Kemampuan Belanja Daerah , Investasi Swasta, DAU, dan SiLPA Memoderasi Pengaruh Desentralisasi Fiskal pada Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Wilayah Kabupaten Kota di Provinsi Bali.

LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
JUDUL PENELITIAN:

KEMAMPUAN BELANJA DAERAH, INVESTASI
SWASTA, DAU, DAN SILPA MEMODERASI PENGRUH
DESENTRALISASI FISKAL PADA PERTUMBUHAN
EKONOMI DAERAH DAN KETIMPANGAN WILAYAH
KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI BALI

Tim Peneliti:
1.
2.
3.
4.

Eka Ardhani Sisdyani, S.E., MCom., Ak.
Dr. I.G.W Murjana Yasa, SE.,M.Si.
Dr. AANB Dwirandra, SE., M.Si.,Ak.
Dr. IGN Agung Suaryana, SE.,M.Si.,Ak.

Dibiayai oleh

DIPA BLU Universitas Udayana Tahun 2015
Nomor : DIPA-042.04.2.400107/2015, 15 April 2015
Sesuai Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan Riset Unggulan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana Tahun Anggaran 2015
Nomor : 1166/UN.14.1.12.II/KP.01.04/SPK/2015

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
OKTOBER, 2015

KEMAMPUAN BELANJA DAERAH, INVESTASI SWASTA, DAU,
DAN SILPA MEMODERASI PENGRUH DESENTRALISASI
FISKAL PADA PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH DAN
KETIMPANGAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA
DI PROVINSI BALI
Eka Ardhani Sisdyani1, I.G.W Murjana Yasa2, AANB Dwirandra3,
I Gst Ngr Agung Suaryana4.

1

Jurusan Akuntansi, FEB, Unund, Bukit Jimbaran, Indonesia.
Jurusan Akuntansi, FEB, Unund, Bukit Jimbaran, Indonesia.
3
Jurusan Akuntansi, FEB, Unund, Bukit Jimbaran, Indonesia.
4
Jurusan Akuntansi, FEB, Unund, Bukit Jimbaran, Indonesia.
eardhani03@yahoo.com
2

ABSTRAK
Kebijakan Desentralisasi fiskal/DF tidak serta merta (linear) pada pertumbuhan
ekonomi daerah/PED dan pengurangan ketimpangan wilayah/KW melainkan diduga terdapat
faktor-faktor kontinjensi memoderasinya, di antaranya: belanja daerah/BD, investasi
swasta/IS, DAU, dan SiLPA. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh DF
pada PED dan KW, serta kemampuan faktor-faktor kontinjensi, seperti: belanja daerah/BD,
investasi swasta/IS, DAU, dan SiLPA, memoderasi pengaruh DF pada PED dan KW, baik
untuk: 1)kabupaten/kota secara keseluruhan maupun lebih spesifik untuk: 2)kabupaten/kota
tumbuh cepat seperti: Badung, Denpasar, Buleleng, Gianyar, dan 3)kabupaten/kota tidak

tumbuh cepat, seperti: Karangasem, Bangli, Tabanan, Jembrana, dan Klungkung.
Dalam rangka mencapai tujuan penelitian maka dikumpulkan data kualitatif dan
kuantitatif yang bersumber dari data sekunder yang dipublikasi BPS, Setda., dan atau
Bappeda kabupaten/kota dan Provinsi Bali. Lebih lanjut, data yang telah ditabulasi terlebih
dahulu dilakukan uji asumsi asumsi klasik, uji fitness model, dan koefisien determinasinya,
lalu kemudian dilakukan uji hipotesis penelitian dengan menggunakan teknik Moderated
Regression Analysis (MRA).
Hasil penelitian adalah sebagai berikut: 1)BD dan IS berpengaruh pada PED
kabupaten/kota namun tidak demikian halnya dengan DF, DAU, dan SILPA; 2)DF
berpengaruh pada PED dan KAW kabupaten/kota tumbuh cepat tetapi tidak demikian halnya
dengan BD, IS, DAU, dan SILPA; 3)DF bepengaruh pada PED kabupaten/kota tumbuh
kurang cepat namun tidak demikian halnya dengan pengaruh BD, IS, DAU, dan SILPA. IS
dan DAU berpengaruh pada KAW kabupaten/kota tumbuh kurang cepat tetapi tidak
demikian halnya dengan DF, BD, dan SILPA; 4)IS mampu memoderasi pengaruh DF
terhadap PED dan KAW seluruh kabupaten/kota tetapi tidak demikian halnya dengan BD,
IS, DAU, dan SILPA; 5) SILPA mampu memoderasi pengaruh DF terhadap PED
kabupaten/kota tumbuh cepat tetapi tidak demikian halnya dengan BD, IS, dan DAU.
Sementara itu, IS mampu memoderasi pengaruh DF terhadap KAW kabupaten/kota tumbuh
cepat tetapi tidak demikian halnya dengan BD, IS, DAU, dan SILPA; 6)BD, IS, DAU, dan
SILPA tidak mampu memoderasi pengaruh DF terhadap PED kabupaten/kota tumbuh

kurang cepat. Sementara itu, BD dan DAU mampu memoderasi pengaruh DF pada KAW
kabupaten/kota tumbuh kurang cepat tetapi tidak demikian halnya dengan BD dan SILPA.

Kata Kunci: Desentralisasi fiskal, Belanja Daerah, Dana Alokasi Umum, Investasi Swasta,
SILPA, Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Ketimpangan Antar Wilayah.

PRAKATA

Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas
limpahan rakhmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang
berjudul “Kemampuan Belanja Daerah, Investasi Swasta, DAU, dan SiLPA
memoderasi pengaruh Desentralisasi Fiskal pada Pertumbuhan EkonomiDaerah dan
Ketimpangan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali”.

Di dalam tulisan ini,

disajikan pokok-pokok bahasan yang dimulai dari uraian latar belakang, pokok
masalah, tujuan, dan manfaat penelitian. Kemudian diuraikan dan direfleksikan studi
pustaka terkait dengan konteks untuk kemudian dikembangkan hipotesis penelitian
serta dijelaskan tentang metode penelitian yang digunakan. Selanjutnya, dipaparkan

hasil dan pembahasan, dan pada akhirnya dibuat simpulan penelitian serta saran
untuk revitalisasi teori dan perbaikan kebijakan terkait desentralisasi fiskal.
Saran konstruktif sangat peneliti perlukan sebagai bahan evaluasi dan
introspeksi agar penelitian mendatang menjadi lebih baik. Pada kesempatan yang
baik ini, peneliti mengucapkan terimakasih atas dukungan berbagai pihak sehingga
penelitian ini dapat direalisasikan.

Denpasar, 30 Oktober 2015
Peneliti

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
RING KASAN ..................................................................................................... iii
PRAKATA ........................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... viii

BAB. I

PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Pokok Permasalahan Penelitian .................................................. 3

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5
2.1. Desentralisasi Fiskal.................................................................... 5
2.2. Ketimpangan Antar Wilayah....................................................... 5
2.3. Tipologi Klassen ......................................................................... 6
2.4. Pertumbuan Ekonomi Daerah ..................................................... 6
2.5. Ketimpangan Wilayah ................................................................. 6
2.6. Desentralisasi Fiskal dan pengaruhya pada Pertumbuhan
Ekonomi dan Ketimpangan Wilayah .......................................... 6
2.7. BD dan pengaruhnya pada PED dan KAW ................................ 6
2.8. IS dan pengaruhnya pada PED dan KAW .................................. 6
2.9. DAU dan pengaruhnya pada PED dan KAW ............................. 6
2.10. SiLPA dan pengaruhnya pada PED dan KAW ........................... 6
BAB. III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...................................... 10
3.1. Tujuan Penelitian ...................................................................... 12

3.2. Manfaat Penelitian .................................................................... 12
BAB. IV METODE PENELITIAN .................................................................... 14
4.1

Lokasi Penelitian dan Objek Penelitian.............................................................14

4.2

Data dan Metode Pengumpulannya ......................................... 14

4.3

Variabel Penelitian .................................................................... 15

4.4

Definisi Operasional.................................................................. 16

4.5


Teknik Analisis Data ................................................................. 17

BAB. V HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 23
5.1

Gambaran Umum Provinsi Bali ................................................ 23

5.3

Hasil Uji Asumsi Klasik .......................................................... 28

5.4

Hasil Uji Kelayakan Model (Uji F) dan Koefisien
Determinasi (Adj. R2) .............................................................. 31

5.3

Statistik Deskriptif ................................................................... 34


5.3

Moderated Regression Analysis (MRA) .................................... 24

BAB.VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 45
6.1

Kesimpulan ............................................................................... 45

6.2

Saran .......................................................................................... 45

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

No. Tabel


Halaman

1.1

Perkembangan Beberapa Indikator Ekonomi Provinsi Bali
Tahun 2009 -2013 .......................................................................... .........
5.1 Daftar Kota dan Luas Kabupaten/Kota di Provinsi Bali ....................
5.2a Hasil Uji Normalitas .......................................................................
5.2b Hasil Uji Normalitas ......................................................................... .....
5.2c Hasil Uji Normalitas ............................................................................ .....
5.2d Hasil Uji Normalitas ............................................................................ .....
5.2e Hasil Uji Normalitas ............................................................................ .....
5.2f Hasil Uji Normalitas ............................................................................. .....
5.2g Hasil Uji Autokorelasi ............................................................................. ......
5.2g Hasil Uji Autokorelasi ............................................................................. ......
5.2i Hasil Uji Autokorelasi ............................................................................. ......
5.2j Hasil Uji Autokorelasi ............................................................................. ......
5.2k Hasil Uji Autokorelasi ............................................................................. ......
5.2l Hasil Uji Autokorelasi ............................................................................. ......
5.2m Hasil Uji Multikolinearitas ................................................................. .....

5.2n Hasil Uji Multikolinearitas .................................................................. .....
5.2o Hasil Uji Multikolinearitas ..........................................................................
5.2p Hasil Uji Multikolinearitas................................................................
.
5.2q Hasil Uji Multikolinearitas............................................................................
5.2r Hasil Uji Multikolinearitas...........................................................................
5.2s Hasil Uji Heteroskedastisitas ................................................................ .....
5.2t Hasil Uji Heteroskedastisitas ................................................................ .....
5.2u Hasil Uji Heteroskedastisitas ................................................................ .....
5.2v Hasil Uji Heteroskedastisitas ................................................................ .....
5.2w Hasil Uji Heteroskedastisitas ............................................................... .....
5.2x Hasil Uji Heteroskedastisitas ................................................................ .....
5.3a Uji Kelayakan Model (Dependen: PED) ............................................ .....
5.3 b Koefisien Determinasi (Dependen: PED) ...............................................
5.3c Uji Kelayakan Model (Dependen: KAW) ..................................................
5.3d Koefisien Determinasi (Dependen: KAW) ......................................... .....
5.3e Uji Kelayakan Model (Dependen: PED) .........................................
.....
5.3f Koefisien Determinasi (Dependen: PED) ......................................... .....
5.3g Uji Kelayakan Model (Dependen: KAW) ......................................... .....

2
31
33
33
34
34
35
35
36
36
37
37
38
38
39
39
39
39
40
40
41
41
42
42
43
43
44
44
45
45
46
46
46

5.3h Koefisien Determinasi (Dependen: KAW) ......................................... .....
5.3i Uji Kelayakan Model (Dependen: PED) .........................................
.....
5.3j Koefisien Determinasi (Dependen: PED) ......................................... .....
5.3k Uji Kelayakan Model (Dependen: KAW) ......................................... .....
5.3l Koefisien Determinasi (Dependen: KAW) ......................................... .....
5.4a Statistik Deskriptif (Lingkup Uji: Seluruh Kab./kota) ......................... .....
5.4b Statistik Deskriptif (Lingkup Uji: Kab./kota Tumbuh Cepat) ......... .....
5.4c Statistik Deskriptif (Lingkup Uji: Kab./kota Tumbuh Cepat) ......... .....
5.5a Hasil Uji Hipotesis MRA .......................................
..........................
5.5b Uji Hipotesis Hasil Uji Hipotesis MRA ............................... ...............
5.5c Hasil Uji Hipotesis MRA .........................................
..........................
5.5d Hasil Uji Hipotesis MRA ............................................................................
5.5e Hasil Uji Hipotesis MRA .......................................
..........................
5.5f Hasil Uji Hipotesis MRA .......................................
..........................
5.6 Rekapitulasi Hasil Uji Hipotesis (Dependen: PED) ............................... .....
5.7 Rekapitulasi Hasil Uji Hipotesis (Dependen: KAW) ............................. .....

47
47
48
48
49
49
49
50
51
54
57
60
63
66
69
69

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran:
Lampiran 1: StatistikDeskriptif
Lampiran 2: Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Lampiran 3: Hasil Uji Asumsi Klasik
Lampiran 4: Hasil Uji Kelayakan Model, dan Koefisien Determinasi
Lampiran 5: Hasil Uji Hipotesis
Lampiran 6: Hasil Tabulasi Data

BAB. I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Setiap

daerah

dalam

melaksanakan

pembangunan

mengharapkan

pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai dengan pemerataan, sehingga akan
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakatnya. Namun, pada
kenyataannya dilapangan tidak pernah tercapai pemerataan. Todaro (2006)
mengatakan, meskipun laju pertumbuhan ekonomi tidak secara otomatis dapat
memberi jawaban atas berbagai macam persoalan kesejahteraan, namun hal
tersebut tetap merupakan unsur penting setiap program pembangunan realistis
yang sengaja dirancang untuk mengentaskan kemiskinan.
Kebijakan desentralisasi fiskal seharusnya mampu mencapai dua tujuan
sekaligus yaitu: pertumbuhan ekonomi daerah di satu sisi dan penurunanketimpangan
wilayah antar kabupaten/kota agar supaya memiliki mutiflier effect terhadap
perekonomian nasional, namun pada kenyataannya tidak mudah mencapinya.
Penelitian Garry M. Woller dan Kerk Phillips (1998) menemukan bahwa
pelaksanaan desentralisasi fiskal/DF di negara-negara sedang berkembang memiliki
masalah. Penelitian Bonet (2006) memperkuat kesimpulan tersebut dengan
menemukan masalah ketimpangan antar wilayah/KAW akibat pelaksanaan
desentralisasi fiskal di negara sedang berkembang(studi kasus: Kolombia).
Fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia seperti yang ditunjukkan dari hasil
penelitian Siagian (2010), misalnya, menemukan adanya pertumbuhan ekonomi
daerah/PED setiap tahun tetapi ketimpangan wilayah 25 kabupaten/kota di Provinsi
Jawa Barat dalam periode 2004-2008 semakin meningkat. Temuan yang sama
diperoleh Sianturi dan Miyasto (2010) yang melakukan penelitian dengan periode
penelitian 2004-2008 pada 19 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.
Fenomena yang terjadi pada kabupaten/kota di dua provinsi tersebut mungkin
juga terjadi di Provinsi Bali, seperti yang diindikasikan pada tabel 1 terkait data lima
tahun terakhir (2009 s.d. 2013) tentang PAD sembilan kabupaten/kota, laju
pertumbuhan ekonomi, dan gini ratioProvinsi Bali.

Berdasarkan tabel 1 di atas dapat diketahui beberapa hal, sebagai berikut:
pertama, peningkatan PAD selama lima tahun terkahir (2009 s.d. 2013) sebagai
implikasi dari kebijakan DF tidak berdampak ganda/simultan, yang diindikasikan
dari pertumbuhan PDRB (tahun 2009 s.d. 2012) di satu sisi dan peningkatan gini
ratio (tahun 2009 s.d. 2012), bukannya penurunan gini ratio;

kedua, PAD

kabupaten/kota di Provinsi senantiasa meningkat dari tahun ke tahun (dalam periode
tahun 2009 s.d. 2013), sementara PED (berdasarkan harga konstan 2000) dan gini
ratio tidak konsisten seperti halnya peningkatan PAD.
Tabel 1.1
Perkembangan Beberapa Indikator Ekonomi Provinsi Bali
Tahun 2009 -2013
INDIKATOR EKONOMI PROVINSI BALI
PAD
Pertumbuhan
THN
(9 Kabupaten/Kota)
PDRB ADHK 2000
Gini Ratio **)
*)
**)
2009
1.451.833.498.981
5,33
0,31
2010
1.741.720.488.271
5,83
0,37
2011
2.525.654.615.350
6,49
0,41
2012
3.236.996.296.970
6,65
0,43
2013
4.042.972.974.759
6,05
0,40
*) Sumber: data diolah
**) Sumber: Indikator Ekonomi Bali 2013

Diduga, tidak konsistennya pertumbuhan ekonomi daerah dan gini ratio
mengikuti meningkatnya PAD disebabkan karena adanya faktor kontinjensi yang
memoderasi pengaruh kebijakan DF pada PED dan KAW kabupaten/kota di Provinsi
Bali. Govindarajan (1986) menyatakan bahwa untuk merekonsiliasi temuan
penelitian yang saling bertentangan diperlukan pendekatan kontinjensi dengan
mengevaluasi faktor-faktor kondisional, dalam penelitian ini misalnya kemungkinan
adanya hal-hal yang dapat memperkuat atau memperlemah pengaruh PAD pada PED
dan KAW, di antaranya adalah: belanja daerah/BD, investasi swasta/IS, dana alokasi
umum/DAU, SiLPA.
BD akan lebih kuat mendorong PED bilamana lebih banyak proporsi pada
belanja modal. Pembangunan sarana dan prasarana oleh pemerintah daerah

berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2004). Peningkatan
pelayanan sektor publik secara berkelanjutan akan meningkatkan sarana dan
prasarana

publik,

investasi

pemerintah

juga

meliputi

perbaikan

fasilitas

pendidikan, kesehatan, dan sarana penunjang lainnya. Syaratan fundamental
untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan
yang seimbang dengan pertambahan penduduk. Pembentukan modal tersebut
harus didefinisikan secara luas sehingga mencakup semua pengeluaran yang
sifatnya menaikan produktivitas (Ismerdekaningsih & Rahayu, 2002). Dengan
ditambahnya infrastruktur dan perbaikan infrastruktur yang ada oleh pemerintah
daerahdiharapkan akan memacu pertumbuhan perekonomian di daerah (Harianto dan
Adi, 2006). Namun, besaran dan efektivitas belanja modal modal yang berbeda
antara kabupaten/kota tentu akan memiliki implikasi yang berbeda terhadap KAW.
IS merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi (Sajafii, 2009). IS
dapat menjadi titik tolak bagi keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan di masa
depankarena

dapat

menyerap

tenaga

kerja,

sehingga

dapat

membuka

kesempatan kerja baru dan pada akhirnya akan meningkatkan PED. Namun, jika
investasi terpusat pada satu kabupaten/kota saja justru akan mendorong KAW.
Tak terkecuali dengan dana alokasi umum/DAU, DAU yang besarannya
ditentukan berdasarkan fiskal gap,seharusnya berdampak ganda yaitu peningkatan
PED dan penurunan KAW tetapi pada kenyataannya bisa saja tidak demikian jika
pemda kurang bijaksana mengalokasikan DAU, apalagi DAU termasuk transfer
dana tanpa syarat/unconditional transfer of grant dari pemerintah pusat ke pemda.
Kemampuan pemda memanfaatkan SiLPA tahun sebelumnya juga berbeda-beda di
masing-masing daerah sehingga efek ganda SiLPA pada peningkatan PED dan
penurunan KAW juga sulit dicapai.
Penelitian ini memiliki dua perbedaan penting dengan penelitian sebelumnya,
yaitu:

1)penelitian

ini

mengimplementasikan

uji

interaksi

dua

variabel

independen/two-way interaction tests dalam rangka menguji kemampuan faktorfaktor kontinjensi, seperti: belanja daerah, investasi swasta, DAU, dan SiLPA,
memoderasi pengaruh desentralisasi fiskal; 2) Studi meliputi studi kasus
kabupaten/kota secara total maupun lebih spesifik yaitu: (1) kabupaten/kota
berkembang cepat, dan (2) kabupaten/kota berkembang kurang cepat.

Penelitian ini menguji kemampuan faktor-faktor kontinjensi, seperti: belanja
daerah, investasi swasta, DAU, dan SiLPA, memoderasi pengaruh desentralisasi
fiskal pada pertumbuhan ekonomi daerah dan ketimpangan wilayah kabupaten/kota
di Provinsi Bali. Jika terbukti adanya pengaruh moderasi masing-masing faktor
kontinjensi tersebut maka hasil studi ini akan menjadi input penyempuranaan teori
Desentralisasi Fiskal, yang menegaskan bahwa desentralisasi fiskal tidak serta merta
(linear) berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah dan penurunan ketimpangan
daerah melainkan dimoderasi oleh faktor-faktor kontinjensi, seperti: belanja daerah,
investasi swasta, DAU, dan SiLPA.
Peneltian ini melakukan studi pengaruh densentralisasi fiskal dan berbagai
variabel pemoderasi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dan ketimpangan
wilayah dengan maksud untuk melihat variabel pemoderasi mana saja yang mampu
memoderasi pengaruh desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi daerah dan
juga sekaigus mengurangi ketimpangan wilayah.
Penelitian ini merupakan pengembangan hasil penelitian Indah Utamai Dewi,
dkk (2011), yaitu ingin mengetahui kemampuan faktor-faktor kontinjensi
memoderasi pengaruh desentralisasi fiskal pada pertumbuhan ekonomi daerah dan
ketimpangan wilayah yang lebih spesifik, yaitu: 1)kabupaten/kota berkembang cepat,
dan 2) kabupaten/kota berkembang kurang cepat di Provinsi Bali. Hasil penelitian
ini akan manjadi masukkan penting guna penguatan Teori Desentralisasi Fiskal dan
perbaikan kebijakan desentralisasi fiskal yang lebih sesuai dengan karakteristik
kabupaten/kota.

1.2 Pokok Permasalahan Penelitian
Berdasarkan paparan latar belakang penelitian di atas maka dapat dirumuskan
pokok permasalahan penelitian ini sebagai berikut:
1) Apakah DF, BD, IS, DAU, dan SiLPA berpengaruh pada PED dan KAW
kabupaten/kota di Provinsi Bali?
2) Apakah DF, BD, IS, DAU, dan SiLPA berpengaruh pada PED dan KAW
kabupaten/kota berkembang cepat di Provinsi Bali?
3) Apakah DF, BD, IS, DAU, dan SiLPA berpengaruh pada PED dan KAW
kabupaten/kota berkembang kurang cepat di Provinsi Bali?

4) Apakah BD, IS, DAU, dan SiLPA memoderasi pengaruh DF pada PED dan
KAW kabupaten/kota di Provinsi Bali?
5) Apakah BD, IS, DAU, dan SiLPA memoderasi pengaruh DF pada PED dan
KAW kabupaten/kota berkembang cepat di Provinsi Bali?
6) Apakah BD, IS, DAU, dan SiLPA memoderasi pengaruh DF pada PED dan
KAW kabupaten/kota kurang cepat di Provinsi Bali?

BAB. II
STUDI PUSTAKA
2.1 Desentralisasi Fiskal
Teori Fiscal Federalism yang dikembangan oleh Hayek (1945), Musgrave
(1959) dan Oates (1972) menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai dengan
desentralisasi fiskal melalui otda (otonomi daerah). Dalam pandangan teori ini,
terdapat dua perspektif teori yang menjelaskan tentang dampak ekonomi dari
desentralisasi, yakni menurut traditional theories (first generation theory) dan new
perspective theories (second generation theories). Pandangan teori tradisional
tentang fiscal federalism menekankan keuntungan alokatif dari desentralisasi untuk
mendapatkan kemudahan informasi dari masyarakat. Dalam hal ini, terdapat dua
gagasan yang mendasari keuntungan alokatif ini. Pertama, yaitu tentang penggunaan
’knowledge in society’ yang menurut Hayek (1945) merupakan bentuk kemudahan
pengambilan keputusan yang dapat dicapai karena penggunaan informasi yang
efisien. Dalam konteks keuangan publik, pemerintah daerah mempunyai informasi
yang lebih baik daripada pemerintah pusat tentang kondisi daerah masing-masing
sehingga pemerintah daerah akan lebih baik dalam pengambilan keputusan tentang
penyediaan barang dan jasa publik daripada jika diserahkan ke pemerintah pusat.
Desentralisasi juga memungkinkan adanya local experiment dengan melihat dan
mempelajari pengalaman dari daerah lain sehingga bisa meniru keberhasilan dari
daerah tersebut serta belajar dari pengalaman kegagalannya. Bentuk eksperimen
seperti ini akan mengurangi biaya kegagalan dari sebuah sistem pemerintahan yang
sentralistik. Hal ini dikenal dengan ”laboratory of federalism”
Teori federalisme fiskal merupakan teori yang menjelaskan tentang
bagaimana hubungan desentralisasi dengan perekonomian, pelayanan publik, dan
kesejahteraan masyarakat. Dalam berbagai kajian tentang federalisme fiskal
(fiscal federalism), terdapat dua perspektif teori yang menjelaskan dampak
ekonomi dari desentralisasi, yaitu traditional theories (first generation theories)
dan new perspective theories (second generation theories). Traditional theories
menyatakan terdapat dua keuntungan dari desentralisasi, yaitu:

1) Dikemukakan oleh Hayek (1945) dalam Khusaini (2006), tentang penggunaan
“knowledge in society”, di mana menurut Hayek pengambilan keputusan yang
terdesentralisasi

akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang efisien

karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakatnya.
2) Diungkapkan oleh Tiebout (1956) dalam Khusaini (2006), terdapat dimensi
persaingan dalam pemerintah daerah dan ia berpandangan bahwa kompetisi
antar pemerintah daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan
masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan
selera dan keinginan mereka. Hal ini tidak akan terjadi dalam pemerintahan
sentralistik jika pemerintah pusat menyediakan barang dan jasa publik
secara seragam.

2.2 Ketimpangan Antar Wilayah
Perbedaan kemajuan antar wilayah yang berarti tidak samanya kemampuan
untuk bertumbuh yang analog dengan kesenjangan sehingga yang timbul adalah
ketidakmerataan sehingga muncul pendapat dan studi-studi empiris yang
menempatkan pemerataan dan pertumbuhan pada posisi yang dikotomis dalam hal
ini (Kuznet, 1955) mengemukakan suatu hipotesis yang di kenal dengan sebutan U
Hypothesis, hipotesa ini dihasilkan lewat kajian empiris terhadap pola pertumbuhan
ekonomi terhadap trade off antara pertumbuhan dan pemerataan.
Seiring dengan kemajuan pembangunan ekonomi maka setelah mencapai
tahap tertentu trade offtersebut akan menghilang diganti dengan hubungan kolerasi
positif antara pertumbuhan dan pemerataan yang disebabkan karena pertumbuhan
pada tahap awal pembangunan cenderung dipusatkan pada sektor modern
perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja. Ketimpangan
membesar karena kesenjangan antar sektor modern dan tradisional

meningkat.

Peningkatan tersebut terjadi karena perkembangan di sektor modern lebih cepat
dibandingkan sektor tradisional. Berdasarkan tingkat kemajuannya wilayah-wilayah
dalam suatu negara dapat di kelompokkan sebagai berikut (Hanafiah, 1998) yaitu:
1) Wilayah terlalu maju terutama kota-kota besar dimana terdapat batas
pertumbuhan atau polarisasi, umpamanya dalam menghadapi masalah
diseconomies of scale yang menyebabkan masalah manajemen, kenaikan biaya

produksi, kenaikan biaya fasilitas pelayanan umum, kenaikan gaji dan upah,
kenaikan harga bahan baku energi, peningkatan ongkos sosial.
2) Wilayah netral di cirikan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan dan
kesempatan kerja yang tinggi, tidak ada kesesakan dan tekanan ongkos sosial
dan merupakan kota satelit bagi wilayah yang terlalu padat. 3. Wilayah sedang
merupakan wilayah dengan ciri-ciri campuran pola distribusi pendapatan dan
kesempatan kerja yang relatif baik yang merupakan gambaran kombinasi antara
daerah maju dan kurang maju dimana terdapat juga pengangguran dan kelompok
masyarakat miskin.
3) Wilayah kurang berkembang atau kurang maju yan merupakan wilayah dengan
tingkat pertumbuhan jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada
tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pembangunan nasional
seperti daerah-daerah konsentrasi industri yang sudah mundur.
4) Wilayah tidak berkembang merupakan wilayah tidak maju atau wilayah miskin
dimana industri modern tidak pernah dapat berkembang dalam berbagai skala
umumnya di tandai dengan daerah pertanian dengan usaha tani subsistem dan
kecil, berpenduduk jarang dan tersebar dan tidak terdapat kota atau konsentrasi
pemukiman yang relatif besar.

2.3 Tipologi Klassen di Provinsi Bali
Alat analisis Klassen

Typology (Tipologi Klassen) digunakan untuk

mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masingmasing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua
indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita
daerah. Melalui analisis ini diperoleh empat karateristik pola dan struktur
pertumbuhan ekonomi yang berbeda, yaitu: daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh
(high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low
growth), daerah berkembang cepat (high growth but income), dan daerah relatif
tertinggal (low growth and low income) (Kuncoro dan Aswandi, 2002).
Kriteria yang digunakan untuk membagi daerah kabupaten/kota dalam
penelitian kali ini adalah sebagai berikut: (1) daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh,
daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang

lebih tinggi dibanding rata-rata Provinsi Bali; (2) daerah maju tapi tertekan, daerah
yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan
ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Bali; (3) daerah berkembang
cepat, daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan
per kapita lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Bali; (4) daerah relatif
tertinggaladalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapat
per kapita yang lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Bali. Dikatakan “tinggi”
apabila indikator di suatu kabupaten/kota lebih tinggi dibandingkan rata-rata seluruh
kabupaten/kota di Provinsi Bali dan digolongkan “rendah” apabila indikator di suatu
kabupaten/kota lebih rendah dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten/kota di
Provinsi Bali.
Penelitian Ida Ayu Indah Utamai Dewi, dkk (2011) menunjukkan bahwa
sesuai tipologi klassen, dari empat jenis tipologi pola dan struktur ekonomi,
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali terbagi dalam empat pola dan struktur, yaitu:
1)Daerah yang maju dan tumbuh cepat yaitu Kabupaten Badung, 2)Daerah
berkembang cepat tetapi tidak maju, yaitu Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar
dan Kabupaten Buleleng, 3)Daerah maju tapi tertekan, yaitu Kabupaten Klungkung;
dan, 4) Daerah tertinggal yaitu Kabupaten Tabanan, Jembrana, Bangli dan
Karangasem.

2.4 Pertumbuhan Ekonomi Daerah
Secara umum pertumbuhan ekonomi dapat diartikan perkembangan kegiatan
dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam
masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Pertumbuhan
ekonomi dapat juga diartikan sebagai kenaikan Gross Domestic Product(GDP) atau
Gross National Product(GNP) tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar
atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur
ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1999), jika dikaitkan dengan daerah dapat
dianalogkan dengan produk domestik regional bruto/PDRB.
Pertumbuhan ekonomi daerah merupakan kemampuan suatu daerah dalam
menyediakan kebutuhan akan barang dan jasa kepada masyarakat dalam jumlah yang
banyak sehingga memungkinkan untuk kenaikan standar hidup yang mana

berdampak pula bagi penurunan tingkat pengangguran dalam jangka panjang. Ini
berarti semakin tinggi pertumbuhan ekonomi daerah berarti semakin meningkat
kemampuan daerah menyediakan/memenuhi kebutuhan penyediaan barang dan jasa
yang dapat dipenuhi melalui alokasi belanja modal.
Teori Pertumbuhan Neo Klasik dikembangkan oleh Robert Solow dan
Trevor Swan sejak tahun 1950-an (Arsyad, 1999). Teori yang sejalan dengan
pandangan ekonomi klasik menakankan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung
kepada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (tenaga kerja, modal) dan
tingkat kemajuan teknologi. Perekonomian akan tetap mengalami tingkat pengerjaan
penuh (full employment) dan kapasitas peralatan modal akan tetap sepenuhnya
digunakan sepanjang waktu. Ini berarti bahwa sampai di mana perekonomian akan
berkembang tergantung pada pertambahan penduduk, akumulasi modal dan
kemajuan teknologi. Sementara, Evsey Domar dan R.F. Harrod (Arsyad, 1999), dua
ekonom sesudah Keynes, mengembangkan teori pertumbuhan ekonomi HarrodDomar yang menetapkan syarat agar perekonomian bisa tumbuh dan berkembang
dengan mantap, diantaranya: perekonomian dalam keadaan pengerjaan penuh,
perekonomian terdiri dari dua sektor, besarnya tabungan masyarakat proporsional
dengan besarnya pendapatan nasional, dan kecenderungan untuk menabung besarnya
tetap seperti halnya rasio antara modal-output dan rasio pertambahan modal-output.
Selanjutnya, teori pertumbuhan ekonomi modern dikembangkan oleh Kuznet pada
tahun 1971 (Arsyad, 1999) yang mengemukakan enam ciri pertumbuhan ekonomi
modern, yaitu: 1)Tingginya tingkat produk per kapita dan laju pertumbuhan
ekonomi, 2)Tingginya peningkatan produktivitas terutama produktivitas tenaga kerja,
3)Tingginya tingkat transformasi struktur ekonomi, 4)Tingginya tingkat struktur
sosial dan idiologi, 5)Kecenderungan negara-negara yang ekonominya sudah maju
untuk keliling dunia mencari pasaran dan sumber bahan baku, 6)Pertumbuhan
ekonomi terbatas pada sepertiga populasi dunia. Keenam karakteristik pertumbuhan
ekonomi tersebut sangat berhubungan dan saling memperkuat.

2.5 Ketimpangan Wilayah
Ketimpangan merupakan suatu fenomena yang terjadi hampir di lapisan
negara di dunia, baik itu negara miskin, negara sedang berkembang, maupun negara

maju, hanya yang membedakan dari semuanya itu yaitu besaran tingkat ketimpangan
tersebut, karenanya ketimpangan itu tidak mungkin dihilangkan namun hanya dapat
ditekan hingga batas yang dapat ditoleransi.Perbedaan kemajuan antar wilayah yang
berarti tidak samanya kemampuan untuk bertumbuh yang analog dengan
kesenjangan sehingga yang timbul adalah ketidakmerataan.

2.6 Desentralisasi Fiskal dan pengaruhya pada Pertumbuhan Ekonomi dan
Ketimpangan Wilayah
Dalam konteks negara kesatuan desentralisasi fiskal merupakan penyerahan
kewenangan fiskal dari otoritas Negara kepada daerah otonom. Kewenangan fiskal
paling tidak meliputi kewenangan untuk mengelola pendapatan/perpajakan,
keleluasaan untuk menentukan anggaran dan mengalokasikan sumber daya yang
dimiliki daerah untuk mebiayai pelayanan publik yang menjadi tugas daerah.
Defenisi desentralisasi fiskal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Davey
(2003) bahwa: Fiscal decentralisation is the division of public expenditure and
revenue between levels of government, and the discretion given to regional and local
government to determine their budgets by levying taxes and fees and allocating
resources.
Disisi belanja, diberikannya kewenangan fiskal kepada sebuah daerah otonom
didasarkan kepada prinsip agar alokasi sumber daya lebih efisien dan efektif.
Pemerintah Daerah yang lebih dekat ke masyarakat diasumsikan lebih tahu
kebutuhan masyarakat dibandingkan dengan Pemerintah Pusat yang jauh. Sehingga
alokasi sumber dayayang dilakukan oleh Pemda akan lebih responsif dan menjawab
kebutuhan masyarakat. Sedangkan disisi pendapatan, diberikannya kewenangan
perpajakan kepada daerah dimaksudkan agar partisipasi masyarakat pada pemerintah
keuntuk mendanai pelayanan publik lebih tinggi karena masyarakat dapat merasakan
langsung manfaat dari pembayaran pajak/retribusi tersebut.
Pose et all (2007) menyatakan bahwa terdapat banyak litetatur yang
menyatakan bahwa desentralisasi fiskal memberikan perubahan yang signifikan
terhadap kesejaterahan dan keuntungan ekonomi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa
pemerintah daerah (dengan asumsi lebih dekat dengan rakyat) lebih cakap dalam
membuat kebijakan yang menentukan barang publik yang dibutuhkan di daerahnya.

Dengan demikian pemerintah daerah menghasilkan fungsi alokasi yang lebih efisien.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ebel dan Yilmaz (2002), Slinko (2002),
dan Vasquez dan Mc Nab (2001).
World Bank (1997) menyatakan desentralisasi dapat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung melalui tiga cara, yaitu: pertama,
desentralisasi akan meningkatkan efisiensi pengeluaran publik sehingga efek
dinamisnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, bahwa
desentralisasi dapat mempengaruhi stabilitas makroekonomi, yang mana akan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, sehingga didapat hubungan yang negatif
antara pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi. Dan cara terakhir, bahwa negara
sedang berkembang (NSB) memiliki sitem kelmbagaan dan perekonomian yang
berbeda dengan negara berkembang (NB), sehingga negara sedang berkembang tidak
akan mendapat keuntungan dari desentralisasi. Hal ini terjadi karena susunan
kelembagaan di negara-negara sedang berkembang tidak perlu memberikan sub
insentif kepada pemerintah untuk menggunakan keuntungan informasi dalam
merespon tindakan yang dilakukan.
Sementara itu, dalam konteks desentralisasi, masalah redistribusi memiliki
dua dimensi, yaitu kesetaraan horizontal(antar wilayah) dan kesetaraan di dalam
wilayah. Kesetaraan horizontal mengacu pada kondisi dimana pemerintah daerah
memiliki kapasitas yang sama dalam penyediaan barang publik (Ebel dan Yilmaz,
2002).
Ada dua faktor utama yang mempengaruhi ketimpangan horisontal, yaitu tax
base yang sangat berbeda antara wilayah dan karakteristik wilayah, dimana kedua
faktor tersebut sangat mempengaruhi penetuan biaya dan penyediaan barang publik.
Hubungan ynag positif antara ketimpangan wilayah dan desentralisasi fiskal
merupakan pendapat yang mendominasi diantara peneliti. Tibout dalam Slinko
(2002) menjelaskan hubungan yang positif antara desentralisasi fiskal dan
ketimpangan wilayah melalui sifat mobilitas wajib pajak, dimana masyarakat (wajib
pajak) memiliki kemampuan “voting by feet” (dapat secara bebas) dalam memilih
wilayah mana yang akan ditempati melalui dua pertimbangan yaitu selera dan
besarnya pengenaan pajak di daerah tersebut. Sehingga wilayah yang lebih maju
(wealth regions) dengan fasilitas dan pelayanan public yang lebih baik akan lebih

menarik untuk dijadikan tempat tinggal dibandingkan dengan wilayah yang kurang
maju (poor regions).
Ha.1a: DFberpengaruh positif pada PED kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Ha.1b: DFberpengaruh positif pada PED kabupaten/kota berkembang cepat di
Provinsi Bali.

Ha.1c: DFberpengaruh positif pada PED kabupaten/kota tertinggal di Provinsi Bali.

Ha.2a: DFberpengaruh negatif pada KAW kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Ha.2b: DFberpengaruh negatif pada KAW kabupaten/kota berkembang cepat di
Provinsi Bali.

Ha.2c: DFberpengaruh negatif pada KAW kabupaten/kota kabupaten/kota tertinggal
di Provinsi Bali.

2.7 BD dan pengaruhnya pada PED dan KAW
Penerapan otonomi daerah mengakibatkan pendelegasian kewenangan dari
pusat ke daerah. Pemerintah daerah yang awalnya adalah manifestasi dari pemerintah
pusat dan bertindak atas perintah dari pusat, dengan diberlakukannya otonomi daerah
berubah menjadi sebuah pemerintahan yang memiliki kewenangan dan tanggung
jawab otonom untuk mengatur wilayahnya (berdasarkan kebutuhan wilayah), dalam
koridor hukum yang telah ditentukan. Hal ini tercatum dalam European Charter of
Local Self Government dalam Bailey (1999):
Local self government denotes the right and the ability of local
authorities, within the limits of the law, to regulate and manage a
substantial share of public affairs under their own responsibility and in
the interest of the local population…local authorities shall be entitled
within national economic policy to adequate financial recourses of their
own, of which they may dispose freely within the framework of their
powers.
Sistem otonomi daerah tiap wilayah kabupaten/kota dapat menyediakan
berbagai pelayanan publik yang beragam, sesuai dengan kebutuhan daerahnya.
Sehingga hal ini tentu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan sekaligus
menurunkan ketimpangan wilayah.

Pengeluaran pemerintah harus dilakukan guna membiayai berbagai aktifitas
atau fungsi yang menjadi tanggung jawabnya (M.R. Khairul Muluk, 2005). Menurut
Guritno Mangkoesoebroto (2001) ada 3 fungsi pemerintahan, yaitu:
1) Fungsi alokasi, yaitu fungsi pemerintah untuk mengusahakan agar alokasi
sumber-sumber ekonomi (barang publik, barang swasta, barang campuran)
dilaksanakan secara efisien;
2) Fungsi distribusi, yaitu fungsi pemerintah untuk mewujudkan distribusi
pendapatan atau kekayaan yang merata;
3) Fungsi stabilitas, yaitu fungsi pemerintah untuk menjaga kestabilan kondisi
perekonomian, karena perekonomian yang diserahkan kepada pasar akan rentan
terhadap goncangan (inflasi dan deflasi).
Pengeluaran

pemerintah

adalah

konsumsi

dilakukan pemerintah serta pembiayaan
keperluan administrasi
(Sukirno,

pemerintahan

2002). Selanjutnya, Todaro

mengurangi kesenjangan

pendapatan,

barang

dan

jasa

yang

yang dilakukan pemerintah untuk

dan

kegiatan-kegiatan

(2000)
baik

antar

mengatakan
wilayah

pembangunan
bahwa

dan

juga

untuk
antar

kelompok masyarakat merupakan upaya pemerintah pada berbagai tingkatan
secara langsung berupa pembayaran transfer dan secara tidak langsung melalui
penciptaan

lapangan

kerja, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan dan lain

sebagainya. Samuelson & Nordhaus (2001) menegaskan bahwa pengeluaran
pemerintah merupakan komponen relatif paling kecil dibanding pengeluaran
yang lain, namun efek yang ditimbulkan cukup besar, baik sebagai fungsi
alokasi, distribusi, maupun stabilisasi. Pengeluaran pemerintah bersifat otonom,
karena penetuan anggaran pemerintah lebih pada : a. Pajak yang diharapkan akan
diterima; b. Pertimbangan politik; dan c. Permasalahan yang dihadapi Investasi
Melalui pengembangan rerangka pemikiran di atas maka dapat dikembangkan
hipotesis penelitian sebagai berikut:
Ha.3a: BD berpengaruh positif pada PED kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Ha.3b: BD berpengaruh positif pada PEDkabupaten/kota berkembang cepat di
Provinsi Bali.
Ha.3c: BD berpengaruh positif pada PED kabupaten/kota tertinggal di Provinsi
Bali.

Ha.4a: BD berpengaruh negatif pada KAW kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Ha.4b: BD berpengaruh negatif pada KAW kabupaten/kota berkembang cepatdi
Provinsi Bali.
Ha.4c: BD berpengaruh negatif pada KAW kabupaten/kota tertinggal di Provinsi
Bali.

Ha.5a: BD memoderasi pengaruh DF pada PED kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Ha.5b: BD memoderasi pengaruh DF pada PED kabupaten/kota berkembang
cepat di Provinsi Bali.
Ha.5c: BD memoderasi pengaruh DF pada PED kabupaten/kotatertinggal di
Provinsi Bali.

Ha.6a: BD memoderasi pengaruh DF padaKAW kabupaten/kota di Provinsi
Bali.
Ha.6b: BD memoderasi pengaruh DF padaKAW wilayah kabupaten/kota
berkembang cepat di Provinsi Bali.
Ha.6c: BD memoderasi pengaruh DF padaKAW kabupaten/kota relatif
tertinggal di Provinsi Bali.
2.8 IS dan pengaruhnya pada PED dan KAW
Investasi swasta diartikan sebagai pengeluaran atau perbelanjaan penanampenanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan
perlengkapanperlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi
barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian, sehingga investasi disebut
juga dengan penanaman modal (Sukirno, 2010).
Keberhasilan pembangunan di suatu daerah disamping ditentukan oleh
besarnya pengeluaran pemerintah tersebut juga dipengaruhi oleh besarnya investasi.
Investasi merupakan salah satu pilar pertumbuhan ekonomi (Sajafii, 2009).
Investasi

dapat menjadi titik tolak bagi keberhasilan dan keberlanjutan

pembangunan di masa depankarena dapat menyerap tenaga kerja, sehingga dapat

membuka kesempatan kerja baru bagi masyarakat yang pada gilirannya akan
berdampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat.
Dengan karakteristik investasi swasta seperti itu, lebih lanjut, investasi tentu
merupakan tambahan sumber daya daerah disamping

PAD yang dapat diduga

mampu meningkatkan kemampuan desentralisasi fiskal meningkatkan pertumbuhan
ekonomi di satu sisi, dan sekaligus di sisi lain, menurunkan ketimpangan wilayah.
Melalui

rerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas maka dapat

dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut:
Ha. 7a: IS berpengaruh positif pada PED kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Ha. 7b: IS berpengaruh positif pada PED kabupaten/kota berkembang cepat di
Provinsi Bali.
Ha. 7c: IS berpengaruh positif pada PED kabupaten/kota tertinggal di Provinsi
Bali.

Ha. 8a: IS berpengaruh negatif pada KAW kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Ha. 8b: IS berpengaruh negatif pada KAW kabupaten/kota berkembang cepatdi
Provinsi Bali.
Ha. 8c: IS berpengaruh negatif pada KAW

kabupaten/kota tertinggal di

Provinsi Bali.

Ha. 9a: ISmemoderasi pengaruh DF padaPED kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Ha. 9b: ISmemoderasi pengaruh DF padaPED kabupaten/kota berkembang
cepatdi Provinsi Bali.
Ha. 9c: ISmemoderasi pengaruh DF padaPED kabupaten/kota tertinggal di
Provinsi Bali.

Ha.10a: ISmemoderasi pengaruh DF padaKAW kabupaten/kota di Provinsi
Bali.
Ha.10b: ISmemoderasi pengaruh DF padaKAW kabupaten/kota berkembang
cepatdi Provinsi Bali.
Ha.10c: ISmemoderasi pengaruh DF padaKAW kabupaten/kota tertinggal di
Provinsi Bali.

2.9 DAU dan pengaruhnya pada PED dan KAW
DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dari pengertian yang
diambil dari Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa DAU merupakan sarana untuk mengatasi ketimpangan fiskal
antar daerah dan di sisi lain juga memberikan sumber pembiayaan daerah. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa DAU lebih diprioritaskan untuk daerah yang
mempunyai kapasitas fiskal yang rendah.
Undang-undang

nomor

33

tahun

2004

porsi

DAU

menetapkan

sekurangkurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam
Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. Sementara itu, proporsi pembagian
DAU untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan sesuai dengan imbangan
kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU bersifat “Block Grant”
yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan
kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
ontonomi daerah. Dalam beberapa tahun berjalan, proporsi DAU terhadap
peneriman daerah masih yang tertinggi dibanding dengan penerimaan daerah yang
lain, termasuk PAD (Adi, 2006, dalam Harianto dan Adi, 2007). Diharapkan,
jumlah DAU yang besar ini simultan dengan PAD dapat meningkatkan alokasi pada
belanja modal.
Penelitian yang dilakukan oleh Harianto dan Adi (2007), Darwanto dan
Yustikasari (2007), dan Solikin (2007) dan Putro (2011) menunjukkan bahwa DAU
sangat berpengaruh terhadap Belanja Modal. Variabel DAU berpengaruh terhadap
Anggaran Belanja Modal hal ini disebabkan karena adanya transfer DAU dari
Pemerintah pusat maka Pemerintah daerah bisa mengalokasikan pendapatannya
untuk membiayai Belanja Modal (Putro, 2011). Namun Moisio (2002 dalam
Abdullah dan Halim, 2006) menyatakan bahwa orang akan lebih berhemat
dalam membelanjakan pendapatan yang merupakan hasil
dibanding pendapatan yang diberikan pihak lain (seperti

effort-nya sendiri

grant

atau transfer).

Berdasarkan uraian di atas dapat dikembangan hipotesis sebagai berikut:

Ha. 11a: DAU berpengaruh positif pada PED kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Ha. 11b: DAU berpengaruh positif pada PED kabupaten/kota berkembang
cepatdi Provinsi Bali.
Ha. 11c: DAU berpengaruh positif pada PED kabupaten/kota relatif tertinggal
di Provinsi Bali.

Ha. 12a: DAU berpengaruh negatif pada KAW kabupaten/kota di Provinsi
Bali.
Ha. 12b: DAU berpengaruh negatif pada KAW kabupaten/kota berkembang
cepatdi Provinsi Bali.
Ha. 12c: DAU berpengaruh negatif pada KAW kabupaten/kota tertinggal di
Provinsi Bali.

Ha.13a:

DAU memoderasi pengaruh DF pada PED kabupaten/kota di Provinsi
Bali.

Ha.13b:

DAU

memoderasi

pengaruh

DF

pada

PED

kabupaten/kota

berkembang cepatdi Provinsi Bali.
Ha.13c:

DAU memoderasi pengaruh DF pada PED kabupaten/kota tertinggal
di Provinsi Bali.

Ha.14a:

DAU memoderasi pengaruh DFpada KAW kabupaten/kota di
Provinsi Bali.

Ha.14b:

DAU

memoderasi

pengaruh

DFpada

KAW

kabupaten/kota

berkembang cepatdi Provinsi Bali.
Ha.14c:

DAU memoderasi pengaruh DFpada KAW kabupaten/kota tertinggal
di Provinsi Bali.

2.10 SiLPA dan pengaruhnya pada PED dan KAW

SiLPA menurut Permendagri Nomor 13 tahun 2006 adalah selisih lebih
realisasi

penerimaan

dan

pengeluaran

anggaran

selama

satu periode

anggaran.SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan penerimaan pembiayaan

digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih
kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas
beban belanja langsung (belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja
pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun
anggaran belum diselesaikan.
Dalam acara penyerahan DIPA 2012 di Istana Negara, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono

menyampaikan

bahwa

pembangunan

infrastruktur

di

Indonesia yang belum memuaskan dan menghendaki agar sisa anggaran tidak
digunakan untuk keperluan

yang tidak jelas namun dapat digunakan untuk

pembangunan infrastruktur.
Berdasarkan uraian rerangka pemikiran teoritis dan logis maka dapat
dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut:
Ha. 15a: SiLPA bepengaruh positif pada PED kabupaten/kota di Provinsi Bali.
Ha. 15b: SiLPA bepengaruh positif pada PED kabupaten/kota berkembang
cepat cepatdi Provinsi Bali.
Ha. 15c: SiLPA bepengaruh positif pada PED kabupaten/kota tertinggal di
Provinsi Bali.

Ha. 16a: SiLPA bepengaruh negatif pada KAW kabupaten/kota di Provinsi
Bali.
Ha. 16b: SiLPA bepengaruh negatif pada KAW