Rational Emotive Behvioural Therapy (REBT) untuk Meningkatkan Kemampuan Regulasi Emosi Remaja Korban Kekerasan Seksual.

(1)

TESIS

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Magister Psikologi Profesi

Oleh

NILA ANGGREINY

117029017

MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI

KEKHUSUSAN KLINIS ANAK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014

DAFTAR ISI


(2)

Halaman HALAMAN JUDUL ...

... i HALAMAN PENGESAHAN ...

... ii HALAMAN PERNYATAAN ...

... iii KATA PENGANTAR ...

... iv DAFTAR ISI ...

... viii DAFTAR TABEL ...

... xi DAFTAR GAMBAR ...

... xii ABSTRAK ...

... xiii

BAB I PENDAHULUAN

A...Latar belakang ...

... 1 B...Perum

usan masalah... ... 8 C...Tujuan

penelitian ... ... 8 D...Manfaa

t penelitian ... ... 8


(3)

E...Sistem atika penelitian...

... 9 BAB II LANDASAN TEORI

A...Regula si Emosi ...

... 11 A.1. Defenisi Regulasi Emosi...

... 11 A.2. Ciri-ciri Regulasi Emosi ...

... 13 A.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi ....

... 14 A.4. Aspek-aspek regulasi emosi...

... 17 A.5. Strategi regulasi emosi ...

... 18 B...Ration

al Emotive Behaviour Therapy(REBT)... ... 19 B.1. Pengertian...

... 19 B.2. Konsep dasar REBT ...

... 19 B.3. Keyakinan Irasional dalam REBT...

... 21 B.4. Tahap pelaksanaan REBT...

... 22 B.5. Teknik dalam REBT...

... 23 C...Kekera

san Seksual pada Remaja ... ... 26 C.1. Defenisi ...

... 26 C.2. Klasifikasi kekerasan sesksual ...

... 27 C.3. Dampak Kekerasan Seksual...


(4)

D...T erapi REBT dalam meningkatkan regulasi emosi pada

remaja korban kekerasan seksual... ... 29 E...Hipote

sa ... ... 33 BAB III METODE PENELITIAN

A...Desain penelitian ...

... 34 B...Variab

el penelitian ... ... 34 C...Defeni

si operasional ... ... 35 D...Subjek

penelitian ... ... 35 E...Alat

ukur penelitian ... ... 36 F...Validit

as dan Reliabilitas alat ukur... ... 37 G...Tahapa

n penelitian ... ... 37 H...Rancan

gan intervensi program intervensi... ... 41 I...Kriteri

a keberhasilan ... ... 42 J...Analisa


(5)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A...Deskri psi subjek penelitian...

... 43 B...Hasil

analisis data ... ... 45 1...Hasil

analisis data secara umum ... ... 46 2...Hasil

analisis data individual ... ... 48 a...Subjek

A ... ... 49 b...Subjek

B ... ... 58 C...Pemba

hasan ... ... 66 1...Pemba

hasan data ... ... 66 2...Kelem

ahan penelitian ... ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A...Kesim pulan ...


(6)

B... Saran-saran ...

... 70 DAFTAR PUSTAKA...

... 71 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(7)

Tabel 3.1 Blue print DERS... 36

Tabel 3.2 Jadwal pelaksanaan intervensi subjek A... 39

Tabel 3.3 Jadwal pelaksanaan intervensi subjek B ... 40

Tabel 3.4 Rancangan intervensi ... 41

Tabel 4.1 Deskripsi subjek ... 43

Tabel 4.2 Perbandingan skor aspek DERS subjek... 47

Tabel 4.3 Perbandingan skor aspek DERS subjek A ... 54

Tabel 4.4 Perbandingan skor aspek DERS subjek B ... 62


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Paradigma penelitian... 32

Gambar 4.1 Perbandingan skor subjek ... 46

Gambar 4.2 Perbandingan skor aspek DERS subjek... 47

Gambar 4.3 perbandingan skor subjek A... 49

Gambar 4.4 Perbandingan skor aspek DERS subjek A ... 54

Gambar 4.5 Dinamika Subjek A... 57

Gambar 4.6 Perbandingan skor subjek B... 58

Gambar 4.7 Perbandingan skor aspek DERS subjek B ... 60


(9)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Februari 2014

Nila Anggreiny : 117029017

Rational Emotive Behvioural Therapy (REBT)untuk Meningkatkan Kemampuan Regulasi Emosi Remaja Korban Kekerasan Seksual.

X + 73 halaman; 2014, 8 tabel Bibliografi : 35 (1990-2013)

Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimen yang bertujuan menguji pengaruh terapi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) untuk meningkatkan regulasi emosi pada remaja korban kekerasan seksual. REBT adalah terapi kognitif yang bertujuan untuk mengatasi masalah emosi dan perilaku dengan mengubah pikiran irasional menjadi rasional. Perbedaan kemampuan regulasi emosi dilihat dengan menggunakan skala Difficulties in Emotion Regukation Scale (DERS) yang mengungkap Difficulties engaging in goal direct behaviour, impulse control difficulties, non-accept of emotional responses, lack of awareness, limited access to emotion regulation strategies, lack of emotional clarity.


(10)

Partisipan dalam penelitian adalah dua orang remaja korban kekerasan seksual yang mengalami kesulitan dalam regulasi emosi. Pengukuran regulasi emosi dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Analisa data yang digunakan adalah dekriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh

REBT untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi. Pada kedua subjek, aspek

strategy mengalami peningkatan yang menunjukkan subjek mulai mampu menemukan cara dalam meregulasi emosi. Pada subjek A kelima aspek yang lain juga mengalami perubahan namun tidak terlalu banyak. Subjek B mengalami perubahan lebih baik untuk semua aspek. Perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola asuh, pengaruh teman sebaya.

Kata kunci : regulasi emosi, rational emotive behavioural therapy, kekerasan seksual.

ABSTRACT

Faculty of Psychology, University of Sumatera Utara February 2014

Nila Anggreiny : 117029017

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) to Improve the Regulation Emotion in Adolescent Victim of Sexual Abuse

X + 73 pages; 2014, 8 tables Bibliography: 35 (1990-2013)

This study ia a pre-experimental research that aimed to examine the effect of therapy Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) in improving emotion regulation in young victims of sexual abuse. Emotion regulation ability differences seen using Difficulties in Emotion Regulation Scale (ders) that reveals Difficulties engaging in goal direct behaviour, impulse control difficulties, non-accept of emotional responses, lack of awareness, limited access to emotion regulation strategies, lack of emotional clarity. REBT is cognitive therapy that aims to address the emotional and behavioral problems by changing irrational


(11)

Participants in the study were two young victims of sexual violence who have difficulties in emotion regulation. Measurement of emotion regulation performed before and after treatment. Analysis of the data used is descriptive qualitative. The results of this study indicate that there is the effect of REBT to improve emotion regulation. On both subjects, aspects of the strategy to increase the subject shows begin to find ways to regulate emotions. On the subject of A, another fifth aspect is also changing, but not too much. Subject B experienced a change for the better all aspects. This difference is influenced by several factors such as parenting, peer influence.


(12)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Februari 2014

Nila Anggreiny : 117029017

Rational Emotive Behvioural Therapy (REBT)untuk Meningkatkan Kemampuan Regulasi Emosi Remaja Korban Kekerasan Seksual.

X + 73 halaman; 2014, 8 tabel Bibliografi : 35 (1990-2013)

Penelitian ini merupakan penelitian pra-eksperimen yang bertujuan menguji pengaruh terapi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) untuk meningkatkan regulasi emosi pada remaja korban kekerasan seksual. REBT adalah terapi kognitif yang bertujuan untuk mengatasi masalah emosi dan perilaku dengan mengubah pikiran irasional menjadi rasional. Perbedaan kemampuan regulasi emosi dilihat dengan menggunakan skala Difficulties in Emotion Regukation Scale (DERS) yang mengungkap Difficulties engaging in goal direct behaviour, impulse control difficulties, non-accept of emotional responses, lack of awareness, limited access to emotion regulation strategies, lack of emotional


(13)

Partisipan dalam penelitian adalah dua orang remaja korban kekerasan seksual yang mengalami kesulitan dalam regulasi emosi. Pengukuran regulasi emosi dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Analisa data yang digunakan adalah dekriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh

REBT untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi. Pada kedua subjek, aspek

strategy mengalami peningkatan yang menunjukkan subjek mulai mampu menemukan cara dalam meregulasi emosi. Pada subjek A kelima aspek yang lain juga mengalami perubahan namun tidak terlalu banyak. Subjek B mengalami perubahan lebih baik untuk semua aspek. Perbedaan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola asuh, pengaruh teman sebaya.

Kata kunci : regulasi emosi, rational emotive behavioural therapy, kekerasan seksual.

ABSTRACT

Faculty of Psychology, University of Sumatera Utara February 2014

Nila Anggreiny : 117029017

Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) to Improve the Regulation Emotion in Adolescent Victim of Sexual Abuse

X + 73 pages; 2014, 8 tables Bibliography: 35 (1990-2013)

This study ia a pre-experimental research that aimed to examine the effect of therapy Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) in improving emotion regulation in young victims of sexual abuse. Emotion regulation ability differences seen using Difficulties in Emotion Regulation Scale (ders) that reveals Difficulties engaging in goal direct behaviour, impulse control difficulties, non-accept of emotional responses, lack of awareness, limited access to emotion regulation strategies, lack of emotional clarity. REBT is cognitive therapy that aims to address the emotional and behavioral problems by changing irrational thoughts into rational.


(14)

Participants in the study were two young victims of sexual violence who have difficulties in emotion regulation. Measurement of emotion regulation performed before and after treatment. Analysis of the data used is descriptive qualitative. The results of this study indicate that there is the effect of REBT to improve emotion regulation. On both subjects, aspects of the strategy to increase the subject shows begin to find ways to regulate emotions. On the subject of A, another fifth aspect is also changing, but not too much. Subject B experienced a change for the better all aspects. This difference is influenced by several factors such as parenting, peer influence.


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Regulasi Emosi merupakan sebuah proses secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Selain itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif. Seseorang yang mampu meregulasi emosinya dengan baik akan mendapatkan dampak positif bagi kesehatan fisik, tingkah laku dan hubungan sosial ( Gross, 2007).

Menurut Thomson (dalam Siener & Kerns, 2012) regulasi emosi melibatkan proses intrinksik dan eksktrinsik dimana di dalamnya ada proses evaluasi, memonitoring dan merubah respon emosi terhadap suatu kejadian. Individu yang dikatakan memiliki regulasi emosi yang baik adalah jika bisa memiliki kendali diri, hubungan interpersonal yang baik, bersikap hati-hati, mudah menyesuaikan diri, toleransi yang tinggi terhadap frustasi, dan memiliki pandangan positif terhadap dirinya dan lingkungan (Golman, 2004).

Kemampuan regulasi emosi seseorang juga bisa dilihat dari beberapa aspek seperti kemampuan individu menemukan cara yang dapat mengurangi emosi negatif (strategy), kemampuan individu untuk tidak terpengaruh dengan emosi negatif (goals), kemampuan individu untuk mengontrol emosi (impulse),


(16)

serta kemampuan individu untuk menerima peritistiwa yang menimbulkan emosi negative (acceptance).

Beberapa penelitian menunjukkan kejadian traumatis bisa menyebabkan seseorang menunjukkan regulasi emosi yang tidak efektif seperti dalam mengeskpresikan emosi yang tidak tepat (Boden, 2013). Kesulitan dalam regulasi

emosi bisa meningkatkan simtom-simtom PTSD (Post Traumatic Stress

Disorder). Munculnya perilaku internalizingdan externalizing juga berhubungan dengan kemapuan seseorang dalam meregulasi emosinya (Bowie, 2010). Korban kekerasan seksual serta korban maltreatmen yang lain menunjukkan perubahan regulasi emosi yang sangat hebat.

Kekerasan seksual merupakan salah satu bentuk peristiwa traumatis. Saat ini penelitian menunjukkan kekerasan seksual pada anak dan remaja menjadi masalah yang sangat mengkhawatirkan. Kasus kekerasan anak yang terus meningkat salah satunya adalah kekerasan seksual. Di Indonesia menurut Sirait dari Komisi Nasional Perlindungan Anak sebanyak 2.637 kasus kekerasan yang menimpa anak di bawah terjadi di sepanjang tahun 2012. Di mana 48 persen atau 1.075 merupakan korban kekerasan seksual. Kemudian 82 persen korban berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Di Sumatera Utara berdasarkan data yang dihimpun oleh yayasan Pusaka Indonesia Medan yang merupakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang fokus terhadap perlindungan anak dan wanita melaporkan terdapat 131 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang sebagian besar korban berada pada rentang usia remaja. Sedangkan pada tahun


(17)

Menutut Hopper (2005) data statistik hanya menunjukkan “tip of iceberg” ujung dari batu es karena dalam kenyataannya banyak korban kekerasan seksual yang belum terdata dengan baik . Sulitnya memperoleh data yang akurat karena: (a) batasan pengertian seksual pada anak cukup beragam dan dipengaruhi oleh sudut pandang, (b) data yang diperoleh juga mencakup data pengalaman orang dewasa di masa kecil mereka, sementara kemampuan mengingat relatif terbatas, dan (c) data yang diperoleh hanya berdasarkan laporan kasus, padahal masih banyak yang tidak dilaporkan.

Kekerasan seksual adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti: rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan sebagainya, pada diri orang yang menjadi korban. Menurut Wahid dan Irfan (dalam Abu Hurairah, 2007) kekerasan seksual merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Menurut Disney (dalam Ellsworth, 2007) kekerasan seksual adalah menggunakan anak sebagai alat seksual oleh seseorang yang mempunyai kekuatan lebih besar dari pada anak. Kekuatan ini bisa berupa usia, status mental secara verbal, fisik dan emosi.

Semua pihak berkeyakinan bahwa semua anak kelahirannya diinginkan, direncanakan dan, oleh karena itu, masa depannya akan sangat diperdulikan. Indonesia menunjukkan kenyataan pahit, sebagian dari anak-anak tersebut


(18)

mengalami berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan penelantaran. Pada tahun 2003 sekretaris Jendral PBB menugaskan perwakilannya di seluruh dunia untuk melakukan kajian mengenai kekerasan terhadap anak. Hasil yang dilaporkan pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah masalah global, di semua negara yang terlibat, anak-anak mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti hukuman fisik, pemaksaan kerja atau eksploitasi dalam berbagai pekerjaan yang berbahaya (pertambangan, sampah, seks komersial, perdagangan narkoba, dan lain- lain), diskriminasi, perkawinan dini, dan pornografi.

Kekerasan terhadap anak dan remaja yang terjadi di sekitar kita tidak saja dilakukan oleh pihak luar tetapi juga dilakukan oleh keluarga sendiri yakni orang tua. Kasus-kasus kekerasan yang menimpa anak dan remaja, tidak saja terjadi di perkotaan tetapi juga di pedesaan. Sementara itu, para pelaku kekerasan, 68 % dilakukan oleh orang yang dikenal anak, termasuk 34 % dilakukan oleh orangtua kandung sendiri (Hakim, L, 2008). Studi yang dilakukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur bekerja sama dengan UNICEF ( dalam Hurairah, 2007) mengungkapkan pelaku biasanya adalah orang yang sudah dikenal korban, baik tetangga, saudar, kerabat atau bahkan kakek atau ayah kandung. Ini juga didukung oleh data yang dikumpulkan oleh Yayasan Pusaka Indonesia menunjukkan bahwa pelaku diantaranya teman, pacar, tetangga, orang tua tiri/kandung, kakek, sepupu, abang ipar dan guru, namun ada juga yang dilakukan oleh orang yang tidak dikenal, aparat dan orang baru dikenal.


(19)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wordes & Nunner (2002) rentang usia remaja awal hingga dewasa pada tingkatan usia remaja lebih sering menjadi korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual pada remaja bisa terjadi di rumahdan, di sekolah dan di lokasi lainnya. Berdasarkan jenis kelamin remaja putri lebih rentan tujuh kali dibandingkan remaja laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. Remaja yang hidup dijalan lebih rentan dari pada remaja yang memiliki keluarga.

Kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa yang menjadi korban (Ellsworth, 2007). Secara umum peristiwa tersebut bisa menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang yang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000, Wirawan dalam Ayuningrum, 2008 ). Dampak fisik dari kekerasan seksual biasanya terjadi dalam jangka pendek seperti luka fisik, pusing, letih, gangguan tidur, akit pencernaan, kehilangan nafsu makan atau keluhan vagina. Dampak psikis dari kekerasan seksual terjadi dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Korban kekerasan seksual dapat menunjukkan respon tertunda yang belum muncul memasuki tahap perkembangan berikutnya. Keluhan yang biasanya muncul: mimpi buruk, kecemasan berpisah yang tidak sesuai dengan usianya, depresi, keluhan psikosomatis, malu untuk kesekolah atau mengalami kesulitan untuk belajar. Mereka juga mengalami gangguan sosial dan emosional seperti rendah diri, menarik diri, merasa tidak mempunyai harapan, tidak berdaya, keinginan bunuh diri, tidak dapat mencintai, tidak riang dan marah.


(20)

Putnam (2003) memaparkan anak dan remaja yang mengalami kekerasan seksual ada yang menunjukkan karakteristik: a). Memiliki masalah dalam regulasi perasaan dan emosinya seperti pikiran bunuh diri, mengontrol marah, b) Dalam hal hal kesadaran, c) Bermasalah dalam persepsi diri seperti merasa malu, bersalah dan tidak berdaya, d) Masalah hubungan dengan orang lain seperti menarik diri, tidak percaya, e) Gangguan somatis.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan permasalahan yang dialami oleh anak dan remaja korban kekerasan seksual dapat berupa perilaku maupun emosi. Menurut Taylor & Chemtob ( dalam Normala, 2012) dampak psikologis akibat kekerasan seksual tidak hanya dirasakan sesaat setelah kekerasan terjadi , namun hingga berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Perlu dilakukan tritmen yang jelas untuk bisa meningkatkan kondisi psikologisnya menjadi lebih baik. Menurut Gill (1996) tretmen ada remaja yang mengalami kekerasan seksual juga harus memperhatikan beberapa dimensi perkembangan mereka seperti emosi, perilaku dan proses berpikir.

Salah satu teknik terapi yang melihat hubungan antara emosi, pikiran dan perilaku adalah REBT (Rational Emotif Behaviour Therapy). Konsep dasar dari REBT adalah emosi dan perilaku merupakan hasil dari proses kognitif. Gangguan emosi berasal dari adanya kesalahan dalam berfikir terhadap suatu kejadian. Kesalahan dalam proses berfikir menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran yang irasional yang tidak masuk akal, menyalahkan diri sendiri serta menimbulkan masalah emosi. Contohnya pada orang yang depresi disebabkan adanya perasaan


(21)

adanya timbul pikiran ada yang mengancam diri atau karena tingkat toleransi terhadap frustasi yang rendah (Ress, 2006). Selanjutnya, Ellis (dalam Corey, 2006) juga mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi pada individu akan direaksi sesuai dengan cara berpikir atau sistem keperecayaannya. Jadi konsekuensi reaksi yang dimunculkan seperti sedih, senang, marah, frustasi bukanlah akibat peristiwa yang dialami individu melainkan dari cara berpikirnya.

Menurut Ellis (dalam Corey, 1996), REBT dapat digunakan dalam mengatasi berbagai masalah seperti Conduct Disorder, agresi, kecemasan, perilaku distruktif, ADHD, self-esteem yang rendah, pikiran-pikiran yang irasional, general anxietydan prestasi akademik yang rendah.

Formulasi yang dipakai dalam terapi REBT adalah A-B-C-D-E, yaitu

antecedent, belief, emotional consequence, desputing dan effect. Efek adalah keadaan psiklogis yang diharapkan terjadi pada klien setelah menjalani terapi. Melalui terapi klien diarahkan dapat memiliki dimensi psikologis yang utuh dan sehat, dapat mengarahkan dirinya ke arah yang lebih positif, berpikir flesibel serta dapat menerima keadaan dirinya secara keseluruhan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah apakah terapi Rational Emotive Behaviour Therapy

(REBT) efektif dalam meningkatkan regulasi emosi pada remaja korban kekerasan seksual.


(22)

C. Tujuan Penelitian C.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh terapi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) untuk meningkatkan regulasi emosi pada remaja korban kekerasan seksual.

C.2. Tujuan Khusus

Menguji pengaruh terapi Rational Emotive Behaviour Therapy(REBT) untuk

meningkatkan regulasi emosi pada aspek Acceptance, Goal, Strategydan Impulse

pada remaja korban kekerasan seksual.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : D. 1. Manfaat teoritis penelitian

a. Penelitian ini diharapkan menjadi masukkan dan sumber informasi bagi disiplin ilmu psikologi terutama di bidang psikologi anak, khususnya

mengenai gambaran efektivitas terapi REBT pada remaja korban

kekerasan seksual

D. 2. Manfaat praktis penelitian

a. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan dasar pengetahuan dan masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lanjutan mengenai terapi REBT dan regulasi emosi.


(23)

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi atau bahan pertimbangan bagi berbagai pihak yang ingin menerapkan terapi REBT pada remaja korban kekerasan seksual.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah:

Bab I Pendahuluan : dalam bab ini berisikan uraian mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan pustaka : dalam bab ini diuraikan beberapa teori yang digunakan dalam penelitian yaitu regulasi emosi, terapi REBT dan kekerasan seksual.

Bab III Metode penelitian : dalam bab ini diuraikan tentang pendekatan yang digunakan dalam penelitian, metode pengumpulan data, subjek dan lokasi penelitian, prosedur penelitian, tahap pelaksanaan penelitian dan metode analisis data.

Bab IV Pelaksanaan dan Hasil Penelitian

Berisikan pelaksanaan intervensi, hasil penelitian serta pembahasan hasil penelitian efektivitas penerapan terapi REBT terhadap remaja korban kekerasan seksual. Selanjutnya akan dibahas pula tentang keterbatasan penelitian.


(24)

Bab V Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan akan dibahas pula tentang bagaimana implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan dan penelitian.


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Regulasi Emosi

A.1 Definisi Regulasi emosi

Regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi fisiologis, kognisi yang berhubungan dengan emosi, dan reaksi yang berhubungan dengan emosi (Shaffer, 2005).

Sementara itu, Gross (2007) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah strategi yang dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Selain itu, seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif.

Sedangkan menurut Gottman dan Katz (dalam Wilson, 1999) regulasi emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Walden dan Smith (dalam


(26)

Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie 2000) menjelaskan bahwa regulasi emosi merupakan proses menerima, mempertahankan dan mengendalikan suatu kejadian, intensitas dan lamanya emosi dirasakan, proses fisiologis yang berhubungan dengan emosi, ekspresi wajah serta perilaku yang dapat diobservasi.

Thompson (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie 2000) mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan.

Aspek penting dalam regulasi emosi ialah kapasitas untuk memulihkan kembali keseimbangan emosi meskipun pada awalnya seseorang kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakannya. Selain itu, seseorang hanya dalam waktu singkat merasakan emosi yang berlebihan dan dengan cepat menetralkan kembali pikiran, tingkah laku, respon fisiologis dan dapat menghindari efek negatif akibat emosi yang berlebihan (Sukhodolsky, Golub & Cromwell dalam Gratz & Roemer, 2004).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara berpikir seseorang, dan respon emosi (ekspresi wajah, tingkah laku dan nada


(27)

suara) serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakan.

A.2. Ciri-ciri regulasi emosi

Individu dikatakan mampu melakukan regulasi emosi jika memiliki kendali yang cukup baik terhadap emosi yang muncul. Kemampuan regulasi emosi dapat dilihat dalam lima kecakapan yang dikemukakan oleh Goleman (2004), yaitu :

a. Kendali diri, dalam arti mampu mengelola emosi dan impuls yang merusak dengan efektif.

b. Memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain. c. Memiliki sikap hati-hati.

d. Memiliki adaptibilitas, yang artinya luwes dalam menangani perubahan dan tantangan.

e. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi.

f. Memiliki pandangan yang positif terhadap diri dan lingkungannya.

Menurut Martin (2003) ciri-ciri individu yang memiliki regulasi emosi ialah :

a. Bertanggung jawab secara pribadi atas perasaan dan kebahagiaannya.

b. Mampu mengubah emosi negatif menjadi proses belajar dan kesempatan untuk berkembang.

c. Lebih peka terhadap perasaan orang lain. d. Melakukan introspeksi dan relaksasi.


(28)

f. Tidak mudah putus asa dalam menghadapi masalah.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang dapat melakukan regulasi emosi ialah memiliki kendali diri, hubungan interpersonal yang baik, sikap hati-hati, adaptibilitas, toleransi terhadap frustasi, pandangan yang positif, peka terhadap perasaan orang lain, melakukan introspeksi dan relaksasi, lebih sering merasakan emosi positif daripada emosi negatif serta tidak mudah putus asa.

A.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi

Bbeberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan regulasi emosi seseorang, yaitu :

a. Usia.

Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya usia seseorang dihubungkan dengan adanya peningkatan kemampuan regulasi emosi, dimana semakin tinggi usia seseorang semakin baik kemampuan regulasi emosinya. Sehingga dengan bertambahnya usia seseorang menyebabkan ekspresi emosi semakin terkontrol (Maider dalam Coon, 2005). Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya lansia memiliki kemampuan regulasi emosi yang semakin baik.

b. Jenis Kelamin.

Beberapa penelitian menemukan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam mengekspresikan emosi baik verbal maupun ekspresi wajah sesuai


(29)

mengekspresikan emosi sedih, takut, cemas dan menghindari mengekspresikan emosi marah dan bangga yang menunjukkan sifat

maskulin. Perbedaan gender dalam pengekspresian emosi dihubungkan

dengan perbedaan dalam tujuan laki-laki dan perempuan mengontrol emosinya. Perempuan lebih mengekspresikan emosi untuk menjaga hubungan interpersonal serta membuat mereka tampak lemah dan tidak berdaya. Sedangkan laki-laki lebih mengekspresikan marah dan bangga untuk mempertahankan dan menunjukkan dominasi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa wanita lebih dapat melakukan regulasi terhadap emosi marah dan bangga, sedangkan laki-laki pada emosi takut, sedih dan cemas (Fischer dalam Coon, 2005).

c. Religiusitas.

Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005).

d. Kepribadian.

Orang yang memiliki kepribadian ‘neuroticism’ dengan ciri-ciri sensitif,

moody, suka gelisah, sering merasa cemas, panik, harga diri rendah, kurang dapat mengontrol diri dan tidak memiliki kemampuan coping yang efektif terhadap stres akan menunjukkan tingkat regulasi emosi yang rendah (Cohen & Armeli dalam Coon, 2005).


(30)

e.Pola Asuh.

Beberapa cara yang dilakukan orang tua dalam mengasuh anak dapat membentuk kemampuan anak untuk meregulasi emosinya. Parke (dalam Brenner & Salovey, 1997) mengemukakan beberapa cara orang tua mensosialisasikan emosi kepada anaknya diantaranya melalui: pendekatan tidak langsung dalam interaksi keluarga (antara anak dengan orang tua);

teknik teaching dan coaching; dan mencocokkan kesempatan dalam

lingkungan. f. Budaya.

Norma atau beliefyang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat mempengaruhi cara individu menerima, menerima, menilai suatu pengalaman emosi, dan menampilkan suatu respon emosi. Dalam hal regulasi emosi apa yang dianggap sesuai atau culturally permissible dapat mempengaruhi cara seseorang berespon dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam cara ia meregulasi emosi.

g.Tujuan dilakukannya regulasi emosi (Goals).

Merupakan apa yang individu yakini dapat mempengaruhi pengalaman, ekspresi emosi dan respon fisiologis yang sesuai dengan situasi yang dialami (Gross, 1999).

h.Frekuensi individu melakukan regulasi emosi (Strategies).

Merupakan seberapa sering individu melakukan regulasi emosi dengan berbagai cara yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan (Gross, 1999).


(31)

Jikatraitkepribadian yang dimiliki seseorang mengacu pada apa yang dapat individu lakukan dalam meregulasi emosinya (Gross, 1999).

A.4. Aspek-aspek regulasi emosi

Menurut Gross (2007) ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :

a. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.

b. Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.

c. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat.

d. Acceptance of emotional response (acceptance)ialah kemampuan individu untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut.


(32)

A.5. Strategi regulasi emosi

Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi emosi. Menurut Gross (2007) regulasi emosi dapat dilakukan individu dengan banyak cara, yaitu:

a. Situation selection

Suatu cara dimana individu mendekati/menghindari orang atau situasi yang dapat menimbulkan emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang lebih memilih nonton dengan temannya daripada belajar pada malam sebelum ujian untuk menghindari rasa cemas yang berlebihan.

b. Situation modification

Suatu cara dimana seseorang mengubah lingkungan sehingga akan ikut mengurangi pengaruh kuat dari emosi yang timbul. Contohnya, seseorang yang mengatakan kepada temannya bahwa ia tidak mau membicarakan kegagalan yang dialaminya agar tidak bertambah sedih.

c. Attention deployment

Suatu cara dimana seseorang mengalihkan perhatian mereka dari situasi yang tidak menyenangkan untuk menghindari timbulnya emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang menonton film lucu, mendengar musik atau berolahraga untuk mengurangi kemarahan atau kesedihannya.

d. Cognitive change

Suatu strategi dimana individu mengevaluasi kembali situasi dengan mengubah cara berpikir menjadi lebih positif sehingga dapat mengurangi


(33)

pengaruh kuat dari emosi. Contohnya, seseorang yang berpikir bahwa kegagalan yang dihadapi sebagai suatu tantangan daripada suatu ancaman.

B. Terapi Rational Emotive Behaviour Therapy(REBT)

B 1. Pengertian

Rational Behaviour Emotive Therapy (REBT) merupakan suatu pendekatan yang mempunyai asumsi bahwa kognisi, emosi dan perilaku mempunyai interaksi satu sama lain dan mempunyai hubungan sebab akibat. Asumsi dasar dari REBT adalah setiap orang mempunyai kontribusi terhadap masalah psikologis mereka sendiri yang merupakan hasil dari intepretasi mereka terhadap situasi dan kejadian. Menurut Gonzalez & Nelson (2004) REBT merupakan suatu pendekatan kognitif dan perilaku yang dihasilkan bukan berasal dari kejadian yang dialami namun dari keyakinan – keyakinan yang tidak rasional. Keyakinan yang tidak rasional akan membawa individu pada emosi dan perilaku negatif yang tidak sehat.

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan REBT merupakan suatu metode yang menggunakan pendekatan kognitif dalam mengatasi masalah emosi dan perilaku yang berasal dari keyakinan yang irrasional.

B. 2 Konsep Dasar Terapi Rational Emotive Behaviour Therapy(REBT)

Terapi REBT menggunakan konsep ABC yaitu Activiting event(A), Belief

(B) dan Emotion consequence (C). penjabran dari masing-masing komponen adalah sebagai berikut (Corey, 2006):


(34)

a. Activating event (A) adalah peristiwa, fakta, perilaku atau sikap orang lain yang terjadi di dalam maupun di luar diri individu. b. Belief (B) adalah keyakinan dan nilai individu terhadap suatu

peristiwa. Keyakinan terdiri atas dua bagian yaitu: pertama, keyakinan rasional (rB) yang merupakan keyakinan yang tepat, masuk akal dan produktif. Kedua, keyakinan irasional (iB) yang merupakan yang salah, tidak masuk akal, emosional dan tidak produktif.

c. Emotional consequence (C) adalah konsekuensi emosional baik berupa senang atau hambatan emosi yang diterima individu sebagai akibat reaksi dalam hubungannya dengan antecedent event (A). konsekuensi emosional ini bukanlah akibat langsung dari A, tetapi juga B baik dipengaruhi oleh iB maupun rB individu.

Ellis (dalam Corey, 2006) juga menambahkan bahwa setelah konsep

A-B-C maka menyusul desputing(D) yang merupakan penerapan metode ilmiah untuk

menantang keyakinan irasional. Desputing(D) merupakan dari proses terapi yang dijalankan m1oleh konselor dan klien melalui proses edukatif, dimana konselor menunjukkan berbagai prinsip logika dan dapat diuji kebenarannya untuk menyanggah keyakinan irasional klien. Setelah melakukan disputing diharapkan akan muncul filisofi rasional yang baru dan efektif (E). bila berhasil melakukan proses tersebut akan muncul perasaan atau emosi yang baru (F).


(35)

B.3. Keyakinan Irasional dalam REBT

Munculnya berbagai masalah dalam REBT disebabkan karena adanya pikiran yang irasioanal. Ada beberapa bentuk pikiran yang irasioanl dalam REBT diantaranya:

1. Demands

Pada tipe ini orang sering mengekspresikan keyakinannya yang rigid dalam bentuk harus, mutlak harus.

2. Awfulizing/catastrophizing

Keyakinan ini timbul bila seseorang tidak mendapatkan apa yang ia inginkan maka ia akan menyimpulkan kejadian tersebut sangat menyakitkan, sangat buruk.

3. Low frustration tolerance

Keyakinan ini timbul bila seseorang tidak mendapatkan apa yang ia inginkan maka ia akan menyimpulkan kejadian tersebut sangat berat, ia sudah tidak tahan lagi.

4. Self, other and life-depreciation beliefs

Bila seseorang tidak mendapatkan apa yang ingin didapatnya dan ia membuat atribut terhadap dirinya bahwa ia telah gagal, ia tidak menyukai dirinya.


(36)

B.4. Tahapan Pelaksanaan Rational Emotive Behaviour Therapy(REBT)

Menurut Dryden & Branch (2008) ada tiga tahapan yang harus dilaksanakan terapis dalam pelaksanaan terapi, antara lain:

a. Fase awal

Tugas dasar terapis dalam fase ini adalah menajalin hubungan yang terapetik dengan klien. Konsep dasar yang harus dikembangkan adalah; 1. Mendorong klien untuk menceritakan masalahnya

2. Memberikan gambaran tentang REBT kepada klien 3. Mulai menetapkan masalah klien.

4. Menerangkan tentang konsep ‘ABCs daam REBT

5. Mengatasi keraguan klien

b. Tahap pertengahan

Pada tahapan ini proses disputting dimulai dan pada tahapan ini terapis bisa memberikan tugas kepada klien untuk membantu mereka

mengembangkan kemampuan disputing dan menemukan cara agar

berfikir lebih rasional.

Kosep dasar yang harus dikembangkan dalam tahap ini adalahl 1. Menindak lanjuti target dari masalah.

2. Mendorong klien untuk mengerjakan tugas-tugas yang mendukung. 3. Mengidentifias dan merubah keyakinan irasional klien.

4. Mengatasi hambatan untuk berubah dari klien


(37)

c. Tahap penutup

Tugas utama terapis ketika kan mengakhiri terapi adalah meminta persetujuan dengan klien untuk mengakhiri terapi dengan cara yang terbaik. Beberapa ha yang perlu diperhatikan diantaranya;

1. Memutuskan kapan dan bagaimana mengakhiri terapi.

2. Mendorong klien untuk menyimpulkan apa yang telah dipelajari. 3. Memberikan penghargaan terhadap peningkatan yang dicapai klien. 4. Mengatasi hambatan dalam mengakhiri terapi.

5. Klien setuju untuk melakukan follow up dan menyimpulkan hasil terapi.

B.5. Teknik-teknik yang digunakan dalam REBT

Rational Emotive Behavior Therapy dalam proses terapinya menggunakan beberapa teknik yang bervariasi baik dengan teknik kognitif, behavioral, maupun afektif. Berikut beberapa teknik yang bisa dipakai di dalam pelaksanaan REBT (Corey, 2006):

a. Teknik kognitif

Beberapa teknik kognitif yang biasa digunakan antara lain;

1. Disputting irasional belief

Metode kognitif yang palin umum adalah disputing iraional belief dari klien dan mengajarkan mereka bagaimana menantang pikiran mereka sendiri. Terapis menantang irasional belief mereka dengan menanyakan beberapa pertanyaan seperti apa bukti dari keyakinan


(38)

anda tersebut?, dimana buktinya anda tidak bias menghadapi situasi terebut?, akankah menjadi malapetaka besar apa yang anda bayangkan terjadi?

2. Tugas Rumah

Klien diharapkan membuat daftar masalahnya, mencari keyakinannya yang absolute dan dispute belief. Tugas rumah yang diberikan berisikan penerapan dari teori A – B – C untuk berbagai masalah yang dihadapinya shari-hari. Klien didorong untuk mengambil resiko dari sebuah situasi yang akan menantang batas bawah dari beliefnya. 3. Mengubah bahasa yang digunakan

REBT berpendapat bahwa bahasa yang tidak tepat merupakan salah satu yang merusak proses berpikir. Klien belajar bahwa “ harus,” seharusnya” bias diganti dengan “lebih disuka”. Bukan mengatakan “ itu akan benar-benar mengerikan jika……”, mereka bisa belajar dengan mengatakan “itu akan menjadi tidak menyenangkan jika….” 4. Menggunakan humor.

Ellis menggunakan humor sebagai salah satu cara dalam menyerang pikiran yang terlalu berlebihan yang akan menimbukan masalah dengan klien.


(39)

b. Teknik emotif

Praktisi REBT menggunakan prosedur yang bervariasi diantaranya:

1. Rational-emotive imagery

Teknik ini merupakan suatu bentuk latihan mental untuk membentuk pola emosi yang baru. Klien membayangkan dirinya sedang berpikir, merasakan dan berperilaku persis seperti pikiran, perasaan dan perilaku mereka dalam kehidupan nyata.

2. Role Playing

Di dalam bermain peran terdapat dua komponen yaitu komponen perilaku dan emosi. Terapis sering melakukan interupsi untuk menunjukkan kepada klien apa yang mereka ceritakan tentang dirinya yang akan menimbulkan masalah terhadap dirinya dan apa yang bisa mereka kerjakan untuk mengubah perasaan mereka yang tidak sesuai.

3. Shame-attacking exercise

Latihan ini dikembangkan untuk membantu mengurangi rasa malu yang irasional. Kita bisa menolak rasa malu dengan kuat dengan cara mengatakan pada diri kita sendiri Poin utama dari latihan ini adalah klien berlatih untuk tidak mau ketika yang lain tidak menyetujui mereka

4. Use of force and vigor

Klien mengarahkan dirinya dengan untuk mengekspresikan keyakinan yang tidak rasional dan secara paksa menentangnya.


(40)

c. Teknik Behavioristik

REBT juga menggunakan banyak teknik behavioritik dalam proses terapi.

Teknik yang digunakan contohnya operant conditioning,

self-management, systematic densitilization, relakasasi dan modeling, melakukan hal yang menyenangkan.

C. Kekerasan Seksual Pada Remaja C. 1. Definisi kekerasan Seksual

Sexual abuse adalah setiap bentuk perilaku yang memiliki muatan seksual yang dilakukan seseorang atau sejumlah orang namun tidak disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat negatif, seperti rasa malu, tersinggung, terhina, marah, kehilangan harga diri, kehilangan kesucian, dan sebagainya pada diri orang yang menjadi korban (Tricket, Noll & Putnam, 2011). Sedangkan menurut Wahid da Irfan (dalam Abu Huraiah, 2007) istilah ini menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Briere (dalam Bautista, 2001) menambahkan semua kontak seksual dengan anak meskipun anak tidak mengerti.

Kilgore (dalam Murphy, 2001) mengatakan sexual abuse pada anak adalah kekerasan seksual yang dapat mencakup kontinum perilaku seksual dari paparan alat kelamin melalui kontak fisik invasif seperti penetrasi pada anus atau vagina. Kekerasan seksual pada anak dan remaja biasanya melibatkan orang dewasa,


(41)

dengan otoritasnya dapat melakukan pemaksaan kepada si anak untuk melakukan aktivitas seksual. Selanjutnya perilaku memberikan berbagai ancaman ataupun bujukan kepada korbannya agar tidak buka mulut kepada siapapun (Malchiodi, dalam Murphy, 2001).

Berdasarkan pemaran diatas dapat disimpulkan kekerasan seksual adalah segala bentuk aktivitas aktivitas seksual yang dilakukan oleh lain dimana perilaku tersebut tidak diharapkan oleh korban.

C.2. Klasifikasi Kekerasan Seksual

Menurut Resna dan Darmawan (dalam Hurairah, 2007), kekerasan seksual dapat dibagi atas tiga kategori yaitu perkosaan, incestdan eksploitasi. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Perkosaan

Pelaku tindakan perkosaan biasanya pria. Perkosaan seringkali terjadi dengan diawali terlebih dahulu dengan ancaman. Jika korban diperiksa dengan segera setelah pemerkosaan, maka akan ditemukan bukti fisik seperti air mani, darah dan luka memar. Apabila kasus perkosaan dengan kekerasan terjadi kepada anak, akan menimbulkan resiko besar karena perkosaan sering berdampak pada tidak stabilnya emosi anak.

b. Inces

Inces didefinisikan sebagai hubungan seksual atau aktivitas seksual antara individu yang mempunyai hubungan dekat, dimana perkawinan diantara mereka


(42)

dilarang oleh hukum maupun kultur. Inces biasanya terjadi dalam kurun waktu yang lama dan sering menyangkut suatu proses terkondisi.

c. Eksploitasi

Eksploitasi seksual meliputi prostitusi dan pornografi. Pada beberapa kasus khususnya prostitusi ikut terlibat di dalamnya seluruh anggota keluarga seperti ibu, ayah dan anak-anaknya. Hal inimerupakan situasi patologi dimana kedua orangtua sering terlibat kegiatan seksual bersama dengan anak-anaknya dan mempergunakan anak-anak untuk prostitusi dan pornografi. Eksploitasi anak-anak membutuhkan intervensi dan penanganan yang banyak secara psikiatri.

C.3. Dampak Kekerasan Seksual

Faulkerner (dalam Zahra, R,P, 2007) memaparkan kekerasan seksual cenderung menimbulkan dampak traumatis baik pada anak maupun dewasa. Dampak lain yang biasa muncul pada anak yang mengalami kekerasan seksual dapat menimbulkan kecemasan, depresi, citra diri yang buruk, isolasi, ledakan kemarahan dan permusuhan kepada orang lain. Rini ( dalam Zahra, 2007) mengatakan secara spesifik dampak kekerasan seksual pada anak dapat digolongkan dalam masalah relasional, emosional, kognisi dan perilaku. Kekerasan seksual juga akan mengakibatkan gejala khas dari PTSD (Finkelhor et al., Murphy, 2001).

Bagley dan Ramsay (dalam Christopher & Kathleen, 2004) menambahkan bahwa dampak lain dari kekerasan seksual pada anak-anak adalah adanya


(43)

diri sendiri. Selain itu, anak-anak yang mengalami kekerasan seksual juga berdampak pada perasaan marah. Ekspresi kemarahan dilakukan dalam berbagai bentuk variasi. Mereka menginternalisasi kemarahan tersebut pada diri sendiri yang berakibat depresi dan menyakiti diri sendiri atau mengeksternalisasi kemarahan dengan perilaku agresif terhadap orang lain. Beberapa penelitian menunjukkan kejadian traumatis bisa menyebabkan seseorang menunjukkan regulasi emosi yang tidak efektif seperti dalam mengeskpresikan emosi yang tidak tepat (Boden, 2013).

Putnam (2003) memaparkan anak dan remaja yang mengalami kekerasan seksual ada yang menunjukkan karakteristik: a). Memiliki masalah dalam regulasi perasaan dan emosinya seperti pikiran bunuh diri, mengontrol marah, b) Dalam hal hal kesadaran, c) Bermasalah dalam persepsi diri seperti merasa malu, bersalah dan tidak berdaya, d) Masalah hubungan dengan orang lain seperti menarik diri, tidak percaya, e) Gangguan somatic.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan dampak kekerasan seksual diantaranya berupa emosi, prilaku dan kognitif. Gangguan emosi seperti pada regulasi emosi, kecemasan. Malu, marah. Gangguan perilaku seperti menarik diri dari lingkungan, agresi sedangkan gangguan kognitif seperti merasa rendah diri, tidak berdaya.


(44)

D. Terapi REBT dalam Meningkatkan Regulasi Emosi pada Remaja yang Mengalami Kekerasan Seksual

Masa remaja merupakan masa transisi yang ditandainya dengan banyaknya perubahan yang terjadi baik dari dalam maupun luar individu itu sendiri. Banyak peristiwa yang nantinya akan berpengaruh secara signifikan terhadap keberfungisan remaja itu sendiri seperti perubahan fisik, kognitif, emosional, perilaku dan sosial. Sangat disayangkan ada remaja yang menjadi korban kekerasna seksual. Kekerasan seksual merupakan peristiwa traumatik yang dialami remaja dan akan memberikan dampak yang serius bagi remaja. Remaja bisa mengalami masalah dalam perkembangan seperti masalah relasional, masalah emosi, kecemasan, masalah kognisi, masalah perilaku. Beberapa penelitian menunjukkan kejadian traumatis bisa menyebabkan seseorang menunjukkan regulasi emosi yang tidak efektif seperti dalam mengeskpresikan emosi yang tidak tepat (Boden, 2013). Kesulitan dalam regulasi emosi bisa

meningkatkan simtom-simtom PTSD (Post Traumatic Stress Disorder).

Munculnya perilaku internalizing dan externalizing juga berhubungan dengan kemapuan seseorang dalam meregulasi emosinya (Bowie, 2010). Korban kekerasan seksual serta korban maltreatmen yang lain menunjukkan perubahan regulasi emosi yang sangat hebat.

Regulasi emosi dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya adalah memilih situasi, memodifikasi situasi, mengalihkan perhatian dan mengubah kognitif. Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan


(45)

kesalahan dalam menilai situasi. Berdasarkan konsep dasar dari REBT emosi dan perilaku merupakan hasil dari proses kognitif. Gangguan emosi berasal dari adanya kesalahan dalam berfikir terhadap suatau kejadian. Kesalahan dalam proses berfikir menyebabkan timbulnya pikiran-pikiran yang irasional yang tidak masuk akal, menyalahkan diri sendiri serta menimbulkan masalah emosi.


(46)

Paradigma Penelitian

Gambar 1.1. Paradigma Penelitian Keterangan:

: menyebabkan

: diberikan perlakuan REBT Kekerasan seksual terhadap

remaja

Gangguan kognitif, fisik, emosi, sosial dan seksual

Kesulitan dalam Regulasi Emosi

Pemberian terapi REBT

Kemampuan regulasi emosi meningkat

Irational Belief: - Awfulizing

- Low frustration tolerance

- Demands

- Self, other and life-depreciation beliefs

-Rational Belief Kognitif:

- Disputing irrational belief

- Tugas rumah

Behavioristik: - Self

management

- reward

Emotif: - Rational

emotive


(47)

F. Hipotesa Penelitian

Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada pengaruh terapi REBT untuk meningkatkan regulasi emosi pada remaja korban kekerasan seksual.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pra eksperimen menggunakan desain penelitian desain pre-test/post-test (A-B-A design). Desain ini dapat mengukur suatu perubahan pada suatu situasi, fenomena, isu, masalah, atau sikap dan merupakan desain yang sesuai untuk menelaah efektivitas dari suatu program. Kedua pengukuran tersebut (pre-test dan post-test) akan dibandingkan untuk melihat adanya pengaruh dari intervensi yang dilakukan terhadap regulasi emosi pada remaja korban kekerasan seksual.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Penelitian ini meliputi dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbul dan berubahnya variabel terikat, sedangkan variabel terikat adalah variabel yang mengalami perubahan akibat adanya variabel bebas. Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah:

a. Variabel terikat : Regulasi Emosi

b. Variabel bebas : Terapi Rational Emotive Behaviour Therapy


(49)

C. Definisi Operasional Penelitian

a. Regulasi Emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengelola emosinya baik positif dan negative dimana di dalamnya terdapat proses monitoring, evaluasi dan mengubah respon emosi terhada suatu kejadian yang akan diukur dengan menggunakan skala evaluasi diri yaitu Difficulties in Emotion Regulation Scale (DERS). Skala ini terdiri dari aitem yang berkaitan dengan ketidak mampuan seseorang memahami respon dari emosi, kesulitan dalam menentukan tujuan, kesulitan dalam mengontrol impuls, kurangnya kesadaran terhadap emosi, keterbatasan dalam strategi regulasi emosi dan kurang dalam memahami emosi.

b. Terapi REBT adalah suatu terapi kognitif yang bertujuan untuk mengatasi masalah emosi dan perilaku karena adanya keyakinan yang tidak rasional. REBT dilakukan dalam tiga fase yaitu fase awal, fase pertengahan dan fase akhir dengan kegiatan disputing irrational belief, tugas rumah, pemberian reward, rational emotive imagery dimana keseluruhan terapi terdiri dari 16 sesi (Dyren, 2008).

D. Subjek penelitian

D.1. Teknik pemilihan subjek penelitian

Subjek penelitian adalah remaja korban kekerasan seksual. Anak tidak sedang menjalani terapi apapun. Jenis sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu sampel dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Adapun karateristik subyek penelitian adalah:


(50)

- Anak berusia 11- 18 tahun

- Korban kekerasan seksual

- Memiliki kesulitan dalam regulasi emosi ( skor DERS > 132)

E. Alat Ukur Penelitian

E.1. Difficulties in Emotion Regulation Scale (DERS)

Difficulties in Emotion Regulation Scale (DERS); Gratz, K.L. & Roemer, L, 2004) merupakan skala untuk mengukur kesulitan dalam regulasi emosi pada anak, remaja dan orang dewasa. Skala ini terdiri dari 36 aitem; 5 aitem berkaitan dengan tidak mampu memahami respon dari emosi, 5 aitem yang berhubungan dengan kesulitan dalam menentukan tujuan, 6 aitem berkaitan dengan kesulitan dalam mengontrol impuls, 6 aitem berkaitan dengan kurangnya kesadaran terhadap emosi, 8 aitem berkaitan dengan keterbatasan dalam strategi regulasi emosi dan 5 aitem berkaitan dengan kurang dalam memahami emosi. DERS berbentuk skala Likert dengan mulai dari 1 (0-10%)= tidak pernah, 2 ( 11-35% ) = kadang-kadang, 3 (36-65%) = hampir setengah waktu, 4 (66-90%) = sering dan 5 (91-100%) = selalu. Kategori skala terdiri dari : Tinggi ≥ 132, sedang: 88≤. X < 132, Tinggi ≥ 132.

Table 3.1 Blue print DERS

Kategori Nomor aitem

Tidak mampu memahami respon dari emosi

11, 12, 21, 23, 25, 29

Kesulitan dalam menentukan tujuan 13, 18, 20, 26, 33

Kesulitan dalam mengontrol impuls 3, 14, 19, 24, 27, 32


(51)

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

F.1. Difficulties in Emotion Regulation Scale (DERS)

DERS memiliki konsistensi internal reliabilitas alpha sebesar 0.84-0.93 serta test-retest reliabilitas sebesar 0.57-0.93. Pada penelitian ini DERS yang digunakan diadaptasi dalam Bahasa Indonesia oleh peneliti. Peneliti melakukan

expert judgement pada alat ukur dengan meminta pendapat yang pertama dari bidang sastra inggris kemudian dari bidang psikologi. Kemudian peneliti juga melakukan uji coba skala dengan subjek yang mempunyai kriteria sama dengan sampel penelitian.

G. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu: a. Tahap persiapan penelitian

Peneliti melakukan sejumlah persiapan untuk melangsungkan penelitian mengenai program intervensi pada remaja korban kekerasan seksual yang mengalami hambatan dalam regulasi emosi . Pertama, peneliti melakukan studi literatur dengan mencari, mengumpulkan, membaca teori dan hasil penelitian tentang regulasi emosi. Berdasarkan teori, hasil penelitian dan informasi yang didapat maka peneliti memutuskan untuk melakukan intervensi dengan program

Rational Emotive Behaviour Therapi . Selanjutnya peneliti mencari alat ukur yang dapat digunakan dan mencari subjek penelitian. Seleksi subjek dilakukan peneliti dengan cara mendatangi beberapa LSM di kota Medan. Peneliti kemudian


(52)

meminta persetujuan dari subyek dan orang tua subyek untuk melakukan observasi dan meminta kesediaan subjek untuk menjadi klien dalam penelitian ini. Pada saat prapenelitian juga dilakukan penyusunan modul REBT yang mengacu kepada tahapan-tahapan pelaksanaan REBT oleh Dryden dan Branch (2008). Modul dirancang dengan menggunakan tiga teknik yang digunakan dalam REBT yaitu kognitif, behavioristik. Teknik kognitif yang digunakan adalah konsep A-B-C serta pemberian tugas rumah. teknik behavioristik yang digunakan dictraction techniques seperti membaynagkan hal yang menyenangkan, relax dengan mendengarkan music, visualisai “STOP”.

Setelah penyusunan modul dilakukan uji coba untuk mendapatkan gambaran mengenai waktu yang akan dibutuhkan untuk setiap sesinya serta mengetahui apakah subjek penelitian memahami materi dan instruksi yang disampaikan. Uji coba hanya bersifat kualitatif artinya tidak dengan kondisi sebenarnya. Berdasarkan evaluasi ada beberapa hal yang diperbaiki untuk menyempurnakan modul, yaitu:

1. Penambahan waktu di semua sesi.

2. Penambahan sesi membedakan pikiran irasional dan rasional. Subjek belum bisa memahami dengan tepat apa yang dimaksud dengan pikiran irasional/negatif sehingga peneliti menambahkan sesi membedakan pikiran irasional/negatif dengan pikiran rasional/positif


(53)

b. Tahap pelaksanaan penelitian

Program ini direncanakan akan dilakukan dalam 16 sesi selama 8 hari. Berikut adalah jadwal pelaksanaan intervensi pada masing-masing subjek penelitian.

Table 3.2 Jadwal pelaksanaan intervensi pada subjek A Perte

muan

Hari/ tanggal

Sesi Kegiatan Waktu

I 2 januari

2014

1 Perkenalan dan memunculkan

keinginan klien untuk berubah

60menit

II 3 januari

2014

2 Penjelasan meode ABCs dalam REBT 70 menit

3 Membedakan pikiran, perasaan dan

perilaku

40 menit

III 4 januari

2014

4 Identifikasi A-B-C 90 menit

IV 6 januari

2014

5 Hubungan A-B-C 60 menit

6 Membedakan keyakinan irasional dan

tidak irasional

50 menit

V 7 januari

2014

7 Menghilangkan keyakinan irasional (D) 60 menit

8 Menjelaskan metode dalam mengelola

emosi dan perilaku pada REBT

60 menit 8-9

januari 2014

9 Tugas Rumah penerapan metode

mengelola emosi dan perilaku

2 hari

VI 10

januari 2014

10 Pembahasan tugas rumah 30 menit

11 Mengenal emosi sehat dan tidak sehat 40 menit

12 Psikoedukasi regulasi emosi dan

strategi regulasi emosi

60 menit 11-12

januari

13 Tugas rumah penerapan REBT dalam

berbagai masalah

2 hari

VII 13

januari 2014

14 Mendiskusikan tugas rumah, filosofi

serta emosi dan perilaku baru yang muncul

90 menit

15 Membuat persetujuan untuk

mengakhiri terapi serta peserta menyimpulkan apa yang telah dipelajari selama terapi

50 menit

VIII 14

januari 2014


(54)

Table 3.3 Jadwal pelaksanaan intervensi pada subjek B Perte

muan

Hari/ tanggal

Sesi Kegiatan Waktu

I 2 januari

2014

1 Perkenalan dan memunculkan

keinginan klien untuk berubah

60menit

II 3 januari

2014

2 Penjelasan meode ABCs dalam REBT 70 menit

3 Membedakan pikiran, perasaan dan

perilaku

40 menit

III 4 januari

2014

4 Identifikasi A-B-C 100

menit

IV 6 januari

2014

5 Hubungan A-B-C 60 menit

6 Membedakan keyakinan irasional dan

tidak irasional

50 menit

V 7 januari

2014

7 Menghilangkan keyakinan irasional (D) 60 menit

8 Menjelaskan metode dalam mengelola

emosi dan perilaku pada REBT

60 menit 8-9

januari 2014

9 Tugas Rumah penerapan metode

mengelola emosi dan perilaku

2 hari

VI 10

januari 2014

10 Pembahasan tugas rumah 30 menit

11 Mengenal emosi sehat dan tidak sehat 40 menit

12 Psikoedukasi regulasi emosi dan

startegi regulasi emosi

60 menit 11-12

januari

13 Tugas rumah penerapan REBT dalam

berbagai masalah

2 hari

VII 13

januari 2014

14 Mendiskusikan tugas rumah, filosofi

serta emosi dan perilaku baru yang muncul

90 menit

15 Membuat persetujuan untuk

mengakhiri terapi serta peserta menyimpulkan apa yang telah dipelajari selama terapi

60 menit

VIII 14

januari 2014

16 Post test 30 menit

c. Tahap Evaluasi

Evaluasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melihat ada atau tidaknya perubahan pada regulasi emosi yang dialami oleh masing-masing


(55)

dan evaluasi kualitatif. Evaluasi kuantitatif dilihat dari perbedaan nilai subjek penelitian pada Difficulties in Emotion Regulation Scale(DERS) saat pre-testdan

post-test. Selain itu dilakukan juga evaluasi hasil wawancara kepada subjek dan orang tua untuk memperoleh gambaran mengenai karakteristik dan perilaku subjek antara sebelum dan setelah intervensi dilakukan.

H. Rancangan intervensi

Pada bagian ini, peneliti menguraikan gambaran kegiatan yang dilaksanakan pada seluruh sesi intervensi.

Table 3.4 Rancangan Intervensi

Pertemuan Sesi Kegiatan Tujuan

terapeutik Waktu

I 1 Perkenalan dan memunculkan

keinginan klien untuk berubah

Perubahan filosofi

60 menit

II

2 Penjelasan meode ABCs dalam

REBT

Perubahan filosofi

60 menit

3 Membedakan pikiran, perasaan dan

perilaku

Perubahan filosofi

50 menit

III 4 Identifikasi A-B-C Perubahan

filosofi

90 menit

IV

5 Hubungan A-B-C Perubahan

filosofi

50 menit

6 Membedakan keyakinan irasional

dan tidak irasional

Perubahan filosofi

50 menit

V

7 Menghilangkan keyakinan irasional

(D) Perubahan filosofi 60 menit 8

Menjelaskan metode dalam

mengelola emosi dan perilaku pada REBT

Perubahan perilaku

60 menit

9 Tugas Rumah penerapan metode

mengelola emosi dan perilaku

Perubahan perilaku 2 hari (120 menit) VI

10 Pembahasan tugas rumah Perubahan

perilaku

30 menit

11 Mengenal emosi sehat dan tidak

sehat

Perubahan filosofi

30 menit


(56)

12 Psikoedukasi regulasi emosi dan strategi regulasi emosi

Perubahan filosofi

60 menit

13 Tugas rumah penerapan REBT

dalam berbagai masalah

Perubahan filosofi dan perilaku 2 hari (120 menit) VII 14

Mendiskusikan tugas rumah,

filosofi serta emosi dan perilaku baru yang muncul

Perubahan filosofi dan perilaku 90 menit 15

Membuat persetujuan untuk

mengakhiri terapi serta peserta menyimpulkan apa yang telah dipelajari selama terapi

Perubahan perilaku

50 menit

VIII 16 Post test 30

menit Total waktu terapi

16 jam 20 menit

I. Kriteria Keberhasilan Program Intervensi

kriteria keberhasilan dari program intrvensi ini adalah terjadinya peningkatan regulasi emosi yang dapat terlihat dari:

1. Terjadinya penurunan skor subjek yang teerlihat dari penurunan skor DERS.

2. Terjadi perubahan kemampuan dalam meregulasi emosi yang dapat dilihat dari perubahan perilaku yang didapat dari hasil wawancara.

J. Analisa Data

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu dengan melihat perbedaan skor skala DERS dan hasil wawancara


(57)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi subjek penelitian

Subjek penelitian ini berjumlah dua orang. Adapun gambaran umum subyek penelitian dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.

Tabel 4.1. Deskripsi subjek

Deskripsi Subjek A Subjek B

Usia 15 tahun 15 tahun

Anak ke 1 / 4 2 / 3

Pendidikan Kelas 1 SMA Kelas 1 SMA

Pelaku kekerasan seksual

Orang yang tidak

dikenal Pacar

Sosial ekonomi Atas Menengah

Kemampuan regulasi

emosi Rendah Rendah

1. Subjek A

Subjek A merupakan anak pertama dari empat bersaudara dengan kapasitas IQ berada ada taraf rata-rata. Ayah dan ibunya bekerja sebagai wiraswasta. Ayahnya berjualan diluar kota. Setiap kamis malam berangkat dan baru pulang hari minggu. Sedangkan ibunya membuka toko di dekat rumahnya. Ayah dan ibu menerapkan pola asuh yang berbeda. Ayah dengan sistem otoriter dan ibu permisif. Permintaan A cenderung dituruti.


(58)

A mengalami kekerasan seksual ketika sedang di rumah temannya. A diberi minuman dan kemudian tidak sadarkan diri. Pelaku kekerasan seksual adalah seorang bapak atau dikenal dengan sebutan

tubang. A dijual oleh temannya kepada pelaku. Dua bulan pertama setelah terjadi kekerasan seksual A cenderung mengurung diri dikamar, tidak mandi dan melakukan kegiatan apapun. Orang tua juga melarang A untuk bergaul dengan teman-temannya. Namun empat bulan setelah kejadian A perilaku A mulai tidak terkendali. A mulai bergaul dengan teman-teman yang kurang baik. Anak-anak yang putus sekolah, suka kekaroke hingga malam dan ada juga yang memakai sabu. Emosi A semakin tidak terkendali juga. Bila marah dengan nada tinggi, membentak, membanting dan bahkan memukul meja. Terkadang A juga tidak pulang ke rumah. A lebih senang bergaul dengan teman seperti itu dari pada dengan teman-teman sekolahnya karena ia merasa berbeda dengan teman-teman sekolahnya yang dianggapnya anak baik.

2. Subjek B

B merupakan remaja berusia 15 tahun anak kedua dari tiga bersaudara dengan IQ berada pada taraf rata-rata. Ayah B bekerja sebagai guru dan ibunya adalah ibu rumah tangga.B lebih dekat dengan ayahnya. Dalam berkomunikasi ayah sering mengajak diskusi. Sedang ibu, B mempunyai pandangan ibu yang suka marah.


(59)

B merupakan korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh pacarnnya sendiri. Sebagaiman kebanyakan remaja B juga ingin punya pacar. Menurut pandangan B punya pacar bisa senang-senang seperti jalan-jalan, bercerita. B tidak pernah membayangkan pacarnya akan melakukan hal tersebut. Kekerasan sekssual yang dialami B terjadi tidak hanya sekali. Pertama dalam keadaan tidak sadar setelah B diberi minum. Setelah kejadian B diancam oleh pacarnya untuk tidak bercerita kepada orang lain. Kalau B bercerita ia bisa nekat mengancam keluarga B. setelah kejadian tersebut B mulai menjaga jarak, namun pelaku mulai memndekati B lagi dan berjanji akan berubah. Kejadian berikut terjadi ketika pelaku memaksa B, ketika B menolak B ditampar dan dipukul.

Setelah kejadian B mengalami perubahan sikap di rumah. B mulai suka melamun, marah dengan tidak terkontrol dan bahkan sampai sakit bila ada berita yang berhubungan dengan kekerasan jantung B berdetak kencang, tanganya mulai berkeringat sehingga orang seksual tuanya curiga. B berterus terang dengan kedua orang tua tentang apa yang terjadi. Kejadian tersebut membuat orang tua B juga merasa kecewa. Ayah dan ibu juga sering sakit.

B. Hasil analisis data

Perbedaan hasil pretest dan posttes dilihat dengan menggunakan analisa deskriptip kualitatif dengan membandingkan skor skala hasil analisis data kelompok masing-masing subjek saat pretesdan posttest.


(60)

1. Hasil Analisa data secara umum

0 20 40 60 80 100 120 140 160

Pret est Post t est

S

K

o

r

D

E

R

S

Pengukuran

Subjek A Subjek B

Gambar 4.1. Gambar Perbandingan Skor Subjek

Grafik 4.1 menunjukkan ada penurunan skor total DERS antara

prettes dan posttes baik pada subjek A maupun subjek B yang menunjukkan kesulitan dalam meregulasi emosi pada subjek A dan B mulai berkurang dalam arti kemampuan regulasi emosinya meningkat. Skor subjek A sebelum pelaksaan terapi adalah 152 (kategori tinggi) dan setelah pelaksanaan terapi menjadi 113 (kategori sedang) yang mengalami penurunan sebesar 39 point. Pada subjek B juga terjadi penurunan skor DERS, sebelum pelaksanaan terapi 133 (kategori tinggi) menjadi 56 (kategori rendah) setelah pelaksanaan terapi dimana A mengalami penurunan skor sebesar 77 skor. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan ada pengaruh REBT terhadap peningkatan


(61)

Tabel 4.2. Perbandingan Skor Aspek DERS Subjek

Aspek

Subjek A Subjek B

Pre-Test

Post-Test

Penurunan skor

Pre-Test

Post-test

Penurunan skor

Nonaccept 22 15 7 30 10 20

Goals 25 20 5 19 10 9

Impulse 30 24 6 20 8 12

Aware 22 17 5 15 11 4

Strategy 40 26 14 34 10 24

Clarity 17 12 5 17 7 10

Gambar 4.2. Perbandingan Skor Aspek DERS Subjek

Masing-masing aspek DERS juga mengalami penurunan. Secara keseluruhan subjek B lebih banyak mengalami penurunan disemua aspek skor DERS dibandingkan dengan subjek A. Dari kedua subjek penurunan yang paling banyak adalah pada aspek “Strategy” pada subjek A terjadi penurunan 14 poin sedangkan subjek B 24 poin.


(62)

dapat mengurangi emosi negatif. Ini berarti setiap subjek sudah mulai menemukan cara untuk mengurangi emosi negatif. Sebelum melakukan intervensi subjek A bila mengalami emosi negatif untuk menguranginya lebih suka berkumpul dengan teman-temannya dan pulang jika ia sudah merasa marahnya berkurang namun perilaku A masih negatif karena ia bisa tidak pulang 1-2 hari tanpa memberitahu orang tua. Setelah melakukan terapi A mulai memahami berbagai teknik yang bisa dilakukan dalam meregulasi emosi.

Subjek B sebelum melakukan intervensi strategi yang dilakukan adalah mengurung diri di kamar sambil menghidupkan musik rock keras-keras dan ia tidak mau diganggu oleh siapapun. Ini bisa berlangsung seharian. Setelah melakukan intervensi B juga mulai menerapkan metode yang didapatnya seperti kognitif dan behavioristik seperti menentang pikiran negatif.

2. Hasil analisis data individual

Analisis individual dilakukan dengan membandingkan skor DERS setiap subyek pada saat pretes dan posttes. Hasil analis individual juga dilengkapi dengan data yang diperoleh dari lembar tugas subyek maupun wawancara pada tahap tindak lanjut (followup). Setiap subyek diberi inisial huruf abjad secara berurutan. Berikut ini hasil data dari masing-masing subyek.


(63)

a. Subyek A

Gambar 4.3. Perbandingan Skor Subjek

Dari gambar 4.3 dapat disimpulkan A mengalami perubahan dalam kemampuan regulasi emosinya. Ini ditunjukkan adanya penurunan skor DERS yang didapat oleh A (37 poin) setelah melakukan terapi yang artinya tingkat A dalam meregulasi emosi semakin baik.

Berdasarkan lembar kerja yang dilaksanakan oleh A pada lembar kerja 1 pada awalnya A masih sulit membedakan antara pikiran dan perasaan/ emosi. Setelah dilaksanakan diskusi lembar kerja yang ditelah diiisi oleh A, ia mulai memahami perbedaan peristiwa, pikiran, perilaku dan perasaan. Lembar kerja 2 adalah membedakan mana pikiran yang irasional/negatif dan mana pikiran


(64)

yang rasional/positif. Pada lembar kerja terdapat contoh pikiran yang rasional dan yang tidak rasional, peneliti memberikan penjelasan apa perbedaan keduanya sehingga untuk baris berikutnya A mulai sedikit memahami perbedaannya. Lembar kerja ini juga sangat membantu A dalam melakukan bantahan terhadap pikiran irasional yang muncul pada diri A.

Kejadian yang memicu masalah emosi pada A adalah kekerasan seksual yang dialaminya. A mengalami kekerasan seksual oleh laki-laki yang lebih tua darinya ketika A berada dalam keadaan tidak sadar. Konsekwensi kejadian tersebut adalah sulitnya A dalam mengontrol emosi marah yang disebabkan munculnya keyakinan tidak rasional pada diri A yaitu ia merasa tidak berharga lagi karena A menganggap lingkungan terutama lingkungan rumah sering tidak memberikan kepercayaan lagi padanya. Sebelum mengisi lembar REBT self help, peneliti menggunakan metode imagery, sehingga A bisa merasakan dan benar-benar yakin dengan emosi yang dirasakannya, serta apa yang ada dalam pikirannya ketika emosi tersebut muncul. Setelah proses tersebut dilakukan relaksasi sehingga kondisi emosi A kembali normal. Pada saat melakukan imagery A merasa dadanya sesak namun berkurang setelah dilakukan relaksasi


(65)

A-merasa tidak berharga lagi, orang tua tidak mempercayainya lagi dan ia juga berbeda dari teman-temannya di sekolah sehingga A sering sulit mengontrol marahnya terutama bila ada yang melecehkannya, memanfaatkan dirinya dan diberi aturan yang banyak di rumah. A mampu mengenali emosi yang sering muncul tidak terkendali karena ada pikiran yang salah yaitu merasa tidak berharga.

Menghilangkan keyakinan irasional dengan mengisi lembar kerja “ Menghilangkan keyakinan/pikiran yang irasioanal”. A mampu menilai bahwa keyakinannya menganggap diri tidak berharga lagi adalah salah. Peneliti juga menggunakan metode

logical argumentdalam menentang pikiran A. kejadian A memang menyakitkan, tapi apakah tidak ada lagi yang bisa A lakukan untuk masa depan? A menyadari bahwa ini memang menyakitkan ia menjadi tidak berharga tapi ia masih punya kelebihan untuk bisa dihargai orang lain.

Pada lembar tugas rumah metode lain dalam REBT dalam mengelola emosi selama dua hari yang diberikan A marah karena dikhianati oleh temannya. Sejak kejadian A menjadi korban kekerasan seksual pergaulan A semakin sulit dikontrol orang tua. Ia lebih memilih teman yang kurang baik pergaulannya dan juga tidak sekolah. A beranggapan dilingkungan yang seperti itu ia lebih merasa diterima dan tidak jauh berbeda dengan keadaan dirinya


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh Rational Emotive BehaviorTherapy (REBT)untuk meningkatkan regulasi emosi pada remaja korban kekerasan seksual. Hal tersebut dapat dilihat melalui perubahan sebagai berikut:

a. Terdapat penurunan skor DERS yang ditunjukkan kedua subjek antara pre-tes dan post-test. Subjek A menunjukkan penurunan kesulitan regulasi emosi dari kategori tinggi sebelum perlakuan menjadi kategori sedang setelah menerima program REBT. Sementara itu subjek B juga mengalami penurunan kesulitan regulasi emosi dari kategori tinggi sebelum perlakuan menjadi kategori rendah setelah menerima program REBT.

b. Pada kedua subjek terjadi penurunan skor pada semua aspek DERS yang menunjukkan terdapat peningkatan kemampuan regulasi emosi pada semua aspek namun aspek regulasi emosi yang paling banyak berubah pada kedua subjek adalah dalam strategi regulasi emosi dimana subjek mengetahui strategi regualsi emosi seperti cognitive cahange, situation modification, situation selection, attention deployment. Subjek A dalam mengurangi pengaruh emosi negatif sering menghindar dari situasi, melakukan hal yang menyenangkan (jalan-jalan) serta mengubah kognitifnya, sedangkan subjek B mendengarkan musik, menghindar dan mengubah kognitifnya.


(2)

c. Pada subjek A perubahan terbesar pada aspek strategy (14 poin) sedangkan pada aspek lainnya penurunan skor DERS tidak terlalu banyak yaitu non-accept (7 poin), goals (5 poin), impulse (6 poin), aware (5 poin) dan clarity (5 poin). Menurut A ia mengetahui cara-cara dalam meregulasi emosi namun ia masih sulit dalam berkonsentrasi dan kurang bisa mengontrol emosi terhadap kejadian yang menimbulkan emosi negatif. d. Pada subjek B penurunan skor terbesar adalah pada aspek strategy (24

poin) dan aspek non-accept (20 poin). Aspek impulse terjadi penurunan (12 poin), clarity (10 poin), goals (9 poin). Setelah pelaksanaan terapi B merasa lebih baik, secara umum ia bisa menguasai semua aspek regulasi emosi.

e. Perubahan pada subjek B lebih banyak dibandingkan subjek A disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya polas asuh yang berbeda. Orang tua A terdapat ketidak konsistenan pola asuh antara ibu dan ayah, ayah lebih cenderung otoriter dan sering menerapkan hukuman fisik sedang ibu permisif. Pada subjek B tidak pernah penerapan hukuman fisik. A juga dipengaruhi oleh lingkungan ekternal yang kurang sehat. A berteman dengan anak yang putus sekolah, sering di kafe, pemakai sabu sedangkan B tidak memiliki teman yang mempunyai pergaulan yang kurang sehat. f. Evaluasi secara kualitatitif pada saat post-test maupun follow-up terlihat

perubahan perilaku pada kedua subjek terutama dalam mengekspresikan emosi sehingga menjadi lebih sehat. Subjek A lebih sering menghindar ketika marah dari pada langsung mengeluarkan kata-kata kasar. Sedangkan


(3)

subjek B mulai bisa konsentrasi dalam belajar dan tidak merasakan kecemasan lagi. Di rumah B juga mulai ceria lagi dengan semua anggota keluarga.

B. Saran

B.1. Saran Metodologis

a. Pada penelitian selanjutnya hasil penelitian individual juga diperkuat dengan melakukan treatmen terhadap keluarga sehingga perubahan yang terjadi bisa didukung oleh lingkungan.

B.2. Saran Praktis

a. Psikoedukasi terhadap orang tua ataupun terhadap anggota keluarga lainnya sebaiknya terus dilakukan untuk membantu keberhasilan program intervensi.

b. Orang tua dari korban kekerasan seksual tidak menghambat langsung membatasi pergaulan anak tanpa memberikan pemahaman yang benar pada anak karena dapat membuat anak lebih susah untuk dikontrol

c. Dukungan lingkungan sangat membantu korban kekerasan seksual untuk bisa menata emosinya kembali. Perubahan emosi pada remaja korban kekerasan seksual adalah wajar, namun respon yang tidak tepat yang diberikan lingkungan bisa memperparah emosi dan perilakunya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Hurairah, A. (2007). Child Abuse (Kekerasan pada Anak) edisi revisi. Bandung : Nuansa

Brenner, E. & Salovey, P. (1997). Emotion Regulating During Childhood Developmental Interpersonal, and Indivudual Consideration. Dalam P. Salovey & D.J. Skuffer (eds) Emotional Developmental and Emotional Intelligence. New York: Basic Books Division Of Harper Collins Publisher Inc.

Boden, M. westerman, S. Kuo, J. (2013). Emotion Regulation and Posttraumatic Disorder: A Prospective Investigation. Journal of Social and Clinical Psychology. 32(3), 296-314.

Bowie, B. (2010). Emotion Regulation Related to Children’s Future Externalizing and Internalizing Behaviors. Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing, 23(2), 74-83.

Cattanach, Ann. 2003. Introduction to Play Therapy. New York: Brunner Routledge.

Cattanach, Ann. 2008. Play Therapy with Abused Children. Second Edition. Philadelphia dan London : Jesica Kingsley Publisher.

Christopher, B. Kathleen, K. (1990). Child Sexual Abuse. New York: Routledge. Coon, D. (2005). Psychology a journey (2nded.). USA: Thomson Wadsworth.

Corey, G. (2006) Theory and Practice of Counseling and Psychoteraphy. Pacific Grove: Cole Publishing.

Dryden, W. Barnch, R.(2008). The Fundamental of Rational Emotive Behaviour Therapy; A Traning Handbook. England: John wiley & Sns, Ltd

Ellis & Dryden. (1997). The Practice of Rational Emotive Behavior Therapy. Second Edition. New York: Springer Publishing Company.

Ellsworth, L. (2007). Choosing to Heal: Using Reality Therapy in Treatment of Sexually Abused Children. New York: Routledge


(5)

Functioning. Journal of Personality and Social Psychology, 78 (1), 136-157.

Garz, K.L. Roemer, L.(2004). Multidimensional Assesment of Emotion Regulation and Dysregulation: development, Factor, Strusture and initial Validation of Difficulties in Emotion Regulation Scale. Journal of Psychopathology and Behavioral Assesment. 26 (1). 41-53.

Giardino, A.P ; Lyn, M. A dan Giardino . E. R. (2010). A practical Guide to Evaluation of Child Physical Abuse and Neglect, Second Edition. London: Springer

Gill, E.(1996). Treating Abused Adolescent. New York; Guilford Press

Gonzales, j. Nelson, R.(2004). Rational Emotive Behavior Therapy With Children and Adolescents: A Meta Analysis. Journal of Emotional anda Behavioral Disorder. 12(4). 222-235

Goleman, D. (2004). Emotional Intelligence : Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Gross, J. (2007). Handbook of Regulation Emotion. New York: Guilford Press Hayati, E. N. 2000. Panduan umum untuk pendamping Perempuan Korban

Kekerasan. http:// www. Tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura

Hakim, L, (2008), Kajian Kriminologis Kekerasan Terhadap Wanita, Jurnal Equality, 13(1). 17-23.

Johnson. Burke dan Christensen Larry. (2004). Educational Research. Second edition. New York : Pearson

Murphy, J. (2001) Art Therapy with Young Survivor of Sexual Abusse Lost for World. Canada: Taylor & Francis Inc.

Normala, S.A. (2012). Terapi Trauma Anak untuk Mengurangi Simptom Gangguan Stress Paska Trauma Pada Remaja Korban Kekerasan Seksual. Tesis. Yogyakarta: UGM.

Olive, M.F (2007). Child Abuse and Stress Disorder. New York: Chelsea House Publishing.

Papalia, D.E, dkk. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan). Edisi Kesembilan. Jakarta: Prenada Media Group.


(6)

Putnam, F.(2003). Ten Year Research Review: Child Sexual Abused. Journal of Child Adolescent Psychiatry.42(3), 269-273.

Rifka, Annisa (2000) Women Crisis Center Press Release: Hasil Lokakarya Nasional Menggagas Model-Model Women Crisis Center di Indonesia. Yogyakarta : Hotel Jakarta.

Siener, S. Kerns, K (2012). Emotion Regulation and Depressive Symptoms in Preadolescence. Journal Of Child PsychiaTry Human Development. 43: 414-430.

Tricket, P. Nol, J. Putnam, F.(2011). The Impact Of Sexual Abused on Female Develompment. Journal of Developmental and Psychopatology.113(1), 165-180.

White, J dan Allers, C. T. 1994. Play Therapy with abused children. A review of ther literature.Journal of Counseling and Development. 72(4), 390-395. Wilson, J. W. (1999). Emotion Related Regulation : An Emerging Construct.

Journal of Developmental Psychology, 35 (1), 214 – 222.

Wordes, M. Nunez, M.(2002). Our vunerable Teenagers: ther Victimization, Its Consequence and Directions for Prevention and Intervention. New York: NCCD

Zahra, R.P. (2007) Kekerasan Seksual pada Anak, Arkhe Jurnal Ilmiah Psikologi, 12(1). 70-75.