DIALYSIS THERAPY IN METHANOL INTOXICATION.

DIALYSIS THERAPY IN METHANOL INTOXICATION
I Wayan Sudhana
Divisi Ginjal dan Hipertensi Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Unud-RSUP Sanglah Denpasar
ABSTRAK
Intoksikasi methanol masih sering terjadi dimasyarakat. Hampir semua
kejadian intoksikasi methanol akibat tertelan, baik tidak disengaja, percobaan
bunuh diri, atau dicampur dengan ethanol karena harganya yang lebih murah1,2.
Methanol (methyl alchohol) tidak berwarna dan cenderung tidak berbau,
merupakan senyawa alkohol yang digunakan dalam kegiatan industri dan
kebutuhan rumah tangga1,2. Toksisitas methanol relatif rendah. Efek toksik
muncul akibat hasil metabolisme methanol di hati yaitu asam format yang bersifat
toksik. Methanol diubah menjadi formaldehyde di hati oleh enzim alcohol
dehydrogenase. Formaldehyde segera dioksidasi oleh enzim formaldehyde
dehydrogenase menjadi formic acid6.

Diagnosis intoksikasi methanol ditentukan berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Onset dan beratnya intoksikasi metanol tergantung
pada akumulasi kadar asam format yang terbentuk. Gejala dapat meliputi
gangguan pada sistem saraf pusat, penglihatan, dan saluran cerna.
Terapi intoksikasi methanol difokuskan pada terapi suportif, mengkoreksi

gangguan asam basa, mencegah metabolisme methanol menjadi metabolit toksik
(asam format) dengan pemberian fomepizole atau ethanol, dan meningkatkan
eliminasi asam format melalui hemodialisis (HD) dan pemberian asam folat2.
Methanol merupakan zat dengan berat molekul rendah, tidak
berikatan dengan protein, dengan volume distribusi yang rendah sehingga ideal
diekskresi melalui HD. Tindakan HD pada intoksikasi methanol bertujuan untuk
mengeliminasi methanol dan asam format serta mengkoreksi asidosis metabolik.
The American Academy of Clinical Toxicology merekomendasikan bahwa HD

dipertimbangkan pada kondisi asidosis metabolik (pH < 7,25-7,3), gangguan
penglihatan, penurunan tanda vital, gagal ginjal, atau gangguan elektrolit yang
tidak memberi respon dengan terapi konvensional1.
Kata kunci : methanol, asam format, hemodialisis

1

2

PENDAHULUAN
Methanol (methyl alchohol) merupakan senyawa alkohol yang digunakan

dalam kegiatan industri dan juga terdapat pada cairan pembersih kaca mobil,
antifreeze dan bahan bakar model pesawat terbang. Methanol memiliki rumus

kimia CH3OH, tidak berwarna, dan cenderung tidak berbau1,2.
Intoksikasi methanol di Amerika serikat relatif jarang terjadi, sekitar 10002000 kasus dilaporkan setiap tahunnya3. Hampir semua kejadian intoksikasi
methanol akibat tertelan, baik secara tidak disengaja, percobaan bunuh diri, atau
akibat digunakan sebagai pengganti atau dicampur dengan ethanol karena
harganya yang lebih murah1,2. Di indonesia, belum didapatkan angka kejadian
pasti intoksikasi methanol, namun sebagian besar kasus intoksikasi methanol
disebabkan penyalahgunaan methanol seperti minum minuman beralkohol yang
dicampur methanol pada arak oplosan.
Intoksikasi methanol dapat menyebabkan mual muntah dan depresi saraf
pusat ringan yang dilanjutkan dengan periode laten sekitar 12-24 jam kemudian
dan dilanjutkan dengan kondisi asidosis metabolik, gangguan penglihatan berupa
mata kabur sampai kebutaan dan kematian1. Angka mortalitas rata-rata pada
beberapa studi dengan 400 pasien bervariasi antara 8-36% namun meningkat
sampai 50-80% ketika kadar bikarbonat serum < 10 mEq/L dan atau pH darah <
7,1 saat terapi dimulai4,5.

INTOKSIKASI METHANOL

Methanol (methyl alchohol, CH3OH) juga dikenal sebagai alkohol kayu
digunakan secara luas sebagai pelarut dalam industri dan campuran untuk bahan
bakar gasoline. Toksisitas methanol tetap merupakan masalah yang umum terjadi
khususnya pada kelas sosio ekonomi yang rendah. Hampir semua kejadian
intoksikasi methanol akibat tertelan, baik secara tidak disengaja, percobaan bunuh
diri, atau akibat digunakan sebagai pengganti ethanol karena harganya yang lebih
murah1,2.
Kadar methanol yang dapat menimbulkan toksisitas berkisar dari 15-500
ml 40% larutan sampai 60-600 methanol murni. Risiko intoksikasi methanol dapat

3

meningkat pada kondisi tetrahydrofolate di hati rendah yang mempengaruhi
kecepatan metabolisme asam format1.
Methanol relatif memiliki toksisitas yang rendah. Efek toksik muncul
akibat hasil metabolisme methanol di hati yaitu asam format yang bersifat toksik.
Methanol

diubah


dehydrogenase.

menjadi

formaldehyde

Formaldehyde

dioksidasi

di

hati
oleh

oleh
enzim

enzim


alcohol

formaldehyde

dehydrogenase menjadi formic acid / asam format. Metabolisme asam format

tergantung pada kadar tetrahydrofolate yang akan membentuk 10-formyl
tetrahydrofolate yang dapat mengubah asam format menjadi karbon dioksida

(CO2) dan air (H2O). Waktu paruh asam format sekitar 20 jam pada manusia6.

Gambar 1. Metabolisme methanol. ADH : alchohol dehydrogenase; FDH :
formaldehyde dehydrogenase; F-THF-S: 10-formyl tetrahydrofolate synthetase.1

Formaldehyde bersifat toksik namun akibat proses metabolismenya yang

cepat menjadi asam format sekitar 1-2 menit, kadarnya hampir tidak pernah
terdeteksi pada tubuh setelah keracunan methano1. Asam format dimetabolisme
lebih lambat sehingga terjadi akumulasi asam format dalam tubuh pada keracunan
methanol. Asidosis metabolik terjadi akibat efek asam format terakumulasi yang

menghambat

akivitas

cytochrome

oxidase

pada

mitokondria

sehingga

mengganggu proses metabolisme oksidasi intrasel dan memicu metabolisme
anaerobik. Pada tahap lebih lanjut, pembentukan asam laktat yang berlebih juga
dapat menyebabkan kondisi asidosis laktat dan memperburuk asidosis1,7.
Toksisitas pada mata terjadi akibat efek toksik asam format secara
langsung. Asam format mengikat cytochrome oxidase sehingga menghambat
fungsi mitokondria pada retina dan saraf optik serta menyebabkan deplesi ATP

retina dan saraf optik. Kerusakan yang terjadi pada mata berupa edema diskus

4

optikus, kerusakan selubung mielin dan lesi nervus optikus yang dapat
menyebabkan kebutaan1,2.

DIAGNOSIS INTOKSIKASI METHANOL
Diagnosis intoksikasi methanol didapatkan berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Onset dan beratnya intoksikasi metanol tergantung
pada akumulasi kadar asam format yang terbentuk. Gejala dapat meliputi
gangguan pada sistem saraf pusat, penglihatan, dan saluran cerna. Gejala diawali
dengan depresi ringan sistem saraf pusat diikuti periode laten 12-24 jam1,2.
Konsumsi ethanol secara bersamaan dapat memperpanjang periode laten sampai
lebih dari 24 jam. Suatu studi pada 323 pasien yang minum whisky yang
mengandung methanol didapatkan periode laten berkisar dari 40 menit sampai 72
jam dengan rata-rata 24 jam dimana periode laten bukan merupakan faktor
prognostik derajat berat ringannya intoksikasi methanol8. Periode laten kemudian
dilanjutkan dengan munculnya asidosis metabolik yang tidak terkompensasi dan
gangguan penglihatan. Gejala lainnya yang dihubungkan dengan gangguan

penglihatan meliputi sakit kepala, mual, muntah, nyeri perut dan sesak nafas1,2,9.
Gangguan penglihatan bervariasi dari pandangan kabur, berkurangnya
lapang pandang sampai kebutaan. Tanda klinis didapatkan berkurangnya refleks
pupil dan pada pemeriksaan funduskopi didapatkan hiperemis dan edema diskus
optikus,

peripapilary retinal edema . Adanya dilatasi pupil yang tidak

memberikan respon menunjukkan adanya cedera otak mayor atau disfungsi dari
jalur visual utama dengan resiko tinggi hilangnya penglihatan secara permanen.
Bradikardia, syok, koma berkepanjangan, kejang, asidosis yang persisten dan
anuria merupakan faktor prognostik yang serius. Kematian pada intoksikasi
methanol biasanya akibat dari gagal nafas dan henti nafas mendadak1,2,4.
Nyeri kepala, vertigo, lemas, dan bingung umum terjadi pada intoksikasi
metanol ringan sampai sedang. Adanya kejang dan koma menunjukkan adanya
edema otak. Nekrosis putamen otak merupakan komplikasi yang jarang terjadi
dengan gejala ekstrapiramidal seperti Parkinson yaitu kaku, tremor ringan, wajah
kaku. Nekrosis putamen terjadi akibat berkurangnya aliran darah serebral dengan
atau akumulasi dari asam format pada putamen1,2.


5

Acute kidney injury (AKI) dapat terjadi pada intoksikasi methanol. Studi

oleh Verhelst et al pada seri kasus dari 25 pasien intoksikasi methanol didapatkan
prevalensi AKI sebesar 60%. Mekanisme terjadinya AKI belum begitu jelas, dan
diduga multifaktorial baik secara langsung maupun tidak langsung. efek langsung
terjadinya AKI masih berupa dugaan dimana diduga terjadi cedera pada sel
tubulus yang kemungkinan akibat efek osmotik dari tingginya konsentrasi
methanol di darah dan/atau efek sitotoksik akibat akumulasi asam format pada sel
tubulus proksimal. Efek tidak langsung terjadi akibat hemolisis dan mioglobinuria
juga seringkali ditemukan10.
Adanya asidosis metabolik berat dengan peningkatan anion gap dan
osmolar gap mendukung kuat adanya intoksikasi methanol atau etylene glycol.
Namun beberapa kondisi lain juga dapat memberikan gambaran abnormalitas
laboratorium yang hampir sama seperti ketoasidosis diabetik, alcoholic
ketoacidosis, gagal organ multipel, gagal ginjal kronis. Kadar methanol dalam

darah > 20mg/dL sudah dianggap toksik dan kadar > 40mg/dL dianggap sangat
berbahaya1,2.

Pemeriksaan radiologis yang bermanfaat pada kasus intoksikasi methanol
meliputi CT scan kepala dan MRI scan kepala. Gambaran yang paling sering
adalah nekrosis bilateral pada putamen yang ditandai dengan hipodensitas pada
putamen atau lebih jarang nucleus caudatus. Gambaran radiologis lainnya adalah
edema cerebri dan lesi pada subcortical white matter khususnya lobus frontal,
oksipital dan parietal. Nekrosis pons bilateral, nekrosis cerebelum bilateral, dan
perdarahan subarachnoid merupakan temuan radiologis yang lebih jarang. dimana
perdarahan serebral merupakan komplikasi yang jarang1.

TERAPI INTOKSIKASI METHANOL
Terapi intoksikasi methanol difokuskan pada terapi suportif, mengkoreksi
gangguan asam basa, mencegah metabolisme methanol menjadi metabolit toksik
yaitu asam format dan meningkatkan eliminasi asam format melalui HD atau
pemberian folinic acid/folic acid. Manajemen awal pasien dengan kecurigaan
intoksikasi methanol berupa evaluasi untuk mempertahankan jalan nafas,
pernafasan dan sirkulasi. Kumbah lambung, perangsangan refleks muntah atau

6

arang aktif hanya bermanfaat jika diberikan dalam 30-60 menit setelah paparan

karena absorpsi methanol di saluran intestinal yang cepat2.
Jika pasien datang dengan gejala gangguan penglihatan dan kondisi
asidosis berat dengan dugaan kecurigaan intoksikasi methanol, prioritas awal
adalah mengkoreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, pemberian folinic acid
untuk meningkatkan metabolisme asam format menjadi CO2 dan H2O, bila ada
dapat diberikan fomepizole atau ethanol untuk menghambat metabolisme
methanol menjadi asam format dan dilakukan HD untuk koreksi abnormalitas
metabolik, mengekskresi methanol dan asam format dalam darah. Seringkali
pasien dengan intoksikasi methanol juga mengkonsumsi ethanol sehingga perlu
diberikan thiamin 100 mg intravena1.
The American Academy of Clinical Toxicology merekomendasikan

pemberian ethanol atau fomepizole untuk terapi intoksikasi metanol berdasarkan
kriteria berikut : konsentrasi plasma methanol >20mg/dL atau riwayat konsumsi
methanol dengan osmolal gap serum > 10mOsm/L atau kecurigaan kuat
keracunan methanol dengan paling tidak dua dari : pH < 7,3; HCO3- < 20mEq;
dan osmolal gap > 20mOsm/L1,2.
Ethanol memiliki afinitas 10-20x lebih tinggi terhadap alcoholic
dehydrogenase (ADH) dibandingkan dengan methanol. Meskipun belum disetujui

FDA, ethanol telah digunakan dalam manajemen intoksikasi methanol. Ethanol
memiliki beberapa keuntungan yaitu harganya yang murah, mudah didapatkan,
dapat diberikan secara oral atau intravena namun diperlukan kadar serum yang
tinggi sekitar 100mg/dL, memerlukan monitoring kadar ethanol serial setiap 1-2
jam pada awal dan 2-4 jam setelah tercapai kondisi yang diinginkan, dan dapat
menimbulkan depresi sistem saraf pusat dan depresi nafas sehingga perlu
dimonitor di ruang ICU1,2.
Fomepizole (4-Metylpyrazole) memiliki afinitas 500-1000 kali lebih tinggi

terhadap ADH dibandingkan dengan ethanol dan dapat menghambat ADH pada
konsentrasi yang lebih rendah. Fomepizole memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan ethanol yaitu afinitasnya yang lebih tinggi, efek samping minimal,
tidak mempengaruhi kesadaran, tidak diperlukan monitoring yang ketat, dan tidak
meningkatkan osmolalitas serum sehingga menilai respon lebih mudah. Adapun

7

kekurangannya adalah sulit didapatkan dan harganya yang mahal, sekitar 5000 US
dollar untuk terapi selama 48 jam1,2. Studi oleh Brent et al menunjukkan bahwa
pemberian loading dose 15 mg/kg fomepizole intravena dilanjutkan dengan bolus
10mg/kg intravena setiap 12 jam selama untuk 4 dosis berikutnya dan dilanjutkan
dengan 15mg/kg setiap 12 jam dapat memberikan kadar fomepizole serum lebih
dari 0,8mg/L11.
Tabel 1. Rekomendasi dosis terapi ethanol1

TERAPI DIALISIS
Methanol merupakan zat dengan berat molekul rendah, tidak
berikatan dengan protein, dengan volume distribusi yang rendah sehingga ideal
dilakukan HD1.
Tindakan HD pada intoksikasi methanol digunakan untuk mengeliminasi
methanol dan asam format serta mengkoreksi asidosis metabolik. The American
Academy of Clinical Toxicology merekomendasikan bahwa HD dipertimbangkan

pada kondisi metabolik asidosis (pH < 7,25-7,3), gangguan penglihatan,
penurunan tanda vital, gagal ginjal, atau abnormalitas elektrolit yang tidak
memberi respon dengan terapi konvensional1,2.
Berbagai studi menunjukkan bahwa HD intermiten lebih superior dalam
mengeliminasi methanol dari serum penderita dibandingkan continous venovenous hemodialysis/hemodiafiltration (CVVHD/HDF) (1,2,4,12). Studi oleh

Zakharov et al pada outbreak intoksikasi methanol di Republik Ceko didapatkan
waktu paruh eliminasi rata-rata methanol dan asam format 54% dan 56% lebih
pendek pada HD intermiten. Dari studi ini didapatkan bahwa kecepatan aliran
darah dan aliran dialisat yang lebih tinggi, membran dialisis yang lebih luas
dihubungkan

dengan

peningkatan

eliminasi

methanol.

Continous

renal

replacement therapy (CRRT) dapat bermanfaat pada pasien dengan kondisi

8

hemodinamik yang tidak stabil dengan MAP kurang dari 70. Lama waktu dialisis
pada intoksikasi methanol berfokus pada kadar methanol dan asam format serum.
Karena pemeriksaan methanol dan asam format seringkali tidak tersedia, maka
derajat berat asidosis metabolik (defisit basa) dan anion gap yang tinggi
digunakan sebagai penanda secara tidak langsung. Studi ini merekomendasikan
waktu HD minimum 8-11 jam pada HD intermiten dan 18-24 jam pada
CVVHD/HDF12.
Beberapa studi menunjukkan peranan HD dalam mengeleminasi asam
format masih kontroversi. Hasil penelitian dari Kerns et al mendapatkan bahwa
terapi dialisis tidak menurunkan waktu paruh asam format dan ditarik kesimpulan
bahwa dialisis manfaatnya kecil pada penanganan intoksikasi methanol bila kadar
methanol dalam serum rendah. Sedangkan Hovda et al mendapatkan terapi dialisis
diperlukan untuk mempercepat eleminasi asam format walaupun kadar asam
format tidak tinggi dalam darah. Sebagai tambahan dari penelitiannya pasien
dengan intoksikasi methanol berat dan asidosis metabolik dengan lama waktu
paruh asam format yang panjang mencapai 77 jam (normalnya 2,5 sampai 12,5
jam), inisiasi HD dapat menurunkan waktu paruh lebih dari 20 kali sampai 2,9
jam2.
Pada penelitian acak terkontrol ketat yang digunakan sebagai panduan
terapi intoksikasi methanol dengan derajat yang berbeda-beda. Terapi HD yang
dikaitkan dengan pemberian fomepizole merupakan terapi yang rasional pada
sebagian besar penderita intoksikasi methanol. HD mempercepat eleminasi
methanol dan memperkuat eleminasi asam format dan menormalkan asidosis
metabolik. Juga merupakan prosedur terapi yang relatif aman, sedangkan peranan
fomepizol menghambat terjadinya akumulasi asam format. Terapi kombinasi ini
menurunkan morbiditas dan mortalitas dan mengurangi lama rawat di rumah sakit.
Pada penelitian lain yang berdasarkan pengalaman klinis mendapatkan hasil yang
sama. Terapi ini diteruskan sampai konsentrasi methanol dibawah 16mg/dl atau
kalau memungkinkan methanol tidak terdeteksi dalam darah dan pH darah diatas
7,3. Sayangnya fomepizole sangat sulit didapatkan dan harganya sangat mahal.
Sebagai gantinya terapi HD dapat dikombinasi dengan pemberian ethanol, tetapi

9

pemberian ethanol mempunyai efek samping yang tidak baik yaitu menyebabkan
atau memperburuk sedasi1,5.
Disebutkan eleminasi methanol dan metabolit toksiknya yaitu asam format
dengan terapi HD lebih superior dari pada peritoneal dialisis. Kecepatan rata-rata
eleminasi methanol selama prosedur ini kira-kira 125-215ml/menit tergantung
kecepatan airan darah saat HD1.

BEBERAPA LAPORAN KASUS INTOKSIKASI METHNOL
Wulansari R, Sudhana W dkk (2002)di RSUP Sanglah Denpasar Bali
melaporkan, 15 pasien, semua laki-laki masuk rumah sakit (MRS) karena
keracunan methanol, umur 21-25 tahun, gejala keracunan muncul 24-48 jam
setelah minum alkohol. Keluhan utama saat MRS berupa sesak nafas 9 (60%)
pasien, pengelihatan kabur 1 (6,7%) pasien, tidak sadar 4 (26.7%) pasien dan mualmuntah 1 (6.7%) pasien. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kondisi sadar 9 (60%)
pasien, pernafasan Kussmaul 13 (86.7%) pasien, seizure 1 (6.7%) pasien, shock 1
(6.7%) pasien,,pada mata yaitu pupil dilatasi dengan refleks yang menurun 4
(26.7%) pasien. Pasien diterapi dengan sodium bikarbonat, thiamin i.v & asam
folat oral. Enam (42.9%) pasien dilakukan terapi HD, delapan (53.3%) pasien
meninggal. Sudhana et al (2002) melaporkan dari 15 pasien keracunan methanol
tersebut 60% dengan gagal ginjal akut (AKI), asidosis metabolik dengan
kompensasi paru merupakan gambaran utama kelainan analisis gas darah.
Kemudian pada tahun 2009 Hanoch, Sudhana W, Raka Widiana juga dari
RSUP Sanglah Denpasar Bali, 2009, melaporkan dari 31 pasien, 29 (93,54%)
pasien laki-laki, umur 18-57 tahun. Dengan gejala klinis kesadaran menurun 14
(45,16%) pasien, gangguan visus 22 (70,96%) pasien, keluhan gastro intestinal
(nyeri epigastrium, mual dan muntah) 21 (67,74%) pasien. Hasil pemeriksaan
laboratorium pH < 7,1 didapatkan 17 (54,83%) pasien, pH 7,1 – < 7,2 didapatkan
pada 6 (19,35%) pasien, pH 7,2 - 7,35 didapatkan pada 7 (22,58%) pasien, pH
>7,35 didapatkan pada satu (3,22%), kadar HCO3 < 10
(90,32%) pasien, sedangkan kadar HCO3 > 10

didapatkan pada 28

didapatkan pada 3 (9,68%)

pasien. Serum creatinine > 1,5 mg/dL didapatkan pada 13 (41,93%) pasien. Dari
semua pasien, 17 pasien dengan pH < 7,1 didapatkan tiga pasien yang masih

10

hidup (telah menjalani HD), sedangkan 14 (45,16%) pasien meninggal akibat
asidosis berat, dimana hasil analisis gas darahnya didapatkan 100% pasien dengan
pH