BAGIAN WARIS ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46 PUU VIII 2010

(1)

i

BAGIAN WARIS ANAK LUAR KAWIN DALAM

HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Universitas Negeri Semarang

Oleh:

NUNKY ADIN ARDILLA 8150408146

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” oleh Nunky Adin Ardilla, telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada :

Hari :

Tanggal :

Menyetujui,

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Baidhowi, S.Ag., M.Ag Dian Latifiani S.H., M.H

NIP. 19730712 200801 1 010 NIP. 19800222 200812 2 003

Mengetahui,

Pembantu Dekan Bidang Akedemik

Drs. Suhadi, S.H, M.Si


(3)

iii

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” oleh Nunky Adin Ardilla, telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada :

Hari :

Tanggal :

Panitia Ujian

Ketua, Sekretaris,

Drs Sartono Sahlan, MH

NIP.19530825 1982031 003

Drs. Suhadi, SH, Msi

NIP. 19671116 199309 1 001

Penguji Utama,

Tri Andari Dahlan S.H.,M.Kn

NIP. 19830604 200812 2 00 3

Penguji 1, Penguji 2,

Baidhowi, S.Ag., M.Ag

NIP. 19730712 200801 1 010

Dian Latifiani S.H., M.H


(4)

iv

Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010” benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, 12 Maret 2013

Nunky Adin Ardilla


(5)

v MOTTO

 Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani ( Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.)

PERSEMBAHAN

 ALLAH SWT yang senantiasa

melindungi dan memberi berkah

 Ayahanda Edi Salari dan Ibunda Septaria Suciati, beliau adalah orang tua terbaik di dunia yang tak pernah henti-hentinya memberikan dukungan dan doa.

 Saudara-saudaraku Hening Kasih

Sarinastiti, Sasha Nadia Putih dan Adlan Juang Taratih.


(6)

vi

melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga skripsi dengan judul “Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”dapat terselesaikan. Sehubungan dengan pelaksanaan penelitian sampai tersusunnya skripsi ini, dengan rasa rendah hati, penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si, Rektor Universitas Negeri Semarang.

2. Drs. Sartono Sahlan, M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

3. Baidhowi, S.Ag., M.Ag, Dosen Pembimbing 1 yang telah berkenan memberikan bimbingan serta motivasi kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Dian Latifiani S.H., M.H, Dosen Pembimbing 2 yang telah berkenan memberikan bimbingan dan semangat kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan.


(7)

vii

petunjuk, motivasi, bantuan, semangat, kasih sayang dengan sabar dan tulus dalam proses yang dijalankan penulis semasa berorganisasi dan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

7. Dr Muhyidin M.Ag Ketua Fatwa MUI Provinsi Jawa Tengah yang telah berkenan berdiskusi dan membantu memberikan informasi dalam penelitian di MUI Provinsi Jawa Tengah.

8. Bapak Ibu Dosen serta Staf Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang yang telah membantu dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan.

9. Keluargaku tercinta (Bapak Edi Salari, Ibu Septaria Suciati, dan Adik-adikku Sari, Puput dan Adlan) atas kasih sayang, do’a, motivasi, dan semangat dalam penyusunan skripsi ini.

10. Keluarga Besar Embah Uti Rodah Tati dan Alm.Eyang Hj.Rubiati (Bude Titik, Bude Tatik, Pakde Gede, Pakde Heri, Pakde Sis,Bude Minuk)

11. Sahabatku angkatan 2008 Denny, Kukuh, Martini, Salomo, Edwin yang selalu memberikan kecerian dan dukungan dalam menyusun skripsi ini kepada penulis.

12. Kakak-kakak angkatan Mas Fajar, Mas Luhur, Mbak Sesar, Bang Doni, Bang Agus,dan Bang Andi.


(8)

viii

dan seluruh teman-teman lain di Unit Peradilan Semu yang selalu memberikan kudungan, bantuan dan motivasi kepada penulis dalam membuat skripsi ini.

14. Kakak sahabat terkasih Fajar Romy Gumilar yang selalu ada dan memberikan bantuan, dukungan, semangat, kasih sayang tanpa henti selama penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

15. Teman-teman Kos Eresa , Winda, Vivi dan Ari yang membantu dan mendukung penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

16. Semua teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2008 yang sudah

memberikan informasi maupun masukannya selama penulisan skripsi. 17. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang

tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT membalas amal baik Bapak, Ibu dan Saudara. Disadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan guna menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis.

Semarang 12 Maret 2013


(9)

ix

Pembimbing I, Baedhowi, S.Ag.,M.Ag. Pembimbing II, Dian Latifiani, S.H.,M.H.

Kata Kunci: Hukum Waris Islam, Anak Luar Kawin, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 merupakan putusan atas judicial review dari Pasal 43 ayat 1 UUP yang diajukan oleh H Macicha Mochtar. Didalam Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 anak yang dihasilkan diluar perkawinan juga mempunyai hak keperdataan dengan sang ayah biologisnya asalkan bisa dibuktikan dengan ilmu teknologi dan pengetahuan. Di keluarkannya Putusan MK tersebut, membuat penulis tertarik untuk meneliti mengenai Bagian Waris Anak Luar Kawin Dalam Hukum Islam Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Permasalahan yang akan dikaji adalah: (1) Pandangan Hukum Islam terhadap bagian waris anak luar nikah sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010 (2) Berapakah bagian waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar nikah sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46 / PUU-VIII/ 2010.

Pendekatan peneliti dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Dari Hasil Penelitian dan Pembahasan yang dilakukan oleh Anak Luar Kawin yang dibahas oleh penulis merupakan Anak Luar Kawin Nikah sirri.Nikah sirri merupakan pernikahan yang sah sehingga anak yang dilahirkan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak sah dalam hal saling mewarisi. Terhadap bagian waris anak luar kawin nikah sirri sama dengan anak sah pada umumnya, dimana pembagianya sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam Hukum Waris Islam dan yang ada dalam KHI.

Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait adalah sebagai berikut : (1) Bagi pemerintah hendaknya lebih cepat dan lebih peduli untuk membuat kepastian tentang kategori anak luar kawin pasca Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010. Agar seluruh masyarakat dan pejabat lain yang terkait dapat bertindak dengan benar. (2) Bagi masyarakat janganlah mendiskriminasikan anak luar kawin, karena pada hakikatnya anak tetaplah anak bagi kedua orang tuanya.


(10)

x

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Pembatasan Masalah ... 6

1.3 Perumusan Masalah ... 6


(11)

xi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Tinjauan Tentang Perkawinan ... 10

2.1.1 Pengertian Perkawinan ... 10

2.1.2 Syarat dan Rukun Perkawinan ... 12

2.1.2.1 Syarat sahnya Perkawinan ... 12

2.1.2.1.1 Syarat Umum Perkawinan ... 15

2.1.2.1.1 Syarat Khusus Perkawinan ... 16

2.1.2.2 Rukun Perkawinan ... 16

2.1.2.2.1Calon Suami dan Istri ... 17

2.1.2.2.2 Wali Nikah ... 19

2.1.2.2.3 Dua Orang saksi ... 20

2.1.2.2.4 Akad Nikah ... 22

2.2 Tinjauan Anak Luar Kawin ... 23

2.2.1 Pengertian Anak Laur Kawin ... 23


(12)

xii

2.3.1 Pengertian Hukum Waris Islam ... 33

2.3.2 Syarat-syarat pewarisan ... 37

2.3.2.1 Pewaris ... 37

2.3.2.2 Ahli Waris ... 38

2.3.2.3 Harta Peninggalan ... 40

2.3.3 Asas-asas Pewarisan ... 41

2.3.3.1 Asas Ijbari ... 41

2.3.3.2 Asas Bilateral ... 44

2.3.3.3 Asas Individual ... 42

2.3.3.4 Asas Keadilan Berimbang ... 42

2.3.3.5 Asas Kewarisan Semata Karena Kematian... 43

2.3.4 Bagian-bagian Waris dalam Hukum Islam ... 43

2.4 Tinjauan tentang Putusan Judicial Review MK No 46/PUU-VIII/2010 ... 45

2.4.1 Kedudukan MK berkaitan dengan Judicial Review ... 45


(13)

xiii

3.2 Sifat Penelitian ... 53

3.4 Pendekatan Penelitian ... 58

3.5 Jenis dan Sumber Data ... 54

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 55

3.7 Teknik Analisis Data ... 57

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 59

4.1 Hasil Penelitian ... 59

4.1.1 Pandangan Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 ... 59

4.1.2 Bagian Waris dalam Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 ... 79

4.2 Pembahasan ... 96

4.1.1 Pandangan Hukum Islam Terhadap Bagian Waris Anak Luar Kawin Sebagai Ahli Waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 ... 96


(14)

xiv

BAB 5 PENUTUP ... 119

5.1 Simpulan ... 119

5.2 Saran ... 121

DAFTAR PUSTAKA ... 122


(15)

xv


(16)

xvi

Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian ... 131

Lampiran 2 Instrumen Penelitian ... 132

Lampiran 4 Putusan Mahkamh Konstitusi No 46 / VIII-PUU/2010 ... 133

Lampiran 5 Fatwa MUI No 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya ... 134

Lampiran 6 SEMA NO 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan ... 135

Lampiran 7 Surat Edaran Pengadilan Tinggi Agama NO


(17)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Keberadaan anak menjadi hal yang sangat dibanggakan dan diingin oleh kedua orang tuanya. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan penyambung keturunan, investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Anak dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup, sehingga kelak dapat mengontrol status sosial orang tua. Anak menjadi keistimewaan bagi setiap orang tua, waktu orang tua masih hidup anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian.

Setiap anak kelak akan memikul tanggung jawabnya baik itu tanggung jawabnya secara pribadi maupun tangung jawabnya secara keluarga terhadap orang tuanya dan terhadap keluarganya yang ia bagun kelak. Untuk dapat melakukaan hal tersebut hendaknya anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara normal baik secara jasmani maupun secara rohani.

Upaya anak untuk memenuhi segala tanggung jawabnya tentunya tidak lepas dari peran serta kedua orang tua, baik itu ayah maupun ibu. Kewajiban orang tua kepada anak harusnya tidak terbatas pada asal usul dan status si


(18)

anak, kerena bagaimanapun adanya seorang anak dari akibat yang ditimbulkan oleh orang tuanya.

Anak digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu anak sah dan anak luar kawin. Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menjelaskan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut merupakan anak sah menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam.

Kedudukan dan status anak dapat dilihat dari sah atau tidak suatu perkawinan yang dilangsungkan oleh kedua orang tuanya. Dalam Hukum Nasional dijelaskan bahwa suatu perkawinan sah apabila dicatatkan dilembaga atau instansi yang berwenang mencatatkan nikah. Sedangkan dalam Hukum Islam suatu perkawinan sah apabila sudah memenuhi syarat dan rukun nikah.

Pandangan Hukum Islam anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah namun tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama sesuai Hukum Nasional merupakan anak sah. Karena dalam Hukum Islam sendiri sekalipun perkawinan itu disebut Nikah Sirri tetap perkawinan itu sah, karena sudah memenuhi syarat dan rukun nikah. Kedudukan anak luar kawin ditinjau


(19)

dalam Hukum Islam apakah ada. Sementara itu bagaimana akibat hukum terhadap pembagian waris anak luar kawin berdasarkan uraian yan telah dibahas sebelumnya.

Berdasarkan hal yang diuraikan mengenai kedudukan anak luar kawin, masyarakat mulai melakukan upaya-upaya agar anak luar kawin mendapatkan kejelasan hukum. Upaya tersebut salah satunya dilakukan oleh artis Machicha yang mengajukan permohonan judicial review terhadap Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, khususnya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) kepada Mahkamah Konstitusi.

Machicha melangsungkan perkawinan dengan Moerdjiono yang hanya dilakukan secara agama atau biasanya disebut Nikah Sirri tanpa adanya pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangakan sesuai penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang sah adalah perkawinan yang dicatatkan. Perkawinan yang tidak dicatatkan ialah perkawinan yang tidak sah dan anak yang dihasilkan atas perkawinan tersebut adalah anak tidak sah atau anak luar kawin. Akibat yang timbul dari itu sesuai Pasal 43 ayat (1) bahwa anak diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.

Pada dasarnya Machicha hanya mengkhawatirkan nasib si anak kelak dimasa depan ketika si ibu sudah meninggal dan hanya ada ayah ataupun keluarga ayahnya. Anak luar kawin tersebut tentunya tidak akan mendapatkan hak keperdataan si ayah atau sering disebut harta warisan / harta peninggalan.


(20)

Pada tanggal 17 Februari 2012 permohonan Machicha atas judicial review Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) disahkan oleh Mahkamah Konstitusi lewat Putusannya No.46/PUU-VIII/2010. Lewat Putusan tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pasal 43 ayat (1) dan menolak permohonan terhadap Pasal 2 ayat (2). Putusan tersebut menjelaskan bahwa anak luar kawin juga mempunyai hubungan keperdataan dengan sang ayah.

Permasalahan yang terjadi apabila sang ayah dari anak luar kawin tersebut meninggal dunia dan meninggalkan anak tersebut dengan ibunya. Apakah anak tersebut dapat mendapatkan hak-haknya sebagai anak dari ayah biologisnya. Hak-hak seorang anak dalam hal ini ialah hak waris mewarisi antara pewaris yaitu si ayah dan si ahli waris ialah anak. Karena bagaimanapun si ayah tersebut tetap behubungan darah dengan si anak dan tetap menjadi ayah biologis si anak. Apakah anak tersebut mendapatkan haknya sebagai anak dari ayah biologisnya atau tidak berhak sama sekali seperti yang sudah tertulis dalam perundang-undangan.

Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 hanya menjelaskan anak luar kawin juga mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah, apabila dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tidak menjelaskan mengenai bagian-bagian atau aturan-aturan tentang pembagian warisan antara anak luar kawin dan ayah biologisnya. Hukum Islam tidak mengatur dan menjelaskan tentang pembagian warisan antara pewaris ayah dengan ahli waris anak luar


(21)

kawin. Oleh sebab itulah terjadi kebinggungan apabila ada kasus tentang pewarisan anak luar kawin dengan ayah biologisnya.

Pencerahan terhadap hubungan keperdataan dan kedudukan anak luar kawin kepada sang ayah biologisnya juga diberikan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi ayah harus bertanggung jawab atas anak yang lahir dari hubungan perzinahan. Hal itu sesuai dengan Undang-undang Kewarganegaraan menyangkut Hak Asasi Manusia (HAM). ( Dalam diskusi publik Akibat Hukum Terhadap Anak Luar Kawin Pasca putusan Mahkamah Konstitusi di Yogyakarta )

Masyarakat tidak sepenuhnya menerima Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010. Fenomena yang terjadi di masyarakat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 ini beragam. Ada sekelompok masyarakat yang merasa diuntungkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 dan ada pula yang merasa bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 tidak sesuai dengan kaidah Agama Islam, masyarakat merasa Mahkamah Konstitusi melegalkan anak zina. Padahal anak zina dengan anak luar kawin berbeda, keragaman kedudukan dan status anak luar kawin inilah yang menjadi penentu apakah anak luar kawin dapat meminta dan menerima haknya dari ayah biologisnya.

Berdasarkan uraian mengenai polemik dan permasalahan anak luar kawin tersebut, penulis berkeinginan untuk meneliti lebih lanjut tentang “BAGIAN


(22)

WARIS ANAK LUAR KAWIN DALAM HUKUM ISLAM PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010”

1.2

Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang terjadi pada anak luar kawin, maka permasalahan dibatasi pada kedudukan anak luar kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menurut Kompilasi Hukum Islam dan Fiqh Islam dan bagaimana bagian waris anak luar kawin apabila anak luar kawin tersebut masuk dalam ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010.

1.3

Perumusan Masalah

Agar permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas dan penulisan penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan maka perlu disusun perumusan maslah yang didasarkan pada uraian latar belakang diatas. Adapun perumusan masalah dalam penelitian hukum ini adalah:

1. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap bagian waris anak luar kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010?

2. Berapakah bagian waris dalam Hukum Islam terhadap anak luar kawin sebagai ahli waris pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010?


(23)

1.4

Tujuan Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilakukan oleh penulis agar dapat menyajikan data akurat sehingga dapat memberikan manfaat dan mampu menyelesaikan masalah. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Hukum Islam tentang bagian waris anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 .

2. Untuk mengetahui berapa bagian waris anak luar kawin dalam Hukum Islam pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 .

1.5

Manfaat Penelitian

Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dapat dari penulisan hukum ini antara lain:

1. Manfaat teoritis

Dapat menambah wawasan baik penulis sendiri maupun siapa saja yang membacanya sebagai referensi kepustakaan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui tentang pandangan Hukum Islam mengenai bagian waris anak luar kawin.


(24)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah serta memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang kedudukan hukum anak luar kawin sebagai ahli waris dan berapa bagian warisan yang didapat anak luar kawin pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menurut Hukum Islam. Memberikan sumbangan pemikiran dalam memecahkan permasalahan yang ada hubungannnya dengan bagian waris anak luar kawin.

1.6

Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti, perlu kiranya untuk mengetahui pembagian sistematika penulisan hukum ini. Secara keseluruhan, penulisan hukum ini terbagi atas empat bab yang masing-masing terdiri beberapa sub bab sesuai dengan pembahasan dan sustansi penelitiannya. Adapun sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

Bab 1 : Pendahuluan

Dalam bab ini dikemukakan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

Bab 2 : Tinjauan Pustaka

Bab kedua ini membahas mengenai Kerangka Teoritis dan Kerangka Berfikir. Kerangka teoritis yang mendasari penulisan


(25)

ini adalah tinjauan tentang perkawinan, tinjauan tentang anak luar kawin, tinjauan tentang warisan dan tinjauan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010.

Bab 3 : Metode Penelitian

Bab ketiga ini membahas tentang jenis penelitian, sifat penelitian, pendekatan penelitian, jenis dan sumber penelitian, teknik analisis data.

Bab 4 : Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Bab ini merupakan suatu hasil dari penelitian yang dilakukan peneliti mengenai bagian waris anak luar kawin sebagai ahli waris Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 berdasarkan Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam.

Bab 5 : Penutup

Bab ini sebagai bagian aKompilasi Hukum Islamr dari penulisan penelitian mengenai simpulan dan saran sebagai suatu masukan maupun perbaikan dari apa saja yang telah didapatkan selama penelitian

Daftar Pustaka Lampiran


(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Tinjauan tentang Perkawinan

2.1.1 Pengertian Perkawinan

Hukum Islam memberikan pengertian perkawinan yang dalam bahasa Islam disebut pernikahan dengan dua pandangan yaitu yang secara luas maupun yang secara sempit. Pernikahan secara luas sebagai alat pemenuhan kebutuhan emosi dan seksual yang sah dan benar guna memperoleh keturunan yang sah dan sebagai fungsi sosial. Sedangkan pernikahan secara sempit seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dalam Pasal 2 bahwa pernikahan merupakan suatu akad yang sangat kuat atau

mitsaqan galidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pernikahan / perkawinan di langsungkan sebagai tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaadah dan rahmah

(tentram, cinta dan kasih sayang) hal ini sesuai yang tertuang dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam.

Selain dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian dan istilah pernikahan juga terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dimana Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dewasa dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk


(27)

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan / pernikahan barulah ada apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita, dengan demikian perkawinan sama dengan perikatan / Verbindtenis (Hadikusumo, 1990 : 7). Tidak dinamakan perkawinan apabila yang terkait dalam perjanjian itu 2 (dua) orang pria saja ataupun 2 (dua) orang wanita saja, atau dilakukan antara banyak pria dan banyak wanita. Demikian juga tidak merupakan pernikahan apabila sekiranya ikatan lahir batin itu tidak bahagia, atau pernikahan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Peraturan yang digunakan untuk mengatur perkawinan inilah yang menimbulkan pengertian perkawinan (Prodjodikoro, 1974 : 7) .

Perkawinan sendiri merupakan salah satu perintah agama khusunya dalam agama Islam dimana perkawinan harus segera dilaksanakaan oleh orang yang sudah mampu untuk melaksanaakan perkawinan. Hal ini sebagai suatu bentuk pengendalian diri dan menjauhakan kita dari maksiat dan perbuataan-perbuatan zina.

2.1.2 Syarat dan Rukun Perkawinan

Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakaan mempunyai syarat dan rukun masing yang harus dipenuhi ataupun dilaksanakaan guna menjadi sahnya suatu perkawinan. Karena kita berada dalam Negara Hukum yang tidak lepas pula dari unsur agama yang sangat kental. Maka keberadaan hukum di dalam agama masing-masing juga ikut serta dalam peraturan nasional. Termasuk


(28)

dalam peraturan perkawinan dalam Hukum Islam, antara lain mengenai syarat dan rukun perkawinan.

2.1.2.1Syarat sahnya Perkawinan

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Sehingga dapat dikatakan disini syarat materiil perkawinan secara umum diambil dari aturan-aturan agama yang ada di Indonesia, karena masyarakat Indonesia mayoritas agama yang dianut Indonesia ialah Agama Islam tentunya peraturan yang ada dalam Agama Islam memiliki andil besar dalam mempengaruhi penentuan syarat materiil perkawinan dalam Hukum Nasional Indonesia seperti adanya aturan tentang larangan perkawinan, masa tunggu bagi wanita yang bercerai, pembebanan nafkah keluarga, dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, jika sebuah perkawinan tidak memenuhi syarat materil perkawinan baik itu syarat materil yang telah mendapat penegasan dalam undang-undang maupun yang masih hidup dalam aturan agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya, maka terhadap perkawinan tersebut dapat dilakukan pencegahan perkawinan atau dibatalkan jika telah terlaksana.

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 selain menentukan dan mengatur syarat materil perkawinan, juga mengatur syarat formil


(29)

sebagai syarat yang ditentukan dengan tujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan di Indonesia. Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tersebut sebagai bentuk perlindungan yang diberikan Negara untuk ketertiban perkawinan bagi wargannya.

Pelaksanaan perkawinan di Indonesia bukan hanya didasarkan atas prinsip saling menyukai, tetapi ada syarat-syarat materil dan formil perkawinan yang mesti dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka secara legal perkawinan tidak dapat dilaksanakan.

Sah atau tidaknya suatu perkawinan bukan hanya memenuhi rukun serta syarat perkawinan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaannya masing-masing, tetapi perkawinan dikatakan sah jika dicatatkan pada instansi yang berwenang untuk itu. Penguraian Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) apabila dicermati memiliki pengertian yang ambigu. Pertama, dilihat pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan perkawinan sudah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ini berarti bahwa perkawinan antar orang-orang yang beragam Islam sudah sah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya sebagaiman tersebut dianut oleh agamanya (Hasan dan Sumitro, 1997 : 116).

Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) di dalam Hukum Perkawinan Islam pencatatan perkawinan bukanlah rukun perkawinan. Agama Islam mengkatagorikan rukun perkawinan (yang menentukan sah atau tidaknya


(30)

perkawinan) adalah: ijab dan qabul, wali, 2 orang saksi, dan kedua mempelai sebagaimana telah di taqnin dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam. Sehingga dalam hal ini fungsi sebuah Negara yang menjamin penduduknya secara bebas untuk menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya sesuai Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tidak dibenarkan untuk memaksakan sebuah ajaran agama tunduk terhadap aturan hukum nasional.

Mazhab syafi’I menyebutkan bahwa perkawinan sah menurut Islam dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana adanya ijab qabul dan dihadiri oleh dua orang saksi. Sedangkan Mazhab maliki memberikan pendapat bahwa perkawinan harus terlaksana dengan adanya kedua mempelai laki-laki dan perempuan adanya mahar dengan dilakukannya ijab qabul dan harus dihadiri oleh wali nikah karena tanpa wali perkawinannya tidak sah.

Kaitanya tentang sahnya perkawinan sesuai Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam sebutkan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

Perkawinan dapat diuraikan menurut Islam dikatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Untuk ketentuan harus adanya pencatatan, dalam Kompilasi Hukum Islam


(31)

Pasal 5 ayat (1) diterangkan bahwa untuk menjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

Pencatatan tidak membuat perkawinan tersebut menjadi batal atau tidak sah, hanya perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, yang mana kekuatan hukum itu kan menjadi pelindung atas akibat-akibat hukum yang mungkin terjadi atas perkawinan tersebut.

Perkawinan yang tidak dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama hal ini sesuai Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi pengajuan itsbat nikah terbatas pada hal-hal tertentu sesuai tertuang dalam Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam.

Selain itu dalam Hukum Islam sahnya perkawinan harus memenuhi syarat pernikahan sebagai berikut :

2.1.2.1.1 Syarat Umum Perkawinan

Syarat umum suatu pernikahan dikatakan sah apabila perkawinan dilakukan dengan tidak menentang larangan perkawinan yang berbeda agama. Dalam ketentuan Q. II ayat 221, kecuali S. Al Ma’adah ayat (5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan ahli kitab, dan tidak bertentangan dengan QS. An-Nisa’ ayat (22), ayat (23),dan ayat (24).


(32)

2.1.2.1.2 Syarat Khusus Perkawinan

Syarat Khusus adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan. Dimana setiap calon pengantin tersebut harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Kedua mempelai harus beragama Islam, aqil, baligh, sehat jasmani dan rohani

2. Harus ada wali nikah (Mazhab Syafi’i)

3. Harus membayar mahar / mas kawin, dari laki-laki kepada perempuan

4. Harus ada dua orang saksi, Islam, dewasa dan adil 5. Adanya ijab dan qobul.

2.1.2.2Rukun Perkawinan

Rukun pernikahan yang dimaksud ialah segala sesuatu yang ditentukan menurut Hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat pernikahan dilangsungkan. (Murtiningdyah, 2005: 31) Hal ini dapat diartikan apabila

syarat-syarat perkawinannya telah dipenuhi, maka sebelum

melangsungkan perkawinan syarat-syarat untuk sahnya harus ada rukun-rukun yang perlu dipenuhi.

Adapun rukun pernikahan diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam. Pelaksanaan pernikahan harus ada:


(33)

2.1.2.2.1 Calon Suami dan Istri

Calon suami dan calon istri atau dapat juga disebut dengan calon mempelai adalah seorang pria dan seorang wanita yang merupakan hal paling penting sebagai para pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Para calon mempelai harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain :

1. Telah baligh dan memenuhi kecakapan yang sempurna. Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam memberikan ketentuan sebagai berikut untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974yaitu calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus mendapat ijin sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang Perkawinan

Berakal sehat dan tidak mengalami gangguan, baik jasmani maupun rohani, artinya para mempelai harus dapat

mempertanggungjawabkan apa itu perkawinan yang


(34)

2. Tidak karena paksaan, artinya harus didasarkan pada kerelaan kedua belah pihak.

Pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam

menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Persetujuan ini penting agar masing-masing suami dan istri, memasuki gerbang perkawinan dan rumah tangga benar-benar dengan senang hati dan bahagia sehingga dapat melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya secara proposional (Rofiq 2003:74 )

Persetujuan yang dimaksud dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan-tulisan, lisan atau isyarat tetapi juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas sesuai dengan Pasal 16 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW, riwayat dari ibnu Abbas ra “janda lebih berhak atas dirinya dari pada

walinya, dan kepada gadis (perawan) dimintai

persetujuannya, dan persetujuannya jika dimintai,(gadis itu) diam (Riwayat Muslim)”

Sebagai bukti adanya persetujuan antara kedua mempelai, Pegawai Pencatat menanyakan kepada mereka sesuai yang dijelaskan dalam Pasal 17 Kompilasi Hukum Islam .


(35)

2.1.2.2.2 Wali Nikah

Wali nikah dalam perkawinan sangatlah penting dan yang menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Hal ini disampaikan Mazhab Maliki tentang harus adanya wali, karena wali nikah dalam hukum perkawinan Islam merupakan rukun perkawinan (nikah), sehingga nikah tanpa wali adalah tidak sah sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Daruquthni, berbunyi “ Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang lain dan jangan pula menikahkan perempuan akan dirinya sendiri ” dan yang diriwayat HR Ahmad, berbunyi “Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua saksi yang adil.”

Ketentuan mengenai pentingnya wali dalam melangsungkan pekawinan juga lebih dipertegas dengan ketentuan Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, yang di dalamnya disebutkan bahwa Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.”

Kedudukannya yang sangat penting dan menentukan ini maka tidak sembarangan orang dapat menjadi wali nikah. Pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan “bahwa yang bertindak sebagai wali adalah laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yaitu muslim, aqil dan baligh”.


(36)

2.1.2.2.3 Dua Orang Saksi

Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksana akad nikah, karena setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi hal ini sesuai Pasal 24 Kompilasi Hukum Islam. Adanya saksi dalam akad nikah menurut Imam Syafi’i adalah suatu keharusan dalam perkawinan, karena saksi dalam perkawinan sangat diperlukan.

Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalan oleh para keluarga dalam garis keturunan yang lurus keatas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri. Al-Daruqutny meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW bersabda “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali, dan siapa saja wanita yang nikah tanpa wali maka nikahnya batal. Jika dia tidak punya wali, maka penguasa (hakimlah) walinya wanita yang tidak punya wali.”

Saksi terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat dan mendengarkan ijab qabul. Tugasnya dalam perkawinan hanya memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-benar dilakukan oleh pihak-pihak yang berkeinginan dan menyatakan tegas tidaknya


(37)

Dua orang saksi hendaknya laki-laki, tetapi kalau tidak ada, wanitapun diperkenankan hanya berjumlah 4 orang. Dasar hukum perbandingan jumlah itu dilihat dari makna anak kalimat dari Surah (2) Al-Baqarah ayat 228 yang menyatakan :

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari aKompilasi Hukum Islamrat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan hal ini sesuai dengan Pasal 26 Kompilasi Hukum Islam.

Tujuan lain adanya saksi dalam suatu perkawinan sebagai antisipasi yang mungkin akan terjadi dalam kelangsungan suatu


(38)

perkawinan nantinya dimana saksi-saksi perkawinan itu bisa menjadi saksi guna menerangkan perkawinan tersebut.

2.1.2.2.4 Akad Nikah (Ijab Qabul)

Akad nikah / ijab qabul adalah pernyataan sepakat dan pihak calon suami dan pihak istri untuk mengikatkan diri mereka ke dalam tali perkawinan dengan menggunakan sighat akad nikah, yaitu perkataan atau ucapan-ucapan yang diucapkan oleh calon suami dan calon istri yang terdiri atas ijab dan qabul.

Ijab ialah pernyataan penyerahan dari pihak wanita yang biasanya dilakukan oleh wali calon mempelai wanita atau wakilnya dengan maksud bahwa calon mempelai wanita bersedia dinikahkan dengan calon mempelai pria, sedangkan qabul ialah pernyataan penerimaan yang sah atau jawaban pihak calon mempelai pria atas ijab calon mempelai wanita, yang intinya bahwa calon mempelai pria menerima kesediaan calon mempelai wanita menjadi menjadi istrinya yang sah.

Memperhatikan ketentuan Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam, tidak membenarkan pelaksanaan ijab qabul jarak jauh melalui sarana telekomunikasi. Ketika calon mempelai berhalangan, Kompilasi Hukum Islam memilih alternatif dengan seorang kuasa.


(39)

2.2.

Tinjauan tentang Anak Luar Kawin

2.2.1 Pengertian Anak Luar Kawin

Anak merupakan akibat yang timbul dari suatu perkawinan. Kelahiran seorang anak menjadi symbol keturunan bagi sebuah keluarga. Keturunan (afstamming) ada hubungan darah antara anak-anak dan orangtuanya. Undang-undang mengatur tentang anak-anak sah dan anak-anak tidak sah (wettige en on wettige kinderen). Yang teraKompilasi Hukum Islamr ini juga diberi nama anak luar kawin (natuurlijke kinderen) atau diterjemahkan “anak-anak alam” (Kie, 2000 : 18).

Anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Pengertian di luar kawin adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya. (Abdul Manan, 2008: 80)

Anak luar kawin dalam Undang-undang sendiri tidak secara spesifik menyebutkan arti ataupun makna anak luar kawin. Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”.


(40)

Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974tersebut hanya menerangkan tentang hak keperdataan dari anak luar kawin dan tidak menyebutkana bahwa anak luar kawin ini ialah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah atau anak yang dihasilkan / dibenihkan diluar perkawinan yang sah.

Kompilasi Hukum Islam juga hanya menyebutkan tentang nasab dari anak luar kawin seperti yang tertera dalam Pasal 100 yang menyebutkan “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya ”

Beberapa ulama berpendapat mengenai anak luar kawin, Syafi`iy dan Malik berpendapat “bahwa anak di lahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah maka tidak bisa dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibunya, juga tidak menjadi mahram dan dengan demikian dia bisa dinikahi ayah tersebut”. Ali bin Abi Thalib menyebutkan “masa mengandung dan menyusui bayi adalah 30 bulan seperti yang tertera di dalam surat Al- Ahqaaf ayat 15, lalu dikaitkan dengan surat al-Baqarah ayat 233 bahwa masa menyusui adalah 2 tahun, ini artinya masa mengandung paling pendek 6 bulan dan masa menyusui paling panjang 2 tahun. ( Tafsir Al-Alusi, Surat al Ahqaaf ayat 15)” (http://www.muslimat-nu.or.id/index.php)

Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama, dapat dipahami bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah menurut syara’.


(41)

Ulama telah sepakat bahwa seorang tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak sah, kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu enam bulan setelah akad perkawinan, sebab menurut mereka tenggang waktu yang sependek-pendeknya yang harus ada antara kelahiran anak dengan perkawinan itu adalah enam bulan. Hal ini dapat diartikan jika ada anak yang lahir tidak mencapai enam bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah. (Ishaq, 2008 : 88)

2.2.2 Kedudukan Anak Luar Kawin

Keberadaan anak luar kawin menjadi fenomena tersendiri saat ini, karena keberadaan anak tersebut semakin banyak terjadi. Tidak bisa dipungkiri kelak ini akan menjadi masalah yang sangat besar apabila pemerintah maupun masyarakat sendiri tidak segera mengatasinya. Kemajuan gaya hiduplah yang membuat anak luar kawin menjadi berkembang. Gaya hidup kita yang selalu mengarah kebarat-baratan membuat pola hidup yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi sesuai norma – norma hukum dan agama yang ada. Para muda-mudi yang melakukan seks bebas tanpa peduli pada akibat yang timbul atas perbuatanya tersebut. Kelak yang dirugikan dengan adanya seks bebas adalah perempuan dan apabila seks bebas itu menimbulkan anak maka anak tersebut akan merasa dirugikan atas perbuatan kedua orang tuanya, kemudian anak tersebut akan merasa binggung dengan kedudukannya kelak.


(42)

Sebagai penduduk Indonesia yang menganut norma-norma pancasila tentunya harus tunduk dengan aturan-aturan yang ada, namun karena penduduk Indonesia mayoritas memeluk Agama Islam tentunya norma-norma dan aturan-aturan yang ada dalam Hukum Islam tidak bisa diabaikan karena tanpa dipungkiri ini sangat berdampak besar dalam menjalankan norma-norma yang ada agar sesuai dengan kaidah yang baik.

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menggolongkan kedudukan anak menjadi dua yaitu anak sah dan anak luar kawin. Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menyebutkan anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak sah menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang diterangkan “Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut (Abdurahman, 1995 : 137).

Kedudukan anak luar kawin menjadi sangat ironis ketika kesalahan atas adanya anak luar kawin hanya ditunjukan pada sang ibu. Karena bagaimanapun lahirnya seorang anak tidak hanya berperan pada sang ibu, seorang ayah sangat berperan dalam hal ini. Sehingga anak luar kawin ialah anak yang dihasilkan dari hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya. (Manan, 2008: 80)


(43)

Anak luar kawin sering kali mendapat pandangan buruk dan cacian dari masyarakat dengan sebutan anak haram. Kondisi inilah yang memeberikan sebuah ketidakadilan bagi seorang anak, disamping itu seorang anak seolah-olah ikut menanggung dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Hal ini tidak sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang berbunyi “setiap anak dilahirkan dalam ke adaan fitrah (sesuai dengan asal kejadian bersih tanpa dosa)”.

Kedudukan anak luar kawin baik di dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum Islam berkedudukan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya. Menurut Abu Hanifah, anak mempunyai hubungan darah dengan laki-laki yang tidur seranjang dengan ibu anak. Bila dilahirkan di luar perkawinan maka menurut Abu hanifah anak tersebut meski tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, ia tetap menjadi mahram (haram dinikahi) oleh ayah biologisnya sama dengan mahram melalui perkawinan.( Al-Qurthubi, Bidayah al--Mujtahid, juz 2 hal. 34).”

Kekuasaan orang tua terhadap anak erat kaitanya dengan bagaimana kedudukan anak tersebut atas orang tuanya. Kekuasaan orang tua ini kelak yang akan menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak. Hak dan kewajiban yang dimiliki oleh anak luar kawin hanya terbatas pada ibu dan keluarga ibunya saja.

Anak luar kawin yang diingkari keberadaanya oleh ayah biologisnya, dengan kekuasaan sang ibu juga dapat membuktikan bahwa asal usul si anak


(44)

dengan akta kelahiran seperti yang tercantum dalam Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam “(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.(2) Bila akta kelahiram alat buktilainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah. (3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.”

Proses pengingkaran anak luar kawin yang dilakukan ayah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan seperti yang terdapat Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam “(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. (2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.”

Ayah biologis dapat mengakui anak luar kawin sebagai anaknya sehingga mempunyai hak dan kewajiban terhadap anak luar kawin atas persetujuan sang ibu. Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 menyebutkan anak luar kawin ialah anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki


(45)

sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lainya menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya

Guna kepengurusan pengakuan anak luar kawin pemerintah menunjuk Kantor Catatan Sipil sebagai instansi pemerintah yang berwenang, sesuai dengan tugas dan fungsi Kantor Catatan Sipil. Adapun yang dimaksud dengan Catatan Sipil adalah suatu catatan yang menyangkut kedudukan hukum seseorang. Bahwa untuk dapat dijadikan dasar kepastian hukum seseorang maka data atau catatan peristiwa penting seseorang, seperti : perkawinan, perceraian, kelahiran, kematian, pengakuan anak dan pengesahan anak, perlu didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil. Kantor Catatan Sipil adalah suatu lembaga resmi pemerintah yang menangani hal-hal yang berhubungan dengan percatatan sipil, Kantor Catatan Sipil yang sengaja diadakan oleh pemerintah dan bertugas untuk mencatat, mendaftarkan serta membukukan selengkap mungkin setiap peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang.

2.2.3 Status Anak Luar Kawin

Mengenai status anak luar kawin, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spiritual adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz V:357). Pemerintah melalui


(46)

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga menjelaskan bahwa status anak luar kawin hanya berhubungan dengan sang ibu namun tidak dipungkiri keberadaan sang ayah biologis apabila dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang lain.

Setelah uraian mengenai pengertian serta kedudukan anak luar kawin diatas, didapatkan beberapa kesimpulan tentang anak luar kawin, dimana Aniisatul Murtasyidah menyebutkan bahwa anak luar kawin tergolong atas 2 (dua) yaitu Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah dan Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar perkawinan yang sah .( Murtasyidah 2012:20) .

1. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah.

Menurut Imam Malik dan imam Syafi’i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya.

Berbeda dengan pendapat itu, menurut Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah (M. Ali Hasan, 1997 : 81). Perbedaan pendapat ini disebabkan karena terjadinya perbedaan ulama dalam mengartikan lafaz fiarsy, dalam hadist nabi : “anak itu bagi pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukum rajam”. Mayoritas ulama mengartikan lafadz


(47)

firasy menunjukkan kepada perempuan, yang diambilkan ibarat dari tingkah iftirasy (duduk berlutut). Namun ada juga ulama yang mengartikan kepada laki-laki (bapak) ( Jalaluddin Mahalli, al-Qulyuby wa Umarah, , Juz III : 31).

2. Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah.

Status anak diluar kawin dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak li’an. Terhadap anak zina tentunya tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memeberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum.

Dalam hal mewarisi anak zina tidak dapat mewarisi harta warisan suami dari sang ibu, anak tersebut hanya dapat mewarisi dari sang ayah karena ini berhubungan nasab dengan sang ayah kandungnya. Apabila anak luar kawin itu perempuan maka bapak

biologisnya tidak mempunyai hak untuk menjadi wali

diperkawinannya. (Amir Syarifuddin, 2002 : 195).

Namun berdasarkan pembahasaan yang sebelumnya telah dibahas tentang anak luar kawin, penulis juga merasa perlu adanya satu golongan tentang anak luar kawin yaitu


(48)

1. Anak yang dibuahi dan dilahirkan dalam perkawinan yang sah namun tidak dicatatkan dalam Pegawai Pencatat Nikah atau biasanya disebut Nikah Sirri.

Karena dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974maupun Kompilasi Hukum Islam mengisyaratkan bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah agar terjamin ketertiban perkawinan dan agar mendapatkan perlindungan hukum terhadap perkawinan tersebut. Namun dalam peratauran tidak dijelaskan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan dalam PPN merupakan perkawinan yang tidak sah. Sehingga disini pencatatan nikah hanya sebagai syarat administratif yang hendaknya harus dilaksanakan.

Dalam Islam tidak mengenal Nikah Sirri, karena setiap perkawinan itu sah apabila dilakukan sesuai dengan syarat-syarat dan rukun perkawinan sesuai dengan ajaran dan kaidah-kaidah norma agama Islam. Apabila perkawinan yang dilakukan itu sah menrut agama tentunya anak yang lahir dalam perkawinan itu sah. Sehingga ukewajiban orang tua kepada anak hendaknya terpenuhi dengan sendirinya. Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 233 :


(49)

“Para ibu menyususi anaknya dua tahun secara

sempurna, bagi yang menginginkan untuk

menyempurnakan masa menyusui, dan bagi yang memiliki anak (ayah) wajib untuk menafkahi isteri mereka dan memberikan pakaian secara baik (Q.S. Al-Baqarah ayat [233])”

Didasarkan Indonesia merupakan negara hukum dengan begitu banyak agama dan norma-norma yang ada tentunya akan merasa sulit apabila terjadi perbedaan dalam suatu hal, oleh karena itunya dikeluarkanlah undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Perkawinan yang tidak dicatatkan tidak mempunyai kekuatan hukum maka anak yang timbul atas perkawinan tersebut juga tidak mendapatkan kekuatan hukum dari kedua orang tuanya.

Kekuatan hukum ini menimbulkan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Karena tidak berkekuatan hukum maka hak dan kewajiban orang tua dan anak yang semestinya timbul menjadi hilang. Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974menjelaskan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai keperdatan dengan ibunya. Hak dan kewajiban yang harusnya ada antara orang tua dan anak terbatas pada anak dan ibunya saja.

2.3.

Tinjauan tentang Hukum Waris

2.3.1 Pengertian Hukum Waris Islam

Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan


(50)

siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Hukum Kewarisan Islam disebut juga hukum fara’id, jamak dari kata

farida, erat sekali hubungannya dengan kata fard yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan. Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya bersumber pada beberapa ayat dari firman Allah SWT dalam Al Qur’an terutama surat An-Nisa’ (4) ayat 11, 12, 176 dan sunnah Nabi (Ali, 2004:313).

An-Nisa’ (4) ayat (11)

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka


(51)

ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu

mempunyai beberapa saudara, maka ibunya

mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian

tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

An-Nisa’ (4) ayat (12)

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya .Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika

kamu mempunyai anak, maka para isteri


(52)

tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan

yang tidak meninggalkan ayah dan tidak

meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.

An-Nisa’ (4) ayat (176)

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang

kalalah)387. Katakanlah : "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan

mempunyai saudara perempuan, maka bagi

saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu


(53)

tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Salah satu sabda Nabi dalam Hadis riwayat Muttafaq ‘alaih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Nabi SAW bersabda: Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya)” (Rofiq, 2003: 380)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban serta tata cara pembagian harta peninggalan dari seseorang yang sudah meninggal (Pewaris) kepada para keluarga dan kerabat-kerabatnya yang ditinggalkan (ahli waris).

2.3.2 Syarat-syarat Pewarisan

Terdapat tiga komponen yang sangat pokok dalam melakukan system pewarisan, dimana tanpa adanya tiga komponen tersebut sistem pewarisan tidak dapat terjadi. Tiga Komponen tersebut ialah :

2.3.2.1Pewaris

Pada Pasal 171 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam, menyebutkan Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan

meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam,

meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Pewarisan tidak dapat terlaksana tanpa adanya pewaris.

Tidak semua orang dapat dikatkan sebagai pewaris salah satu yang penting ialah seorang dikatakan pewaris apabila sudah meninggal. Selain


(54)

disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syarat-syarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.

2.3.2.2Ahli Waris

Pasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam, Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Ahli waris dalam Hukum Islam dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan

karena adanya hubungan darah

2. Ahli waris sababiyah yaitu ahli waris yang mendapat warisan karena adanya suatu sebab yaitu perkawinan yang sah dan atau karena memerdekakan hamba (hamba sahaya) (Rofiq, 2003: 383).

Dilihat dari bagian yang diterima atau haknya ahli waris dibedakan menjadi tiga yaitu :

1. Ahli waris Ashab al-farud yaitu ahli waris yang telah ditentukan bagian-bagiannya. Misalkan 12, 13 dan lain-lainya. 2. Ahli waris Ashab al-usubah yaitu ahli waris yang ketentuan

bagiannya adalah menerima sisa setelah diberikan kepada ashab al-farud, seperti anak laki-laki, ayah, paman dan lain sebagainya.


(55)

3. Ahli waris Zawi al – arham yaitu orang yang sebenarnya mempunyai hubungan darah dengan pewaris, namun karena dalam ketentuan nas tidak diberi bagian, maka mereka tidak berhak menerima. Kecuali ahli waris tersebut termasuk golongan Ahli waris ashab al-farud dan Ahli waris ashab al-usubah.

Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan ahli waris terdiri dari beberapa kelompok sebagai berikut :

1. Menurut hubungan darah yakni golongan laki-laki yang terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek dan golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.

2. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Berdasarkan Pasal 174, 181, 182 dan 185 Kompilasi Hukum Islam ,golongan-golongan ahli waris yang telah disebutkan diatas tersebut terdiri atas:

1. Ahli waris laki, ialah ayah, anak laki, saudara laki-laki, paman, kakek dan suami.

2. Ahli waris perempuan, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, nenek dan isteri.


(56)

3. Ahli waris yang dimungkinkan sebagai ahli waris pengganti adalah seperti cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki atau perempuan.

4. Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris sesuai Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum tetap dikarenakan :

1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.

2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

2.3.2.3Harta Peninggalan

Menurut Pasal 171 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam, harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.

Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada Pasal 171 huruf (e) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.


(57)

1. Benda dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan, dimaksudkan ialah benda tersebut dapat berwujud ataupu tidak dan dapat bergerak mauun tidak bergerak.

2. Hak-hak kebendaan ialah hak yang dapat dimiliki terhadap benda tersebut.

3. Hak-hak yang bukan kebendaan, misalkan hak tetangga.

Pada aturan umum dalam Pada Bab 1 butir (d) dan (e) Kompilasi Hukum Islam membedakan antara harta peninggalan dengan harta warisan menyebutkan:

“Harta Peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh seorang pewaris baik yang berupa harta benda

yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.

Sedangkan Harta Warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meningganya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran uang dan pemberian untuk kerabat.”

2.3.3 Asas-asas Pewarisan

Dalm pembangian waris terdapat beberapa asas-asas yang ikut mendukung keberadaannya yaitu :

2.3.3.1Asas Ijbari

Yang dimaksudkan dalam asas ini ialah peralihan harta sesorang yang meninggal dunia kepada ahli warinya berlaku dengan sendirinya tanpa menurut kehendak pewaris ataupun ahli waris (Muhibbin, 2009:23 ).

Asas ini mengatur mengenai cara peralihan harta warisan, juga disebut dalam Pasal 187 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan


(58)

bahwa sisa dari pengeluaran yang dimaksud adalah merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris yang berhak.

Ketentuan asas ini sesuai dengan surat An.Nissa ayat 7 yang menyatakan sebagai berikut :

Bagi orang laki-laki ada hak bagian harta peninggalan ibu bapak dan kerabat, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) harta peninggalan ibu bapak dan kerabat, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang ditetapkan”

2.3.3.2Asas Bilateral

Asas Bilateral ialah bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki (Suhrawardi K. Lubis, 2004:60)

2.3.3.3Asas Individual

Setiap ahli waris berhak mendapatkan bagian yang semestinya ia dapatkan tanpa terikat terhadap ahli waris yang lain. (Suhrawardi K. Lubis, 2004:60)

2.3.3.4Asas Keadilan Berimbang

Yang dimaksudkan dalam asas ini ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan yang akan diperlukan dan digunakan. (Suhrawardi K. Lubis, 2004:61)


(59)

2.3.3.5Asas Kewarisan Semata Karena Kematian

Asas ini menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia tercermin dalam rumusan berbagai istilah yaitu hukum kewarisan, pewaris, ahli waris dan harta peninggalan dalam Pasal 171 pada bab ketentuan umum (Ali, 2004: 322).

Tanpa adanya kematian pembagian warisan tidak akan terjadi, walaupun ketika ia hidup dapat memanfaatkan hartanya utuk dapat dibagikan kepada kerabat yang lain. Namun dalam hukum kewarisan Islam antara wasiat dengan kewarisan diuraikan secara terpisah

2.3.4 Bagian-bagian Waris dalam Hukum Islam

Harta peninggalan sebagai harta waris terlebih dahulu harus diselesaikan masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya pemakaman serta wasiat yang dibolehkan (bila ada). Disamping itu bila si mayit meninggalkan istri (janda) atau suami (duda) dan masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta bawaan dan harta bersama

Kerabat yang tidak memperoleh bagian waris dapat memperoleh bagian sebagai hibah (ketika pewaris masih hidup) atau sebagai wasiat wajibah, atau diberi bagian yang tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan sesuai ketentuan Pasal 194 s/d 214 Kompilasi Hukum Islam. Ketika adanya sengketa dalam pembagian waris dapat bersepakat melakukan perdamaian. Pembagian warisannya sesuai dengan tabel yang akan digambarkan sebagai berikut :


(60)

Tabel 1

Bagian-bagian Warisan Ahli Waris dalam Hukum Islam


(61)

2.4.

Tinjauan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi

No.46/PUU-VIII/2010

2.4.1 Kedudukan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan Judicial Review

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga, pertama kali diperkenalkan oleh Hans Kelsen (1881-1973), pakar konstitusi dan guru besar Hukum Publik dan Administrasi University of Vienna. Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah

suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak

memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional. Untuk kepentingan itu, kata Kelsen, perlu dibentuk organ pengadilan khusus berupa constitutional court, atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa. Pemikiran Kelsen mendorong Verfassungsgerichtshoft di Austria yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. (Gaffar,2009:4)

Janedjri M. Gaffar didalam malakahny yang ditulis di Surakarta pada tanggal 17 Oktober 2009 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, pembentukan Mahkamah Konstitusi didorong dan dipengaruhi oleh kondisi faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum.


(62)

Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi.

Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga, kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata.

Untuk itu, disepakati perlunya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannyan. Salah satu wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi sesuai yang dijelaksan sebelumnya ialah


(63)

melakukan Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar hal tersebut berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pengujian Undang-undang, diatur dalam Bagian Kesembilan Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 UU Nomor 24 Tahun 2003. Undang-undang disini adalah produk politik biasanya merupakan kristalisasi kepentingan-kepentingan politik para pembuatnya. Sebagai produk politik, isinya mungkin saja mengandung kepentingan yang tidak sejalan atau melanggar konstitusi. Sesuai prinsip hierarki hukum, tidak boleh isi suatu peraturan undang-undang yang lebih rendah bertentangan atau tidak mengacu pada peraturan di atasnya.

Pengujian suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah Judicial review. Jika undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu dibatalkan Mahkamah Konsitusi. Melalui kewenangan Judicial review, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.

2.4.2 Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010

Putusan No.46/PUU-VIII/2010 ini sebagai hasil dari Judicial review

Pasal 2 ayat (2)dan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica Bin H.


(64)

Mochtar Ibrahim dan anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono terhadap Moerdiono dimana Moerdiono sebagai seorang suami yang telah beristri menikah kembali dengan istrinya yang kedua bernama Hj. Aisyah Mokhtar secara syari’at Islam dengan tanpa dicatatkan dalam register Akta Nikah, oleh karena itu ia tidak memiliki Buku Kutipan Akta Nikah, dan dari perkawinan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad Iqbal Ramdhan Bin Moerdiono.

Dasar adanya Judicial review ini ialah pihak dari pemohon merasa hak-hak konstitusinya sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan, karena status perkawinannya menjadi tidak sah, demikian juga terhadap anak yang dilahirkannya menjadi tidak sah. Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undung Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Perkawinan yang tidak sah berakibat hilangnya status perkawinan antara Moerdiono dengan Hj. Aisyah serta status Muhammad Iqbal Ramdhan sebagai anak Moerdiono. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan “ perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu”

Pada Pasal 2 ayat (2) menyatakan “tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 43 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan


(65)

hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Undang- Undang Dasar RI 1945 Pasal 28 B ayat (1) yang menyatakan “setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.

Pasal 28 B ayat (2) menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan Pasal 28 D ayat (1) yang menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Atas permohonan Hj. Aisyah serta status Muhammad Iqbal Ramdhan tersebut Mahkamah Konstitusi berpendapat mengenai ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan bahwa sesuai penjelasan umum angka 4 huruf ( b) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 , Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa pencatatan perkawinan bukan faktor yang menentukan sahnya perkawinan, pencatatan merupakan kewajiban administrasi yang diwajibkan berdasarkan perundang-undangan. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak bertentangan dengan konstitusi.

Mahkamah Konstitusi juga berpendapat mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang dikonklusikan dengan anak yang tidak sah.


(66)

Menurut Mahkamah Konstitusi secara alamiah tidak mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dengan sperma baik melalui hubungan seksual maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.

Maka dari itu tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebutlah sebagai ibunya karena tidak tepat dan tidak adil pula apabila laki-laki yang membuahi sang anak dibebaskan dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah.

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 ini mengubah Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, dimana Pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.


(1)

Salman, H.R. Otje dan Mustofa Haffas. 2006. Hukum Waris Islam. Bandung: PT Refika Aditama

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif .Yogyakarta; Graha Ilmu;

Wiranto,D.Y. 2012. Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan. Jakarta: Prestasi Pustaka.

---2005. Curah Gagasan (Pengantar Penulisan Karya Ilmiah) Semarang: Rumah Indonesia Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNNES.

Dari Peraturan dan Undang-Undang :

Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

SEMA No 7 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 03 S/D 05 Mei 2012.

SEMA Pengadilan Tinggi Agama No W11-A/863/HK.00.8/III/2012 tertanggal 19 Maret 2012.

Fatwa MUI No 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya.


(2)

Keputusan Komis B Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Tahun 2006 Tentang Masail Waqi'iyyah Mu'asyirah dimana disebutkan Nikah Di Bawah Tangan

Dari Jurnal :

Konstitusi, Mahkamah. 2012. Majalah Konstitusi Edisi 61. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

Risalah sidang putusan perkara NO 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Febuari 2012.

Artikel Dari Diskusi Putusan MK Soal Anak Nikah oleh Pengurus Wilayah Lembaga Bahtsul Masail NU Sumatra Barat Di Aula PWNU Sumbar 9 Mei 2012.

Makalah Nasab Anak Diluar Perkawinan Pasca Putusan MK oleh Drs. H Syamsul Anwar.S.H.,M.H (ketua pengadilan agama kelas 1a majalengka) DRS. Isak Munawar, M.H. Hakim pada Pengadilan Agama Kelas I A Majalengka.Tahun 2012.

Artikel Mencari Alternatif Hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010 oleh Asep Ridwan H, SHI, M.Ag tahun 2012

Makalah Bahan Diskusi Hukum hakim PTA Ambon dan PA Ambon Bersama Pejabat Kepanitreaan pada tangal 16 Maret 2012 di Auditorium PTA tentang Diskusi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-IIIV/2010 Tanggal 27 Februari 2012 Tentang Perubahan Pasal 43 UUP, oleh A. Mukti Arto Hakim Tinggi/WKPTA Ambon.

Makalah dengan Judul Anak Lahir Diluar Nikah (Secara Hukum) Berbeda Dengan Anak Hasil Zina Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO. 46/PUU-VII/202.Yang disampaikan pada Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, pada tanggal 10 April 2012, di IAIN Walisongo Semarang. Disampaikan Oleh Chatib Rasyid. Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang.


(3)

Makalah berjudul Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan, Status Anak dan Status Harta Perkawinan Yang disampaikan oleh Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H. Guru Besar Fakultas Syari’ah, IAIN “SMHB”, Fakultas Hukum UNTIRTA dan Fakultas Hukum UNMA Banten., dalam acara “Penelitian dan Pengkajian Aspek Hukum Itsbat Nikah” yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 14-16 Mei 2012, bertempat di Hotel Le Dian Serang, Banten.

Artikel berjudul Nasab Anak Luar Nikah perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Nasional yang ditulis oleh Jumni Nelli, M.Ag, Dosen Tetap Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN Suska.

Makalah berjudul Anak Lahir Di Luar Perkawinan Pasca Putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 yang disampaika oleh Chatib Rasyid Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang. Disampaikan pada Seminar Nasional Dengan Topik “ Kebijakan Pemerintah Jawa Tengah Terhadap Fenomena Bersama Perkawinan Di luar Undang-undang Perkawinan Di Indonesia “ Tanggal 30 April 2012, yang diselenggarakan oleh Badan Kerjasa Organisasi Wanita (BKOW) Propinsi Jawa Tengah.

Majalah Lensa Kasus Kontrversi Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK edisi Mei 2012.

Muh Rasyid Ridha .2009, Studi Komparasi Warisan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Anisatul Murtasyidah 2012. Tentang Kedudukan Hukum Ayah Biologis Sebagai Wali Nikah Terhadap Anak Yang Lahir Sebelum Enam Bulan Sejak Perkawinan (Kajian Komparasi Antara Hukum Perkawinan Nasional Dengan Fiqh Islam). Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang.

Dari Internet:

http://badilag.net/artikel/10609-nasab-anak-di-luar-perkawinan-paska-putusan- mahkamah-konstitusi--drs-h-syamsul-anwar-sh-mh-dan-drs-isak-munawar-mh164.hmtl&sa=U&ei=eUTUZ6lII7jkgWo9YCoDA&ved=0CAkQFjAB&c lient=internal-uds-cse&usg=AFQjCNGwfIcptnaDVIH52Y9kCRMc44Nx-Q


(4)

http://badilag.net/data/ARTIKEL/MAKALAH2MAKNA%2520ANAK.pdf&sa= U&ei=eUTUZ6lII7jkgWo9YCoDA&ved=0CA4QFjAD&client=internaluds cse&usg=AFQjCNGDptOQyVCPmSZ2_M6LGIS94HwuDQ

http://www.akilmochtar.com/?s=Ulama+Pecah+Jadi+Dua+Pasca+MK+Mengabul kan+Uji+Materi+UU+Perkawinan

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/02/29/178749/Putus

an-MK-Angin-Segar-Perlindungan-Anak-Indonesia.

http://politik.kompasiana.com/2012/08/18/suryadharma-ali-bahas-kasus-machica-mochtar-dengan-para-ulama-486418.html

http://hukum.kompasiana.com/2012/02/19/status-hukum-anak-diluar-nikah/

http://hukum.kompasiana.com/2012/02/20/mahkamahkonstitusikabulkanujimateri -anak-di-luar-nikah-436884.html

http://hukum.kompasiana.com/2012/05/25/pro-kontra-anak-luar-kawin-paska-putusan-mk-459941.html

http://news.detik.com/read/2012/02/20/085328/1846287/103/pengakuan-hak-keperdataan-anak-luar-kawin

http://news.detik.com/read/2012/03/28/162308/1879155/10/soal-putusan-status-anak-di-luar-nikah-ketua-mk-nilai-mui-tak-paham

http://sosbud.kompasiana.com/2012/02/17/horeeeee-orang-indonesia-boleh-punya-anak-di-luar-nikah-439838.html

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f632f5e9f2fa/inidiafatwamuitentang-anak-hasil-zina

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f633ebb2ec36/pro-kontra-status-anak-luar-kawin


(5)

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f7475cd1eb4d/putusanmktakbermanf aat-untuk-anak-luar-kawin

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f573e2151497/putusan-mk-semata-lindungi-anak-luar-kawin

http://irmadevita.com/2011/bagaimana-agar-anak-yang-lahir-dari-perkawinan-siri-bisa-mendapatkan-warisan-dari-ayah-kandungnyah

http://firman.ngetik.com/2012/05/prokontrastatusanakluarkawin.html

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f4629da0424c/putusanmkbikinrepotp embagianwaris

http://www.negarahukum.com/hukum/perkawinansiridananakluarkawin.html

http://www.negarahukum.com/hukum/eksistensianakpascaputusanmahkamahkons titusidalamjudicialreviewpasal43ayat1uuno1tahun1974tentangperkawinan.ht ml

http://www.fiqhislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=489 81:muiajakormasislamtolakputusanmk&catid=70:islamindonesia&Itemid=3 58

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f79272c66780/implementasiketentua n-anak-luar-kawin-dalam-uu-perkawinan-pasca-putusan-mk

http://www.jurnas.com/halaman/5/2012-03-30/204029

http://www.voaislam.com/news/indonesiana/2012/03/21/18304/miumidukungsika pmuidanminta-putusan-mk-soal-anak-zina-dianulir/


(6)

http://www.tempo.co/read/news/2012/02/20/063385270/MKTolakDisebutLegalka n-Perselingkuhan

http://www.suara-islam.com/read4334-Ketua-Mahkamah-Konstitusi-Lecehkan-MUI.html

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,37852-lang,id-c,nasionalt,Putusan+MK+Soal+Anak+Luar+Nikah+Munculkan+Pemahama n+Beragam-.phpx

http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=199:peri hal-kontroversi-nikah-sirri-&catid=47:materi-konsultasi&Itemid=66