam sub judul tentang married by accident ini tidak
lain merupakan sebuah gambaran sederhana bahwa ternyata kasus-kasus hamil di luar nikah
sudah sangat marak dan hampir terjadi di setiap tempat. Banyak faktor yang menyebabkan hal
ini terjadi. Baik faktor intern maupun faktor ekstern. Faktor intern yang penulis maksudkan
terkait dengan kondisi psiskis dan kejiwaan pelaku dan ada hubungannya dengan masalah

keimanan dan keberagamaan yang bersangkutan. Sedangkan faktor ekstern terkait dengan
masalah luar baik menyangkut ilmu pengetahuan teknologi dan era keterbukaan informasi serta
akses internet yang sudah tidak bisa dibendung lagi.
Terkait dengan pembahasan tentang nasab dan status anak, kasus married by accident di
Indonesia, tampaknya tidak bisa berdiri sendiri melainkan sebagai sebuah pelanggaran yang
diakibatkan oleh adanya aturan perundang-undangan yang memiki daya cengkeram secara
yuridis. Artinya ada keterkaitan erat dengan konsep perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Married by accident biasanya terjadi karena kasus perzinaan dan perzinaan ini
terjadi bahkan marak dilakukan oleh sebagian warga masyarakat tidak lain juga karena rumusan
pasal terkait larangan perzinaan atau overspel atau gendak dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) sangat berbeda jauh dengan semangat yang diusung oleh Hukum Islam. Dalam
pasal 284 KUHP hanya disebutkan bahwa zina masuk dalam kategori delik aduan, sehingga
kalau tidak ada pihak yang merasa terganggu dan merasa dirugikan dengan adanya kasus
perzinaan, maka delik overspel ini tidak bisa diperkarakan di sidang pengadilan.

2

Jâmi’ al-Ahadîts, Seri al-Maktabah al- Syamilah, jilid 21 hlm 479

232


Di samping zina hanya dianggap sebagai delik aduan yang sangat berpengaruh pada sikap
sebagian anggota masyarakat yang merasa “enteng” dan bahkan tetap merasa tidak bersalah
dalam berbuat zina, sanksi hukum pelaku zina di Indosesia juga sangat ringan bahkan banyak
kasus yang akibatnya tidak bisa diproses secara hukum. Proses hukum bagi pelaku zina tidak
mungkin berjalan dan terlaksana dengan baik mana kala sistem hukumnya tidak dirubah terlebih
dahulu.
Dalam sebuah majalah yang terbit beberapa waktu lalu disebutkan bahwa hampir setiap
malam tahun baru masehi, di setiap jalan yang menuju ke kawasan penginapan seperti Kali
Urang di Yogyakarta atau Puncak di kawasan Bogor Jawa Barat, banyak apotik atau mini
market-mini market yang kehabisan stok kondom. Ironisnya bahwa para pembelinya umumnya
adalah para pasangan remaja yang diperkirakan belum terikat sebuah pernikahan dan mereka
berduaan menuju ke kawasan penginapan dimaksud dengan berboncengan motor atau
mengendarai mobil. Sebuah gambaran kebrobrokan moral bangsa yang luar biasa karena
overspel, gendak atau zina hanya masuk dalam kategori delik aduan yang jika dilakukan oleh
pasangan yang suka sama suka maka keduanya bebas dari berbagai tuntutan hukum.
Di samping itu, budaya sebagian besar masyarakat Indonesia yang sudah merasa aman
pada saat anak perempuannya dilamar oleh seorang pemuda. Kemudian pemuda tersebut
diizinkan untuk membawa pergi ke mana saja atau bahkan telah dibolehkan untuk tidur bersama
karena telah siap melaksanakan perkawinan. Hal ini jelas sebagai sebuah pemicu terjadinya

puluhan bahkan ratusan kasus married by accident yang merupakan sebuah masalah besar
dikaitkan dengan keabsahan nasab anak kepada ayah kandungnya.
Penulis nyatakan sebagai sebuah masalah besar karena pada dasarnya, anak yang
dilahirkan dalam kasus hamil di luar nikah ini tidak akan memiliki nasab sah secara hukum Islam
kepada bapak kandungnya yang pada umumnya bersedia menikahi ibunya. Mengapa tidak
memilki nasab sah secara hukum Islam?. Tidak lain karena proses pembuahan dan “pembuatan”
anak itu telah berlangsung sebelum kedua orang tuanya melakukan akad nikah sebagai syarat
halalnya hubungan suami istri. Walaupun akhirnya kedua pasangan ini menikah dan anak itu
memang anak biologisnya.
Masalah nasab anak yang lahir dalam kasus married by accident ini , menurut penulis ada
dua kategori sebagai pilihan hukum. Pertama, hukum Islam murni atas dasar hadis Nabi tentang
teori nasab yang tidak mungkin terbentuk kecuali melalui pernikahan, baik nikah yang sah, nikah
yang fasid maupun melalui hubungan badan secara syubhat. Kedua, hukum Islam Indonesia atas
dasar pasal 42 UU Perkawinan jo pasal 99 KHI tentang kedudukan anak dan pasal 53 tentang
kawin hamil. Terkait dua pilihan hukum ini, meminjam istilah as-Sya’rânî dalam al-Mîzân alKubrâ, ada dua kelompok manusia yaitu kelompok mutasyaddid, yang ketat dan keras dalam
bersikap dan kelompok mutakhaffif, yang ringan dan “nyantai” dalam bersikap. Bagi kelompok
mutasyaddid, tentu akan mendasarkan pilihan hukumnya kepada hadis Nabi tentang teori nasab,
sehingga ia akan sangat berhati-hati, dengan semangat takut dosa, penuh keimanan dan menyesal
atas dosa zina yang pernah dilakukan pada saat pacaran. Kelompok mutasyaddid dalam soal ini
pasti akan jujur di depan KUA, jika seandainya anak yang lahir akibat married by accident itu

berjenis kelamin perempuan dan setelah 20 tahun berjalan, akan dinikahkannya. Jujur
maksudnya ia akan berkata apa adanya kepada penghulu bahwa anak perempuan pertamanya
adalah sebagai anak hasil “iseng” masa muda. Oleh sebab itu ia akan memohon kepada bapak
penghulu agar berkenan menikahkannya langsung, ia akan memohon penghulu agar bertindak
sebagai wali hakim. Sebab sebagai kelompok mutasyaddid, tentu ia memahami tentang hadis
233

Nabi yang menyatakan bahwa hakim adalah sebagai wali wanita manapun yang tidak memiliki
wali, seperti anak perempuan pertamanya yang nyatanya memang telah “diproses” sebelum
keduanya menikah. Hal ini ia lakukan semata-mata demi keabsahan pernikahan anak
kesayangannya, demi kemaslahatan keluarga anak pertamanya dan demi sterilisasi dosa agar
tidak terjadi estafet dosa hingga anak cucu. Inilah pendirian hukum Islam kelompok
mutasyaddid. Sungguh sangat baik dan mulia apa yang ia tempuh. Lain halnya dengan
kelompok mutakahffif.
Kelompok mutakahffif akan cenderung “nyantai” dengan kasus married by accident
yang dialaminya. Ia tidak akan bersedia mengaku secara jujur dengan apa yang pernah
dialaminya 20 tahun yang lalu pada saat berpacaran. Alih-alih memahami hadis Nadi tentang
teori nasab, justru ia merasa tidak berdosa atas perbuatan mesum yang pernah dilakukannya dan
sudah menghasilkan anak perempuan pertama yang saat ini ia akan nikahkan. Celakanya sikap
dan pendirian semacam ini mendapat semacam legitimasi yuridis dari UU Perkawinan dan KHI.
Ia akan berpendapat, bukankah anak perempuan pertama kami ini adalah anak sah kami?
Mengapa harus dengan wali hakim?. Dia kan anak sah kami, pasal 42 UUP dan pasal 99 KHI
sudah jelas-jelas menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah. Seingat kami, demikian kelompok mutakhaffif ini berdalih, anak
kami ini lahir setelah kami menikah. Memang sebelumnya telah hamil, tapi kami langsung
menikah dan seingat kami lima bulan setelah nikah baru lahir anak kami ini. berarti ia jelas
sebagai anak yang sah. Sebab ia baru lahir setelah kami menikah, ia lahir dalam perkawinan,
berarti ia sebagai anak sah kami. Inilah sebuah gambaran betapa kelompok mutakhaffif ini akan
selalu “nyantai” bahkan merasa benar, tidak pernah ada nada penyesalan atas perbuatan zina
yang dilakukannya. Kelompok ini juga tidak pernah berfikir untuk peningkatan kualitas generasi
baru, apalagi berfikir tentang dosa masa lalu. Sebuah gambaran realita kehidupan rumah tangga
di masyarakat kita!.
B. Status anak sah menurut UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
Dalam hukum Islam, nasab menjadi sebuah masalah yang sangat penting dan dikaji
dalam kaitannya terhadap masalah pernikahan, kewajiban memberi nafkah, kewarisan,
perwalian hubungan kemahraman dan lain-lain. Nasab atau hubungan kekerabatan antara
seorang anak dan bapak hanya bisa terbentuk melalui tiga cara yaitu melalui pernikahan yang
sah, pernikahan yang fasid dan melalui hubungan badan secara syubhat. Sedangkan nasab anak
kepada ibu kandungnya bisa terbentuk melalui proses persalinan atau kelahiran. Baik kelahiran
bersifat syar’i mapun tidak.3 Artinya sekalipun anak lahir akibat perzinaan tetap saja bisa
dinasabkan dengan ibu kandungnya. Namun demikian dalam masalah-masalah tertentu, seorang
anak baik laki-laki apalagi perempuan akan sangat membutuhkan wali dari dari jalur nasab lakilaki, yaitu bapak kandungnya, khususnya jika anak perempuan itu akan menikah.
Nasab anak kepada ayah kandungnya, pada umumnya terbentuk melalui pernikahan
yang sah. Dalam hal ini seorang suami adalah sebagai pemilik ranjang yang sah atau al-Firâsy
sebagaimana ditegaskan dalam hadis shahih di bawah ini:

{ ‫ل ْع ه ْالحج‬

‫َ ع يْه س م ْال ل ل ْ ا‬

‫ال ي ص‬

3

‫ق‬

‫س ْعت ب ه ْي‬

‫بْن ي ق‬
}

Wahbah al- Zuhailî al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1997), cet.
ke-4, jilid 10, hlm 7256

234

‫ح ث مح‬
‫ا ال‬

Hadis ini diriwayatkan melalui Muhammad bin Ziyad, ia berkata, saya mendengar Abu
Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda anak hanya bisa bernasab dengan laki-laki
yang memiliki ranjang yang sah, sedangkan pezina hanya mendapatkan batu (rajam) (HR. alBukhari)
Atas dasar hadis ini para ulama bersepakat bahwa perzinaan tidak pernah bisa
membentuk nasab anak kepada bapak kandungnya. Dalam kitab al Tamhid sebuah komentar dan
syarah kitab al-Muwatta’ Imam Malik disebutkan sebuah kutipan sebagai berikut:

‫أ‬

‫ي ل ف ال‬

‫لك { ال‬

‫ج عت اأم ع‬

‫ل الزن‬

‫ي حق في اإسا‬

‫ق "ل ع ه الحج " ف‬
}381
8

Penulis buku ini berkata bahwa “Bagi pezina hanya akan memperoleh batu”. Maka dalam
ajaran Islam tidak bisa diterima upaya menghubungkan nasab anak zina kepada bapak
kandungya. Semua ulama telah sepakat dengan pendapat ini.
Bahkan mengenai nasab anak zina ini, Ibnu Hazm menegaskan:

‫ س ئ ح ْ م‬،‫ ال حْ يم‬، ‫ ال ق‬، ‫ ْال‬:‫ ل ع يْه حق اأُم مي م ْن‬،‫ ت ثه مه‬،‫مه‬
‫ل الزن ي‬
ْ
ْ
‫ ا‬، ‫ ا في ن ق‬، ‫ ا له ع يْه حق اأُب ا في ب‬، ‫ ا ي ثه ه‬،‫ ا ي ثه ال ت ق من نط ه‬: ‫اأُم‬
ْ ‫ ا ن ْع م في ه ا خافً ا في ال حْ يم فق‬،‫ي‬
‫{ ال ح ب اآث‬.‫ط‬
ٌ ْ‫ ه م ْه ج‬،‫ ا في غ ْي لك‬،‫في تحْ يم‬
}103
9

Anak yang lahir akibat perzinaan hanya ada hubungan saling mewarisi dengan ibu kandungnya,
ia juga hanya memiliki hak-hak seperti perlakuan baik, pemberian nafkah, hubungan
kemahraman dan berbagai macam ketentuan hukum lain dengan ibu kandungnya saja. Anak
zina tidak bisa mewarisi dari seseorang yang telah membuahi ibu kandungnya, ia juga tidak
memiliki hubungan saling mewarisi dengan bapak kandungnya dan berbagai hak lain seperti
hak perlakuan baik, nafkah dan hubungan kemahraman dengan bapak kandungnya dan
berbagai macam hak lain. Bahkan kedudukan anak zina sebagai orang lain sama sekali dengan
bapak biologisnya. Kami tidak menemukan perbedaan pendapat dalam masalah ini kecuali pada
masalah hubungan kemahraman saja.4
Selanjutnya, akan penulis kemukakan beberapa kutipan langsung pendapat para ulama
baik dari kalangan ulama salaf maupun khalaf/kontemporer mengenai proses menasabkan atau
pengakuan-pengakuan nasab anak kepada seorang ayah atau kepada seseorang yang pernah
berzina dengan ibu kandung anak yang disengketakan.

ً ‫الزاني ا ك نت ف ا‬
، ‫ ج ء ب ل‬، ‫سي‬
‫ش لز‬
‫ ج ع الع ء ع‬: ‫ق ال ك ع العزيز ال ا‬
، ‫ ن ي ب لص حب ال ا‬،‫ ا ي ب ليه‬،‫ فإنه ا ي حق ب لزاني ل اس حقه‬، ‫لم ي ه ص حب ال ا‬

Dr. Abdul Aziz al-Fauzan berkata, para ulama sepakat menyatakan bahwa jika ada seorang
wanita bersuami atau sebagai budak melahirkan anak, lalu si suami atau sang tuan/majikan itu
tidak menyangkal tentang nasab anak yang dilahirkannya itu, lalu jika tiba-tiba ada lelaki lain
yang pernah berzina dengan wanita bersuami atau budak itu mengklaim anak yang dilahirkan itu
sebagai anaknya, maka pengakuan itu sama sekali tidak bisa diterima dan bayi itu tetap bernasab
kepada suami atau majikan dimaksud dan tidak mungkin bernasab dengan laki-laki yang
mengaku pernah menzinainya.5

Ibnu Hazm, Abû Muhammad ‘Alî Ibn Ahmad bin Sa'îd, al-Muhallâ, bi al-Âtsâr, (Beirut : al-Maktabah alTijârî, tth 1351 ), jilid 9, hlm 309
5
Abdul ’Azîz al-Fauzân, Hukmu Nisbati al-Maulûdi Ilâ abîhi min al-Madkhûl bihâ Qabl al-‘Aqdi, ( Tt. Tp:
Tth), Edisi Maktanah Syamilah, jilid 1, hlm 11-19
4

235

‫ ا‬، ‫كل ح‬

‫ل جل احقً به ع‬

‫ف ا‬

‫كل ل ي ل ع‬

‫ " ج عت اأم ع‬: ‫ق ابن ع ال‬
‫ي يه ب ع ع ح م ال ع‬

Ibnu Abdil Barr berkata bahwa umat/ulama telah sepakat menyatakan bahwa setiap anak yang
lahir dari seorang wanita yang bersuami, pasti anak itu bernasab dengan ayah kandungnya,
apapun alasannya, kecuali memang sang suami menyangkal nasab anak tersebut melalui tata cara
yang telah diatur dalam pembahasan li’an

‫ا‬

‫في‬

‫ ن ال ا‬،‫جل ف ع آخ نه ا ي حقه‬

‫ف ا‬

‫نه ا ل ع‬

‫ " ج ع ا ع‬: ‫ق ابن ق ام‬
." ‫ل ع غي ف ا‬

Ibnu Qudamah berkata bahwa para ulama sepakat jika ada seorang wanita yang bersuami, lalu
tiba-tiba datang seorang lelaki lain yang mengaku bahwa anak yang diasuh wanita bersuami itu
sebagai anak kandungnya, maka pengakuan ini tidak bisa diterima. Perbedaan pendapat terjadi
dalam hal apabila si wanita itu tidak memiliki suami, lalu tiba-tiba ada seorang laki-laki
mengaku pernah berhubungan badan dengan wanita tersebut dan mengaku anak yang diasuhnya
itu sebagai anaknya, bagaimana kekuatan pengakuan ini, apakah bisa dibenarkan? Di sinilah
perbedaan pendapat ulama terjadi.

‫ فإ ا‬،‫ ه له م لم ي ه‬: ‫ ح ه‬: ‫ لق له "ال ل ل ا " مع ي‬: ‫ "نقل عن ال فعي نه ق‬: ‫ق ابن حج ال ي‬
" ‫الع ه ف ل ل ل ال ا‬
‫ال ا‬
‫ ا ت‬:‫ ال ني‬،‫ن ب ش له ك ل ع ان ع ه‬

Ibu Hajar al-Haitami berkata, dinukilkan dari Imam as-Syafi’i, sesungguhnya beliau pernah
berkata bahwa hadis Nabi yang berbunyi al-Waladu lil Firasy, memiliki dua arti mendasar,
pertama, bahwa nasab anak yang lahir dari pasangan suami istri dipastikan bersambung dengan
bapak kandungnya, hanya saja kalau sang bapak kandung itu menyangkalnya melalui proses
khusus, seperti li’an, maka penyangkalan itu bisa diterima. Kedua kalau sampai terjadi
persengketaan tentang nasab anak antara pemilik ranjang yang sah dengan seorang laki-laki yang
pernah berzina dengan istri sang suami itu, maka anak tersebut harus tetap dinasabkan kepada
sang suami sebagai pemilik ranjang yang sah.
Itulah pendapat para ulama mengenai nasab anak kepada bapak kandungnya atau malah
kepada lelaki yang pernah berzina, Dari beberapa pemaparan ulama di atas bisa penulis
simpulkan bahwa jika pengakuan nasab datang dari seseorang terhadap anak yang lahir dari
seorang wanita yang berstatus sebagai istri atau budak, jelas pengakuan nasab dari seorang lakilaki itu sama sekali tidak bisa dibenarkan. Sebab nasab hanya akan bersambung kepada lelaki
yang memiliki ranjang yang sah, baik seorang suami maupun tuan atau majikan.Tentu saja untuk
majikan ini hanya berlaku di zaman dulu. Sedangkan pada saat ini seiring dengan telah
dihapuskannya penjajahan dan perbudakan di atas dunia ini, maka dengan sendirinya hal ihwal
yang berkaitan dengan budak harus dinyatakan tidak berlaku lagi.
Masalah penting lain yang dikemukakan dan bahkan diperdebatkan oleh para ulama
adalah jika pengakuan nasab itu datang kepada anak yang lahir dari seorang wanita yang
berstatus lajang. Baik janda mapun perawan yang jelas-jelas tidak memiliki seorang suami.
Apakah pengakuan nasab dalam kondisi ini bisa dibenarkan? Dalam hal ini terdapat dua
pendapat.
ً ‫ لم ت ن مه ف ا‬،‫ل الزن ي حق ب لزاني ا اس حقه‬
‫ ه ا م هب ع بن‬، ‫سي‬
‫ش لز‬
: ‫الق اأ‬

،‫ ال عي‬،‫ ابن سي ين‬،

‫الح ن ال ص‬

‫ ه ق‬،" ، ‫ه ق أبي ح ي‬
‫بن ي‬
‫ س ي‬، ‫الزبي‬
.‫ ابن القيم‬، ‫ ابن تي ي‬،‫سح ابن اه يه‬

Pendapat pertama dikemukakan oleh Urwa bin Zubair, Salman bin Yasar, Abu Hanifah, Hasan
Bashsri Ibnu Sirin, an-Nakha’i, Ishaq bin Rahuyah, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim.
236

Mereka menyatakan bahwa anak zina tetap bisa dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu
kandungnya, jika memang lelaki itu mengakuinya dan benar-benar si wanita itu tidak bersuami
dan bukan berstatus budak. Bahkan secara lebih tegas, Abu Hanifah sebagai dikutip oleh Abdul
Aziz al-Fauzan mengatakan:

‫يز ج‬

‫فح ت م ه‬

‫ا ن ال جل ب ل‬

‫س‬
ً ‫بأ‬

‫ "ا‬: ‫نه ق‬

‫ع ي بن ع صم عن بي ح ي‬
‫ ال ل ل له‬، ‫ع ي‬
‫ ي‬،

‫فق‬
‫مع ح‬

Diriwayatkan oleh Ali bin ‘Ashim, dari Abu Hanifah, beliau berkata bahwa menurut saya tidak
masalah jika ada seorang laki-laki yang menzinai seorang wanita sehingga si wanita itu hamil,
lalu dinikahinya pada saat ia hamil dan si suami itu diam-diam saja atas kejadian yang
dialaminya, anak itupun bisa dinasabkan kepada lelaki dimaksud.6
Itulah pendapat pertama, menurut penulis, pendapat ini terasa agak janggal. Sebab jelas
bertentangan dengan prinsip mendasar dalam al-Kulliyyatul Khams, panca jiwa syariah yang
menyatakan bahwa tujuan mendasar syariat Islam adalah untuk menjaga lima hal prinsip, yaitu
untuk menjaga dan memelihara agama, jiwa, akal, nasab dan harta. Di mana agama dijaga
melalui kewajiban jihad, jiwa dijaga dengan adanya hukuman kisas, akal dijaga dengan
diharamkannya khamr, nasab pun harus dijaga dengan diberlakukannya hukuman rajam dan
cambuk serta harta harus dipelihara melalui hukuman potong tangan. Dengan demikian penulis
tidak setuju dengan pendapat pertama yang mengakui nasab anak zina kepada bapak biologisnya
dengan syarat ibu kadungnya itu tidak bersuami. Menurut penulis apakah wanita yang
mengandung anak zina itu bersuami atau tidak bersuami tetap saja anak yang dilahirkan dalam
status di luar nikah tetap tidak bisa dinasabkan kepada bapak biologisnya.
Kemudian bagaimana pendapat kedua? Pendapat kedua dikemukakan oleh ulama
madzhab empat dan ulama madzhab al-Dzahiriyyah sebagai berikut:
6

Beberapa dalil yang dikemukan oleh para ulama yang menganggap sah anak zina bernasab dengan ayah
biologisnya, jika memang wanita itu tidak bersuami dan bukan sebagai budak adalah sebagai berikut:

،‫غاما‬
ً ‫ فولدت‬،‫ فأتت راعيًا فأمك ته من نفسها‬،‫"أن بغيًا راودته عن نفسه فامت ع‬:‫ وفيه‬،‫حديث جريج العابد ي الصحيحن وغرما ي القصة امشهورة‬
‫ من أبوك؟ فقال‬،‫ ا غام‬:‫ فغمز إصبعه ي بط ه وقال له‬،‫ فدعا الغام‬،‫ وصلى‬،‫ فتوضأ‬، ‫ وسبو‬، ‫ وأنزلو‬،‫ فأتو فكسروا صومعته‬،‫ و من جريج‬:‫فقالت‬
‫ فان الراعي" ا ديث‬:‫الغام‬
‫ أو على صفة كذا وكذا‬،‫ "إن جاءت به على صفة كذا وكذا فهو للذي ُرِميَت به‬:‫ وفيه قول ال ي م‬،‫حديث اماع ة بن ال بن أمية وامرأته‬
‫ لوا اأمان لكان وها شأن أن عمر بن ا طاب رضي‬:× ‫ فقال رسول ه‬، ‫ فجاءت به على الوصف امكرو‬،‫ فهو هال بن أمية‬:‫ وي رواية‬،‫فهو لزوجها‬
‫ فإذا كان يلحق أمه‬،‫ واأب أحد الزانين‬،‫معا‬
ً ‫ فإن الولد اتج من زاما‬،‫) أواد ا ا لية من ادعا م ي اإسام قياس اأب من الزا على اأم الزانية‬38(‫ه ع ه كان يُليط‬
‫فلم ا يلحق أبيه إذا استلحقه وأقر أنه خلق من مائه؟‬
َ ،‫ أنه ي الي ولدته‬،‫ع د ميع العلماء‬

‫ وي سب‬،‫ و و إذا كان يلحق أمه‬،‫ فإن اأب أحد الزانين‬،‫ والقياس الصحيح يقتضيه‬...‫ووضوحا‬
ً‫ "و ذا امذ ب كما ترا قوة‬:‫قال ابن القيم‬
ً
‫ فما امانع‬،‫ واتفقا على أنه اب هما‬،‫ وقد اشركا فيه‬،‫ وقد وجد الولد من ماء الزانين‬،‫ ويثبت ال سب بي ه وبن أقارب أمه مع كوها زنت به‬،‫ وترثه ويرثها‬،‫إليها‬
"‫من وقه اأب إذا م يدعه غر ؟ فهذا ض القياس‬

، ‫ بل لو انتفى م ه بعد استلحاقه له م يقبل م ه انتفاؤ‬،‫ فإنه يلحق به‬،‫ واستلحق ولد م ها‬،‫ م أكذب نفسه‬،‫ فإن اماعن إذا اعن زوجته‬،‫قياس الزاي على اماعن‬

،‫ ومايتهم من التشرد والضياع‬،‫ والقيام عليهم حسن الربية واإعداد‬،‫فكذلك الزاي إذا استلحق ولد من الزا أن الشارع يتشوف فظ اأنساب ورعاية اأواد‬
‫ ولو نشأ من دون أب ي سب إليه ويع بربيته‬،‫ وا ج اية حصلت م ه‬،‫خصوصا أن الولد ا ذنب له‬
،‫وي نسبة ولد الزا إ أبيه حقيق هذ امصلحة‬
ً
‫مؤذا له أنواع اإجرام والعدوان‬
ً ‫ ورما نشأ‬، ‫واإنفاق عليه أدى ذلك ي الغالب إ تشرد وضياعه واحرافه وفساد‬
ً ،‫حاقدا على تمعه‬
237

، ‫اأ بع‬

‫ ه م هب اأئ‬،‫مه‬

‫ ن ي ب ل‬،‫ل الزن ا ي حق ب لزاني ا اس حقه‬

:‫الق ال ني‬
. ‫ال ه ي‬

Menurut pendapat kedua, anak zina tidak bisa bernasab dengan bapak bilogisnya, walaupun ia
mengakuinya, anak zina itu hanya bisa bernasab dengan ibu kandungnya. Pendapat kedua ini
dikemukakan oleh Imam-imam Madzhab yang empat dan madzhab al-Dzahiriyyah. 7
Dalam hal ini penulis lebih setuju dengan pendapat kedua ini, sebab menolak nasab anak
zina dengan ayah biologisnya jelas sejalan dengan prinsip dasar maqâsid as-Syarîah yang di
antaranya adalah dalam rangka menjaga kemurnian nasab atau keturunan. Dalam rangka
menjaga kemurnian nasab inilah Islam mensyariatkan nikah dan sangat melarang berbagai
macam bentuk prostitusi dan perzinaan. Dengan demikian, tampaknya rumusan pasal 99
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi “Anak yang sah adalah : a. anak yang dilahirkan
dalam atau akibat perkawinan yang sah; b. hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim
dan dilahirkan oleh isteri tersebut “, jelas bertentangan dengan kandungan hadis shahih riwayat
al-Bukhari dan Muslim yang menegaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang lahir akibat
pernikahan yang sah bukan sekedar lahir “dalam” perkawinan yang sah.
Sebab kalau dengan menggunakan kata “dalam”, berarti yang penting pada saat anak itu
lahir, orang tuannya sebagai pasangan zina itu telah terikat dalam sebuah pernikahan. Bahkan
seandainya pada saat terjadi kontraksi otot rahim karena sudah pembukaan satu atau dua
menjelang kelahiran bayi malang itu dan proses pernikahan mereka baru berlangsung, kemudian
dalam waktu beberapa menit berikutnya sang jabang bayi tak berdosa itu lahir, maka atas dasar
rumusan pasal 99 KHI di atas tetap saja dinyatakan sebagai anak sah, bukan anak zina, padahal
jelas-jelas pembuahan embrio bayi malang itu telah terjadi pada saat mereka belum terikat dalam
sebuah ikatan pernikahan yang sah.

7

Beberapa alasan logis yang dikemukakan oleh para ulama imam madzhab yang menyangkal keabsahan
nasab anak zina bernasab dengan ayah biologisnya adalah sebagai berikut:

"‫ وللعا ر ا جر‬،‫ "الولد للفراش‬:‫قول ال ي م‬
‫ ومن ادعى و ًلدا من غر رشدة فا يرث وا‬،‫ من ساعي ي ا ا لية فقد ق بعصبته‬،‫ "ا مساعاة ي اإسام‬:× ‫ قال رسول ه‬:‫ما روا ابن عباس رضي ه ع هما قال‬

."‫يورث‬

‫ وإن كان‬،‫ وا يرث‬،‫ "إن ال ي × قضى أن كل مستلحق إن كان من أمة م ملكها أو من حرة عا ر ها فإنه ا يلحق به‬:‫ما روا عمرو بن شعيب عن أبيه عن جد قال‬
‫ و و ولد زا‬،‫ فإنه ا يلحق به وا يرث‬،‫ "من ادعى و ًلدا من أمة ا ملكها أو من حرة عا ر ها‬:‫ وي رواية‬،"‫الذي يدعى له و ادعا فهو ولد زنية من حرة كان أو أمة‬

‫ فإنه إذا‬،‫شرعا مع الزجر عن الزا‬
ً ‫ "أن قطع ال سب‬:‫ قال السرخسي‬.‫ وإشاعة للفاحشة بن امؤم ن‬،‫ أن إثبات ال سب الزا فيه تسهيل أمر الزا‬."‫أ ل أمه من كانوا‬
‫ أنه يلزم على القول استلحاق ولد الزا أن الشخص إذا اعرف بزا‬.‫ فلم يلحق به حال‬،‫ أنه ا يلحق به إذا م يستلحقه‬."‫علم أن ماء يضيع الزا يتحرز عن فعل الزا‬
‫ أن اعرافه الزا معها ا يلزم م ه‬،‫ أن ذا ازم ا يلزم‬:‫ ومكن أن يعرض عليه‬.‫ و ذا م يقل به أحد‬،‫مع امرأة وولدت و ًلدا أن ذا الولد يلحق الزاي ولو م يستلحقه‬

‫ ولو أثبت ا ال سب‬،‫ "أن الزانية أتيها غر واحد‬:‫ قال السرخسي‬،‫ وهذا م يقل هذا الازم أحد‬، ‫ فقد يكون من زان غر‬،‫إقرار أن ذا الولد نتيجة زا وأنه لوق من مائه‬
."‫ وذلك حرام ال ص‬،‫الزا رما يؤدي إ نسبة ولد إ غر أبيه‬

238

Pasal 99
KHI ini dikutip langusung dari pasal 42 UU no 1 tahun 1974
tentangperkawinan yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pada saat penulis bertindak sebagai saksi ahli di MK
terkait uji materi UU perkawinan ini, penulis mengemukakan beberapa pernyataan sebagaimana
penulis uraikan di bawah ini.
Menurut penulis, sekalipun pasal 42 UU No 1 Tahun 1974 ini, tidak bertentangan
dengan UUD 1945, namun akan sangat baik jika kata-kata “dalam” yang terdapat pada rumusan
pasal ini untuk ditinjau ulang atau bila perlu dihilangkan. Sebab dengan adanya kata “dalam”,
maka implikasi dan pengaruh besarnya akan terjadi pada legalisasi perzinaan. Hal ini bisa terjadi
karena dengan rumusan pasal ini, negara secara otomatis berarti ,mengakui atau mengizinkan
dan melegalisasi proses hubungan badan sebelum nikah. Masyarakat dengan ringan dan tanpa
merasa berdosa akan menyatakan bahwa married by accident, hamil di luar nikah sudah wajar
dan lumrah terjadi di masyarakat modern.
Anggapan masyarakat seperti ini memang sangat beralasan, sebab definisi anak sah
menurut pasal 42 UU No 1 tahun 1974 dan KHI pasal 99 adalah anak yang lahir dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah. Kalau kata dalam masih tetap dipertahankan, pasti akan
terus terjadi kasus-kasus hamil di luar nikah. Masyarakat akan tetap merasa aman melakukan
zina, toh anaknya tetap dianggap anak sah oleh undang-undang. Bahkan seandainya ada seorang
anak gadis telah hamil tua sudah memasuki bulan ke 9, lalu agar anak yang akan lahir itu sah,
maka orang tua gadis itu berusaha menikahkan anak gadisnya itu, kemudian beberapa hari atau
bahkan beberapa jam lagi bayi hasil perzinaan itu lahir, maka anak zina itu tetap dianggap
sebagai anak sah, mengingat ia telah lahir dalam perkawinan. Hal ini jelas bertentangan dengan
prinsip mendasar dalam Hukum Islam, tentang pemeliharaan nasab.
Penulis nyatakan bahwa UU NO 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI berpotensi
mengembalikan cara penetapan nasab ala zaman jahiliah, sebab UU no 1 tahun 1974 ini di satu
sisi tidak mengakui anak yang lahir di luar perkawinan, hanya karena pernikahan kedua orang
tuanya tidak dicatat, di sisi lain anak yang diproses melalui perzinaan justru dianggap sebagai
anak sah. Dengan syarat pada saat anak itu lahir bapak dan ibunya telah menikah. Sungguh
sebagai sebuah rumusan pasal yang perlu mendapatkan perhatian serius.
Al-Qadhi ‘Iyadh sebagaimana dikutip oleh Imam al-Nawawi berkata:

‫به‬

‫اإم ء ل زن فإ اع فت اأ بأنه له لحق‬

‫ك نت ع الج ه ي لح ال ب ب لزن ك ن ا ي أج‬
‫فج ء ااسا بإبط لك بإلح ال ل ب ل ا ال عي‬

Adalah kebiasaan masyarakat jahiliah menetapkan nasab anak melaui perzinaan, mereka
menyewakan budak-budak perempuan untuk berzina, jika ada seorang budak mengaku bahwa
anak yang dilahirkan itu berasal dari benih seorang laki-laki hidung belang yang pernah
menidurinya, maka mereka menetapkan nasab anak yang lahir itu kepadanya. Ajaran agama
Islam hadir untuk membatalkan tradisi buruk ini. Lalu menetapkan dasar pembentukan nasab
berdasarkan kepemilikan ranjang secara syar’i/perkawinan yang sah8.
C. Status Anak Zina dan akibat kawin hamil
Pada dasarnya setiap anak yang lahir, baik dalam perkawian maupun di luar perkawinan
anak yang dilahirkan semuaya memiliki status dan kondisi fitrah yang sama-sama bersih tanpa
dosa dan noda. Tidak ada anak yang lahir dengan membawa dosa turunan dari siapapun
8

Imam al-Nawawi, Syarh Sahîh Muslim, (Riyâd, Bait al-Afkar al-Dauliyyah, Tth), hlm 913

239

termasuk dari kedua orang tuanya yang melakukan perzianaan. Perzinaan memang sebagai salah
satu dosa besar sebagai mana dinyatakan oleh Husain al-Dzahabi bahwa zina adalah sebagai
dosa besar yang kesepuluh.9
Julukan yang sudah terlanjur melekat pada diri anak yang dilahirkan dalam kasus
perzinaan memang ada sejak dahulu. Tidak begitu jelas julukan ini pertama kali muncul di dunia
ini. Tetapi yang jelas apapun nama, julukan dan predikat anak zina, secara hukum ia tetap
sebagai anak yang bersih dan suci. Anak zina juga masuk dalam kategori “maulud” anak yang
dilahirkan, sebagaimana disebutkan dalam hadis:

ْ ‫ كل م ْ ل ي ل ع ْال‬: ‫س ه ص ه ع يه س م‬
، ‫ط‬
‫ ق‬: ‫ ق‬، ‫ ضي ه ع ْه‬، ‫ع ْن بي ه ْي‬
، ‫ ابن ج ي‬، ‫ ال ئ‬، ‫ ال ا م‬، ‫ ْ ي ج نه { ا ح‬، ‫ ْ ي ص انه‬، ‫ب ا ي انه‬
‫ح ي‬
} ‫ ال ي ق‬، ‫ ب نعيم‬، ‫ الح كم‬، ‫ الط ان‬، ‫ابن ح‬

Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah SAW bersabda, setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fitrah, suci sehingga adalah kedua orang tuanya yang membuat ia beragama Yahudi, Nasrani
atau Majusi ( HR Ahmad, al-Darimi. Al-Nasa’I, Ibnu Jarir, Ibnu Hibban, al-Tabrani, al-Hakim,
Abu Na’im dan al-Baihaqi)
Berdasarkan hadis ini bisa dikemukakan di sini bahwa setiap bayi tanpa kecuali,
termasuk yang lahir dalam kasus perselingkuhan, samen leven, perzinaan dan dalam kondisi
normal tetap dalam kondisi bersih suci tanpa dosa sedikitpun. Apalagi menanggung dan memikul
beban dosa kedua orang tuanya yang terlibat dalam kasus hubungan terlarang. Kalau anak zina
saja dianggap bersih, maka anak yang lahir dalam kasus nikah di bawah tangan, dalam nikah siri
dan dalam berbagai bentuk pernikahan apapun tentu saja harus lebih ditekankan kefitrahan dan
kebersihannya.
Dalam kaitan ini, masyarakat terkadang belum bisa memahami makna kata fitrah
sebagaimana hadis di atas. Ada sebagian yang berpendapat bahwa oleh karena setiap bayi yang
lahir itu tetap dianggap bersih tanpa dosa, maka sudah selayaknya kalau anak itu tidak diberikan
sanksi-sanksi tertentu dan ia harus dibebaskan dari berbagai tuntutan hukum. Oleh sebab itu,
demikian komentar sebagian warga masyarakat, anak zina tidak boleh diperlakukan secara
khusus apalagi dicap sebagai anak haram, anak kotor, anak jadah dan beberapa gelar negatif lain
termasuk disebutkan bahwa anak zina untuk selamanya tidak akan pernah mempunyai nasab
dengan ayah biologisnya dan seterusnya yang sungguh akan sangat merugikan bagi
perkembangan psikis anak tersebut.
Bila dibaca secara sekilas seakan-akan kalimat semacam ini memang benar dan sejalan
dengan UUD 1945, Ham dan UU Perlindungan Anak. Namun jika direnungi dan ditelaah secara
mendalam, pada dasarnya pernyataan seperti ini, ternyata juga tidak tepat. Sebab aturan hukum
Islam tentang anak zina yang tidak akan memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya dan
tidak akan bisa menerima hak nafkah, hak perwalian dan hak waris dari pewarisnya bukan
sebagai hukuman atas anak yang tak berdosa itu. Tetapi sebagai hukuman bagi ayah biologisnya
yang biasanya ia akan merasa senang dengan lahirnya anak, lalu ia bisa berbangga dengan
anaknya, sehingga rasa bangga orang tuanya ini diwujudkan dengan adanya hak ayah
biologisnya untuk memberikan hak nasab, hak nafkah, memberikan hak perwalian dan
memberikan warisan kepada anaknya. Orang tua, khususnya ayah bilogis dilarang memiliki
sikap bangga atas anak biologisnya, sebab sang ayah biologis telah melakukan pelanggaran besar
9

Al-Dzahabî, Syamsuddîn, Kitâb al-Kabâ`ir, (Jakarta : Syirkah Dina Mutiara Berkah Utama, tth), hlm 42

240

berupa perzinaan yang dilakukan berdua dengan ibu anak itu. Sang ayah biologis bukan hanya
dilarang berbangga dengan anak yang dilahirkannya, melainkan ia dihukum dengan keharusan
bersedia untuk tidak memberikan hak perwalian, hak kewarisan dan hak nafkahnya kepada anak
biologisnya. Hal ini dimaksudkan sebagai konsekuensi logis dari perbuatan zina yang pernah
dilakukannya.
Tetapi fakta di lapangan berkata lain. Ayah biologis yang dihukum dengan hukuman
moral berupa tidak boleh berbangga dan menerima beberapa hak mendasar atas anak
kandungnya, ternyata disalahartikan dengan menyatakan bahwa lantaran anak lahir dalam kasus
hamil di luar nikah, maka sang anak menanggung penderitaan berupa memperoleh predikat
sebagai anak haram, anak najis, anak jadah dan beberapa julukan sangat buruk lain. Di sinilah
letak salah kaprah yang menurut penulis sangat perlu diluruskan. Yaitu yang dihukum itu bukan
anak yang tidak berdosa, melainkan bapak dan ibu kandungnya yang sudah terlanjur berbuat
dosa karena berzina.
Bagaimana dengan ibu kandungnya? Mengapa ia tidak dihukum seperti ayah kandung
yang diputus segala hak keperdataannya dengan anak hasil perzinaannya? Jawabannya tidak lain
bahwa sudah ada sebagian ulama yang juga menghukum ibu seperti ayah kandungnya. Tetapi
jumhur ulama pada umumnya tidak setuju jika sang ibu juga diberi hukuman yang sama dengan
ayah biologisnya. Alasan jumhur ulama tentu saja karena teks hadis-hadis Nabi berkata
demikian. Jika diteliti secara logika, boleh jadi karena peran ibu dalam masa hamil dan mnyusui
anak sangat berat, sehingga tetap diberikan hak keperdataan secara utuh terhadap anak yang
pernah dikandung, diberi ASI dan disapih serta dididiknya.
Apa yang penulis kemukakan di atas, memang tidak lazim dijelaskan oleh para ulama
fikih. Dalam hal ini penulis berupaya untuk mencari jawaban atas pertanyaan orang awam yang
biasanya mereka bertanya, mengapa anak zina yang katanya bersih tidak menanggung beban
dosa kedua orang tuanya, tetapi tetap dicap sebagai anak yang untuk seumur hidupnya tidak
punya wali? Tidak bernasab dengan bapak biologisnya, tidak mendapatkan nafkah dan waris?
Bukankah hal ini sebagai sebuah bentuk diskriminasi hukum? Bukankah hal ini justru
menunjukkan bahwa anak zina itu banyak menanggung beban penderitaan akibat dosa yang
dikerjakan oleh kedua orang tuanya? Bukankah dalam Islam terdapat ayat yang menyebutkan
bahwa tidak ada dosa warisan, tidak ada pelimpahan dosa? Dan seterusnya beberapa pertanyaan
“ ngeyel” dan konyol yang cukup sulit untuk menjawab dan meluruskannya, agar tidak
menyesatkan. Dalam rangka menjawab beberapa model pertanyaan “aneh” inilah penulis
memaparkan penjelasan di atas.
Sebagai sebuah tambahan jawaban, bahwa bagi orang yang hatinya bersih akan segera
faham bahwa akibat perbuatan zina, maka orang tuanya dihukum dengan dicegahnya menikmati
anugerah anak yang dilahirkannya, ia tidak memiliki hubungan nasab, dan beberapa hak lain
yang mengiringinya. Beberapa konsekwensi ini bagi orang yang bersih dan mukhlish, ia tentu
akan faham bahwa hal itu sebagai hukuman. Tetapi bagi manusia yang hatinya kotor, alMujrimun dan para pendosa, dipastikan tidak akan bisa memahami konsep hukuman Allah yang
selembut ini. Mereka justru akan mengatakan, jika tidak boleh memberi nafkah, tidak boleh jadi
wali dan tidak boleh memberikan harta warisan kapada anak zina, maka justru “kebeneran” kan
malah jadi enak, tidak perlu repot-repot mengurus dan bertanggungjawab atas anak yang lahir
dalam perzinaan ini. Para pendosa dipastikan tidak akan faham dengan konsep “istidrâj”
sebagaimana firman Allah:

}383 : 7/ ‫{اأع ا‬

241

‫ال ين ك ب ا ب ي ت س ْ ْ ج ْم م ْن حيْث ا ي ْع‬

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan
berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. (QS: alA’raf/7: 182)
Konsep istijrâj inilah yang bisa dijadikan sandaran kuat tentang hukuman bagi orang tua
yang berzina, ia harus menanggalkan semua hak yang mestinya melekat pada dirinya. Yaitu pada
saat dikaitkan dengan tanggapan orang yang masuk dalam kategori al-Mujrim. Orang yang
banyak melakukan dosa, belum tentu ditegur oleh Allah di dunia ini, tetapi justru sebaliknya, ia
malah diulur, atau meminjam istilah Betawi “diambulin” atau orang jawa menyebutnya dengan
“dilulu”. Sampai sejauh mana ketidaksadaran mereka dalam memahami konsep istidrâj Allah
ini. Penulis pun sadar bahwa pada saat menulis beberapa paragraf terakhir ini, apa yang penulis
kemukakan memang berbeda jauh dengan konsep ilmu hukum Islam. Hal ini bahkan telah
memasuki ranah ilmu keislaman yang lain, namun penulis yakin bahwa uraian semacam ini
masih relevan dengan tema nasab dan status anak dalam hukum Islam.
Masalah lain yang sering terjadi di masyarakat adalah married by accident atau kawin
hamil sebagaimana penulis uraikan di atas. Dalam pasal 53 ayat 1 sampai dengan ayat 3
Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan sebagai berikut: (1) Seorang wanita hamil di luar
nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil
yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungk