LAMPIRAN Proses Produksi Wacana Rekonsiliasi Keraton Studi Fenomenologi pada Berita Rekonsiliasi Keraton Surakarta Hadiningrat di Harian Umum SOLOPOS bulan Mei-Juni 2012.
LAMPIRAN
1.
Axcial Coding
Konsep
Danang
Aries
Keraton
dianggap
penting
dan
harus
dilestarikan
Karena keraton itu salah
satu pusat kebudayaan
jawa terutama bagi
warga Solo
Apapun kondisinya
harus dijaga
Keunikan lokal dan
peraturan saat peliputan
keraton
kalau disanakan enggak
anda masuk harus
menggunakan samir,
mungkin itu terlihat
tradisional namun itulah
nilai-nilai lokal yang
harus kita jaga dan
tunduk.
Berita yang menarik
Penerapan berita
berkedalaman artinya
kita menawarkan berita
yang dari berbagai sudut
pandang tidak hanya
dari satu sisi.
Pada prinsipnyakan
berita itu mencari sudut
pandang yang menarik.
Mementingkan
ekslusifitas berita
Nah, itu ya bisa
bagaimana kita menjalin
relasi
Jadi sesuatu yang
eksklusif itu menarik
kalau bagi saya
sehingga saya jarang
kumpul dengan
wartawan lain tapi tidak
berarti saya kemudian
menolak informasi dari
teman yang lain
Beberapa wartawan
pernah punya ketakutan
jika memberitakan hal
tertentu akan mendapat
hal yang tidak
diinginkan (menyangkut
klenik)
Saat liputan keraton itu
tidak hanya tekanan
psikoklogis bahkan
sampai dikaitkan
dengan masalah klenik
Ya mesti ada, jadi
misalkan mau ditekan
dikomplain itu sudah
menu sehari-hari.
Misalkan kita nulis ini
kemudian bersiko
seperti ini ya wajar
Komplain bagi
wartawan digunakan
untuk membuat berita
lanjutan
wartawan tetap punya
frame sendiri dan punya
sudut pandang sendiri
tidak mau jadi
corongnya orang
Kalau misalnya ada
yang ngomong sampai
diluar kendali justru itu
jadi boomerang buat dia
misalkan
(2)
ngamuk-Konsep
Danang
Aries
tertentu
ngamuk kita arahkan
omongan dia ini
konteknya dalam
rangka hak jawab atau
apa
Tetap menjaga netralitas
penggunaan narasumber
pakai budayawan atau
pengamat, atau
sejarahwan. Merekakan
posisinya
ditengah-tengah dan tidak
memiliki kepentingan
menjaga
Profesionalisme dan
Integritas
kebijakan menolak
amplop itu sangat ketat
Penolakan amplop di
Solopos sudah tertanam
sejak dulu dan mereka
memaklumi
Tidak ada intervensi
dalam internal
SOLOPOS
tidak pernah sama
sekali, bahkan
jangankan pemilik ya
atasan saya Redaktur
pelaksana (redpel) saja
tidak pernah
memerintah
Sistem divisi dipisah
kalau oplah saya gak tau
data jadi gak berani
jawab karena itu ada
devisi sirkulasi sendiri.
kalau itu sebenernya
bukan urusan wartawan
yak arena kalau bisnis
itu urusannya
marketing.
Publik paling penting
ideologi solopos adalah
(3)
PUSAT DOKUMENTASI SOLOPOS
Griya SOLOPOS Jln. Adisucipto 190 Solo 57145 Telp. 0271-724811 Fax. 0271-724833
E-mail : Pusdok@solopos.net
Soloraya Edisi : Rabu, 20 Juni 2012 , Hal.I
Pakasa Sragen Tak Akui Patih Keraton SOLO (ESPOS)—
Sebagian Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa) di Sragen masih mbalela dan tak mengakui KGPH PA Tedjowulan sebagai patih Paku Buwono (PB) XIII.
SOLO (ESPOS)—Sebagian Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa) di Sragen masih mbalela dan tak mengakui KGPH PA Tedjowulan sebagai patih Paku Buwono (PB) XIII.
Mereka akan tetap setia kepada Ketua Pakasa, KP Eddy Wirabhumi sebagai pemimpin
mereka. ”Dalam tingalan jumenengan, tak ada upacara pelantikan patih. Jadi, kami tak mengakui adanya patih,” kata Ketua Pakasa Sragen, Rawuh Suprianto, kepada Espos, Selasa (19/6).
Tak hanya itu, imbuh Rawuh, Pakasa Sragen juga tak mengakui adanya istri prameswari dan putra mahkota GPH Purboyo. Sebab, saat pengangkatan keduanya, menurut Rawuh, tak diketahui oleh para sentana kelompok GKR Wandansari.
”Kalau untuk raja saat ini, kami masih mengakuinya. Namun, jika sentana akhirnya mengumumkan pencopotan raja, kami akan ikut dhawuh sentana,” imbuhnya.
Informasi yang dihimpun Espos, Pakasa di sejumlah daerah saat ini masih merapatkan barisan menyikapi bersatunya Tedjowulan dengan Hangabehi berikut para pengikutnya. Sikap mbalela Pakasa Sragen ini langsung ditanggapi KGPH Suryo Wicaksono, Juru Bicara Dwitunggal. Pria yang akrab disapa Ninok ini justru berbalik akan memecat para Pakasa
yang masih mbalela atas kepemimpinan Dwitunggal. ”Kalau masih mbalela, akan dipecat dari Keraton!” tegas Ninok.
Ninok mengaku sama sekali tak gentar dengan sikap mbalela Pakasa Sragen. Menurut Ninok, jumlah abdi dalem Keraton yang masih setia kepada Hangabehi dan Tedjowulan jauh lebih banyak. Bahkan, sambungnya, dengan bersatunya dua raja itu, jumlah pengikut keduanya kian bertambah banyak lagi.
”Pakasa itu ikut raja atau menantu?” tanya Ninok.
Dalam waktu dekat, Ninok juga bakal memperbarui kartu tanda anggota (KTA) para abdi dalem Keraton. KTA baru tersebut diharapkan bisa mengakhiri perbedaan abdi dalem atas
kepemimpinan Dwitunggal. ”Tak ada lagi abdi dalem Tedjowulan atau abdi dalem
(4)
Sejumlah abdi dalem yang bekerja di dalam Keraton mengaku tak mau ikut dalam kubu-kubu di dalam Keraton. Sebagian dari mereka bahkan mengaku senang dengan bersatunya dua raja lantaran akan bisa memperbaiki masa depan Keraton dan juga nasib para abdi
dalem. ”Langkung sae niku (jika dua raja bersatu-red). Keraton malah saya sae,” ujar salah satu abdi dalem Keraton, Tukimin.
Sementara itu, KP Eddy Wirabhumi belum bisa ditemui Espos karena tengah di Jakarta. Ponsel pun tak bisa dihubungi. - Aries Susanto
Copyright © 2002 SOLOPOS - Pusat Dokumentasi, All Rights Reserved MisiSoft - Media Solusi Informatika
Kota Solo Edisi : Kamis, 21 Juni 2012 , Hal.II
Tedjowulan Belum Ngantor di Keraton PASAR KLIWON (ESPOS)—
Hampir sepekan setelah tingalan jumenengan ke-8 Paku Buwono (PB) XIII, Mahapatih KGPH PA Tedjowulan belum menempati Keraton sebagai tempat kerjanya.
Salah satu penyebabnya ialah Tedjowulan menanti situasi di dalam Keraton benar-benar kondusif dan terkendali.
PASAR KLIWON (ESPOS)—Hampir sepekan setelah tingalan jumenengan ke-8 Paku Buwono (PB) XIII, Mahapatih KGPH PA Tedjowulan belum menempati Keraton sebagai tempat kerjanya.
Salah satu penyebabnya ialah Tedjowulan menanti situasi di dalam Keraton benar-benar
kondusif dan terkendali. ”Kami colling down dulu. Saat ini kan Keraton masih belum kondusif,” kata Pelaksana Harian Sasana Purnama Badran, KPH Adipati Sosronagoro,
kepada Espos di kediamannya, Rabu (20/6).
Sosro menegaskan rekonsiliasi antara Hangabehi dan Tedjowulan sebenarnya telah selesai dan tak menimbulkan masalah terutama bagi para pengikutnya hingga di lapisan paling bawah. Meski demikian, diakui masih ada faksi lain yang tak menerima hasil rekonsiliasi
tersebut. ”Kami akui di luar Dwitunggal, masih ada yang menentang. Mestinya, setelah
rekonsiliasi, ada lagi forum untuk penyatuan dengan cara saling meminta maaf,” terangnya.
Dia bahkan meminta sebelum Lebaran, para sentana bisa duduk dalam satu forum dan saling memaafkan. Sebab, Keraton yang berdiri dengan semangat ajaran Islam dinilai akan sangat tak etis jika para sentana susah untuk saling memaafkan.
Selama para sentana belum islah, imbuhnya, upaya untuk mengembalikan kejayaan
Keraton masih sulit. Upaya itu, tegasnya, bukan semata utusan materi, melainkan juga soal nilai-nilai dan budaya yang harus dijaga di dalam Keraton. ”Kalau Panembahan Tedjowulan
belum bisa ngantor di dalam Keraton, bagaimana bisa menata Keraton?”
Di sisi lain, lanjut Sosro, penggabungan para pengikut Dwitunggal juga akan menghadapi masalah terkait nama dan jabatan mereka. Sebab, di dalam aturan Keraton sebuah nama
(5)
nama yang lain. Persoalannya, aturan Keraton tak memperbolehkan,” terangnya. Juru Bicara Dwitunggal, KGPH Suryo Wicaksono, menjelaskan ruang kerja Tedjowulan direncanakan berada di Bangsal Marcukundo tepatnya di depan Bangsal Samarakata. Pemilihan bangsal tersebut lebih disebabkan persoalan teknis dan kemudahan akses.
”Parkirnya luas di Kori Kamandungan dan para tamu tak susah mencarinya. Jadi, terbuka
untuk umum,” paparnya.
Meski demikian, pria yang akrab disapa Ninok ini belum bisa memastikan kapan Tedjowulan
mulai ngantor di dalam Keraton. ”Harapan saya, secepatnya,” paparnya. - Aries Susanto
Halaman Utama Edisi : Sabtu, 16 Juni 2012 , Hal.1
Tingalan Jumenengan Ricuh SOLO (ESPOS)—
Tingalan Jumenengan Ke-8 PB XIII di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Jumat (15/6), sempat ricuh dan diwarnai aksi tutup pintu Kori Kamandungan.
Namun, Mahapatih KGPH PA Tedjowulan dan ratusan pengikutnya akhirnya tetap bisa masuk Keraton. Dalam kesempatan itu, istri PB XIII, KRAy Adipati Pradapaningsih juga diangkat sebagai permaisuri raja dengan gelar Kanjeng Ratu Paku Buwono XIII.
Bersambung ke Hal 7 Kol 1
Proses masuknya Tedjowulan ke dalam Keraton sempat diwarnai ketegangan.
Penyebabnya, ketika Tedjowulan dan para pengikutnya tiba di depan Kori Kamandungan, tiba-tiba pintu dikunci dari dalam Keraton.
Hal ini membuat Kapolresta Solo, Kombes Pol Asjima’in, yang memimpin perjalanan
rombongan Tedjowulan menuju Keraton kala itu langsung naik pitam. ”Saya Kapolresta
Solo. Tolong pintu dibuka,” kata Asjima’in sambil menggedor-gedor pintu Kori Kamandungan.
Setelah berulang kali pintu Kori Kamandungan digedor Asjima’in, barulah petugas Keraton membukanya. ”Pintu ini harus dibuka. Jangan sampai ada yang menutup,” tegas Asjima’in
dengan nada tinggi kepada petugas penjaga pintu saat itu.
Setelah pintu terbuka, salah satu anak lelaki tertua Hangabehi, Mangkubumi keluar dan menyambut Tedjowulan. Barulah, rombongan Tedjowulan masuk ke dalam Keraton secara bergiliran. Sebelum masuk Keraton, ratusan abdi dalem dari kedua kubu terkonsentrasi di Sasana Mulya dan di dalam Keraton sejak pukul 08.00 WIB. Di antara kedua kubu itu, pintu jalan ditutup separuh dan dijaga polisi yang berjumlah sekitar 400 personel.
Pengikut Tedjowulan yang berkumpul di Sasana Mulya mulai waswas ketika mendengar kabar kubu Kusumowandowo meminta mereka masuk melewati jalur Kasentanan. Padahal, mereka menghendaki tetap masuk melalui Kori Kamandungan.
Di tengah situasi yang tak pasti itu, tiba-tiba mereka mendengar kabar Hangabehi menolak hadir di tingalan jumenengan jika Tedjowulan tak diperbolehkan masuk ke Keraton.
(6)
Padahal, waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 09.30 WIB. Dipimpin Kapolresta
Mengetahui kondisi yang tak pasti itu, Asjima’in menemui Tedjowulan dan bernegosiasi cukup lama. Mereka akhirnya sepakat untuk masuk ke dalam Keraton dipimpin langsung Kapolresta. Setelah tiba di depan Kori Kamandungan, salah satu menantu PB XII, KP Eddy Wirabhumi menyambut dan menyalami Tedjowulan.
Namun, tak seberapa lama, mendadak pintu Kori Kamandungan ditutup dari dalam dan
dikunci. Beruntung, Asjima’in langsung mengambil langkah tegas dan meminta pintu dibuka.
Ketika proses acara tingalan jumenengan akan dimulai sempat terjadi insiden kecil antara GPH Madukusumo dengan putri tertua PB XIII, GKR Timoer Rumbai. Meski demikian, acara tetap dilanjutkan dan Tedjowulan duduk di samping kiri Hangabehi di Sasana Sewaka. Meski tingalan jumenengan berjalan relatif lancar, namun Ketua DPR Marzuki Alie batal hadir dalam perayaan naiknya tahta PB XIII itu. Marzuki mengurungkan niatnya datang ke Keraton dan memilih kembali ke Jakarta.
Padahal sejak Kamis (14/6) malam, politisi Partai Demokrat itu sudah menginap di sebuah hotel di Solo untuk menghadiri acara itu. Marzuki mengurungkan niatnya untuk hadir karena melihat tingalan jumenengan yang belum jelas sei-ring masih melekatnya konflik yang melingkupi gelaran itu. Hal tersebut seperti diungkapkan juru bicara Marzuki Alie, Bambang P.
Sementara itu, Walikota Solo, Joko Widodo, yang hadir dalam acara itu mengaku lega karena dua kubu Keraton saat ini sudah bisa hadir dalam satu acara tingalan jumenengan.
”Ke depannya, manajemen Keraton harus ditata lebih baik. Setahap demi setahap,”
paparnya.
Mantan Bupati Wonogiri, Begug Poernomosidi juga hadir dalam acara itu. Ia berdoa semoga bersatunya dua raja Keraton akan mengembalikan kejayaan Dinasti Mataram Islam.
Tingalan Jumenengan itu mendapat pengawalan ketat dari polisi. Pantauan Espos, sekitar 400 petugas yang tersebar di beberapa titik berjaga di lokasi tingalan jumenengan di Sasana Sewaka. Selain itu, petugas juga menerjunkan satu unit mobil anti huru hara (Barracuda) dan satu unit mobil Gegana yang disiagakan di kawasan Keraton.
”Petugas kami sebar di enam titik akses masuk Keraton. Penjagaan ini sebagai dukungan terwujudnya keamanan dan ke-nyamanan saat proses tingalan jumenengan,” papar
Kapolresta Solo, Kombes Pol Asjima’in, saat ditemui wartawan, di kawasan Keraton, Jumat. Asjima’in mengatakan pengamanan itu melibatkan ratusan personel yang merupakan tim gabungan TNI dan Polri. Rinciannya, sebanyak 300-an personel polisi dibantu satuan Brimob Detasemen C Pelopor Polda Jawa Tengah dan satu unit SSK anggota TNI dari Korem 074/Warastratama. Sisanya, petugas dari berbagai satuan turut bersiaga. - Aries Susanto, M Khamdi
(7)
Soloraya Edisi : Rabu, 13 Juni 2012 , Hal.I Lembaga Dewan Adat Tercatat sebagai Ormas
SOLO (ESPOS)—
Lembaga Dewan Adat Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mulai dipertanyakan wewenangnya di lingkungan keraton oleh kalangan organisasi kemasyarakatan (ormas) Solo.
Sebab, lembaga yang diketuai GKR Wandansari tersebut hanya tercatat sebagai ormas di Kantor Kesatuan Bangsa Politik (Kesbangpol) Solo.
Koordinator Ormas Jayabaya, Sarjono Lelono, mengaku baru mengetahui status Lembaga Dewan Adat sebagai ormas setelah mengecek di Kantor Kesbangpol Solo.
Ormas tersebut, kata Sarjono, mendapatkan surat keterangan terdaftar (SKT) dari Kantor
Kesbangpol No 220/151/II/2011 sejak Februari 2011 lalu. ”Sebagai ormas, Lembaga Dewan
Adat kok bisa mengatur seluruh isi Keraton apalagi mengatur raja. Padahal, Keraton itu diatur dalam Kepres No 23/1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan
Surakarta,” paparnya kepada wartawan, Selasa (12/6).
Sarjono juga menunjukkan SKT Lembaga Dewan Adat serta lampiran AD/ART. Dalam SKT tersebut tertera sejumlah pengurus Lembaga Dewan Adat. Mereka antara lain GRAy Koes Isbandiyah sebagai sekretaris, GRAy Koes Supiah sebagai wakil ketua, dan GKR Ayu Koes Indriyah sebagai bendahara.
Sebagai ormas, kata Sarjono, Lembaga Dewan Adat mestinya memiliki posisi yang sama dengan ormas-ormas lainnya di Kota Solo. Selain tak memiliki wewenang mengatur Keraton, Lembaga Dewan Adat juga tak bisa memakai dana Keraton untuk kepentingan
ormas. ”Ormas itu diatur dalam Permendagri. Ia tak bisa seenaknya memakai dana keraton untuk kepentingan ormas.”
Jika hal itu diperbolehkan, katanya, sama saja dengan menabrak aturan yang telah ada di bangsa ini. Dan parahnya lagi, kata dia, ormas-ormas lainnya juga bisa ikut berebut dana
keraton, baik di tingkat daerah, provinsi, maupun pemerintah pusat. ”Selama ini, kan
mereka memakai dana untuk keraton. Padahal, mengacu pada keppres, mestinya dana itu
yang mengatur adalah raja Keraton, bukan ormas,” paparnya.
Kepala Kantor Kesbangpol Solo, Suharso, menjelaskan keberadaan ormas diatur dalam Permendagri No 5/1986. Sebuah ormas akan dibekukan jika terbukti melanggar ketentuan Permendagri atau meresahkan masyarakat. Ditanya soal keberadaan Lembaga Dewan Adat Keraton, Suharso menyerahkan sepenuhnya hal itu kepada pengurus ormas itu.
”Harus dijelaskan, ormasnya tingkat lokal, provinsi, atau nasional,” paparnya. - Aries Susanto
Soloraya Edisi : Selasa, 12 Juni 2012 , Hal.I
Tedjowulan Tak Akan Bikin Surat Maaf SOLO (ESPOS)
Mahapatih Keraton Kasunanan Surakarta, KGPH Panembahan Agung Tedjowulan dipastikan tak akan membikin surat permohonan maaf secara tertulis kepada kakaknya, Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi melalui jalur kasentanan.
(8)
Alasannya, kedua belah kubu Keraton saat ini sudah sepakat untuk ndherek apa yang menjadi sabda Hangabehi.
”PB XIII Hangabehi sudah dhawuh tak perlu lagi meminta maaf secara tertulis. Semua satu keluarga. Tak perlu lagi saling menyalahkan,” kata mediator konflik Keraton, GPH
Madukusumo kepada wartawan di kediamannya, Senin (11/6).
Adik kandung Hangabehi ini menegaskan kedua belah pihak saat ini sudah sepakat untuk rukun. Hal itu terjadi ketika kedua belah pihak dikumpulkan Hangabehi di Sasana Nalendra beberapa hari lalu. Dalam pertemuan tersebut, kata Madukusumo, Hangabehi meminta adik-adiknya agar saling memaafkan dan tak merasa paling benar. ”Kalau mencari
salahnya, kedua belah pihak ya pernah bikin salah semua,” terangnya seraya
mempersilakan wartawan mendengarkan hasil rekaman percakapan pertemuan tersebut. Atas dasar itulah, kata Madukusumo, permohonan maaf oleh Tedjowulan secara tertulis kepada Hangabehi melalui jalur kasentanan sudah tak lagi diperlukan. Hangabehi,
imbuhnya, sudah memaafkan Tedjowulan dan tak perlu lagi membikin surat secara tertulis. Madukusumo juga mengaku salut atas sikap Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Keraton, KP Eddy Wirabhumi yang dengan legawa ndherek apa yang menjadi sabda raja Keraton. Sikap itu, kata Madukusumo, mencerminkan kedua belah pihak kini telah sepakat menjadikan
Hangabehi sebagai raja di Keraton yang harus ditaati sabdanya. ”Saya salut dengan sikap Eddy. Ini sikap yang sangat bijaksana,” paparnya.
Menanggapi batalnya pengiriman surat maaf secara tertulis itu, Eddy Wirabhumi mengaku belum bisa menjawabnya. Yang jelas, katanya, saat ini pihaknya berharap masih menanti
surat maaf dari Tedjowulan kepada kasentanan. ”Sampai detik ini, surat itu belum kami terima,” katanya kepada wartawan di Keraton.
Eddy justru mengaku ingin mengetahui isi nota kesepakatan rekonsiliasi antara Hangabehi dengan Tedjowulan di Jakarta itu. Menurut Eddy, nota kesepakatan itu semestinya diketahui
publik, minimal diketahui kasentanan Keraton. ”Satu kata pun, saya tak pernah tahu isi MoU rekonsiliasi itu,” terangnya.
Terkait acara tingalan jumene-ngan yang bakal dihelat 15 Juni nanti, Eddy enggan menjelaskan. Begitu pun terkait rencana pemberian gelar kepada sejumlah menteri dan kepala daerah, Eddy juga mengaku belum mengetahuinya. - Aries Susanto
Halaman Utama Edisi : Sabtu, 09 Juni 2012 , Hal.1
Dua Kubu Sama-sama Manut Hangabehi SOLO (ESPOS)
Mahapatih Keraton Kasunanan Surakarta, KGPH Panembahan Agung (PA) Tedjowulan menanti perintah Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi sebelum melayangkan permohonan maaf secara tertulis kepada kakaknya itu.
Di sisi lain, pihak kasentanan dalem Keraton juga mengaku sudah capek bertengkar terus
dan ingin segera mengakhiri perang saudara yang terjadi selama delapan tahun. ”Kami manut dawuh Sinuhun saja. Wes ndang rampung. Rasah gegeran terus,” kata Ketua
Eksekutif Lembaga Hukum Keraton, KP Eddy Wirabhumi, kepada wartawan di ruang kerjanya, Jumat (8/6).
(9)
Kepada wartawan di Gedung DPRD Solo, Tedjowulan mengatakan dirinya hanya patuh perintah Hangabehi. Ketika ditanya kapan melayangkan surat maaf kepada PB XIII melalui
kasentanan, Tedjowulan pun menjawab singkat. ”Saya menanti Sinuhun,” ujarnya sebelum
masuk ke mobil.
Tedjowulan datang bersama sejumlah kerabat Keraton, antara lain cucu PB X, BRA Mooryati Soedibyo; KGPH Surya Wicaksono dan Nina Akbar Tanjung. Mereka diterima Ketua DPRD, YF Soekasno serta pimpinan DPRD sekitar pukul 11.00 WIB di ruangan kerja ketua DPRD. Dalam pertemuan tersebut, rombongan Tedjowulan menyampaikan banyak hal, salah satunya rasa prihatin atas kondisi Keraton.
”Keraton ke depan setelah ini, harus terbuka bagi publik, pengelolaan anggaran yang jelas
serta adanya penyatuan antara masyarakat dan raja,” kata Tedjowulan.
Sementara itu, Nina Akbar Tanjung sempat terisak ketika menyampaikan keluhannya atas kondisi Keraton. Istri mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tanjung itu menyayangkan sikap pemerintah selama ini yang dinilai kurang tegas dalam memihak dan mengelola heritage. Akibatnya, Keraton yang mestinya menjadi lumbung kebudayaan, justru tercabik-cabik dan terancam punah.
Menanggapi hal itu, Eddy mengatakan saat ini kasentanan dalem Keraton hanya ikut apa yang menjadi perintah Hangabehi. Begitu pun soal pernyataan maaf tertulis dari
Tedjowulan, kasentanan juga ikut apa kata Sinuhun. ”Sekarang, apa dhawuh Sinuhun ya
kami ikuti. Beliau sendiri sudah matur pasti memaafkan Tedjowulan, kami ya harus satu
suara memaafkan,” paparnya.
Surat maaf secara tertulis dari Tedjowulan, sambung Eddy, hanya sebatas kelengkapan
administratif Keraton. ”Substansinya, kasentanan telah memaafkan. Kami ingin gegeran ini
cepat selesai. Ini akan menjadi catatan sejarah dinasti Mataram,” akunya.
Meski demikian, Eddy mengaku belum siap jika kedua belah kubu harus dipertemukan dalam satu ruangan. Selain persoalan waktu yang sangat mepet menjelang tingalan jumenengan, pertemuan satu kamar juga harus membutuhkan kesiapan mental kedua
belah pihak. ”Kan masih ada waktu luang setelah tingalan jumenengan nanti. Jadi, tak harus
terburu-buru kan,” paparnya. Dosa
Sejarawan UNS, Tundjung W Sutirto, berpendapat pascarekonsiliasi harus dilanjutkan dengan acara saling memaafkan. Artinya, yang meminta maaf tidak hanya Tedjowulan kepada PB XIII Hangabehi, melainkan juga Lembaga Adat kepada Hangabehi.
”Selama ini, Lembaga Adat juga berbuat dosa kepada Sinuhun. Mulai, menghina, bikin
manuver, bikin statement bahwa raja tak bisa baca, menulis, bikin onar di Senayan,
menggembok Keraton, itu kan juga salah. Bermaaf-maafan ini demi tujuan agar tak merasa
paling benar.”
Di sisi lain, Tedjowulan bercita-cita pascarekonsiliasi di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, ke depan, pihaknya dapat lebih mempererat hubungan dengan Keraton Mangkunegaran. Hubungan itu diharapkan dapat mengintegrasikan upaya pelestarian dan
(10)
aktualisasi warisan budaya Nusantara di Kota Solo, melalui kepemimpinan dwitunggal di Keraton dan kepemimpinan KGPAA Mangkunegara IX di Pura Mangkunegaran.
”Saya bercita-cita, jika Keraton Surakarta bisa baik, akan menggandeng pula Keraton Mangkunegaran. Sebab antara dua Keraton yang ada di Kota Solo selama ini kan seolah
putus hubungan,” ujar Tedjowulan.
Menurut Tedjowulan, dengan digandengnya Mangkunegaran, pihaknya berharap dua Keraton ini nantinya bisa memberi masukan ke pemerintah terhadap berbagai hal. Ketua DPRD Solo, YF Sukasno, DPRD juga mengapresiasi langkah rekonsiliasi.
Sedangkan soal pelestarian situs budaya, pemerintah dalam hal ini eksekutif dan legislatif sudah menindaklanjuti dengan membahas Raperda Cagar Budaya. - Aries
Susanto/Septhia Ryanthie
Halaman Utama Edisi : Kamis, 07 Juni 2012 , Hal.1
Walikota Solo: Konflik Keraton 100% Selesai SOLO (ESPOS)
Ontran-ontran Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang telah membayangi selama kurang lebih delapan tahun terakhir, diklaim telah selesai.
Hal itu menyusul kesediaan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung (KGPH PA) Tedjowulan menyampaikan permintaan maaf secara lisan maupun tertulis kepada Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi.
Permintaan maaf secara lisan dilakukan dalam pertemuan tertutup antara Hangabehi dan Tedjowulan, disaksikan Walikota Solo Joko Widodo dan muspida di Loji Gandrung Solo, Rabu (6/6). Sedangkan permintaan maaf secara tertulis, seperti diungkapkan Tedjowulan kepada wartawan seusai pertemuan, akan disampaikan sebelum acara tingalan
jumenengan ke-8 PB XIII Hangabehi, 15 Juni mendatang.
”Surat itu intinya permohonan maaf dan bertempat tinggal di Keraton, ditujukan langsung kepada Sinuhun melalui jalur kasentanan. Sudah disepakati bahwa surat itu harus dijawab
iya atau tidak oleh Sinuhun. Saat ditanya Walikota, Sinuhun secara lisan menjawab iya,”
jelasnya.
Tedjowulan melanjutkan surat itu dinilai merupakan solusi terbaik mengenai permasalahan terkait penolakan dirinya masuk kembali ke Keraton. Selain surat, saat acara tingalan jumenengan nanti, dirinya juga akan sungkem serta berucap sumpah janji setia dan hormat kepada Sinuhun dan Keraton.
PB XIII Hangabehi tidak banyak berkomentar. Begitu pertemuan selesai, dirinya langsung berjalan menuju mobil. Dia hanya sedikit menjawab pertanyaan wartawan tentang
pengamanan dirinya. Menurutnya, dirinya tidak perlu pengamanan.
Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi), mengaku senang dan lega dengan hasil pertemuan
hari itu yang berlangsung cepat. ”Saya kira bakal lama, ternyata cepat juga. Tadi saja pertemuannya hanya 10 hingga 15 menit,” ujarnya.
(11)
sebelumnya yang memang direncanakan bertahap. Pertemuan itu membahas keinginan dari para kerabat Keraton yang akhirnya dipenuhi semuanya oleh Hangabehi dan Tedjowulan.
”Saya kira dengan pertemuan ini 100% masalah Keraton sudah selesai. Tinggal acara tingalan jumenengan 15 Juni nanti. Semua sudah sepakat acara itu tetap diadakan. Semua
ini juga tak lepas dari kerendahan hati dan kebesaran jiwa kedua pihak,” kata Jokowi.
Jokowi menolak membeberkan rencana untuk 15 Juni nanti. Dia hanya mengatakan akan ada kirab untuk mengantarkan Hangabehi dan Tedjowulan ke Keraton.
Sementara itu, menjawab pertanyaan tentang pemberian gelar kepada Hercules,
Tedjowulan mengatakan hal itu sudah didasarkan pertimbangan yang matang. Pemberian gelar itu sudah direncanakan sejak dua tahun lalu.
”Kalau orang masih berpikir siapa yang ada di balik seseorang, kapan negara ini akan
maju? Saya sendiri melihat kenapa Hercules sampai dipakai oleh Prabowo, pasti kan ada
alasan dan tujuannya,” katanya.
Sementara itu, Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KP Eddy Wirabhumi, meminta kubu PB XIII Hangabehi dan KGPH PA
Tedjowulan tak mengipasi suasana atas konflik di internal Keraton saat ini. Menurut Eddy, sejumlah pernyataan di media massa yang dilayangkan kubu dwitunggal selama ini justru
kian menambah keruh suasana. ”Jangan memanas-manasi suasana begitulah. Biarkan
kondisi colling down dulu,” kata Eddy kepada Espos.
Dengan tegas, Eddy membantah sejumlah tudingan kubu dwitunggal kepada pihaknya selama ini. Salah satunya ialah soal tudingan istrinya, GKR Wandansari, diusir oleh petugas
pengamanan DPR. Menurut Eddy, tudingan itu sangat menyudutkan pihaknya. ”Padahal,
istri saya datang ke Senayan kala itu karena memang mendapatkan undangan. Tak benar istri saya diusir seperti kata juru bicara dwitunggal (KRH Bambang Pradotonagoro-red),” tegas Eddy.
Menanggapi hal itu, KRH Bambang Pradotonagoro mengaku enggan mengomentari
pernyataan Eddy. ”Kalau saya komentar lagi, nanti dianggap memanas-manasi suasana.” Di sisi lain, Perguruan Silat Setia Hati (SH) Terate Kota Solo bakal memberi sanksi tegas kepada anggotanya yang terbukti terlibat dalam konflik atau memihak salah satu kubu di internal Keraton.
”SH Terate tak akan memihak salah satu kubu di Keraton. Konflik Keraton adalah masalah
keluarga, kami tak berhak mencampuri,” tegas Ketua I SH Terate Solo Bidang Organisasi,
Devi Rachyuanto kepada Espos, Rabu.
Devi menegaskan sejak ada salah satu anggota SH Terate yang tertangkap polisi gara-gara membawa pedang di lingkungan Keraton, SH Terate Solo langsung menggelar evaluasi. - Suharsih/Aries Susanto
Kota Solo Edisi : Selasa, 05 Juni 2012 , Hal.III
(12)
”Jangan Pelintir Sejarah Keraton” PASAR KLIWON (ESPOS)
Pernyataan putra Paku Buwono (PB) XII, KGPH Puger, mengenai posisi Keraton sejajar dengan Pemerintah Belanda pada zaman penjajahan dinilai sebagai argumentasi yang tak mendasar.
Sejarawan muda Solo, Heri Priyatmoko, menegaskan sejak Keraton di bawah PB X,
penerus Dinasti Mataram Islam itu sudah tak lagi memiliki kekuasaan politik. ”Itu pernyataan
ngawur. Sejak 1893, saat PB X masih menjadi putra mahkota, Keraton itu sudah tak boleh
lagi ngurusi persoalan hukum dan politik,” kata Heri kepada Espos, Senin (4/6), menanggapi pernyataan Puger tentang hubungan NKRI-Keraton.
Mahasiswa Pascasarjana UGM Jogja ini menjelaskan pengambilalihan wewenang politik dan hukum oleh Pemerintahan Belanda saat itu tak terlepas dari kian melemahnya
kekuatan Keraton. Apalagi sejak adanya reorganisasi bidang hukum di Keraton pada 1903,
praktis kekuatan Keraton saat itu nyaris seperti macan ompong. ”Keraton saat itu hanya
boleh ngurusi upacara-upacara adat,” terangnya.
Sejumlah bukti bahwa Belanda melucuti kekuatan Keraton kala itu ialah adanya
pengangkatan patih yang ditunjuk Belanda secara langsung. Pengangkatan patih itu, lanjut kolumnis Solo Tempo Doeloe itu, sebagai salah satu cara Belanda mengontrol gerak-gerik Keraton. Misalnya ketika ada surat menyurat antara Keraton Surakarta dengan Keraton Yogyakarta, semua harus melalui patih.
Tak Terima Rekonsiliasi
Bukti lainnya bahwa Keraton di bawah kaki Pemerintahan Belanda ialah adanya
penyebutan eyang atau bapa oleh Sinuhun PB X kepada Gubernur Belanda atau Kepala Residen Surakarta. Dengan kata lain, tegas Heri, secara politik Keraton saat itu sudah di
bawah kendali Pemerintahan Belanda. ”Jadi sangat ahistoris, jika menyebut Keraton sejajar dengan Belanda kala itu.”
Heri mengingatkan pihak Keraton tak lagi memelintir sejarah hanya untuk perebutan kekuasaan yang terjadi saat ini. Menurutnya, pemutarbalikan sejarah demi legitimasi
kekuasaan merupakan tindakan yang terlalu naif. ”Saya kira, Keraton tak siap saja
menerima kenyataan rekonsiliasi. Sehingga, sengaja mengada-ada.”
Sebelumnya, KGPH Puger menyatakan sejak Keraton bergabung dengan NKRI, belum ada kejelasan hubungan di antara kedua belah pihak. Sehingga, sejumlah Keraton di Nusantara, termasuk Keraton Surakarta merasa dirugikan secara sosial, politik, dan budaya. ”Kami memang bergabung dengan NKRI. Namun, tak berarti kami melebur. Keraton penerus
Mataram itu tetap ada hingga sekarang. Nah, ini yang hingga kini tak jelas,” papar Puger. - Aries Susanto
Sukoharjo Edisi : Selasa, 05 Juni 2012 , Hal.V
Lir Ilir, agar Konflik Keraton Segera Berakhir SUKOHARJO (ESPOS)
Kemelut yang menyelimuti Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menyita perhatian berbagai pihak di antaranya warga Joho, Sukoharjo. Sejumlah ibu warga Joho,
(13)
agar kemelut segera diakhiri.
“Kami berharap kemelut di Keraton Surakarta yang terjadi akhir-akhir ini segera berakhir. Rasanya tidak elok, di keraton yang menjadi salah satu sumber budaya Jawa dan masih banyak menjadi panutan masyarakat luas kok terjadi pertengkaran,” ujar salah seorang peserta aksi, Danung, saat memimpin rekan-rekannya di kawasan perumahan Joho, Sukoharjo.
Mereka berharap para pihak yang bersengketa segera berdamai. Diharapkan hal itu mampu menenteramkan warga Soloraya yang mereka yakini menginginkan perdamaian di Keraton Surakarta itu.
Sementara itu koordinator aksi yang digelar di tengah permukiman di Joho, Antonius
“Kokor” Bimo Wijanarko mengatakan aksi itu digelar spontan. Dia menjelaskan ibu-ibu yang berasal dari lingkungan perumahan dan warga sekitar itu, menggelar aksi guna mendorong tercapainya perdamaian di keraton secepatnya.
“Kami sangat peduli dengan budaya Jawa yang adiluhung ini. Oleh sebab itu kami juga
setuju dengan slogan ibu-ibu yang meneriakkan perselisihan no, perdamaian yes tadi,” kata Kokor.
Aksi yang digelar Sabtu siang itu mendapat perhatian sejumlah warga setempat. Sebab peserta aksi yang diikuti kira-kira 20 orang ibu-ibu berbalut kain jarik itu berlangsung atraktif. Mereka mengusung poster bertuliskan aneka imbauan perdamaian sambil menari dan menembangkan gending Lir Ilir.
“Gending Lir Ilir ini sengaja kami tembangkan agar mereka yang bersengketa di keraton
sadar bahwa pertengkaran di keraton itu saru. Tidak baik! Karena itu kami menembangkan gending Lir Ilir yang sudah ada sejak zaman Sunan Kalijaga. Bagi kami makna gending ini
sangat dalam dan pas untuk menggugah para pihak yang bersengketa segera berdamai,”
terang Kokor. - Iskandar
Umum Edisi : Minggu, 03 Juni 2012 , Hal.2
Puger: Cooling Down! SOLO (ESPOS)
KGPH Puger yang belum lama ini menjabat sebagai caretaker atau pelaksana tugas PB XIII Hangabehi meminta pemerintah cooling down terkait konflik internal yang terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Imbauan tersebut disampaikan Puger di sela-sela acara Wilujengan memperingati 1.000 hari meninggalnya KGPH Kusumoyudo yang merupakan pengageng Kusumoyudo sekaligus adik PB XIII Hangabehi. Peringatan yang digelar di Sasana Mulya, Sabtu (2/6) malam tersebut berjalan tanpa kehadiran raja.
“Kalau boleh bicara jujur, kondisi di Keraton Solo saat ini juga terjadi di berbagai keraton Nusantara. Penyebabnya adalah adanya perbedaan pandangan mengenai posisi
masing-masing,” ungkap Puger. Yang terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, imbuh
dia, adalah awal ledakan yang kemungkinan bisa timbul juga di daerah-daerah lain. Oleh sebab itulah NKRI seharusnya bersyukur karena telah mendapat peringatan dari alam mengenai posisi Keraton.
(14)
Untuk bisa menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan Keraton, menurut Puger, pemerintah harus cooling down. Selanjutnya pemerintah diminta membentuk team work untuk menentukan posisi masing-masing, menciptakan kesamaan pemahaman supaya semua pihak bisa saling mengerti. Sebaliknya apabila konflik ditanggapi dengan saling lempar wacana dan rencana, kemungkinan yang terjadi hanyalah saling menyakiti serta saling merugikan satu sama lain.
“Seperti yang terjadi di Solo ini lah. Jangan terburu-buru memutuskan sesuatu. Teliti dulu, bentuk team work, pelajari dulu. Harapan kami apabila team work sudah terbentuk ya
segera bekerja dan menghasilkan sesuatu. Tapi kami akan sabar,” tegasnya.
Sementara itu Wakil Pengageng Sasana Wilapa, KP Winarnokusumo mengatakan
peringatan 1.000 hari meninggalnya KGPH Kusumoyudo dihadiri para sentana dalem dan pakoso. Pada akhir acara seorang ulama akan menerbangkan dua merpati sebagai simbol keikhlasan keluarga atas kepergian almarhum.
- Ayu Prawitasari
Kota Solo Edisi : Sabtu, 02 Juni 2012 , Hal.III
Jelang Tingalan Jumenengan
Hangabehi-Tedjowulan Siap Masuk Keraton
SOLO (ESPOS)
Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi dan KGPH Panembahan Agung Tedjowulan siap masuk ke dalam Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menjelang tingalan jumenengan pada 15 Juni nanti.
Pasangan yang menyatakan diri sebagai dwitunggal itu memastikan akan hadir dalam
tingalan jumenengan. ”Bahkan, jauh hari sebelum digelar tingalan jumenengan, dwitunggal sudah berada di Solo dan akan masuk ke dalam Keraton,” kata Juru Bicara Hangabehi -Tedjowulan, KRH Bambang Pradotonagoro kepada Espos, Jumat (1/6).
Bambang tak menjelaskan secara rinci proses masuknya Hangabehi-Tedjowulan ke dalam Keraton. Ia hanya memastikan Hangabehi-Tedjowulan telah menyiapkan strategi untuk masuk ke dalam Keraton.
Saat ini, kata Bambang, raja dan patih Keraton Solo tersebut berada di Jakarta guna menyelesaikan sejumlah urusan administrasi terkait rekonsiliasi Keraton bersama para menteri. Setelah urusan administrasi rekonsiliasi tersebut rampung, mereka akan kembali ke Kota Solo dan masuk ke dalam Keraton.
”Yang jelas, rekonsiliasi jalan terus dan dukungan semakin kuat. Dari 35 putra-putri PB XII, sebanyak 29 anak PB XII menyatakan mendukung rekonsiliasi. Ini artinya legitimasi dari keluarga juga sudah kuat, selain legitimasi dari pemerintah.”
Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Keraton, KP Eddy Wirabhumi, meminta kepada pihak-pihak terkait agar turut menjaga kekhidmatan tingalan jumenengan. Ia juga mendesak agar pembahasan konflik Keraton di antara kedua belah kubu ditunda hingga selesainya tingalan
(15)
jumenengan. Bedhaya Ketawang
Eddy memastikan upacara adat untuk memperingati naiknya tahta PB XIII Hangabehi akan digelar sesuai aturan adat. Ia juga menegaskan esensi dari tingalan jumenengan bukanlah terletak pada kehadiran sang raja. Melainkan, pada tarian Bedhaya Ketawang.
Sementara itu, Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa) menyatakan kesiapannya menjadi ujung tombak dari Lembaga Dewan Adat Keraton.
”Demi kepentingan Keraton, kami siap berdiri di baris terdepan. Termasuk untuk
mengamankan acara jumenengan nanti,” kata koordinator Pakasa Soloraya, Probonagoro kepada wartawan, Jumat.
Di sisi lain, terkait dana hibah pemerintah ke Keraton, Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi), menegaskan sudah menjadi kewajiban pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk membantu Keraton memulihkan kondisinya sebagai pusat kebudayaan dan cagar budaya. - Aries Susanto, Suharsih
Halaman Utama Edisi : Jum'at, 01 Juni 2012 , Hal.1
Mbak Moeng: Keraton Tak Butuh Bantuan Negara SOLO (ESPOS)
Putri Paku Buwono XII, GKR Wandansari atau akrab disapa Mbak Moeng menegaskan Keraton Solo tak butuh bantuan negara.
Di hadapan ratusan Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa) di Pergelaran Keraton, Kamis (31/5) siang, ia bahkan menyebut pemerintah sekarang tak ubahnya kompeni atau VOC modern yang terus mengusik ketenangan Keraton.
”Rasah dibantu ra popo (tidak dibantu juga tak apa-apa-red). Keraton dianggap butuh bantuan pemerintah. Itu namanya ngino (menghina-red) Keraton,” pekik Mbak Moeng menanggapi kebijakan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, yang akan menghentikan bantuan ke Keraton sampai konflik Keraton mereda.
Menurut Mbak Moeng, mestinya pemerintah datang langsung ke dalam Keraton dan menemui para sentana jika menginginkan rekonsiliasi Keraton. Selain itu, kebijakan Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo yang menahan bantuan Keraton, kata Mbak Moeng,
adalah bentuk sikap arogan dan tak menghormati institusi Keraton. ”Beraninya ngeret -ngeret Sinuhun. Sinuhun itu tak bisa apa-apa. Enggak bisa baca, enggak bisa nulis, kok
didikte suruh tanda tangan,” paparnya.
Kehadiran ratusan Pakasa di-Soloraya dan Jogja tersebut untuk menyatakan sikap atas kondisi Keraton akhir-akhir ini yang kian mencemaskan. Mereka ditemui sejumlah sentana dalem.
Wakil Ketua DPRD Kota Solo, Supriyanto, mengemukakan konflik Keraton tidak
mempengaruhi pemberian bantuan dari APBD Solo. ”Tahun ini tetap ada anggaran untuk Keraton dan itu tetap rutin dianggarkan dalam APBD kota,” ujar Supriyanto ketika ditemui
(16)
Ditegaskan Supriyanto, bantuan yang diberikan pemerintah untuk Keraton merupakan kewajiban pemerintah dalam rangka upaya pelestarian dan pemeliharaan Keraton. - Aries Susanto/Septhia Ryanthie
Halaman Utama Edisi : Jum'at, 01 Juni 2012 , Hal.1
2 Putri Adu Kuat SOLO (ESPOS)
Konflik Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat mulai mengarah pada unjuk kekuatan kedua belah kubu. Dua putri Keraton saling unjuk kekuatan di Solo dan Jakarta, Kamis (31/5).
Di Solo, putri Paku Buwono (PB) XII, GKR Wandansari atau yang akrab disapa Mbak Moeng bersama ratusan anggota Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa), menggeruduk kediaman pribadi PB XIII Hangabehi di Sasana Putra.
Di Jakarta, cucu PB X, BRA Mooryati Soedibyo, bertemu dengan sejumlah putra-putri PB XII. Mereka menyatakan dukungan rekonsiliasi Hangabehi-Tedjowulan.
Kedatangan Pakasa ke Sasana Putra untuk menyampaikan pesan melalui sanepan jeruk Bali dan kolang-kaling. ”Jeruk Bali ini maknanya agar Sinuhun segera kembali.
Kolang-kaling ini maknanya agar Sinuhun lekas eling,” ujar putri tertua Hangabehi, GKR Timur
kepada wartawan.
Aksi Pakasa bersama para sentana dalem Keraton tersebut menyedot perhatian warga Baluwarti, Pasar Kliwon. Anggota Pakasa dari Soloraya dan Jogja tersebut bergerak dari Pergelaran Keraton lalu melintasi Siti Hinggil, Kori Kamandungan dan terakhir menuju Sasana Putra yang merupakan kediaman raja.
Mereka berjalan sambil membentangkan spanduk dengan pesan agar PB XIII Hangabehi lekas kembali ke dalam Keraton dan duduk di singgasana. Selain itu, mereka juga
membawa sejumlah poster berisi penolakan atas hasil rekonsiliasi antara Hangabehi-Tejdowulan serta penolakan campur tangan pemerintah atas konflik Keraton.
Turut hadir dalam aksi itu antara lain Mbak Moeng, GKR Timur, KP Satryo Hadinagoro, KP Eddy Wirabhumi, serta sejumlah sentana dan putra PB XII. Sesampai di depan pintu Sasana Putra, Timur lantas mengetuk pintu dan memanggil nama ayahnya berkali-kali. Namun, petugas dari dalam Sasana Putra menutupnya. Timur pun kembali mengetuk pintu dan mencoba meyakinkan orang di dalam Sasana Putra tak akan terjadi apa-apa atas
kedatangan mereka bersama Pakasa. ”Saya yang akan bertanggung jawab jika terjadi apa
-apa,” kata Timur.
Merasa negosiasi tak membuahkan hasil, sejumlah sentana lantas mengetuk salah satu jendela kamar di Sasana Putra. Setelah diyakinkan tak bakal terjadi apa-apa, akhirnya pintu dibuka Mangkubumi, anak laki-laki tertua Hangabehi.
Timur akhirnya menyerahkan jeruk Bali dan kolang-kaling tersebut kepada Mangkubumi untuk diserahkan kepada ayahnya. Setelah diterima Mangkubumi, pintu pun kembali
ditutup. ”Sampai saat ini pun, saya tak tahu di mana keberadaan Bapak Sinuhun,” papar
(17)
Juru Bicara Hangabehi-Tedjowulan, KRH Bambang Pradotonagoro, menilai aksi tersebut merupakan sesuatu yang lucu. Mestinya, kata Bambang, Pakasa itu setia kepada rajanya. Dari Jakarta, sebanyak 29 dari 35 putra-putri PB XII berkumpul dan menyatakan sikapnya secara resmi mendukung kepemimpinan Hangabehi dan Tedjowulan. Mereka sebelumnya melakukan pertemuan dengan Hangabehi dan Tedjowulan. Para bangsawan Solo itu berasal dari Solo, Jakarta, Bandung, Cilacap dan beberapa daerah lain. Mereka berkumpul di sebuah rumah makan di kawasan Senayan, Jakarta. ”Kami sebagai putra-putri almarhum Paku Buwono XII ingin menyampaikan pernyataan dan dukungan penuh kepada
pemerintah atas semua pihak yang telah membantu menyatukan dua raja di Keraton
Surakarta Hadiningrat,” kata GPH Suryo Wicaksono, salah satu putra PB XII yang menjadi juru bicara.
Beberapa kerabat yang hadir dalam pertemuan itu di antaranya, KGPH Dipokusumo, GKR Widoretno, GKR Kus Triniyah, dan GKR Kus Ismaniyah. Suryo Wicaksono yang biasa disapa Nenok mengatakan pertemuan ini dilakukan untuk menunjukkan keluarga besar dan kerabat Keraton menginginkan perdamaian setelah konflik berkepanjangan selama delapan tahun.
KGPH Dipokusumo menambahkan langkah selanjutnya setelah pertemuan ini diharapkan
terjadi perdamaian abadi di Keraton. ”Kalau ada pihak lain belum sependapat akan
dilanjutkan komunikasi Keraton Surakarta,” katanya.
Di sisi lain, aparat kepolisian mulai memeriksa KP Satryo Hadinagoro atas tindakannya mengadang PB XIII Hangabehi-KGPH PA Tedjowulan saat akan masuk ke dalam Keraton beberapa waktu lalu. Menantu PB XII itu diperiksa polisi di dalam kompleks Keraton sekitar satu jam, Kamis siang. Pantauan Espos, sejumlah polisi berseragam sipil keluar dari kompleks Keraton sekitar pukul 12.30 WIB bersama KP Eddy Wirabhumi dan KP Satryo. Tak seberapa lama, Satryo langsung meninggalkan Kori Kamandungan dan kembali masuk ke dalam Keraton. Eddy menjelaskan kedatangan sejumlah aparat polisi dari Polresta Solo itu untuk meminta keterangan Satryo terkait laporan Hangabehi-Tedjowulan atas dugaan tindakan tak menyenangkan. - Aries Susanto/JIBI/Bisnis Indonesia/Harian Jogja/Asep Dadan Muhanda/Wahyu Kurniawan
Halaman Utama Edisi : Rabu, 30 Mei 2012 , Hal.1
Dirahasiakan, Skenario Tingalan Jumenengan PB XIII SOLO (ESPOS)
Skenario tingalan jumenengan Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat masih diliputi tanda tanya besar.
Kubu sentana dalem yang menolak hasil rekonsiliasi Hangabehi-Tedjowulan hingga kini masih menutup rapat informasi terkait proses upacara adat memperingati naiknya tahta raja pewaris dinasti Mataram Islam itu.
”Yang jelas, jumenengan itu upacara adat. Jadi harus tetap dilaksanakan,” tegas salah satu
menantu PB XII, KP Satryo Hadinagoro, Selasa (29/5) menjawab pertanyaan wartawan terkait acara tingalan jumenengan yang bakal dihelat 15 Juni nanti.
(18)
Meski demikian, Satryo enggan memberi keterangan terkait posisi PB XIII Hangebhi nanti dalam acara tingalan jumenengan.
Sebab, hingga detik ini Hangabehi masih belum diperbolehkan masuk ke dalam Keraton
bersama patihnya, Tedjowulan. ”Jangan mancing-mancing pertanyaan ya? Saya enggak
mau komentar soal itu,” kata Satryo.
Ditanya soal kemungkinan Hangabehi bakal ditinggalkan dalam acara tingalan jumenengan, Satryo juga enggan menjawabnya. Ia hanya mengatakan saat ini pihaknya sedang berharap Hangabehi mau pulang dan bicara baik-baik kepada keluarga di dalam Keraton. ”Saya tak mau mengandai-andai. Saya hanya berharap, Sinuhun kerso kondur dan kembali ke
khitahnya.”
Dia memastikan tingalan jumenengan tak akan ditunda atau dimajukan. Dengan tegas, ia mengatakan tingalan jumenengan merupakan upacara adat Keraton yang harus dihelat.
”Kalau ulang tahun saya mungkin boleh diundur atau dimajukan. Tapi, kalau jumenengan,
itu kan upacara adat. Ya, tak ada istilah diundur atau dimajukan.”
Satryo mengatakan pihaknya bersama sentana masih menanti langkah Walikota Solo, Joko Widodo, untuk dipertemukan dengan Hangabehi. Setelah bertemu dan tercapai
kesepakatan, pihaknya baru bisa memastikan nasib Hangabehi dalam tingalan jumenengan.
Koordinator Forum Masyarakat Solo Peduli Budaya, Kusumo Putro, menegaskan momentum tingalan jumenengan akan menjadi bom waktu. Sejumlah spekulasi yang berkembang menjelang acara yang dihelat pada 15 Juni nanti, kata Kusumo, antara lain
bakal ada sekelompok sentana yang bakal mengangkat PB XIV. ”Ini harus diantisipasi aparat sejak dini. Sebab akan menimbulkan kekacauan luar biasa di tingkat bawah.”
Kusumo yang juga Ketua Front Pembela Pancasila (FPP) itu menegaskan masyarakat Solo saat ini sebenarnya sudah jenuh dengan konflik Keraton yang tak kunjung usai. Itulah sebabnya, pihaknya mendesak pemerintah menghentikan segala bentuk bantuan sebelum
konflik Keraton dinyatakan selesai. ”Saya kira itu tindakan sangat bodoh, sampai-sampai seorang raja dilarang masuk Keratonnya sendiri. Ini sangat memalukan masyarakat Solo di
Nusantara.”
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Solo, YF Sukasno, sangat menyesalkan adanya konflik
berkepanjangan di Keraton. ”Kalau ontran-ontran Keraton itu sampai tidak selesai, menurut saya itu sudah ngisin-ngisini (memalukan-red) masyarakat Solo secara luas,” papar
Sukasno ketika ditemui wartawan di ruang kerjanya, Selasa.
Menurut Sukasno, DPRD maupun Pemkot sebenarnya sudah mengambil sejumlah langkah untuk memfasilitasi penyelesaian konflik Keraton tersebut. Sukasno mempertanyakan apa yang sebenarnya dicari oleh pihak-pihak yang terus memunculkan sejumlah persoalan di lingkungan Keraton.
”Sebetulnya apa yang dicari? Kalau itu bicara tentang angger-angger dan sebagainya, wong Gusti Maha Agung saja Maha Memaafkan kok? Mengapa ini antara satu dengan yang lainnya tidak saling memahami dan memaafkan? Kalau seperti ini, mau bagaimana? Kondisi seperti ini menurut saya sebagai masyarakat Solo yang selama ini bangga dengan
(19)
keberadaan Keraton, ya marakne nggrantes (bikin sedih),” ungkapnya. - Aries Susanto/Septhia Ryanthie
Halaman Utama Edisi : Selasa, 29 Mei 2012 , Hal.1
Pakasa Pasang Badan di Keraton SOLO (ESPOS)
Setelah ratusan abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat menyatakan mendukung kepemimpinan Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi-KGPH PA Tedjowulan, Minggu (27/5) malam, kini giliran abdi dalem yang tergabung dalam Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa) unjuk gigi.
Pakasa yang berada di bawah kendali KP Eddy Wirabhumi tersebut bahkan mulai pasang badan di lingkungan Keraton demi menjaga keutuhan Keraton penerus Dinasti Mataram Islam itu.
”Kami dari Pakasa Sragen siap pasang badan di lingkungan Keraton. Hingga menjelang
acara jumenengan nanti, jumlah kami akan semakin banyak,” kata Ketua Pakasa Sragen,
Rawuh Suprianto, kepada wartawan di Kori Kamandungan Keraton, Senin (28/5). Dalam kesempatan itu, Rawuh datang ke Keraton bersama 40-an anggota Pakasa dari Desa Macan Mati, Ngrampal, Sragen. Mereka mengaku ingin menjadi sukarelawan penjaga Keraton setelah melihat kondisi Keraton akhir-akhir yang kian memanas. Mulai hari itu, Pakasa akan berjaga secara bergiliran di sejumlah lokasi, termasuk di Kori Kamandungan.
”Kami sudah mengontak kawan Pakasa dari Klaten, Boyolali, serta Karangnyar. Kami akan bergiliran menjaga Keraton,” terangnya.
Aksi pasang badan oleh Pakasa itu, kata Rawuh, bukan atas instruksi dari Keraton. Melainkan, atas inisiatif dari mereka sendiri yang tak rela Tedjowulan kembali ke dalam Keraton. Mereka baru akan menghentikan aksinya jika kondisi Keraton dinilai sudah merasa aman.
Ketua Pakasa, KP Eddy Wirabhumi, menjelaskan kehadiran Pakasa di Keraton tersebut murni atas inisiatif mereka. Dia mengaku tak pernah mengeluarkan instruksi kepada Paksa
untuk datang ke Keraton secara khusus. ”Karena mereka bilang hanya mendatangkan 40
-an or-ang, ya kami beri izink-an. Jumlah segitu k-an tak terlalu mencolok,” paparnya.
Meski demikian, Eddy memastikan saat ini pihaknya belum merasa perlu mengerahkan
ribuan Pakasa di lingkungan Keraton. ”Saat ini, saya kira belum perlu show of force dengan mengerahkan ribuan Pakasa. Saya kira tak perlu itu,” paparnya.
Di sisi lain, sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan diri Gerakan Masyarakat Peduli Surakarta (Gempar) siap menjaga Kelurahan Baluwarti dari pihak-pihak luar yang mencoba memperkeruh konflik di internal Keraton. Pihaknya juga mengingatkan agar kedua belah pihak Keraton sama-sama saling menahan agar tak unjuk kekuatan dengan
mengerahkan massa.
Di sisi lain, Pengageng Sasana Wilapa GKR Wandansari atau akrab disapa Mbak Moeng akan dilaporkan keluarga Tedjowulan ke Badan Kehormatan (BK) DPR dan polisi. Anggota Komisi II DPR tersebut dinilai telah menghina dan mencaci Tedjowulan secara sengaja sesaat setelah Hangabehi-Tedjowulan akan masuk ke dalam Keraton beberapa hari lalu.
(20)
Juru Bicara Hangabehi-Tedjowulan, KRH Bambang Pradotonagoro, mengaku telah
mengantongi sejumlah alat bukti dan saksi terkait kejadian itu. Kepada wartawan, Bambang
menunjukkan sejumlah rekaman pernyataan Mbak Moeng kepada Tedjowulan. ”Saat itu,
Dwitunggal sedang berada di dalam Sasana Putra setelah dilarang masuk ke dalam Keraton. Namun, dari dalam Keraton, terdengar Gusti Moeng memaki-maki Panembahan
Tedjowulan,” jelas Bambang, Minggu (27/5) malam.
Menanggapi hal itu, Eddy Wirabhumi yang juga Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Keraton, mengatakan pihaknya tak akan gentar dengan langkah hukum yang akan diambil pihak Tedjowulan. - Aries Susanto
Halaman Utama Edisi : Senin, 28 Mei 2012 , Hal.1
Ratusan Abdi Dalem Dukung Hangabehi-Tedjowulan SOLO (ESPOS)
Ratusan abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dari berbagai daerah di Soloraya dan sebagian daerah di Jawa Timur berbondong-bondong menghadiri tingalan wiyosan Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi di Sasana Putra, Minggu (27/5) malam.
Mereka menyatakan tetap mendukung kepemimpinan PB XIII Hangabehi yang saat ini telah
bersatu dengan adiknya, KGPH PA Tedjowulan. ”Kami semua sangat senang melihat
Sinuhun sudah kembali akur dengan Gusti Tedjowulan. Kami akan tetap nderek beliau (Sinuhun-red),” kata salah satu abdi dalem Keraton asal Deles, Kemalang, Klaten, Manto Ali Harjo kepada wartawan di Sasana Putra, Minggu.
Dalam kesempatan itu, kehadiran KGPH Mangkubumi, salah satu anak laki-laki tertua PB XIII di acara tersebut menyedot perhatian publik. Sebab, Mangkubumi selama ini telah ditetapkan sebagai caretaker PB XIII oleh sejumlah sentana.
Tedjowulan dengan pakaian putih berkerah lengan panjang hadir dan duduk di samping kakaknya, Hangabehi. Sejumlah putra PB XII dan kerabat lainnya yang turut hadir antara lain KGPH Hadi Prabowo, Gusti Madukusumo, KGPH Suryo Wicaksono serta GKR Widoretno.
”Gusti Moeng dan kerabatnya juga kami undang. Namun, sepertinya tak datang,” kata Juru
Bicara Dwitunggal Tedjowulan-Hangabehi, KRH Bambang Pradotonagoro kepada wartawan.
Meski tak memberi petuah atau sepatah kata, malam itu Hangabehi tampil rileks di depan ratusan abdi dalem yang ikut tingalan wiyosan. Ia mengenakan baju batik biasa lengan pendek serta memakai blangkon. Sambil mendengarkan kidung asmara danadan pangkur, Hangabehi menyempatkan diri berjalan di celah-celah abdi dalem yang duduk hanya sekadar membetulkan arah sound system.
Salah satu abdi dalem asal Cepogo, Boyolali, Winarti, mengaku sangat terkesan dengan acara tingalan wiyosan malam itu. Sebab, sejak bertahun-tahun ia mengikuti wiyosan
bersama keluarganya, baru kali itu digelar di kediaman pribadi Hangabehi. ”Mungkin karena
Sinuhun dilarang masuk Keraton itu ya? Tapi, saya malah senang, karena bisa hadir di
(21)
Lebih Enak
Senada dengan abdi dalem Keraton asal Deles, Kemalang, Klaten, Manto Ali Harjo. Ia juga
senang bisa mengikuti tingalan wiyosan di kediaman pribadi rajanya. ”Sama saja. Di dalam
Keraton atau tidak, yang penting acara tetap jalan. Malah di sini lebih enak, karena di dalam
rumah Sinuhun langsung,” paparnya.
Manto bersama abdi dalem lainnya, sejak awal sudah tak ingin ikut-ikutan dengan sikap Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa) yang menolak rekonsiliasi. Ia justru mengaku sangat senang dengan akurnya Tedjowulan bersama Hangabehi. ”Kalau Pakasa itu kan di bawah Gusti Moeng. Kalau kami, ini kan di bawah Sinuhun. Kami tak ada dendam
kepada siapa pun,” paparnya.
Di hadapan ratusan abdi dalem, Tedjowulan berpesan agar semua abdi dalem tetap bersatu dan setia pada PB XIII Hangabehi. Sebab, sejak dirinya melepaskan gelar PB XIII, di
Keraton sudah tak lagi ada dua raja.
KGPH Hadi Prabowo, menyampaikan pesan dirinya siap menerima amanah untuk menjadi pangageng kasentanan di bawah dwitunggal Hangabehi-Tedjowulan. pihaknya berjanji akan
segera menata kembali organisasi Pakasa yang ada. ”Mari, kita tata kembali Keraton agar lebih terhormat,” katanya disambut tepuk tangan abdi dalem. - Aries Susanto
Kota Solo Edisi : Senin, 28 Mei 2012 , Hal.II
Keraton Terkunci, Turis Kecele Pasar Kliwon (ESPOS)
Konflik yang menerpa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat akhirnya berdampak ke pariwisata.
Tertutupnya sejumlah akses pintu Keraton menyebabkan wisatawan yang rata-rata berasal dari luar Solo, seperti Jogja, Semarang hingga Jakarta tidak bisa masuk Keraton. Mereka mengaku takut masuk Keraton lantaran tertutupnya sejumlah pintu dan juga karena
penjagaan aparat polisi di sekitar Keraton. ”Kami sekeluarga kan mau masuk Keraton. Tapi,
enggak berani karena penjagaan aparat polisi di sekitar Keraton,” kata salah satu wisatawan dari Jakarta, Kusuma Dewi kepada Espos, Minggu (27/5).
Dewi mengaku sama sekali tak tahu menahu ada konflik di dalam Keraton. Namun, begitu memasuki kawasan Keraton yang dijaga aparat polisi serta ditutupnya sejumlah pintu, ia akhirnya bisa membaca situasi itu. Apalagi, ia bersama sejumlah wisatawan lainnya juga
merasakan hal serupa di kawasan Keraton. ”Kami baru tahu setelah dikasih informasi
bahwa Keraton saat ini tertutup untuk umum. Ternyata tengah ada konflik di dalam
Keraton,” jelasnya.
Dewi bersama rombongan keluarga kecewa lantaran tak bisa masuk ke dalam Keraton. Padahal, ia bersama keluarganya datang jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk melihat
warisan budaya luhur bangsa. ”Sejak tadi pagi, banyak wisatawan yang kecewa. Ada yang
dari Semarang dan Jogja juga mengaku kecewa semua,” terangnya.
Pantauan Espos, banyak wisatawan yang akhirnya hanya naik sepur kelinci mengelilingi kelurahan Baluwarti. Sebagian wisatawan juga banyak sekadar foto-foto dengan latar Kori
(22)
Kamandungan.
Penutupan Sementara
Wakil Pengageng Wisata dan Museum Keraton, KP Satryo Hadinagoro, menjelaskan penutupan akses pintu di bangunan inti Keraton hanya bersifat sementara. Namun, lanjut dia, pintu untuk wisatawan sebenarnya tetap terbuka. ”Kami tetap melayani wisatawan.
Namun, di sebagian Keraton memang tengah kami perbaiki,” jelasnya.
Ketua Association of Indonesian Tour and Travel Agencies (Asita) Solo, Suharto,
sebelumnya juga mengungkapkan konflik Keraton saat ini berdampak buruk kepada dunia pariwisata.
”Konflik ini secara langsung atau tidak langsung berdampak pada masyarakat dan dunia pariwisata,” katanya dalam diskusi Rembug Soloraya yang digelar SOLOPOS dan
SOLOPOS FM, Selasa (22/5) lalu. - Aries Susanto
Kota Solo Edisi : Senin, 28 Mei 2012 , Hal.II
Hangabehi dan Tedjowulan Pamer Keakraban di CFD LAWEYAN (ESPOS)
Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, PB XIII Hangabehi dan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung (KGPH PA) Tedjowulan, mengejutkan warga Kota Solo dengan tampil di tengah publik yang sedang mengikuti acara peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-2 car free day (CFD) Jl Slamet Riyadi yang digelar di Pertigaan Stadion R Maladi Sriwedari, Minggu (27/5).
Keduanya hadir di sepanjang acara. Sayangnya Walikota Solo, Joko Widodo (Jokowi) tidak hadir dalam acara itu. Hangabehi yang mengenakan kaus merah, jaket warna hitam dan celana pendek dari kain serta sepatu kets itu bahkan ikut naik tangga guna menandatangani poster deklarasi keselamatan jalan yang menjadi tema peringatan HUT ke-2 CFD.
Begitu pula dengan Tedjowulan yang mengenakan kaus warna putih dan jaket warna hitam serta celana panjang hitam. Seusai acara mereka berdua berjalan kaki ke arah timur. Seperti warga lainnya, keduanya juga sempat berhenti untuk berfoto bersama di depan kereta uap Jaladara yang dipajang di rel sebelah timur panggung. Setelah itu mereka berjalan lagi diiringi para wartawan dan tatapan penasaran dari pengunjung CFD. Rupanya banyak yang tidak tahu bahwa keduanya adalah sosok yang belakangan
menghangatkan pemberitaan di media massa berkaitan dengan rekonsiliasi antara dua raja
Keraton Solo. ”Saya sempat tidak mengenali bahwa mereka berdua adalah Sinuhun
Hangabehi dan Tedjowulan. Baru kali ini saya melihat langsung. Saya tidak menyangka melihat keduanya muncul di tengah masyarakat seperti ini. Tapi saya senang melihat mereka rukun,” ujar seorang pengunjung CFD, Suryanto, kepada Espos.
Saat ditanyai wartawan, KGPH PA Tedjowulan, mengatakan pagi itu, dirinya dan Hangabehi hanya jalan biasa menikmati CFD. Saat ditanya apakah akan menjadikan acara jalan-jalan itu sebagai agenda rutin, Tedjowulan hanya menjawab, ”Ya lihat nantilah.”
Sementara Hangabehi tak berucap sepatah kata pun. Dia terus berjalan di samping Tedjowulan. Pejabat Humas Dwitunggal Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Bambang
(23)
Pradotonagoro, yang mendampingi keduanya mengatakan pagi itu memang untuk kali pertama Hangabehi dan Tedjowulan tampil di tengah masyarakat setelah rekonsiliasi. Keduanya diundang di acara itu dan berkenan hadir.
Bambang mengatakan akan diupayakan agar keduanya tampil sesering mungkin di tengah masyarakat. – Suharsih
Kota Solo Edisi : Sabtu, 26 Mei 2012 , Hal.III
Raja di antara Palereman dan Keraton Sri Susuhunan selaku pimpinan
Kasunanan Surakarta dapat menggunakan Keraton dan segala kelengkapannya untuk keperluan upacara, peringatan dan perayaan-perayaan lainnya dalam rangka
adat Keraton Kasunanan.
Demikian bunyi ”wasiat” yang tertuang dalam Pasal 2 Keputusan Presiden (Kepres) No
23/1998 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta. Kepres yang dikeluarkandi era Orde Baru itu barangkali cukup menarik dibahas saat ini. Selain masih berlaku dan masih memiliki kekuatan hukum, kepres tersebut juga menemukan
momentumnya di tengah konflik Keraton yang kian hari kian terbuka itu.
Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KP Eddy Wirabhumi, mengatakan Keraton bukanlah milik seorang raja. Melainkan milik keluarga raja secara keseluruhan. Sehingga, seorang raja yang menjadi bagian dari sentana juga bisa dilarang masuk ke dalam Keraton. ”Jadi, jangan diartikan bahwa Keraton ini milik raja.
Keraton ini milik keluarga secara keseluruhan,” kata Eddy Wirabhumi kepada wartawan di
Kori Kamandungan, Jumat (25/5).
Itulah sebabnya, di mata Eddy, seorang raja dipersilakan menempati palereman, sebuah tempat istirahat raja dan keluarganya di sisi barat bangunan utama Keraton Kasunanan Surakarta. Di tempat yang biasanya disebut Sasana Putra itulah, raja boleh keluar-masuk rumah tanpa terikat oleh aturan adat yang ada.
Senada dengan salah satu putra PB XII, KGPH Puger. Pria yang ditetapkan sebagai caretaker PB XIII ini menilai bangunan utama Keraton adalah kantor. Sehingga, harus ada pembedaan antara tempat tinggal raja secara pribadi dengan tahta raja di dalam Keraton sebagai sebuah singgasana.
”Raja pun diikat oleh paugeran. Termasuk, ketika dia harus tinggal di dalam Keraton, dia juga diatur oleh lembaga dewan adat,” paparnya.
Inilah salah satu alasan kenapa mereka berani melarang raja masuk ke dalam Keraton yang masih menjaga sistem nilai monarki itu. Tak hanya itu, sejumlah akses jalan dari paleremen menuju Keraton juga mereka blokade. Alasannya sederhana, Keraton bukanlah rumah raja. Di sinilah, tercipta sebuah pemahaman bahwa raja tak selamanya identik dengan Keraton beserta kekuasannya—sebagaimana yang jamak dipahami masyarakat selama ini. ”Ini
anggapan yang sangat ngawur sekali,” kata Juru Bicara Dwitunggal Hangabehi-Tedjowulan, KRH Bambang Pradotonagoro.
(24)
Bambang pun bahkan mengaku geli mendengar argumentasi tersebut. Mereka, kata Bambang, mungkin lupa atau memang tak pernah membaca Kepres No 23/ 1988 tentang
Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta. ”Bukankah dalam kepres itu jelas
disebutkan bahwa Sri Susuhunan adalah pimpinan Kasunanan Surakarta. Hla kok, sekarang raja dilarang masuk atas nama aturan adat?” - Aries Susanto
Halaman Utama Edisi : Rabu, 23 Mei 2012 , Hal.1
Diskusi Keraton Solo Pascarekonsiliasi
Rekonsiliasi 2 Raja Akan Diikuti Rekonsiliasi Jilid II?
Rekonsiliasi dua raja di Keraton Solo sudahkah menyelesaikan masalah? Apakah harus ada rekonsiliasi jilid II karena yang berkonflik kemudian bukan lagi dua raja tapi raja hasil rekonsiliasi dengan lembaga adat? Berikut hasil diskusi
yang digelar Harian SOLOPOS-Radio SOLOPOS FM di Griya SOLOPOS, Selasa (22/5), dirangkum Pardoyo, Staf Litbang SOLOPOS.
Setelah delapan tahun ontran-ontran di Keraton Solo, telah ada penandatanganan
rekonsiliasi kedua raja—PB XIII Hangabehi dan Tedjowulan—di Jakarta pada Rabu (16/5). Namun, yang terjadi kemudian justru persoalan baru, internal keraton tidak mengakui
rekonsiliasi itu. Lembaga adat belum bisa menerima kehadiran Tedjowulan meski bukan lagi sebagai raja.
Bahkan, lembaga adat menganggap rekonsiliasi itu hanyalah urusan pribadi kakak dengan adik, bukan penyelesaikan konflik keraton keseluruhan.
Namun, melalui Rembuk Soloraya yang disiarkan langsung Radio SOLOPOS FM itu Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Keraton Eddy Wirabhumi mengatakan yang terjadi sekarang adalah dinamika yang sedang berproses. “Mudah-mudahan bisa kami petik hikmahnya,” tutur Eddy.
Eddy mengatakan dirinya menghargai dan menghormati upaya rekonsiliasi itu dan
dikatakannya sebagai langkah bagus. Tetapi Eddy justru mengkhawatirkan karena menurut dia keraton bukan milik pribadi Sinuhun. Hadir pula dalam diskusi itu KRH Bambang
Pradotonagoro selaku juru bicara Tedjowulan, dan pengamat budaya dari UNS Sudarmono SU.
Yang muncul kemudian adalah resistensi di internal keraton. Pengamat budaya yang juga dalang wayang kampung sebelah Ki Jlitheng Suparman mengaku prihatin dan
menyayangkan penyelesaian masalah keraton dibawa ke tempat gelap. Karena, kata dia, dengan perginya raja ke suatu tempat (Jakarta), bisa saja raja dianggap hilang, kemudian otoritas keraton dipegang kekuatan oligarki.
(25)
Apabila kelompok orang yang menjadi kekuatan oligarki ini dikatakan sebagai satu kubu, maka pihak yang melakukan rekonsiliasi menjadi kelompok atau kubu tersendiri. Maka, kemudian konflik kembali terjadi. Namun, ketika dua kubu semakin ruwet, sehingga langkah rekonsiliasi yang dilakukan dua raja beberapa hari lalu itu dianggap belum menyelesaikan persoalan, Jlitheng melontarkan pertanyaan apakah masih diperlukan rekonsiliasi jilid dua? Jlitheng menyarankan, untuk menyelesaikan konflik keraton sebaiknya berbagai bantuan ke
Keraton Solo distop lebih dulu. ”Ini karena persoalannya sudah cetha.”
Adem Ayem
Pasalnya, dalam pengamatan dia, masyarakat sudah tak peduli terhadap keraton. Ini karena keraton tak peduli terhadap masyarakat. Demikian pula negara tak peduli keraton, sebaliknya keraton pun tak peduli terhadap negara.
Menanggapi kemungkinan rekonsiliasi jilid dua, bagi Bambang, pihaknya sudah mempersiapkannya. Langkah pertama adalah mengumpulkan para putra PB XII, tidak
termasuk putrinya, untuk diajak rembugan. ”Kami niatnya semua bersatu.”
Sebaliknya, Eddy mengatakan untuk menyelesaikan konflik keraton belum tentu dalam satu atau dua jilid. Bisa saja ada rekonsiliasi jilid tiga, jilid, empat, atau bahkan jilid tujuh. Meski
demikian, Eddy juga ingin agar masalah keraton segera selesai. ”Kami ingin keraton adem
ayem, tapi juga jangan dipolitisasi. Adat jangan diobrak-abrik.”
Sementara, Sahid Teguh Widodo dari Lembaga Javanologi UNS mengatakan tiap konflik ada biayanya, termasuk konflik internal keraton.
Selanjutnya yang berlaku adalah prinsip tawar-menawar. Dalam kondisi seperti inilah ia
menuding yang bisa bermain mengarahkan konflik itu hanyalah media massa. ”Maka
keraton harus hati-hati kepada media.”
Sementara, Bambang mengatakan rekonsiliasi bukan rekayasa dan digagas bukan hanya dalam waktu sepekan atau dua pekan, tapi telah berbulan-bulan. Dalam pengamatan Sudarmono, berdasarkan rentetan faktual sejak Hangabehi keluar dari keraton pada saat ia kebingungan dan kemudian ke Jakarta, apabila dihubungkan dengan sejarah keraton, pasti
ada urusan besar. ”Ini berdasar interpretasi saya dari rentetan sejarah di keraton,” tuturnya.
Rekonsiliasi dua raja Solo itu dinilai sebagai langkah bagus. Dalam pengamatan Sudarmono, rekonsiliasi itu sebagai langkah maju, tapi terus bagaimana? Isinya apa? Langkah itulah yang mestinya perlu ada langkah-langkah nyata selanjutnya.
Mengapa ke Jakarta? Menurut pengamatan dosen UNS Solo ini, pasti ada urusan politik yang besar. -
Tajuk Edisi : Rabu, 23 Mei 2012 , Hal.4
Rekonsiliasi Keraton Harus Dilanjutkan
Konflik dinasti Mataran Islam di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat rupanya belum berakhir. Rekonsiliasi dua raja, Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi dan PB XIII Tedjowulan, ternyata tidak menyelesaikan masalah yang sudah berjalan delapan tahun ini.
(26)
Kini muncul wacana pengangkatan PB XIV untuk menggantikan Sinuhun Hangabehi, walaupun akhirnya wacana ini dimentahkan lagi. Fakta bahwa rekonsiliasi ini ditentang sebagian sentana dalem sangat jelas terlihat. Dengan demikian, diperlukan rekonsiliasi lanjutan antara kubu Hangabehi-Tedjowulan dengan kubu Dewan Adat yang di antaranya diprakarsai GPH Puger, GKR Wandansari juga KPH Eddy Wirabhumi.
Jika masing-masing pihak sama-sama mbeguguk makutha waton alias hanya
mementingkan pendirian masing-masing, harapan kerukunan di dalam cepuri keraton akan semakin jauh panggang dari api. Artinya, rekonsiliasi yang sudah terjadi antara dua raja, menjadi sia-sia. Kita sama-sama tahu, secara faktual sejatinya keraton tak lagi punya peran signifikan atas kehidupan masyarakat. Posisi Keraton kini adalah sebagai monumen hidup atas peradaban dan kebudayaan Jawa.
Keraton harus menjadi tuladha atau contoh yang baik bagaimana peradaban dan kekerabatan Jawa. Bukan memberi contoh tentang percekcokan yang tiada habisnya. Memang benar bahwa ada nuansa lain yang berkembang selama proses rekonsiliasi kedua raja. Misalnya, kasus child trafficking atau perdagangan anak yang diduga melibatkan PB XIII Hangabehi. Kasus ini seolah membuat proses rekonsiliasi yang sempat tertunda menjadi lebih cepat matang.
Selain kasus ini, ada pula dugaan bahwa rekonsiliasi dua raja ini bernuansa kampanye pencalonan Walikota Solo Joko Widodo sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Itulah sebabnya beberapa kali pertemuan keluarga keraton digelar di Jakarta, bukan di Solo. Namun dugaan lain menyebutkan pertemuan keluarga keraton prorekonsiliasi digelar di Jakarta dengan alasan untuk menjauh dari gangguan yang mungkin terjadi.
Apa pun dan bagaimanapun, proses perdamaian dua raja atau rekonsiliasi berbagai
kekuatan yang bertentangan di dalam keraton, yang sebagian besar diprakarsai anak-cucu PB XII, harus dilanjutkan.Seperti salah satu pesan yang muncul dalam diskusi tentang konflik Keraton Surakarta, di Griya Solopos, Selasa (22/5), semua pihak harus
menggunakan ”manajemen hati” untuk menyelesaikan perselisihan. Cara terbaik untuk
lepas dari kisruh ini adalah bertemu antara sesama saudara dengan kepala dingin dan hati bersih disertai semangat ngluhurake asmane sudarma alias memuliakan nama ayahanda mereka, sehingga tercipta perdamaian yang langgeng di keraton. Semoga. -
Halaman Utama Edisi : Selasa, 22 Mei 2012 , Hal.1
Pulanglah, Bapak Sinuhun...
Sejak beberapa hari lalu, Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Sinuhun Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi, pergi meninggalkan keraton tanpa pesan, lisan maupun tertulis.
Kepergian Hangabehi selama berhari-hari belakangan ini membuat cemas kerabat dan keluarganya di keraton.
Para sentana kebingungan mencari jejak putra sulung PB XII itu. Putra-putrinya pun tak tahu lagi harus ke mana mencari ayah mereka itu. Belakangan, melalui berita di media massa, mereka tahu Sinuhun Hangabehi pergi ke Jakarta dalam rangka bertemu dengan PB XIII Tedjowulan.
(1)
raja secara hukum telah sah. Proses selanjutnya ialah membahas masa depan Keraton agar kian kajen lan kopen bersama segenap putra-putri PB XII. Dijadwalkan, Selasa (22/5) depan, Jokowi bersama Tedjowulan dan Hangabehi akan hadir bersama-sama di depan publik untuk
menyampaikan proses perdamaian dua raja ini. Selanjutnya, mereka berdua akan memasuki Keraton
Kasunanan Surakarta. “Soal mekanisme memasuki Keraton, masih dibahas di internal,” paparnya.
Terkait gelar Panembahan Agung, sejarawan Solo, Heri Priyatmoko, mengatakan gelar itu secara ekplisit baru ada kali ini ada dalam sejarah Keraton. Istilah Panembahan sendiri sejatinya hanya diperuntukkan bagi orang-orang istimewa, selain pendiri Dinasti Mataram Islam, Sultan Agung. Sejak Dinasti Mataram berdiri ratusan tahun silam, jelas Heri, hanya lima orang yang pernah menerima gelar Panembahan. Yakni Panembahan Buminata, Panembahan Wijil, Panembahan Seda Krapyak, Panembahan Senopati serta Go Tik Swan. Mereka yang bergelar Panembahan itu akan menerima
sembah dari pangeran riya sentana yang lebih muda serta bawahannya. “Dengan gelar istimewa itu,
harapannya barangkali agar Tedjowulan mampu berkomunikasi politik kepada petinggi keraton demi
masa depan keraton,” paparnya.
Pengamat budaya Solo, Tunjung W Sutirto mengingatkan, setelah rekonsiliasi bukan berarti
persoalan selesai. Sebab, rekonsiliasi dua raja yang terjadi itu hanya bersifat individu atau personel. Padahal, sejak adanya dualisme raja, secara langsung telah menimbulkan resistensi di masing-masing pendukung kepada raja kala itu. - Aries Susanto, Mulyanto Utomo, Septhia Ryanthie
Halaman Utama Edisi : Rabu, 16 Mei 2012 , Hal.1
2 Raja Negosiasi di Jakarta
SOLO (ESPOS)
Dua raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi dan PB XIII Tedjowulan, Selasa (15/5) malam berada di Jakarta untuk membahas kesepakatan rekonsiliasi. Juru bicara Tedjowulan, Bambang Pradotonagoro, mengatakan, hingga pukul 22.50 WIB, keduanya belum bertemu langsung. Menurut Bambang, Tedjowulan berada di kawasan Menteng sementara Hangabehi berada di kawasan Blok M.
“Saat ini kami masih menunggu Sinuhun Hangabehi. Draf kesepakatan rekonsiliasi sudah disiapkan,”
kata Bambang, ketika dihubungi Espos melalui ponselnya. Soal isi draf rekonsiliasi, Bambang belum bersedia membeberkannya. Sebab, isi draf rekonsiliasi tersebut masih bersifat rahasia.
“Kalau sudah ditandatangani, pasti kami sampaikan ke publik. Sekarang, yang terpenting adalah
tercapainya rekonsiliasi dulu,” paparnya.
Menurut Bambang, konstelasi politik Keraton dalam beberapa hari terakhir berubah sangat cepat. Bahkan, kedua belah pihak saling adu kecepatan untuk bertindak menyikapi perubahan iklim keraton yang sangat cepat itu.
“Saya sampai kewalahan. Dalam hitungan jam atau bahkan menit, semua bisa saja terjadi. Baik tercapainya rekonsiliasi atau sebaliknya, kegagalan rekonsiliasi,” ujarnya.
Menurut Bambang, ada beberapa hal yang mempengaruhi cepatnya konstelasi politik Keraton saat ini. Mulai tarik ulur kepentingan, hingga sejumlah persoalan hukum yang masih disikapi aparat yang maju mundur.
“Kebijakan aparat menyikapi kasus hukum yang diduga melibatkan Sinuhun Hangabehi juga sangat
menentukan berhasil tidaknya rekonsiliasi ini. Sampai sekarang komunikasi dan negosiaai masih
terus berlangsung,” paparnya.
Sementara itu, sejarawan Solo, Soedarmono, mengaku skeptis dengan upaya rekonsiliasi dua raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, PB XIII Hangabehi dan PB XIII Tedjowulan. Dia menduga
(2)
upaya perdamaian itu semata berorientasi uang bantuan dari pemerintah yang nilainya tidak kecil.
Pendapat itu disampaikan Soedarmono saat ditemui Espos di rumahnya, Selasa siang. “Menurut
saya tujuan akhir proses tersebut tidak jauh dari urusan uang,” katanya.
Bantuan dari pemerintah nilainya tidak sedikit. Bila benar berorientasi uang, Soedarmono meyakini tidak bakal ada ekses positif dari proses rekonsiliasi dua raja, terutama mengenai masa depan pelestarian seni dan budaya Kota Solo.
Menurutnya sudah terlalu lama Keraton tidak menjadikan bidang seni dan budaya sebagai ujung tombak kegiatan.
Soedarmono berpendapat upaya rekonsiliasi mestinya melibatkan pemangku kepentingan seni dan budaya Kota Bengawan. Dengan begitu, ada pembahasan mendalam tidak hanya mengenai siapa yang menjadi raja dan siapa yang menjadi wakil, tetapi membahas juga mengenai masa depan seni dan budaya yang seharusnya berpusat dan berkembang di keraton.
Pada bagian lain, terkait larangan PB XIII Hangabehi hadir dalam acara tingalan jumenengan, Pengageng III Museum dan Pariwisata Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Satryo
Hadinagoro, memberikan klarifikasi. Surat dari Sasana Wilapa yang dialamatkan kepada Hangabehi bukan larangan, melainkan hanya peringatan atau teguran.
Surat tersebut, tambahnya, merupakan hal biasa dalam tradisi Keraton Solo agar sesama keluarga
bisa saling mengingatkan. “Surat itu bukan berarti melarang raja untuk hadir dalam tingalan
jumenengan. Sekali lagi, saya merasa tidak pernah melarang raja untuk hadir dalam tingalan
jumenengan,” tegasnya.
Terlebih lagi, lanjut Satryo, bukan hak dan kewenangan pihaknya untuk melarang Hangabehi
menghadiri tingalan jumenengan yang akan digelar pada 15 Juni mendatang. Menurutnya, hadir dan tidaknya Raja Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi dalam upacara tingalan jumenengan merupakan hak pribadinya.
“Maksud saya itu, ada raja atau tidak, upacara adat keraton harus tetap jalan. Saya tak pernah melarangnya, karena itu bukan kapasitas saya,” tegas Satryo kepada Espos, Selasa.
Ia mencontohkan, dalam upacara adat Grebeg Mulud, seorang raja pun bisa saja tak hadir di
dalamnya. Namun, karena upacara adat itu merupakan bagian dari tradisi keraton yang harus dijaga, maka Grebeg Mulud pun tetap berjalan, meski tanpa kehadiran sang raja. “Maksud saya itu begitu.
Bukan melarangnya,” paparnya.
Sementara itu, rencana rekonsiliasi PB XIII Hangabehi dan PB XIII Tedjowulan mendapat dukungan dari kalangan masyarakat dan pelaku usaha di sekitar lingkungan Keraton Kasunan Surakarta. Bersatunya dua raja tersebut, menurut mereka akan mampu mengembalikan kewibawaan keraton penerus Dinasti Mataram Islam itu.
Pedagang lain, Fatimah, mengatakan Keraton Kasunanan Surakarta sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Solo dan sudah menjadi ikon Kota Solo.
“Jadi, sudah semestinya masyarakat ikut handarbeni. Kalau Keraton kembali berwibawa, masyarakat
juga ikut bangga, kunjungan wisatawan meningkat dan berdampak juga pada masyarakat di
sekitarnya,” paparnya. - Kurniawan, Aries Susanto
Halaman Utama Edisi : Sabtu, 12 Mei 2012 , Hal.1
(3)
SOLO (ESPOS)
Wakil Pengageng Pariwisata Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KRMH Satryo Hadinagoro, mengingatkan pemerintah tak ikut mengintervensi persoalan di dalam Keraton.
Sebab, Keraton sudah memiliki lembaga adat tersendiri untuk menyelesaikan setiap persoalannya.
”Keraton sudah punya lembaga adat sendiri. Jadi, pemerintah jangan ikut mengintervensi Keraton,”
kata Satryo menanggapi pernyataan Paku Buwono (PB) XIII Tedjowulan yang meminta pemerintah turun tangan langsung jika ada pihak yang menolak rekonsiliasi dua raja Keraton Kasunanan Surakarta, Jumat (11/5).
Menantu PB XII itu menegaskan rekonsiliasi dua raja antara Tedjowulan dan Hangabehi dinilai tak akan ada gunanya dan tak berpengaruh pada kewibawaan Keraton.
Sebab, makna raja di era sekarang ini sudah tak memiliki kekuasaan sama sekali, selain hanya simbol pimpinan dalam sebuah upacara adat. Keberadaannya pun, bahkan bisa juga ditiadakan jika memang tak memungkinkan.
”Buat apa rekonsiliasi antarraja. Lha wong raja sekarang itu tak lebih hanya aksesori Keraton. Yang
mengatur pemerintahan Keraton itu adalah lembaga adat, bukan raja,” papar pria yang pernah duduk
sebagai anggota DPRD Kota Solo itu.
Bukan hanya itu, sambung Satryo, rekonsiliasi yang ditawarkan Tedjowulan juga dinilai salah alamat jika menginginkan Keraton kembali berwibawa. Menurutnya, kewibawaan Keraton itu akan kembali jika ada kerelaan sikap dari Tedjowulan untuk minta maaf kepada keraton dan menginsafi segala
kesalahan yang pernah dilakukan selama delapan tahun ini. ”Rekonsiliasi itu apa? Lha wong dia
yang melanggar aturan Keraton, kok malah minta rekonsiliasi. Mestinya dia yang taubat,” tambahnya.
Itulah sebabnya, Keraton akan tetap berjalan sesuai dengan hukum adat yang dimilikinya. Disinggung soal proses hukum yang diduga melibatkan PB XIII Hangabehi, Satryo menegaskan,
biarlah proses hukum berjalan sesuai aturan yang berlaku. ”Kalau dia salah, ya biar diproses hukum. Hukum adat juga sudah memberinya teguran,” paparnya seraya mengingatkan bahwa Keraton hanya
akan membela nilai-nilai luhur Keraton, bukan sosok rajanya.
Menanggapi hal itu, Pejabat Humas PB XIII Tedjowulan, KRT Bambang Pradotonagoro, menegaskan pemerintah justru punya hak besar untuk mengintervensi Keraton demi kebaikan. Sebab, pemerintah selama inilah yang memberi anggaran rutin tiap tahun, baik lewat pusat, provinsi, maupun kota.
”Kalau dana enggak cair saja bingung, kenapa sekarang bilang pemerintah tak boleh intervensi,”
tegasnya.
Bambang justru mempertanyakan keberadaan lembaga adat yang konon memiliki kekuasaan absolut di atas raja itu. Keberadaan lembaga adat tersebut, menurut Bambang justru cacat hukum dan hanya menjadi sarang kepentingan orang-orang dalam Keraton. ”Lembaga adat itu tak pernah diketahui PB XIII dan tak ada tanda tangan beliau. Saya justru curiga, pembentukan lembaga adat ini ada
maksud-maksud tak baik,” paparnya.
Pria yang juga menjabat Ketua BPSK Solo itu mempersoalkan juga sanksi adat Keraton yang akan
dijatuhkan kepada PB XIII Hangebehi. ”Mestinya, sanksi itu juga berlaku bagi keluarga Keraton
lainnya yang terbukti bersalah dan pernah mendekam di penjara,” sindirnya. - Aries Susanto
Halaman Utama Edisi : Rabu, 09 Mei 2012 , Hal.1
Keraton Bakal Terapkan Hukum Adat
Hangabehi Terancam Sanksi
SOLO (ESPOS)
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tengah menyiapkan sejumlah sanksi hukum adat bagi keluarga Keraton yang dinilai melanggar dan menodai kehormatan Keraton.
Sanksi adat itu antara lain pencabutan gelar kehormatan hingga yang terberat yakni pengusiran dari
(4)
menodai kesucian Keraton akan menerima sanksi adat,” kata Ketua Eksekutif Lembaga Hukum
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KP Eddy Wirabhumi, kepada Espos, Selasa (8/5). Dia mengatakan kasus child trafficking yang diduga melibatkan Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi juga menjadi pembahasan Dewan Pertimbangan Keraton. Menurutnya, kasus tersebut telah menjadi pertanyaan besar di internal keluarga Keraton lantaran dinilai telah mengusik kewibawaan Keraton.
”Ada pertanyaan besar dari keluarga Keraton, apa yang sebenarnya terjadi (soal kasus trafficking
-red),” kata Eddy.
Saat ini, Dewan Pertimbangan Keraton tengah melakukan pendalaman atas kasus tersebut. Hal itu dilakukan untuk menjadi bahan pertimbangan perlu dan tidaknya menjatuhkan sanksi hukum adat
kepada Hangabehi. ”Tentunya kan kami harus pertimbangkan banyak hal yang lebih komprehensif untuk mengambil keputusan itu,” jelasnya.
Eddy menjelaskan sanksi adat adalah hukum tak tertulis namun masih berjalan dan dipatuhi oleh semua keluarga Keraton secara turun-temurun. Pemberian sanksi tersebut, jelas dia, semata-mata untuk mengembalikan kewibawaan keraton penerus Dinasti Mataram Islam itu. Sebab selama ini, Eddy menilai ada banyak pihak yang mengusik Keraton secara masif dan mulai berdampak pada merosotnya wibawa Keraton.
”Mereka mengusik secara sistemik. Mereka itu orang-orang dalam (Keraton-red). Mungkin istilahnya
itu Sengkuni,” jelasnya.
Meski demikian, Eddy tak menyebutkan secara eksplisit siapa saja orang dalam Keraton yang dinilai telah melanggar hukum adat. Ia hanya mencontohkan persoalan dana hibah Keraton yang terkatung-katung sejak dua tahun terakhir. Menurutnya, orang-orang dalam Keraton yang sengaja bermain atas persoalan itu secara terang-terangan telah melakukan pelanggaran hukum adat.
Sebab, hukum adat Keraton sejak Paku PB II hingga PB XII tak membenarkan menerima dana hibah
atas nama pribadi. ”Dana bantuan Keraton itu untuk menjalankan roda pemerintahan. Jadi, orang-orang yang mengatasnamakan kepentingan pribadi untuk mencari dana hibah, itu pelanggaran adat
yang bisa menurunkan wibawa dan mengacaukan sistem pemerintahan Keraton,” tegasnya.
Eddy menegaskan yang berhak menerima dana hibah adalah Keraton secara lembaga. Dengan kata lain, ketika PB XIII secara pribadi menerima dana hibah untuk kepentingan diri sendiri, hal itu tak bisa
dibenarkan. ”Raja itu harus tunduk pada aturan hukum adat. Sebab, hukum adatlah yang
menjalankan pemerintahan Keraton. Andai tanpa raja sekalipun, pemerintahan Keraton harus tetap
jalan,” urainya seraya mencontohkan peristiwa tertangkapnya PB VI oleh Belanda. Saat itu, kata
Eddy, meski Keraton tanpa raja, pemerintahan tetap berjalan dan langsung menunjuk PB VII. Keuntungan Pribadi
Eddy meyakini di balik persoalan dana hibah ada orang-orang dalam Keraton yang sengaja
mengeruk keuntungan pribadi. ”Kami yakin, Sinuhun itu bertindak bukan atas dirinya sendiri. Tapi,
pasti ada orang-orang di belakangnya,” jelasnya.
Selain soal dana hibah, dia juga menyebutkan soal perilaku keluarga Keraton yang keluar dari norma agama juga bakal dikenai sanksi. Bahkan, sanksinya ialah putus hubungan dengan keluarga tanpa menerima hak-hak sepeser pun dari Keraton. ”Misalkan mengganggu istri orang lain atau keluar dari
agama Islam. Itu sanksinya berat,” tegasnya.
Salah satu kerabat keraton, GPH Benowo mengaku tidak mengerti wacana penerapan hukum adat
yang dipaparkan Eddy Wirabhumi. ”Kalau hukum adat saya tidak paham. Saya sulit memberi statement nanti saya pikirkan dulu,” ujarnya ketika dihubungi Espos, Selasa malam.
(5)
Ketika diterangkan Espos tentang penerapan hukum adat tersebut berlaku bagi anggota keluarga Keraton yang dinilai melanggar dan menodai kehormatan Keraton dengan sanksi berupa pencabutan gelar hingga pengusiran dari lingkungan istana Keraton, putra Paku Buwono XII ini tetap mengaku tidak mengerti.
”Terserah dia (Eddy-red) mau ngomong apa. Saya tidak mengerti apa maunya dia. Tanyakan saja
kepada Eddy,” ujarnya.
Terkait dana hibah Keraton, Benowo, menegaskan dirinya tidak tahu-menahu tentang dana bantuan
tersebut. Ia mengaku tidak pernah menerimanya. ”Kalau dana bantuan maunya pemerintah seperti apa terserah. Saya juga tidak mengerti karena saya belum pernah menerima,” tukasnya.
Pengamat budaya Jawa, Purwadi MHum, menjelaskan hukum adat Keraton merupakan pilar untuk menjaga kebudayaan Jawa di dalam Keraton. Selama ini, jelasnya, Keraton telah banyak
memberikan gelar kehormatan kepada seseorang karena jasa-jasanya menjaga kebudayaan Jawa.
”Maka, hukum ada itu sebagai bentuk pengawasan ketika yang bersangkutan melanggar paugeran -paugeran (aturan-red) Keraton,” terangnya. - Aries Susanto, Lutfiyah
Halaman Utama
Edisi : Selasa, 15 Mei 2012 , Hal.1
Hangabehi Dipinggirkan
SOLO (ESPOS)
Posisi Raja Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi, kian dipinggirkan. Hangabehi bakal tidak dilibatkan dalam jumenengan pada 15 Juni mendatang. Kian terpinggirkannya peran Hangabehi di Keraton tampak dalam pemberian gelar kehormatan atau kekancingan di Keraton, Minggu (13/5) malam. Dalam pemberian gelar kehormatan kepada Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA), Ahmad Kamil, di Keraton, Minggu malam, Hangabehi tak tampak dalam acara itu.
Meski demikian, para kerabat Keraton tak mempersoalkan hal itu karena mereka menilai kedudukan raja saat ini tak lebih dari sekadar simbol kepala upacara adat. Pemberian gelar kehormatan kepada tokoh yang dinilai memiliki jasa besar kepada budaya Jawa malam itu diberikan Pengageng Sasana Wilapa, GKR Wandansari atau Mbak Moeng.
Wakil Pengageng Museum dan Pariwisata Keraton, Satryo Hadinagoro, menegaskan ada sejumlah alasan kenapa raja tak harus hadir dalam setiap acara pemberian gelar. Salah satunya ialah substansi acara adat Keraton sebenarnya ialah meneruskan tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun. Sehingga, meski raja tak hadir sekalipun, upacara adat harus tetap berjalan. Dia menambahkan dalam proses jumenengan yang diiringi Tari Bedaya Ketawang nanti, PB XIII
Hangabehi juga dipastikan tak bisa dihadirkan. ”Ini juga semacam teguran atau peringatan kepada
keluarga Keraton yang dinilai melanggar paugeran (aturan-red),” katanya.
Informasi yang dihimpun Espos, acara jumenengan akan digelar pada 15 Juni. Namun, Pengageng Sasana Wilapa telah melayangkan surat peringatan atau teguran sebanyak dua kali kepada PB XIII Hangabehi. Dalam surat tersebut, Hangabehi diminta tak hadir dalam acara jumenengan karena sejumlah pesoalan di antaranya dugaan kasus child trafficking, dana hibah Keraton serta dugaan jual-beli gelar kehormatan Keraton di luar sepengetahuan Lembaga Adat.
(6)
kebijakannya yang dinilai melanggar paugeran Keraton. Boneka Keraton
Tak hadirnya Hangabehi dalam acara jumenengan karena desakan dari orang-orang dalam, menurut sejarawan muda, Hery Priyatmoko, membuktikan raja tak lebih dari sekadar boneka Keraton. Selain terkesan lucu, kata Hery, hal itu sama dengan mengubah tradisi yang telah menyejarah sejak ratusan tahun silam.
”Dalam lembaran sejarah, baru kali ini seorang raja tak boleh memperlihatkan diri dalam acara
jumenengan. Padahal, momen jumenengan itu identik dengan kehadiran raja di hadapan rakyatnya.
Hla ini kok malah dilarang, kan lucu,” paparnya.
Jika orang-orang dalam mengatur raja, lanjut mahasiswa S2 Universitas Gadjah Mada (UGM), ini, hal itu menunjukkan ada lagi dualisme kekuatan dalam Keraton. Padahal, sambungnya, kehadiran raja dalam acara jumenengan untuk mengukur sejauh mana apresiasi masyarakat terhadap Keraton. Menanggapi masalah itu, Pejabat Humas PB XIII Tedjowulan, KRT Bambang Pradotonagoro, menilai keberadaan Lembaga Adat Keraton ilegal. Sebab, lembaga tersebut telah dihapus sejak PB X.
”Lembaga Adat kok bisa melucuti hak-hak raja. Ini sudah melampaui kewenangan dan tak ada dalam
sejarah Keraton,” paparnya.
Dalam kesempatan itu, Bambang menegaskan upaya rekonsiliasi Hangabehi dan Tedjowulan tidak akan melibatkan para pengageng Keraton.
Bambang menegaskan PB XIII Tedjowulan merasa perlu memberikan klarifikasi atas sejumlah klaim sepihak dari keluarga Keraton yang masih menolak keras rekonsiliasi dua raja. Salah satunya ialah tentang keberadaan orang-orang yang mengklaim duduk sebagai Lembaga Adat dan memiliki otoritas penuh atas nasib Keraton dan raja.
Dia menegaskan rekonsiliasi dua raja hingga saat ini masih terus berjalan. Kedua belah pihak, Hangabehi maupun Tedjowulan masih terus menjalin komunikasi dan pertemuan untuk menindaklanjuti rekonsiliasi yang telah mereka sepakati berdua itu.
Dengan tegas, Bambang juga mempertanyakan sejumlah orang dari luar Keraton yang dinilai kian memperkeruh kondusivitas rekonsiliasi dua raja dengan lontaran-lontaran pernyataan di publik. Padahal, kata Bambang, mereka tak lebih dari sekadar menantu PB XII yang tak memiliki kapasitas sama sekali untuk mewakili keluarga Keraton.
Salah satu putra PB XII, KGPH Puger, mengaku heran dengan sikap Tedjowulan akhir-akhir ini yang dinilai sangat getol meminta rekonsiliasi. Menurutnya, upaya rekonsiliasi Tedjowulan tersebut sudah lewat masanya setelah lebih dari delapan tahun melakukan tindakan makar dengan menyatakan diri sebagai raja PB XIII.
”Dulu pernah ditawari sebagai patih dalem keraton dan menyatakan bersedia, tapi esoknya malah
mendeklarasikan diri sebagai raja. Sekarang, malah minta jadi wakil raja. Gimana ini,” paparnya. - Tim Espos