BAB II INTAN ANGGARANI PRASTIWI HUKUM'17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Acara Perdata 1. Definisi Hukum Acara Perdata Hukum acara perdata menurut Sudikno Mertokusumo dalam

  bukunya “Hukum Acara Perdata Indonesia” dapat diartikan sebagai hukum memutus perkara hingga pelaksanaan putusan tersebut. Tuntutan hak yang dimaksudkan di sini adalah tindakan yang bertujuan mendapat perlindungan hukum yang seharusnya diberikan oleh pengadilan (Sudikno Mertokusumo, 2009: 2). Sedangkan menurut (Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata (dalam Hari Sasangka dan Ahmad Rifai (2005: 2) ) mendefinisikan hukum acara perdata sebagai berikut :

  “Keseluruhan kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak

  • –hak dan kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil”.

  Berdasarkan beberapa buah definisi di atas maka hukum acara perdata dapat juga disebut sistem perdata formil. Artinya, adalah sebuah perangkat yang teratur dan memiliki kaitan satu sama lain (dari tahapan pengajuan gugatan sampai putusan) yang bertujuan untuk menegakkan perdata materil melalui proses peradilan.

2. Sumber Hukum Acara Perdata

  Sumber hukum acara perdata terdiri atas kebiasaan, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, ajaran atau doctrin dan traktat. Dari beberapa sumber terebut yang dirasa sangat berperan yaitu peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi (Hari Sasangka & Ahmad Rifai, 2005:2).

  Peraturan yang dimaksudkan untuk menjalankan hukum acara menjadi 3 (tiga) aturan pokok yang terbagi atas HIR (HetHerziene ) yang dijadikan pedoman penegakan hukum acara

  Indonesisch Reglement

  perdata di Pulau Jawa dan Madura, RBg (Rechsreglement Buitengwestern) yang dijadikan pedoman penegakan hukum acara perdata di luar Pulau Jawa serta Madura, lain halnya dengan Rv (Reglement op de Burgeriljke

  

rechtsvordering ) yang dijadikan pedoman penegakan hukum acara perdata

  bagi golongan Eropa. Namun, menurut Supomo dengan dihapuskannya

  

Raad Justitie dan Hooggerechtshof, maka Rv sudah tidak berlaku lagi,

  sehingga denngan demikian hanya HIR dan RBg sajalah yang berlaku (Sudikno Mertokusumo, 2009: 7).

  Disamping sumber hukum utama tersebut, yang merupakan sumber hukum acara perdata, antara lain Undang-undang No. 20 Tahun 1947 Tentang Banding, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ( UUKK), Undang-undang No. 3 Tahun 2009 jo Undang- undang No.5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan pelaksana Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama, dan lain- lain.

3. Asas- Asas Hukum Acara Perdata

  Asas-asas hukum acara perdata dalam praktek peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut : Dalam hukum acara perdata, inisiatif untuk mengajukan tuntutan diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang berkepentingan yang merasa dan dirasa bahwa haknya telah dilanggar orang lain. Apabila tuntutan tidak diajukan para pihak yang berkepentingan maka tidak ada hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan (nemo judex sine actore). Hakim dalam hal ini tidak boleh mempengaruhi para pihak agar mengajukan suatu gugatan, konkretnya hakim bersikap menunggu apakah suatu perkara akan diajukan atau tidak (Lilik Mulyadi, 2002: 17).

  b. Asas Hakim pasif (lijdelijkheid van rehcter) Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepadanya untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan. Akan tetapi sebaliknya, hakim harus aktif dalam memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran (Sudikno Mertokusumo, 2009: 12).

  Asas hakim pasif memberikan batasan kepada hakim untuk tidak dapat mencegah apabila gugatan tersebut dicabut atau para pihak akan melakukan perdamaian (Pasal 130 HIR) atau hakim hanya mengadili mengabulkan atau menjatuhkan putusan melebihi dari apa yang dituntut (Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR) (Lilik Mulyadi, 2002: 18).

  c. Asas Pengadilan yang terbuka untuk umum (openbaarheid van Rechtcspraak ).

  Sifat terbukanya pengadilan baik dalam tahap pemeriksaan maupun dalam tahap pembacaan putusan. Apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum (Sudikno Mertokusumo, 2009). Kecuali ada alasan penting atau karena ketentuan Undang-undang, hakim memerintahkan supaya sidang dilakukan dengan pintu tertutup. Perkara semacam ini biasanya berhubungan dengan soal kesusilaan atau hal yang tidak patut didengar oleh umum, sehingga apabila umum dapat mendengar pihak yang bersangkutan segan atau malu mengemukakan hal yang sebenarnya secara terus terang (Abdulkadir Muhammad, 2008: 26).

  Tujuan dari asas ini adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat (Sudikno Mertokusumo, 2009: 14).

  

Asas mendengar kedua belah pihak yang berperkara (horen van beide

partijen )

  Setiap pihak-pihak yang berperkara harus didengar atau diperlakukan sama serta diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingan mereka. Hal ini berarti dalam pengajuan alat bukti baik berupa surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang bersengketa (Sudikno Mertokusumo, 2009: 14- 15).

  Hakim tidak boleh memihak apabila perkara itu telah resmi dibawa ke muka sidang dan mulai diperiksa. Dalam pemeriksaan tersebut hakim betul-betul harus bersikap bebas tidak memihak. Dalam sidang itu hakim akan mendengar keterangan kedua belah pihak dengan pembuktiannya masing-masing sehingga hakim dapat menentukan segala sesuatunya guna penyelesaian perkara secara adil (Abdulkadir Muhammad, 2008: 26). e. Asas putusan harus disertai alasan Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim dari pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya (Sudikno Mertokusumo, 2009: 15).

  Biaya perkara dalam acara perdata yang dikeluarkan meliputi biaya kepaniteraan, biaya untuk panggilan, pemberitahuaan para pihak, biaya materai dan biaya pengacara jika para pihak menggunakan pengacara. Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (Pasal 237 HIR, 273 RBg) (Sudikno Mertokusumo, 2009: 17).

  g. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan dipersidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan. Akan tetapi, jika para pihak menginginkan diwakili oleh kuasa atau pengacara dalam hukum acara perdata dibolehkan. Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa (Sudikno Mertokusumo, 2009: 18).

B. Penyelesaian sengketa 1. Sengketa Perdata

  Sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak disampaikan oleh Takdir Rahmadi (2011: 1) yang mengartikan bahwa konflik atau sengketa merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihan- perselisihan yang ada pada persepsi mereka saja.

  Sedangkan menurut D. Y Witanto (2012: 2) sengketa adalah pertentangan atau konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat (populasi sosial) yang membentuk oposisi/ pertentangan antara orang- orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.

  Dari beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sengketa perdata adalah terjadinya perkara perdata dikarenakan adanya pelanggaran terhadap hak seseorang, seperti diatur dalam hukum perdata. Pelanggaran hak seseorang itu dapat terjadi karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, seperti diatur dalam Undang-undang atau karena wanprestasi, yaitu tidak memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan kontrak yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kerugian yang timbul itu dapat berupa kerugian materil, misalnya kerusakan atas barang atau berupa kerugian imaterial, misalnya kehilangan hak menikmati barang atau pencemaran nama baik.

  Pelanggaran hak seseorang itu dapat terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian. Pada perkara perdata, inisiatif berperkara datang dari pihak yang dirugikan. Karena itu, pihak yang yang dirugikan mengajukan pemulihan, penggantian kerugian, dan menghentikan perbuatan yang merugikan itu (Abdulkadir Muhammad, 2008: 19-20).

2. Penyelesaian di dalam pengadilan (Litigasi)

  Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution (Nurmaningsih Amriani, 2012: 35).

  Penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat dikatakan sebagai penyelesaian sengketa yang memaksa salah satu pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan perantara peradilan. Penyelesaian sengketa melalui litigasi tentu harus mengikuti persyaratan-persyaratan dan prosedur-prosedur formal di pengadilan dan sebagai akibatnya jangka waktu untuk menyelesaikan suatu sengketa menjadi lebih lama (Jimmy Joses Sembiring, 2011: 9-10).

  Menurut Bambang Sugeng dan Sujayadi (2011: 13), proses penyelesaian sengketa di pengadilan adalah sebagai berikut: a. proses diawali dengan pendaftaran gugatan oleh Penggugat pada

  Pengadilan Negeri yang berwenang dengan membayar terlebih dahulu panjar biaya perkara, kemudian oleh Panitera akan diberi Nomor Register Perkara;

  b. gugatan yang didaftarkan kemudian dilimpahkan kepada Ketua menunjuk Majelis Hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut.

  Majelis Hakim yang ditunjuk akan menentukan hari dan tanggal Sidang I dan memerintahkan pemanggilan para pihak dalam Sidang I;

  c. pada saat Sidang I, apabila para pihak (Penggugat dan Tergugat) hadir, maka Majelis Hakim akan memerintahkan para pihak menempuh proses mediasi;

  d. para pihak yang berperkara menempuh proses mediasi dengan difasilitasi oleh seorang mediator yang terdaftar di Pengadilan Negeri yang bersangkutan dalam jangka waktu tertentu (paling lama 30 hari);

  e. apabila dalam jangka waktu yang ditentukan para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam mediasi, maka para pihak kembali masuk ke dalam persidangan dan dimulailah proses jawab jinawab. Jawab jinawab diawali dengan Jawaban Tergugat. Jawaban tergugat akan disanggah dengan Replik dari Penggugat, yang kemudian dibantah dengan Duplik dari Tergugat; f. tahap berikutnya adalah pembuktian. Pada tahap ini para pihak diberikan kesempatan untuk mengajukan alat bukti masing-masing untuk memperkeuat dalil-dalil mereka, baik bukti tertulis maupun keterangan saksi; g. setelah tidak ada lagi alat bukti yang diajukan dan diperiksa, Hakim akan menutut proses pembuktian dan mempersilahkan para pihak menyusun kesimpulan. Kesimpulan ini merupakan pendapat para pihak

  h. setelah para pihak menyampaikan kesimpulannya, Majelis Hakim akan menjatuhkan putusannya; i. apabila terdapat pihak yang berkeberatan atas putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim, dalam jangka waktu yang ditentukan, pihak yang berkeberatan dapat mengajukan upaya hukum (banding, kasasi, peninjauan kembali); j. apabila putusan telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht

  van gewujsde ), pihak yang dimenangkan oleh putusan tersebut dapat memohonkan pelaksanaan putusan (eksekusi).

3. Penyelesaian di Luar Pengadilan (Non Litigasi)

  Bentuk penyelesaian sengketa non litigasi saat ini mulai dikembangkan sebagai bentuk alternatif yang lebih dianjurkan bagi mereka yang sedang terlibat sengketa. Pada Tahun 1999 pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan sebagai pengganti dari aturan perundang-undangan kolonial yang sebelumnya berlaku (D.Y. Witanto, 2011: 10). Beberapa bentuk penyelesaian sengketa yang diatur dalam Undang- Undang tersebut antara lain :

  a. Arbitrase Secara yuridis, Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang

  Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan definisi arbitrase yaitu sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.

  Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di luar lembaga litigasi atau peradilan yang diadakan oleh para pihak yang bersengketa atas dasar perjanjian atau kontrak yang telah mereka adakan sebelumnya atau sesudah terjadinya sengketa. Para pemutus atau arbiternya dipilih dan ditentukan oleh para pihak yang bersengketa dengan tugas menyelesaikan persengketaan yang terjadi diantara mereka. Pemilihan arbiter seyogyanya didasarkan pada kemampuan dan keahliannya dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral (Rachmadi Usman, 2012: 19).

  Berdasarkan ketentuan ini, maka arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa, disamping cara lainnya. Namun dalam hal ini, harus diingat bahwa tidak semua sengketa perdata dapat diselesaikan melalui arbitrase, kecuali hanya sengketa perdata mengenai hak yang menuruut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka ( Rachmadi Usman, 2012: 19).

  b. Negosiasi Negosiasi adalah perundingan langsung di antara dua pihak atau lebih yang bersengketa tanpa bantuan pihak lain dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa (Takdir Rahmadi, 2011: 16). Negosiasi mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi), maupun pihak ketiga pengambil keputusan (arbitrase dan litigasi) (Nurnaningsih Amriani, 2012: 23).

  Adapun kelebihan penyelesaian sengketa melalui negosiasi adalah pihak-pihak yang bersengketa sendiri yang akan menyelesaikan sengketa tersebut. Pihak-pihak yang bersengketa adalah pihak yang paling tahu masalahnya dan bagaimana cara penyelesian yang diinginkan. Dengan demikian, pihak yang bersengketa dapat mengontrol jalannya proses penyelesaian sengketa ke arah penyelesaian sengketa yang diharapkan (D. Y Witanto, 2012: 17).

  c. Mediasi Mediasi adalah metode penyelesaian yang termasuk dalam kategori tripartitie karena melibatkan bantuan atau jasa pihak ketiga (D.

  Y. Witanto, 2012: 17). Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar-menawar (Nurnaningsih Amriani, 2012: 28).

  Mediasi berdasarkan prosedurnya dibagi menjadi dua bagian antara lain :

1) Tahun 1999).

  

2) Mediasi yang dilakukan di pengadilan (Pasal 130 HIR/154 RBg jo

PERMA No. 1 Tahun 2016).

  Mediasi di luar pengadilan dilakukan oleh para pihak tanpa adanya proses perkara di pengadilan, hasil kesepakatan yang diperoleh dari proses mediasi di luar pengadilan dapat diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan pengukuhan sebagai akta perdamaian yang memiliki kekuatan layaknnya Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Sedangkan mediasi yang dilakukan di pengadilan adalah proses mediasi yang dilakukan sebagai akibat dari adanya gugatan perdata ke pengadilan ( D. Y. Witanto, 2012: 18- 19).

  d. Konsiliasi Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa oleh para pihak dengan meminta bantuan pada pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Dalam konsiliasi, konsiliator menjalankan fungsi yang lebih aktif mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dan menawarkannya kepada para pihak (Rachmadi Usman, 2012: 22).

  Konsiliasi berbeda dengan mediasi meskipun keduanya sama- sama menghadirkan pihak ketiga sebagai pihak yang netral untuk membantu menyelesaikan sengketa. Salah satu perbedaan antara mediasi dan konsiliasi adalah berdasarkan rekomendasi yaang diberikan oleh pihak ketiga kepada pihak yang bersengketa. Hanya dalam sedangkan mediator dalam suatu mediasi hanya berusaha membimbing para pihak yang bersengketa menuju suatu kesepakatan. Selain itu, beberapa bentuk konsiliasi melibatkan intervensi pihak ketiga yang lebih dalam (lebih memaksa) dan aktif, mengasumsikan kecenderungan terhadap norma tertentu dan memiliki orientasi edukatif bagi satu atau lebih pihak terkait (Nurnaningsih Amriani, 2012: 34- 35).

  e. Penilaian Ahli Penilaian ahli atau biasa juga disebut pendapat ahli adalah suatu keterangan yang dimintakan oleh para pihak yang sedang bersengketa kepada seseorang ahli tertentu yang dianggap lebih memahami tentang suatu materi sengketa yang terjadi. Permintaan pendapat ahli disebabkan karena adanya perbedaan pendapat di antara kedua belah pihak. Pendapat ahli dimintakan, baik terhadap persoalan pokok sengketa maupun di luar pokok sengketa jika itu memang diperlukan, atau dengan kata lain pendapat ahli pada umumnya bertujuan untuk memperjelas duduk persoalan di antara yang dipertentangkan oleh para pihak (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000: 39).

C. Mediasi 1. Pengertian Mediasi

  Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, yaitu :

  “mediare” yang berarti “berada di tengah”. Makna ini merujuk pada peran tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak.

  “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak yang bersengketa (Syahrizal Abbas, 2011: 1- 2).

  Selain itu mediasi juga berasal dari bahasa Inggris “mediation” yang artinya penengahan atau pendamaian (Susilo Riwayadi dan Suci Nur Anisyah, 289). Gerry Goodpaster (1999: 241) memberikan pengertian tentang mediasi sebagai proses negosiasi penyelesaian masalah dimana suatu pihak luar yang tidak berpihak, netral, tidak bekerja bersama para pihak yang bersengketa untuk membantu mereka guna mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan.

  Menurut Takdir Rahmadi (2012: 12), mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Sedangkan Kovach memberikan pengertian mediasi sebagai berikut :

  “Facilitated negotiation. It is a process by which a neutral third party. The mediator, assists disputing parties in reaching a mutually satisfactory resolution ” (Suyud Margono, 2000: 59).

  Pengertian Mediasi dalam kaitannya terhadap sistem peradilan (1), mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

  Dari beberapa definisi mediasi yang diuraikan di atas, pengertian mediasi mengandung unsur-unsur menurut Sujud Margono (dalam H. P.

  Panggabean) sebagai berikut:

  a. mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan melalui suatu perundingan; b. mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundangan; c. mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian; d. mediator tidak boleh memberi kewenangan untuk mengambil keputusan selama perundingan berlangsung; e. tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau mnghasilkan kesepakatan yang dapat diterima dari pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa (H. P. Panggabean, 2011: 206- 207).

2. Tujuan dan Manfaat Mediasi

  Tujuan mediasi adalah tidak untuk menghakimi salah atau benar namun lebih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk : a. menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan;

  c. menentukan kepentingan yang pokok;

  d. menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat persetujuan; dan

  e. menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri oleh para pihak (Bambang Sutiyoso, 2008: 57).

  Dalam mediasi diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi para pihak, keuntungan tersebut diantaranya : a. mediasi diharapkan dapat menyelesaikan perkara dengan cepat dan murah dibandingkan dengan membawa perkara kepengadilan atau lembaga arbitrase;

  b. mediasi tidak hanya terpaku pada hak-hak hukumnya tetapi juga memfokuskan pada psikologi para pihak; c. mediasi memberikan kesempatan kepada para pihak dalam berpartisipasi menyelesaikan sengketa mereka; d. mediasi dapat memberikan kontrol dalam proses maupun hasil mediasi. e. mediasi memberikan hasil yang tahan uji sehingga saling menciptakan pengertian yang lebih baik diantara para pihak yang bersengketa; f. mediasi dapat menghilangkan konflik, daripada lembaga pengadilan dan lembaga arbitrase yang seolah-olah bentuk putusannya adalah memaksa ( Syahrizal Abbas, 2011: 25).

  Sedangkan Christopher W. Moore dalam “Mediasi Lingkungan” menyebutkan beberapa keuntungan yang seringkali didapatkan dari hasil a. keputusan yang hemat. Mediasi biasanya memakan biaya yang lebih murah jika dilihat dari pertimbangan keuangan dibandingkan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan litigasi yang berlarut-larut atau bentuk- bentuk pertikaian lainnya; b. penyelesaian secara cepat. Di zaman dimana persoalan bisa makan waktu sampai satu tahun untuk disidangkan di pengadilan, dan bertahun-tahun lamanya jika kasus tersebut terus naik banding, pilihan untuk melakukan mediasi seringkali menjadi salah satu cara yang lebih singkat untuk meyelesaikan sengketa;

  c. hasil-hasil yang memuaskan bagi semua pihak. Pihak-pihak yang bersengketa pada umumnya merasa lebih puas dengan jalan keluar yang telah disetujui bersama daripada harus menyetujui jalan keluar yang sudah diputuskan oleh pengambil keputusan dari pihak ketiga. Kecuali dalam kasus kriminal, ketidakpuasan semacam itu kelihatannya berlaku umum; d. kesepakatan- kesepakatan komprehensif dan “customized”. Penyelesaian sengketa melalui cara mediasi bisa menyelesaikan sekaligus masalah hukum maupun yang diluar jangkauan hukum; e. praktik dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif. Mediasi mengajarkan orang mengenai teknik-teknik penyelesaian sengketa secara praktis yang bisa digunakan untuk menyelesaikan sengketa di masa mendatang; pihak yang menegosiasikan sendiri pilihan penyelesaian sengketa mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap hasil-hasil sengketa.

  Keuntungan dan kerugian menjadi lebih mudah diperkirakan dalam suatu penyelesaian masalah melalui negosiasi atau mediasi daripada melalui proses arbitrase dan sidang pengadilan;

  g. pemberdayaan individu (personal empowermen). Orang-orang yang menegosiasikan sendiri masalah cara pemecahan masalah mereka serinngkali meras mempunyai lebih banyak kuasa daripada mereka yang melakukan advokasi melalui wali; h. melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan dengan cara yang lebih ramah. Banyak sengketa yang terjadi dalam konteks suatu hubungan yang akan berkelanjutan di tahun-tahun mendatang. Cara penyelesaian melalui mediasi yang memperhatikan semua kepentingan pihak yang terlibat seringkali bisa mempertahankan sebuah hubungan yang baik, hal ini berarti bahwa penyelsaian sengketa tidak bisa dilakukan dengan prosedur menang-kalah (win-lose); i. keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan. Pihak-pihak yang memediasikan perbedaan kepentingan mereka bisa melihat sampai pada detail-detail pelaksanaan keputusan. Kesepakatan yang dinegosiasikan atau dimediasikan dahulu bisa mencakup prosedur-prosedur yang ditambalsulamkan ungtuk mereka-reka bagaimana caranya keputusan- j. kesepakatan yang lebih baik daripada hanya menerima hasil kompromi atau prosedur menang-kalah. Negosiasi-negosiasi yang dilakukan melalui mediasi berwawasan kepentingan bisa menghasilkan pernyataan-pernyataan yang lebih memuaskan bagi semua pihak jika dibandingkan dengan keputusan kompromi dimana sebagian pihak menanggung kerugian dan sebagian lagi menikmati keuntungan.

  Mediasi berwawasan kepentingan memungkinkan semua pihak untuk melihat cara-cara untuk memperbesar kue yang akan dibagi, meningkatkan kepuasan, atau mencari jalan keluar yang seratus persen menjamin keuntungan bagi semua pihak dan tidak akan ada kerugian bagi siapapun; k. keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu. Penyelesaian sengketa melalui mediasi cenderung bertahan sepanjang masa dan jika akibat- akibat sengketa muncul kemudian, pihak-pihak bersengketa cenderung untuk memanfaatkan sebuah forum kerjasama untuk menyelesaikan masalah untuk mencari jalan tengah perbedaan kepentingan mereka daripada mencoba menyelesaikan masalah dengan pendekatan

  adversarial .

3. Dasar Hukum Mediasi di Pengadilan

  Pengaturan mengenai mediasi secara tertulis di Indonesia, awalnya terdapat dalam hukum acara perdata yaitu Pasal 130 HIR/154 RBg yang mengatur tentang perdamaian di pengadilan. Hakim yang mengadili wajib perkaranya dilanjutkan ke proses berikutnya.

  Adapun landasan formil mengenai integrasi mediasi dalam sistem peradilan adalah sebagai berikut: a. SEMA No. 1 Tahun 2002

  M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa: SEMA No 1 Tahun 2002 dikeluarkan pada tanggal 30 Januari 2002 yang berjudul Pemberdayaan Tingkat Pertama Menerapkan

  Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 Rbg). Penerbitan SEMA tersebut bertitik tolak dari salah satu hasil Rakernas Mahkamah Agung (MA) di Yogyakarta tanggal 24 sd. 27 September 2001. Motivasi yang mendorongnya, untuk membatasi perkara kasasi secara substantive dan prosesual. Sebab apabila peradilan tingkat pertama mampu menyelesaikan perkara melalui perdamaian, akan berakibat turunnya jumlah perkara pada tingkat kasasi (Tumian Lian Daya Purba, 2015: 13).

  Dalam SEMA No. 1 Tahun 2002 diberikan petunjuk kepada hakim pengadilan tingkat pertama untuk lebih mengoptimaliisasikan penyelesaian sengketa dengan cara menerapkan lembaga perdamaian. Karenanya, agar semua hakim yang menyidangkan perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan dalam Pasal 132 HIR/154 RBg tidak hanya sekedar formalitas menganjurkan perdamaian (Rachmadi Usman, 2012: 29).

  SEMA No. 1 Tahun 2002 ternyata tidak mampu memberikan solusi yang memuaskan, karena secara substansial SEMA hanya berisi himbauan atau petunjuk saja, sehingga dalam pelaksanaannya tidak begitu banyak memberikan hasil yang signifikan. Pada tahun 2003 tepatnya satu tahun sembilan bulan sejak terbitnya SEMA No. 1 Tahun 2002, Mahkamah Agung mulai merumuskan aturan dalam bentuk hukum acara yaitu dengan menerbitkan PERMA No. 2 Tahun 2003 yang berjudul “Proses Mediasi di Pengadilan” (D. Y. Witanto, 2012: 54).

  Pasal 17 PERMA ini menegaskan bahwa dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/ 154 RBg ) diinyatakan tidak berlaku (Rachmadi Usman, 2012: 30). c. PERMA No. 1 Tahun 2008 PERMA No. 1 Tahun 2008 terbit setelah melalui sebuah kajian oleh tim yang dibentuk Mahkamah Agung. Mulai tahun 2006 dibentuk suatu tim working group untuk meneliti hal-hal yang perlu disempurnakan. Produk akhirnya adalah PERMA No. 1 Tahun 2008.

  Konsiderans PERMA No. 1 tahun 2008 huruf e memuat sebagai berikut: Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Indonesia No. 2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di pengadilan (Tumian Lian Daya Purba, 2015: 14).

  Beberapa perubahan dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tersebut antara lain (D. Y. Witanto, 2012: 55) : 1) tentang batas waktu pelaksanaan mediasi; 2) tentang ancaman “batal demi hukum” tergadap persidangan tanpa menempuh mediasi terlebih dahulu;

  3) tentang pengecualian perkara yang dapat dimediasi; 4) tentang kemungkinan hakim yang memeriksa perkara menjadi mediator;

  5) tentang perdamaian pada tingkat upaya hukum; 6) tentang kesepakatan di luar pengadilan; 7) tentang pedoman perilaku mediator, honorarium, dan insentif.

  d. PERMA No. 1 Tahun 2016 PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di

  Pengadilan merupakan bentuk pembaruan dari peraturan Mahkamah Agung sebelumnya, yakni PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur PERMA No. 1 tahun 2016 tersebut. Salah satu diantaranya adalah mengenai iktikad baik para pihak yang berperkara dalam menempuh mediasi.

  Penyempurnaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan tersebut ditemukan beberapa masalah, sehingga perlu dikeluarkan PERMA baru dalam rangka memepercepat dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih luas kepada pencari keadilan.

  (Bidang Akademik dan Profesi (AKPRO) SERAMBI FHUI. 2016. Perbandingan PERMA No. 1 Tahun 2016 vs PERMA No. 1 Tahun 2008.

4. Mediasi berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2016

  Pada dasarnya mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada para pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan. Namun demikian, pada praktiknya selama ini prosedur mediasi di Pengadilan belum menghasilkan tingkat keberhasilan mediasi yang baik. Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Agung mengeluarkan dengan harapan kenaikan tingkat keberhasilan dalam mediasi.

  Hal-hal baru dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 yang diyakini dapat mengoptimalkan tingkat keberhasilan proses mediasi, diantaranya adalah sebagai berikut:

  a. Kewajiban Para Pihak Untuk Menghadiri Proses Mediasi Dengan/Tanpa Kuasa Hukum

  Pertemuan para pihak dengan mediator dalam mediasi pada dasarnya dilakukan secara langsung bisa dilakukan di ruang mediasi di pengadilan atau apabila menggunakan mediator eksternal dan para pihak sepakat bisa dilaksanakan di luar ruangan yang disediakan pengadilan. Dengan perkembangan teknologi, maka makna pertemuan mediasi secara langsung tidak harus tatap muka tetapi bisa juga dilakukan melalui media komunikasi audiovisual (Maskur Hidayat, 2016: 82).

  Dalam hal memudahkan penerapan ini, PERMA No. 1 Tahun 2016 memfasilitasi para pihak dengan memudahkan para pihak untuk melakukan mediasi melalui media komunikasi visual (Pasal 5 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2016) dan menganggap kehadiran para pihak melalui komunikasi audio visual sebagai kehadiran langsung (Pasal 6 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2016).

  Apabila para pihak tidak bisa hadir, alasan ketidakhadiran (3) PERMA No. 1 Tahun 2016). Berikut yang merupakan alasan yang sah bagi para pihak untuk tidak menghadiri proses mediasi (Pasal 6 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2016): 1) kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan mediasi berdasarkan surat keterangan dokter; 2) di bawah pengampuan; 3) mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau 4) menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.

  b. Iktikad Tidak Baik Para Pihak dalam Proses Mediasi Ketentuan mengenai iktikad baik para pihak yang menempuh mediasi diatur dalam Pasal 7 PERMA No. 1 Tahun 2016. Berbeda dengan PERMA sebelumnya, PERMA No. 1 Tahun 2016 ini mengkualifikasikan beberapa hal yang menyebabkan salah satu pihak atau para pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad baik (Pasal 7 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2016), yaitu: 1) ketidakhadiran salah satu pihak atau para pihak setelah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;

  2) menghadiri pertemuan mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2 3) ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan

  Mediasi tanpa alasan yang sah; 4) menghadiri pertemuan mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume Perkara pihak lain; dan/atau 5) tidak menandatangani konsep kesepakatan Perdamaian yang telah disepakati tanpa alasan sah.

  Uraian Pasal 7 ayat (2) PERMA tersebut di atas pada pokoknya merupakan dorongan supaya para pihak melakukan mediasi secara bersungguh-sungguh. Termasuk dalam kesungguhan mediasi adalah kehadiran dalam sesi mediasi yang telah disepakati bersama mediator juga menyangkut pengajuan resume atau tanggapan terhadap pihak lawan. Urgensi pengajuan resume adalah supaya masing-masing pihak bisa mengerti keinginan pihak lawan. Bagi mediator dengan adanya resume, maka memudahkan untuk mencari formula penyelesaian karena dari resume yang diajukan masing-masing pihak, maka bisa diketahui pokok sengketa baik yang primer maupun yang tersier. Sehingga dari resume tersebut mediator bisa mengarahkan dialog dalam sesi mediasi ke arah yang konstruktif bagi percepatan penyelesaian sengketa ( Maskur Hidayat, 2016: 69).

  Akibat hukum salah satu pihak atau para pihak beriktikad tidak baik dalam proses mediasi adalah pengenaan kewajiban pembayaran biaya mediasi. Namun, apabila pihak yang beriktikad tidak baik itu tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara (Pasal 22-23 PERMA No. 1 Tahun 2016). Lebih lanjut, terhadap putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima serta penetapan pengenaan kewajiban pembayaran biaya mediasi tidak dapat dilakukan upaya hukum lebih lanjut (Pasal 35 ayat (2) PERMA No. Nomor 1 Tahun 2016) (Damar Ariotomo,

  c. Jangka Waktu Penyelesaian Mediasi Sejak Adanya Penetapan Perintah Untuk Melakukan Mediasi

  Berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2016, proses mediasi saat ini hanya memiliki jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak adanya penetapan perintah melakukan mediasi. (Pasal 24 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2016). Namun demikian, apabila kedua belah pihak sepakat untuk memperpanjang proses mediasi, PERMA No. 1 Tahun 2016 memberikan jangka waktu perpanjangan proses mediasi yang lebih banyak dibandingkan jangka waktu perpanjangan proses mediasi yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008. Saat ini jangka waktu perpanjangan mediasi dapat diberikan hingga 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhirnya jangka waktu proses mediasi (Pasal 24 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2016).

  d. Kesepakatan Sebagian Hal baru lainnya dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 ini adalah kesepakatan sebagian itu diantaranya:

  1) Kesepakatan sebagian pihak yang bersengketa (Pasal 29 PERMA No. 1 Tahun 2016);

  Maksud dari kesepakatan sebagian pihak yang bersengketa adalah kesepakatan antara sebagian pihak baik penggugat ataupun Tergugat yang berperkara di tahapan mediasi. Dalam hal suatu sengketa terdiri dari penggugat dan beberapa tergugat apabila dalam proses mediasi tercapai kesepakatan antara penggugat dengan salah satu tergugat (tetapi tidak menyangkut seluruh tergugat), maka kesepakatan tersebut dapat dibuat dan ditanda tangani oleh sebagian pihak tergugat serta mediator (Maskur Hidayat, 2016: 81).

  Dalam hal proses mediasi mencapai kesepakatan antara penggugat dan sebagian pihak tergugat, berdasarkan Pasal 29 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2006, penggugat mengubah gugatan dengan tidak lagi mengajukan pihak tergugat yang tidak mencapai kesepakatan sebagai pihak lawan. Selanjutnya, terhadap para pihak (tergugat) yang tidak mencapai kesepakatan damai tersebut, penggugat dapat mengajukan kembali gugatan terhadap pihak tersebut (Damar Ariotomo,

  Kesepakatan perdamaian model ini tidak dapat dilakukan pada perdamaian sukarela tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya PERMA No. 1 Tahun 2016).

  Tetapi apabila jumlah penggugat lebih dari satu dan sebagian atau seluruh pihak tergugat, tetapi sebagian penggugat yang tidak mencapai kesepakatan tidak bersedia mengubah gugatan, maa mediasi tersebut dinyatakan tidak berhasil (Pasal 29 ayat (5) PERMA No. 1 Tahun 2016) (Maskur Hidayat, 2016: 81). 2) Kesepakatan sebagian objek perkara atau tuntutan hukum (Pasal 30-

  31 PERMA No. 1 Tahun 2016); Maksud dari kesepakatan sebagian objek sengketa atau tuntutan hukum, adalah kesepakatan antara para pihak terhadap sebagian objek perkara atau tuntutan hukum. Dengan adanya sebagian objek sengketa atau tuntutan hukum yang telah disepakati oleh para pihak di tahapan mediasi, maka pada saat pemeriksaan di Pengadilan Negeri, hanya dilanjutkan pemeriksaan terhadap objek perkara atau tuntutan hukum yang tidak mencapai kesepakatan di tahapan mediasi (Ariotomo, Damar,

  

  Terhadap hal yang sudah disepakati, maka hakim pemeriksa wajib mencantumkan dalam pertimbangan serta amar putusan. Kesepakatan perdamaian model ini juga berlaku pada perdamaian sukarela pada tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali (Maskur Hidayat, 2016: 82).

5. Tahapan mediasi

  Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak penemu penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan (Nurnaningnsih Amriani, 2012: 147). PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan penjabaran dari lembaga perdamaian yang diatur oleh Pasal 130 HIR/ 154 RBg. Konsep mediasi diintegrasikan ke dalam proses perdamaian di pengadilan karena HIR maupun RBg tidak mengatur secara rinci tentang bagaimana prosedur perdamaian dimaksud. Kondisi menumpuknya perkara di Mahkamah Agung memicu timbulnya pemikiran untuk mengoptimalkan lembaga perdamaian agar bisa menyaring perkara-perkara perdata agar tidak semuanya bermuara ke Mahkamah Agung (D. Y. Witanto, 2012: 58).

  Adapun dalam proses mediasi di Pengadilan diatur prosedur beracara mediasi yakni : a. Tahap Pra mediasi

  Dalam tahap ini penggugat terlebih dahulu memasukan

gugatannya ke Pengadilan Negeri, kemudian gugatan diterima oleh

Pengadilan Negeri. Pada hari yang telah ditentukan dan dihadiri kedua

belah pihak, Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi.

  mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi sesuai PERMA No. 1 Tahun 2016 kepada para pihak yang bersengketa (Pasal 17 PERMA No. 1 Tahun 2016) (Nurnaningsih Amriani, 2012: 148).

  Setelah para pihak hadir pada sidang pertama, Hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama dua hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan Hakim. Apabila dal; am jangka waktu tersebut para pihak tidak dapat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada Ketua Majelis Hakim. Kemudian Ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara untuk menjalankan fungsi mediator (Pasal 19 PERMA No. 1 Tahun 2016) (Nurnaningsih Amriani, 2012: 148- 149). b. Tahap proses mediasi Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah Ketua Majelis

  Hakim Pemeriksa Perkara menerbitkan penetapan untuk melakukan mediasi dan penunjukan mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada pihak lain dan mediator yang telah ditunjuk (Pasal 24 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2016).

  Setiap pihak diberi kesempatan untuk mempresentasikan suatu biasanya pihak yang mengajukan kasus memulai presentasi namun hal itu bukanlah hal yang tidak dapat diubah. Tujuan dari presentasi ini adalah untuk memberi informasi kepada mediator tentang situasi perkara serta keinginan dan harapan para pihak dan apabila pokok sengketa sudah diketahui, maka mediator (Maskur Hidayat, 2016: 100).

  Selanjutnya apabila pokok sengketa sudah diketahui, maka mediator dan para pihak bisa lebih fokus pada upaya mencari solusi yang tepat. Mediator menerangkan pokok masalah yang hendak diselesaikan serta memberikan tawaran atau skenario penyelesaian sengketa yang sekiranya bisa diterima para pihak dan kemudian memberi pendapat mengenai poin-poin yang menghambat atau menjadi titik tolak terjadinya sengketa. Bila dianggap perlu mediator juga dapat menggunakan metode kaukus seperti yang diatur dalam Pasal 14 huruf e PERMA No. 1 Tahun 2016, yaitu pertemuan satu pihak saja dengan mediator tanpa dihadiri pihak lainnya (Maskur Hidayat, 2016: 111- 112).

  Proses mediasi berlangsung paling lama 30 hari kerja sejak penetapan perintah melakukan mediasi. Mediator atas permintaan para pihak dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu mediasi atas dasar kesepakatan para pihak kepada Hakim Peeriksa Perkara disertai alasannya (Pasal 24 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun

  c. Mediasi mencapai kesepakatan Dalam hal para pihak telah mencapai kesepakatan untuk berdamai, maka mediator harus merumuskan kesepakatan dalam suatu formulasi yang tepat. Kesepakatan yang sudah diformulasikan tersebut haruslah diarahakan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator (Maskur Hidayat, 2016: 108). Dengan adanya kesepakatan perdamaian secara tertulis, maka terdapat bukti tertulis bahwa diantara para pihak yang bersengketa tersebut telah mencapai kesepakatan perdamaian melalui mediasi, seihingga tidak ada pihak yang dapat mengingkari adanya kesepakatan damai ini (Rachmadi Usman, 2012: 199).

  Jika para pihak telah mencapai kata sepakat untuk berdamai dan sekaligus mengukuhkan kesepakatan dalam akta perdamaian, maka para pihak bisa memohon kepada Hakim Pemeriksa Perkara agar dikuatkan dalam akta perdamaian. Namun, jika para pihak tidak mengehendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, maka kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan/atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai (Pasal 27 ayat (4) dan (5) PERMA No. 1 Tahun 2016) (Maskur Hidayat, 2016: 109).

  d. Mediasi tidak mencapai kesepakatan Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2016, kesepakatan dan memberitahukannya secara tertulis kepada Hakim

  Pemeriksa Perkara, dalam hal : 1) Para pihak tidak menghasilkan kesepakatan sampai batas waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari berikkut perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3), atau

  2) Para pihak dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d dan e.

  Menurut Maskur Hidayat (2016: 110), apabila mediasi gagal, maka sengketa yang ditangani dalam proses mediasi berarti dilanjutkan pada pemeriksaan dan pembuktian dalam sidang perdata di pengadilan. Hal-hal yang harus diperhatikan apabila mediasi gagal adalah : 1) Pernyataan dan pengakuan para pihak tidak bisa digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan.

  2) Notulen atau catatan mediator wajib dimusnahkan.

  Dua hal di atas merupakan penekanan bahwa proses mediasi meskipun terintegrasi ke dalam proses beracara di pengadilan tetapi ketika tidak berhasil, maka proses pemeriksaan harus tetap dilaksanakan tanpa boleh dipengaruhi oleh hasil atau efek dari prosedur penyelesaian sengketa yang sudah dilaksanakan sebelumnya (mediasi) (Maskur Hidayat, 2016: 110).