Perbandingan Reminiscence Therapy dan Problem Solving Therapy untuk Menurunkan Stres Pada Penderita Gagal Jantung
SOLVING THERAPY UNTUK MENURUNKAN STRES
PADA PENDERITA GAGAL JANTUNG
TESIS
Oleh
NIXS0N MANURUNG
127046044 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
Oleh
NIXS0N MANURUNG
127046044 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
(4)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Wiwik Sulistyaningsih, S.Psi.,M.Si. Psi Anggota : 1. Iwan Rusdi, SKp., MNS
2. Dr. Ir. Evawani Yunita Aritonang., M.Si 3. Cholina Trisa, S. S.Kep., Ns., M.Kep.,Sp.KMB
(5)
(6)
(7)
Judul Tesis : Perbandingan Reminiscence Therapy dan
Problem Solving Therapy Untuk Menurunkan Stres Pada Penderita Gagal Jantung
Nama Mahasiswa : Nixson Manurung Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah
Tahun : 2014
ABSTRAK
Stres adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis. Gagal jantung akan menyebabkan seseorang sesak nafas dan cepat lelah baik dalam keadaan beraktivitas ataupun dalam keadaan istirahat. Penelitian ini bertujuan
menguji efektifitas reminscence therapy dan problem solving therapy dalam
upaya menurunkan stres pada penderita gagal jantung di RSUD Dr. Pirngadi Medan dan RSUP H. Adam Malik Medan. Desain penelitian kuasi eksperimen pre test – post test dengan grup kontrol. Sampel 102 penderita gagal jantung, terdiri
dari 34 kelompok intervensi Reminscence therapy, 34 kelompok intervensi
problem solving therapy dan 34 kelompok kontrol. Reminscence therapy
diberikan sebanyak 5 sesi sedangkan problem solving therapy diberikan sebanyak
4 sesi dalam jangka waktu 7 minggu dengan durasi waktu perlakuan selama 90 menit. Data dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat dengan terlebih
(8)
penurunan stres sebelum terapi reminiscence dengan setelah terapi reminiscence
sehingga reminiscence therapy bermanfaat untuk menurunkan stres penderita
gagal jantung. Problem Solving Therapy menunjukkan (p<0,05) yang bermakna
terdapat perbedaan penurunan stres sebelum terapi solving problem dengan
setelah terapi solving problem sehingga solving problem therapy bermanfaat
untuk menurunkan stres penderita gagal jantung. Uji Anova Fhitung < Ftabel dan
harga p > 0,05 berarti tidak terdapat perbedaan secara signifikan penurunan stres
pada kelompok reminiscence therapy maupun kelompok problem solving therapy.
Kedua terapi ini dapat direkomendasikan untuk digunakan pada penderita gagal
jantung yang mengalami stres. Diantara kedua terapi ini maka problem solving
therapy lebih efektif digunakan daripada Reminscence therapy.
(9)
Problem Solving Therapy in Reducing Stress in Heart Failure Patients
Name : Nixson Manurung
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing ABSTRACT
Stress is a depressing condition, either physically or psychologically. Heart failure will cause someone to be in sultry and to be easily exhausted, either in activity or in rest. The objective of the research was to examine the effectiveness of reminiscence therapy and problem solving therapy in reducing stress in heart failure patients at RSUP H. Adam Malik, Medan. The research used a quasi experiment pre test – post test design with control group. The samples consisted of 102 heart failure patients; 34 of them respectively belonged to intervention group of reminiscence therapy, intervention group of problem solving therapy, and control group. Reminiscence therapy was given in five sessions, and problem solving therapy was given in four sessions in seven weeks with the duration of 90 minute-treatment time. The data were analyzed by using univatriate, bivatriate, and multivatriate analyses after assumption test (normality test and homogeneity test) had been performed. Paired t-test and Anova test were used for statistic test. The result of the research on the reminiscence therapy showed that (p<0.05) which indicated that there was the difference in the decrease in stress between pre- reminiscence therapy and post-reminiscence therapy so that reminiscence therapy
(10)
therapy and post-problem solving therapy so that problem solving therapy was beneficial for reducing stress in heart failure patients. The result of Anova test
showed that Fcount < Ftable and p-value > 0.05 which indicated that there was no
significant difference in the decrease in stress both in the reminiscence therapy group and in the problem solving therapy group. It is recommended that both therapies should be used for heart failure patients who undergo stress although problem solving therapy is better than reminiscence therapy.
(11)
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasihNya penulis telah dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
“Perbandingan Reminiscence Therapy dan Problem Solving Therapy untuk
Menurunkan Stres pada Penderita Gagal Jantung”.
Selama menyusun tesis ini, penulis mengalami banyak pengalaman yang berharga dari berbagai pihak. Sehingga, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Dedi Ardinata., M. Kes. selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara.
2. Setiawan, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
3. Achmad Fathi, S.Kep,Ns, MNS selaku Sekretaris Program Studi Magister
Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. Wiwik Sulistyaningsih, S.Psi. M.Si.Psikolog selaku dosen pembimbing
pertama, yang telah senantiasa memberikan waktu untuk membimbing, memberikan arahan, ilmu dan saran yang sangat berharga dalam proses penyusunan tesis ini.
5. Iwan Rusdi, SKp. MNS, selaku dosen pembimbing kedua, yang juga telah
senantiasa memberikan waktu untuk membimbing, memberikan arahan, ilmu dan saran yang sangat berharga dalam proses penyusunan tesis ini.
6. Dr. Ir. Evawany Yunita Aritonang, M.Si selaku dosen penguji I dan Cholina
(12)
peneliti dalam pengambilan data
8. Direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan yang telah memberikan izin kepada
peneliti dalam pengambilan data
9. Keluarga yang selalu memberikan semangat, motivasi dan dukungan yang
begitu besar sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian ini.
10. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan dan terkhusus untuk teman-teman Magister Keperawatan Konsentrasi Keperawatan Medikal Bedah angkatan pertama yang telah saling mengingatkan dan mendukung selama penulisan tesis ini.
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih ada kekurangan, baik dari aspek bahasa maupun isinya. Oleh karena itu penulis akan menerima saran dan masukan yang sifatnya memperbaiki tesis ini.
(13)
kontribusi bagi profesi keperawatan dan bagi masyarakat.
Medan, 22 Agustus 2014 Penulis
(14)
Tempat/Tanggal lahir : P. Pasir, 19 Februari 1977
Alamat Asal : Jl. Gereja No. 37-B Medan
Email : nico_zaxco@yahoo.com
Hp : 0812.6079.4108
Riwayat Pendidikan :
Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus
SD SD NEGERI – I P. PASIR 1989
SMP SLTP PTP-VII D. ILIR 1992 SMA SMA NEGERI 1 SERBELAWAN 1995
D3 Keperawatan Akper IMELDA Medan 1998
S1 Keperawatan Ekstensi Keperawatan di USU 2001
Ners Ners USU 2003
S2 Keperawatan Magister Keperawatan USU 2014
Riwayat Pekerjaan :
Tahun 1998 s/d sekarang sebagai staf dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Imelda Medan.
Kegiatan Akademik Selama Studi :
Workshop Aplikasi Penelitian Kualitatif Sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Bidang Kesehatan tanggal 18 Desember 2012, sebagai Peserta
(15)
30 Januari 2013, sebagai Peserta
Seminar Aplikasi Penerapan Asuhan Keperawatan Berdasarkan Nanda Nic Noc, tahun 2013, sebagai Peserta
2013 Medan International Nursing Conference “ The Application of Caring
Science in Nursing Education Advanced Research and Clinical Practice” Medan tanggal 1-2 April 2013, sebagai Peserta
(16)
ABSTRACT ….……… iii
KATA PENGANTAR ………. v
RIWAYAT HIDUP …..………... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ……… xii
DAFTAR GAMBAR …..……….………... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ……….…. xv
BAB 1 . PENDAHULUAN ………..………. 1
1.1. Latar Belakang ……….……… 1
1.2. Permasalahan ………..……….………. 5
1.3. Tujuan Penelitian ……….………. 6
1.4. Hipotesis ……….……….. 6
1.5. Manfaat Penelitian ………..……….. 7
BAB 2 . TINJAUAN PUSTAKA ………..…………..……….. 9
2.1. Stres ……….. ….……….. 9
2.2. Reminiscence Therapy ………..……… 26
2.3. Problem Solving Therapy ………. 50
2.4. Landasan Teori Betty Neuman ………. 64
2.5. Kerangka Konsep ………..….……….. 69
BAB 3 . METODE PENELITIAN ………....……….. 70
3.1. Jenis Penelitian ……….……… 70
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian …….…………..………. 71
3.3. Populasi dan Sampel ……….…..………. 72
3.4. Metode Pengumpulan Data ……….. 75
3.5. Variabel dan Defenisi Operasional ……….……..……… 76
3.6. Definisi Operasional ……… 77
3.7. Metode Pengukuran ………..……… 78
3.8. Prosedur Eksperimen ………..….. 79
3.9. Metode Analisa Data ………..….. 82
3.10.Pertimbangan Etik ………..….. 83
BAB 4 . HASIL PENELITIAN ………..……….….. 86
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……… 86
4.2. Keterbatasan Penelitian ………..…….. 91
4.3. Hasil Penelitian ……… 92
(17)
4.3.3. Hasil Analisa Data Kelompok ……….… 99
4.3.4. Analisa Bivariat ………..…. 102
4.3.5. Analisa Multivariat ……….. 110
4.3.6. Uji Hipotesa ………..….. 112
BAB 5 . PEMBAHASAN ……… 116
5.1. Pengaruh Reminiscence Therapi untuk Menurunkan Stres - Pada Penderita Gagal Jantung……… 116
5.2. Pengaruh Problem Solving Therapy untuk Menurunkan - Stres Pada Penderita Gagal Jantung ………..…… 121
5.3. Perbandingan Reminiscence Therapy dan Problem Solving - Therapy ………..…… 123
5.4. Reminiscence Therapy, Problem Solving Therapy dan - Landasan Teori Betty Neuman ………..…… 125
BAB 6 . KESIMPULAN DAN SARAN …..……….. 127
6.1. Kesimpulan ………..………. 127
6.2. Saran ………..……… 128
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(18)
Tabel 3.2. Sampling Frame ………. 75
Tabel 3.3. Defenisi Operasional ……….. 77
Tabel 4.1. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Demografi Karakteristik 92
Tabel 4.2. Hasil Uji Normalitas ……… 94
Tabel 4.3. Hasil Uji Homogenitas antar kelompok reminiscence therapy, - problem solving therapy dan kelompok kontrol sebelum intervens 97 Tabel 4.4. Data Kelompok Variabel Reminiscence dan Problem Solving -
Therapy ……… 98
Tabel 4.5 Perhitungan Penurunan Stres Responden Sebelum dan Sesudah
Terapi ……….. 99
Tabel 4.6. Ringkasan uji-t antar jenis intervensi (kelompok Reminiscence -
Therapy, kelompok Solving Problem Therapy dan kelompok - kontrol) pada pengamatan sebelum dan sesudah intervensi …… 100
Tabel 4.7. HasilRerata danStandar DeviasiKelompok Terapi Post -
Reminiscence dan Kelompok Kontrol ……… 101
Tabel 4.8. Hasil Uji Sampel Independen antara Kelompok Terapi -
Reminiscence dan Kelompok Kontrol Setelah Intervensi …….. 102
Tabel 4.9. Hasil Rerata danStandard Deviasi Kelompok Terapi Post -
Problem Solving dan Kelompok Kontrol ……… 104
Tabel 4.10. Hasil Uji Sampel Independen Kelompok Terapi Problem -
Solving Setelah Intervensi dan Kelompok Kontrol ………. 105
Tabel 4.11. Hasil Rerata danStandard Deviasi Setelah Intervensi antara -
Kelompok Terapi Reminiscence dan Kelompok Terapi -
Problem Solving ……… 106
Tabel 4.12. Hasil Uji Sampel Independen Setelah Intervensi antara -
Kelompok Terapi Reminiscence dan Kelompok Terapi -
Problem Solving ……….. 107
Tabel 4.13. Perhitungan Anovaantara Kelompok Terapi Reminiscence -
dengan Kelompok Terapi Problem Solving ……… 109
Tabel 4.14. Perhitungan Nilai Koefisien antara Kelompok Terapi -
Post Reminiscence dengan kelompok Terapi Post Problem - Solving ………. 110
Tabel 4.15. Perhitungan Uji Sampel Kelompok Reminiscence Sebelum -
dan Sesudah Intervensi ……… 110
Tabel 4.16. Perhitungan Uji Sampel Kelompok ProblemSolving Sebelum -
dan Sesudah Intervensi ……… 112
Tabel 4.17. Perhitungan Uji Sampel Setelah Intervensi untuk Kelompok -
(19)
Halaman
Gambar 2.1. Kerangka Konsep ……….. 69
Gambar 3.1. Kerangka Kerja Perbandingan Reminiscence Therapy
dan Problem Solving Therapy untuk Menurunkan Stres pada Penderita Gagal Jantung ………
79
Gambar 4.1 Grafik Hasil Uji Normalitas Kelompok Reminiscence
Therapy ………. 95
Gambar 42 Histogram Kelompok Reminiscence Therapy…………. 96
Gambar 4.3. Grafik Hasil Uji Normalitas Kelompok Problem
Solving Therapy ……….. 96
(20)
a. Lembar Penjelasan tentang Penelitian ... 119
b. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 120
c. Kuesioner Data Demografi ... 121
d. Instrumen Penelitian ... 122
e. Izin Penggunaan Instrumen ... 123
Lampiran 2 Modul ... 125
Lampiran 3 Izin Penelitian ... 127
a. Surat Pengambilan Data dari Dekan Fakultas Keperawatan ... 128
b. Surat Persetujuan Etik Penelitian ... 129
c. Surat Ijin Pengambilan Data dari RSUD Dr. Pirngadi Medan ... 130
(21)
Judul Tesis : Perbandingan Reminiscence Therapy dan
Problem Solving Therapy Untuk Menurunkan Stres Pada Penderita Gagal Jantung
Nama Mahasiswa : Nixson Manurung Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah
Tahun : 2014
ABSTRAK
Stres adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis. Gagal jantung akan menyebabkan seseorang sesak nafas dan cepat lelah baik dalam keadaan beraktivitas ataupun dalam keadaan istirahat. Penelitian ini bertujuan
menguji efektifitas reminscence therapy dan problem solving therapy dalam
upaya menurunkan stres pada penderita gagal jantung di RSUD Dr. Pirngadi Medan dan RSUP H. Adam Malik Medan. Desain penelitian kuasi eksperimen pre test – post test dengan grup kontrol. Sampel 102 penderita gagal jantung, terdiri
dari 34 kelompok intervensi Reminscence therapy, 34 kelompok intervensi
problem solving therapy dan 34 kelompok kontrol. Reminscence therapy
diberikan sebanyak 5 sesi sedangkan problem solving therapy diberikan sebanyak
4 sesi dalam jangka waktu 7 minggu dengan durasi waktu perlakuan selama 90 menit. Data dianalisis secara univariat, bivariat dan multivariat dengan terlebih
(22)
penurunan stres sebelum terapi reminiscence dengan setelah terapi reminiscence
sehingga reminiscence therapy bermanfaat untuk menurunkan stres penderita
gagal jantung. Problem Solving Therapy menunjukkan (p<0,05) yang bermakna
terdapat perbedaan penurunan stres sebelum terapi solving problem dengan
setelah terapi solving problem sehingga solving problem therapy bermanfaat
untuk menurunkan stres penderita gagal jantung. Uji Anova Fhitung < Ftabel dan
harga p > 0,05 berarti tidak terdapat perbedaan secara signifikan penurunan stres
pada kelompok reminiscence therapy maupun kelompok problem solving therapy.
Kedua terapi ini dapat direkomendasikan untuk digunakan pada penderita gagal
jantung yang mengalami stres. Diantara kedua terapi ini maka problem solving
therapy lebih efektif digunakan daripada Reminscence therapy.
(23)
Problem Solving Therapy in Reducing Stress in Heart Failure Patients
Name : Nixson Manurung
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing ABSTRACT
Stress is a depressing condition, either physically or psychologically. Heart failure will cause someone to be in sultry and to be easily exhausted, either in activity or in rest. The objective of the research was to examine the effectiveness of reminiscence therapy and problem solving therapy in reducing stress in heart failure patients at RSUP H. Adam Malik, Medan. The research used a quasi experiment pre test – post test design with control group. The samples consisted of 102 heart failure patients; 34 of them respectively belonged to intervention group of reminiscence therapy, intervention group of problem solving therapy, and control group. Reminiscence therapy was given in five sessions, and problem solving therapy was given in four sessions in seven weeks with the duration of 90 minute-treatment time. The data were analyzed by using univatriate, bivatriate, and multivatriate analyses after assumption test (normality test and homogeneity test) had been performed. Paired t-test and Anova test were used for statistic test. The result of the research on the reminiscence therapy showed that (p<0.05) which indicated that there was the difference in the decrease in stress between pre- reminiscence therapy and post-reminiscence therapy so that reminiscence therapy
(24)
therapy and post-problem solving therapy so that problem solving therapy was beneficial for reducing stress in heart failure patients. The result of Anova test
showed that Fcount < Ftable and p-value > 0.05 which indicated that there was no
significant difference in the decrease in stress both in the reminiscence therapy group and in the problem solving therapy group. It is recommended that both therapies should be used for heart failure patients who undergo stress although problem solving therapy is better than reminiscence therapy.
(25)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Penyakit kardiovaskular sekarang merupakan penyebab kematian paling umum di seluruh dunia. Penyakit kardiovaskular menyumbang hampir mendekati 40% kematian di negara maju dan sekitar 28% di negara miskin dan berkembang (Gaziano, 2008). Menurut data dari studi Framingham 90% orang yang berumur diatas 55 tahun akan mengalami hipertensi selama masa hidupnya (Lilly, et al., 2007). Hal ini menggambarkan masalah kesehatan publik karena hipertensi dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular seperti gagal jantung kongestif ( Kotchen, 2008). Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5 - 10%. Kurun 20 tahun terakhir, angka kematian karena serangan jantung dan stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami peningkatan (Pickering, 2008).
Menurut Fisher (2005) pengobatan yang efektif penderita hipertensi yang tidak diobati terbukti mengalami pemendekan masa kehidupan sekitar 10 – 20 tahun. Bahkan individu yang mengalami hipertensi ringan jika tidak diobati selama 7 – 10 tahun beresiko tinggi mengalami komplikasi yaitu sekitar 30% terbukti mengalami aterosklerosis dan lebih dari 50% akan mengalami kerusakan organ yang berhubungan dengan hipertensi itu sendiri, seperti kardiomegali, gagal jantung kongestif, retinopati, masalah serebrovaskular, dan/atau insufisiensi ginjal. Oleh karena itu, walaupun bentuk ringan, hipertensi merupakan penyakit
(26)
yang progresif dan letal jika tidak segera diobati. Gopal (2009) menyatakan bahwa gagal jantung merupakan penyebab tersering rawat inap pada pasien berusia 65 tahun keatas. Cowie (2008) dan Figueroa (2006) juga menuliskan bahwa prevalensi gagal jantung meningkat seiring dengan pertambahan usia dan terutama mengenai pasien dengan usia di atas 65 tahun.
Penelitian Merda & Harris (2013) diketahui bahwa prevalensi penyakit jantung hipertensi pada gagal jantung kongestif dewasa (usia > 20 tahun) yang dirawat di unit rawat kardiovaskular RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2011 sebesar 44,5%. Prevalensi hipertensi sebagai penyebab gagal jantung kongestif dewasa (usia > 20 tahun) yang dirawat di unit rawat kardiovaskular RSUP H.Adam Malik Medan pada tahun 2011 sebesar 66,5%, berdasarkan jenis kelamin paling banyak jenis kelamin laki – laki, yaitu sebanyak 135 orang (67,5%) dengan kelompok usia 50 – 59 tahun yaitu sebanyak 74 orang (37%) serta yang memiliki riwayat hipertensi adalah sebanyak 133 orang (66,5%).
Saat ini Congestif heart failure (CHF) atau yang biasa di sebut gagal jantung
kongestif merupakan satu-satunya penyakit kardiovaskular yang terus meningkat insiden dan prevalensinya. Resiko kematian akibat gagal jantung berkisar antara 5-10% pertahun pada gagal jantung ringan yang akan meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Selain itu, CHF merupakan penyakit yang paling sering
memerlukan perawatan ulang di rumah sakit (readmission) meskipun pengobatan
rawat jalan telah di berikan secara optimal. (R .Miftah. 2004).
Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskular masih menduduki peringkat yang tinggi. Menurut data WHO di laporkan bahwa sekitar 3000
(27)
3
penduduk Amerika menderita CHF , sedangkan berdasarkan profil kesehatan Sumatera Utara tahun 2000 Penyakit Jantung Koroner menempati urutan ketiga dari penyakit tidak menular dengan jumlah penderita sebanyak 354 orang yang
berumur ≥60 tahun. Jumlah kematian penyakit jantung koroner sebanyak 37
orang dengan CFR (Case Fatality Rate). Dari penelitian Damanik (2000-2004) di RSUP H. Adam Malik bahwa jumlah penderita penyakita jantung koroner sebanyak 230 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 13 orang CFR sebesar 5,65%, berdasarkan usia diketahui bahwa pasien gagal jantung kongestif dengan kelompok usia 20 – 29 tahun merupakan sampel yang paling sedikit yaitu sebanyak 2 orang (1%), sedangkan sampel terbanyak berasal dari kelompok usia 50 – 59 tahun yaitu sebanyak 74 orang (37%). Berdasarkan data didapat peneliti diketahui jumlah penderita penyakit jantung koroner di RSU Dr. Pringadi Medan tahun 2003 sebanyak 198 kasus, tahun 2004 sebanyak 274 kasus, tahun 2005 sebanyak 259 kasus, tahun 2006 sebanyak 283 kasus. Mann (2008) mengatakan bahwa gagal jantung lebih sedikit terjadi pada perempuan daripada laki - laki. Hal
ini juga didukung oleh data European Heart Failure Survey pada tahun 2000 –
2001, bahwa 53% pasien gagal jantung yang dirawat di rumah sakit adalah berjenis kelamin laki - laki (Cowie, 2008).
Menurut Gopal (2009) gagal jantung merupakan penyebab tersering rawat inap pada pasien berusia 65 tahun keatas. Dalam Cowie (2008) dan Figueroa (2006) juga dituliskan bahwa prevalensi gagal jantung meningkat seiring dengan pertambahan usia dan terutama mengenai pasien dengan usia di atas 65 tahun. Prevalensi gagal jantung di negara berkembang cukup tinggi dan makin
(28)
meningkat. Oleh karena itu gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang utama. Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung masih punya harapan hidup 5 tahun. Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar
62% pada pria dan 42% wanita. Kasper (2005) dalam satu randomized trial yang
besar pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung yang mengalami dekompensasi, mortalitas 60 hari adalah 9,6% dan apabila dikombinasi dengan mortalitas dan perawatan ulang dalam 60 hari jadi 35,2%. Sekitar 45% pasien gagal jantung akut akan dirawat ulang paling tidak satu kali, 15% paling tidak dua kali dalam 12 bulan pertama. Angka kematian lebih tinggi lagi pada infark jantung yang disertai gagal jantung berat dengan mortalitas dalam 12 bulan adalah 30%, 50% rata-rata penderita gagal jantung akan meninggal dalam waktu 5 tahun sejak diagnosanya ditegakkan.
Stres adalah suatu kondisi dinamik dalam mana seseorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala atau tuntutan yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang hasilnya dipersiapkan sebagai tidak pasti dan penting. Stres adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan yang berasal dari situasi dan sumber daya system biologis, psikologis dan social dari seseorang (Lahey & Ciminero, 1980).
Tanda peringatan pertama dari rasa takut, marah, frustasi, trauma atau penyakit pada tubuh pertama diterima oleh saraf sensoris yang disebut dengan organ sensoris seperti mata, telinga, lidah dan kulit yang terletak dibagian luar tubuh. Tanda-tanda peringatan ini diteruskan oleh saraf ke hipotalamus dan
(29)
5
korteks serebral. Korteks serebral terlibat dalam fungsi ini untuk meningkatkan kesadaran seseorang terhadap stres yang dihadapinya agar individu dapat segera mengatasi stres . Dalam tahap ini, semua sytem dalam organ dalam keadaan siaga dan siap untuk bertempur atau melarikan diri dari stres. Jantung bekerja lebih keras untuk meningkatakan curah jantung dan meningkatkan kadar oksigen serta gizi yang diperlukan untuk pengeluaran energi. Detak jantung bertambah cepat agar dapat meningkatkan jumlah oksigen yang diperlukan. Pembuluh darah meningkatkan kontraksi untuk membantu kerja peredaran darah. Otot-otot berkontraksi sehingga kaki tangan dan punggung siap untuk bertindak jika perlu untuk melindungi tubuh terhadap ancaman. Produksi keringat meningkat, sebagai hasil peningkatan suhu tubuh yang dikeluarkan melalui mulut.
Jika individu ini dapat mengatasi stres, maka fungsi tubuh akan normal kembali tetapi bila gagal maka stres akan berlangsung terus menerus sehingga persediaan tenaga didalam tubuh akan habis dan individu tersebut menjadi kepayahan. Seorang individu sering mengalami stres hingga terdapat perubahan fisiologis dalam jangka waktu lama maka akan terjadi kerusakan yang menetap dalam tubuh .
1.2.Permasalahan
Melihat latar belakang permasalahan yang didapat oleh peneliti maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana perbandingan
reminiscence therapy dan problem solving therapy dalam menurunkan stres pada penderita gagal jantung”.
(30)
1.3.Tujuan Penelitian
a) Menguji efektifitas reminiscence therapi untuk menurunkan stres pada
pasien gagal jantung
b) Menguji efektifitas problem solving therapi untuk menurunkan stres pada
pasien gagal jantung
c) Menguji keefektifan antara reminiscence therapi dan problem solving
therapi untuk menurunkan stres pada pasien gagal jantung.
1.4.Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan penelitian yang harus diuji validitasnya secara empiris (Sastroasmoro & Ismael, 2008). Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2009).
Berdasarkan teori yang berkaitan dengan efektifitas therapy reminiscence dan
problem solving therapy pada penderita gagal jantung, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Ada penurunan stres pada penderita gagal jantung setelah diberikan therapy
reminiscence
2. Ada penurunan stres pada penderita gagal jantung setelah diberikan problem
(31)
7
3. Ada perbedaan penurunan stres pada penderita gagal jantung yang
mendapatkan therapy reminiscence dan problem solving therapy.
1.5.Manfaat Penelitian
1.5.1. Aspek teoritis (keilmuan)
1.5.1.1. Dengan adanya penelitian ini akan memberikan
masukan kepada perawat dalam meningkatkan pengetahuannya untuk menurunkan stres pada penderita gagal jantung
1.5.1.2. Meningkatkan kemampuan perawat ataupun petugas
kesehatan lainnya dalam menentukan terapi yang spesifik untuk menurunkan stres pada penderita gagal jantung
1.5.1.3. Meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan
keperawatan dalam upaya menurunkan stres pada penderita gagal jantung
1.5.2. Aspek praktis
1.5.2.1. Adanya perbandingan antara therapy reminiscence dan
(32)
keperawatan spesialis dalam melakukan pilihan untuk menurunkan stres pada penderita gagal jantung
1.5.2.2. Penelitian ini dapat digunakan dan dikembangkan
sehingga menjadi suatu modul atau acuan untuk dipakai menjadi standard profesi dan standard nasional dalam memberikan asuhan keperawatan
(33)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Stres
Stres dalam arti secara umum adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa sehari – hari stres di kenal sebagai stimulus atau respon yang menuntut individu untuk melakukan penyesuaian. Sarafino (1994) mengartikan stres adalah kondisi yang disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan, menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.
Ivancevich (2001), mendefinisikan stres sebagai respon adaptif yang dimediasi oleh perbedaan individu dan proses psikologi yang merupakan konsekuensi dari keadaan eksternal, situasi atau kejadian yang berdampak pada keadaan fisik atau psikologis seseorang. Wijono (1997), Stres adalah reaksi alami tubuh untuk mempertahankan diri dari tekanan secara psikis. Tubuh manusia dirancang khusus agar bisa merasakan dan merespon gangguan psikis ini. Tujuannya agar manusia tetap waspada dan siap untuk menghindari bahaya.
Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Stres juga adalah suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun psikologis ( Chapplin, 1999). Stres juga diterangkan sebagai
(34)
suatu istilah yang digunakan dalam ilmu perilaku dan ilmu alam untuk mengindikasikan situasi atau kondisi fisik, biologis dan psikologis organisme yang memberikan tekanan kepada organisme itu sehingga ia berada diatas ambang batas kekuatan adaptifnya. (McGrath, dan Wedford dalam Arend dkk, 1997).
Kondisi ini jika berlangsung lama akan menimbulkan perasaan cemas, takut dan tegang. Berdasarkan dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu kondisi pada individu yang tidak menyenangkan dimana dari hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya tekanan fisik maupun psikologis pada individu. Kondisi yang dirasakan tidak menyenangkan itu disebabkan karena adanya tuntutan-tuntutan dari lingkungan yang dipersepsikan oleh individu sebagai sesuatu yang melebih kemampuannya atau sumber daya yang dimilikinya, karena dirasa membebani dan merupakan suatu ancaman bagi kesejahteraannya.
Menurut Lazarus & Folkman (1986) stres memiliki memiliki tiga bentuk yaitu:
1. Stimulus, yaitu stres merupakan kondisi atau kejadian tertentu yang
menimbulkan stres atau disebut juga dengan stressor.
2. Respon, yaitu stres yang merupakan suatu respon atau reaksi individu yang
muncul karena adanya situasi tertentu yang menimbulkan stres. Respon yang muncul dapat secara psikologis, seperti: jantung berdebar, gemetar, pusing, serta respon psikologis seperti: takut, cemas, sulit berkonsentrasi, dan mudah tersinggung.
(35)
3. Proses, yaitu stres digambarkan sebagai suatu proses dimana individu secara aktif dapat mempengaruhi dampak stres melalui strategi tingkah laku, kognisi maupun afeksi.
Rice (2002) mengatakan bahwa stres adalah suatu kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Atkinson (2000) mengemukakan bahwa stres mengacu pada peristiwa yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang. Situasi ini disebut sebagai penyebab stres dan reaksi individu terhadap situasi stres ini sebagai respon stres. Berdasarkan berbagai penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu keadaan yang menekan diri individu. Stres merupakan mekanisme yang kompleks dan menghasilkan respon yang saling terkait baik fisiologis, psikologis, maupun perilaku pada individu yang mengalaminya, dimana mekanisme tersebut bersifat individual yang sifatnya berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain
2.1.1. Penyebab Stres atau Stressor
Peristiwa atau keadaan yang menantang secara fisik atau psikologis disebut
juga dengan stressor. (Sarafino, 2008) Menurut Lazarus & Folkman (dalam
Morgan, 1987) kondisi fisik lingkungan dan sosial yang merupakan penyebab dari
kondisi stres disebut dengan stressor. Stressor adalah faktor-faktor dalam
kehidupan manusia yang mengakibatkan terjadinya respon stres. Stressor dapat
berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja, dirumah, dalam kehidupan sosial, dan
(36)
lingkungan luar lainnya. Istilah stressor diperkenalkan pertama kali oleh Selye
(dalam Rice, 2002). Menurut Lazarus & Folkman (1986) stressor dapat berwujud
atau berbentuk fisik (seperti polusi udara) dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial (seperti interaksi sosial). Pikiran dan perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor.
Menurut Lazarus & Cohen (1977), tiga tipe kejadian yang dapat menyebabkan stres yaitu:
a. Daily hassles yaitu kejadian kecil yang terjadi berulang-ulang setiap hari seperti masalah kerja di kantor, sekolah dan sebagainya.
b. Personal stressor yaitu ancaman atau gangguan yang lebih kuat atau kehilangan besar terhadap sesuatu yang terjadi pada level individual seperti kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, masalah keuangan dan masalah pribadi lainnya.
c. Ditambahkan Freese Gibson (dalam Rachmaningrum, 1999) umur adalah
salah satu faktor penting yang menjadi penyebab stres, semakin bertambah umur seseorang, semakin mudah mengalami stres. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor fisiologis yang telah mengalami kemunduran dalam berbagai kemampuan seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat dan mendengar. Pengalaman kerja juga mempengaruhi munculnya stres kerja. Individu yang memiliki pengalaman kerja lebih lama, cenderung lebih rentan terhadap tekanan tekanan dalam pekerjaan, daripada individu dengan sedikit pengalaman (Koch & Dipboye, dalam Rachmaningrum,1999). Selanjutnya
(37)
masih ada beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat stres, yaitu kondisi fisik, ada tidaknya dukungan sosial, harga diri, gaya hidup dan juga tipe kepribadian tertentu (Dipboye, Gibsin, Riggio dalam Rachmaningrum, 1999).
Appraisal: Penilaian terhadap suatu keadaan yang dapat menyebabkan stres
disebut stress appraisals. Menilai suatu keadaan yang dapat mengakibatkan
stress tergantung dari 2 faktor, yaitu faktor yang berhubungan dengan orangnya (Personal factors) dan faktor yang berhubungan dengan situasinya. Personal factors didalamnya termasuk intelektual, motivasi, dan personality characteristics. Sedangkan faktor situasi yang ,mempengaruhi stress appraisals,
yaitu:
a. Kejadian yang melibatkan tuntutan yang sangat tinggi dan mendesak sehingga
menyebabkan ketidaknyamanan
b. Life transitions, dimana kehidupan mempunyai banyak kejadian penting yang menandakan berlalunya perubahan dari kondisi atau fase yang satu ke yang lain, dan menghasilkan perubahan substansial dan tuntutan yang baru dalam kehidupan kita.
c. Timing juga berpengaruh terhadap kejadian-kejadian dalam kehidupan kita, dimana apabila kita sudah merencanakan sesuatu yang besar dalam kehidupan
kita dan timing-nya meleset dari rencana semula, juga dapat menimbulkan
stres.
d. Ambiguity, yaitu ketidakjelasan akan situasi yang terjadi
(38)
f. Controllability, yaitu apakah seseorang mempunyai kemampuan untuk
merubah atau menghilangkan stressor. Seseorang cenderung menilai suatu
situasi yang tidak terkontrol sebagai suatu keadaan yang lebih stressful,
daripada situasi yang terkontrol. Ancaman merupakan konsep kunci dalam memahami stress. Lazarus (1986) mengungkapkan bahwa individu yang tidak akan merasakan suatu kejadian sebagai suatu gangguan bila stressor tersebut diinterpretasikan sebagai hal yang wajar. Ancaman adalah suatu penilaian
subjektif dari pengaruh negatif yang potensial dari stressor. Transactions yang
mengarah pada kondisi stres umumnya melibatkan proses assesment yang
disebut sebagai cognitive appraisals (Lazarus & Folkman, 1986). Cognitive
appraisals adalah suatu proses mental, dimana ada dua factor yang dinilai oleh seseorang: (1) apakah sebuah tuntutan mengancam kesejahteraannya dan (2)
resources yang tersedia untuk memenuhi tuntutan tersebut. Menurut Lazarus (1986) ada dua macam penilaian yang dilakukan individu untuk menilai apakah suatu kejadian yang dapat atau tidak menimbulkan stress bagi individu, yaitu:
a) Primary appraisals yaitu penilaian pada waktu kita mendeteksi suatu kejadian yang potensial untuk menyebabkan stress. Peristiwa yang diterima sebagai keadaan stress selanjutnya akan dinilai menjadi 3
akibat yaitu harmloss (tidak berbahaya), threat (ancaman) dan
challenge (tantangan)
b) Secondary appraisals mengarah pada resources yang tersedia pada diri kita atau yang kita miliki untuk menanggulangi stres.
(39)
2.1.2. Reaksi terhadap Stres
a. Aspek Fisiologis Walter Canon (dalam sarafino, 1994) memberikan deskripsi
mengenai bagaiman reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang mengancam.
Ia menyebutkan reaksi tersebut sebagai fight-or-fight response karena respon
fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau menghindari
situasi yang mengancam tersebut. Fight-or-fight response menyebabkan
individu dapat berespon dengan cepat terhadap situasi yang mengancam. Akan
tetapi bila arousal yang tinggi terus menerus muncul dapat membahayakan
kesehatan individu. Selye (dalam Sarafino, 1994) mempelajari akibat yang diperoleh bila stressor terus menerus muncul. Ia mengembangkan istilah
General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri atas rangkaian tahapan reaksi fisiologis terhadap stressor yaitu:
1. Fase reaksi yang mengejutkan ( alarm reaction ) Pada fase ini individu
secara fisiologis merasakan adanya ketidakberesan seperti jantungnya berdegup, keluar keringat dingin, muka pucat, leher tegang, nadi bergerak cepat dan sebagainya. Fase ini merupakan pertanda awal orang terkena stres.
2. Fase perlawanan (Stage of Resistence ) Pada fase ini tubuh membuat
mekanisme perlawanan pada stres, sebab pada tingkat tertentu, stres akan membahayakan. Tubuh dapat mengalami disfungsi, bila stres dibiarkan berlarut-larut. Selama masa perlawanan tersebut, tubuh harus cukup tersuplai oleh gizi yang seimbang, karena tubuh sedang melakukan kerja keras.
(40)
3. Fase keletihan ( Stage of Exhaustion ) Fase disaat orang sudah tak mampu lagi melakukan perlawanan. Akibat yang parah bila seseorang sampai pada fase ini adalah penyakit yang dapat menyerang bagian – bagian tubuh yang lemah.
b. Aspek psikologis Reaksi psikologis terhadap stressor meliputi:
1. Kognisi Cohen menyatakan bahwa stres dapat melemahkan ingatan dan
perhatian dalam aktifitas kognitif.
2. Emosi cenderung terkait stres.individu sering menggunakan keadaan
emosionalnya untuk mengevaluasi stres dan pengalaman emosional (Maslach, Schachter & Singer, dalam Sarafino, 1994). Reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut, phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih dan marah.
3. Perilaku sosial stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang
lain. Individu dapat berperilaku menjadi positif dan negatif (dalam Sarafino, 1994). Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilaku agresif (Donnerstein & Wilson, dalam Sarafino, 1994).
Morris (1998) mengklasifikasikan stressor ke dalam lima kategori, yaitu:
1. Frustasi (Frustration) terjadi ketika kebutuhan pribadi terhalangi dan
seseorang gagal dalam mencapai tujuan yang diinginkannya. frustrasi dapat terjadi sebagai akibat dari keterlambatan, kegagalan, kehilangan, kurangnya sumber daya, atau diskriminasi.
(41)
2. Konflik (Conflicts), jenis sumber stres yang kedua ini hadir ketika pengalaman seseorang dihadapi oleh dua atau lebih motif secara bersamaan.
Morris (1998) mengidentifikasi empat jenis konflik yaitu,:
approach-approach, avoidence-avoidence, approach-avoidence, dan multiple approach-avoidance conflict.
3. Tekanan (Pressure), jenis dari sumber stress yang ketiga yang diakui oleh
Morris, tekanan didefinisikan sebagai stimulus yang menempatkan individu dalam posisi untuk mempercepat, meningkatkan kinerjanya, atau mengubah perilakunya.
4. Mengidentifikasi perubahan (Changes), tipe sumber stres yang keempat ini
seperti halnya yang ada di seluruh tahap kehidupan, tetapi tidak dianggap penuh tekanan sampai mengganggu kehidupan seseorang baik secara positif maupun negative
5. Self-Imposed merupakan sumber stres yang berasal dalam sistem keyakinan pribadi pada seseorang, bukan dari lingkungan. Ini akan dialami oleh seseorang ketika ada tidaknya stres eksternal yang nyata. Morris (1998) juga mengidentifikasikan empat reaksi terhadap stres:
1) Reaksi dari fisiologis terhadap stres menekankan hubungan antara
pikiran dan fisik.
2) Reaksi dari emosional yang diamati dalam reaksi emosional terhadap
stres ini adalah melalui emosi seperti rasa ketakutan, kecemasan, rasa bersalah, kesedihan, depresi atau kesepian.
(42)
3) Reaksi dari kognitif mengacu pada pengalaman individu terhadap stres dan penilaian kognitif yang terjadi dengan penilaiannya mengenai peristiwa stres dan kemudian apa strategi koping yang mungkin paling tepat untuk mengelola stres.
4) Reaksi dari perilaku yang berkaitan dengan reaksi emosional seseorang
terhadap stres yang dapat memberikan reaksi menangis, menjadi kasar kepada orang lain atau diri sendiri dan, penggunaan mekanisme pertahanan seperti rasionalisasi.
2.1.3. Sumber-sumber Stres
Sumber stres dapat berubah seiring dengan berkembangnya individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap saat selama hidup berlangsung. Menurut Sarafino (1994) sumber datangnya stres ada tiga yaitu:
1) Diri individu
Hal ini berkaitan dengan adanya konflik. Menurut Miller dalam Sarafino (2008), pendorong dan penarik dari konflik menghasilkan dua kecenderungan
yang berkebalikan, yaitu approach dan avoidance. Kecenderungan ini
menghasilkan tipe dasar konflik (Sarafino, 1994), yaitu :
a. Approach-approach Conflict
Muncul ketika kita tertarik terhadap dua tujuan yang sama-sama baik. Contohnya, individu yang mencoba untuk menurunkan berat badan untuk meningkatkan kesehatan maupun untuk penampilan, namun konflik sering terjadi ketika tersedianya makanan yang lezat.
(43)
b. Avoidance-avoidance Conflict
Muncul ketika kita dihadapkan pada satu pilihan antara dua situasi yang tidak menyenangkan. Contohnya, pasien dengan penyakit serius mungkin akan dihadapkan dengan pilihan antara dua perlakuan yang akan mengontrol atau menyembuhkan penyakit, namun memiliki efek samping yang sangat tidak diinginkan. Sarafino (2008) menjelaskan bahwa orang-orang dalam menghindari konflik ini biasanya mencoba untuk menunda atau menghindar dari keputusan
tersebut. Oleh karena itu, biasanya avoidance-avoidance conflict ini sangat sulit
untuk diselesaikan.
c. Approach-avoidance Conflict
Muncul ketika kita melihat kondisi yang menarik dan tidak menarik dalam satu tujuan atau situasi. Contohnya, seseorang yang merokok dan ingin berhenti, namun mereka mungkin terbelah antara ingin meningkatkan kesehatan dan ingin menghindari kenaikan berat badan serta keinginan mereka untuk percaya terjadi jika mereka ingin berhenti.
2) Keluarga
Sarafino (2008) menjelaskan bahwa perilaku, kebutuhan, dan kepribadian dari setiap anggota keluarga berdampak pada interaksi dengan orang-orang dari anggota lain dalam keluarga yang kadang-kadang menghasilkan stres. Menurut Sarafino (2008) faktor dari keluarga yang cenderung memungkinkan munculnya stres adalah hadirnya anggota baru, perceraian dan adanya keluarga yang sakit, cacat, dan kematian
(44)
3) Komunitas dan Masyarakat
Kontak dengan orang di luar keluarga menyediakan banyak sumber stres. Misalnya, pengalaman anak di sekolah dan persaingan. Adanya pengalaman-pengalaman seputar dengan pekerjaan dan juga dengan lingkungan dapat menyebabkan seseorang menjadi stres. (Sarafino, 1994)
2.1.4. Gejala Stres
Stres dapat berpengaruh pada kesehatan dengan dua cara. Pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres secara langsung mempengaruhi fisik sistem tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Kedua, secara tidak langsung stres mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Safarino, 1994). Kondisi dari stres memiliki dua aspek : fisik/biologis (melibatkan materi atau tantangan yang menggunakan fisik) dan psikologis (melibatkan bagaimana individu memandang situasi dalam hidup mereka) dalam Sarafino, 1994.
a) Aspek Biologis
Ada beberapa gejala fisik yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres, diantaranya adalah sakit kepala yang berlebihan, tidur menjadi tidak nyenyak, gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan, gangguan kulit, dan produksi keringat yang berlebihan di seluruh tubuh (Sarafino, 1994).
(45)
Ada 3 gejala psikologis yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres. Ketika gejala tersebut adalah gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala tingkah laku (Sarafino, 1994):
1. Gejala kognisi
Gangguan daya ingat (menurunnya daya ingat, mudah lupa dengan suatu hal), perhatian dan konsentrasi yang berkurang sehingga seseorang tidak fokus dalam melakukan suatu hal, merupakan gejala-gejala yang muncul pada aspek gejala kognisi
2. Gejala emosi
Mudah marah, kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu, merasa sedih dan depresi merupakan gejala-gejala yang muncul pada aspek gejala emosi
3. Gejala tingkah laku
Tingkah laku negatif yang muncul ketika seseorang mengalami stres pada aspek gejala tingkah laku adalah mudah menyalahkan orang lain dan mencari kesalahan orang lain, suka melanggar norma karena dia tidak bisa mengontrol perbuatannya dan bersikap tak acuh pada lingkungan, dan suka melakukan penundaan pekerjaan.
2.1.5. Penilaian Kognitif (Cognitive Appraisal)
Setiap orang memiliki perbedaan dalam menghadapi stres. Menurut Lazarus
& Folkman (1984: 31) penilaian kognitif (cognitive appraisal) yaitu merupakan
(46)
yang spesifik atau serangkaian transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan stres. Selain itu kognitif dapat diartikan sebagai suatu proses pengkategorian terhadap stimulus atau situasi yang dihadapi, dengan perhitungan makna serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan seseorang. Penilaian kognitif dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman (1984: 31) terdiri dari penilaian primer
(primary appraisal) dan penilaian sekunder (secondary appraisal). Kedua jenis penilaian ini tidak dapat dipandang sebagai proses yang terpisah karena keduanya saling bergantung dan saling mempengaruhi satu sama lain. Penilaian primer dan sekunder berinteraksi satu sama lain membentuk derajat stres serta kualitas atau kekuatan reaksi emosional sehingga akan membuat situasi semakin kompleks.
1. Penilaian Primer (Primary Appraisal)
Proses ini merupakan suatu proses mental yang berkaitan dengan evaluasi terhadap suatu situasi. Proses ini terjadi untuk menentukan apakah suatu stimulus atau situasi yang dihadapi berada dalam derajat penghayatan tertentu.
2. Penilaian Sekunder (Secondary Appraisal)
Penilaian sekunder adalah keputusan tentang apa yang mungkin dapat dilakukan meliputi evaluasi tentang pilihan strategi pengelolaan yang sesuai dan evaluatif tentang konsekuensi yang akan muncul dalam konteks tuntutan dan hambatan baik yang berasal dari internal maupun eksternal.
(47)
Penilaian kembali menunjukkan pada perubahan penilaian yang terjadi karena didasari oleh masuknya informasi baru, baik informasi yang berasal dari lingkungan maupun informasi yang berasal dari reaksi siswa. Proses penilaian kembali merubah bentuk penilaian yang didasarkan pada informasi baru dari lingkungan atau diperoleh siswa berdasarkan pengalamannya. Beberapa hal yang mendasari pentingnya konsep penilaian kognitif menurut Lazarus dan Folkman (1986: 55) sebagai berikut:
a) Faktor Personal
Ada dua karakteristik individu yang berpengaruh atau menentukan suatu
penilaian kognitif yaitu komitmen (commitment) dan keyakinan (belief).
b) Faktor Situasional Faktor situasional
Faktor situasional yang mempengaruhi penilaian kognitif terbagi menjadi dua faktor yaitu faktor situasional yang potensial dan temporal (Lazarus & Folkman, 1986: 83).
Stress adalah suatu kejadian atau rangsangan (stimulus) dari luar (stressor) yang menyebabkan individu akan merasa tegang. Gejala stress dapat berupa aspek biologis yaitu sakit kepala yang berlebihan, tidur menjadi tidak nyenyak, gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan, gangguan kulit dan produksi keringat yang berlebihan serta aspek psikologis yaitu gejala kognisi, gejala emosi dan gejala tingkah laku..
Ahli saraf Walter Cannon menciptakan istilah homeostasis untuk lebih
(48)
eksperimen, dia menunjukkan respons "fight or flight" yang timbul pada manusia dan binatang ketika terancam. Selanjutnya, Cannon juga mengatakan bahawa reaksi ini juga disebabkan oleh pelepasan neurotransmitters (neurotransmiter adalah bahan kimia dalam tubuh yang membawa pesan ke dan dari saraf) dari kelenjar adrenal, medula. Medula adrenal mengeluarkan dua jenis neurotransmiter, yaitu epinefrin atau disebut sebagai adrenalin dan norepinefrin (noradrenalin), dalam respon terhadap stres. Pelepasan neurotransmiter
menyebabkan efek fisiologis terlihat pada respon "fight or flight", misalnya,
denyut jantung yang cepat, peningkatan kewaspadaan, dan lain-lain. (Nasution I. K., 2007).
Hans Selye, mengatakan bahwa selain daripada respons tubuh, semasa stres kelenjar pituitary juga memainkan peranan. Dia menggambarkan kontrol oleh kelenjar sekresi hormon (misalnya, kortisol) yang penting dalam respon fisiologis terhadap stres dengan bagian lain dari kelenjar adrenal yang dikenal sebagai korteks. Selain itu, Selye sebenarnya memperkenalkan istilah tegangan dari fisika dan rekayasa dan didefinisikan sebagai "respons bersama yang terjadi di setiap bagian tubuh, fisik atau psikologis." (Nasution I. K., 2007). Dalam eksperimennya, Selye menginduksi stres pada tikus dalam berbagai cara. Pada tikus yang terkena tegangan konstan, berlakunya pembesaran kelenjar adrenal, ulkus gastrointestinal dan atrofi sistem imun. (Nasution I. K., 2007)
Stres menyebabkan kelenjar hipotalamus melepaskan hormon adrenalin dan kortisol melalui kelenjar adrenal. Hormon-hormon ini menyebabkan reaksi metabolisme tertentu sehingga tubuh berekasi untuk menghadapi sebuah situasi
(49)
yang penuh tekanan dan tantangan. Reaksi ini meliputi peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan produksi glukosa untuk meningkatkan pasokan energi serta menonaktifkan sementara sistem kekebalan tubuh dan sistem pencernaan. Ini yang mungkin terjadi pada kelompok kontrol apabila tidak penderita tidak diberikan psikoterapi apapun selama dirawat.
Tabel 2.1. Tahapan Stres dan Gejala
Dr. Robert J. Van Amberg (1979, cit. Hawari, 2001) membagi stres atas enam tahap. yaitu :
NO TAHAPAN STRESS TANDA DAN GEJALA
1 Stres tahap – I
Merupakan tahapan stres yang paling ringan
semangat kerja yang berlebihan
(overacting)
penglihatan "tajam" tidak sebagaimana biasanya
merasa senang dengan suatu pekerjaan dan semakin semangat
mengerjakannya, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis bahkan dihabiskan (all out)
rasa gugup yang berlebihan 2 Stres tahap – II
Pada tahap ini dampak stres yang semula menyenangkan mulai menghilang dan mulai timbul keluhan-keluhan karena kekurangan energi yang disebabkan waktu istirahat yang kurang.
merasa letih saat bangun pagi dimana seharusnya pada saat bangun pagi orang merasa segar.
merasa lelah sesudah makan siang
lekas capai menjelang sore hari
jantung berdebar-debar
sering mengalami keluhan pada lambung atau perut (bowel discomfort) otot punggung dan tengkuk terasa tegang
tidak bisa santai 3 Stres tahap – III
Pada tahap ini keluhan yang terjadi semakin nyata dan mengganggu, hal ini diakibatkan karena keluhan yang terjadi pada stres tahap II diabaikan dan orang tetap memaksakan dirinya untuk bekerja.
gangguan pada lambung dan usus
(gastritis dan diare)
ketegangan otot semakin terasa
ketegangan emosional dan rasa tidak
tenang semakin meningkat
gangguan tidur (insomnia)
koordinasi tubuh terganggu (badan terasa lemas dan serasa mau pingsan). Sebaiknya individu yang mengalami stres pada tahap ini, berkonsult dokter untuk memperoleh terapi. Selain itu
(50)
beban stres serta memberi kesempatan tubuh untuk istin menambah suplai energi yang sudah mengalami defisit. 4 Stres tahap – IV
Bila individu yang mengalami stres tahap III dinyatakan sehat oleh dokter yang memeriksanya sehingga individu tersebut terus memaksakan dirinya bekerja tanpa istirahat maka akan timbul gejala stres tahap IV.
Terasa sulit untuk bertahan sepanjang hari
Aktivitas pekerjaan yang semula terasa menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi terasa membosankan dan lebih sulit
Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespon secara ade kuat
Tidak mampu melaksanakan kegiatan
rutin sehari-hari
Gangguan pola tidur disertai mimpi yang menegangkan
Seringkali menolak ajakan karena tidak ada semangat dan gairah
Daya konsentrasi dan daya ingat
menurun
Timbul rasa ketakutan dan kecemasan
yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya
5 Stres tahap – V
Bila keadaan stres terus berlanjut maka individu akan mengalami stres tahap V
Kelelahan fisik dan mental semakin
mendalam
Tidak mampu menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang walaupun ringan dan sederhana
Gangguan sistem pencemaan semakin
parah (gastro-intestinal disorder)
Timbul perasaan ketakutan dan
kecemasan yang semakin meningkat mudah bingung dan panic
6 Stres tahap – VI
Merupakan tahap klimaks dimana individu mengalami panic attack dan perasaan takut mati. Tidak jarang individu yang mengalami stres tahap ini seringkali dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD) meskipun pada akhirnya individu tersebut dipulangkan kembali karena tidak ditemukan kelainan fisik dan organ tubuh.
Jantung berdebar sangat keras
Susah bernapas (sesak dan
megap-megap)
Sekujur badan terasa gemetar, dingin, dan keringat bercucuran
Tidak ada tenaga untuk melakukan hal-hal yang ringan sekalipun
Pingsan dan kolaps
2.2. Reminiscence Therapy
(51)
Menurut Asosiasi Psikologi Amerika adalah suatu penggunaan riwayat hidup baik melalui tulisan, ucapan/lisan ataupun keduanya yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan. Reminiscence therapy pertama
kali diperkenalkan oleh seorang psikiatrik ternama yaitu Robert Butler pada tahun
1960. Reminiscence therapy digunakan dengan tepat seperti menggunakan photo,
music atau benda-benda yang sangat familiar pada masa lalunya, untuk mendorong pasien untuk berbicara mengenai memori mereka sebelumnya. Terapi
ini lebih disarankan kepada orang dewasa yang mempunyai masalah mood atau
masalah memori atau kepada orang yang membutuhkan kesulitan seseorang dalam kesiapan memasuki usia tua.
Menurut Bluck dan Levine (1998, dalam Collings, 2006) reminiscence
adalah proses yang dikehendaki atau tidak dikehendaki untuk mengumpulkan kembali memori-memori seseorang pada masa lalu. Memori tersebut dapat merupakan suatu peristiwa yang mungkin tidak bisa dilupakan atau peristiwa yang sudah terlupakan yang dialami langsung oleh individu. Kemudian memori
tersebut dapat sebagai kumpulan pengalaman pribadi atau “disharingkan” dengan
orang lain. Johnson (2005) mendefenisikan reminiscence adalah proses mengingat
kembali kejadian dan pengalaman masa lalu, dan telah dibentuk sebagai suatu topik utama baik dalam teori maupun aplikasi pada psikogerontologi. Menurut
Fontaine dan Fletcher (2003) reminiscence atau kenangan adalah suatu
kemampuan pada lansia yang dipandu untuk mengingat memori masa lalu dan “disharingkan” (disampaikan) memori tersebut dengan keluarga, kelompok atau
(52)
adalah suatu terapi pada orang yang didorong (dimotivasi) untuk mendiskusikan kejadian-kejadian masa lalu untuk mengidentifikasi keterampilan penyelesaian masa lalu yang telah dilakukan mereka pada masa lalu. Berdasarkan beberapa
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi kelompok reminiscence
adalah suatu terapi yang dilakukan pada penderita secara berkelompok dengan cara memotivasi penderita untuk mengingat kembali kejadian dan pengalaman masa lalu serta kemampuan penyelesaian masalahnya kemudian disampaikan dengan keluarga, teman, kelompok atau staf.
Therapy reminiscence adalah suatu terapi yang ditujukan untuk memulihkan depresi perasaan stress pada pasien. Dalam kegiatan terapi ini, terapis akan membantu pasien yang mengalami stress pada gagal jantung untuk mengingat kembali aspek positif dan hal-hal yang berarti bagi penderita pada masa lalunya. Kemudian terapis juga membantu pasien untuk mengintegrasikan hal positif tersebut dalam kehidupan sehari-hari pada saat ini. Proses ini diharapkan dapat membantu penderita untuk menilai kehidupan yang telah dilaluinya sehingga
penderita dapat merasakan kepuasan atas kehidupannya tersebut. Therapy
reminiscence merupakan hasil langsung dari hipotesis teori life review (Butler, 1963). Terapi ini pada dasarnya menekankan individu untuk merefleksikan kehidupan mereka kembali atau mengulang kembali memori masa lalu. Melalui refleksi ini individu untuk menyelesaikan konflik, mengatasi pengalaman masa lalu yang menyakitkan sehingga individu tersebut mampu menyelesaikan masalah
yang dihadapi saat ini. Therapy reminiscence sangat membantu untuk pribadi
(53)
Reminiscence melibatkan pertukaran memori antara orang tua dengan orang
muda, teman dengan keluarga, caregivers dengan professional, melalui informasi,
kebijaksanaan dan keterampilan. Pada intinya memberikan suatu nilai,
kepentingan, kebersamaan, kekuatan dan damai kepada penderita Alzheimer’s.
Aktivitas therapy reminiscence biasanya digunakan dalam kehidupan kita
sehari-hari. Therapy reminiscence ini kita gunakan untuk mengatasi stress seperti dalam
situasi berduka. Terapi ini membantu mengurangi gambaran diri yang buruk, menciptakan perasaan intim serta memberikan arti yang special ketika berinteraksi dengan orang lain.
Media yang dapat digunakan dalam therapy reminiscence adalah :
1. Secara visual; foto, lukisan yang mengingatkan kejadian masa lalu yang
menyenangkan
2. Musik; menggunakan lagu-lagu yang familiar dari radio, CD, atau
menciptakan musik menggunakan berbagai macam alat musik
3. Melalui indera pengecapan dan penghiduan; menggunakan parfum, makanan
4. Melalui indera peraba; memegang objek tertentu, merasakan tekstur, melukis
dan puisi.
Tipe terapi dan aktivitas reminiscence dapat digunakan oleh individu, kelompok
dan keluarga. Kategori therapy reminiscence dibagi menjadi 3 kategori utama
yaitu:
1. Simple reminiscence.
Terapi ini merupakan refleksi informasi masa lalu dengan cara yang menyenangkan.
(54)
2. Evaluative reminiscence adalah evaluasi masa lalu dan digunakan sebagai pendekatan pemecahan konflik
3. Offensive-defensive reminiscence merupakan kegiatan pengulangan informasi yang tidak menyenangkan dan meningkatkan stress. Keluarga dan teman terdekat dapat memberikan informasi dan subjek penting yang menyedihkan bagi lanjut usia sehingga membutuhkan dukungan yang penuh dari perawat.
Berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti dinyatakan bahwa reminiscence
therapy dapat memberikan kemudahan untuk memperbaiki perasaan depresi dan perasaan kesepian dan meningkatkan kenyamanan psikologi. Penelitian juga
menyokong pandangan bahwa reminiscence therapy termasuk riwayat pekerjaan
dapat meningkatkan hubungan antara orang yang mengalami dementia dan karir mereka dengan cara memberikan keuntungan pada keduanya. Keuntungan lain dilaporkan termasuk peningkatan kesempatan untuk memberikan perawatan secara personal dan individual dan membantu individu untuk bergerak antara perbedaan lingkungan perawatan seperti perawatan dirumah atau diantara perawatan dirumah.
Reminiscence therapy dapat diselenggarakan secara formal atau informal
secara individu, keluarga atau group. Reminiscence therapy menyajikan
perbedaan fungsi psikologi termasuk taxonomy yang diperkenalkan oleh Webster.
Skala fungsi reminiscence yang dibuat Webster’s termasuk delapan alasan kenapa
orang mengingat : penurunan rasa bosan, peningkatan kebencian, persiapan kematian, percakapan, identitas, mempertahankan keintiman, pemecahan masalah,
(55)
reminiscence untuk meningkatkan efek dan kemampuan koping, walaupun keefektifan terapi ini masih diperdebatkan.
Therapy reminiscence merupakan salah satu terapi modalitas yang dapat menurunkan beberapa gangguan kesehatan yang dialami lansia, antara lain lupa ingatan, dimensia, depresi dan kecemasan (Winslow, 2009). Menurut Coaten
(2001) therapy reminiscence atau mengenang suatu kejadian di masa lalu dapat
memberikan rasa nyaman dan tenang tentang apa yang telah terjadi sebelumnya di masa lalu. Pasien diharapkan dapat terlibat aktif dalam berbagi cerita masa lalu
pada suatu kelompok. Selain itu, therapy reminiscence dapat meningkatkan
interaksi sosial penderita dengan orang lain yang menjadi lawan bicaranya.
Reminiscence therapy terdiri dari berbicara, komunikasi dan inklusi pada seorang pasien dengan pasangannya atau group. Terapi ini berguna dalam hubungannya antara 2 (dua) orang atau lebih untuk menstimulus memori manusia yang mempunyai dementia dengan menggunakan isi seperti gambar-gambar dan hal-hal fisik sebagai katalisator dalam merangsang memori. Hal tersebut akan mengirimkan sinyal kepusat informasi, pada pusat perawatan dirumah. Satu
keuntungan utama dari reminiscence therapy adalah bahwa ini adalah merupakan
proses yang informal yang memerlukan latihan yang panjang maupun kualifikasi untuk mengaturnya. Hal ini dapat digunakan pada hal dasar dan dapat juga dikombinasikan dengan terapi yang lain secara personal ataupun sesi grup.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan reminiscence therapy juga
menciptakan ikatan yang lebih kuat antara karir dan tempat tinggal dengan keadaan perawatan dirumah dan memberikan level yang lebih besar dalam
(56)
memahami tentang individu dengan latar belakang demensia. Ini memberikan
transisi yang lebih lembut dan lebih cepat dalam menseting perawatan dirumah
dan dapat juga menolong provider dalam memberikan perawatan dirumah dengan
pendekatan langsung pada pasien.
Reminiscence menunjukkan memori panjang pada masa lampau. Hal ini
sangat familiar pada kita dan dapat dimanfaatkan untuk keuntungan yang lainnya.
Untuk orang dengan penyakit alzheimer akan memberi harapan untuk melakukan
reminiscence yang sangat bermanfaat pada diri mereka sendiri dan kemampuan
interpersonal. Reminiscence mempengaruhi perubahan memori pada orang tua dan
muda, teman dan keluarga, dengan caregiver dan profesional, menyampaikan
informasi, kebijaksanaan dan keahlian. Ini adalah suatu hal yang memberikan
orang dengan penyakit alzheimer akan mempunyai nilai, kepentingan, kasih
sayang, kekuatan dan kedamaian.
Kegiatan reminiscence therapy digunakan secara berkesinambungan pada
kehidupan sehari-hari pada waktu stress seperti saat berkabung, ini juga dapat menurunkan kejadian kecelakaan pada gambaran diri dan dapat mengkreasikan perasaan yang intim dan memberikan arti spesial untuk bersosialisasi dengan
orang lain. Inti kegiatan therapy reminiscence yang berfokus pada eksplorasi
keberhasilan yang pernah dicapai penderita akan sangat mendukung pemulihan stress pada penderita gagal jantung. Dalam proses kegiatan terapi ini tentunya terapi dapat memotivasi dan memfasilitasi penderita untuk mengingat kembali pengalaman keberhasilan atau suka cita yang pernah dialami penderita sehingga menimbulkan perasaan bahagia, senang dan bangga pada saat proses terapi
(57)
berlangsung. Perasaan bahagia dan bangga ini kemudian diintegrasikan dengan kemampuan dan keberhasilan penderita saat ini. Dengan demikian melalui
kegiatan therapy reminiscence ini penderita masih dapat memotivasi dirinya untuk
menimbulkan perasaan bahagia dan bangga dengan diri sendiri sehingga perasaan-perasaan negatif dan kesedihan yang dirasakan dapat menjadi berkurang atau bahkan hilang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chiang, et al., (2009) bahwa
therapy reminiscence dapat menurunkan stress dan perasaan-perasaan negatif pada penderita gagal jantung. Frazer, Christensen dan Griffiths (2005) dalam
penelitian pada 23 orang lansia menyimpulkan therapy reminiscene efektif untuk
menurunkan depresi. Timbulnya perasaan senang dan bangga merupakan upaya untuk meminimalkan tanda dan gejala stress dan depresi. Bohlmeijer (2003; Haight & Burnside, 1993, dalam Ebersole, et al., 2005) menyatakan bahwa
therapy reminiscence dapat menjadi suatu terapi yang efektif untuk gejala stress
dan depresi. Menurut pernyataan Stuart (2009) bahwa therapy reminiscence
digunakan untuk membantu individu mencapai perasaan integritasi, meningkatkan harga diri dan menstimulasi individu untuk berpikir tentang dirinya sendiri dan perawat mempunyai kesempatan untuk memfokuskan, memberikan refleksi dan
penguatan atas perasaan individu terhadap nilai dirinya sendiri. Pada therapy
reminiscence penderita mendapat kesempatan untuk menyampaikan kemampuan positif yang telah dialaminya. Kemampuan positif tersebut dapat berkaitan dengan kegiatan fisik seperti pengalaman bermain pada masa anak-anak, pengalaman rekreasi pada masa remaja dan pengalaman pekerjaan pada masa dewasa. Topik ini dapat mengingatkan kembali akan kemampuan yang pernah dimiliki penderita
(58)
dan barangkali masah ada sebagian kemampuan tersebut yang masih dimiliki penderita sampai saat ini. Selanjutnya dalam proses terapi, terapi dapat
menerapkan konsep caring terhadap penderita. Terapi dapat membantu penderita
untuk menemukan kembali kemampuan-kemampuan yang masih dimiliki oleh
penderita. Hal ini dapat menjadikan therapy reminiscence dapat memulihkan
perasaan ketidakberdayaan dan stress pada penderita gagal jantung. Sesuai dengan pernyataan Fontaine dan Fletcher (2003) diri dan memahami diri serta beradaptasi terhadap stress.
Frisch dan Frisch (2006) menegaskan bahwa therapy reminiscence dilakukan
untuk meningkatkan fungsi kognitif. Peningkatan fungsi kognitif diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penderita untuk menilai kehidupan yang telah dilaluinya khususnya yang berkaitan dengan pengalaman positif sehingga penderita dapat mencapai kepuasan pada hidupnya. Stuart (2009) juga
menegaskan bahwa therapy reminiscence berguna untuk membantu penderita
menstimulasi pikirannya tentang diri sendiri. Dalam proses kegiatan therapy
reminiscence terapi memberikan kesempatan pada penderita untuk melakukan hubungan dan komunikasi dengan orang lain sesama anggota kelompok. Kegiatan ini tentunya dapat memberikan dampak positif pada kemampuan penderita dalam menciptakan hubungan antara interaksi dengan orang lain. Boyd dan Nihart
(1998) menyatakan bahwa therapy reminiscence bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan sosialisasi dan hubungan dengan orang lain dan juga meningkatkan
kemampuan komunikasi. Reminiscence adalah proses mengingat kembali kejadian
(59)
terapi yang memberikan perhatian terhadap kenangan terapeutik pada manusia (Webster, 1999), dalam Collins 2006). Dalam kegiatan terapi ini, terapi akan memfasilitasi penderita untuk mengumpulkan kembali memori-memori masa lalu sejak masa anak, remaja dan dewasa serta hubungan penderita dengan keluarga
kemudian dilakukan sharing dengan penderita lain. Melalui terapi ini diharapkan
penderita akan mengenang kembali masa lalunya yang menyenangkan.
Eriskson (1963, dalam Johnson, 2005) mendefenisikan bahwa kenangan masa lalu akan meningkatkan integritias penerimaan diri dan siklus hidup sebagai sesuatu yang telah terjadi dan apa adanya oleh karena kebutuhan, dikehendaki
tanpa ada penggantian. Therapy reminiscence ini memberikan manfaat untuk
memelihara identitas individu karena penderita akan menggunakan pengalaman masa lalunya untuk mempertahankan pendapatnya dari kritik (Lewis, 1971, dalam Johnson, 2005). Berdasarkan yang telah dilakukan oleh Lewis ini, intervensi
therapy reminscence pada penderita gagal jantung dapat meningkatkan integritas dirinya yang tentunya juga akan meningkatkan harga diri. Peningkatan harga diri pada pasien berarti telah mengeliminasi perasaan tidak berharga dan tidak berguna yang dialaminya.
Life review menurut Butler (1963, dlam Wheeler, 2008) adalah suatu proses “melihat masa lalu” individu dan diobservasi nilai terapeutiknya yang direfleksikan dengan segera pada saat itu juga dan dijadikan sebagai cara penyelesaian masalah saat ini. Wheeler (2008) secara terperinci memberikan
perbedaan therapy reminiscence dan life review yang disajikan dalam tabel
(60)
Tabel 2.2. Perbedaan therapy reminiscence dan life riview
No Kriteria Reminiscence Life Review
1 Sifat Interaksi verbal antara 2
orang atau lebih yang menimbulkan memori
Melibatkan ingatan secara cepat (kilat) dan interaksi yang spontan atau diksusi kelompok dengan tema yang telah difokuskan
Tidak ada evaluasi
kehidupan berfokus pada
memori yang menyenangkan
Berfokus pada
kejadian-kejadian atau pengalaman-pengalaman masa lalu buka kejadian-kejadian sekarang
Dilakukan antara terapi dan
penderita yaitu 1 : 1
Proses mengingat kembali
seluruh kejadian semasa hidup secara berurutan
Daya ingat (recall) harus berisi suatu evaluasi atau analisa komponen untuk persiapan waktu yang akan datang
Mengingat kembali
kejadian-kejadian dan pengalaman-pengalaman masa lalu atau sekarang
2 Kejadian yang diingat kembali
Kedua; waktu bahagia dan sedih
Keduanya; waktu bahagia dan sedih
3 Batasan waktu Tdak ada alokasi waktu
yang spesifik
Biasanya menggunakan 4-6
minggu
4 Tujuan Menurunkan isolasi
Meningkatakan sosialisasi, hubungan dan persahabatan
Meningkatkan harga diri
Meningkatan kepuasan
hidup
Integritas
Meningkatkan harga diri
Menurunkan depresi
Meningkatkan kepuasan hidup
Kedamaian
5 Karakteristik pasien
Lansia dengan kognitif
yang baik dan kerusakan kognitif tingkat ringan dan sedang
Dapat berfokus pada diri
sendiri dan pada orang lain dalam kelompok
Mungkin lebih sulit dalam kelompok reminiscence jika pasien mempunyai banyak kejadian traumatik atau berhati-hati
Kognitif yang baik dan
kerusakan kognitif ringan
Berfokus pada diri sendiri
Biasanya pengalaman yang
mencetuskan kejadian dalam hidup
Dari perbedaan yang dikemukan Wheeler diatas, life review hanya dapat
dilakukan secara individu, penderita harus mempunyai kemampuan untuk menilai atau menganalisa kejadian hidupnya dan tujuan yang dicapai adalah meningkatkan
(61)
harga diri dan menurunkan depresi dan stress. Secara khusus terapi ini belum memberikan kesempatan pada penderita untuk meningkatkan interaksi dengan orang lain, sehingga penyelesaian masalah isolasi sosial belum tentu dapat
tercapai secara optimal. Untuk membedakan terapi ini dari reminiscence, Butler
(1963, dalam Wheeler, 2008) juga mengatakan bahwa life review merupakan
suatu tipe dari therapy reminiscence. Frazer, Christensen dan Griffiths (2005)
menyatakan bahwa life review serupa dengan reminiscence. Reminiscence lebih
mengarah pada kegiatan mengingat kembali kejadian spontan pada masa lalu yang
menyenangkan sedangkan therapy life review lebih terstruktur dan melibatkan
evaluasi tentang kehidupan individu.
Therapy reminiscence merupakan salah satu intervensi keperawatan spesialis yang dapat dilaksanakan secara individu maupun kelompok. Terapi ini lebih
utama ditujukan pada penderita yang mengalami depresi. Therapy reminiscence
yang dilakukan secara kelompok akan lebih memberikan kesempatan kepada sesama pasien untuk saling berbagi pengalaman masa lalu untuk mencapai integritas diri.
2.2.2. Manfaat Therapy Reminiscence
Menurut Fontaine dan Fletcher (2003) therapy reminiscence bertujuan untuk
meningkatkan harga diri dan membantu individu mencapai kesadaran diri dan memahami diri, beradaptasi terhadap stress dan melihat bagian dirinya dalam konteks sejarah dan budaya. Sedangkan menurut Nussbaum, Pecchioni, Robinson
(62)
bertujuan untuk menciptakan kebersamaan kelompok dan meningkatkan keintiman sosial.
Frisch dan Frisch (2006) juga menyatakan bahwa therapy reminiscence
bertujuan untuk meningkatkan harga diri dan sosialisasi. Tujuan lain dilakukannya
therapy reminiscence adalah untuk meningkatkan fungsi kognitif, kemampuan berkomunikasi dan fungsi perilaku (RIPFA, 2006). Boyd dan Nihart (1998) dan Bohlmeijer (2003; Haight & Burnside, 1993, dalam Ebersole, et all., 2005)
menyatakan bahwa therapy reminiscence bertujuan tidak hanya untuk
memberikan pengalaman yang menyenangkan untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga meningkatkan sosialisasi dan hubungan dengan orang lain, memberikan stimulasi kognitif, meningkatkan komunikasi dan dapat menjadi
suatu terapi yang efektif untuk gejala depresi. Terapi kelompok reminiscence
mempunyai potensi untuk menurunkan isolasi sosial, memperbaiki fungsi kognitif dan depresi dan meningkatkan harga diri, perasaan berharga, keterampilan sosial dan kepuasan hidup (Chao, et al., 2006; Lin, et al., 2003), dalam Parese, Simon & Ryan, 2008).
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa therapy reminiscence yang
diberikan pada penderita gagal jantung berguna untuk memotivasi diri penderita dan perasaan yang tidak mempunyai harapan, membantu penderita untuk mencapai kesadaran diri, meningkatkan kemampuan beradaptasi terhadap stress dengan mengadopsi keterampilan penyelesaian maalah dimasa lalu serta
meningkatkan hubungan sosial penderita. Hal ini berarti therapy reminiscence
(63)
dan keputusasaan serta meningkatkan kemampuan sosial penderita dengan orang lain sehingga perasaan ketidakberdayaan, keputusasaan dan isolasi sosial pada penderita gagal jantung dengan stress diharapkan dapat teratasi.
2.2.3. Tipe Therapy Reminiscence
Kennard (2006) mengkategorikan ada 3 tipe utama therapy reminiscence, yaitu :
a. Simple atau Posittive Reminiscence
Tipe ini untuk merefleksikan informasi dan pengalaman serta perasaan yang menyenangkan pada masa lalu. Cara menggali pengalaman tersebut dengan menggunakan pertanyaan langsung yang tampak seperti interaksi sosial
antara penderita dan terapi. Simple reminiscence ini bertujuan untuk
membantu beradaptasi terhadap kehilangan dan memelihara harga diri
b. Evaluative Reminiscence
Tipe ini lebih tinggi dari tingkatan pertama, seperti pada therapy life review
atau pendekatan dalam menyelesaikan konflik
c. Offensive Defensive Reminiscence
Tipe ini dikatakan juga berkala, tidak menyenangkan dan informasi yang tidak menyenangkan. Pada tipe ini dapat menyebabkan atau menghasilkan perilaku dan emosi. Tipe ini juga dapat menimbulkan resolusi terhadap informasi yang penuh konflik dan tidak menyenangkan.
Ketiga tipe tersebut dapat diaplikasikan dalam proses kegiatan therapy
(1)
LAMPIRAN 1
(2)
LEMBAR PERMOHONAN SEBAGAI RESPONDEN
Judul Penelitian : Perbandingan Reminiscence Therapy Dan Problem Solving Therapy Untuk Menurunkan Stress Pada Penderita Gagal Jantung Peneliti : Nixson Manurung
Nomor telepon : 0812.6079.4108
Saya, Nixson Manurung Mahasiswa Program Magister Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara bermaksud mengadakan penelitian untuk menguji perbandingan reminiscence therapy dan problem solving therapy untuk menurunkan stress pada penderita gagal jantung.
Hasil penelitian ini akan direkomendasikan sebagai masukan untuk program pelayanan keperawatan dirumah sakit. Peneliti menjamin bahwa penelitian ini tidak akan menimbulkan dampak negatif bagi siapapun. Peneliti berjanji akan menjunjung tinggi hak-hak responden dengan cara :
1. Menjaga kerahasiaan data yang diperoleh, baik dalam proses pengumpulan data, pengolahan data, maupun penyajian hasil penelitian nantinya
2. Menghargai keinginan responden untuk tidak berpartisipasi dalam penelitian ini Untuk keperluan tersebut saya mohon partisipasi dan kesediaan Bapak/ibu untuk menjadi responden dalam penelitian ini dengan menandatangani lembar persetujuan menjadi responden dan mengisi pernyataan yang diajukan secara jujur sesuai dengan pernyataan yang tertera dalam lembar ceklist yang tersedia.
Demikian permohonan ini, atas partisipasi Bapak/ibu/Saudara/Saudari saya ucapkan terima kasih.
Hormat Saya
(3)
SURAT PERNYATAAN
PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)
UNTUK MENGIKUTI PENELITIAN (INFORMED CONSENT)
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Nama :
Umur : Alamat:
Setelah membaca atau mendapatkan penjelasan dan saya memahami sepenuhnya tentang penelitian,
Judul Penelitian : Perbandingan Reminiscence Therapy Dan Problem Solving Therapy Untuk Menurunkan Stress Pada Penderita Gagal Jantung
Nama Peneliti Utama : Nixson Manurung
Lokasi Penelitian : Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi dan Haji Adam Malik Medan
Dengan ini, saya menyatakan bersedia mengikuti penelitian tersebut secara sukarela sebagai subjek penelitian. Saya berhak mengundurkan diri kapan saja tanpa pengaruh terhadap kinerja saya sebagai perawat.
Medan, April 2014
Subjek
Peneliti
(4)
DATA DEMOGRAFI RESPONDEN (KUESIONER A)
No Responden : Petunjuk Pengisian :
1. Bacalah dengan teliti pertanyaan berikut dibawah ini
2. Jawablah pertanyaan pada tempat yang telah disediakan dengan memberi tanda chek (√ ) pada kolom yang telah disediakan
3. Pada pertanyaan isian, berilah jawaban sesuai isi pertanyaan A. Data Demografi
1. Nama pasien : ……….
2. Usia : ………. tahun
3. Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan 4. Pendidikan terakhir pasien :
Tidak Sekolah SMU
SD Diploma / Perguruan Tinggi SLTP
5. Status Perkawinan :
Belum Kawin Kawin
Janda / Duda Tahun …………..(perkawinan terakhir)
6. Penghasilan :
Pensiun Bantuan Tidak ada 7. Pengalaman kerja dan kapan berhenti kerja
PNS/POLRI/TNI/Veteran Tahun/Usia :…../…… Karyawan Swasta Tahun/Usia :…../…… Wiraswasta (petani,pedagang, dll) Tahun/Usia :…../…… Tidak bekerja Tahun/Usia :…../…… 8. Penyakit fisik yang sedang dialami
Sakit ; ……… lama sakit ……….. Tidak sakit
(5)
No Responden : Petunjuk Pengisian :
1. Bacalah dengan teliti pertanyaan berikut dibawah ini
2. Jawablah pertanyaan pada tempat yang telah disediakan dengan memberi tanda chek (√ ) pada kolom yang telah disediakan
1.
Dalam sebulan terakhir ini, seberapa
sering anda merasa kecewa karena
sesuatu yang tidak diharapkan?
2.
Dalam sebulan terakhir ini, seberapa
sering anda merasakan bahwa anda
tidak dapat mengontrol hal-hal yang
penting dalam hidup anda?
3.
Dalam sebulan terakhir ini, seberapa
sering Anda merasa gelisah dan stress?
4.
Dalam sebulan terakhir ini, seberapa
sering anda berhasil mengatasi
masalah yang anda alami sehari-hari?
5.
Dalam sebulan terakhir ini , seberapa
sering anda dapat menanggulangi
perubahan-perubahan penting yang
terjadi dalam kehidupan anda?
6.
Dalam sebulan terakhir ini, seberapa
sering anda merasa yakin atas
kemampuan anda dalam menangani
masalah pribadi anda?
7.
Dalam sebulan terkahir ini, seberapa
sering anda merasakan hal-hal yang
Tidak
Pernah
0
Hampir
Tidak
Pernah
1
Kadang-kadang
2
Sering
3
Sangat
Sering
4
(Diisi oleh peneliti)(6)
tidak dapat menanggulangi semua hal
yang seharusnya anda lakukan?
9.
Dalam sebulan terkahir ini, seberapa
sering anda mampu mengendalikan
rasa jengkel anda?
10.
Dalam sebulan terakhir ini, seberapa
sering anda menyadari bahwa anda
mengetahui banyak hal?
11.
Dalam sebulan terakhir ini, seberapa
sering anda marah yang disebabkan
oleh sesuatu yang terjadi di luar
kendali anda?
12.
Dalam sebulan terkahir ini, seberapa
sering anda menyadari bahwa anda
sedang memikirkan hal-hal yang harus
anda tuntaskan?
13.
Dalam sebulan terakhir ini, seberapa
sering anda mampu mengatur waktu?
14.
Dalam sebulan terkahir ini, seberapa
sering anda merasakan susah yang
disebabkan oleh masalah yang
menumpuk yang tidak mampu anda
atasi?
15.
SCORE BATAS LEVEL STRESS PENILAIAN
0 – 7 Paling rendah dibawah rata-rata Sangat rendah 8 – 11 Sedikit lebih rendah dibawah rata-rata Rendah
12 – 15 Rata-rata Rata-rata
16 – 20 Sedikit lebih tinggi di rata-rata Tinggi > 21 Paling tinggi diatas rata-rata Paling tinggi