REKONSTRUKSI BAHAN AJAR IPA TERPADU PADA TEMA LEMARI PENDINGIN BERBASIS LITERASI SAINS.

(1)

REKONSTRUKSI BAHAN AJAR IPA TERPADU

PADA TEMA LEMARI PENDINGIN

BERBASIS LITERASI SAINS

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi IPA

Oleh

EFIK FIRMANSAH 1204737

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN ALAM SEKOLAH PASCA SARJANA


(2)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:

Pembimbing I

Dr. Ida Hamidah, M.Si 196809261993032002

Pembimbing II

Dr. Dadi Rusdiana, M.Si 196810151994031002

Mengetahui

Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan IPA

Prof. Dr. Anna Permanasari, M.Si 195807121983032002


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “REKONSTRUKSI BAHAN AJAR IPATERPADU PADA TEMA LEMARI PENDINGIN BERBASIS LITERASI SAINS” beserta isinya adalah benar-benar karya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku di masyarakat keilmuan. Atas pernyataan tersebut saya siap menanggung resiko yang dijatuhkan kepada saya apabila dikemudidan hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini.

Bandung

Yang membuat pernyataan


(4)

(5)

Halaman

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1. Tujuan Penelitian ... 8

2. Manfaat Penelitian ... 8

D. Definisi Operasional ... 9

BAB II REKONSTRUKSI BAHAN AJAR IPA TERPADU PADA TEMA LEMARI PENDINGIN BERBASIS LITERASI SAINS A. Bahan Ajar IPA Terpadu ... 10

1. IPA Terpadu ... 11

2. Rekonstruksi Bahan Ajar ... 14

B. Literasi Sains ... 16

1. Konteks Sains ... 18

2. Kompetensi Sains ... 19

3. Pengetahuan Sains ... 20

4. Sikap Sains ... 21

C. Hasil Belajar ... 22

D. Lemari Pendingin ... 23

1. Bagaimana Suhu Dingin Mengawetkan Makanan dan Terjadinya Pendinginan ... 23

2. Cara Kerja dan Bagian-Bagian Lemari Pendingin ... 26

3. Masalah Yang Ditimbulkan Lemari Pendingin Terhadap Atmosfer ... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 35

1. Model Pengembangan ... 35

2. Prosedur Pengembangan ... 37


(6)

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

B. Alur Penelitian ... 40

C. Instrumen Penelitian ... 42

D. Prosedur Pengumpulan Data ... 43

1. Data Untuk Studi Pendahuluan ... 43

2. Data Tentang Validitas Bahan Ajar ... 45

3. Analisis Soal Literasi Sains ... 47

4. Data Kemampuan Literasi Sains Siswa ... 53

5. Data Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA Terpadu Yang Dikembangkan ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Studi Pendahuluan Untuk Mengidentifikasi Permasalahan IPA ... 55 B. Penyusunan Bahan Ajar ... 56

C. Validasi Bahan Ajar ... 64

1. Penilaian Oleh Dosen Ahli ... 64

2. Penilaian Oleh Guru IPA ... 65

3. Nilai CVI ... 70

D. Ujicoba Produk Untuk Mengukur Kemampuan Literasi Sains 71 E. Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Tema Lemari Pendingin Berbasis Literasi Sains ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77


(7)

Tabel 2.1. Konteks Literasi Sains ... 18

Tabel 2.2. Kompetensi Sains ... 20

Tabel 2.3. Pengetahuan Sains ... 20

Tabel 2.4. Sikap Ilmiah ... 21

Tabel 2.5. Titik Lebur, Kalor Lebur, Titik Didih, Kalor Uap, dan Kalor Jenis Berbagai Benda Pada Tekanan 1 Atmosfer. ... 25 Tabel 2.6. Beberapa Sifat Fisis Refrigeran. ... 31

Tabel 2.7. Parameter Lingkungan Beberapa Refrigeran. ... 34

Tabel 3.1. Penskoran Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA . ... 44

Tabel 3.2. Kategori Presentase Tanggapan Siswa Tentang Bahan Ajar IPA yang Biasa Digunakan. ... 45

Tabel. 3.3. Penskoran Tanggapan Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Biasanya Diajarkan. ... 45 Tabel 3.4. Kategori Presentase Tanggapan Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Diajarkan. ... 45 Tabel 3.5. Penskoran Tanggapan Validator. ... 46

Tabel 3.6. Nilai Minimum CVR (Test satu ekor. p = 0,05). ... 47

Tabel 3.7. Interpretasi Reliabilitas. ... 50

Tabel 3.8. Kriteria Daya Pembeda. ... 51

Tabel 3.9. Kriteria Tingkat Kesukaran. ... 52

Tabel 3.10. Kriteria Nilai N-Gain. ... 54

Tabel 4.1. Konsep Dasar dalam Tema Teknologi Lemari Pendingin. ... 56

Tabel 4.2. Koreksi dan Saran Dosen Ahli Lemari Pendingin Terhadap Bahan Ajar. ... 64 Tabel 4.3. Nilai CVR Bahan Ajar IPA terpadu Pada Aspek Materi. ... 65

Tabel 4.4. Nilai CVR Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek Penyajian. .. 67

Tabel 4.5. Nilai CVR Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek Bahasa dan Keterbacaan. ... 69

Tabel 4.6. Nilai CVI Pada Setiap Aspek Penilaian Bahan Ajar ... 71

Tabel 4.7. Hasil Pretes dan Postes ... 72

Tabel 4.8. Persentase Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA Terpadu ... 73

Tabel L1. Rekapitulasi Tanggapan Siswa Tentang Bahan Ajar Yang Konvensional ... 171

Tabel L2. Persentase Persetujuan dan Interpretasi Setiap Item Pernyataan ... 172

Tabel L3. Rekapitulasi Pendapat Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Diajarkan ... 172

Tabel L4. Persentase Persetujuan dan Interpretasi Setiap Item Pernyataan. ... 173


(8)

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Tabel L6. Penilaian Dosen Terhadap Bahan Ajar Pada Aspek Penyajian. 174 Tabel L7. Penilaian Dosen Terhadap Bahan Ajar Pada Aspek Bahasa

dan Keterbacaan ... 174 Tabel L8. Analisis Validasi Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek Materi

Berdasarkan nilai CVR ... 174 Tabel L9. Analisis Validasi Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek

Penyajian Berdasarkan nilai CVR ... 176 Tabel L10. Analisis Validasi Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek

Bahasa dan Keterbacaan Berdasarkan nilai CVR ... 177 Tabel L11. Rekapitulasi Judgemen Soal ... 178 Tabel L12. Rekapitulasi Skor Postes Siswa ... 179 Tabel L13. Perhitungan Validitas Kriteria (Dibandingkan Terhadap Nilai

UTS) dan Reliabilitas Internal ... 181 Tabel L14. Rekapitulasi Skor Postes Kelompok Atas dan Kelompok

Bawah ... 183 Tabel L15. Perhitungan Nilai Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran

Butir Soal ... 184 Tabel L16. Skor Pretes dan Skor Postes ... 186 Tabel L17. Rekapitulasi Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA

Terpadu ... 187 Tabel L18. Persentase Persetujuan dan Interpretasi Tanggapan Siswa


(9)

Gambar 2.1. Alur penyusunan pembelajarn terpadu ... 14 Gambar 2.2. Komponen-komponen literasi sains dan hubunganya ... 18 Gambar 2.3. Siklus pendinginan pada lemari pendingin ... 26 Gambar 2.4. Sirkulasi udara yang dibantu fan evaporasi membantu

pendinginan ... 28 Gambar 2.5. Reaksi pemecahan CFC oleh UV dan pemecahan Ozon oleh

klorin ... 32 Gambar 3.1. Tiga komponen MER ... 36 Gambar 3.2. Contoh proses berulang dari model rekonstruksi pendidikan 39 Gambar 3.3. Alur penelitian ...

40 Gambar 3.4. Perbandingan persentase kriteria daya pembeda butir soal...

52 Gambar 3.5. Perbandingan persentase kriteria tingkat kesukaran butir soal

53 Gambar 4.1. Grafik perbandingan nilai rata-rata pretes, rata-rata postes,


(10)

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR LAMPIRAN

A. INSTRUMEN PENELITIAN

A. 1. RPP ... 82

A. 2. Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Tema Lemari Pendingin berbasis Literasi Sains ... 100 A.2. a. Analisis Wacana ... 104

A.2. b. Handout ... 118

A.2. c. LKS ... 136

A. 3. Kisi-kisi Tes ... 142

A. 4. Lembar Judgemen Soal ... 151

A. 5. Instrumen Studi Pendahuluan ... 154

A. 6. Lembar Tes ... 156

A. 7. Tabel Validasi Bahan Ajar ... 162

A. 8. Instrumen Tanggapan Siswa ... 170

B. PENGOLAHAN DATA B.1. Pengolahan Studi Pendahuluan ... 171

B.2. Pengolahan Validitas Bahan Ajar ... 174

B.3. Pengolahan Analisis Tes B.3.a. Validitas Isi ... 178

B.3.b. Validitas Kriteria dan Reliabilitas ... 179

B.3.c. Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran ... 183

B.3.d. Perhitungan Pretes, Postes, dan N-Gain ... 186

B.4. Pengolahan Tanggapan Siswa Tentang Bahan Ajar IPA Terpadu ... 187


(11)

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan bahan ajar IPA terpadu yang mengangkat tema kontekstual untuk memberikan pengetahuan yang utuh, sehingga pengetahuan tersebut benar-benar bermakna bagi siswa. Kegiatan utama dari penelitian ini adalah merekonstruksi struktur konten pengetahuan tentang teknologi dan mengubahnya menjadi struktur konten pengetahuan untuk pembelajaran, dengan memperhatikan kurikulum, dan keadaan siswa. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin serta untuk mengetahui kemampuan literasi sains siswa dan tanggapan siswa tentang bahan ajar. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian pengembangan, dengan model pengembangan prosedural, yang diadaptasi dari model MER. Bahan ajar yang dihasilkan kemudian divalidasi oleh dua orang dosen dan sepuluh orang guru IPA untuk mengetahui keakuratan materi dan kelayakan bahan tersebut bagi siswa SMP. Setelah divalidasi bahan ajar diujicobakan kepada siswa kelas VII SMPN 2 Cilaku Kabupaten Cianjur. Untuk mengubah struktur konten pengetahuan menjadi struktur konten pengetahuan untuk pembelajaran dapat dilakukan dengan: penggunaan analogi, menambahkan pengetahuan yang relevan, dan penyisipan gambar. Bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin dapat meningkatkan kemampuan literasi sains siswa. Analisis tanggapan siswa terhadap bahan ajar menunjukan bahwa siswa sangat menyenangi pembelajaran, khususnya kegiatan praktikum.


(12)

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu


(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masyarakat harus dipandang sebagai tantangan untuk menyiapkan peserta didik lebih baik lagi. Siswa perlu dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan yang dapat mereka gunakan untuk bekal kehidupan dimasa datang. Melalui pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), guru harus memfasilitasi siswa agar melek sains dan teknologi, mampu berpikir kritis, kreatif, serta dapat berfikir logis. Hal ini diperlukan siswa sebagai bekal menuju kemandirian di masa depan, sesuai dengan amanat Pasal 1 undang-undang no. 20 tahun 2003, yang menyatakan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Melihat prestasi siswa di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kabupaten Cianjur membuat penulis yakin bahwa siswa belum dapat menguasai sains dengan baik. Nilai rata-rata ulangan umum IPA, pada tahun ajaran 2012/2013, yang masih pada angka tiga koma delapan mengindikasikan masih rendahnya kemampuan siswa. Siswa masih mengalami kesulitan menyelesaikan soal pada aspek kognitif yang rendah, apalagi untuk menyelesaikan soal-soal yang menuntut kemampuan berfikir tingkat tinggi. Konsep-konsep IPA masih merupakan sesuatu yang sangat abstrak yang sulit dimengerti.

Siswa tidak menyadari besarnya manfaat IPA dalam kehidupan. Masih banyak siswa yang menganggap bahwa pengetahuan IPA hanya berguna pada


(14)

2

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

saat ujian saja. Pengetahuan diperoleh siswa hanya berdasarkan hapalan secara instan. Tidak jarang siswa menganggap bahwa fisika merupakan ilmu tentang menghafal rumus, yang tidak mereka fahami manfaat kongkrit dari rumus-rumus itu. Berdasarkan pengalaman penulis pada saat mengajarkan konsep tekanan, siswa terlihat belum dapat diajak berdiskusi untuk menjelaskan mengapa pisau tajam lebih mudah memotong. Fakta ini menunjukan bahwa pada umumnya siswa belum dapat menggunakan konsep IPA untuk menjelaskan fenomena sederhana yang terjadi ataupun menjelaskan bagaimana suatu teknologi bekerja pada kehidupan sehari-hari. Hal ini menandakan pembelajaran yang kurang bermakna. Pembelajaran yang tidak bermakna menyebabkan pengetahuan akan mudah terlupakan, sehingga tidak dapat digunakan sebagai prasyarat untuk membantu siswa mempelajari konsep-konsep berikutnya.

Diperlukan paradigma baru dalam mengajarkan IPA, sehingga IPA bukan sekedar pengetahuan yang hanya diperlukan dalam ujian. Pendidikan IPA di Sekolah seharusnya tidak hanya mengajarkan konten pengetahuan secara langsung, tetapi juga metode ilmiah sehingga siswa mampu menggunakan cara bagaimana mengembangkan pengetahuan sains (Oh, 2009). Secara tradisional, IPA diajarkan hanya dengan mentransmisikan pengetahuan langsung kepada siswa, dan tingkat kesuksesan pembelajaran hanya ditentukan dengan apa yang dapat diingat siswa (Yager, et al., 2005; T. Bell et al., 2009). Lebih jauh, (Bell et al., 2009) menyatakan bahwa dalam pengajaran IPA guru harus mendorong siswa untuk memahami, dan mengaplikasikan konsep dan metode sains.

Dalam Standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, dikemukakan bahwa IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain dapat membantu peserta didik memahami alam secara mendalam,


(15)

IPA diharapkan dapat membantu peserta didik berfikir logis, kritis, kreatif, serta dapat mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari dengan metode ilmiah, seperti yang dilakukan ilmuwan. Pembelajaran IPA tidak boleh hanya menyampaikan konten dengan benar, tetapi juga harus dapat membentuk sikap ilmiah pada siswa.

Satu konsep yang muncul dalam kurikulum IPA tahun 2006 adalah penekanan pembelajaran sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat secara terpadu untuk siswa SMP dan MTs. IPA diajarkan secara terpadu melalui suatu tema yang mengikat. Konsep IPA terpadu dinilai akan dapat membuat pembelajaran lebih efektif, karena materi ajar dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan setiap satuan pendidikan. Pembelajaran IPA terpadu dapat dilakukan dengan memilih tema yang diambil dari fenomena sehari-hari yang terjadi di lingkungan sekitar siswa. Pembelajaran melalui tema kontekstual akan menarik minat siswa untuk belajar. Motivasi belajar akan tumbuh pada seseorang jika mereka mengetahui manfaat dari apa yang mereka pelajari. Siswa dapat melihat hubungan bermakna antar konsep dan membantu menciptakan struktur kognitif sebagai pengetahuan awal untuk mempelajari materi selanjutnya. Karena memerlukan wawasan yang luas, maka IPA terpadu akan membantu siswa meningkatkan kemampuan berfikirnya. Pembelajaran IPA terpadu merupakan cara terbaik untuk memberikan pemahaman yang holistik dan mendalam tentang alam.

Pembelajaran IPA terpadu yang mengangkat tema dari isu-isu kontekstual memungkinkan siswa lebih aktif berperan dalam pembelajaran di kelas karena mereka telah memiliki pengetahuan awal sebelumnya, yaitu mengenali permasalahan yang dibahas. Dahar (2006) mengemukakan dua asumsi pendekatan Brunner, yaitu: (1) perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaksi manusia dengan lingkungannya secara aktif. (2) Orang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan, yang diperoleh sebelumnya.


(16)

4

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Pendekatan kontekstual dapat berpotensi merangsang dan memberi peluang kepada siswa untuk belajar dan mengembangkan potensinya secara maksimal. Pembelajaran IPA terpadu yang mengangkat tema kontekstual berpotensi sebagai pembelajaran yang bermakna.

Salah satu produk dari IPA adalah terciptanya teknologi. Teknologi yang tercipta merupakan keberhasilan manusia memanipulasi alam. Sebuah teknologi pada umumnya tidak tercipta dari satu disiplin ilmu, akan tetapi merupakan produk dari berbagai disiplin ilmu. Sebelum teknologi tersebut benar-benar bermanfaat bagi manusia, diperlukan penelaahan yang seksama dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu contoh produk teknologi yang memerlukan pemahaman IPA secara terpadu adalah mobil. Mesin mobil bekerja berdasarkan ilmu termodinamika; Bagaimana bensin naik dari mangkuk karbulator bercampur dengan udara menggunakan prinsip Bernoulli; Untuk memahami reaksi yang terjadi saat pembakaran bensin diperlukan pemahaman ilmu kimia; Bagaimana pengaruh gas yang di keluarkan mobil terhadap kehidupan diperlukan ilmu biologi; Bahan apa yang tidak boleh digunakan untuk membuat kanvas rem agar tidak mengganggu kesehatan diperlukan ilmu biologi/kesehatan. Masih banyak ilmu-ilmu lainnya yang terlibat dalam menciptakan teknologi mobil. Ilmu tersebut memiliki peranan penting untuk memastikan bahwa teknologi yang diciptakan memiliki manfaat maksimal, dengan dampak merusak yang minimal. Uraian diatas menunjukan pentingnya memberikan pengetahuan yang utuh tentang IPA dan menunjukan pentingnya pembelajaran IPA terpadu.

Hasil penelitian menyatakan bahwa pembelajaran IPA terpadu merupakan solusi untuk memberi pengalaman belajar yang lebih bermakna bagi siswa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Pembelajaran IPA terpadu pada tema air dan kesehatan dapat meningkatkan kemampuan literasi sains siswa pada setiap domain (Syaadah, 2013). Literasi


(17)

sains merupakan salah satu kemampuan yang penting bagi siswa dan berkaitan dengan kemampuan menjelaskan fenomena dan teknologi sehari-hari. Menurut Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2009, dalam Bybee (2012) literasi sains mencakup konteks sains, kompetensi sains, pengetahuan sains, dan sikap sains. Cakupan literasi sains beserta komponen-komponennya dapat digunakan sebagai indikator pemahaman siswa yang holistik tentang alam, yang nantinya dapat digunakan siswa untuk mengembangkan potensi dirinya. Sangat baik jika menjadikan literasi sains sebagai standar kemampuan yang harus dimiliki siswa.

Terwujudnya pembelajaran IPA terpadu sangat tergatung pada dukungan guru. Guru memiliki peran yang dominan untuk mewujudkan pendidikan yang baik. Guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan, khususnya tingkat institusional dan instruksional. Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk, karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada pada garis terdepan, yaitu guru (Surya, 2008). Pelaksanaan kebijakan pemerintah yang baik tentang pembelajaran IPA terpadu, tidak akan terwujud tanpa dukungan guru.

Berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa Guru IPA di Kabupaten Cianjur, guru-guru masih kesulitan mengimplementasikan pembelajaran IPA terpadu. Ada keengganan dari guru untuk mengajarkan konsep IPA yang tidak sesuai dengan bidang studi pendidikannya. Guru yang berlatar belakang pendidikan fisika umumnya merasa enggan untuk mengajarkan konsep– konsep biologi, dan begitupun sebaliknya. Hal ini mungkin disebabkan dari karakteristik bidang studi fisika dan biologi berbeda. Guru dengan latar belakang fisika biasanya kesulitan dengan istilah-istilah asing dalam biologi, sementara guru dengan latar belakang pendidikan biologi merasa kesulitan memahami dan menerapkan rumus-rumus fisika.


(18)

6

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Masalah lainnya yang muncul dalam usaha mengimplementasikan pembelajaran IPA terpadu adalah ketersediaan bahan ajar. Buku ajar yang ada di Sekolah masih membahas konsep-konsep IPA secara terpisah, walaupun konsep-konsep fisika, biologi, dan kimia telah disatukan dalam satu jilid. Hal ini memungkinkan guru untuk memilih materi, lebih memfokuskan pengajarannya pada konsep-konsep yang sesuai dengan bidang pendidikannya.

Bahan ajar yang konvensional tidak hanya membahas konsep fisika, biologi, dan kimia secara terpisah, porsi pembahasan materi secara kontekstual masih minim. Pembahasan masih mengutamakan membangun sebuah konsep, tidak membangun keutuhan sebuah konteks. Hal ini menyebabkan siswa kurang mampu menerapkan konsep IPA pada kehidupan sehari-hari.

Kegiatan praktikum tidak dapat dilepaskan dari pembelajaran IPA. Pada buku yang konvensional, kegiatan praktikum telah mampu membantu siswa untuk membangun konsep, tetapi pada umumnya materi praktikum kurang kontekstual, dan menggunakan alat dan bahan yang tidak mudah ditemukan di lingkungan sekitar siswa. Hal ini menjadi hambatan bagi sekolah yang tidak memiliki fasilitas laboratorium yang lengkap.

Unsur penting yang harus ada dalam bahan ajar adalah alat evaluasi. Alat evaluasi dalam bahan ajar digunakan untuk mengumpulkan umpan balik dari siswa. Porsi soal-soal evaluasi pada bahan ajar konvensional yang menyentuh permasalahan kontekstual masih cukup rendah. Soal yang ditampilkan umumnya untuk mengukur kemampuan siswa melakukan serangkaian perhitungan. Bahan ajar konvensional juga memiliki kekurangan, yaitu tidak memiliki tes yang dapat menyentuh aspek sikap sains. Sulit menemukan bahan ajar yang memuat instrumen yang meminta tanggapan kepada siswa tentang aktivitas manusia pada kehidupan sehari-hari.


(19)

Untuk membahas konsep IPA yang ada di lingkungan secara utuh diperlukan bahan-bahan lainnya sebagai pendukung buku ajar. Guru tidak dapat menggunakan buku-buku yang membahas aplikasi langsung dari konsep-konsep IPA, seperti buku-buku tehnik atau artikel-artikel cetak maupun elektronik yang ada. Penelaahan yang mendalam tentang konten buku/artikel harus dilakukan untuk mengetahui apakah konten buku/artikel telah sesuai dengan perkembangan siswa SMP. Konsep yang diajarkan harus sesuai dengan Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang ditetapkan. Untuk itu, guru harus meluangkan waktu untuk mengembangkan bahan ajar IPA dan menyatukan konsep-konsep IPA melalui tema yang kontekstual. Diperlukan rekonstruksi konten ilmu pengetahuan menjadi bahan ajar untuk pembelajaran. Dengan merekonstruksi bahan ajar, guru tidak hanya akan mendapatkan bahan ajar yang benar-benar sesuai untuk siswa, tetapi dapat memperkaya pengetahuan guru itu sendiri.

Pemilihan konteks pembelajaran juga harus dipertimbangkan dengan baik. Sebaiknya konteks yang dipilih merupakan hal yang ada atau terjadi di sekitar siswa, karena siswa pada umumnya memiliki ketertarikan untuk dapat menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Satu konteks yang ada disekitar siswa yaitu teknologi lemari pendingin. Siswa telah mengenal lemari pendingin dan merasakan manfaatnya, akan tetapi pengetahuan siswa tentang cara kerjanya, berapa energi yang diperlukannya, dan bahaya penggunaan bahan pendingin terhadap lingkungan masih perlu dikembangkan. Tema lemari pendingin dapat mencakup indikator-indikator literasi sains yang ditetapkan oleh PISA, maka pembuatan bahan ajar yang bertemakan lemari pendingin untuk pembelajaran di tingkat SMP layak dilakukan.

Aspek yang harus dipertimbangkan dari sebuah konteks/tema diantaranya: (1) kesesuaian konten pengetahuan dengan tingkat


(20)

8

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

perkembangan siswa, (2) kesesuaian dengan kurikulum, dan (3) pengetahuan awal siswa tentang tema kontekstual. Struktur konten sains untuk pembelajaran harus lebih sederhana daripada struktur konten sains agar mudah dimengerti siswa (Duit, 2007).

Salah satu model untuk mengembangkan bahan ajar adalah Model of

Educational Reconstruction (MER), dengan contoh langkah rekonstruksi

yang dikembangkan oleh Katmann. MER mencakup tiga langkah besar, yaitu: (1) menganalisis struktur konten, (2) merancang pembelajaran, dan (3) melakukan penelitian empiris pada proses pembelajaran.

Ketersediaan bahan ajar IPA terpadu yang mengangkat tema kontekstual masih merupakan masalah yang menghambat implementasi pembelajaran IPA terpadu di SMP. Oleh sebab itu, penulis ingin melakukan

penelitian yang berjudul “Rekonstruksi Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Tema Lemari Pendingin Berbasis Literasi Sains”.

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Rumusan masalah untuk peneltian ini adalah bagaimana merekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains? Rumusan masalah ini dijabarkan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik bahan ajar IPA terpadu yang direkonstruksi menggunakan model MER, pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains?

2. Bagaimana hasil belajar siswa sebelum dan setelah mendapatkan pembelajaran menggunakan bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin?

3. Bagaimana tanggapan siswa terhadap bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin?


(21)

1. Tujuan

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

a. Menghasilkan bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin yang berbasis literasi sains, yang mengintegrasikan konsep adaptasi, perubahan wujud, perpindahan kalor, dan atmosfer.

b. Mengetahui hasil belajar siswa pada aspek literasi sains sebelum dan setelah bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin diujicobakan.

2. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan, melalui perbaikan proses pembelajaran, antara lain :

a. Bagi siswa

1) Memperoleh hasil belajar yang optimal, melalui pembelajaran yang lebih bermakna.

2) Lebih memahami fenomena lingkungan dan teknologi, melalui pembelajaran terpadu yang mengangkat tema kontekstual.

3) Memiliki kepedulian tentang isu yang terjadi di lingkungan dan ikut berperan dalam menjaga lingkungan.

b. Bagi guru

1) Dapat memperkaya metode/pendekatan guru dalam menyelenggarakan pembelajaran IPA.

2) Dapat lebih mengefektifkan pembelajaran. c. Bagi peneliti lain

Sebagai sumber informasi dan bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya, dengan konsep yang berbeda.

D. Definisi Operasional

1. Rekonstruksi Bahan ajar IPA terpadu berbasis literasi sains adalah upaya mengubah/menyederhanakan struktur konten ilmu sains menjadi struktur


(22)

10

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

konten sains untuk pembelajaran (bahan ajar). Konten pengetahuan dalam bahan ajar yang bertema lemari pendingin terdiri dari konten pengetahuan fisika (konsep kalor, perubahan wujud, perpindahan kalor, dan atmosfer) dan konten pengetahuan biologi (konsep adaptasi) yang disatukan dalam tema kontekstual (teknologi lemari pendingin), dan disusun agar siswa mampu menyelesaikan soal-soal literasi sains. Rekonstruksi tidak hanya menyederhanakan konten, tetapi juga memperkaya konten pengetahuan dengan menyisipkan informasi-informasi tambahan yang penting dan dapat mempermudah pemahaman siswa SMP. Keandalan bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin diuji melalui uji ahli dengan menggunakan tabel validasi bahan ajar yang diadaptasi dari buku Penilaian Buku Kimia Sekolah Menengah Atas, yang diterbitkan Pusat Perbukuan Depdiknas tahun 2008.

2. Hasil belajar adalah kemampuan kognitif siswa pada aspek yang diukur melalui tes objektif pilihan ganda sebelum dan setelah pemberian bahan ajar IPA terpadu berbasis literasi sains.


(23)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian pengembangan. Penelitian ini tidak bertujuan menguji sebuah teori, tetapi untuk menghasilkan produk berupa bahan ajar IPA terpadu yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Pada tahun 2008, Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (Puslitjaknov), mengemukakan tiga komponen utama dalam penelitian pengembangan, yaitu: model pengembangan, prosedur pengembangan, dan ujicoba produk.

1. Model pengembangan

Model pengembangan memuat pedoman untuk mengembangkan produk yang akan dihasilkan. Puslitjaknov (2008) menyatakan bahwa model pengembangan dapat berupa model prosedural, model konseptual dan model teoritik. Model prosedural bersifat deskriptif, yang menunjukkan langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk mendapatkan produk. Model konseptual bersifat analitis, yang menyebutkan komponen-komponen produk, dan menunjukan hubungan antar komponen. Model teoritik menggambarkan kerangka berfikir yang didasarkan pada teori-teori yang relevan dan didukung data empirik.

Model penelitian pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Model of Educational Reconstruction (MER). MER didesain dengan tujuan menyediakan kerangka teoritis yang bermanfaat untuk mengajarkan fakta sains. Satu ide penting pada model tersebut adalah struktur konten untuk pelajaran tidak bisa diambil secara langsung dari struktur konten sains, tetapi secara spesial di rekonstruksi dengan memperhatikan tujuan pembelajaran kognitif dan perspektif siswa (Duit et


(24)

36

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

konten, penelitian mengajar dan belajar, pengembangan dan evaluasi pelajaran dan hubungannya yang saling berkaitan. Hubungan ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Tiga komponen MER (sumber: Duit, 2007)

Analisis struktur konten adalah proses analisis untuk mengubah pengetahuan kebudayaan manusia seperti pengetahuan bidang sains menjadi pengetahuan untuk sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan siswa. Kedua struktur secara substansi berbeda. Struktur konten sains yang terdapat dalam buku teks disajikan secara abstrak dan padat, yang tidak

(1) Analisis struktur konten  Penjelasan materi subjek

 Analisis tentang pentingnya materi bagi pembelajaran

Ide dasar konten setelah pemeriksaan

Struktur konten pembelajaran

pendasaran

Mengkonstruksi struktur konten untuk pembelajaran Struktur konten

sains

2. Penelitian belajar dan mengajar  Perspektif siswa

(pandangan, konsep, dan variabel afektif).

 Proses belajar dan mengajar

 Pandangan dan konsepsi guru

3. Pengembangan dan evaluasi pembelajaran  Isu

pembelajaran nyata dan lingkungan belajar


(25)

sesuai dengan kondisi siswa (Niebert et al., 2013). Struktur konten untuk topik tertentu harus diubah menjadi struktur konten untuk pembelajaran. Konten tersebut tidak hanya dibuat sedasar mungkin agar dapat diterima oleh siswa, tetapi juga diperkaya dengan meletakkannya ke dalam konteks yang membuat siswa mengerti dan menambah rasa ingin tahu. Struktur konten sains untuk pembelajaran tidak hanya harus lebih dasar dari sudut pandang sains, tetapi harus lebih kaya (Duit et al., 2012).

Komponen kedua, yaitu penelitian tentang belajar dan mengajar, mencakup penelitian empiris tentang berbagai hal dalam seting pembelajaran. Penelitian tentang perspektif siswa, termasuk konsep awal, dan variabel afektif seperti ketertarikan, konsep diri dan sikap memiliki peran penting dalam rekonstruksi pendidikan (Duit, 2007). Metode kualitatif seperti interviu dan mempelajari proses pembelajaran diperlukan (Komorek et al., 2004 dalam Duit et al., 2012). Dari langkah ini, kita dapat mengetahui kesulitan-kesulitan dalam mengajarkan konten tertentu, serta masalah yang dirasakan siswa selama belajar IPA. Hal ini dapat dijadikan pedoman bagi pengembang untuk mengembangkan bahan ajar yang lebih baik, dan mampu menutupi kekurangan yang ada pada bahan ajar yang konvensional.

Komponen ketiga, yaitu mendesain dan mengevaluasi lingkungan belajar. Komponen ini terdiri dari mendesain bahan ajar, mendesain aktivitas pembelajaran, dan menentukan urutan pembelajaran (Duit et al., 2012). Selain harus memiliki isi yang sesuai dengan tahap perkembangan siswa, bahan ajar yang disusun juga harus dapat menarik perhatian siswa. Siswa harus merasa senang mempelajari bahan ajar tersebut. Konsep-konsep yang akan diajarkan harus ditampilkan melalui pendekatan yang tidak membingungkan siswa, lebih kongkret, serta urutan penyajian yang logis dan sistematis.


(26)

38

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Ketiga komponen model rekonstruksi pendidikan pada Gambar 3.1 hanya menampilkan hubungan dari ketiga aspek, tetapi bukan merupakan rangkaian prosedur untuk mengembangkan bahan ajar. Pada kenyataannya, langkah proses akan menjadi cukup kompleks (Duit, 2012). Gambar 3.2 menyajikan satu kemungkinan prosedur dalam MER, yang dikembangkan oleh Kattmann.

Gambar 3.2 Contoh proses berulang dari model rekonstruksi pendidikan (sumber: Kattman et al., 1995 dalam Duit et al., 2012)

Anak panah yang terdapat pada Gambar 3.2 menunjukan proses yang rumit, dan beberapa langkah dilakukan secara berulang. Pada penelitian ini, tidak akan mengikuti langkah yang disajikan Kattmann, seperti Gambar 3.2. Karena keterbatasan waktu dan biaya, prosedur penelitian yang dilakukan seperti pada Gambar 3.3. Ketiga aspek dalam

ANALISIS STRUKTUR KONTEN

Analisis literatur Penjelasan konsep dasar Modifikasi dan memperkaya konsep MERANCANG PEMBELAJARAN outline prinsip-prinsip Merumuskan pedoman modul pembelajaran

PENELITIAN EMPIRIS PADA PROSES PEMBELAJARAN

studi pendahuluan: serangkaian interview mempelajari proses pembelajaran: misal melalui eksperimen pembelajaran penelitian dalam kelas sebenarnya, evaluasi pembelajaran


(27)

MER masih tetap ada pada penelitian ini, akan tetapi prosesnya merupakan penyederhanaan dari prosedur yang dilakukan Kattmann.

3. Ujicoba produk

Ujicoba produk merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian pengembangan, yang dilakukan setelah rancangan produk selesai (Puslitjaknov, 2008). Ujicoba bahan ajar dapat memberi informasi kelayakan penggunaan dalam implementasi pembelajaran sebenarnya. Ujicoba juga dapat memberikan informasi mengenai sejauh mana efek yang diberikan bahan ajar, atau apakah sebuah tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan penggunaan bahan ajar.

Ujicoba bahan ajar dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu ujicoba/penilaian ahli dan uji lapangan. Ujicoba ahli dilakukan oleh validator, yaitu guru IPA SMP sebanyak 10 orang. Data dikumpulkan menggunakan tabel validasi bahan ajar, dengan format ceklis dan tanggapan. Validator diminta menilai keakuratan konsep-konsep ilmu yang disajikan bahan ajar, kesesuaian elemen bahan ajar (LKS, gambar, dan fenomena sehari-hari), bahasa yang digunakan, dan penampilan bahan ajar. Puslitjaknov (2008) bependapat bahwa produk yang baik harus memenuhi dua kriteria, yaitu: kriteria pembelajaran dan kriteria penampilan.

Ujicoba tahap dua adalah ujicoba lapangan, yang dilakukan terhadap siswa kelas VII SMPN 2 Cilaku Kabupaten Cianjur. Subjek penelitian yang dipilih adalah kelas VII A, yang terdiri dari 37 siswa. Perlakuan yang diberikan kepada siswa di antaranya: (1) pemberian pretes, (2) pembelajaran dengan menggunakan bahan ajar sebanyak lima pertemuan, (3) pemberian postes.

Ujicoba lapangan tidak hanya dilakukan untuk melihat apakah bahan ajar dapat membantu mencapai tujuan pembelajaran, tetapi juga untuk melihat sejauh mana kemajuan kemampuan kognitif siswa setelah


(28)

40

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

pembelajaran. Ujicoba lapangan juga dilakukan untuk mengumpulkan informasi berkaitan dengan tanggapan siswa terhadap pembelajaran. Hal ini sangat penting, karena kita membuat produk untuk siswa. Semua aspek pengembangan harus memperhatikan kepentingan siswa, tidak hanya memperhatikan konten ilmu, bahan ajar juga harus membangkitkan motivasi belajar siswa.

B. Alur Penelitian

Alur kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini ditunjukan pada Gambar 3.3.


(29)

Gambar 3.3 Alur penelitian

Berdasarkan Gambar 3.3, tahapan kegiatan yang dilakukan dalam upaya pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan informasi tanggapan siswa mengenai bahan ajar/pembelajaran IPA konvensional dan bagaimana IPA diajarkan dari instrumen yang disebarkan kepada siswa.

2. Menentukan tema pembelajaran yang kontekstual.

3. Telaah kepustakaan pembelajaran literasi sains dan kepustakaan teknologi lemari pendingin dari sumber: (1) World Book Of ANALISIS STRUKTUR KONTEN

Analisis wacana memperjelas konsep dasar Modifikasi dan memperkaya konsep MERANCANG PEMBELAJARAN

Analisis SK, KD, indikator Literasi sains, Merumuskan pedoman dan urutan pembelajaran.

handout

pembelajaran

PENELITIAN EMPIRIS PADA PROSES PEMBELAJARAN

Mengumpulkan informasi pendapat siswa mengenai pembelajaran IPA dan bagaimana IPA diajarkan

Eksperimen pembelajaran menggunakan bahan ajar yang dikembangkan validasi bahan ajar Pengolahan data Kesimpulan Mengumpulkan informasi pendapat siswa mengenai bahan ajar


(30)

42

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Knowledge. (2) Buku IPA SMP kelas VII (3) www.howstuffwork.com. (4) http://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi_pembekuan_makanan. (5) www.infodokterku.com.

4. Melakukan pendasaran konsep dan memperkaya konsep, dengan menyisipkan informasi tentang fenomena-fenomena fisika sehar-hari. 5. Menganalisis standar kompetensi dan kompetensi dasar pada submateri:

kalor, perubahan wujud, perpindahan kalor, lingkungan, dan adaptasi pada standar isi mata pelajaran IPA SMP.

6. Perumusan indikator literasi sains dan tujuan pembelajaran aspek kognitif melalui telaah konteks, kompetensi sains, dan konten sains. 7. Produksi wacana yang diawali dengan penghalusan dan pendasaran

materi, hingga menghasilkan teks luaran.

8. Penyusunan lesson sequence map, yang disesuaikan dengan urutan pengajaran materi pada strukur isi pembelajaran.

9. Rekonstruksi proposisi makro.

10. Produksi handout bahan ajar dilakukan dengan menyusun ulang teks luaran dan menambahkan berbagai informasi dalam bentuk gambar, verbal, dan kegiatan pembelajaran.

11. Menyusun soal evaluasi berdasarkan indikator literasi sains siswa. 12. Penyusunan dan penyebaran tabel validasi bahan ajar kepada dosen ahli

dan guru IPA untuk mengetahui validitas bahan ajar yang telah dikembangkan.

13. Pengolahan data validasi bahan ajar. 14. Pretes.

15. Ujicoba bahan ajar/implementasi. 16. Postes.

17. Mengumpulkan informasi tanggapan siswa tentang bahan ajar. 18. Pengolahan data.


(31)

C. Instrumen Penelitian

1. Instrumen untuk mengetahui tanggapan siswa

Instrumen digunakan untuk mendapatkan data tanggapan siswa tentang bahan ajar IPA yang konvensional dan data tentang bagaimana biasanya konten IPA diajarkan. Instrumen ini dimaksudkan sebagai studi pendahuluan dan untuk mengetahui masalah pembelajaran IPA yang terjadi di lapangan. Instrumen dapat dilihat pada Lampiran A.5.

Instrumen tanggapan juga digunakan untuk mengetahui tanggapan siswa tentang bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin yang telah mereka gunakan. Instrumen ini dapat dilihat pada Lampiran A.8. 2. Tabel validasi bahan ajar yang diadaptasi dari Pedoman Penilaian Buku

Kimia Sekolah Menengah Atas, yang diterbitkan Pusat Perbukuan Depdiknas tahun 2008. Instrumen ini digunakan untuk mengetahui karakteristik bahan ajar yang direkonstruksi dengan menggunakan model MER, pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains. Instrumen untuk mengembangkan bahan ajar terdiri dari aspek materi, aspek penyajian, serta aspek bahasa dan keterbacaan (Ismunandar dan Permanasari, 2004). Ketiga aspek tersebut diuraikan menjadi sub-sub aspek sebagai berikut:

a. Materi, yang memuat sub aspek kesesuaian materi dengan kompetensi, keakuratan materi, kegiatan yang mendukung materi, kemutahiran materi, dan keterkaitan antar konsep.

b. Penyajian, yang terdiri dari sub aspek penyajian materi, uraian materi mendudukan siswa sebagai pusat pembelajaran, perhatian terhadap imtaq dan lingkungan, dan penyajian ilustrasi/gambar. c. Bahasa dan keterbacaan, yang memuat sub aspek penyajian

menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar, peristilahan, dan kesesuaian bahasa.


(32)

44

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Setiap sub aspek diuraikan lagi menjadi beberapa indikator penilaian buku ajar. Tabel penilaian terhadap bahan ajar IPA terpadu diperlihatkan pada Lampiran A.7. Validator menilai apakah bahan ajar telah sesuai dengan indikator yang ditetapkan dalam tabel validasi, dengan memberi tanda check pada kolom yang disediakan. Untuk perbaikan bahan ajar, pada instrumen dilengkapi dengan komentar dan saran.

3. Seperangkat tes berbentuk pilihan ganda sebanyak 37 butir soal. Ke-37 soal ini disesuaikan dengan jumlah indikator pembelajaran yang telah disusun. Instrumen penelitian ini digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa sebelum dan setelah pembelajaran menggunakan bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin. Tes disusun berdasarkan indikator literasi sains, pada aspek konten sains, kompetensi sains, dan konteks sains. Sebelum digunakan, validitas isi tes diuji melalui penilaian ahli untuk mengetahui kesesuaian tes dengan indikator-indikator literasi sains. Setiap butir soal yang dijawab dengan benar diberi skor satu, dan skor nol untuk butir soal yang dijawab tidak benar. Butir soal instrumen dapat dilihat pada Lampiran A.6.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Data untuk studi pendahuluan

Data penelitian diperoleh berupa tanggapan siswa tentang pembelajaran IPA yang biasa dilakukan dan bagaimana konten IPA diajarkan. Informasi-informasi tentang masalah pembelajaran IPA yang terkumpul, dijadikan media oleh peneliti untuk dapat menentukan arah pengembangan bahan ajar. Hal ini dimaksudkan agar bahan ajar yang dikembangkan dapat memperbaiki hasil belajar siswa. Studi pendahuluan tidak diberikan terhadap satu kelas tertentu untuk mendapatkan data dari sumber yang beragam, khususnya pada pernyataan-pernyataan yang


(33)

berkaitan dengan bagaimana konten IPA biasanya diajarkan. Studi pendahuluan diberikan kepada 14 orang siswa kelas VII, 11 orang siswa kelas VII, dan 8 orang siswa kelas IX.

Semua pernyataan-pernyataan dalam instrumen tanggapan dibuat dengan kalimat positif untuk mempermudah analisis data. Penskoran instrumen untuk mengetahui tanggapan siswa tentang bahan ajar IPA konvensional dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel. 3.1

Penskoran Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA

Tanggapan Skor

Sangat setuju 4

Setuju 3

Tidak setuju 2

Sangat tidak setuju 1

Menurut Sugiyono (2008), untuk menghitung persentase hasil tanggapan siswa digunakan persamaan :

Dari Tabel 3.1 dapat diketahui bahwa skor maksimum untuk setiap item bernilai 4, maka jumlah skor maksimum tanggapan siswa untuk setiap item adalah banyaknya siswa dikali dengan 4. Panuju (2000) mengemukakan langkah-langkah untuk menginterpretasi persentase tanggapan, sebagai berikut:

a. Menentukan rentang persentase tanggapan (R), dengan persamaan: R = persentase maksimum – persentase minimum

R = 100 % - 25% = 75%.

b. Menentukan banyaknya kategori tanggapan (K). K= 4. Terdapat empat pilihan tanggapan, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS) , dan sangat tidak setuju (STS).


(34)

46

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

d. Menentukan kategori persentase tanggapan, yang dituangkan pada Tabel 3.2 dibawah ini:

Tabel 3.2

Kategori Persentase Tanggapan Siswa Tentang Bahan Ajar IPA

Persentase Kategori

25,00%≤% tanggapan siswa<43,75% Sangat tidak setuju 43,75%≤% tanggapan siswa<62,50% Tidak setuju 62,50%≤% tanggapan siswa<81,25% Setuju

tanggapan siswa ≥ 81,25% Sangat setuju

Penskoran instrumen untuk tanggapan siswa tentang bagaimana konten IPA biasanya diajarkan dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel. 3.3

Penskoran Tanggapan Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Biasanya Diajarkan

Tanggapan Skor

Sering 3

Jarang 2

Tidak Pernah 1

Perhitungan untuk menentukan kategori persentase tanggapan siswa tentang bagaimana konten IPA diajarkan dilakukan seperti perhitungan kategori seperti pada Tabel 3.2. Kategori tanggapan bagaimana IPA diajarkan dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4

Kategori Persentase Tanggapan Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Diajarkan


(35)

33,33%<% tanggapan siswa<55,56 % Tidak pernah 55,56%<% tanggapan siswa<77,78% Jarang

tanggapan siswa ≥ 77,78 % Sering

2. Data Tentang Validasi Bahan Ajar

Validasi bahan ajar dilakukan untuk menilai kelayakan bahan ajar jika digunakan di kelas. Sebelum divalidasi oleh sepuluh orang guru IPA, draf bahan ajar yang telah tersusun diserahkan kepada satu orang dosen ahli lemari pendingin dan satu orang dosen ahli IPA. Tujuan utama dari langkah ini adalah untuk memastikan tidak ada kesalahan konsep dalam aspek materi. Akan tetapi hal ini menjadi kesempatan yang baik untuk meminta penilaian kedua ahli tentang aspek penyajian serta aspek bahasa dan keterbacaan. Semua koreksi, tanggapan, dan masukan dari dosen ahli digunakan untuk memperbaiki bahan ajar.

Bahan ajar yang telah diperbaiki disebarkan kepada sepuluh orang guru IPA untuk divalidasi dengan menggunakan instrumen tabel validasi bahan ajar. Data tanggapan validator yang diperoleh berupa ceklist, untuk mengetahui apakah bahan ajar yang disusun telah sesuai atau tidak. Penskoran tanggapan dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5

Penskoran Tanggapan Validator

Kriteria Skor

Ya 1

Tidak 0

Tanggapan guru-guru IPA terhadap bahan ajar, dianalisis dengan menggunakan Content Validation Ratio (CVR). Lawshe (1975) merumuskan persamaan untuk menentukan nilai CVR setiap butir indikator pada aspek penilaian seperti pada persamaan (3.1).


(36)

48

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ne : jumlah validator yang menyatakan Ya.

N : total validator. Ketentuan:

1) Jika jumlah validator yang menyatakan Ya kurang dari setengah total validator maka CVR bernilai negatif.

2) Jika jumlah validator yang menyatakan Ya setengah dari total validator, maka nilai CVR = 0

3) Jika seluruh validator menyatakan Ya maka nilai CVR = 1

4) Jika jumlah validator yang menyatakan Ya lebih dari setengah total validator maka CVR bernilai antara 0 sampai 1. Hal ini menjadi masalah, apakah bahan ajar telah sesuai dan dapat diterima atau tidak.

Nilai CVR minimum yang menyatakan bahwa sesuatu dapat diterima tergantung pada jumlah validator. Data pada Tabel 3.6 menunjukan nilai CVR minimum yang menyatakan bahwa sesuatu dapat diterima.

Tabel 3.6

Nilai Minimum CVR (Test satu ekor. p = 0,05)

Jumlah validator Nilai minimum

5 0,99

6 0,99

7 0,99

8 0,75

9 0,78

10 0,62

11 0,59

12 0,56

13 0,54

14 0,51

15 0,49

20 0,42

25 0,37

30 0,33

35 0,31


(37)

Perhitungan CVR dilakukan untuk menentukan apakah sebuah item diterima atau ditolak. Untuk menentukan validitas tiap aspek, dilakukan perhitungan Content Validation Index (CVI). Secara sederhana CVI merupakan rata-rata dari nilai CVR untuk sub pertanyaan (Lawshe, 1975).

(3.2) Setelah divalidasi, bahan ajar langsung diujicobakan kepada siswa. Ujicoba pembelajaran dilakukan sebanyak lima pertemuan.

3. Analisis Soal Literasi Sains

Status dari implementasi pembelajaran ini adalah untuk mengujicobakan bahan ajar yang telah disusun, bukan implementasi penelitian sebenarnya. Pretes dan postes dilakukan dengan menggunakan instrumen yang telah diuji validitas isinya saja. Analisis soal ini dilakukan untuk melengkapi informasi tentang kualitas tes, jika ada peneiti lain yang bertujuan menggunakan instrumen ini pada penelitian sebenarnya.

a. Validitas

Bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin ini ditujukan untuk meningkatkan literasi sains siswa. Oleh sebab itu, soal-soal evaluasi yang digunakan harus disesuaikan dengan indikator-indikator literasi sains. Soal-soal evaluasi yang digunakan diuji validitas isinya. Tes yang memiliki validitas isi yang baik ialah tes yang benar-benar mengukur penguasaan materi yang seharusnya dikuasai (Djaali dan Pudji, 2008). Validitas isi suatu tes tidak memiliki besaran, sehingga tidak memerlukan cara perhitungan tertentu untuk menentukannya. Instrumen yang digunakan untuk menilai adalah lembar penilaian kesesuaian butir soal dengan indikatornya, serta tata tulis soal. Validitas isi diuji melalui penilaian


(38)

50

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dosen mengenai soal-soal literasi sains selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran B.3.a. Semua butir soal telah dinyatakan sesuai dengan indikatornya. Adapun koreksi yang harus dilakukan berkenaan dengan tata tulis butir soal, diantaranya: penggunaan huruf kapital dan jumlah titik pada tipe soal melengkapi kalimat.

Soal-soal literasi sains juga digunakan untuk mengukur kemampuan akademis. Instrumen ini bisa dikatakan valid jika siswa yang memiliki prestasi akademis yang baik akan mendapatkan skor tinggi pada kegiatan postes. Metode pembeda merupakan validitas yang digunakan untuk membedakan antara orang yang memiliki sifat tertentu dengan orang yang tidak memiliki sifat tersebut (Sukardi, 2011). Diperlukan nilai pembanding sebagai kriteria eksternal, untuk menguji validitas kriteria (validitas banding) dari instrumen. Untuk menentukan tingkat validitas kriteria suatu tes dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi antara nilai-nilai hasil tes yang akan diuji validitasnya dengan nilai-nilai hasil tes terstandar yang telah mencerminkan kemampun siswa (Priatna, 2008). Nilai yang dipilih sebagai kriteria eksternal adalah nilai ujian tengah semester (UTS).

Kedua kumpulan nilai akan dicari koefisien korelasinya dengan menggunakan persamaan korelasi produk momen Pearson.

rxy : Koefisien korelasi

n : jumlah siswa X : skor postes

Y :skor UTS (kriteria).

Nilai koefisien korelasi hasil perhitungan (rhit) harus

dibandingkan dengan nilai koefisien korelasi pearson dari tabel, pada dk = n-2 dan taraf signifikansi 0,05 (r(dk, 0,05)). Tes diinterpretasikan


(39)

valid, jika nilai rhit > r(dk, 0,05). Guilford (1956) dalam Priatna (2008)

mengemukakan kategori validitas instrumen sebagai berikut: 0,8< r ≤ 1,0 validitas sangat tinggi

0,6< r ≤ 0,8 validitas tinggi 0,4< r ≤ 0,6 validitas sedang 0,2< r ≤ 0,4 validitas rendah

0,0< r ≤ 0,2 validitas sangat rendah r ≤ 0,0 tidak valid.

Setelah tata tulis butir soalnya dikoreksi, tes digunakan dalam kegiatan pretes dan postes. Data dari postes digunakan untuk menguji validitas kriteria tes, memanfaatkan nilai UTS siswa sebagai pembandingnya. Perhitungan Lampiran B.3.b menghasilkan nilai koefisien validitas sebesar 0,59. Nilai ini lebih besar daripada nilai rtabel

(pada taraf signifikansi 0,05 dan dk = n-2), sebesar 0,2826. Hal ini menunjukan bahwa tes valid dan dapat digunakan untuk mengukur kemampuan akademis siswa, dengan kriteria sedang.

b. Reliabilitas

Syarat kedua untuk menentukan layak tidaknya suatu instrumen adalah nilai reliabilitas. Reliabilaitas adalah tingkat ketetapan suatu instrumen dalam mengukur apa yang harus diukur (Priatna, 2008). Perhitungan koefisien reliabilitas pada penelitian ini menggunakan persamaan Kuder-Richardson (KR-21), seperti pada persamaan 3.4.

r11 : koefisien korelasi

M : rata-rata skor total. n : jumlah butir soal s2 : variansi total.


(40)

52

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Guilford (1956) dalam Priatna (2008) mengemukakan kategori derajat reliabilitas instrumen yang diiperoleh, yang dapat dilihat dalam Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Interpretasi Reliabilitas Koefisien Korelasi Kriteria 0,81< r ≤ 1,00 sangat tinggi 0,61< r ≤ 0,80 Tinggi 0,41< r ≤ 0,60 Sedang 0,21< r ≤ 0,40 Rendah 0,00< r ≤ 0,21 sangat rendah

Perhitungan pada Lampiran B.3.b menghasilkan nilai r11

sebesar 0,75. Berdasarkan informasi dalam Tabel 3.7, dapat disimpulkan bahwa tes termasuk kriteria reliabilitas tinggi.

c. Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran

Daya pembeda adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah (Arikunto, 2009). Karno To (1996) mengemukakan langkah-langkah menentukan daya pembeda tiap butir soal sebagai berikut:

1) Mengurutkan siswa berdasarkan skor total yang diperoleh dari skor terbesar.

2) Mengambil kelompok atas, yaitu 27% siswa yang mendapat skor tertinggi dan kelompok bawah, yaitu 27% siswa yang mendapatkan skor terendah.

3) Menghitung daya pembeda tiap butir soal dengan persamaan:

DP : daya pembeda.


(41)

BB : jumlah jawaban benar pada kelompok bawah.

NA : jumlah siswa pada kelompok atas.

Arikunto (2009) mengemukakan interpretasi angka hasil perhitungan daya pembeda, yang dapat dilihat pada Tabel 3.8

Tabel 3.8 Kriteria Daya Pembeda Koefisien Korelasi Kriteria

0,70 – 1,00 baik sekali (exelent)

0,40 – 0,70 Baik (good)

0,20 – 0,40 Cukup (satisfactory)

0,00 – 0,20 Jelek (poor)

Dari hasil perhitungan pada Lampiran B.3.c diperoleh hasil daya pembeda butir soal dengan persentase kriteria ditunjukan seperti pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4 Perbandingan persentase kriteria daya pembeda butir soal Tingkat kesukaran diperoleh dengan menghitung jumlah siswa dari kelompok atas dan bawah yang dapat menjawab soal dengan benar. Untuk menghitung tingkat kesukaran butir soal digunakan persamaan 3.6.


(42)

54

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

TK : tingkat kesukaran.

NB : jumlah siswa pada kelompok bawah.

Arikunto (2009) mengemukakan interpretasi angka tingkat kesukaran, yang dapat dilihat pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9

Kriteria Tingkat Kesukaran Nilai Tingkat Kesukaran Kriteria

0,00 – 0,30 sukar

0,30 – 0,70 sedang

0,70 – 1,00 mudah

Dari hasil perhitungan pada Lampiran B.3.c diperoleh hasil tingkat kesukaran butir soal dengan persentase kriteria ditunjukan seperti pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5 Perbandingan persentase kriteria tingkat kesukaran butir soal


(43)

Untuk mengetahui peningkatan kemampuan literasi sains siswa, dilakukan pretes dan postes dengan menggunakan tes yang terdiri dari 37 butir soal. Pretes ditujukan untuk mengetahui kemampuan awal siswa menjawab soal-soal literasi sains pada konteks teknologi lemari pendingin. Kegiatan pembelajaran dilakukan setelah pretes. Setiap siswa diberi masing-masing satu set handout. Pada proses pembelajaran, siswa difasilitasi untuk melakukan semua percobaan dengan petujuk LKS, berdiskusi, mendapatkan pemaparan materi, dan mengerjakan latihan soal sesuai dengan yang tertuang dalam handout. Setelah semua materi tersampaikan, dilanjutkan dengan pengambilan data postes.

Postes diselenggarakan untuk mengetahui kemampuan siswa setelah pembelajaran menggunakan handout diterapkan. Postes dilaksanakan dengan menggunakan soal-soal yang sama dengan yang digunakan saat pretes. Data yang diperoleh dari ujicoba digunakan sebagai dasar untuk menentukan keefektifan, efisiensi, dan daya tarik produk yang dihasilkan (Puslitjaknov, 2008).

Selisih rata-rata persentase penguasaan soal pretes dan postes, dihitung kemudian ditentukan kategori kenaikannya dengan menggunakan gain ternormalisasi (N-Gain). N-Gain didefinisikan sebagai perbandingan rata-rata gain terhadap gain rata-rata maksimum yang mungkin (Hake, 1999). Hake merumuskan cara untuk menentukan nilai N-gain, seperti pada persamaan 3.7.

%Sf : persentase rata-rata skor postes. %Si : persentase rata-rata skor pretes.

Kriteria N-gain menurut Hake terdapat pada Tabel 3.10. Tabel 3.10

Kriteria Nilai N-Gain Nilai N-gain Kriteria


(44)

56

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

>70% Tinggi

30%<G-gain <70% Sedang

<30% Rendah

5. Data Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar Yang Dikembangkan

Data terakhir yang diambil adalah tanggapan siswa tentang bahan ajar. Data diambil setelah pembelajaran dilakukan melalui instrumen yang terdiri dari 14 butir pernyataan. Semua pernyataan dalam instrumen dibuat dengan kalimat positif untuk mempermudah analisis data. Pemberian skor setiap butir pernyataan dapat dilihat pada Tabel 3.1 dan kategori persentase tanggapan dapat dilihat pada Tabel 3.2. Instrumen tanggapan siswa terhadap bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin dapat dilihat pada Lampiran A.8.


(45)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu dengan model MER menghasilkan bahan ajar dengan karakteristik yang memuat konsep yang utuh dan kaya materi yang mendukung peningkatan literasi sains siswa. Karakteristik bahan ajar seperti ini dihasilkan dengan menggunakan analogi, menambahkan pengetahuan yang relevan dengan konsep yang dibahas, dan menyisipkan gambar. Ketiga hal tersebut memberikan pengalaman pembelajaran yang lebih kongkret kepada siswa. Diperlukan beberapa disiplin ilmu untuk menjaga keutuhan konsep yang membangun tema. Oleh sebab itu, tema-tema kontekstual merupakan cara yang tepat untuk menerapkan IPA terpadu. Pada tema lemari pendingin, konsep tentang kalor (fisika) paling banyak muncul pada bahan ajar, diantaranya tentang bagaimana proses yang terjadi pada siklus pendinginan. Konsep adaptasi (biologi) muncul saat menjelaskan bagaimana suhu dingin menyebabkan makanan lebih awet. Konsep-konsep dalam IPBA muncul saat membahas bagaimana kerusakan atmosfer yang disebabkan oleh lemari pendingin. Di dalam bahan ajar, siswa juga telah dikenalkan pada penggunaan rumus kimia beberapa zat.

Produk bahan ajar yang dihasilkan dari rekonstruksi tidak cukup dengan hanya memuat konsep-konsep yang akurat. Bahan ajar harus divalidasi, setidaknya dari tiga aspek utama, yaitu aspek materi, penyajian, dan bahasa serta keterbacaan. Nilai CVI bahan ajar pada setiap aspek menunjukan bahwa setiap aspek valid, dan dapat diterima.

Persentase kemampuan literasi sains siswa berdasarkan hasil pretes menunjukan bahwa siswa memiliki kemampuan literasi sains yang rendah. Siswa belum dapat menjelaskan fenomena dan teknologi yang ditemui pada


(46)

77

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kehidupan sehari-hari. Melalui bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin yang dikembangkan dengan model MER, kemampuan literasi sains siswa dapat meningkat. Hal ini dibuktikan dengan nilai N-gain yang termasuk kategori sedang. Rata-rata kemampuan kognitif sebesar 63% merupakan nilai yang cukup tinggi bagi siswa di tempat penelitian dilaksanakan.

Bahan ajar IPA terpadu tidak hanya meningkatkan kemampuan akademis siswa, tetapi juga mendapatkan tanggapan positif dari siswa. Kegiatan praktikum merupakan komponen pembelajaran yang mendapat nilai tanggapan terbesar. Hal ini mengindikasikan bahwa memperbanyak kegiatan praktikum merupakan upaya terbaik untuk meningkatkan ketertarikan siswa dalam pembelajaran.

B. Saran

Bertolak dari adanya peningkatan kemampuan akademis siswa setelah pembelajaran, peneliti menyarankan kepada penyelenggara pendidikan untuk membantu mewujudkan pembelajaran IPA secara terpadu. Mengembangkan bahan ajar sendiri merupakan suatu cara untuk meningkatkan pengetahuan guru, baik dari segi konten IPA maupun dari segi pedagogik. Guru harus selalu mengembangkan kemampuannya. Merancang praktikum, menjelaskan fenomena-fenomena sekitar, dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian dari aktivitas guru sebagai bekal mengembangkan bahan ajar sekaligus mengajarkan konsep–konsep IPA.

Penelitian seperti ini akan lebih baik jika dilakukan dengan menyertakan aspek sikap dalam evaluasi. Aspek sikap sains merupakan salah satu aspek dari literasi sains yang penting, yang hanya disentuh dalam diskusi kelas dalam penelitian ini. Penelitian selanjutnya harus mengembangkan instrumen yang mengukur aspek sikap sains.

Dari aktivitas siswa saat pembelajaran, guru menyadari adanya peningkatan minat siswa dalam belajar, khususnya dalam mengikuti kegiatan


(47)

praktikum. Hal ini diperkuat dengan hasil tanggapan siswa tentang bahan ajar, yang menunjukan sikap positif dengan persentase tertinggi pada kegiatan praktikum. Sangat baik jika penelitian selanjutnya menjadikan kegiatan praktikum sebagai variabel penelitian yang diukur.

Berdasarkan hasil ujicoba, pembelajaran dengan menggunakan bahan ajar IPA terpadu yang mengangkat tema kontekstual dapat meningkatkan literasi sains siswa. Akan tetapi dalam penelitian ini, hasil tersebut tidak menguji signifikansi hipotesis. Sangat baik jika penggunaan bahan ajar diterapkan pada penelitian sebenarnya, dimulai dengan langkah pemilihan subjek penelitian yang benar. Dengan demikian, penelitian dapat dilakukan hingga menguji hipotesis, sehingga taraf signifikansi peningkatan prestasi dapat diuji secara statistik.

Berdasarkan hasil validasi bahan ajar, terdapat dua hal yang menjadi perhatian peneliti untuk pengembangan bahan ajar berikutnya. Kedua hal tersebut diantaranya :

1. Peneliti merasakan sulitnya merangkaikan kata yang sesuai dengan perkembangan siswa SMP. Oleh sebab itu, penjelasan konsep dalam bahan ajar yang akan dikembangkan harus memperbanyak gambar yang menarik dan memperjelas konsep.

2. Walaupun terdapat penjelasan untuk setiap istilah baru, akan tetapi masih ada siswa yang kesulitan dalam mencarinya. Untuk itu, penambahan daftar istilah di bagian akhir dari bahan ajar penting untuk dilakukan.


(48)

79

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Daftar Pustaka

Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Bahriah, E.S. (2012). Pengembangan Multimedia Interaktif Keseimbangan

Kimia Untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa. Tesis pada SPS UPI

Bandung : tidak diterbitkan.

Bell, T., Urhahne, D., Schanze, S., Ploentzer, R. (2010). “Collaborative

Inquiry Learning: Models, Tools, and Challenges”. International

Journal of Science Education. 32 (3), 349-377.

Bybee, R., Mc Crae, B., Laurie, R. (2009). “PISA 2006 : An Assessment of

Science Literacy”. Journal Research in Science Teaching. 46 (8),

865-883.

Dahar, R.W. (2006). Teori Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

Depdiknas. (2006). Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu

Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta:

Depdiknas.

Dikti. ( ). Bahan Ajar, [Online]. Tersedia: www.dikti.go.id/files/atur/KTSP-SMK/11.ppt [16 Februari 2013]

Djaali., Muljono, P. (2008). Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo.

Duit, R. (2007). “Science Education Research Internationally: Conceptions,

Research Methods, Domains of Research”. Eurasia Journal of

Mathematics, Science & Technology Education. 3(1), 3–15.

Duit, R., Gropengiesser, H., Kattmann, U., Komorek, M., Parchmann, I. (2012). The Model Of Educational Reconstruction – A Framework For Improving Teaching And Learning Sciences. Eurasia Journal of

Mathematics, Science & Technology Education. 5, 13-38.

Hake, R.R., (1999). Analyzing Change/Gain Scores, [Online]. Tersedia: http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf [12 Desember 2013]


(49)

Holbrook, J., Rannikmae, M. (2008). The Meaning of Scientific Literacy.

International Journal of Enviroment & Science Education. 5(3),

275-288.

Ismunandar, Permanasari, A. (2004). Pedoman Penilaian Buku Pelajaran

Kimia Sekolah Mengah Atas. Jakarta: Depdiknas.

Karno To. (1996). Mengenal Analisis Tes. Bandung: FIP IKIP Bandung.

Lawshe, C. H. (1975). “A Quantitative Approach to Content Validity”.

Personnel Psychology. 28, 563-575.

Niebert, K., Gropengiesser, H. (2013). “The Model of Educational

Reconstruction: A framework for the Design of Theory Based Content

Specific Interventions. The Example of Climate Change”. Netherlands

Institute for Curriculum Depelopement. __(__), 511-531.

Oh, P. S. (2009). “How Can Teacher Help Student Formulate Scientific

Hypotheses? Some Strategy Found in Abductive Inquiry Activities of

Earth Science”. International Journal of Science Education. 32 (4),

541-560.

Panuju, R. (2000). [Online]. Tersedia: http://elib.unikom.ac.id/

files/disk1/587/jbptunikompp-gdl-titaadisuk-29345-9-unikom_t-i.pdf. [15 Februari 2013].

Priatna, B. A. (2008). Instrumen Penelitian, [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/ JUR._PEND._MATEMATIKA/ 196412051990031-BAMBANG_AVIP_PRIATNA M/Makalah_ November_2008.pdf [18 Desember 2013].

Puslitjaknov. (2008). Metode Penelitian Pengembangan, Jakarta: Depdiknas.

Ramdani, Y. (2012). “Pengembangan Instrumen Dan Bahan Ajar Untuk

Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, Dan Koneksi Matematis dalam Konsep Integral” Jurnal Penelitian Pendidikan.

13(1), 44-52.

Slavin, R. E. (2005). Cooperative Learning Teori Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.


(50)

81

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Sukardi, MM.S. (2011). Evaluasi Pendidikan Prinsip & Operasionalnya. Jakarta: Bumi Aksara.

Surya, M. (2008). Mendidik Guru Berkualitas Untuk Pendidikan Berkualitas.

___________. 1(3), 197-211.

Syaadah, E. (2013). Implementasi Pebelajaran IPA Terpadu Pada Tema air

dan Kesehatan Untuk Meningkatkan Literasi Sains Peserta Didik SMP. Skripsi pada UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Wang, H. C., Hsu, C. W. (2006). “Teaching-Material Design Center: An

Ontology-Based System For Customizing Reusable E-Materials”.

46( ) 458–470.

Yager, R.E., Hamid, N.H., Akcay, H. ( 2005). “The Effect of Varied Inquiry

Experiences and Student Question and Action in STS Classrooms”.

Buletin of Science, Tecnology, & Society. 25 (5), 426-434.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu dengan model MER menghasilkan bahan ajar dengan karakteristik yang memuat konsep yang utuh dan kaya materi yang mendukung peningkatan literasi sains siswa. Karakteristik bahan ajar seperti ini dihasilkan dengan menggunakan analogi, menambahkan pengetahuan yang relevan dengan konsep yang dibahas, dan menyisipkan gambar. Ketiga hal tersebut memberikan pengalaman pembelajaran yang lebih kongkret kepada siswa. Diperlukan beberapa disiplin ilmu untuk menjaga keutuhan konsep yang membangun tema. Oleh sebab itu, tema-tema kontekstual merupakan cara yang tepat untuk menerapkan IPA terpadu. Pada tema lemari pendingin, konsep tentang kalor (fisika) paling banyak muncul pada bahan ajar, diantaranya tentang bagaimana proses yang terjadi pada siklus pendinginan. Konsep adaptasi (biologi) muncul saat menjelaskan bagaimana suhu dingin menyebabkan makanan lebih awet. Konsep-konsep dalam IPBA muncul saat membahas bagaimana kerusakan atmosfer yang disebabkan oleh lemari pendingin. Di dalam bahan ajar, siswa juga telah dikenalkan pada penggunaan rumus kimia beberapa zat.

Produk bahan ajar yang dihasilkan dari rekonstruksi tidak cukup dengan hanya memuat konsep-konsep yang akurat. Bahan ajar harus divalidasi, setidaknya dari tiga aspek utama, yaitu aspek materi, penyajian, dan bahasa serta keterbacaan. Nilai CVI bahan ajar pada setiap aspek menunjukan bahwa setiap aspek valid, dan dapat diterima.

Persentase kemampuan literasi sains siswa berdasarkan hasil pretes menunjukan bahwa siswa memiliki kemampuan literasi sains yang rendah. Siswa belum dapat menjelaskan fenomena dan teknologi yang ditemui pada


(2)

kehidupan sehari-hari. Melalui bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin yang dikembangkan dengan model MER, kemampuan literasi sains siswa dapat meningkat. Hal ini dibuktikan dengan nilai N-gain yang termasuk kategori sedang. Rata-rata kemampuan kognitif sebesar 63% merupakan nilai yang cukup tinggi bagi siswa di tempat penelitian dilaksanakan.

Bahan ajar IPA terpadu tidak hanya meningkatkan kemampuan akademis siswa, tetapi juga mendapatkan tanggapan positif dari siswa. Kegiatan praktikum merupakan komponen pembelajaran yang mendapat nilai tanggapan terbesar. Hal ini mengindikasikan bahwa memperbanyak kegiatan praktikum merupakan upaya terbaik untuk meningkatkan ketertarikan siswa dalam pembelajaran.

B. Saran

Bertolak dari adanya peningkatan kemampuan akademis siswa setelah pembelajaran, peneliti menyarankan kepada penyelenggara pendidikan untuk membantu mewujudkan pembelajaran IPA secara terpadu. Mengembangkan bahan ajar sendiri merupakan suatu cara untuk meningkatkan pengetahuan guru, baik dari segi konten IPA maupun dari segi pedagogik. Guru harus selalu mengembangkan kemampuannya. Merancang praktikum, menjelaskan fenomena-fenomena sekitar, dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian dari aktivitas guru sebagai bekal

mengembangkan bahan ajar sekaligus mengajarkan konsep–konsep IPA.

Penelitian seperti ini akan lebih baik jika dilakukan dengan menyertakan aspek sikap dalam evaluasi. Aspek sikap sains merupakan salah satu aspek dari literasi sains yang penting, yang hanya disentuh dalam diskusi kelas dalam penelitian ini. Penelitian selanjutnya harus mengembangkan instrumen yang mengukur aspek sikap sains.


(3)

praktikum. Hal ini diperkuat dengan hasil tanggapan siswa tentang bahan ajar, yang menunjukan sikap positif dengan persentase tertinggi pada kegiatan praktikum. Sangat baik jika penelitian selanjutnya menjadikan kegiatan praktikum sebagai variabel penelitian yang diukur.

Berdasarkan hasil ujicoba, pembelajaran dengan menggunakan bahan ajar IPA terpadu yang mengangkat tema kontekstual dapat meningkatkan literasi sains siswa. Akan tetapi dalam penelitian ini, hasil tersebut tidak menguji signifikansi hipotesis. Sangat baik jika penggunaan bahan ajar diterapkan pada penelitian sebenarnya, dimulai dengan langkah pemilihan subjek penelitian yang benar. Dengan demikian, penelitian dapat dilakukan hingga menguji hipotesis, sehingga taraf signifikansi peningkatan prestasi dapat diuji secara statistik.

Berdasarkan hasil validasi bahan ajar, terdapat dua hal yang menjadi perhatian peneliti untuk pengembangan bahan ajar berikutnya. Kedua hal tersebut diantaranya :

1. Peneliti merasakan sulitnya merangkaikan kata yang sesuai dengan

perkembangan siswa SMP. Oleh sebab itu, penjelasan konsep dalam bahan ajar yang akan dikembangkan harus memperbanyak gambar yang menarik dan memperjelas konsep.

2. Walaupun terdapat penjelasan untuk setiap istilah baru, akan tetapi masih ada siswa yang kesulitan dalam mencarinya. Untuk itu, penambahan daftar istilah di bagian akhir dari bahan ajar penting untuk dilakukan.


(4)

Daftar Pustaka

Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Bahriah, E.S. (2012). Pengembangan Multimedia Interaktif Keseimbangan Kimia Untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa. Tesis pada SPS UPI Bandung : tidak diterbitkan.

Bell, T., Urhahne, D., Schanze, S., Ploentzer, R. (2010). “Collaborative Inquiry Learning: Models, Tools, and Challenges”. International Journal of Science Education. 32 (3), 349-377.

Bybee, R., Mc Crae, B., Laurie, R. (2009). “PISA 2006 : An Assessment of

Science Literacy”. Journal Research in Science Teaching. 46 (8), 865-883.

Dahar, R.W. (2006). Teori Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

Depdiknas. (2006). Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu

Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta:

Depdiknas.

Dikti. ( ). Bahan Ajar, [Online]. Tersedia: www.dikti.go.id/files/atur/KTSP-SMK/11.ppt [16 Februari 2013]

Djaali., Muljono, P. (2008). Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo.

Duit, R. (2007). “Science Education Research Internationally: Conceptions,

Research Methods, Domains of Research”. Eurasia Journal of

Mathematics, Science & Technology Education. 3(1), 3–15.

Duit, R., Gropengiesser, H., Kattmann, U., Komorek, M., Parchmann, I. (2012). The Model Of Educational Reconstruction – A Framework For Improving Teaching And Learning Sciences. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. 5, 13-38.

Hake, R.R., (1999). Analyzing Change/Gain Scores, [Online]. Tersedia: http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf [12 Desember 2013]


(5)

Holbrook, J., Rannikmae, M. (2008). The Meaning of Scientific Literacy. International Journal of Enviroment & Science Education. 5(3), 275-288.

Ismunandar, Permanasari, A. (2004). Pedoman Penilaian Buku Pelajaran Kimia Sekolah Mengah Atas. Jakarta: Depdiknas.

Karno To. (1996). Mengenal Analisis Tes. Bandung: FIP IKIP Bandung. Lawshe, C. H. (1975). “A Quantitative Approach to Content Validity”.

Personnel Psychology. 28, 563-575.

Niebert, K., Gropengiesser, H. (2013). “The Model of Educational Reconstruction: A framework for the Design of Theory Based Content Specific Interventions. The Example of Climate Change”. Netherlands Institute for Curriculum Depelopement. __(__), 511-531.

Oh, P. S. (2009). “How Can Teacher Help Student Formulate Scientific Hypotheses? Some Strategy Found in Abductive Inquiry Activities of Earth Science”. International Journal of Science Education. 32 (4), 541-560.

Panuju, R. (2000). [Online]. Tersedia: http://elib.unikom.ac.id/

files/disk1/587/jbptunikompp-gdl-titaadisuk-29345-9-unikom_t-i.pdf. [15 Februari 2013].

Priatna, B. A. (2008). Instrumen Penelitian, [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/ JUR._PEND._MATEMATIKA/

196412051990031-BAMBANG_AVIP_PRIATNA M/Makalah_

November_2008.pdf [18 Desember 2013].

Puslitjaknov. (2008). Metode Penelitian Pengembangan, Jakarta: Depdiknas. Ramdani, Y. (2012). “Pengembangan Instrumen Dan Bahan Ajar Untuk

Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, Dan Koneksi Matematis dalam Konsep Integral” Jurnal Penelitian Pendidikan. 13(1), 44-52.

Slavin, R. E. (2005). Cooperative Learning Teori Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.


(6)

Sukardi, MM.S. (2011). Evaluasi Pendidikan Prinsip & Operasionalnya. Jakarta: Bumi Aksara.

Surya, M. (2008). Mendidik Guru Berkualitas Untuk Pendidikan Berkualitas. ___________. 1(3), 197-211.

Syaadah, E. (2013). Implementasi Pebelajaran IPA Terpadu Pada Tema air dan Kesehatan Untuk Meningkatkan Literasi Sains Peserta Didik SMP. Skripsi pada UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Wang, H. C., Hsu, C. W. (2006). “Teaching-Material Design Center: An Ontology-Based System For Customizing Reusable E-Materials”. 46( ) 458–470.

Yager, R.E., Hamid, N.H., Akcay, H. ( 2005). “The Effect of Varied Inquiry Experiences and Student Question and Action in STS Classrooms”. Buletin of Science, Tecnology, & Society. 25 (5), 426-434.