Pencegahan Dan Penanganan Gastropati OAINS.

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN GASTROPATI OAINS
Muhammad Begawan Bestari
Endoscopy Center
Sub Bagian Gastroenterohepatologi
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK Unpad / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
Abstrak
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) adalah obat yang paling sering diresepkan untuk
nyeri kronis. Komplikasi gastrointestinal (GI) dari pengobatan OAINS merupakan
penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Pada sebagian besar pasien, gastropati yang
diinduksi OAINS bersifat superfisial dan dapat sembuh spontan. Namun, ulkus peptikum
dapat terjadi dan dapat menyebabkan perdarahan, perforasi, bahkan kematian. OAINS
dapat menyebabkan kerusakan saluran pencernaan melalui kerusakan topikal dari
mukosa penghalang, inhibisi sistemik sintesis prostaglandin atau kombinasi keduanya.
Faktor risiko terjadinya komplikasi terkait OAINS meliputi usia> 65 tahun, riwayat adanya
ulkus, penggunaan kortikosteroid atau antikoagulan bersamaan, penggunaan beberapa
atau dosis tinggi OAINS. Risiko gastrointestinal distratifikasi ke dalam kelompokkelompok berisiko rendah (yaitu tanpa faktor-faktor risiko), moderate (adanya satu atau
dua faktor risiko) dan tinggi (faktor-faktor risiko multipel), riwayat komplikasi ulkus, atau
penggunaan kortikosteroid atau antikoagulan secara bersamaan). Strategi terapeutik
ideal dapat menyembuhkan ulkus yang terkait OAINS dan mencegah terjadinya lesi baru
akibat OAINS serta komplikasinya pada pasien yang tidak dapat menghentikan terapi

OAINS. Terdapat dua metoda yang digunakan untuk mencegah timbulnya ulserasi
peptikum dan kerusakan mukosa pada pasien-pasien yang sedang menggunakan
OAINS: (i) ko-terapi dengan PPI (proton pump inhibitior), H2RA (histamine-2-receptor
antagonist) dosis-tinggi (2x), atau analog prostaglandin E1 sintetis, yaitu misoprostol; dan
(ii) mengganti OAINS tradisional dengan inhibitor COX-2.Penekanan asam oleh PPI
merupakan cara yang efektif untuk penyembuhan lesi gastroduodenal terkait OAINS dan
merupakan terapi profilaksis yang paling efektif.
Kata kunci: OAINS, gastropati, ulkus, PPI, misoprostol, H2RA

PENDAHULUAN
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) merupakan golongaan obat yang berperan
penting dalam pengobatan artritis dan kelainan muskuloskeletal lainnya, serta sebagai
analgesik dalam berbagai kondisi klinis. Sayangnya, penggunaannya terbatas oleh efek
samping OAINS terhadap kerusakan mukosa pada saluran cerna bagian atas, mencakup
terjadinya gejala dispepsia, penyakit ulkus peptikum dan komplikasi-komplikasinya,
(1)
seperti perdarahan gastrointestinal bagian atas dan perforasi. Sebanyak 25% dari
(2)
pengguna kronis OAINS akan terjadi ulkus peptikum
dan 2-4% akan mengalami

(3, 4)
perdarahan atau perforasi.
Kejadian-kejadian gastrointestinal ini mengakibatkan
lebih dari 100.000 kedatangan berobat ke rumah sakit tiap tahunnya di AS dan antara
7.000 sampai 10.000 kematian, terutama di antara mereka yang berada dalam kategori
(5)
berisiko-tinggi. Pada suatu meta-analisis, risiko relatif keseluruhan untuk komplikasi(6)
komplikasi ini pada pasien-pasien yang memakan OAINS sekitar 2,4.
Namun, risiko
relatif ini meningkat secara signifikan di antara pasien-pasien yang tergolong kategori
(6, 7)
risiko tinggi.
Karena itu, dokter yang meresepkan OAINS dihadapkan ke dalam dua
masalah: (i) identifikasi pasien-pasien yang berisiko tinggi dan (ii) pemilihan strategi yang
tepat untuk mencegah ulkus peptikum dan komplikasi-komplikasinya.

Meski insidensi gastropati OAINS serius pada penelitian kohort telah menurun sebesar
(8)
67% sejak 1992 , kekhawatiran lain mengenai potensial bahaya kardiovaskuler oleh
inhibitor COX (cyclooxygenase)-2 dan OAINS lainnya telah membuat keputusan klinis

lebih sulit lagi. Saat memilih suatu obat, seorang dokter sekarang harus
menyeimbangkan tidak hanya potensi analgesik dan anti inflamasi terhadap toksisitas
gastrointestinal, tapi juga harus menilai risiko kardiovaskuler untuk pasien. Faktor
tambahan lainnya adalah aspirin dan OAINS yang mencakup Coxib, dapat mengurangi
risiko kejadian atau kekambuhan adenoma kolon dan kanker kolorektal; sebagai
akibatnya, risiko/manfaat untuk kejadian gastrointestinal dan kejadian kardiovaskuler bagi
mereka yang sedang memakai aspirin dan OAINS dosis rendah pada suatu populasi
(9, 10)
yang secara teoritis sehat sekarang mengkonfrontasi kita.
FAKTOR RISIKO KOMPLIKASI YANG TERKAIT DENGAN OAINS
Faktor risiko komplikasi gastrointestinal yang terkait dengan OAINS telah diidentifikasi
melalui suatu penelitian seri kasus-kontrol dan penelitian kohort yang membandingkan
hasil akhir (akibat) bagi pasien-pasien yang memakai obat-obat ini dengan kelompok
kontrol. Pada penelitian nested case-control yang didasarkan atas angka insidensi
perawatan karena perdarahan gastrointestinal pada resipien Medicaid di atas usia 65
tahun di Tennessee didapatkan suatu peningkatan risiko bagi mereka yang berusia di
atas 65 tahun (odds ratio 4,7), mereka yang memakai dosis OAINS lebih tinggi (odds
ratio 8,0), mereka yang mempunyai riwayat relatif jangka pendek penggunaan OAINS
(kurang dari 1 bulan; odds ratio 7,2), dan juga mereka yang secara bersamaan memakai
(11)

kortikosteroid (odds ratio 4,4) atau antikoagulan (odds ratio 12,7).
Pada suatu penelitian besar lainnya yang didasarkan atas temuan otopsi pada pasienpasien yang mempunyai riwayat penggunaan OAINS, ulkus (tukak) lambung dan
duodenum ditemukan lebih umum di antara pasien-pasien yang telah mengkonsumsi
(12)
OAINS selama kurang dari 3 bulan.
Walaupun risiko komplikasi ulkus menurun
sesudah beberapa bulan pertama penggunaan OAINS, hal tersebut tidak berkurang
dengan terapi jangka panjang. Suatu penelitian kohort retrospektif, juga berdasarkan
pada data2 dari pasien Medicaid, memperlihatkan peningkatan risiko keseluruhan yang
sama untuk perdarahan gastrointestinal pada pasien-pasien yang sedang menggunakan
(13)
OAINS, terutama untuk pasien-pasien yang berusia lebih dari 60 tahun.
(14)

Data2 yang sama telah diperoleh dari penelitian-penelitian kohort besar lainnya.
Suatu
penelitian besar prospektif multisenter pada pasien artritis reumatoid (N=2.747)
memperlihatkan bahwa faktor-faktor risiko utama untuk kejadian gastrointestinal serius
dan perawatan adalah umur, riwayat ulserasi sebelumnya yang terkait dengan OAINS
dan komplikasinya, penggunaan kortikosteroid, dan debilitas. Insidensi keseluruhan,

pada penelitian utama ini, untuk hospitalisasi pada kejadian gastrointestinal serius dan
(7)
kematian selama terapi OAINS pada pasien-pasien artritis reumatoid yaitu 1,58%.
Uji-klinik besar lain yang memakai kontrol, dirandom, double-blind dan prospektif pada
lebih dari 8.000 pasien penderita artritis reumatoid mengidentifikasi penyakit
kardiovaskuler sebagai suatu faktor risiko utama untuk komplikasi gastrointestinal bagian
atas pada pemakaian OAINS (odds ratio:1,84). Pada penelitian yang sama ini, pasienpasien yang berusia di atas 75 tahun (odds ratio:2,48), pasien-pasien yang mempunyai
ulkus peptikum sebelumnya (odds ratio:2,29), dan perdarahan gastrointestinal
(15)
sebelumnya (odds ratio: 2,56) juga terkait dengan peningkatan risiko.
Penelitian-penelitian lebih kini menyatakan bahwa risiko komplikasi gastrointestinal
dapat lebih rendah pada beberapa OAINS seperti ibuprofen, nabumetone, meloxicam,
(16)
dan etodolac, serta lebih tinggi pada sulindac, piroxicam, dan ketorolak.
Dari suatu
meta-analisis yang menilai gejala dispepsia akibat OAINS memperlihatkan bahwa dosis

tinggi semua OAINS dan setiap dosis indomethacin, meclofenamate atau piroxicam
meningkatkan risiko dispepsia sebesar 3 kali lipat. Sedangkan OAINS lainnya pada dosis
(17)

rendah tidak meningkatkan risiko dispepsia.
Pada kasus ibuprofen, hal ini dapat disebabkan oleh penggunaan dosis analgesik yang
lebih rendah pada umumnya, terutama dalam hubungan dengan preparat ibuprofen yang
tersedia secara bebas (over the counter/OTC). Nabumetone, meloxicam, dan etodolac
bisa mempunyai beberapa derajat selektivitas COX-2 sedangkan sulindac, piroxicam,
dan ketorolac mempunyai peningkatan toksisitas oleh karena waktu-paruh dalam plasma
(18)
yang lama, sehingga mengakibatkan paparan mukosal yang lebih lama.
Suatu penelitian sangat besar dari the Spanish National Health System memperlihatkan
angka kematian 15,3 orang per 100.000 pengguna OAINS/aspirin. Temuan paling
menarik pada penelitian Spanyol ini adalah angka kematian yang dilaporkan yang terkait
dengan penggunaan OAINS hanya sepertiga dari angka kematian yang dikutip secara
(19)
luas di AS.
Penggunaan aspirin saja dalam dosis rendah, dengan tidak ada faktor-faktor risiko
lainnya terkait dengan peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal dan kematian
akibat komplikasi gastrointestinal. Banyak penelitian pada pasien-pasien yang sedang
menggunakan aspirin saja dalam dosis rendah memperlihatkan risiko relatif 2-4 untuk
(20, 21)
perdarahan gastrointestinal.

Suatu meta-analisis terkini pada 14 RCT (randomized
controlled trial), yang mencakup lebih dari 57.000 pasien yang sedang menggunakan
aspirin dosis rendah (75-325 mg/hari), memperlihatkan risiko relatif 2,07 untuk
(20)
perdarahan gastrointestinal yang signifikan.
Lebih jauh, persentase besar pasienpasien yang sedang menggunakan aspirin dosis rendah adalah orang-orang yang
berusia lanjut, mempunyai komorbiditas multipel dan penyakit kardiovaskuler, dan
mungkin dianjurkan menggunakan antikoagulan, OAINS dan kortikosteroid, yang salah
satu dari obat tersebut akan meningkatkan risiko relatif kejadian gastrointestinal sampai
(21)
beberapa kali dibanding aspirin dosis rendah saja.
Penting untuk diingat bahwa para
dokter sering tidak mengetahui bahwa pasien sedang mengobati sendiri dengan aspirin
dosis rendah ketika mereka diberi resep OAINS untuk meringankan nyeri atau antiinflamasi.
Sampai sekarang, analisis data mengenai peran infeksi Helicobacter pylori sebagai suatu
faktor risiko untuk perdarahan gastrointestinal pada pengguna OAINS masih diliputi
kegagalan, pada banyak penelitian, yang bertanggungjawab untuk berbagai pengaruh
dari
faktor-faktor risiko multipel dan terdapat bersama-sama. Karena itu, tidak
(22)

mengherankan, beberapa penelitian menghasilkan hasil-hasil bertentangan.
Sampai
sekarang, terdapat data-data yang memperlihatkan bahwa H.pylori meningkatkan, tidak
(23)
mempunyai efek, dan mengurangi risiko ulkus pada pengguna OAINS.
Suatu meta-analisis komprehensif pada 16 penelitian kasus-kontrol memperlihatkan
bahwa risiko perdarahan ulkus peptikum meningkat sebesar faktor 1,79 oleh infeksi
H.pylori, sebesar 4,85 oleh penggunaan OAINS dan sebesar 6,13 dalam keadaan ada
(24)
infeksi H.pylori dan penggunaan OAINS, yang secara kuat menyatakan efek aditif.
(25)

Dari suatu meta-analisis diperoleh temuan-temuan yang sama.
Dukungan lebih jauh
untuk peran aditif infeksi H.pylori dalam konteks penggunaan OAINS diperoleh dari uji
klinik mengenai dampak eradikasi H.pylori. Eradikasi H.pylori pada pasien-pasien
berisiko tinggi sebelum memulai terapi H.pylori telah memperlihatkan penurunan risiko
(26, 27)
ulserasi selanjutnya secara signifikan.
Dua tinjauan sistematik secara konsisten

telah memperlihatkan bahwa eradikasi H.pylori bersifat superior terhadap plasebo dalam
pencegahan primer ulkus peptikum di antara para pengguna OAINS (rasio risiko:0,35 dan
(25, 28)
(28)
95% CI: 0,20-0,61).
Leontiadis et al
memperlihatkan bahwa strategi yang paling

murah untuk pencegahan primer ulkus yang terkait dengan OAINS adalah eradikasi
H.pylori pada pasien-pasien yang berusia di atas 50 tahun. Namun, banyak pasien
menggunakan OAINS secara intermiten dan sering hanya untuk waktu singkat. Apakah
suatu tes dan strategi pengobatan akan murah untuk kelompok besar ini masih belum
diketahui.
Lebih jauh, juga telah terlihat bahwa eradikasi infeksi H.pylori saja tidak cukup untuk
(29-31)
pencegahan sekunder perdarahan ulkus peptikum pada pengguna OAINS kronis.
Pada salah satu dari penelitian-penelitian ini, 400 pasien H.pylori positif dengan riwayat
perdarahan gastrointestinal yang sedang menggunakan 80 mg aspirin (N=250), atau
OAINS tradisional (N=150), diberi pengobatan dengan PPI (proton pump inhibitor)
selama 8 minggu, dan kemudian diganti dengan aspirin 80 mg/hari, atau naproxen 500

mg b.i.d. Mereka kemudian dirandom untuk menerima 1 minggu terapi triple berbasis
bismuth untuk eradikasi H.pylori yang diikuti dengan plasebo selama 6 bulan atau PPI
(omeprazole 20 mg/hari) selama 6 bulan. Pada kelompok aspirin dosis rendah ini tidak
terdapat perbedaan insidensi kekambuhan perdarahan di antara kelompok eradikasi
H.pylori dan kelompok yang menggunakan PPI.
Pada pasien-pasien yang menerima naproxen, terapi PPI bersifat superior dibandingkan
dengan eradikasi H.pylori dalam mencegah kekambuhan perdarahan (14,4% perbedaan
(28)
absolut dalam peluang perdarahan, 95% CI: 4,4-24,4%, p=0,005).
RCT lain
memperlihatkan bahwa sesudah eradikasi H.pylori, ko-terapi dengan PPI (lansoprazol 30
mg/hari) secara signifikan mengurangi risiko perdarahan kembali pada pasien-pasien
berisiko tinggi yang sedang menggunakan aspirin dosis rendah ketika dibandingkan
dengan pasien-pasien yang sedang menggunakan aspirin dan plasebo (1,6 vs
14,8%,p=0,008). Namun, di antara pasien-pasien yang mengalami perdarahan kembali
pada kelompok plasebo, 2/3nya mengalami kegagalan mengeradikasi H.pylori atau telah
(29)
menggunakan OAINS konkomitan. Dengan menyingkirkan perancu-perancu ini, hanya
5% pasien yang memperoleh keberhasilan eradikasi H.pylori mengalami kekambuhan
perdarahan ulkus dengan aspirin dosis rendah dalam 12 bulan.

Penelitian-penelitian skala besar, jangka panjang diperlukan untuk mengevaluasi
manfaat sesungguhnya dari eradikasi H.pylori pada pengguna aspirin dosis rendah yang
berisiko mengalami komplikasi ulkus. Mengapa efek eradikasi H.pylori harus berbeda di
antara para pengguna OAINS dan pengguna aspirin dosis rendah? Satu penjelasan yang
mungkin adalah bahwa aspirin dosis rendah tidak bersifat ulserogenik seperti OAINS.
Dengan demikian, aspirin dosis rendah kemungkinan memprovokasi perdarahan pada
ulkus H.pylori yang sudah ada sebelumnya. Dengan menyembuhkan infeksi tersebut
akan menyembuhkan ulkus H.pylori sehingga dengan memulai lagi aspirin dosis rendah
saja tidak cukup untuk menginduksi ulserasi kambuhan.
Kesimpulan
(i) Faktor risiko untuk komplikasi gastrointestinal yang terkait dengan OAINS
mencakup
kejadian
gastrointestinal
sebelumnya
(terutama
jika
berkomplikasi), umur, penggunaan antikoagulan yang bersamaan,
kortikosteroid, OAINS lain yang mencakup aspirin dosis rendah, terapi
OAINS dosis tinggi, dan penyakit kardiovaskuler.
(ii) Aspirin dosis rendah terkait dengan risiko pasti adanya komplikasi
gastrointestinal.
(iii) Infeksi H.pylori meningkatkan risiko komplikasi gastrointestinal yang terkait
dengan OAINS.
(iv) Terdapat keuntungan potensial dari tes infeksi H.pylori dan eradikasi infeksi
jika positif pada pasien-pasien yang memerlukan terapi OAINS jangkapanjang. Apakah ko-terapi dengan senyawa gastroprotektif diperlukan

sesudah eradikasi H.pylori bergantung kepada risiko gastrointestinal yang
mendasari dari masing-masing pasien.
PERLINDUNGAN PADA MUKOSA
Dua metoda umumnya digunakan untuk mencegah timbulnya ulserasi peptikum dan
kerusakan mukosa pada pasien-pasien yang sedang menggunakan OAINS: (i) ko-terapi
dengan PPI, H2RA (histamine-2-receptor antagonist) dosis-tinggi (2x), atau analog
prostaglandin E1 sintetis, yaitu misoprostol; dan (ii) mengganti OAINS tradisional dengan
inhibitor COX-2.
(30, 32)

Meskipun ko-terapi dengan H2RA dosis-standar dapat mencegah ulkus duodenum,
senyawa tersebut belum terlihat mencegah ulserasi lambung yang terkait dengan OAINS.
Pelapisan atau OAINS enteric coating dan ko-terapi dengan sucralfate belum terlihat
(33)
efektif dalam mencegah ulserasi lambung atau duodenum yang terkait dengan OAINS.

Misoprostol
Misoprostol merupakan senyawa pertama yang telah disetujui untuk pencegahan ulserasi
yang terkait dengan OAINS. Penelitian-penelitian sebelumnya pada relawan normal
memperlihatkan penurunan nyata insidensi ulkus gastroduodenal pada pasien-pasien
yang menerima OAINS dalam kombinasi dengan misoprostol dibandingkan dengan
(34)
pasien-pasien yang menerima OAINS dan plasebo.
RCT selanjutnya pada pasienpasien yang menderita osteoartritis dan artritis reumatoid memperlihatkan bahwa
misoprostol secara signifikan lebih baik dari plasebo, sucralfate, dan ranitidin dalan
(35)
mencegah ulserasi yang terkait dengan OAINS.
Suatu meta-analisis luas pada RCT yang mengevaluasi strategi pencegahan ulserasi
lambung yang diinduksi oleh OAINS memperlihatkan bahwa misoprostol secara
(36)
signifikan lebih efektif daripada H2RA.
Suatu meta-analisis yang lebih kini
memperlihatkan bahwa ko-terapi dengan misoprostol menurunkan insidensi ulkus
duodeni sebesar 53% dan ulkus lambung sebesar 74%, ketika dibandingkan dengan
(32)
plasebo.
RCT lain yang membandingkan dosis standar misoprostol (200 mcg q.i.d.)
dengan PPI lansoprazole (dalam dosis 15 dan 30 mg per hari) memperlihatkan bahwa
93% pasien yang menggunakan misoprostol terlindungi dari timbulnya ulkus lambung
dibandingkan dengan 80 dan 82% pada dua kelompok lansoprazole, untuk masing2
(37)
dalam 12 minggu. Hasil tersebut tidak signifikan secara statistik.
Pasien-pasien yang
bebas dari ulkus sesudah 12 minggu terapi berlanjut untuk 12 minggu selanjutnya pada
regimen yang sama, dan pada akhir waktu terapi tersebut 43% diantaranya
menggunakan plasebo, 83% menggunakan misoprostol, 83% menggunakan
lansoprazole 30 mg, dan 89% menggunakan lansoprazole 15 mg masih berada dalam
keadaan bebas ulkus.
Suatu uji-klinik besar, dirandom, memakai kontrol yang membandingkan misoprostol 200
mcg q.i.d. dengan plasebo pada 8843 pasien berusia lanjut (rata2 umur 83 tahun)
penderita artritis reumatoid yang menggunakan berbagai macam OAINS memperlihatkan
40% penurunan komplikasi serius pada gastrointestinal bagian atas diantara pasien(15)
pasien yang menggunakan analog prostaglandin.
Pada penelitian ini, dan juga pada
penelitian lain, kegunaan misoprostol terbatas oleh kejadian efek samping
gastrointestinal, terutama kram dan diare, dan berdasarkan pada kepatuhan pasien pada
masalah-masalaj yang terkait dengan dosis q.i.d. Namun, harus diperhatikan, terdapat
bukti bahwa misoprostol dengan dosis yang lebih rendah (400-600 mcg/hari) juga
memberikan efek perlindungan yang signifikan dalam keadaan ada profil efek samping
(34, 35)
yang sama dengan plasebo.

Proton pump inhibitor
Proton pump inhibitor telah digunakan secara luas sebagai ko-terapi untuk mencegah
ulkus peptikum yang diinduksi oleh OAINS. Dua RCT besar telah dilakukan pada pasienpasien osteoartritis dan artritis reumatoid yang mengalami ulkus dengan diameter >3 mm
atau >10 erosi dengan membandingkan omeprazole dengan plasebo, misoprostol, dan
(38, 39)
ranitidin pada pencegahan ulkus lambung dan duodenum.
Pasien-pasien diobati
selama 8 minggu dengan salah satu senyawa aktif tersebut. Pasien-pasien yang
ulkusnya dianggap telah sembuh kemudian dirandom menjadi fase pemeliharaan 6
(38)
bulan dimana mereka diobati dengan omeprazole 20 atau 40 mg per hari atau ranitidin
150 mg b.i.d. pada penelitian pertama dan omeprazole 20 mg per hari, misoprostol 200
(39)
mcg b.i.d. atau plasebo pada penelitian kedua.
Ko-terapi omeprazole menghasilkan
penurunan signifikan jumlah total ulkus yang terkait dengan OAINS ketika dibandingkan
dengan ranitidin (p=0,004). Omeprazole lebih efektif daripada misoprostol dalam
pencegahan ulkus duodenale dan dalam mengurangi ulkus lambung pada penelitian
(39)
kedua.
Kedua obat tersebut signifikan lebih baik daripada plasebo (p=0,001). Harus
diperhatikan bahwa apa yang akan dianggap sebagai dosis efektif terendah dari
misoprostol (400 mcg/hari) yang digunakan sebagai pembanding dalam penelitian ini dan
bahwa sebagian besar dari efek keseluruhan omeprazol dalam penelitian pencegahan
ulserasi yang terkait dengan OAINS adalah disebabkan oleh penurunan insidensi ulkus
duodenum. Hal ini dapat disebabkan oleh kenyataan bahwa insidensi infeksi H.pylori
tidak ditentukan sebelum inklusi pasien-pasien dalam penelitian-penelitian ini.
Sesungguhnya, analisis post hoc memperlihatkan bahwa sebagian besar proteksi yang
ditambahkan yang disebabkan oleh penggunaan omeprazol terjadi di antara pasienpasien penderita infeksi H.pylori. Seperti telah disebutkan sebelumnya, lansoprazol
pada dosis 15 atau 30 mg/hari dibandingkan dengan misoprostol 800 mcg/hari dan
plasebo, sangat efektif (80 dan 82% untuk masing-masing) dalam mencegah ulkus
(37)
lambung pada pasien-pasien H.pylori negatif yang sedang menggunakan OAINS.
Dua RCT multisenter yang sama telah dilaporkan bersama-sama. RCT ini
membandingkan esomeprazol 20 atau 40 mg dengan plasebo dalam pencegahan ulkus
pada pasien-pasien yang menggunakan OAINS atau inhibitor COX-2 dalam perioda 6bulan. Pada penelitian pertama, yang melibatkan 844 pasien yang direkrut di AS, tingkat
ulkus adalah 20,4, 5,3, dan 4,7% untuk plasebo, esomeprazol 20 mg, dan esomeprazol
40 mg, untuk masing-masing. Pada penelitian lain, yang melibatkan 585 pasien dari
beberapa negara, tingkat ulkus berturut-turut adalah 12,3, 5,2 dan 4,4%. Pada pasienpasien pada kedua penelitian tersebut bersifat H.pylori-negatif dan dianggap mempunyai
peningkatan risiko berdasarkan pada umur (di atas 60 tahun), atau riwayat ulserasi
lambung atau duodenum yang terdokumentasi dalam 5 tahun masuk dalam penelitian ini.
Namun, tidak satu pun mempunyai bukti perdarahan atau perforasi gastrointestinal
selama 6 bulan sebelum penelitian. Empat ratus subjek dari total 1.429 sedang
menggunakan inhibitor COX-2 dan data yang digabung dari kedua penelitian tersebut
untuk subkelompok ini memperlihatkan tingkat ulkus 16,5% untuk plasebo, 0,9% untuk
esomeprazol 20 mg, dan 4,1% untuk esomeprazol 40 mg. Secara keseluruhan, untuk
pasien-pasien yang menggunakan inhibitor COX-2 atau OAINS, tingkat ulkus yaitu 17,0,
5,2 dan 4,6% untuk kelompok plasebo, esomeprazol 20 mg dan esomeprazol 40 mg,
(40)
untuk masing-masing.
Suatu penelitian kasus-kontrol terkini yang melibatkan 2.777
pasien yang dikonfirmasi secara endoskopik mengalami perdarahan gastrointestinal
bagian atas dengan 5.532 kontrol. Pada pasien-pasien yang menggunakan OAINS,
terapi PPI terkait dengan penurunan risiko yang signifikan untuk perdarahan
gastrointestinal bagian atas (risiko relatif 0,13; 95% CI: 0,09-0,19 vs risiko relatif 0,30;
(41)
95% CI:
0,17-0,53).
Penelitian endoskopik pencegahan ulkus terkini lainnya
membandingkan pantoprazol 20 dan 40 mg/hari dengan omeprazol 20 mg/hari pada 595
pasien artritis reumatoid (>umur 55 tahun) yang menggunakan OAINS tradisional per
hari. Sesudah 6 bulan, peluang untuk tetap pada remisi ulkus adalah 91 dan 95% untuk

(42)

pantoprazol 20 dan 40 mg untuk masing-masing dan 93% untuk omeprazol 20 mg.
Dengan demikian, walaupun misoprostol dalam dosis penuh (200 mcg q.i.d) sangat
(37, 39)
efektif dalam mencegah ulkus yang terkait dengan OAINS dan komplikasinya,
namun efek samping gastrointestinal, terutama kram dan diare, membatasi penggunaan
senyawa ini. Lebih jauh, penelitian-penelitian PPI yang lebih kini yang telah disebutkan
di atas telah memberikan hasil-hasil, yang sedikitnya efektif. Misoprostol dosis lebih
rendah tidak terkait dengan efek-efek samping ini tetapi nampak tidak lebih efektif
(34, 35)
dibandingkan dengan terapi PPI dosis standar.
Dengan semua alasan ini, PPI
dianggap dominan pada profilaksis dan terapi kerusakan gastrointestinal bagian atas
yang terkait dengan OAINS. Namun, perlu diingat bahwa sampai sekarang belum ada uji
klinik yang dirandom, prospektif, dan terkontrol yang mengevaluasi efikasi PPI dalam
mencegah kejadian komplikasi yang diakibatkan oleh ulkus yang terkait dengan OAINS.
Meskipun demikian, ko-terapi dengan omeprazol efektif dalam mencegah kekambuhan
perdarahan ulkus dalam suatu uji-klinik yang dirandom pada pengguna OAINS penderita
(31)
infeksi H.pylori yang sebelumnya telah mengalami perdarahan ulkus.
Data-data dari
penelitian observasional dan analisis sekunder pada suatu uji-klinik skala besar yang
dirandom juga mengindikasikan bahwa PPI mengurangi risiko perdarahan ulkus yang
terkait dengan OAINS.

H2RA dosis tinggi
Tinjauan sistematik telah memperlihatkan bahwa H2RA dosis ganda (misalnya famotidin
40 mg 2x sehari) tetapi bukannya H2RA dosis tunggal efektif dalam mengurangi risiko
(28, 32)
ulkus lambung endoskopik yang diinduksi oleh OAINS.
Modeling ekonomik
menyatakan bahwa ko-terapi dengan H2RA merupakan strategi yang murah untuk
pencegahan perdarahan ulkus pada pengguna OAINS. Brown et al membandingkan 4
strategi, yaitu OAINS plus H2RA, OAINS plus PPI, OAINS plus misoprostol, dan OAINS
selektif COX-2. Mereka memperlihatkan bahwa strategi optimal bergantung kepada
“kemauan untuk membayar”, OAINS plus H2RA merupakan strategi yang paling
(43)
murah.
Analisis ekonomi lainnya dari lima strategi yang disebutkan di atas, pada
pasien-pasien yang mempunyai risiko gastrointestinal rendah sampai rata-rata juga
menyatakan bahwa terdapat kasus untuk menganjurkan penggunaan H2RA pada semua
(44)
pasien yang memerlukan OAINS.
Seperti halnya PPI, belum ada uji-klinik yang
dirandom yang mengevaluasi efikasi H2RA pada pengguna OAINS kronis.
Inhibitor COX-2
OAINS menghambat enzim COX (cyclooxygenase), sehingga mengakibatkan penurunan
signifikan produksi prostaglandin. COX terdapat sebagai dua isoenzim, yaitu COX-1 dan
COX-2. COX-1 adalah suatu enzim konstitutif dan terdapat di banyak jaringan tubuh,
yang mencakup lambung, dimana ia mempermudah produksi prostaglandin yang penting
dalam perlindungan mukosa lambung. Sebaliknya, COX-2 merupakan enzim yang dapat
diinduksi dan terkait dengan peradangan pada persendian. Saat ini telah diketahui bahwa
inhibisi selektif
COX-2 akan mengakibatkan penurunan peradangan pada jaringan
muskuloskeletal dan,
bersama-sama dengan COX-1, mengakibatkan penurunan
(45)
insidensi kerusakan gastrointestinal.
Penelitian-penelitian sebelumnya pada relawan normal nampak mengungkap hipotesis
(46)
ini,
yang lebih jauh diperkuat oleh RCT pada 742 pasien yang berumur lebih dari 50
tahun penderita artritis. Pada penelitian selanjutnya, dua dosis rofecoxib (25 atau 50 mg)
dibandingkan dengan 2.400 mg ibuprofen atau plasebo. sesudah 24 minggu, tingkat
ulkus adalah 9,6% untuk rofecoxib 25 mg, 14,7% untuk rofecoxib 50 mg, 45,8% untuk
(47)
ibuprofen 2.400 mg, dan 9,9% untuk plasebo (12 minggu).

Pada RCT lain yang melibatkan 537 pasien penderita osteoartritis atau artritis reumatoid,
celecoxib 200 mg b.i.d dibandingkan dengan naproxen 500 mg b.i.d. Sesudah 12
minggu, insidensi kumulatif ulserasi lambung dan duodenum untuk celecoxib yaitu 9%
dan untuk naproxen 41%. Pada kelompok yang menerima celecoxib, kejadian ulkus
secara signifikan terkait dengan sejumlah faktor: infeksi H.pylori, penggunaan aspirin
(48)
secara bersamaan, dan riwayat ulkus.
Pada suatu penelitian yang sama, 181 subjek berusia lanjut (65-75 tahun) dirandom
untuk menerima naproxen 500 mg b.i.d., valdecoxib 40 mg b.i.d. (dosis supra-terapeutik)
(49)
atau plasebo. Tingkat ulkus yaitu 18, 0, dan 3% untuk masing-masing.
Dalam suatu
penelitian yang didesain untuk menentukan apakah inhibitor COX-2 saja adekuat untuk
pencegahan kekambuhan perdarahan ulkus di antara sekelompok pasien yang berisiko
sangat tinggi (yaitu mereka yang mengalami perdarahan gastrointestinal baru), 284
pasien dirandom untuk menerima celecoxib 200 mg b.i.d plus plasebo atau diklofenak 75
mg b.i.d plus omeprazol 20 mg per hari. Tingkat ulkus sesudah 6 bulan adalah 19 dan
26% untuk kelompok celecoxib/plasebo dan diklofenak/omeprazol, untuk masingmasing. Tingkat perdarahan kembali yaitu 4,9 dan 4,6%, untuk masing-masing, dalam
perioda waktu yang sama. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tingkat
kekambuhan ulkus dan perdarahan kembali pada kedua kelompok tersebut.Terlihat
bahwa pada pasien-pasien yang berisiko sangat tinggi, inhibitor COX-2 yang diberikan
atau kombinasi OAINS non-selektif dengan PPI tidak
akan mengurangi risiko
(50)
kekambuhan ulkus atau perdarahan kembali.
Oleh karena gejala dispepsia jauh lebih sering timbul dibanding komplikasi ulkus akibat
OAINS, model ekonomi menunjukkan bahwa dyspesia rate merupakan determinan
utama dari efektifitas biaya (cost effectiveness) dalam mengobati artritis. Pada penelitian
meta-analisis yang membandingkan dyspesia rate pada 2 kelompok artritis risiko tinggi
dimana 1 kelompok mendapat Coxib dan kelompok lain mendapat terapi kombinasi
OAINS dan PPI, kombinasi OAINS+PPI lebih unggul dalam mengurangi gejala dyspepsia
(51)
dibanding terapi Coxib. Risiko relatif menurun 66% dan risiko absolut menurun 9%.
Pada suatu uji-klinik double-blind yang dirandom untuk mengukur efikasi kombinasi PPI
dan inhibitor COX-2 pada pasien-pasien yang berisiko sangat tinggi mengalami
komplikasi gastrointestinal, didapat 441 pasien berturut-turut yang mengalami
perdarahan ulkus yang terkait dengan OAINS non-selektif. Mereka diberi celecoxib 200
mg dua kali sehari sesudah konfirmasi penyembuhan ulkus dan tes negatif infeksi
H.pylori. Pasien-pasien ditetapkan secara random untuk PPI (esomeprazol 20 mg dua
kali sehari) atau plasebo. Aspirin dosis rendah diperbolehkan selama penelitian ini
sesudah timbul risiko kardiovaskuler akibat inhibitor COX-2. Sesudah median follow-up
13 bulan, 8,9% dari kelompok celecoxib saja mengalami kekambuhan perdarahan ulkus
(52)
dibandingkan dengan tidak satupun dari kelompok terapi kombinasi (p=0,0004).
Terdapat 3 uji-klinik besar yang dirandom, terkontrol, yang membandingkan inhibitor
(3, 4, 53)
COX-2 dengan OAINS tradisional.
Suatu penelitian (CLASS) pada 8.059 pasien
penderita artritis membandingkan celecoxib 400 mg b.i.d. dengan ibuprofen 800 mg t.i.d,
(3)
atau diklofenak 75 mg b.i.d. Penurunan nonsignifikan 50% pada komplikasi ulkus
teramati pada kelompok celecoxib dibandingkan dengan pasien-pasien yang menerima
OAINS konvensional sesudah 6 bulan terapi. Namun, sesudah satu tahun, terdapat
sedikit atau tidak ada perbedaan di antara ketiga kelompok tersebut. Penelitian ini
mengijinkan pasien yang sedang menggunakan aspirin dosis untuk berpartisipasi; 19%
subjek masuk kedalam kategori ini. Eksklusi kelompok terakhir tadi dari analisis 6 bulan
menghasilkan tingkat komplikasi ulkus 0,5% untuk kelompok celecoxib dan 1,5% untuk
kelompok OAINS, ini merupakan suatu perbedaan yang signifikan (p=0,04). Tidak ada
perbedaan pada 6 bulan di antara intervensi-intervensi pada pasien-pasien yang telah
(3)
mengkonsumsi aspirin dosis rendah.

Uji-klinik besar lainnya (VIGOR) membandingkan hasil-hasil akhir untuk 8.076 pasien
artritis reumatoid yang menggunakan 500 mg naproxen b.i.d atau 50 mg rofecoxib per
hari. Pada penelitian ini, pengguna aspirin dosis rendah dikeluarkan dari penelitian. Pada
6 bulan, rofecoxib terkait dengan insidensi kejadian gastrointestinal yang signifikan lebih
(4)
rendah (2,1 vs 4,5%, p200 mg/hari. Diklofenak dan indometasin terkait dengan peningkatan risiko
(61)
kardiovaskuler yang sama dengan pada rofecoxib.
Pada suatu meta-analisis uji-klinik dirandom mengenai inhibitor COX-2, semua inhibitor
COX-2 terkait dengan peningkatan risiko kardiovaskuler dibandingkan dengan plasebo
(rate ratio 1,42; 95% CI: 1,13-1,78; p=0,003). Hal ini sebagian besar disebabkan oleh
peningkatan risiko miokard infark dengan sedikit perbedaan pada akibat-akibat vaskuler
lainnya. Peningkatan kejadian kardiovaskuler yang bergantung kepada dosis juga
didapat pada celecoxib. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada risiko kardiovaskuler
antara inhibitor COX-2 dan NSAID nonselektif. Naproxen merupakan satu-satunya
kekecualian yang mungkin karena obat ini tidak terkait dengan peningkatan kejadian
(62)
kardiovaskuler (109).
Kesimpulan
(i) Misoprostol, jika diberikan dalam dosis penuh (800 mcg/hari) sangat efektif
dalam mencegah ulkus dan komplikasi-komplikasi ulkus pada pasien-pasien
yang menggunakan OAINS. Sayangnya, kegunaannya terbatas oleh efek-efek
samping terhadap gastrointestinal. Ketika diberikan dalam dosis yang lebih
rendah, efektofotas dan profil efek-sampingnya sama seperti PPI.
(ii) PPI secara signifikan mengurangi ulkus lambung dan duodenum dan
komplikasinya pada pasien-pasien yang menggunakan OAINS atau inhibitor
COX-2.
(iii) Inhibitor COX-2 terkait dengan insidensi ulkus lambung dan duodenum yang
signifikan lebih rendah ketika dibandingkan dengan OAINS tradisional. Namun,
efek bermanfaat ini berkurang ketika pasien menggunakan aspirin dosis rendah
secara bersamaan. Kegunaan obat2 ini juga telah berkurang karena kaitannya
dengan miokard infark dan kejadian-kejadian kardiovaskuler trombotik lainnya.
Dosis celecoxib terendah yang mungkin karena itu harus digunakan dalam
rangka meminimalkan risiko kejadian kardiovaskuler.
(iv) Meskipun superior dibandingkan dengan plasebo, H 2RA dosis tinggi dapat
mengurangi risiko ulkus peptikum yang diinduksi oleh OAINS. H2RA secara
signifikan kurang efektif dibandingkan dengan PPI, namun, tidak ada data2 hasilakhir klinis yang membuktikan bahwa strategi ini mencegah komplikasi ulkus.

STRATEGI-STRATEGI UNTUK PENCEGAHAN KOMPLIKASI ULKUS YANG TERKAIT
DENGAN OAINS
Beberapa faktor risiko yang mencakup usia, komorbiditas, medikasi bersamaan, riwayat
medis sebelumnya, dan infeksi H.pylori telah diperlihatkan pada beragam penelitian,
yang disertai dengan derajat konsistensi besar, untuk meningkatkan risiko kerusakan
gastrointestinal yang terkait dengan OAINS. Identifikasi faktor-faktor risiko ini bersamasama dengan kemajuan strategi multipel protektif telah menjadikan konsep terapi yang
(63)
diatur sesuai dengan risiko.
Suatu pendekatan pada stratifikasi risiko digambarkan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Stratifikasi risiko terjadinya gastropati OAINS
Risiko tinggi
1. Riwayat ulkus peptikum terkomplikasi
2. Multipel (>2 faktor risiko)
Risiko moderate (1 – 2 faktor risiko)
1 Usia > 65 tahun
2 Terapi OAINS dosis tinggi
3 Riwayat ulkus peptikum tidak terkomplikasi
4 Terapi kombinasi aspirin (termasuk dosis rendah), kortikosteroid atau antikoagulan
Risiko rendah
1. Tidak ada faktor risiko
H. pylori merupakan faktor independen tambahan yang perlu diperhitungkan terpisah

Risiko gastrointestinal distratifikasi ke dalam kelompok-kelompok berisiko rendah (yaitu
tanpa faktor-faktor risiko), moderate (adanya satu atau dua faktor risiko) dan tinggi
(faktor-faktor risiko multipel), riwayat komplikasi ulkus, atau penggunaan kortikosteroid
atau antikoagulan secara bersamaan). Pendapat konsensus para ahli dalam bidang
tersebut adalah bahwa pasien-pasien yang mempunyai riwayat ulkus peptikum
berkomplikasi baru berada pada risiko sangat tinggi dan harus diobati dengan OAINS
disertai dengan kehati-hatian tinggi dan dengan cara-cara protektif maksimal. Di antara
pasien-pasien demikian, yang terbaik adalah menghindari pengobatan OAINS sama
sekali; namun, jika pengobatan anti-inflamasi harus digunakan, inhibitor COX-2 plus
(50, 52)
misoprostol atau terapi PPI harus dilakukan.
Pasien-pasien yang mempunyai riwayat penyakit ulkus peptikum, yang disertai dengan
atau tanpa komplikasi, dan penggunaan bersamaan aspirin (mencakup dosis rendah),
obat antiplatelet (misalnya clopidrogel), antikoagulan (misalnya warfarin), atau
kortikosteroid , atau dua atau lebih faktor risiko juga ditempatkan dalam kategori berisiko
tinggi; pasien-pasien ini juga harus diobati dengan inhibitor COX-2 dan dikombinasi
(3, 4, 15, 37-40)
dengan misoprostol atau PPI.
pasien-pasien yang dipertimbangkan berada
pada risiko moderat (Tabel 1) dapat diobati dengan inhibitor COX-2 saja atau OAINS plus
(46, 47, 49)
misoprostol atau PPI.
Pasien-pasien tanpa faktor-faktor risiko berada pada risiko
rendah untuk komplikasi-komplikasi ulkus peptikum yang terkait dengan OAINS dan tidak
(64)
ada cara protektif diperlukan.
Bukti sekarang menunjukkan bahwa infeksi H.pylori meningkatkan risiko ulkus peptikum
(24-26)
pada pasien-pasien yang sedang memakai OAINS
dan bahwa eradikasi H.pylori
(27-31)
menurunkan risiko ulkus.
lebih jauh modeling ekonomi secara kuat menyatakan
bahwa eradikasi H.pylori murah dalam pencegahan primer ulkus peptikum pada
pengguna OAINS berisiko-rata-rata. Dengan demikian, terdapat suatu keuntungan
potensial dari pengujian adanya infeksi H.pylori dan mengeradikasi infeksi tersebut jika
positif pada semua pasien yang memerlukan terapi OAINS. Apakah koterapi dengan obat
gastroprotektif diperlukan sesudah eradikasi H.pylori tergantung pada risiko
gastrointestinal yang mendasari pasien individualnya.

Pasien-pasien yang mempunyai faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskuler (yaitu riwayat
sebelumnya akan kejadian kardiovaskuler, diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, dan
obesitas) sering menerima aspirin profilaktik. Mereka dapat memperoleh manfaat dari
substitusi suatu OAINS yang kurang kardiotoksik daripada inhibitor COX-2. Naproxen
dapat merupakan suatu obat pilihan karena obat ini dapat mempunyai beberapa sifat
(41, 54, 61, 62)
kardioprotektif.
Sebagai tambahan, pasien-pasien ini harus menerima PPI atau
misoprostol karena kombinasi naproxen dan aspirin dosis rendah nyata meningkatkan
risiko perdarahan gastrointestinal. Pasien-pasien yang sangat berisiko tinggi
gastrointestinal yang juga mengalami peningkatan risiko kardiovaskuler tidak boleh
diobati dengan OAINS atau coxib dan bentuk pengobatan lain harus dipertimbangkan.
Rekomendasi ini diringkas pada Tabel 2.
Tabel 2. Ringkasan rekomendasi pencegahan komplikasi ulkus terkait OAINS
Risiko gastrointestinal
Moderate
Tinggi
Risiko CV rendah
OAINS+Misoprostol/PPI
Terapi alternative atau inhibitor
COX-2+PPI/ Misoprostol
Risiko CV tinggi (perlu Naproxen+PPI/Misoprostol Naproxen+PPI/Misoprostol Hindari OAINS atau inhibitor
Aspirin dosis rendah)
COX-2. Gunakan terapi alternatif
Semua pasien dengan riwayat ulkus yang membutuhkan OAINS harus diperiksa H. pylori, dan dieradikasi jika positif
Rendah
OAINS

REKOMENDASI
(i) Pasien-pasien yang memerlukan terapi OAINS yang berisiko tinggi (misalnya
perdarahan ulkus sebelumnya atau banyak faktor risiko gastrointestinal)
harus menerima terapi alternatif, atau jika pengobatan anti-inflamasi mutlak
diperlukan, inhibitor COX-2, dan koterapi dengan misoprostol atau PPI dosis
tinggi.
Level bukti 1. Kekuatan rekomendasi B.
(ii) Pasien-pasien yang berisiko moderate dapat diobati dengan inhibitor COX-2
saja atau dengan OAINS nonselektif tradisional plus misoprostol atau PPI.
Level bukti 1. Kekuatan rekomendasi B.
(iii) Pasien-pasien yang berisiko rendah, yaitu tidak ada faktor risiko, dapat
diobati dengan OAINS nonselektif.
Level bukti 1. Kekuatan rekomendasi A.
(iv) Pasien-pasien dimana analgesik anti-inflmasi direkomendasikan yang juga
memerlukan terapi aspirin dosis rendah untuk penyakit kardiovaskuler dapat
diobati dengan naproxen plus misoprostol atau PPI.
Level bukti 2. Kekuatan rekomendasi C.
(v) Pasien-pasien yang berisiko gastrointestinal moderate yang juga berisiko
tinggi kardiovaskuler harus diobati dengan naproxen plus misoprostol atau
PPI. Pasien-pasien yang berisiko tinggi gastrointestinal dan berisiko tinggi
kardiovaskuler harus menghindari penggunaan OAINS atau coxib. Terapi
alternatif harus digunakan.
Level bukti 2. Kekuatan rekomendasi C.
(vi) Semua pasien tanpa mempertimbangkan status risiko yang akan memulai
terapi OAINS tradisional jangka panjang harus dipertimbangkan untuk tes
H.pylori dan diobati jika positif.
Level bukti 2. Kekuatan rekomendasi A.

Peringkat untuk level bukti dan kekuatan rekomendasi didasarkan pada kriteria yang
telah disebutkan sebelumnya yang berasal dari rekomendasi dari the GRADE working
(65)
group.
Level Bukti:
(1) Level bukti secara kuat bersesuaian dengan rekomendasi.
(2) Level bukti bersesuaian dengan rekomendasi.
(3) Level bukti yang bersesuaian dengan rekomendasi bersifat ekuivokal.
(4) Level bukti tidak bersesuaian dengan rekomendasi.

Kekuatan rekomendasi:
(A) Bukti kuat untuk uji-klinik multipel yang telah dipublikasikan, terkontrol baik
dan dirandom atau meta-analisis sistemik yang didesain baik
(B) Bukti kuat dari sedikitnya satu uji-klinik yang terkontrol, dirandom dan
dipublikasi berdasarkan pada kualitas atau bukti dari penelitian-penelitian
yang dipublikasi, didesain dengan baik, berupa kohort atau kasus-kontrol
berpasangan.
(C) Konsensus pendapat ahli yang berwenang yang didasarkan pada bukti klinik
atau dari uji-klinik yang didesain dengan baik, tapi tidak dikontrol atau tidak
dirandom.

DAFTAR PUSTAKA
1. Cryer B, Feldman M. Effects of nonsteroidal anti-inflammatory drugs on endogenous
gastrointestinal prostaglandins and therapeutic strategies for prevention and
treatment of nonsteroidal anti-inflammatory drug-induced damage. Arch Intern Med.
1992 Jun;152(6):1145-55.
2. Laine L. Nonsteroidal anti-inflammatory drug gastropathy. Gastrointest Endosc Clin N
Am. 1996 Jul;6(3):489-504.
3. Silverstein FE, Faich G, Goldstein JL, Simon LS, Pincus T, Whelton A, et al.
Gastrointestinal toxicity with celecoxib vs nonsteroidal anti-inflammatory drugs for
osteoarthritis and rheumatoid arthritis: the CLASS study: A randomized controlled
trial. Celecoxib Long-term Arthritis Safety Study. Jama. 2000 Sep 13;284(10):124755.
4. Bombardier C, Laine L, Reicin A, Shapiro D, Burgos-Vargas R, Davis B, et al.
Comparison of upper gastrointestinal toxicity of rofecoxib and naproxen in patients
with rheumatoid arthritis. VIGOR Study Group. N Engl J Med. 2000 Nov
23;343(21):1520-8, 2 p following 8.
5. Wolfe MM, Lichtenstein DR, Singh G. Gastrointestinal toxicity of nonsteroidal
antiinflammatory drugs. N Engl J Med. 1999 Jun 17;340(24):1888-99.
6. Gabriel SE, Jaakkimainen L, Bombardier C. Risk for serious gastrointestinal
complications related to use of nonsteroidal anti-inflammatory drugs. A metaanalysis. Ann Intern Med. 1991 Nov 15;115(10):787-96.
7. Fries JF, Williams CA, Bloch DA, Michel BA. Nonsteroidal anti-inflammatory drugassociated gastropathy: incidence and risk factor models. Am J Med. 1991
Sep;91(3):213-22.
8. Fries JF, Murtagh KN, Bennett M, Zatarain E, Lingala B, Bruce B. The rise and
decline of nonsteroidal antiinflammatory drug-associated gastropathy in rheumatoid
arthritis. Arthritis Rheum. 2004 Aug;50(8):2433-40.
9. Dube C, Rostom A, Lewin G, Tsertsvadze A, Barrowman N, Code C, et al. The use of
aspirin for primary prevention of colorectal cancer: a systematic review prepared for
the U.S. Preventive Services Task Force. Ann Intern Med. 2007 Mar 6;146(5):365-75.
10. Rostom A, Dube C, Lewin G, Tsertsvadze A, Barrowman N, Code C, et al.
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs and cyclooxygenase-2 inhibitors for primary
prevention of colorectal cancer: a systematic review prepared for the U.S. Preventive
Services Task Force. Ann Intern Med. 2007 Mar 6;146(5):376-89.
11. Shorr RI, Ray WA, Daugherty JR, Griffin MR. Concurrent use of nonsteroidal antiinflammatory drugs and oral anticoagulants places elderly persons at high risk for
hemorrhagic peptic ulcer disease. Arch Intern Med. 1993 Jul 26;153(14):1665-70.
12. Allison MC, Howatson AG, Torrance CJ, Lee FD, Russell RI. Gastrointestinal
damage associated with the use of nonsteroidal antiinflammatory drugs. N Engl J
Med. 1992 Sep 10;327(11):749-54.
13. Carson JL, Strom BL, Morse ML, West SL, Soper KA, Stolley PD, et al. The relative
gastrointestinal toxicity of the nonsteroidal anti-inflammatory drugs. Arch Intern Med.
1987 Jun;147(6):1054-9.
14. Bloom BS. Risk and cost of gastrointestinal side effects associated with nonsteroidal
anti-inflammatory drugs. Arch Intern Med. 1989 May;149(5):1019-22.
15. Silverstein FE, Graham DY, Senior JR, Davies HW, Struthers BJ, Bittman RM, et al.
Misoprostol reduces serious gastrointestinal complications in patients with
rheumatoid arthritis receiving nonsteroidal anti-inflammatory drugs. A randomized,
double-blind, placebo-controlled trial. Ann Intern Med. 1995 Aug 15;123(4):241-9.
16. Hernandez-Diaz S, Rodriguez LA. Association between nonsteroidal antiinflammatory drugs and upper gastrointestinal tract bleeding/perforation: an overview
of epidemiologic studies published in the 1990s. Arch Intern Med. 2000 Jul
24;160(14):2093-9.

17. Ofman JJ, Maclean CH, Straus WL, Morton SC, Berger ML, Roth EA, et al. Metaanalysis of dyspepsia and nonsteroidal antiinflammatory drugs. Arthritis Rheum. 2003
Aug 15;49(4):508-18.
18. Simon LS, Mills JA. Nonsteroidal antiinflammatory drugs (second of two parts). N
Engl J Med. 1980 May 29;302(22):1237-43.
19. Lanas A, Perez-Aisa MA, Feu F, Ponce J, Saperas E, Santolaria S, et al. A
nationwide study of mortality associated with hospital admission due to severe
gastrointestinal events and those associated with nonsteroidal antiinflammatory drug
use. Am J Gastroenterol. 2005 Aug;100(8):1685-93.
20. McQuaid KR, Laine L. Systematic review and meta-analysis of adverse events of
low-dose aspirin and clopidogrel in randomized controlled trials. Am J Med. 2006
Aug;119(8):624-38.
21. Laine L. Review article: gastrointestinal bleeding with low-dose aspirin - what's the
risk? Aliment Pharmacol Ther. 2006 Sep 15;24(6):897-908.
22. Graham DY, Lew GM, Klein PD, Evans DG, Evans DJ, Jr., Saeed ZA, et al. Effect of
treatment of Helicobacter pylori infection on the long-term recurrence of gastric or
duodenal ulcer. A randomized, controlled study. Ann Intern Med. 1992 May
1;116(9):705-8.
23. Chan FK. Helicobacter pylori and nonsteroidal anti-inflammatory drugs. Gastroenterol
Clin North Am. 2001 Dec;30(4):937-52.
24. Huang JQ, Sridhar S, Hunt RH. Role of Helicobacter pylori infection and non-steroidal
anti-inflammatory drugs in peptic-ulcer disease: a meta-analysis. Lancet. 2002 Jan
5;359(9300):14-22.
25. Vergara