Peran Paku Buwono X Dalam Membendung Kristenisasi Di Surakarta (1893-1939)

(1)

PERAN PAKU BUWONO X DALAM MEMBENDUNG KRISTENISASI DI SURAKARTA (1893-1939)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora sebagai Persyaratan untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh :

Siti Nur Azizah NIM: 1111022000026

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KEMENTERIAN

AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI(UIN)

SYARIF TIIDAYATULLAH

JAKARTA

F'AKULTAS

ADAB DAN HUMANIORA

ll. lr. H. Juanda No. 95, Ciputat 15412, Jakarta, lndonesia

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama

Mahasiswa

: SITI NUR AZIZAH

relp . (027) 7 443329, Fax. lO27) 7 493364

NIM

Program Studi

:1111022000026

: Sejarah dan Kebudayaan Islam

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi

ini adalah

hasil karya saya sendiri yang merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan merupakanreplikasi maupun saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang lain.

Apabiia terbukti

skipsi

ini

merupakan plagiat atau replikasi maka skipsi dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skipsi

baru dan kelulusan serta gelamya dibatalkan.

Demikian pemyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul dikemudiar hari menj adi tanggungj awab saya.


(3)

PERAN PAKU BUWONO X DALAM MEMBENDUNG KRISTENISASI DI SURAKARTA (1893-1939)

Skipsi

Diaiukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarj ana Humaniora (S.Hum)

Oleh:

SITINURAZIZAH

NIM: 111102200026

Pembimbing

f/"

Dr. Parlindungan Sireear. M.Ae NIP: 19590115 199403

I

002

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi

berjudut

PERAN

PAKU

BUWONO

X

DALAM

MEMBENDUNG KRISTENISASI

DI

SURAKARTA

(1893-1939) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif

Hidayatullah Jaka.ta pada 20 Januari 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat ntentperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada program stuili Sejarah dan Kebudayaan Islam.

Jakarta. 20 Januari 2016

SIDANG MUNAQASYAH

NIP: 19690724 199703 100t

Anggota

Penguji I

.----.-t&,.q

d-'d/

I

Dr. Jaiat Burhanuddin. MA

NIP: 19670119 199403

I

00I

Pembimbing

(r{,/,

Dr. Parlindunqan Siregar, M.Aq, NIP: 19590115 199403 1 002

Sekertaris Merangkap Arrggota

9750417 2005012 007

Penguji

II

Drs Azhlar Saleh. M.A NIP: 19581012 199203


(5)

i

ABSTRAK

Studi ini ingin membahas tentang upaya Paku Buwono X dalam membendung kristenisasi di Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan historis yang meliputi heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Dalam studi pustaka yang dilakukan, penulis berusaha menemukan sumber-sumber yang relevan dengan topik yang dibahas. Kemudian data-data tersebut dikaji dan dianalisa sehingga menjadi sebuah tulisan. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis.

Paku Buwono X adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1893 sampai 1939. Beliau merupakan putra dari Sinuhun Paku Buwono IX. Sunan Paku Buwono X seorang raja yang banyak menciptakan kemajuan di lingkungan keraton Surakarta. Beliau mudah menerima masuknya pengaruh budaya asing sebagai salah satu unsur modernisasi di lingkungan keraton. Sunan banyak meminjam unsur-unsur Barat yang bersifat lahiriah yang disesuaikan menurut seleranya. Meskipun begitu Paku Buwono X sebagai kepala pengatur agama menaruh perhatian besar terhadap perkembangan dan penyebaran agama Islam. beliau sebagai panutan dalam segala hal yang berkaitan dengan syariat agama Islam

Kasunanan Surakarta merupakan bagian yang tidak luput dari wilayah jajahan Belanda. Kedatangan Belanda tersebut bertujuan untuk mengekploitasi kekayaan alam Nusantara, yang diberengi dengan kegiatan misi kristenisasi yang dilakukan oleh para zending untuk mengubah agama masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk Islam, menjadi penganut agam Kristen. Kegitan yang dilakukan oleh Zending tersebut antara lain membangun gereja, rumah sakit, dan sekolah-sekolah. Hal tersebut menjadi momok yang meresahkan bagi umat Islam. di Surakarta sendiri terdapat rumah sakit dan sekolah-sekolah yang dibangun dan dikelola oleh zending. Berangkat dari keadaan seperti itu kemudian Sunan Paku Buwono X tergerak hatinya untuk melakukan pembaharuan. Sunan mendirikan madrasah dengan memasukkan ajaran Islam dan pemeliharaan budaya Jawa sebagai identitas, dan mendorong berdirinya organisasi sosial dan politik di Surakarta. Hal tersebut secara simbolik dapat dijadikan tempat perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam tak lupa pula tercurahkan kepada nabi Muhammad saw, sebagai suri tauladan sepanjang masa beserta keluarga dan para Sahabatnya. Semoga kita mendapatkan syafaat di akhirat kelak, amin.

Dengan mengucapkan Alhamdulillahirabbil‟alamin penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini untuk diajukan sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak yang telah memberikan arahan dan motivasi kepada penulis. Seiring dengan penulisan skripsi ini, penulis pengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik moral maupun material, demi terselesaikannya penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampikan terutama kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak H. Nurhasan, MA., selaku ketua jurusan fakultas Sejarah dan Peradaban Islam dan Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. selaku sekertaris terima kasih telah membantu mengurusi urusan birokrasi perkuliahan.


(7)

iii

3. Bapak Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Dr. Jajat Burhanuddin, MA dan bapak Drs Azhar Saleh, M.Ag atas kesediaannya menjadi Penguji Sidang Skripsi penulis.

5. Kepada segenap Dosen pengajar di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Universitas Islam Negeri Jakarta yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis.

6. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, dan juga pimpinan dan seluruh staf Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan bagi penulis untuk mendapatkan buku-buku yang digunakan sebagai referensi dalam penulisan skripsi.

7. Kepada kedua orang tuaku yang selalu mendidik, mengasuh,

menyayangi, menasehati, memarahi, mengingatkan, mendo’akan,

mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk kesuksesan penulis. Dan untuk adik-ku, raih mimpimu agar engkau menjadi orang yang menikkan keluarga kita.

8. Kepada lik Muhaimin, lik Fatimah, terima kasih atas nasihat dan

bantuannya. penulis hanya bisa mendo’akan semoga Allah membalas

semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.

9. Untuk sahabat-sahabatku Eva Khofifah, Hammatun Ahlazzikriyah, Khoirunnisa dan Wira Kurnia, terima kasih atas waktu kebersamaanya


(8)

iv

yang telah memberi warna pada kehidupan penulis selama kita bersamasemoga semua waktu dan pengalaman yang telah kita lalui bersama akan menjadi kisah terindah dalam mencari identitas.

10.Kepada teman-teman seperjuangan SKI angkatan 2011 yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu-persatu.

Akhirnya dengan keterbatasan ini, penulis mengucapka terima kasih banyak kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberi semangat. Penulis menyadari, bahwa penulisan skripsi ini dari kekurangan dan kekeliruan. Oleh karena itu, penulis sangat menghargai adanya saran dan kritik yang membangun, guna menyemprnakan tulisan-tulisan yang serupa dimasa yaang akan datang. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pembaca semua.

Jakarta, 12 Januari 2016


(9)

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR ISTILAH ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Tinjauan Pustaka. ... 9

E. Kerangka Teori. ... 11

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KERATON SURAKARTA PADA MASA SUNAN PAKU BUWONO X A. Letak Geografi Keraton Surakarta ... 16

B. Sejarah Berdirinya Kraton Surakarta ... 21

C. Biografi Paku Buwono X ... 25

D. Keraton Surakarta pada masa Paku Buwono X (1893-1938) ... 31

BAB III KRISTENISASI DI SURAKARTA A. Keberagamaan Masyarakat Surakarta ... 42

B. Pemerintah Kolonial dan Misi Kristensasi ... 48

C. Zending dan Kristenisasi di Surakarta ... 57

BAB IV UPAYA SUSUHANAN PAKU BUWANA X DALAM MEMBENDUNG KRISTENISASI A. Paku Buwono X dan Sarekat Islam ... 69


(10)

vi

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA ... 101


(11)

vii

DAFTAR ISTILAH

Abdi Dalem : Pegawai Kerajaan

Aristokrat : Orang dari golongan bangsawan; ningrat.

Gubernemen : Pemerintah (masa penjajahan Belanda)

Kadipaten : Daerah yang dikuasaiolehadipati, yang lebih

Rendahdaripadakesultanan.

Kaum Abangan : Kelompok yang menganut Islam kejawen

Kaum putihan : kelompok yang menganut Islam murni.

Keraton : Tempatkediaman raja atauratu, istana raja.

Kristening politiek : Politik Kristenisasi

Madrasah : Sebutan bagi sekolah Agama Islam, tempat proses

belajar mengajar ajaran Islam secara formal yang mempunyai kelas dan kurikulm dalam bentuk klasikal.

Misionaris : Pengemban misi penyebaran agama Kristen

Pangreh praja : penguasa lokal pada masa pemerintahan kolonial Belanda untuk menangani daerah jajahannya.

Residen : Provinsi

Sunan : Sebutan raja keraton Surakarta atau penyebutan

nama untuk para wali.

Susuhanan : Sebutan raja Kasunanan

Staatsblad : Lembar berita pemerintah

Tapsir Anom : Penghulu tertinggi

Vorstenlanden : Wilayah kerajaan yang memiliki status istimewa di Jawa pada masa kolonial (Surakarta dan

Yogyakarta.

Zending : Penyebar agama Kristen


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keraton Surakarta dengan ibukotanya Sala atau Solo merupakan penerus Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Susuhanan Paku Buwana II pada tahun 1746. Berdirinya Keraton Surakarta ini sebagai pengganti Keraton Kartasura yang telah hancur akibat dari adanya gerakan bersenjata orang-orang Cina yang berhasil memberontak dan merebut Kerajaan Mataram. 1 Keraton Surakarta merupakan kesinambungan dari Kerajaan Mataram. Pusat kerajaan Mataram telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat. Mula-mula di kota Gedhe kemudian pindah ke Plered, ke Kartasura, dan terakhir di Surakarta.

Pada awalnya untuk penempatan Keraton Kartasura terdapat tiga pilihan tempat, yaitu Talawangi yang biasa disebut Kadipolo, Sonosewu, kemudian desa Sala. Atas tiga pilihan tempat tersebut akhirnya dipilihlah Desa Sala untuk didirikan Keraton yang baru yang kemudian diberi nama Surakarta Hadiningrat.2

Sunan Paku Buwono X adalah raja Keraton Surakarta yang memerintah pada tahun 1893 sampai 1939 mempunyai gelar keagamaan sebagai Sayyidin

Panatagama Khalifatullah yaitu raja merupakan kepala, pemimpin, pengatur

agama dan kepala pengatur pemerintah atau negara. Paku Buwono X dianggap

1

Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta: Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), hal 7

2


(13)

2

sebagai raja yang istimewa karena masa pengabdiannya yang cukup lama yaitu 46 tahun. Beliau adalah pribadi yang penuh dengan nilai keteladanan, kebijakan, dan keagungan. Sebagai panutan dalam segala hal yang berkaitan dengan syariat agama Islam, maka Raja patut ditiru dan diteladani seluruh rakyat. Sifat yang paling menonjol yang dimiliki Sunan yaitu kedermawanannya, ia senang membantu dan menyenangkan hati orang. Dan salah satu kekurangannya adalah ia tidak mengenali nilai mata uang, sehingga Susuhanan tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang kondisi keuangannya.3

Sri Susuhanan Paku Buwono X (1893-1939) adalah Putra dari Sinuhun Pakubuwono IX (1861-1893), sedangkan Sinuhun Paku Buwono IX adalah putra dari Sinuhun Paku Buwono VI (1823-1830) yang dibuang ke Ambon karena melawan Belanda, jadi Paku Buwono X adalah cucu dari Paku Buwono VI. Saat usianya tiga tahun beliau dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom atau Putera Mahkota. Beliau naik tahta menjadi seorang raja pada tanggal 30 Maret 1893 karena menggantikan tahta kerajaan ayahnya yang telah wafat yaitu Susuhanan Paku Buwono IX. Dan mendapat gelar setelah naik tahta yaitu: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Paku Buwono

Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Hingkang

Kaping X.

3

George Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Poitik di Surakarta 1912-1945, (Yogyakarta: Gajah Mada Uniersity Press, 1989),hal 44


(14)

Menurut catatan sejarah, agama Kristen datang ke Indonesia dibawa oleh orang Portugis dengan armada dagangnya pada abad ke 16 M.4Sedangkan agama Islam datang ke Nusantara dibawa oleh pedagang Muslim dari Arab, pada abad 7-8 M. Sekalipun mereka dari Gujarat, Malabar atau Persia, tetapi mereka adalah orang Arab.5

Masuknya agama Kristen tidak lepas dari kegiatan penjajahan Belanda yang disebut dengan 3G yaitu: Glory, Gold dan Gospel.6Maksud dari “3G” itu adalah, Glory (menang) yaitu suatu motif penjajahan dan meguasai negeri

yang sedang dijajahnya untuk dapat dikuasai, motif yang kedua yaitu ekonomi atau Gold (emas, kekayaan) motif ini yaitu untuk mengeksploitasi, memeras

dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahannya, dan motif ketiga yaitu

Gospel yaitu motif untuk menyebar luaskan agama Kristen kepada anak-anak

negeri jajahannya atau motif untuk mengubah agama yang dipeluk penduduk.7 Karena menurut pemikiran mereka dengan mempunyai kepercayaan agama yang sama maka akan lebih muda bagi mereka untuk dapat menguasai semua dari negeri jajahannya.

Oleh karena itu meraka memberikan pelayanan pendidikan dan sosial, serta kolonial Belanda juga merekrut orang-orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat. Politik etis yang dianut dan dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda mengakibatkan pembukaan

4

Lukman Fathullah Rais, Muhammad Nasir Pemandu Umat, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989), hal 18

5

Ibid, hal 4

6

Musthafa Kamal Pasha dan Chusnan Jusuf, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam,

(Yogyakarta: Persatuan, 1989), hal 20

7

Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005), hal 103


(15)

4

sekolah menurut sistem barat di wilayah Hindia Belanda. Pembukaan sekolah-sekolah ala Barat sampai diperluas untuk segenap kalangan masyarakat. Munculnya politik asosiasi yang dilaksanakan pemerintah Hindia-Belanda,

memperkenalkan pengetahuan dan kebudayaan barat di sekolah-sekolah secara luas. Politik asosiasi ini merupakan kebijakan yang menghendaki rakyat bumi putera dibina agar terpengaruh dengan kebudayaan Barat.8

Kasunanan Surakarta termasuk bagian dari wilayah jajahan Belanda. Dalam bidang pendidikan pemerintah Belanda ikut campur tangan yaitu dengan menetapkan sistem konkoordinasi.9Yang nantinya dalam campur

tangan ini pemerintah Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah yang didalamnya mengajarkan agama Kristen untuk anak-anak pribumi. Pada kenyataanya daerah Vorstenlandeninimenjadi wilayah kekuasaan kolonial dan

berada dibawah pengawasan pemerintah koloial Belanda. Termasuk dibidang pendidikan yang tidak luput dari campur tangan pemerintah Belanda.

Belanda membawa Hindia Belanda ke suatu jenis pendidikan baru yang berbeda dari lembaga-lembaga pendidikan pribumi pada umumnya. Salah satu perbedaan pokoknya yaitu: pendidikan yang dibiayai oleh Belanda di sekolah-sekolah umum netral terhadap agama, diajarkan tidak terlalu memikirkan bagaimana caranya hidup secara harmoni dalam dunia, tetapi lebih menekankan tentang bagaimana memperoleh penghidupan.10 Di Kasunanan

8

Depdikbud, Searah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud, tth), hal 7

9

Sistem koonkordinasi adalah sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda bahwa pendidikan didaerah jajahan sama dengan sistem pendidikan yang ada di Belanda, lihat Resink, G,J, Raja dan Kerajaan Yang Merdeka di Indonesia 1850-1910, (Jakarta: Djambatan, 1987), hal 4.

10

Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada University perss, 1986). hal 278.


(16)

sendiri pendidikan barat merupakan pendidikan yang bisa dibilang paling diminati dan berkembang di Kasunanan. Pendidikan model barat ini diselenggarakan oleh pemerintah.

Perkembangan terjadi pada sekolah dengan sistem pendidikan Barat.Sekolah-sekolah Neutral berbahasa Belanda ini memiliki mutu yang

baik khususnya yang diperuntukan golongan Bumi putera di Surakarta. Sekolah-sekolah ini yaitu: HIS Jongenshool di Mangkubumen, HIS

Meisjesschool di Slompretan dan Schakelschool (sekolah peralihan) di

Penumping. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh missionaris atau sekolah Katolik yang berada di Surakarta antara lain adalah sekolah MULO (1 buah), sekolah ELS (1 buah), HIS (2 buah), dan Meisjesschool (2 buah).

Sekolah-sekolah tersebut tersebar di Purbayan, Pasar Kliwon, Kemlayan, Jebres. Awal munculnya pendidikan Barat hanya untuk anak-anak bangsawan atau priyayi dan anak-anak terpandang saja. Keadaan tersebut selain disebabkan oleh kebijakan pendidikan sendiri yang mengkhususkan pendidikan barat hanya untuk kalangan tertentu saja. Terhadap munculnya pendidikan Barat sebagian penduduk pribumi beranggapan bahwa pendidikan seperti itu tidak perlu dan kemungkinan besar justru membahayakan, karena pendidikan membawa resiko menjadi terasing dari kebudayaan sendiri dan kemungkinan terseret menjadi Kristen.11

11

Heather Sutherlend, Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi,(Jakarta:Sinar Harapan, 1983), hal 99.


(17)

6

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan di wilayah Surakarta tahun 1930, terdapat macam-macam sekolah model barat yang diantaranya yaitu: sekolah-sekolah yang didirikan oleh Zending,

sekolah-sekolah yang dikelola oleh Missi, sekolah-sekolah yang dikelola oleh

Muhammadiyah, dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Kerajaan.

Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending dan Missi inilah yang mempunyai tujuan

agar masyarakat pribumi masuk kedalam agama Kristen.

Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending didalamnya diajarkan

agama Kristen, juga memperkenalkan kebudayaan Barat seperti cara berpakaian, cara makan, belajar dan lainnya. Tujuan pendirian sekolah

Zending sejalan dengan tujuan pemerintah Kolonial yaitu menyebarkan agama

Kristen. Oleh sebab itu sekolah Zending ini banyak menerima bantuan dan

kemudahan dari pemerintah Kolonial, sehingga dalam waktu singkat sekolah model Barat tersebut dapat berkembang dengan pesat.

Selain itu ada juga sekolah Missi yang dikelola pertama kali oleh Pastor

Keyser dari Semarang pada tahun 1890. Pada tahun 1930, sekolah Missi yang

berada di Surakarta jumlanya telah mencapi 17 buah yaitu: sekolah MULO, 1 sekolah ELS(Europe Lagere School), 3 buah HIS (salah satunya khusus putri,

10 buah Standartschool, 1 sekolah HSC (Hollands Chinese School) dan 1

sekolah Meisjes Vervolg School.Sekolah-sekolah tersebut berada di

Margoyudan, Manahan, Gajahan dan Pasar Legi.12

12

Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial


(18)

Pengaruh Missionaris Kristen ini menjadikan tantangan bagi pemimpin-pemimpin muslim untuk melakukan perubahan. Begitupun yang dilakukan oleh Sunan Paku Buwono X, ia tidak senang terhadap kegiatan misionaris yang telah banyak mendirikan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending diwilayah Surakarta. Sunan bisa menerima masuknya pengaruh kebudayaan Barat ke Kasunanan, bisa dilihat dari acara perjamuan atau pesta yang mengadopsi cara-cara barat juga dalam sistem pendidikan sangat mendukung sistem pendidikan barat, namun Sunan tidak menyukai agama yang dibawa dari barat yaitu agama Kristen yang dibawa zending. Menurut Sunan hal ini

tidak boleh dibiarkan, oleh karena itulah Sunan ingin mendirikan sekolah berdasarkan agama Islam untuk mengantisipati berkembangnya agama Kristen, maka dibangunlah pondok pesantren Mambaul „Ulum sebagai salah satu upaya yang dilakukan Sunan agar tidak berkembangnya agama Kristen diwilayah Kasunanan.

Pendirian sekolah Mambaul’Ulum ini adalah hasil dari pemikiran

Sunan Paku Buwono X sendiri. latar belakang berdirinya Mambaul’Ulum disebabkan oleh beberapa faktor, yang salah satu faktornya yaitu untuk mengantisipasi perkembangan agama Kristen di wilyah Kasunanan.13Secara nyata sekolah ini merupkan pelopor berdirinya sekolah Islam pertama di Surakarta yang dapat membawa perubahan bagi pendidikan Islam yang semula dari lingkup pesantren beralih ke madrasah dan perkembangannya sebagai sekolah Islam. Berdirinya sekolah Mambaul’ulum tersebut sangat

13

Kuntowidjoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hal 38-39.


(19)

8

berperan penting dalam mencetak kelompok Ulama di Surakarta khususnya di lingkungan Surakarta.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengangkatnya dalam sebuah skripsi dengan judul “Peran Paku Buwono X Dalam Membendung Kristenisasi di Surakarta 1893-1939”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar menghindari meluasnya pembahasan dalam tulisan ini, maka penulis memberikan batasan masalah pada tulisan ini yaitu Sultan Pakubuwono X dalam upaya membendung kristenisasi di Surakarta. Karena di masa Pakubuwono X inilah sunan mendirikan Pondok Pesantren yang mana didirikannya pondok pesantren itu karena untuk mengantisipasi terjadinya perkembangan agama Kristen di wilayah Kasunanan.

Dari uraian pembatasan masalah tersebut maka penulis ingin merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono X ?

2. Bagaimana para Zending dalam menyebarkan agama Kristen ?

3. Apa yang dilakukan Pakubuwono X dalam membendung kristenisasi Surakarta ?


(20)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini tujuan yang ingin penulis capai sebagai berikut : 1. Menjelaskan Kondisi Keberagamaan di Keraton Surakarta

2. Mengetahui kegiatan misionaris mengenal bentuk dan cara yang di pakai oleh misionaris, dengan demikian diharapkan tidak mudah terjerat dan selalu berhati-hati setiap kali menghadapi kegiatan misionaris ini.

3. Menjelaskan usaha-usaha yang dilakukan para misionaris dalam menyebarkan agama Kristen di Surakarta.

4. Menjelaskan upaya yang dilakukan PB X dalam membendung Kristenisai di Surakarta.

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi kajian pengetahuan dalam ilmu sejarah terutama sejarah kerajaan di Indonesia, serta diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pendidikan dan penelitian selanjutnya.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk mendapatkan hasil yang dikehendaki sesuai dengan topik permasalahan, penulis tidak melepaskan diri dari hasil penelitian terdahulu sebagai bahan rujukan dan pendukung data yang absah, setahu penulis belum ada seara khusus yang menulis mengenai upaya sulnan pakubuwana X dalam


(21)

10

membendung kristenisasi di Surakarta ini. beberapa karya yang penulis jadikan survey pustaka di antaranya:

Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, ditulis oleh Nur Dwi Ratna

Nurhajarini yang diterbitkan oleh Depdikdub pada tahun 1998. Pembahasan dimulai dari keadaan daerah Surakarta secara umum kemudian sejarah berdirinya Kasunanan Surakarta mulai dari Kerajaan Mataram dan Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram kedalam dua Kerajaan, Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Dalam buku ini membahas tentang gambaran umum keadaan Keraton Surakrta dari awal mula berdirinya sampai batas periode abad XV sampai awal abad XX yang membahas tentang cikal bakal Kerajaan Surakarta dan Pengaruh islam sampai masuk ke dalam kekuasaan Belanda. Buku ini sangat membantu penulis untuk mengetahui informasi mengenai sejarah Keraton Surkarta.

Raja, Priyayi dan Kaula: Surakarta Tahun 1900-1915, buku dari

Kuntowidjoyo tahun 2004. Dalam buku ini menguraikan latar belakang

didirikan madrasah Mambaul’ulum oleh Sunan Pakubuwana X yang mana

tujuan dari didirikannya madrasah ini untuk mengantisipasi pengaruh Zending di Kasunanan Surakarta. Beliau mendirikan sekolah dengan ajaran Islam ini untuk menampung anak-anak, abdi dalem, pamutihan, khatib, ulama, juru kunci, dan sebagainya. Karena Pakubuwana sebagai pemimpin agama tidak ingin jika rakyatnya memeluk agama selain agama Islam.

Buku dari George .D. Larson yang berjudul Masa Menjelang Revolusi


(22)

ini penting untuk dimasukan dalam penulisan yang dapat memberikan gambaran tentang kegiatan politik di Surakarta dari tahun 1912 sampai 1942 adalah ketidaksukaan sebagian besar kalangan masyarakat Jawa terhadap usaha Belanda yang hendak mengubah masyarakat Jawa. Dan dalam sejarah sesudah 1912 bahwa Surakarta adalah upaya Belanda untuk mengadakan perubahan dan sekaligus mengekang respons politik terhadap perubahan itu.

Lalu Disertasinya Darsiti Soeratman, yang berjudul Kehidupan Dunia

Kraton Surakarta tahun 1830-1939 ini sangat membantu bagi penulis untuk

menambah sumber literatur penulisan. Didalamnya dijelaskan sedikit tentang Mambaul‟ulum karena pada masa Paku Buwono X, beliau menaruh perhatian yang begitu besar terhadap pendidikan agama Islam diwilayah Kasunanan. dan dijelaskan bahwa Sunan mendirikan sekolah itu untuk mendidik para Kyai atau ulama di Keraton Kasunanan.

E. Kerangka Teori

Menurut Ahmad Mubarok dalam bukunya yang berjudul Psikologi

Dakwah, kata misionaris atau dakwah diartikan sebagai undangan, ajakan, dan

seruan yang semuanya menunjukan adanya komunikasi antara dua pihak dan adanya upaya untuk mempengaruhi pihak lain. Selain itu Ahmad Mubarok juga menjelaskan agama Islam sendiri mewajibkan kepada umatnya untuk menyebarkan ajaran agama kepada seluruh umat manusia.14 Oleh karena itu, umat Islam dan orang Kristen merasa terpanggil untuk mensiarkan

14


(23)

12

agamaya.menurut mereka menyebarkan agama adalah kewajiban umat, hanya saja cara dan metode yang dipakai oleh orang Kristen di Indonesia dianggap telah melampaui batas kewajaran dalam penyebaran agama.

Susuhanan Paku Buwono X sebagai kepala pengatur agama menaruh perhatian besar terhadap perkembangan dan penyebaran agama Islam. kedudukan Sunan Paku Buwono X sebagai pimpinan tertinggi agama Islam, ia berkeberatan kalau rakyatnya memeluk agama selain Islam, ia tidak senang terhadap kegiatan penginjilan yang dilakukan zending dan misi yang terjadi di kerajaannya. Paku Buwono X mempunyai peran dalam mengatasi kegiatan misionaris di Surakarta yang dianggap telah melampaui batas.

Dalam penulisan suatu karya sejarah sangat membutuhkan bantuan konsep maupun teori-teori dari ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mempertajam serta memperjelas penulisan. Dalam studi ini penulis menggunakan pendekatan sosial, budaya dan politik. Pendekatan sosiologi merupakan pendakatan yang sangat berpengaruh dalam mengkaji penelitian ini. Pendekatan sosial yang dipakai dalam penelitian ini cenderung pada peranan tokoh sejarah.

Pendekatan budaya dipakai oleh penulis untuk mengetahui nilai-nilai kepercayaan yang berkembang di masyarakat pada waktu itu. Lalu pendekatan politik, menurut Deliar Noer adalah aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan yang bermaksud mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat.15

15


(24)

F. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memerlukan sebuah metode. Dengan metode tersebut diha16rapkan pembahasan yang dikaji menjadi lebih terarah dan dapat mencapai tujuan yang di harapkan. metode yang digunakan untuk penelitian-penelitian sejarah adalah metode deskriptif analitik dengan pendekatan sejarah sosial. Adapun langkah-langkahnya:

1. Heuristik

Heurustik yaitu pengumpulan data. Dalam langkah ini penulis mengumpulkan dan menggali sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan masalah yang sedang penulis kaji. Dimana sumber-sumber mengenai masalah terkait banyak penulis temukan di Perpustakaan-perpustakaan seperti: Perpustakan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional. Metode penelitian yang lain yaitu metode penelitian Kritik, Interperestai dan Historiografi.

2. Kritik Sumber

Setelah melakukan heuristik atau pengumpulan sumber-sumber maka tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah kritik sumber. Kritik sumber adalah sebuah usaha untuk mendapatkan sumber-sumber yang relevan dengan cerita sejarah yang ingin disusun sesuai dengan judul. Hal yang harus diuji adalah keabsahan. Dan setelah mencari sumber-sumber penulis penulis akan verifikasi terhadap sumber-sumber tersebut.

16

Sartono Kartodirdjo, Pendakatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 3


(25)

14

3. Interpertasi

Interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut pula analisi sejarah, interpretasi adalah pemahaman yang mendalam mengenai teks-teks yang telah dilalui fase kritik, dimana penulis sudah menemukan korelasi dan pemahaman yang baru mengenai tema yang dibahas.

4. Historiografi

Historiografi adalah penulisan sejarah. Metode ini adalah metode terakhir dalam metode sejarah. Adalah historiografi, yaitu penyusunan yang didahului oleh penelitian analisis terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau. Penyusunan ini selalu memperhatian aspek kronologis dan kebenaran sejarah dari setiap fakta. Dalam langkah ini penulis memaparkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai “Upaya Pakubuwana X dalam membendung Kristenissi di Surakarta”.

G. Sistematika Penulisan

Secara Keseluruhan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, adapun susunan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab IMerupakan Pendahuluan yang meliputi penjabaran singkat permasalahan yang menjadi fokus kajian, permasalahan, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, survei pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II membahas sejarah berdirinya Keraton Surakarta, biografi Paku Buwono X, dan Surakarta pada masa Paku Buwono X.


(26)

Bab III berisikan tentang Keberagamaan Masyarakat Surakarta, Pemerintah Kolonial dan Misi Kristenisasi, Zending dan Kristenisasi di Surakarta.

BAB IVmenguraikan tentang upaya Paku Buwono X dalam membendung kristenisasi di Surakarta. Upaya yang dilakan oleh Paku Buwono X yaitu: mendukung dan bekerjasama dengan Sarekat Islam, Mendirikan Sekolah Islam (Madrasah) Mamba’ul Ulum.

BAB V merupakan penutup yang berisi kesimpulan. Bab ini menjawab rumusan masalah penelitian.


(27)

16

BAB II

KERATON SURAKARTA DAN BIOGRAFI SUNAN PAKU BUWONO X

A. Letak Geografi Kasunanan Surakarta

Karesidenan Surakarta masuk dalam wilayah Vorstenlanden1 (wilayah

raja-raja), merupakan tempat kedudukan kerajaan yang berdiri sendiri dibawah kekuasaan Hindia Belanda. Secara geografis Karesidenan Surakarta adalah dataran rendah yang berada diantara pertemuan kali atau sungai Pepe, Jenes dan Bengawan Sala, serta berada pada ketinggian 92 m di atas permukaan laut.2

Secara administrasi, Karesidenan Surakarta di sebelah barat berbatasan dengan Karesidenan Yogyakarta, Kedu, Semarang dan Madiun. Di sebelah utara berbatasan dengan Gunung Merapi (2.875 m) dan Gunung Merbabu (3.145 m). di sebelah timur berbatasan dengan Gunung Kendeng dan Gunung Lawu (326 m). Antara Gunung Merapi, Gunung Merbabu dengan Gunung Lawu membentuk dataran rendah yang luas, meliputi daerah Klaten, Boyolali, dan Kartasura yang kaya sedimen vulkanis. Dari lereng Gunung Merapi

1Sejak tahun 1799 digunakan istilah “Vorstenlanden” untuk menyebut daerah kerajaan

Yogyakarta dan Surakarta, lihat: Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel, Perubahan sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920,Yogyakarta: PT Tiara Wacana, hal 23. Istilah Vorstenlanden pada awalnya mencakup pengertian sebagai wilayah pemerintahan sendiri bagi wilayah kerajaan-kerajaan lokal pribumi yang ada di bawah pengaruh kekuasaan kompeni Belanda. Sejak Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda menggantikan pemerintahan VOC, istilah Vorstenlanden

memiliki pengertian yang lebih spesifik yaitu menjadi nama wilayah pemerintahan kerajaan Jawa, atau dalam perspektif Jawa disebut wilayah pemerintahan Kerajaan Kejawen atau Praja Kejawen,

yang mencakup wilayah Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten

Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Lihat: Djoko Suryo, Dari Vorstenlanden ke DIY, Kesinambungan dan Perubahan, Koferensi Nasional Sejarah IX, Jakarta, 5-7 Juli 2011, hal 3

2

Pemda Kodia Tingkat II Surakarta, Kenangan Emas 50 Tahun Surakarta, (Surakarta: Murni Grafika dan STSI, 1997), hal 21.


(28)

megalir sungai Opak ke Selatan yang menjadi batas antara Karesidenan Surakarta dan Yogyakarta.3

Adapun luas wilayah Kerajaan Surakarta seluruhnya adalah 6.215 kilometer persegi. Separuh dari daerah itu adalah milik kasunanan, sedang daerah lainnya masuk daerah Mangkunegaran. Pada tahun 1838 penduduk Surakarta berjumlah 358.230 orang, dan pada tahun 1920 naik menjadi 2.049.547 orang. Penduduk Surakarta dapat dikatakan homogen,artinya masing-masing etnik berkumpul dan mendiami daerah-daerah tertentu secara terpisah dengan etnik lainnya. Ada beberapa etnik yang berada di sekitar wilayah ibukota kerajaan yaitu: Jawa (jumlah paling besar), kemudian Cina, Arab, dan Eropa.

Penduduk karesidenan Surakarta pada tahun 1930 adalah: pribumi 2.535.594 orang, Eropa 6.555 orang, dan Timur Asing 2.600 orang, dan jumlahnya 2.564.594 orang. Untuk kota Surakarta sendiri: penduduk pribumi 149.585 orang, Eropa 3.225 orang, Cina 11.286 orang dan Timur Asing 1.388 orang, dan jumlahnya 165.484 orang. Golongan Eropa yang terdiri 3.225 orang, 95% adalah orang-orang Belanda, dengan periniaan terdiri dari Belanda Totok (londo totok), Belanda Indo (londo indo) dan londo Ambon panggilan

untuk orang-orang Ambon yang bekerja menjadi tentara orang-orang Belanda. Tempat berkumpulnya orang-orang Belanda di Lojiwaten dan sekitarnya, yaitu daerah yang letaknya berada di sebelah selatan kali-pepe, kali yang membelah kota terbagi menjadi dua. Meraka bertempat tinggal disekitar

3

Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991), hal 24-25.


(29)

18

benteng Belanda, benteng Vastenberg, mungkin karena merasa lebih aman. Mereka memiliki gereja sendiri berada di depan benteng yang letaknya di Gladak. 4

Untuk golongan Timur asing terdiri dari orang Arab, India dan Pakistan. Orang-orang India dan Pakistan biasanya mereka memiliki toko-toko yang menjual bahan pakaian. Dan tinggal ditoko-toko-toko-tokonya sendiri. Orang-orang Arab berkumpul di pasar kliwon dan sekitarnya yaitu diseberang sebelah selatan rel kereta api yang membelah Surakarta. Usaha yang biasanya di industri kain batik yang biasanya dibuatnya dirumahnya sendiri. Mereka ini adalah golongan orang yang tertutup, tidak suka bergaul dengan golongan lain. Rumah-rumah mereka pun di kelilingi pagar yang tinggi dan tertutup rapat. Mereka juga memiliki Masjid sendiri untuk beribadah di pasar kliwon. Sedangkan orang-orang Cina mereka berkumpul diseberang sebelah utara kali Pepe. Yaitu Balong, Warungmiri,dan didaerah-daerah pasar Gedhe. Pada mula-mula mereka hanyalah pendatang, dan hanya pedagang kecil-kecilan saja.5

Perkampungan orang-orang Eropa terpisah dari etnik lain karena berdasarkan diskriminasi ras, dan pemukian orang-orang Cina disebut

“pecinan” maksudnya agar gerak-gerik mereka mudah diawasi. Pecinan terletak disekitar pasar Gedhe, dikepalai oleh seorang berpangkat mayor yang diambil dari kalangan mereka. di kalangan penduduk, kepala etnik ini dikenal

4

R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, (Jakarta: 1990), hlm: 115-116.

5

R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal: 116-118.


(30)

dengan sebutan Babah Mayor. Sedangkan pemukiman orang-orang Arab yang berada di Pasar Kliwon pemimpinnya mendapat pangkat kapten. Perkampungan untuk penduduk Bumi Putera terpencar di seluruh kota di Surakarta.6

Penduduk pribumi, hampir seluruhnya orang Jawa, terdapat dalam berbagai kelompok dan kampung yang tidak teratur diseluh kota, kebanyakan dari mereka bekerja dari industri batik dan berbagai macam kerajinan tangan. Tempat kediaman para pangeran dan pegawai puri yang terkemuka juga tersebar diseluruh kota.7

Disebelah Utara Keraton terletak kepatihan, tempat kediaman pepatih

dalem, sekaligus berfungsi sebagai pusat administrasi pemerintahan. Istana

Mangkunegaran terletak di sebelah selatan sungai Pepe, demikian pula perkampungan orang-orang Eropa yang meliputi rumah residen, kantor-kantor, gereja, gedung pertunjukan, gedung-gedung sekolah, toko-toko, dan benteng Vestenburg sebagai pusatnya. Perkampungan orang-orang diluar benteng itu disebut Loji Wetan,

Letak Keraton Surakarta, Istana Mangkunegaran, rumah residen, dan kepatihan letaknya tidak berjauhan. Benteng Vastenburg dibangun berada didekat keraton dan rumah residen. Jarak antara keraton dan Istana Mangkunegaran yang menghadap ke selatan tidak berjauhan, keduanya dipisahkan oleh jalan besar. Selain itu juga bisa dilihat jarak dari kepatihan ke

6

Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1989), hal 24.

7

George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton Dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, (Yogyakarta: Gadjah Mada Unviersity Press, 1989), hal 23.


(31)

20

rumah residen lebih dekat daripada jarak dari kepatihan dengan keraton. Untuk menuju keraton, pepatih dalem harus melewati rumah residen. Pengaturan tempat-tempat itu adalah untuk kepentingan dan keamanan pemerintahan kolonial Belanda di Surakarta.8

Di Surakarta terdapat tiga pemerintahan yang berbeda yaitu Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Residen Belanda. Kasunanan Surakarta menguasi enam kabubapaten, yaitu: Surakarta, Kartasura, Klaten, Boyolali, Ampel dan Sragen serta satu Kawedanan, yaitu Larangan. Kadipaten Mangkunegaran menguasai tiga Kawedanan, yaitu: Ibukota, Karanganyar dan Wonogiri. Serta Belanda menguasai lima bagian yang berada di Kasunanan dan Mangunegaran. Surakarta yang luasnya 24 km², sebagiannya adalah milik Kasunanan, seperlimanya milik Mangkunegaran, sisanya merupakan wilayah administrasi Belanda, yaitu disekitar kantor Residen, Benteng dan Tangsi Militer.9 Batas wilayah antara Kasunanan dan Mangkunegaran didalam kota adalah jalan memanjang Timur-Barat yang membelah kota.10 Sampai abad 20 di Kasunanan terdiri 23 distrik dan 101 onderdistrik, yang terbagi menjadi 1.240 kelurahan, sedangkan Mangkunegaran dibagi 7 distrik dan 32 onderdistrik yang terbagi 750 kelurahan.

8

Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta: Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), hal 10

9Nurhadiatmoko, “Konflik

-konflik Sosial Pri-Nopri dan Hukum Keadilan Sosial”, dalam Rustopo, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa Di Surakarta, 1898-1998,

(Yogyakarta-Jakarta: Ombak-Yayasan Nabil, 2007), hal: 16-18.

10

Soedarmono, Surakarta Kota Kolonial, Laporan Penelitian (Surakarta: LPPM UNS, 2004), hal 17


(32)

B. Sejarah Berdirinya Keraton Surakarta

Keraton Surakarta didirikan pada masa Sunan Paku Buwono II (1725-1749) pada tahun 1746, setelah Keraton sebelumnya di Kartasura mengalami kehancuran akibat perang perebutan tahta. Keraton Surakarta ini disebut sebagai pengganti Keraton Kartasura yang telah hancur akibat dari peristiwa Geger Pecinan, yaitu pemberontakan bersenjata yang dilancarkan oleh orang Cina sebagai bentuk protes pada VOC yang telah membantai orang-orang Cina yang ada di Batavia. Atas dasar itulah sehingga Paku Buwono II memutuskan untuk meninggalkan istana Kartasura yang sudah kacau dan hancur. Sekitar 12 kilometer ke arah timur, di tepi Sungai Sala, dia mendirikan sebuah istana baru, yaitu Surakarta Hadiningrat, yang nantinya akan tetap didiami oleh keturunannya. Bangunan baru ini selesai pada tahun 1745, dan kepindahan resminya terjadi pada Februari 1746. Walaupun istana sudah berpindah ke Surakarta akan tetapi kondisinya sama tidak stabilnya seperti pada waktu berada di istana lama.11

Keraton Surakarta merupakan kesinambungan dari kerajaan Mataram. Pusat kerajaan Mataram telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat. Mula-mula di kota Gedhe kemudian pindah ke Plered, ke Kartasura, dan terakhir di Surakarta. Kerajaan Mataram sendiri terbagi menadi dua kerajaan yang memiliki kedaulatan tersendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Vincent J.H Houben: The Javaness principalities of Surakarta (Solo) and Yogyakarta

(Yogya) were born in 1755 from the division of Mataram, the realm which in

11

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal 217


(33)

22

the 17th century had exercised hegemony over nearly all of Java. kerajaan di

Jawa yaitu Surakarta dan Yogyakarta berdiri tahun 1755 sebagai bentuk perpecahan dari kerajaan Mataram, di mana pada abad ke 17 memiliki kekuasaan dihampir seluruh wilayah Pulau Jawa.12

Campur tangan Belanda dalam urusan dalam negeri Mataram mulai terjadi pada masa akhir pemerintahan Amangkurat I (1645-1677), ketika kerajaan ini sedang memasuki masa-masa kehancurannya. Dinasti Mataram ditegakkan kembali setelah VOC melakukan campur tangan dengan berbagai konsesi, khususnya dibidang ekonomi dan teritorial. Dan sejak saat itu Mataram memasuki era peperangan, pemberontakan dan peperangan memperebutkan tahta. Pada tanggal 11 Desember 1749, Susuhanan menandatangani akta penyerahan, yang didalamnya mengatakan bahwa seluruh kerajaan Mataram diserahkan kepada Belanda. Melalui akta itu, Von Hohendorff menyiapkan pengganti raja atau calon raja baru, ketika Paku Buwono II berusaha bertahan hidup. Akhirnya, gubernur jenderal dan Dewan Hindia di Batavialah yang menobatkan Susuhanan yang baru.13

Pada masa pemerintahan Paku Buwono II terjadi peristiwa Geger Pecinan. Beliau memindahkan keratonnya karena keraton Kartasura rusak parah akibat pemberontakan orang Cina itu. Cina memberontak karena ditekan pajak tinggi oleh Belanda. Selain pajak tinggi, orang Cina yang tidak punya izin tempat tinggal disuruh kembali ke negara asal. Pegawai kompeni berbuat

12

Vincent J.H Houben, Keraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta 1830-1870,

(Leiden: KITLV Press, t.th), hal: 405

13

M.C Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa, (Yogyakarta: Matabangsa, 2002), hal 77-79.


(34)

curang dengan memeras orang-orang Cina.14 Pemberontakan ini dimulai sejak tahun 1740 ketika VOC memberlakukan kebijakan untuk mengurangi jumlah orang-orang Cina di Batavia, sehingga banyak orang Cina yang mengungsi ke wilayah Jawa Tengah dan membentuk laskar-laskar perlawanan. Pelarian laskar-laskar Cina tersebut ternyata mendapat dukungan dari para bupati di wilayah pesisir serta secara diam-diam Paku Buwono II juga mendukung gerakan perlawanan laskar Cina terhadap VOC ini melalui Adipati Natakusuma selaku seorang patih dari Kerajan Kartasura dengan tujuan untuk memukul mundur kekuasan VOC di wilayah kekuasaan Mataram Kartasura.

Melihat Kota Semarang yang menjadi pusat VOC di Timur Batavia tidak jatuh ke tangan orang-orang Cina, Paku Buwono II menarik dukungannya dan kembali berpihak kepada VOC untuk memerangi perlawanan laskar Cina. Langkah yang ditempuh untuk menutupi kecurigaan VOC, Paku Buwono II menangkap Adipati Natakusuma yang akhirnya dihukum buang ke Sailon (Srilanka). Ternyata kekuatan pasukan Cina tidak berangsur surut melainkan semakin kuat dengan adanya dukungan dari Bupati Pati, Grobogan dan beberapa kerabat Raja. Bahkan laskar Cina ini mampu mengangkat Mas Garendi sebagai penguasa yang baru atas kerajaan Mataram Kartasura dengan gelar Sunan Kuning.

Pada tahun 1742 pihak kerajaan semakin terdesak, sehingga membuat raja, kerabat, dan pengikutnya yang masih setia harus mengikuti untuk mengungsi ke Ponorogo. Para pemberontak berhasil menduduki dan merusak

14

KRT. Kastoyo Ramelan, Sinuhun Paku Buwono X: Pejuang dari Surakarta Hadiningrat, (Bandung: Jeihan Institute, 2004), hal 39.


(35)

24

bangunan Keraton Kartasura. Pemberontakan baru dapat dipadamkan setelah Paku Buwono II dibantu pasukan VOC menyerbu laskar Cina. Paku Buwono II berhasil merebut kembali Kerajaan Kartasura yang sebelumnya berhasil diduduki oleh laskar Cina.

Meskipun kembali bertahta, Paku Buwono II merasa Keraton Kartasura sudah tidak layak untuk menjadi pusat kerajaan, sebab menurut kepercayaan Jawa, keraton yang sudah rusak telah kehilangan wahyu. Setelah melalui berbagai macam pertimbangan, maka desa Solo dipilih untuk menjadi tempat pengganti Keraton Kartasura yang sudah rusak, Paku Buwono II memberi nama Keraton di Solo dengan nama Keraton Surakarta. Secara resmi Keraton Surakarta berdiri pada 17 Februari 1745.15

Setelah pindah dari Kartasura ke desa Sala, nama Sala-pun di ubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Paku Buwono II membangun Keraton secara tergesa-gesa dan perpindahan ke Keraton Surakarta dilakukan ketika Keraton baru tersebut belum sepenuhnya selesai dibangun. Hanya berselang tiga tahun setelah menemapati keraton baru tersebut, Paku Buwono II wafat, sehingga penyelesaian pembangunan Keraton Surakarta ditangani oleh raja-raja selanjutnya. Hingga masa pemerintahan Paku Buwono X keraton Surakarta telah berusia hampir 1,5 abad. bangunan keraton mengalami perkembangan secara terus-menerus, namun pembagian pelataran atau halaman tidak mengalami perubahan.16

Setelah Paku Buwono II memindahkan Keraton dari Kartasura ke

15

Sri Winarti, Sekilas Sejarah Keraton Surakarta, (Surakarta: Cendrawasih, 2004), hal 16.

16


(36)

Surakarta, Paku Buwono II harus menyerahkan seluruh daerah pesisir Jawa kepada VOC. Inilah awal terbentuknya keraton Kasunanan Surakarta, dan sekaligus menandai awal penetrasi kolonial Belanda ke dalam wilayah inti Kerajaan Mataram Surakarta. Karena patih yang seharusnya mengurus wilayah kerajaan mulai saat itu juga bekerja untuk kepentingan VOC. 17 Walaupun keraton sudah dipindahkan ke Surakarta, tetapi peperangan antara Mataram dengan VOC belum berakhir sampai Sunan Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh Paku Buwono III.

C. Biografi Paku Buwono X

Sri Susuhanan Paku Buwono X adalah putra dari Sinuhun Paku Buwono IX dari permaisuri Raden Ayu Kustijah atau Kanjeng Ratu Paku Buwono IX. Paku Buwono X dilahirkan pada hari Kamis Legi tanggal 22 Rajab 1795 Jawi atau 29 November 1866 M jam 7 pagi. Nama kecilnya adalah Raden Mas Gusti Sayidin Malikul Kusna.18 Beliau dilahirkan sebagai putra ke 30 dari putra-putra Sunan Paku Buwono IX. Kraton menyambut kelahirannya dengan perasaan bahagia dan penuh kemegahan, karena selama pemerintahan Paku Buwono V sampai dengan Paku Buwono VII, permaisuri raja tidak melahirkan putra laki-laki. Untuk mengumumkan kelahiran agung ini dibunyikan segala macam bunyian, seperti dibunyikannya meriam di Panggung Songgobuwono, para abdi dalem niyogo diperintahkan memainkan

17

Hari Mulyadi, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit”(Studi Radikalisasi Sosial

“Wong Sala”dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta). Surakarta: Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, 1999, hal 20.

18

S. Puspaningrat, Mengenal Sri Susuhanan Paku Buwono X, (Surakarta: Cendrawasih, 1996), hal 12.


(37)

26

gamelan kodok ngorek di Siti Hinggil.19 Saat usianya tiga tahun, pada 4 Oktober 1869 beliau dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota). Setelah dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom, sang Adipati diberi gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro

Sudibjo Rojo Putro Narendra Mataram Ingkang Kaping V, untuk Kerajaan

Surakarta Hadiningrat.

Beliau adalah cucu dari Sinuhun Paku Buwono VI (yang membantu Pangeran Dipongoro melawan Belanda). Sunan PB X naik tahta pada 30 maret 1893, Lalu gelarnya setelah naik tahta yaitu: Sampeyan Dalem Ingkang

Sinuhun Paku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayyidin

Panatagama Ingkang Kaping X. sebutan gelar “Sayyidin Panatagama” bukan

sebutan tempelan biasa saja tetapi terdapat makna, punya tugas serius bagi seorang raja yang menerima gelar itu. Hal ini berlangsung setelah zaman kerajaan Demak.20

Dalam mendidik putranya Sunan Paku Buwono IX sangat keras kepada sang putra digembleng dalam segala ilmu seperti, ilmu kebatinan, ilmu menuntun ajaran-ajaran Jawa peninggalan leluhur, agar kelak putranya diharapkan tumbuh menjadi manusia yang berbudi luhur, berwatak adil dan bijaksana, hal penting yang merupakan syarat menjadi seorang Raja. Pendidikan ilmu barat juga diberikan, dengan mendatangkan guru-guru di

19

Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, (Jakarta: Bangun Bangsa, 2009), hal 3.

20

KRT. Kastoyo Ramelan, Sinuhun Paku Buwono X: Pejuang dari Surakarta Hadiningrat, hal 1-3.


(38)

Keraton, karena semua pendidikan diberikan didalam keraton.21 Pendidikan yang diikuti Pangeran Adipati Anom diberikan secara Jawa, meliputi berbagai bidang, antara lain: 1) pengetahuan mengenai kesusutraan, 2) kesenian, 3) keterampilan menggunakan senjata seperti keris, pedang, dan tombak secara timur, pencak silat dan bermain pedang secar Barat, 4) olahraga seperti berenang dan menunggang kuda, 5) pendidikan dari buku-buku lama dan ajaran dari ayahnya yang terkumpul dalam serat-serat piwulang Jawa, 6)

pengetahuan psikologi, 7) pelajaran bahasa Arab, Melayu, Belanda. 22

Setiap putra-putri raja Mataram, diharuskan menjalani bimbingan dan pendidikan yang keras sejak belia, baik dari orang tua maupun para guru terpilih yang didatangkan ke keraton. tradisi seperti itu telah terbentuk sejak dahulu, karena para putra raja adalah benteng penjaga kedaulatan kerajaan.23 Demikian pula dengan Pangeran Adipati Anom. Pendidikan untuk putra mahkota itu dikerahkan kepadanya agar kelak ia dapat memanggku jabatannya sebagai raja utama.

Sunan Paku Buwono X menyadari bahwa syarat untuk menjadi seorang Raja dituntut untuk menguasai segala ilmu, yang nantinya perlu untuk bekal dalam mengatur kerajaan yang dipimpinnya, baik itu ilmu kebatinan dan ajaran-ajaran Jawa lainnya sebagai warisan dari leluhur. Segala ilmu-ilmu itu diajarkan didalam Keraton. Dan para guru baik guru yang mengajarkan ilmu

21

R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal 24-27.

22

Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, hal 5.

23

Darsiti Soeratman, Istana Sebagai Pusat Kebudayaan Lampau dan Kini, (Yogyakarta: Pidato pengukuhan Guru Besar UGM, hal 7.


(39)

28

Barat maupun ilmu ketimuran datang ke Keraton. Orang-orang yang dianggap sebagai guru yang menuntun hidupnya pertama-tama adalah ayahandanya sendiri Sinuhun Paku Buwono IX. Jika ayahandanya Paku Buwono IX, digambarkan sebagai Prabu Balodewo, sakti mendroguno, teteg, teguh

pribadinya, maka Paku Buwono X digambarkan sebagai Prabu Yudhistira,

asih paramarta lahir batin, wicaksono narendrotomo sang Jayen Katon.

Karena itu setelah Adipati Anom (Paku Buwono X) naik tahta menadi Raja, beliau menjadi raja yang arif, adil dan bijaksana, seorang Raja yang wicaksono

dan waskito. 24

Ayahanda Sunan Paku Buwono X yaitu Sunan Paku Buwono IX wafat

pada hari Jum’at Legi 28 Ruwah Je 1822 atau 16 Maret 1893 M. Setelah wafatnya Sunan Paku Buwono IX, maka pada hari Kamis Wage tanggal 30 Maret 1893 beliau menggantikan tahta kerajaan, dengan gelar Sinuwum

Kanjeng Susuhanan Paku Buwono X Senapati Ingalaga Abdul Rahman

Sayidin Panatagama. Pada tahun 1924, Sunan Paku Buwono X naik pangkat

sebagai Mayor Jenderal oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pemberian pangkat militer diberiakan oleh Belanda kepada raja-raja Jawa telah diberikan sejak masa pemerintahan Paku Buwono VII, raja pertama kerajaan Surakarta yang memerintah tanpa daerah mancanegara.25

Paku Buwono X merupakan seorang yang elusif (sukar difahami), membingungkan, dan dianggap enteng oleh serangkaian residen dan gubernur

24

R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal 35-42.

25

Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, hal 7.


(40)

yang ditempatkan di Surakarta selama masa pemerintahannya. Dan beberapa di antara pejabat itu memberikan penilaian tentang sunan. Pihak residen dan gubernur mengeluhkan bahwa Susuhanan tidak memahami barang secuil pun tentang urusan-urusan penting di kerajaannya. Dari pihak Belanda memberikan laporan mengenai Susuhanan menggambarkannya sebagai seorang pesolek, lemah dan agak bodoh, tetapi ia setia kepada keluarga Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda. dan hal ini dibuktikan dengan Sunan memamerkan tanda-tanda kehormatannya secara berlebihan dan senang mengenakan pakaian resmi. Salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tidak mengenal nilai mata uang. Susuhanan tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang keuangannya, oleh karenanya wazir dan saudaranya, yaitu pegawai menyimpan sejumlah uang jauh dari hadapannya untuk menjaga jangan sampai ia menghambur-hamburkannya.26

Kebesaran seorang raja juga tampak dari banyaknya jumlah selir dan juga anak. Residen Van Der Wijk mengatakan bahwa Sunan mempunyai isteri resmi empat dan selir yang tidak terbatas jumlahnya. Kalau salah satu selir itu mengandung, salah seorang isteri akan diceraikan untuk memberi tempat kepada selir itu. Sesudah selir itu melahirkan, selir itu akan diceraikan lagi. Pada tahun 1910 Javaanshe Almanak menulis bahwa raja mempunyai dua

belas putra dan tiga belas putri. Pada akhir hayatnya, PB X mempunyai 63 putra-putri, yaitu 24 pria, 28 wanita, dan 11 orang meninggal diusia muda.27

26

George Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton Dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, hal 43-46.

27

Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006), hal 34-35.


(41)

30

Pada dasarnya Sunan Paku Buwono X memiliki sifat-sifat yang patut ditiru seperti salah satu sifat yang paling menonjol yaitu sifatnya yang dermawan, ia selalu mau membantu atau menyenangkan hati orang, Ia juga sopan dan juga suka melayani.28 Beliau memiliki kepribadian yang kuat dalam arti bahwa beliau memiliki disiplin diri yang kuat, ia juga memiliki kemampuan menganalisa yang tajam hingga dapat menyadari apa yang paling penting untuk masa depan, beliau memiliki perasaan yang halus dan tidak suka menyakiti orang lain, hingga memberi kesan yang keliru bahwa seolah-olah beliau tidak memiliki keberanian, beliau juga orang yang terbuka dengan hal-hal baru yang apabila itu bermanfaat bagi rakyat dan negaranya, dan Sunan juga memiliki rasa keadilan yang tinggi.29

Sunan Paku Buwono X hidup sampai pada usia tujuh puluh dua tahun, meski orang Belanda pada tahun 1899 sudah mulai risau dengan kesehatannya dan beranggapan tidak akan hidup lama karena menerita batu aginjal, suka minum-minum dan tidak bisa menegendalikan dirinya sendiri.30 Namun lama Sunan dapat bertahan dalam dunia yang seperti itu, wibawanya sebagai seorang raja semakin terlihat dimata beberapa generasi rakyat Surakarta yang telah menjadi dewasa selama kekuasaannya. Yang seakan-akan semakin menimbulkan wibawanya itu adalah kebesaran tubuh Kanjeng Sunan. Paku Buwono X dikenang sebagai raja Surakarta terakhir yang memiliki kewibawaan yang terlihat sebagai seorang raja. Lamanya bertahta

28

Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal 44.

29

R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal 42.

30

George Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton Dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, hal 45


(42)

menyebabkan Paku Buwono X mengalami perubahan besar dalam perpolitikan Hindia Timur dan dalam kehidupan Surakarta sehari-hari.31

Pada Senin 20 Februari 1939 pukul 07.30 pagi, suasana duka menyelimuti seluruh kawulo kerajaan. Pada hari itu, Susuhanan Paku Buwono X menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 72 tahun, dan mengakhiri masa tahtanya selama 48 tahun di Keraton Surakarta Hadiningrat.32 Ia disebut oleh rakyatnya sebagai sunan penutup atau raja besar Surakarta yang terakhir. Pemerintahannya lalu digantikan oleh putranya yang bergelar Paku Buwono XI.

D. Keraton Surakarta Pada Masa Paku Buwono X

Pengertian Keraton adalah bahwa keraton adalah pusat kebudayaan Jawa yang patut dipelihara sehingga apabila keraton melakukan upacara tradisi Jawa, masyarakat umum tertarik untuk melihat karena ingin tahu bagaimana kebudayaan Jawa itu sesungguhnya. Secara internal, eksistensi Keraton dalam pandangan spiritual masih tetap terjaga dan organisasi tradisinya masih hidup dan berjalan. Selanjutnya, dijelaskan pula, bahwa

Keraton memang merupakan “a living heritage”, tonggak sejarah dan budaya. Dengan demikinlah hal utama yang perlu dilakukan adalah pemeliharaan, pelestarian dan pengembangan warisan yang sudah dikembangkan sejak ratusan tahun lalu itulah yang sangat penting, demi menjamin kelanjutan

31

John Pemberton, “Jawa” On The Subject Of Java, terjemahan Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), hal 155.

32

Lihat: https://plezierku.wordpress.com/2014/05/10/sosok-paku-buwono-x-raja-surakarta-yang-penuh-kharisma/ diakses pada 08 juni 2015 jam 15.00.


(43)

32

eksistensi Keraton Solo untuk masa depan.33

Keraton Surakarta merupakan lambang pelestarian kebudayaan Jawa, sebagai pusat pelestarian adat-istiadat yang diwariskan secara turun temurun dan masih berlangsung hingga kini, dan komunitas yang mempunyai kebudayaan sendiri. Dan Keraton Kasunanan Surakarta merupakan tempat yang subur bagi pertumbuhan organisai-organisasi sosial politik. Keadaan ini dikarenakan Keraton Kasunanan Surakarta sebagai tempat administrasi pemerintahan, maka bagi pengamat politik dan tokoh politik, Surakarta merupakan kota yang strategis untuk dijadikan tempat bagi tumbuh kembangnya organisasi-organisaisi sosial politik.

Kasunanan merupakan kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Sunan. Kerajaan Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhanan Paku

Buwana Senapati Ingalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama

Khalifatullah,34 Dengan gelar itu menempatkan raja pada kedudukan yang

tinggi. Dalam struktur birokrasi tradisional raja mempunyai kekuasaan sentral dalam wilayah kerajaan. Kedudukan dan kekuasaan raja diperoleh berdasarkan warisan atas tradisi pengangkatan raja baru berdasarkan keturunan. untuk menjadi sorang raja ia harus berasal dari keluarga yang agung. Trahing

kusuma rembesing madu wijining atapa, tedaking andana warih. Artinya,

33

Anom Muhammad Hadisiswaya, Pergolakan Raja Mataram, (Interprebook, 2001), hal 28.

34


(44)

turunan bunga, titisan madu, benih pertapa, turunan mulia.35

Sunan Paku Buwono X, raja Keraton Surakarta yang memerintah pada tahun 1893 sampai 1939 mempunyai gelar keagamaan sebagai Sayyidin

Panatagama Khalifatullah yaitu raja merupakan kepala, pemimpin, pengatur

agama dan kepala pengatur pemerintah atau negara. Pakubuwono X mempunyai tempat yang sangat istimewa karena masa pengabdiannya yang cukup lama yakni 46 tahun. Beliau adalah pribadi yang penuh dengan nilai keteladanan, kebijakan dan keagungan. Sebagai panutan dalam segala hal yang berkaitan dengan syariat agama Islam, maka Raja patut ditiru dan diteladani bagi seluruh rakyat.

Sekalipun ia menjadi raja, berkuasa di keraton dan di wilayahnya. Akan tetapi beliau tidak merdeka sepenuhnya. Surat-surat dari dan ke luar harus lewat residen, meskipun itu hanya urusan keluarga. Raja memang dipandang tinggi oleh rakyatnya, meskupun begitu sebenarnya ia tidak pernah menjadi orang yang bebas. Ia terikat dengan semacam bentuk aturan, sehingga untuk keluar dari keratonnya saja ia perlu izin dari residen. Ia adalah tawanan di keratonnya sendiri. Tidak aneh kalau kemudian ia lebih banyak mengembangkan politik simbolis daripada politik substantif. Dengan kata lain, karena ia tidak bebas dalam mengurus kerajaan, kemudian sangat pandai mengurus dirinya sendiri. Sehingga dalam urusan kerajaan, pikiran beliau sangat sederhana. Seperti pertanyaannya kepada Patih Sasradiningrat, beliau

menanyakan: “sekarang musim apa?” “para petani sedang apa?” serta “

35

Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau.


(45)

34

bagaimana air sungai?”.36

Keraton Surakarta pada waktu diperintah oleh Sunan Paku Buwono X merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi besar terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh sebab itu raja sangat berkuasa dalam sumber hukum, pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bahkan raja di anggap sebagai “wakil Tuhan” dimuka bumi. Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan keagamaan sangat dipengaruhi oleh kebijakan raja yang berkuasa pada masanya. 37 Kota Surakarta seakan-akan menjadi tempat yang sangat berpengaruh dan menjadi pusat kebudayaan bagi masyarakat Jawa, yaitu Keraton Kasunanan Surakarta dan Istana Mangkunegaran. Sedangkan di Yogyakarta terdapat Keraton Kasultanan dan Istana Pakualaman. Pengaruh kekuatan dari kedua kota tersebut dalam pergerakan nasional sangat terlihat, bahkan menjadi pusat pergerakan.

Bangkitnya gerakan-gerakan nasionalis Indonesia dan partai-partai politik yang menentang pemerintah kolonial Belanda dan raja-raja Jawa yang didukung oleh pemerintah ini, kemajuan-kemajuan alat transportasi, komunikasi dan perekonomian yang dengan cepat memberi kesadaran Surakarta atas adanya suatu dunia internasional yang tentunya bukan berpusat di Surakarta, apalagi yang diwakili oleh sumbu semesta yang tinggal dalam keraton.

36

Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal 20-21.

37

Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, hal 1-2.


(46)

Semasa Sunan Paku Buwono X bertahta, keadaan Praja Surakarta Hadiningrat sudah memasuku zaman baru. Keraton sendiri juga sudah mengalami perubahan pembangunan dan penambahan beberapa kali, sehingga membuat Keraton terlihat semakin indah lagi secara fisik. Struktur pemerintahan pada masa Sunan Paku Buwono X masih sama seperti pada masa raja-raja sebelumnya, dimana raja yang memiliki jabatan dan kedudukan yang tertinggi. Untuk menjalankan roda pemerintahan Sunan dibantu oleh para sentana dan abdi dalem, mereka berkedudukan sebagai wakil raja. Tugas dari sentana dan abdi dalem sebagai wakil raja ialah menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diperintahkan oleh Sunan. Jalannya roda pemerintahan di Keraton Kasunanan tetap raja yang mempunyai wewenang. Dibawah raja terdapat Dewan Menteri (Kabinet), adanya dewan tersebut befungsi sebagai pembantu raja. Adapun tugas yang biasa dilakukannya adalah mengurus surat dari raja dan untuk raja.38

Sunan Paku Buwono X membawa masyarakat Jawa memasuki zaman baru. Masuknya zaman modernisasi yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa dimanfaatkan oleh Sunan untuk meningkatkan kesejahteraannya di sebagian tanah Jawa dengan melakukan modernisasi, dengan Surakarta sebagai ibukotanya. Dukungannya Sunan terhadap gerakan kaum republik dapat membuahkan hasil. Putra-putri dan para bangsawan keraton disekolahkannya ke berbagai tempat di luar negeri, telah menjadi kader-kader perjuangan yang tangguh. Banyak sekali bukti yang bisa dilihat, dibaca dan didengar langsung

38


(47)

36

dari para kerabat dan keturunannya, apa saja jasa dan perjuangannya yang telah dilakukannya selama beliau menjadi Raja.39

Reformasi melahirkan ide baru, dengan pelaksanaan yang rapi, dilakukan oleh para pegawai pembesar di keraton. Berbeda dengan raja sebelumnya, Sinuhun PB X memasukkan unsur-unsur budaya Barat, khususnya dalam bidang seni dan media massa. Hingga lahir surat kabar dan majalah di Surakarta. Bahkan, Sunan atau keraton berlangganan surat kabar dan majalah yang berbahasa Jawa, Melayu dan Belanda. Berdasarkan informasi dari majalah dan surat kabar itulah, beliau mengetahui apa yang terjadi di luar keraton maupun mancanegara. Abdi dalem keraton secara bergiliran membacakan isi surat kabar dan majalah itu kepada Sunan.

Sunan Paku Buwono X seorang raja yang banyak membawa perubahan yang bersifat progresif, banyak menciptakan kemajuan di lingkungan keraton Surakarta. Sunan PB X adalah penguasa Jawa yang mudah menerima masuknya pengaruh budaya asing sebagai salah satu unsur modernisasi di lingkungan keraton. Sunan juga banyak meminjam unsur-unsur Barat yang bersifat lahiriah yang disesuaikan menurut seleranya. Seperti menu makanan, pakaian, arsitektur rumah yang mirip loji di puncak Argapura yang mendapat pengaruh dari Belanda, tetapi atapnya tetap bergaya bangunan Jawa. Selain itu juga terdapat patung-patung Eropa yang diletakkan sebagi hiasan di sekeliling pandapa Sasana Sewaka dan Sasana Handrawia. Administrasi pemerintahan juga diatur mengikuti contoh Barat dan dipusatka di Kepatihan.

39

Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, hal 16.


(48)

Akan tetapi Sunan sebagai penguasa juga melindungi kebudayaan Jawa dan mempertahankannya. 40 Meskipun pengaruh Barat telah masuk kedalam kehidupan keraton, namun hal ini tidak mengubah sistem hierarki tradisional yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram yang masih berlaku untuk generasi penerusnya dan mencoba untuk tetap dipertahankan yaitu Keraton Surakarta.

Orang yang menganggap keraton adalah tempat untuk makan enak dan tempat bersenang-senang saja itu adalah salah. Keraton oleh Paku Buwono X dijadikan untuk mendidik dan menggembleng para putera, sentana, dan kerabat keraton. Seluruh penghuni diwajibkan untuk menuntut ilmu. Sri Susuhanan Paku Buwono X dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah mengeluh, tingkah lakunya yang tidak pernah berubah, sangat disiplin dan mempunyai rasa tanggung jawab yang besar, terhadap putra-putrinya beliau selalu bersikap keras akan tetapi penuh akan rasa kasih sayang.41

Menjelang pergantian abad ke-20 di Belanda terjadi perubahan politik terhadap Indonesia yaitu menjadi Politik Etis yang digagas oleh Van Deventer. Pemikiran ini berdasarkan bahwa Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia yang harus dibayar Belanda kepada jajahannya sebagai pengganti harta kekayaan yang pernah diambilnya. Politik Etis pada intinya adalah memperluas dan memperbaiki program-program yang sudah ada, seperti: perluasan pendidikan model Barat, irigasi, peningkatan pelayanan kesehatan,

40

Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa , hal 180.

41

R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono X 1893-1939, hal 97.


(49)

38

dan meningkatkan pertumbuhan industrialisasi. Banyak usaha yang dijalankan pada bidang pendidikan, dan hasilnya sering kali membuat bangga para pejabat Belanda. Semua pendukung politik etis menyetujui ditingkatkannya pendidikan bagi rakyat Indonesia.42

Politik Etis atau politik balas budi merupakan sebuah haluan politik yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1900-1942. Politik ini didasarkan pada pertimbangan bahwa negeri Belanda telah banyak berhutang budi kepada rakyat Indonesia selama berabad-abad. Hal ini dikarenkan sejak zaman VOC hingga masa Kolonial Liberal sebagian besar kekayaan yang dipunyai bangsa Indonesia dikeruk dan dibawa ke Belanda. Walaupun tujuan politik etis sangat mulia, tetapi dalam pelaksanaannya tidak demikian. Dengan segala kelemahan politik etis telah mendorong perubahan sosial di kalangan penduduk pribumi. Hal itu dikarenakan banyak penduduk bumi putera yang mengenyam pendidikan Barat, sebagai suatu cara untuk mengubah pemikiran yang tradisional. Walaupun dari sudut pandang Kolonial kebijakan pendidikan Barat diarahkan untuk kepentingan Pemerintah Kolonial, tetapi dari sudut kepentingan perjuangan bangsa Indonesia pendidikan Barat melahirkan Elit Baru yaitu dengan munculnya nasionalisme yang terwujud dalam Pergerakan Nasional Indonesia untuk kemerdekaan Indonesia.43

Munculnya nasionalisme yang terwujud dalam pergerakan Nasional Indonesia kearah kemerdekaan Indonesia menyebar luas keseluruh bagian

42

M.C Riklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gama Press, 1991), hal 236.

43

Cahya Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia, (IKIP Semarang Press, 1995), hal 40-43.


(50)

wilayah Indonesia. Begitu juga di Surakarta yang merupakan titik penting sebagai salah satu pelopor gerakan nasional yang diwadahi dan mendapat perhatian penting dari Sri Susuhanan Paku Buwono X sebagai raja di keraton Kasunanan Surakarta.

Politik Etis yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda mengakibatkan pembukaan sekolah-sekolah dengan sistem Barat diwilayah Hindia Belanda. Pembukaan sekolah-sekolah ala Barat itu diperluas sampai untuk kalangan masyarakat. Munculnya politik asosiasi yang dijalankan oleh

pemerintah Hindia Belanda menimbulkan kebudayaan dan pengetahuan Barat diperkenakan lebih luas disekolah-sekolah. Politik asosisasi merupakan

kebijakan yang menghendaki rakyat Bumi Putera dibina agar terpengaruh terhadap kebudayaan Barat.44

Diwilayah kerajaan sendiri perkembangan pendidikan mengalami kemajuan, karena Sunan sebagai penguasa kerajaan sangat perduli terhadap pendidikan dan mengerti akan pentingnya sebuah pendidikan, hal tersebut dikarenakan beliau berkuasa pada zaman dimana pendidikan merupakan hal penting yang dimiliki oleh semua orang. Maka dari itu Sunan Paku Buwono X menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah Belanda. Di lingkungan Kasunanan sendiri Sunan Paku Buwono X memelopori dunia pendidikan menjadi tiga kelompok,45 yaitu: 1) Pendidkan dan Pengajaran Model Barat, 2) Pendidikan dan Pengajaran Bedasarkan Islam, 3) pendidikan dan Pengajaran Menurut pola Tradisional.

44

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud, 1984), hal 7.

45

Radjiman , Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat, (Surakarta: Krida Surakarta. 1984), hal 224.


(51)

40

Keraton Kasunanan sebagai pusat pemerintahan bagi keraton, berawal dari dalam keraton rakyat dapat mengikuti peraturan dan kegiatan keagamaan. Penghulu Keraton mengajarkan kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan oleh orang Islam, seperti: sholat, puasa, serta menjalankan rukun Islam, kewajiban untuk mengIslamkan anak laki-laki dan mendidiknya dengan pendidikan agama. Kondisi keagamaan pada masa Paku Buwono X dapat berkembang dan maju. Dengan Al-Qur’an dan Hadist sebagai pijakan, para

ulama menyusun syari’at yang merupakan hukum Islam. Suatu perpaduan perundang-undangan yang rumit meliputi hampir setiap bidang kehidupan sosial, tetapi dengan titik dan khususnya pada urusan-urusan agama.46

Paku Buwono X sebagai kepala pengatur agama menaruh perhatian besar terhadap perkembangan dan penyebaran agama Islam. Hal ini terbukti pada waktu itu telah diadakan penyuluhan tentang agama Islam, Sekaten47,

Grebeg Siyam, dan Grebek Maulud 48 merupakan bukti bahwa keraton

46

Cliffort Geertz, Santri Dan Abangan Di Jawa, (Jakarta: Pustaka Raya, 1983), hal 166

47 Sekaten berasal dari kata “Syahadatain”

yang artinya dua kata persaksianuntuk meyakini kebenaran yaitu: Syahadat Tauhid (keyakinan ke-Esaan Tuhan) dan Sholawat Rasul

(Keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah Utusan Allah. Lihat, A. Basid Adnan (ed), Mutiara Hikmah: Kapita Selekta Tulisan K.H.R Muhammad Adnan, (Surakarta: Yayasan Mardikintoko,1977), hal 125. Perayaan Sekaten intinya untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dilaksanakan di serambi Masjid Agung Surakarta setiap malam hari diadakan pengajian oleh para ulama yang pada dasarnya mengajak agar kita dapat mencontoh suri tauladan Nabi baik akhlak, tindakan dan tutur bahasanya. Pengajian tersebut diiringi dengan bunyi alunan gamelan. Upacara Sekaten dilaksanakan setiap tanggal 5-12 Rabiul Awal (mulud). Lihat, A. Basid Adnan, Mutiara Hikmah: Kapita Selekta Tulisan K.H.R Muhammad Adnan, hal 38

48Grebeg

adalah upacara keagamaan yang ada di Keraton, yang diadakan sebanyak tiga kali dalam satu tahun, yaitu bertepatan dengan hari lahirnya Nabi Muhammad saw (Grebeg Maulud), pada saat Hari Raya Idul Fitri (Grebeg Syawal) dan pada saat Hari Raya Idul Adha (Grebeg Besar). Grebek bisa diartikan sebagai ritual politik yang partisipasi didalamnya memiliki arti lebih dalam daripada sekedar perayaan. Lihat: Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal 59.


(52)

menaruh perhatian besar terhadap agama, khususnya agama Islam.49 Atas perhatiannya yang besar itulah maka agam Islam menjadi berkembang di Kasunanan.

Pada masa Paku Buwono X agama Islam mengalami perkembangan, perkembangan tersebut dibuktikan dengan adanya perubahan arah dakwah dan

khutbah. Misalnya dalam Khotbah Jum’at yang tadinya hanya menggunkan

bahasa Arab kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Jawa juga adanya penterjemah Al-Qur’an kedalam bahasa Jawa oleh Bagoes Arfah. 50 cara ini sangat efektif bagi masyarakat karena mudah diterima dan lebih mudah dipahami dalam mempelajari agama Islam.

Selama Susuhanan Paku Buwono X menjadi seorang raja, keadaan negara nyaris tanpa kendala, karena begitu bagusnya pemerintahan yang membuat kesejahteraan. Paku Buwono X tergolong mampu dalam mengurus negara. Ia banyak memberikan dana untuk kesejahteraan umum dalam hal pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Semenjak Susuhanan Paku Buwono X bertahta banyak perubahan dan mampu menciptakan kehidupan yang lebih sejahtera bagi rakyat dan negaranya.

49 Andi Haris Prabawa, Atika Sabardila, “P

eran Abdi Dalem Ngulama Keraton

Kasunanan Surakarta”, Surakarta: Lembaga Penelitian UMS, Jurnal Penelitian Humaniora

Vol.2.No 1 Februari 2001, hal 3-4.

50


(53)

42

BAB III

KRISTENISASI DI SURAKARTA

A. Keberagamaan Masyarakat Surakarta

Agama Islam merupakan agama yang di anut oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Diantara mereka masih banyak yang menganut agama dari nenek moyangnya yang terdahulu, yaitu agama Hindu-Budha, dan sebagian yang lain menganut agama Kristen. Untuk yang beragama Islam, masyarakat Jawa terdapat dua golongan, yaitu Islam Santri,1 dan Islam Kejawen (sering di sebut Agami Jawi).2 Masyarakat Jawa golongan Islam santri banyak berada di daerah pesisir, seperti Surabaya, Gresik dan lain-lain, sedangkan golongan Islam Kejawen berada di Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelan.3

Menurut Cliffort Geertz, yang dikutip oleh Mark R. Woodwark, Geertz menyebutkan bahwa masyarakat Jawa dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

santri, yang merupakan kalangan muslim ortodoks, priyayi adalah kalangan

1

Islam Santri Dalam kamus besar bahasa Indonesia, santri berarti: 1. Orang yang mendalami agama Islam, 2. Orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang Sholeh. Lihat: Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal 783. Sedangkan menurut Koentjaraningrat, sebagaimana yang dikutup oleh Zaini Muchtarom, menyebutkan bahwa istilah santri yang mula-mula dan biasanya dipakai untuk menyebut murid yang mengikuti pendidikan Islam, merupakan perubahan bentuk dari kata India shastri yang berarti orang yang mengerti kitab-kitab suci (Hindu), seorang ahli kitab suci. Adapun kata shasri diturunkan dari kata shastra yang berarti kitab suci, atau karya keagamaan atau karya ilmiah. Lihat: Zaini Muchtarom, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta: Salemba Ilmiah, 2002), edisi I, hal 12

2

Kejawen lebih tertuju pada kebudayaan dan lambat laun mengalami percampuran dengan kepercayaan yang dianut oleh orang Jawa itu sendiri dengan kehadiran agama Hindu-Budha. Hal ini masih berlangsung ketika Islam datang ke Pulau Jawa dimana Walisanga dalam meyebarluaskan ajaran Islam tidak mengganggu keberadaan budayaan lokal, yaitu budaya Jawa. Kejawen adalah segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan orang Jawa. Lihat: Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal 405. Golongan Kejawen ini terdiri dari kaum ningrat, golongan priyayi, dan kebanyakan terdiri dari kaum tani.

3


(54)

bangsawan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur Hindu dan Jawa, abangan

yaitu masyarakat desa yang percaya kepada animisme.4 Hal ini menyimpulkan bahwa ada ciri khusus tentang keberagamaan pada masyarakat Jawa, khususnya pada masyarakat muslimnya.

Dalam catatan para ahli sejarah, ajaran Islam masuk ke pulau Jawa sekitar abad XI masehi. Ajaran Islam ini dibawa oleh para mubaligh dari Pasai (Aceh Utara) dan para pedagang dari Gujarat. Selain itu, ada pula yang diajarkan langsung oleh para pedagang Islam dari Arab, yang sedang berdagang di berbagai Kerajaan di pesisir Nusantara pada waktu itu.5

Perlu diketahu bahwa dominasi agama Hindu-Budha di tanah Jawa sudah ada sejak abad ke-6 yang hingga kini masih bisa dirasakan. Berbagai bangunan bersejarah pun masih kental dengan pengaruh dari kedua agama tersebut. Di samping itu, ritual keagamaan dan kepercayaan orang Jawa juga tak luput dari pengaruh Hindu-Budha.

Masyarakat Jawa banyak yang menganut agama Islam Sinkretik. Hingga sekarang Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis masih banyak ditemukan, terutama di daerah Yogkarta dan Surakarta. Secara formal mereka tetap mengakui bahwa Islam sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti Sholat lima waktu, puasa wajib bulan Ramadhan, zakat dan haji.6 Itu karena mereka belum memahami betul ajaran

4

Mark R. Woodwark, Islam Jawa, Kesalehan Normatif versus Kebatinan, (Yogyakarta: LKis, 2006), hal 2

5

Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia: Dari Abad XIII XVIII Masehi, (Kudus: Menara Kudus, 2000), hal 21

6


(1)

Susuhanan Paku Buwono X beserta isteri Kanjeng Ratu Mas, pada tanggal 15 Januari 1921

https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_va n_Pakoe_Boewono_X_Susuhunan_van_Solo_met_echtgenote_in_het_residentiehuis_te_


(2)

111

Paku Buwono X bersama Gubernur Jendral Idenburg

http://archive.kaskus.co.id/thread/9903360/0/foto-foto-wilayah-solo-raya-saat-jaman-kolonial-belanda-no-sotoshop


(3)

Para prajurit Keraton Surakarta, pada tahun 1910 – 1930

https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_va n_een_corps_prajurits_aan_het_hof_van_de_Susuhunan_van_Solo_Soerakarta_TMnr_60

001451.jpg


(4)

113

Madrasah Mamba’ul Ulum

http://www.solopos.com/2015/02/20/man-2-solo-miliki-museum-pendidikan-islam-578383


(5)

Kereta jenazah untuk membawa jasad almarhum Susuhanan Paku Buwono X ke Yogyakarta disiapkan di stasiun NIS, Solo Balapan


(6)

115

Suasana pemakaman Susuhanan Paku Buwono X