III.1. Profil Informan III.1.1. Informan Pertama, MAD - STIGMA MASYARAKAT PONOROGO PADA PENDUDUK KAMPUNG IDIOT Repository - UNAIR REPOSITORY

  

BAB III

KEHIDUPAN MASYARAKAT “KAMPUNG IDIOT”

  Pada bab ini akan dipaparkan temuan data yang peneliti dapatkan pada saat proses wawancara mendalam yang dilakukan oleh beberapa informan. Dalam bab ini meliputi pemaparan yang meliputi profil informan, kondisi lingkungan “Kampung Idiot”, stigma negatif kampung idiot, adaptasi masyarakat lokal atas stigma “kampung idiot”, keuntungan dan kerugian atas stigma “kampung idiot”.

  Penelitian ini informan diklasifikasikan menjadi beberapa klasifikasi antara lain: Masyarakat Desa Sidoharjo, orang yang mengalami keterbelakangan mental(Retardasi Mental), pihak keluarga penderita serta tokoh masyarakat Desa Sidoharjo. Informan dipilih selain memiliki kesesuaian dengan kriteria yang telah peneliti tentukan sebelumnya, juga memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti sehingga menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menjadi fokus permasalahan dalam penelitian ini.

  Selanjutnya, data-data pada bab ini akan diolah dan dianalisis sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian yakni bentuk-bentuk stigmatisasi dan perilaku diskriminatif serta reaksi dari masyarakat atas stigma dan perilaku diskriminatif tersebut.

  III.1. Profil Informan

  III.1.1. Informan Pertama, MAD

  Informan pertama, berinisial MAD adalah seorang tokoh masyarakat berusia 30 tahun yaitu sebagai sekretaris atau carik di Desa Sidoharjo tersebut.

  MAD berasal dan lahir di Dukuh Gupak Warak, Desa Krebet RT.03/RW.05.

  MAD mendapatkan pendidikan SD di SD MI Krebet, SMP Negeri 1 Jambon, SMK Negeri 1 Jenangan Ponorogo dan sekarang beliau belum menyelesaikan pendidikannya di Universitas Merdeka Ponorogo.

  Pada akhirnya beliau tinggal di Desa Sidoharjo setelah menikah dengan seorang wanita dari desa tersebut dengan dikaruniai seorang putri yang masih berusia 3 tahun, kemudian menjabat sebagai sekretaris desa atau carik pertama kesibukan lainnya adalah sebagai petani dengan mengurus beberapa lahan yang ada di desa tersebut. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang pekerja keras dan ramah kepada masyarakatnya.

  III.1.2. Informan Kedua, INU

  Informan kedua, berinisial INU adalah seorang tokoh masyarakat berusia 55 tahun di Desa Sidoharjo. INU adalah mantan kepala Desa pertama di Desa Sidoharjo. INU termasuk warga asli di Desa Sidoharjo tepatnya di Dukuh Klitik RT.01/RW.01, INU menempuh pendidikan pertama di SD Negeri 1 Krebet kemudian melanjutkan SMP di SMP Negeri 1 Badegan, itu menjadi pendidikan terakhir beliau yang telah beliau lalui. Samapai sekarang beliau dikaruniai satu orang putri yang sekarang telah menikah dan satu orang putra yang sekarang juga telah menikah yang menjabat sebagai seorang polisi di Kabupaten Ponorogo.

  III.1.3. Informan Ketiga, DEV

  Informan ketiga, berinisial DEV adalah bisa diatakan seorang tokoh masyarakat di Desa Sidoharjo karena beliau juga bekerja sebagai Kaur Kesra di Desa tersebut, beliau berusia 34 tahun yang memiliki dua orang pura, putra yang pertama berusia 12 tahun yang sekarang duduk di kelas 6 SD, sedangkan putra kedua masih 18 bulan. DEV termasuk sosok orang yang beragama islam yang sangat religius. DEV bukan warga asli yang lahir di desa ini, beliau berasal dari Kota Blitar yang menikah dengan orang Desa Sidoharjo yang akhirnya menetap di desa ini tepatnya di Dukuh Karangsengon.

  DEV saat ini sedang menempuh pendidikan S2 di Universitas Muhammadiyah Ponorono, selain kuliah dan bekerja sebagai kaur kesra di balai mempunyai sebuah yayasan pendidikanMadrasah Iftidaiyah di Desa Sidoharjo ini, yang ia bangun dan kelola sendiri dengan jumlah pengajar 7 orang. Walaupun masih ada 2 kelas, yaitu kelas 1 dan kelas 2 yayasan pendidikan yang ia bangun ini cukup mendapat respon yang baik dari masyarakat sekitar, karena putra-putri mereka selain belajar ilmu umum juga mendapatkan pendidikan agama yang baik.

III.1.4. Informan keempat, ARI

  Informan keempat, berinisial ARI adalah salah satu informan yang tidak mempunyai keluarga yang keterbelakangan mental namun, tempat tinggalnya dekat dengan rumah salah satu keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang keterbelakangan mental.ARI adalah ibu rumah tanggal yang saat ini berusia 26 tahun yang mempunyai satu orang putra berusia 6 tahun yang sekarang duduk di kelas 1 SD. Pekerjaan sehari-hari selain sebagai ibu rumah tangga adalah menjaga warung kecilnya, dan juga sesekali membantu suaminya di sawah. ARI sebenarnya bukan warga asli Desa Sidoharjo ini, beliau berasal dari Desa Jenangan Ponorogo. Namun, setelah menikah dengan orang dari Desa Sidoharjo ini akhirnya beliau tinggal menetap di Desa Sidoharjo ini.

  Meskipun ARI hanya lulusan SD di salah satu SD di Desa Krebet, Beliau seorang yang sangat memperhatikan agama dan pendidikan anaknya, beliau menginginkan anaknya selain mendapat pendidikan umum juga mendapat pendidikan agama, lewat sekolah dan TPA(Taman Pendidikan Al-Quran. ARI sesosok orang yang ramah dan sangat terbuka. Disaat peneliti melakukan wawancara denga ARI, beliau sangat komunikatif dan sangat lancar menjawab

III.1.5. Informan Kelima, TIN

  Informan kelima, berinisial TIN adalah salah satu informan yang mempunyai dua anggota keluarga perempuan yang keterbelakangan mental.TIN adalah seorang ibu rumah tangga yang saat ini masih berusia 23 tahun yang mempunyai satu orang putri berusia 3 tahun. Dengan kondisi keluarganya yang tergolong keluarga yang kurang mampu TIN begitu sabar mengurus keluarganya tersebut tanpa kehadiran sosok suaminya, karena suaminya sudah tiga bulan ini bekerja sebagi seorang buruh bangunan di Jakarta. Selain mengurus dua anggota keluarganya yang keterbelakangan mental dan satu orang putrinya TIN juga harus memperhatikan ibunya yang sangat ini juga sudah tua. Namun, begitu ibunya sesekali juga membantu TIN mengurus dua anggota keluarganya yang keterbelakangan mental tersebut. TIN hidup sederhana yang hanya menggantungkan hidupnya dari upah yang diterima sualinya yang bekerja sebagai buruh bangunan tersebut, sesekali suami menelpon yang hanya sekedar mengetahu keadaaan dan melepas rasa rindu dengan keluarganya dirumah.

  III.1.6. Informan keenam, IIM

  Informan keenam, berinisial IIM adalah warga asli Desa Sidoharjo RT.01/RW.10 Dukuh Karangsengon. IIM tidak mempunyai keluarga yang keterbelakangan mental namun rumah IIM sesekali didatangi salah seorang yang keterbelakangan yang hanya sekedar makan atau minta uang. IIM adalah ibu rumah tangga yang saat ini berusia sekitar 50 tahun yang mempunyai dua orang Taiwan, putra yang kedua bekerja di Malaysia dan satu orang putri yang masih sekolah di salah satu SMP di Kecamatan Jambon. Kesibukan IIM selain sebagai ibu rumah tangga, beliau juga membantu suaminya di sawah.

  III.1.7.Informan Ketujuh, WAR

  Informan ketujuh, berinisial WAR ini adalah salah seorang tokoh masyarakat, WAR adalah seorang ulama masyarakat yaitu sebagai seorang Modin yang ada di Desa Sidoharjo. Beliau saat ini berusia 46 tahun. WAR bukan warga asli yang lahir di Desa Sidoharjo namun, beliau adalah warga yang berasal dari Desa Badegan. Namun, setelah menikah dengan salah seorang di Desa Sidoharjo akhirnya beliau mengikuti istrinya untuk tinggal di Desa Sidoharjo, yang saat ini tinggal di Dukuh Klitik, RT.08/RW.02. WAR mempunyai tiga orang putra, putra pertama Aliyah kelas 3 dan putra kedua Aliyah kelas 2 yang sama-sama menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darul Hudha Mayak Ponorogo, sedangkan putra ketiga SD kelas 5.

  III.1.8.Informan Kedelapan, SOI

  Informan kedelapan, berinisial SOI adalah seorang laki-laki yang berusia sekitar 50 tahun, dengan kondisi keluarga dan tempat tinggalnya yang sangat memperhatinkan, SOI seorang diri mengurus dua anggota keluarganya yang keterbelakangan mental, yaitu seorang anak perempuannya yang berusia 13 tahun dan seorang keponakan perempuannya yang berusia sekitar 30 tahun. Keponakannya tersebut adalah yatim piatu dia adalah anak dari kakak perempuan SOI.SOI memberikan penjelasan bahwa anaknya tersebut lahir dalam keadaan normal seperti bayi pada umumnya namun, pada usia tujuh bulan anaknya terkena panas yang sangat tinggi atau dalam istilasnya „step‟, yang ketika itu tidak langsung mendapat penanganan secara langsung.

  III.1.9. Informan Kesembilan, DAR

  Informan kesembilan, berinisial DAR adalah seorang laki-laki yang berusia 29 tahun dan penduduk asli Desa Sidoharjo yang juga menikah dengan orang Desa Sidoharjo, WAR sangat ini masih dikaruniai satu orang putri yang berusia 3 tahun. DAR adalah seorang tokoh masyarakat, yang saat ini menjabat sebagai kamituwo Desa Sidoharjo tersebut.Pekerjaan sampingan DAR adalah seorang fotografer yang sering diundang untuk acara pernikahan maupun foto keluaraga.Karena DAR belum memiliki studio foto sendiri dia masih bergabung dengan temannya untuk menjalankan usahanya tersebut.

  III.1.10.Informan Kesepuluh, TUN

  Informan kesepuluh, berinisial TUN adalah seorang ibu rumah tangga yang berusia 54 tahun yang memiliki empat orang anak yang semuanya telah berumah tangga sendiri-sendiri.TUN adalah salah satu informan dalam kategori keluaraga menengah kebawah yang sering menerima bantuan sosial dari para donator maupun dari pemerintah.TUN juga memiliki dua anggaota keluarga yang berketerbelakangan mental.Dua anggota keluarga laki-laki yang berketerbelakangan mental tersebut semuanya adalah saudara laki-laki dari suami informan yang tinggal dirumahnya.Karena sejak lahir sudah berketerbelakangan mental dan orangtuanya telah meninggal dunia, maka mereka ikut dan tinggal dengan keluarga TUN tersebut.

  III.1.11.Informan Kesebelas, MAN

  Informan kesebelas, berinisial MAN adalah laki-laki berusia 26 tahun tinggal di Desa Sidoharjo sekitar 6 bulan yang lalu setelah menikah dengan warga Desa Sidoharjo, sehingga MAN tinggal di desa tersebut. Sekarang ini MAN dikaruniai satu orang putri berusia 2 tahun. Keluarga MAN termasuk salah satu keluarga dalam kategori menengah kebawah, yang sering menerima bantuan dari pemerintah.

  III.1.12.Informan Keduabelas, LAN

  Informan keduabelas, berinisial LAN adalah seorang ketua RT. 4 Dukuh Klitik Desa Sidoharjo yang saat ini berusia 48 tahun.Informan LAN juga warga asli Desa Sidoharjo tersebut.Pekerjaan sehari-harinya adalah seorang petani dan mencari rumput untuk beberapa ekor kambing miliknya.Informan LAN saat ini mempunyai tiga orang anak, yang kedua anaknya sudah berkeluarga sedangakan anaknya yang terakhir masih bekerja di Surabaya.Sehingga saat ini LAN hanya tinggal dengan istrinya, yang sesekali istrinya juga membantu LAN di sawah.

  III.1.13.Informan Ketigabelas, INA

  Informan ketigabelas, berinisial INA adalah seorang ibu rumah tangga yang berusia 48 tahun, yang saat ini tinggal di Jl. Halmahera Ponorogo.Informan

  INA memiliki tiga orang anak.Anak pertama laki-laki yang saat ini berusia 20 tahun yang sedang kuliah di Universitas Muhammadyah Ponorogo, anak kedua berusia 17 tahun yang saat ini masih duduk di bangku SMA, sedangkan anak yang terakhir masih kelas 5 Sekolah Dasar.Informan INA mengaku sering mendengar kabar mengenai “Kampung Idiot” yang berada di Kecamatan Jambon tersebut, namun beliau belum pernah melihat daerahnya secara langsung.

  III.1.14.Informan Keempatbelas, WAN

  35 tahun, yang saat ini memiliki tiga orang putra dan putri yang masih kecil, anak pertama masih SD, anak kedua TK sedangkan yang terakhir masil play group.

  WAN saat ini bekerja sebagai seorang satpam atau petugas keamanan di Kantor Pemerintahan Kota Ponorogo. WAN tinggal di JL.A. Yani Kota Ponorogo.WAN mengaku pernah ke Kecamatan Jambon, namun dia belum pernah mengunjungi langsung Desa yang disebut “Kampung Idiot” tersebut. “Kampung Idiot” menurut WAN sudah sangat terkenal dimana-mana, yang menurut WAN sebagai bentuk kejadian yang turun-temuran dari nenek moyang mereka.

  III.1.15. Informan Kelimabelas, ENA

  Informan Kelimabelas, berinisial ENA adalah seorang perempuan yang berusia 25 tahun dan saat ini ENA belum menikah atau berkeluaraga. ENA bekerja sebagai seorang pelatih kursus mengemudi di daerah Ponorogo.ENA tinggal di daerah Jenangan Ponorogo. ENA mengaku belum pernah pergi ke Desa Sidoharjo, walaupun belum pernah melihat secara langsung keadaan atau kondisi “Kampung Idiot” itu seperti apa namun ENA sering mendengar istilah daerah “Kampung Idiot”, yang menurut ENA banyak masyarakatnya yang „idiot‟.

  III.1.16.Informan Keenambelas, YAH

  Informan keenambelas, berinisial YAH adalah salah satu pedagang jeruk di Pasar Songgolangit Ponorogo.Informan perempuan ini berusia 50 tahun.YAH mengaku pernah membeli jeruk dari seorang petani yang ada di Kecamatan Balong Ponorogo, yang juga salah satu kecamatan yang sebagian penduduknya ada yang penyandang keterbelakangan mental. Walaupun YAH belum pernah waktu itu daerah tersebut dekat dengan hutan dan pegunungan yang banyak batu kapurnya, yang sangat jauh dengan pusat kota Ponorogo, sehingga menurut YAH daerahnya sangat gersang dan panas.

  III.2. Kondisi Lingkungan Sosi al “Kampung Idiot”

  Kondisi lingkungan sosial merupakan representatif dari lingkungan sekitar kampung idiot, kondisi tersebut meliputi kondisi sosial yang ada di dareah kampung idiot baik dari segi perlakukan yang positif maupun yang negatif bagi para penderita keterbelakangan mental, selain kondisi sosial juga meliputi kondisi ekonomi dan juga kondisi politik.

  Studi ini menemukan, dimana masyarakat Desa Sidoharjo yang mengalami keterbelakangan mental menerima beberapa bentuk diskriminasi misalnya:Tidak mendapatkan kesamaan hak yang sama dalam PEMILU, menerima penolakan dari lingkungan sosialnya serta tidak mendapatkan kesamaan yang sama dalam memperoleh pekerjaan.

  III.2.1. Kondisi Sosial

  Kondisi sosial adalah suatu kondisi tertentu dimana berlangsungnya hubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain yang tentunya akan terjadi saling mempengaruhi.Kondisi sosial dalam masyarakat “Kampng Idiot” pastinya akan terjadi saling berhubungannya antara penyandang keterbelakangan mental dengan masyarakat yang ada disekitarnya, termasuk dalam hal ini juga adalah tokoh masyarakatnya.

  Berdasarkan dari pernyataan dari Informan TIN yang mempunyai keluarga keterbelakangan dua orang ini, mengatakan bahwa belum pernah keluarganya disaat keluarganya yang penyandang keterbelakangan mental tersebut sakit, bahkan keluarganya yang penyandang tersebut disaat sakit langsung meminta obat ke pukesmas.

  

“Mboten, mboten mbak. Nek sakit nggeh kadang teng Pukesmas

piyam bak”.

  (TIN, 2015) Artinya:

“Tidak, tidak mbak. Kalau sakit ya kadang ke Pukesmas sendiri”.

  (TIN, 2015) Menurut keterangan TIN tersebut dapat diketahui bahwa, kepedulian masyarakat terhadap keluarga penyandang tersebut tidak seintens dengan keluarga yang lain. Dimana dapat dilihat bahwa sikap yang diberikan oleh salah satu tetangga dari keluarga penyandang menunjukkan sikap yang berbeda dengan keluarga mereka yang tidak memiliki keluarga penyandang.

  Berbeda dengan informan IIM, informan ini mengaku tidak pernah mengundang orang yang mempunyai keterbelakangan mental dalam acara- acaranya seperti acara rutin yasinan maupun acara selamatan dirumahnya.

  

“Mboten. Mboten mbak, kula mboten nate ngundang nek mriki

wonten slametan nopo yasinan “.

  (IIM,2015) Artinya:

  

“Tidak, tidak mbak, kalau saya tidak pernah mengundang kalau sini

ada selamatan atau yasinan(tahlilan)”.

  (IIM, 2015) Menurut keterangan IIM tersebut dapat diketahui bahwa ada perbedaan sikap antara orang-orang yang normal dengan mereka-mereka yang mengalami keterbelakangan mental. Hal ini dapat dilihat dari sikap informan kepada keluarga keterbelakangan mental tersebut.

  Bukan hanya itu saja, informan IIM juga pernah melihat keluarga dan kerabat mereka sendiri memberikan perlakuan yang kurang menyenangkan kepada salah satu penyandang yang datang kerumahnya.

  

..”nggeh kadang niku mriki niku tiyangnge katah wonten lare

kadang niku nyuwun nopo ngoten kadang-kadang nek mboten

disukani niku nesu kadang niku lare-lare niku, ndang gek diweh i

gek ngaleh. ngoten mbak ngoten niku mbak paling”.

  (IIM, 2015) Artinya:

  

“…”ya kadang itu sini itu orangnya banyak ada anak kadang itu

minta apa gitu kadang-kadang kalau tidak diberi itu marah kadang

itu anak-anak itu, cepet dikasih terus pergi, gitu mbak gitu itu

mungkin”.

  (IIM, 2015) Menurut keterangan IIM tersebut dapat diketahui bahwa, adanya penolakan dari masyarakat tertentu terhadap penyandang keterbelakangan mental tersebut. Penolakan tersebut berupa tidak adanya penerimaan sosial atas kehadiran penyandang keterbelakangan mental tersebut.

  Berbeda lagi dari salah informan INU yang merupakan mantan Kepala Desa Sidoharjo. INU mengatakan bahwa, belum ada kegiatan desa seperti lomba agustusan yang melibatkan penyandang keterbelakangan mental. INU juga memastikan bahwa tidak akan melibatkan warga penyandang dalam masalah lomba-lomba seperti agustusan tersebut.

  

“Nek kegiatan-kegiatan lomba-lomba nopo ngoten niku ngantos sak

meniko mriki nik sak meniko dereng enten .

  Yo sing jelas nek masalah agustusan nik u mboten mbak, mboten diikutkan”.

  (INU, 2015) Artinya: “Kalau kegiatan-kegiatan lomba-lomba apa gitu sini sejauh ini sini

  

sejauh ini belum ada. Ya yang jelas kalau masalah acara lomba

agustus itu tidak mbak, tidak diikutkan”.

  (INU, 2015) Menurut pernyataan informan INU tersebut secara rasional memang mereka-mereka yang keterbelakangan mental akan sulit mengikuti kegiatan- kegiatan tersebut, namun secara moral mereka juga mempunyai hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam hidup bermasyarakat seperti orang- orang normal lainnya.

  Informan DEV adalah seorang tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama yang ada di Desa Sidoharjo ini, DEV juga aktif mengajar mengaji disalah satu masjid yang DEV dan keluarga DEV dirikan. Menurut pernyataan DEV mengenai soal pendidikan inklusi atau sekolah inklusi khususnya di Desa Sidohajo sendiri belum ada. Menurut DEV hal tersebut dikarenakan tidak adanya pengajar yang khusus mampu menangani anak-anak yang berkebutuhan khusus.

  

“Kalau yang inklusi kita tidak bisa menjawab sepenuhnya, artinya

begini, memang inklusi ini membutuhkan penanganan dan layanan

khusus ya, jadi harus ada guru khusus yang ahli dibida ngnya..”

  (DEV, 2015) Melihat Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomer 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Bahwa Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan termasuk didalamnya adalah kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Dari pernyataan informan DEV tersebut dapat dilihat bahwa pemerintah daerah khususnya perangkat desa dalam hal ini kurang memberikan perhatian kepada warga masyarakatnya yang berkebutuhan khusus, padahal mereka mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan kondisi mereka tersebut.

  Kondisi ekonomi merupakan suatu kondisi yang menunjukkan pada kemampuan pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat. Kemampuan pemenuhan kebutuhan keluarga penyandang keterbelakangan mental merupakan salah satu yang menjadi perhatian utama, mengingat mayoritas keluarga yang mempunyai anggota yang keterbelakangan mental tingkat perekonomiannya sangat rendah, bahkan dapat dikatakan mereka tergolong miskin.

  Berdasarkan dari pernyataan dari Informan DEV, bahwa mayoritas keluarga penyandang adalah keluarga yang tingkat perekonomiannya sangat rendah, mereka tergolong lebih dari miskin bahkan termasuk duafa fakir. Masyarakat fakir adalah masyarakat yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makan, pakaian dan tempat tinggal yang merupakan kebutuhan primer manusia.

  

“Kalau dari aspek ekonominya sebagian besar mereka itu dari

golongan duafa mbak, miskin ya. Lebih dari miskin ya, duafa fakir,

mereka menghidupi keluarganya mencari penghasilan untuk

kebutuhan keluarganya itu juga asal-asalan. Satu hari saja kadang

gak cukup. Bekerja satu hari untuk makan sehari itu...”

  (DEV, 2015) Menurut argumen DEV melihat perbedaan pemenuhan kebutuhan dari orang yang berada di

  “Kapung Idiot” terbagi dari miskin dan duafa fakir. Orang yang termasuk miskin adalah mereka yang memerlukan sesuatu, yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, sedangkan duafa fakir kondisinya lebih buruk daripada orang miskin karena duafa fakir adalah orang yang penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.

  Informan WAR mempunyai pernyataan yang hampir sama dengan keluarga fakir duafa, sedangkan informan WAR menganggap mereka termasuk orang atau keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Mereka masih dapat mencari pekerjaan walaupun itu hanya dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari.

  

“Yowes rata-rata para penderita itu aspek ekonominya kurang ya

orang-orang yang min memang mbak. Yowes rata-rata ya seperti

itu. Masalahnya ya kan penderita itu memang kan dulunya memang

kekurangan zat atau gizi atau kurang zat yodium itu tadi

  ”.

  (WAR, 2015) Artinya:

  

“Ya sudah rata-rata para penderita itu aspek ekonominya kurang

ya orang-orang yang kurang (minus) memang mbak. Ya suda rata-

rata ya seperti itu. Masalahnya ya kan penderita itu memang kan

dulunya memang kekurangan zat atau gizi atau kekurangan zat

yodium itu tadi”.

  (WAR, 2015) Menurut argumen WAR tersebut menunjukkan bahwa, mereka yang termasuk ekonomi kurang. Dalam hal ini mereka masih dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari namun, masih kurang dari standar rata-rata yang sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat.

  Berbeda dari pernyataan informan MAD, bahwa keluarga yang mempunyai keterbelakangan mental tersebut ada yang keluarganya berkecukupan

  karena ada salah satu anggota keluarganya yaitu ibunya yang bekerja di luar negeri sebagai TKI, sehingga menurut informan MAD mereka tidak termasuk keluarga yang miskin namun masih dalam kategori berekonomi sedang.

  

...”ada sing ibuk e TKI, dadi nek dianggap miskin mboten lah nek

TKI niku miskin yo sedang ngono ae...”

  (MAD, 2015) Artinya:

  

...”ada yang ibuknya TKI, sehingga kalau dianggap miskin tidaklah

kalau TKI itu miskin ya sedang gitu saja...”

  Menurut pendapat informan MAD tersebut, dapat diketahui bahwa sebagian dari mereka ada yang orang tuanya bekerja di luar negeri sebagai TKI.

  Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga mereka masih tergolong keluarga menengah kebawah. Dari pendapat informan MAD tersebut jika salah satu anggota keluarga yang bekerja di luar negeri, itu berarti masih ada anggota keluarganya yang bekerja mencari nafkah untuk keluarganya dengan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuahan sehari-hari keluarganya.

  Disamping potret kehidupan keluarga penyandang keterbelakangan mental tersebut yang jauh dari berkecukupan namun, ada beberapa penyandang keterbelakangan yang dapat bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Seperti pernyataan salah satu informan MAD yang menyatakan bahwa, hasil kerja mencangkul salah satu penyandang keterbelakangan mental lebih bagus daripada orang normal lainnya.

  

...”ada tiga bagong sing semuanya pekerja teng mriki. Bagong sing

mriki niku biasane sadean godong jati, Bagong sing Klitik kaleh

Bagong sing Sidowayah niku nek dikongkon macul jan macule sae

mbak niku karo wong biasa ngono menurut kulo apik niku

  ...”

  (MAD, 2015)

  Artinya: ...”ada tiga bagong yang semuanya pekerja disini. Bagong yang

  

disini ini biasanya jualan daun jati, Bagong yang Klitik dengan

Bagong yang Sidowayah itu kalau disuruh mencangkul sungguh

mencangkulnya bagus mbak itu dengan orang normal gitu menurut

saya bugus itu...”

  (MAD, 2015) Kenyataan bahwa para penyandang yang keterbelakangannya masih dalam kategori ringan masih dapat bekerja dan mencari nafkah untuk hidupnya, padahal secara ekonomi keluarga para penyandang sangat kekurangan dan tidak sedikit mereka adalah dalam kategori miskin. Namun, banyak para tetangganya yang meragukan hasil kerja para penyandang tersebut, hal tersebut dikarenakan keadaan fisik maupun mentalnya yang berbeda dari kebanyakan masyarakat lainnya. Dari argumen informan tersebut menunjukkan suatu bentuk perlakuaan diskriminatif dalam aspek ekonomi, dalam hal untuk memperoleh pekerjaan antara orang normal dengan orang yang berkebutuhan khusus, terlepas dari penyandang tersebut dapat bekerja dengan baik maupun tidak.

  Informan WAR misalnya dia tidak pernah menggunakan tenaga penyandang tersebut untuk membantu pekerjaannya dirumah. Karena dengan kondisi penyandang tersebut yang membuat WAR sendiri ragu untuk memberikan pekerjaan untuknya.

  

“Belum pernah saya mbak, belum pernah. Karna saya sendiri

melihat kondisinya saya sudah nggak..., istilahnya kasian gitu”.

  (WAR, 2015) Menurut TIN salah satu informan yang mempunyai dua orang anggota keluarga yang keterbelakangan mental dalam kategori sedang dan ringan mengaku anggota keluarganya tersebut juga jarang ditawari pekerjaan oleh tetangganya, padahal dahulu sering disuruh untuk cari air di sungai.

  

“Nek riyen nggeh pernah di kongkon mendhet toyo riyen, nek sak

niki mboten, wonten sanyo punan”.

  (TIN, 2015) Artinya:

  

“Kalau dulu ya pernah disuruh ambil air dulu, kalau sekarang tidak,

ada sudah ada sanyo”.

  (TIN, 2015) Melihat kondisi mereka yang mempunyai keluarga keterbelakangan mental mayoritas kondisinya sangat kekurangan, mereka bekerja sehari untuk biaya hidup sehari, mereka sangat membutuhkan bantuan dari tetangganya. Melihat dari argumen TIN tersebut dapat dikatakan bahwa penyandang keterbelakangan mental menjadi terdiskriminasi dalam aspek ekonominya, dengan kondisi yang serba kekurangan lapangan pekerjaan yang juga semakin sempit membuat mereka semakin termajinilisasi dari aspek ekonominya.

III.2.3. Kondisi Politik

  Kondisi lingkungan sosial “Kampunt Idiot” tidak hanya dapat di representasikan melalui kondisi sosial dan ekonomi masya rakat “Kampung

  Idiot”namun juga harus dilihat dari kondisi politik masyarakatnya. Dengan melihat kondisi politik masyarakatnya kita dapat melihat sejauh mana pemerintah daerah maupun pemerintah Desa Sidoharjo melaksanakan fungsi politik dalam warga masyarakatnya antara warga masyarakatnya yang berkebutuhan khusus atau penyandang keterbelakangan mental dengan warga masyarakatnya yang normal atau yang tidak berkebutuhan khusus tersebut.

  Informan MAD sebagai sorang tokoh masyarakat yaitu sebagai sekretaris Desa Sidoharjo mengaku bahwa MAD tidak pernah memberikan pendampingan secara langsung kepada para penyandang keterbelakangan mental yang ingin melakukan pemilihan suara di TPS (Tempat Pemilihan Suara). Namun, menurut informan MAD tersebut ada sebagian warganya yang penyandang keterbelakangan mental yang ikut memilih dan didampingi oleh keluarganya sendiri. Menurut informan MAD perangkat desa tidak memberikan perlakuan khusus atau pendampingan kepada warganya yang penyandang keterbelakangan mental tersebut.

  

...”kalau untuk pendampingan dari KPU, pernah enten..pernah

enten menggunakan suarana nggeh wonten sing didampingi

keluarganya. Kalau saya mgajak ndampingi mboten nate. Kalau

perlakuan khusus untuk mereka ya, nek ngurusi sing berkebutuhan

saja yo ra rampung”.

  (MAD, 2015) Artinya:

  

...”kalau untuk pendampingan dari KPU, pernah ada...pernah ada

yang menggunakan suaranya ya ada yang didampingi keluarganya.

Kalau saya mengajak mendampingi tidak pernah. Kalau perlakuan

khusus untuk mereka ya, kalau mengurusi yang berkebutuhan saja

ya tidak selesai”.

  (MAD, 2015) Berdasarkan pernyataan informan MAD

  “nek ngurusi sing berkebutuhan

saja yo ra rampung”(kalau mengurusi yang berkebutuhan saja ya tidak selesai),

  hal tersebut menunjukkan ketidaksiapan sekaligus berupa bentuk perilaku diskriminasi yang diberikan oleh perangkat desa untuk memberikan pendampingan terhadap warganya yang akan melakukan hak politiknya. Padahal mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan mental dan sebagai warga Indonesia, sesuai Undang-Undang negara para penyandang cacat tetap mempunyai hak untuk menyalurkan suaranya.

  Berdasarkan dari pernyataan dari Informan INU bahwa, didalam aspek politik misalnya PEMILU mereka tetap masuk dalam DPT, walaupun kenyataannya mereka tidak dapat menyalurkan hak suaranya karena keterbatasannya tersebut. Kalau untuk pendampingan dalam PILKADA kepada masyarakatnya yang keterbelakangan mental maupun cacat fisik lainnya sampai saat ini tidak ada.

  

..”yo tetep ndue hak, tetep ndue hak, tetep ditulis walaupun mengke

nek teko hari H niku saged rawuh nopo mboten. Nek pendampingan

yo sosok mbak sosok karek event ne, nek event ne pomo pemilihan

caleg pamane kan yo jauh lah istilah e, kui biasane ora..”

  Artinya:

  

..”ya tetap punya mbak, tetap punya hak, tetap ditulis walaupun

nantinya kalau pas hari H itu bisa datang atau tidak. Kalau

pendampingan ya terkadang mbak terkadang tinggal acaranya,

kalau acaranya seumpama pemilihan caleg misalnya kan ya jauh

lah istilahnya , itu biasanya tidak..”

  (INU, 2015) Namun, menurut informan INU jika pilkades karena ruang lingkupnya kecil diadakan pendampingan oleh salah satu calon tertentu, karena dirasa masih dalam lingkungan salah satu calonnya, sehingga warganya tersebut kesempatan untuk dijadikan tambahan suara dalam pilkades.

  

...”lha nek pilkades niki termasuk tetep pamamne kulo jagone nggeh

bersaing kalih A nopo B niku ngroso lingkunganku yo tak warahi

kalih tim kulo terus mbenjeng nggeh didampingi kaleh, biasane

ngoten”.

  (INU, 2015)

  Artinya:

  

...”lha kalau pilkades itu termasuk tetap semisal saya calonnya ya

bersaing dengan A atau B itu merasa lingkunganku ya tak bimbing

dengan TIM saya terus besok ya didampingi juga, biasanya seperti

itu”.

  (INU, 2015) Berdasarkan argumen dari informan INU tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat diskriminasi dari penyaluran hak suara dalam pemilu. Bentuk diskriminasi tersebut dapat kita lihat dalam penyaluran hak suara dari masyarakatnya yang penyandang keterbelakangan mental. Tidak ada pendampingan dalam proses penyaluran hak suara mereka dalam pemilihan kepala daerah atau calon legislatif. Namun, hal tersebut berbeda jika pemilihan beberapa calan kandidat kepla desa. Pendekatan tersebut dapat dilihat adanya pendampingan khusus dari salah satu calon kandidat tertentu.

III.3. Stigma Negatif “Kampung Idiot”

  Konsep “stigma” dalam pemikiran Erving Goffman(dalam Damaiyanti, 2009) yaitu suatu atribut yang mendiskreditkan seseorang secara mendalam, yang bisa terlihat pada bahasa (baik itu verbal ataupun non-verbal) dalam hubungan sehari-hari. Menurut Goffman, stigma diskredit adalah stigma yang dapat dimiliki seseorang, dimana aktor menganggap perbedaan yang nampak pada seseorang atau individu tersebut terlihat jelas bagi seseorang atau individu lain yang melihatnya, misalnya cacat fisik yang nampak pada diri seseorang atau individu.

  Orang yang mendapat stigma atau menerima stigma adalah mereka yang tentunya berbeda dan tidak sesuai dengan yang ditetapkan masyarakat. Termasuk bagi mereka yang menerima stigma diskredit dari masyarakat, misalnya orang- orang yang cacat yang dapat terlihat secara jelas. Termasuk didalamnya adalah orang-orang yang keterbelakangan mental, yang biasanya fisiknya ditandai dengan kepala yang lebih besar, rahang gigi yang begitu menonjol atau perilakunya yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat lainnya. Ciri-ciri fisik tersebut yang dianggap memiliki kriteria khusus sehingga hal tersebut dianggap sebagai salah satu yang menjadi syarat siapa-siapa yang pantas dan tidak pantas diterima oleh masyarakat, walaupun tidak secara tertulis syarakat-syarat tersebut secara langsung akan disetujui oleh masyarakat.

  Studi ini menemukan dimana masyarakat Desa Sidoharjo yang mengalami keterbelakangan mental menerima beberapa bentuk stigma dari masyarakatnya. misalnya seperti panggilan goblok, me

  ndho, peko‟, idiot‟, budeg sampai pada

  panggilan-panggilan yang bukan nama aslinya misalnya nama aslinya Nardi dipanggil Bagong namun juga dalam bentuk stigma non verbal misalnya mendapatkan penolakan dari kelompok masyarakat tertentu dan mendapatkan pandangan yang kurang menyenangkan dari orang lain serta sampai disuruh menyingkir saat datang diacara hajatan.Lebih jelasnya bentuk-bentuk stigma yang diterima oleh masyarakat yang mengalami keterbelakangan mental di Desa Sidoharjo tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini.

  Tabel 3.1 Bentuk-Bentuk Stigma yang Diterima

  STIGMA NON- NO. INFORMAN STIGMA VERBAL

  VERBAL Disuruh menyingkir saat

  • Mendho

  1. MAD datang ke acara hajatan

  • Robet(Orang Krebet) dari salah satu warga. Pandangan bahwa
  • Wong pinggiran 2.

  INU dianggap masyarakat

  • Ndeso satu desa bodoh semua. Sering ditanya-tanya tempat tinggalnya dan
  • Goblok pendapatkan pandangan

  3. DEV - Pekok yang kurang

  • Mendho menyenangkandari orang lain. Disuruh menyingkir saat orang yang keterbelakangan
  • Goblok

  4. ARI tersebut akan bergabung

  • Idiot bersama kelompok ibu- ibu yang sedang mengobrol.
  • 5. TIN

  peko‟

  • bude‟
  • Diusir oleh tetangganya
  • Goblok saat salah satu 6.

  IIM

  • Gak iso omong(bisu) penyandang datang kerumahnya.
  • 7. WAR

  Panggilan

  “Bagong” -

   Sumber: Data Primer

  Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa hampir semua informan yang ada didekat para penyandang keterbelakangan mental pernah mendengar dan melihat bahwa para penyandang keterbelakangan mental yang ada di desanya menerima stigma bahkan dari tetangganya sendiri. Informan TIN salah satu anggota keluarganya pernah disebut orang peko‟ (bodoh)dan bude‟ (bodoh).

  

“Nggeh, kasiann ngoten mbak dilok e. Kados budhe ne niki(sambil

mengelus rambut putrinya).Kadang- kadang nggeh, dijuluki peko‟,

bude‟ ngoten...”

  (TIN, 2015) Artinya:

  

“Ya, kasian gitu mbak lihatnya. Seperti tantenya ini (sambil

mengelus rambut putrinya). Kadang-kadang ya, dipanggil bodoh,

tuli seperti itu...”

  (TIN, 2015) Menurut pendapat TIN tersebut anggota keluarganya yang keterbelakangan mental mendapat dua sebutan dari orang lain yaitu sebutan

  peko‟

  dan

  bude‟. Kedua sebutan tersebut disematkan sebagai bentuk representatif dari

  keadaan penyandang keterbelakangan mental tersebut, yang memang penyandang mengalami tingkat penurunan ingat otak dan penurunan pendengarannya.

  Berbeda dengan informan IIM yang pernah melihat dan mendengar sendiri Painah salah satu penyandang keterbelakangan mental yang sering datang ke rumahnya untuk meminta tepung gaplek (tepung ketela) menerima stigma dari tetangga dan saudara-saudaranya berupa sebutan atau panggilan „goblok‟.

  

…”pamane mriki wonten tiyang mriki ngoten, ngeten mbak wong

goblok bolak-balik njaluk ae diweh i ora ngaleh ngoten. Kan Painah

niku lo mbak Sidowayah, niku mbendinten mriki mawon nyuwun,

pun disukani nopo nek dereng disukani glepung gaplek lebut niku

tasek nyuwun mawon”.

  (IIM, 2015) Artinya:

  

...”semisal disini ada orang yang datang gitu, gini mbak orang

bodoh itu sering sekali minta tapi sudah dikasih tidak mau pergi.

Kan Painah (salah satu nama penyandang) Sidowayah dikasih itu

setiap hari kesini terus minta, sudah dikasi apapun kalau belum

dikasih tepung singkong lembut itu masih saja minta terus”.

  (IIM, 2015) Menurut pengalaman IIM tersebut, tetanganya yang bernama Painah mendapat sebutan goblok dalam bahasa Indonesia yaitu bodoh yang artinya seseorang yang tidak banyak mempunyai pengetahuan dan sulit untuk memahami dan mengerjakan sesuatu. Painah dianggap orang yang bodoh dan tidak memahami apa yang dia lakukan, karena setiap hari hanya meminta tepung ketela yang dimiliki IIM, serta tidak mau pergi sebelum mendapatkannya. keterbelakangan mental saja. Namun, stigma juga dialami mereka yang bukan penyandang keterbelakangan mental. Informan MAD yang dulunya pernah sekolah di salah satu SMK Negeri di Kota Ponorogo, juga pernah menerima perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman-temannya berupa sebutan

  mendho di sekolahnya.

  ...”ngerti omahku krebet ngono, layak mendho(sambil ketawa)

  

ngonten niku. Jane nggeh mboten mendho. Terus pomo aku rodok

ngantuk ngono ke, nek nggojloki emm besok sarapan yang agak

bergizi ya..(sambil ketawa )”.

  (MAD, 2015) Artinya:

  

...”tahu rumahku Krebet gitu, makanya bodoh (sambil ketawa)

seperti itu. Tapi ya tidak bodoh. Terus kalau saya sedikit mengantuk

gitu, kalau menertawain emm besok sarapan yang lebih bergizi

ya..(sambil tertawa)”.

  (MAD, 2015) Sebenarnya jika melihat kondisi MAD yang sebenarnya, MAD bukan orang yang bodoh seperti stigma yang diberikan oleh teman-temannya tersebut.

  MAD adalah salah satu anak yang berprestasi di sekolahnya, MAD tidak pernah tidak ranking satu di kelasnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa stigma yang diberikan seseorang tidak selamanya mempresentasikan keadaan yang sesungguhnya. Namun hanya label yang melekat di desanya sebagai desa yang masyarakatnya banyak yang mengalami keterbelakangan mental atau orang memahaminya sebagai „tempat para orang bodoh‟ tinggal sehingga orang normalpun mendapat stigma yang sama.

  Selain itu juga dikarenakan MAD berasal dari Desa Krebet, informan MADmengaku pernah mendapatkan perkataan-perkataan yang kurang menyenangkan, seperti sebutan Robet yang artinya orang Krebet saat masa-masa

  

...”sampek dijuluki Robet, Orang Krebet, semua temen-temen saya

yang sekolah disitu, temen-temen disitu manggile Robet. Itu sebagai

beban tersendiri Robet ini wes sak elek-elek e wong. Jane Orbet

asline orang Krebet, orang-orang Krebet lo ya orang medho lah.

Nyek-nyek an, kesakitan nek nyang komunitas nongkronge cah- cah”.

  (MAD, 2015) Artinya:

  

...”sampai dipanggil Robet, Orang Krebet, semua teman-teman saya

yang sekolah disitu, teman-teman disitu memanggil Robet. Itu

sebagai beban tersendiri Robet itu sudah sejelek-jeleknya orang.

Aslinya Orber Orang Krebet, orang-orang Krebet ya orang Bodoh

lah. Ejek-ejekan, kesakitan kalau di komunitas nongkrong anak-

anak”.

  (MAD, 2015) Melihat pengalaman MAD terkait stigma-stigma yang pernah MAD terima dari teman-temannya tersebut, s ebutan „Robet‟ yang artinya orang Krebet sebagai bentuk representasi bahwa tempat tinggal membawa dan mempengaruhi stigma yang disematkan kepada orang lain. Sehingga stigma tidak hanya diberikan kepada mereka-mereka yang penyandang keterbelakangan saja, namun juga kepada mereka yang tinggal dalam satu desa dengan para penyandang keterbelakangan mental.

  Informan WAR mempunyai cerita sendiri terkait stigma yang diberikan masyarakat kepada beberapa penyandang keterbelakangan di desanya tersebut.

  Mulai dari tokoh masyarakat sampai warga masyarakat di Desa Sidoharjo mempunyai julukan tersendiri kepada tiga orang penyandang keterbelakangan mental yang ada di Desa tersebut. Julukan tersebut adalah julukan „Bagong‟ kepada ketiga orang laki-laki penyandang keterbelakangan mental. Namun ketiga orang tersebut masih dapat bekerja walaupun hanya dalam satu perintah pekerjaan, karena masih dalam tinggal keterbelakangan mental sedang.

  

“Ya seperti umpamanya namanya Nardi tapi dipanggil Bagong

karna memang panggilannya tiap hari ya gitu.Tapi kalau nama di

identitas sebenarnya kan bukan itu”.

  (WAR, 2015) Artinya:

  

“Ya seperti semisal namanya Nardi tapi dipanggil Bagong karena

memang panggilannya tiap hari ya seperti itu. Tapi kalau nama di

identitas sebenarnya kan bukan itu”.