Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Germo dan Ayam Kampus: Studi Komunikasi interpersonal T1 362010070 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberadaan “ayam kampus1” merupakan sebuah fenomena sosial yang
tidak asing lagi dalam masyarakat, khususnya dalam lingkungan kampus. Bahkan,
“ayam kampus” menjadi bagian dari dunia prostitusi yang ada di Indonesia,
termasuk di Salatiga.
Istilah “ayam kampus” memang kerap kali dikonotasikan dengan dunia
prostitusi di lingkungan perguruan tinggi. Ayam kampus biasa diarahkan kepada
mahasiswi yang nyambi “jualan”, tentu dengan imbalan uang (merdeka. Com,
2013).
Seharusnya, mahasiswa atau mahasiswi yang masuk dalam dunia
universitas atau kampus adalah untuk mencari ilmu atau mendapatkan pendidikan
yang lebih tinggi. Tetapi kenyataanya, beberapa mahasiswi justru mempunyai
pekerjaan sampingan yang mengandung resiko bagi dirinya dan bagi lembaga
dimana dia bernaung.
Berbagai alasan menjadi motivasi dari seorang mahasiswi memilih profesi
“ayam kampus”. Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar, Joni Lisungan
(2005), menemukan sejumlah pengakuan dari ayam kampus. Tidak semua
mahasiswi yang terjun menjadi ayam kampus karena alasan kebutuhan ekonomi.
Tapi sebagian di antaranya mengaku menjadi ayam kampus karena tidak mampu

menahan desakan biologisnya. Dari sembilan mahasiswi yang diwawancarai Joni,
empat orang mengaku tidak mampu menahan keinginannya untuk melakukan
hubungan seksual. Apalagi, setelah mengalami haid, gejolak yang mereka rasakan
sangat luar biasa. Gejolak seks yang luar biasa ini berawal dari hubungan intim
yang sering dilakukan bersama pacar mereka selama berpacaran. Setelah ditinggal
atau putus dari pacar, mereka melampiaskan hubungan seksualnya dengan
menjadi “ayam kampus” (Tempo.Co, 2013).
1

Dalam KBBI, ayam kampus berarti mahasiswi yang merangkap sebagai pelacur.

1

Camelita (bukan nama sebenarnya) seorang “ayam kampus” menyatakan
pengaruh atau ajakan dari teman pergaulan dan pengaruh lingkungan yang
membuat dia terjun sebagai“ayam kampus”. Penghasilan menjadi “ayam kampus
terhitung lumayan sehingga dia pun tidak memungkiri, alasan dirinya mau
menjadi ayam kampus untuk membeli sejumlah barang. Atau dengan kata lain
agar bisa mempunyai segala barang yang branded dan up to date (Merdeka. Com,
2013).

“Ayam kampus” dan Pekerja Seks Komersial (PSK) merupakan sebuah
pekerjaan yang sama. Tetapi yang membedakan adalah modus operandinya.
Moamar Emka, seorang penulis buku tentang kehidupan metropolis di
Jakarta mengatakan:
"PSK umum, sebagian besar terang-terangan menjalankan
pekerjaannya. Salah satunya dengan mangkal di sejumlah
lokalisasi atau prostitusi. Ayam kampus, jelas terselubung,"
katanya kepada Tempo, Jumat, 15 Februari 20132.
Dalam melakukan modus operandinya, “ayam kampus” memilih
bergabung dengan mucikari atau germo atau broker khusus yang membantunya
dalam berjualan. Jadi germo ini yang membantu mencarikan pelanggan bagi
“ayam kampus”.
Mucikari atau germo, yaitu induk semang bagi perempuan pelacur
(Koentjoro, 2004:28-29). Disini mucikari mempunyai tugas untuk mencarikan
pelanggan bagi “ayam kampus”, serta melakukan negoisasi soal tarif dari “ayam
kampus” yang dijual. Dan mucikari mendapatkan imbalan uang dari hasil
jualannya tersebut sesuai dengan kesepakatan antara dia dengan “ayam
kampus”nya.
Hasil pra penelitian dengan seorang germo “ayam kampus” di Salatiga,
Luna3 (bukan nama sebenarnya), memiliki “ayam kampus” berjumlah 32 orang

yang berdomisili di Salatiga. Tetapi tidak semuanya merupakan mahasiswi asli
2

http://nasional.tempo.co/read/news/2013/02/17/078461831/bedanya-ayam-kampus-dengan-pskumum diunduh pada 18 Oktober 2015 pukul 10.57 WIB
Pra penelitian memalui wawancara dengan mucikari “ayam kampus” di Salatiga, Luna, di Neo
Kafe Salatiga, 15 September 2015 pukul 23.30 WIB.
3

2

yang sedang menempuh pendidikan di universitas atau kampus. Hanya 5 orang
saja yang benar-benar seorang mahasiswi, dan sisanya bekerja sebagai Sales
Promotion Girl (SPG), pegawai pabrik, pelayan kafe, pelayan toko, single parent,
dan pengangguran.
Meskipun tidak semua “anak”nya adalah seorang mahasiswi, Luna
menjual mereka dengan mengatasnamakan “ayam kampus” kepelanggannya.
Alasannya, karena para pelanggan lebih menyukai mahasiswi yang mereka
anggap lebih muda dan lebih berkelas daripada PSK di tempat pelacuran.
“Ayam kampus” yang berada di bawah Luna tidak semuanya asli dari
Salatiga. Beberapa bersal dari luar kota seperti Semarang, Purwodadi, Blora,

Palembang, Manado, dan kota lainnya, yang kebetulan mereka sekarang tinggal di
Salatiga karena alasan pendidikan, pekerjaan, dan ikut keluarga.
Begitu pula dengan perlanggannya, tidak sermua berasal dari Salatiga,
tetapi beberapa kota di Luar Salatiga, bahkan ada yang berasal dari luar negeri
yang kebetulan sedang berada di Salatiga, seperti dari Korea, India, Arab, China,
dan Eropa. Latar belakang pekerjaan mereka pun bermacam-macam, mulai dari
mahasiswa, Pegawai Negeri Sipil, Pejabat, dosen, pengusaha, dan pegawai swasta.
Untuk tarif dari “ayam kampus” yang dijual oleh Luna berkisar mulai Rp
500.000 untuk short time, dan Rp 2.000.000 – Rp 3.500.000 untuk tarif long time.
Tarif ini lebih tinggi dibandingkan dengan PSK yang ada di tempat pelacuran
yang hanya bertarif Rp 150.000 hingga Rp 300.000 saja. Ini juga alasan Luna
menggunakan label “ayam kampus” pada “anak” nya.
Mengapa tarif ayam kampus lebih mahal dari PSK? Seperti yang
disampaikan oleh Joni dari penelitiannya:
“Tarif ayam kampus lebih mahal daripada pekerja seks komersial
yang terlokalisasi, karena ayam kampus sangat berhati hati dalam
melayani pelanggannya. Ayam kampus tidak mau melakukan
hubungan seksual jika sedang mengalami haid. Meski dibayar Rp
10 juta, mereka juga tidak asal-asalan memilih pria”4


4

http://nasional.tempo.co/read/news/2013/02/17/078461830/peneliti-jadi-ayam-kampus-demikebutuhan-biologis diunduh pada 18 Oktober 2015 pukul 11.03 WIB.

3

Selain alasan tersebut di atas, yang membuat “ayam kampus” yang dijual
oleh Luna bertarif mahal karena adanya jaminan bahwa “ayam kampus” yang
dijual bebas dari penyakit kelamin menular dan HIV/AIDS, dimana selalu
dilakukan VCT tes secara rutin.
Yang menarik, bisnis “ayam kampus” ini tetap ramai oleh pelanggan.
Meskipun tarif mahal, “ayam kampus” ini tetap diburu. Tanpa harus membuka
lokalisasi atau tempat pelacuran, bisnis ini tetap berjalan hanya dengan
mengandalkan kekuatan dari mulut ke mulut. Bekerjasama dengan satpam,
pelayan, atau petugas kebersihan di hotel atau tempat penginapan juga dilakukan
oleh mucikari untuk mendapatkan pelanggannya. Dalam kerjasama ini, mereka
yang menghubungkan antara pelanggan dengan mucikari mendapakan uang tip
dari pelanggan atau mucikari. Dan yang terpenting adalah menjaga hubungan baik
dengan pelanggan.
Bila sedang ramai, si germo bisa mendapat pelanggan sebanyak 7-8 orang

perharinya. Bila di rata-rata jumlah pelanggan dalam sehari selama seminggu
sekitar 2-3 orang.
Bisnis ini juga sangat unik, karena dalam bisnis terselubung seperti ini si
germo harus bisa menjaga privacy dari “ayam kampus” nya agar tidak diketahui
oleh masyarakat luas tentang profesinya. Selain itu, si “ayam kampus”
mengetahui bahwa bisnis ini beresiko, tetapi mereka menaruh kepercayaan yang
besar terhadap germonya.
Resiko di drop out (DO) dari kampus tempat dia belajar adalah sebuah
resiko yang harus ditanggung oleh “ayam kampus” apabila ketahuan tentang
profesinya. Dengan alasan, “ayam kampus” mencemarkan nama baik kampus
(Merdeka.com, 2015)
Tertular virus HIV/AIDS atau penyakit kelamin lainnya, merupakan
sebuah resiko bagi “ayam kampus”. Karena ada pelanggan yang enggan
menggunakan kondom pada saat berhubungan badan, dan “ayam kampus” tidak
bisa menolak karena pelanggan telah membayar mahal (Tribunnews.com, 2013)
Hal unik inilah yang mebuat peneliti tertarik untuk melakukan sebuah
penelitian mengenai stategi komunikasi yang dilakukan oleh germo dalam rangka

4


membangun kepercayaan dari “ayam kampus” yang ada dalam naungannya,
sehingga tetap bertahan dan tidak perpindah ke germo yang lain.
Penulis akan meneliti tentang bentuk dari strategi komunikasi yang
dilakukan oleh germo kepada “ayam kampus”nya baik yang berkaitan dengan
bisnisnya, maupun yang tidak. Sehingga diperoleh jawaban mengenai strategi
komunikasi apa saja yang dilakukan oleh germo yang efektif dan mendapatkan
respon baik dari “ayam kampus”dalam membangun kepercayaan.
1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Strategi komunikasi seperti apakah yang dilakukan oleh germo dalam
membangun kepercayaan kepada “ayam kampus”.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Untuk mengetahui dan memperoleh gambaran tentang strategi komunikasi
yang dilakukan germo dalam membangun kepercayaan terhadap “ayam kampus”.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini dibedakan atas manfaat
teoritis dan manfaat praktis:
1. Manfaat secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis
bagi disiplin ilmu komunikasi, khususnya mengenai strategi komunikasi
yang digunakan oleh germo kepada “ayam kampus” dalam hal
membangun kepercayaan.
2. Manfaat secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai
hubungan germo dengan “ayam kampus” di Salatiga, serta dapat

5

digunakan sebagai acuan bagi peneliti yang ingin meneliti tentang
komunikasi germo dan “ayam kampus”
1.5 Batasan Masalah
Yang menjadi batasan penelitian ini adalah:
1. Strategi komunikasi yang dilakukan oleh germo terhadap “ayam kampus”
di Salatiga
2. Konsep dalam penelitian ini adalah
a. Strategi komunikasi, yaitu strategi yang berkaitan dengan bisnis dan
strategi yang tidak berkaitan dengan bisnis.
b. Germo, yaitu Luna.

c. Ayam kampus, yaitu Indah.

6