BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellitus 1. Definisi - BAB II INTAN PURNAMA DEWI FARMASI'16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellitus 1. Definisi Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit

  metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (Perkeni, 2011). Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu sindrom klinik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (glukosa puasa ≥ 126 mg/dl atau postpradial ≥ 200 mg/dl). Bila diabetes mellitus tidak segera diatasi akan terjadi gangguan metabolisme lemak dan protein, dan resiko timbulnya gangguan mikrovaskular atau makrovaskular meningkat (Gunawan, 2008).

2. Patofisiologi

  Hiperglikemia timbul akibat berkurangnya insulin sehingga glukosa darah tidak dapat masuk ke sel-sel otot, jaringan adipose atau hepar. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dimakan terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke sel sehingga energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak. Lipolisis bertambah dan lipogenesis terhambat, akibatnya dalam jaringan banyak tertimbun asetil KoA (zat yang penting pada siklus asam sistrat dan prekursor utama dari lipid dan steroid, terbentuk dengan cara menggabungkan gugus asetil pada koenzim A selama oksidasi karbohidrat, asam lemak atau asam-asam amino), dan senyawa ini akan banyak diubah menjadi zat keton karena terhambatnya siklus TCA (

  Tricarboxylic Acid Kreb’s Cycle). Zat keton merupakan

  sumber energi yang berguna terutama pada saat puasa. Metabolisme zat keton pada pasien DM meningkat, karena jumlahnya yang terbentuk lebih banyak daripada yang dimetabolisme. Keadaan ini disebut ketoasidosis yang ditandai dengan napas yang cepat dan dalam disertai adanya bau aseton (Tjay, 2007).

3. Jenis Diabetes Mellitus a. Tipe 1

  Diabetes ini merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes (Depkes RI, 2005). Pada DM tipe 1 disebabkan karena rusaknya sel-

  β pankreas dan seringkali terjadi pada pasien di bawah 15 tahun

  (Walker R, 2003). Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam- macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella, herpes dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe autoantibodi yang dihubungkan dengan DM tipe 1, antara lain: ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet Cell Surface Antibodies), dan antibodi terhadap GAD (Glutamic Acid Decarboxylase ) (Depkes RI, 2005).

b. Tipe 2 Diabetes Mellitus tipe 2 paling banyak menyerang orang dewasa.

  Penderita DM tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi diabetes, yang umumnya berusia diatas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini DM tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (Depkes RI, 2005). Pada DM tipe 2 lebih disebabkan karena faktor genetik dan obesitas (Walker R, 2003). Berbeda dengan DM tipe 1, pada penderita DM tipe 2 terutama yang berada pada tahap awal umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup didalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazin disebut sebagai “Resistensi insulin” (Depkes RI, 2005).

4. Komplikasi

  Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi akut dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa komplikasi yang sering terjadi dan harus diwaspadai (Depkes RI, 2005).

a. Hipoglikemia

  Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran. Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya kematian (Depkes RI, 2005).

  Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50 mg/dl, walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia pada kadar glukosa plasma diatas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 1, yang dapat dialami 1-2 kali per minggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan di Inggris diperkirakan 2-4% kematian pada penderita diabetes mellitus tipe 1 disebabkan oleh serangan hipoglikemia. Pada penderita diabetes mellitus tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin. Serangan hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:

  1)

Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)

2) Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh

  dokter atau ahli gizi

  3) Berolahraga terlalu berat 4) Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada

  seharusnya

  5) Minum alcohol 6) Stres 7) Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan resiko

  hipoglikemia Disamping penyebab diatas, pada penderita DM perlu diperhatikan apabila penderita mengalai hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya adalah : 1) Dosis insulin yang berlebihan 2) Saat pemberian yang tidak tepat 3) Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik berlebihan 4) Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu terhadaap insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis

  (Depkes RI, 2005) b.

   Hiperglikemia

  Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan oleh stress, infeksi, dan konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur. Apabila diketahui dengan cepat, hiperglikemia dapat dicegah tidak menjadi parah. Hiperglikemia dapat memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti gastroparesis, disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis = DKA) yang dapat berakibat fatal dan membawa kematian. Hiperglikmia dapat dicegah dengan kontrol kadar gula darah yang ketat (Depkes RI, 2005).

c. Komplikasi makrovaskular

  Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita diebates adalah penyakit jantung koroner (coronary

  

heart disease = CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit

pembuluh darah perifer (peripheral vascular disease = PVD).

  Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga terjadi pada dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain: Syndrome X, Cardiac

  

Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau Insulin

Resistance Syndrome . Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar

  resikonya pada penderita diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantung sangat penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadar kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mmHg. Untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya hidupnya, termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan gizi seimbang, berolahraga secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya (Depkes RI, 2005).

d. Komplikasi mikrovaskular

  Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 1. Hiperglikemia yang persiten dan pembentukan protein yang terglikasi (HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh serta terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskular, antara lain retinopati, nefropati, dan neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat terjadi dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda resiko komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk perkembangan komplikasi mikrivaskular tetap lama (durasi) dan tingkat keparahan diabetes. Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat jalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar gula darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan suntikan insulin multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai dengan monitoring kadar gula darah mandiri dapat menurunkan resiko timbulnya komplikasi mikrovaskular sampai 60% (Depkes RI, 2005).

5. Penatalaksanaan DM Tipe 2

  Pengaturan Pola Hidup Lakukan setiap step jika target tidak tercapai (umumnya HbA <7.0%) 1c Lini 1

  Sulfonilurea atau Metformin Penghambat α- glukosidase

  Lini 2 Penghambat α-

  Sulfonilurea Metformin glukosidase atau atau (jika bukan lini 1) DPP-4 atau

  Thiazolidinedione Lini 3

  Basal Insulin Penghambat α- atau glukosidase atau GLP-1 atau atau Pre-Mix Insulin DPP-4 atau agonist

  Thiazolidinedione Lini 4

  Basal+ Basal insulin, atau meal-time Pre-mix insulin insulin

  (Later basal+meal- time) = Pendekatan Umum = Pendekatan Alternatif

  Gambar 1. Algoritma terapi DM 2 menurut International Diabetes Federation (IDF), 2012.

a. Terapi Farmakologi 1) Insulin

  Insulin tergolong hormon polipeptida yang awalnya diekstraksi dari pankreas babi maupun sapi, tetapi kini telah dapat disintesis dengan teknologi rekombinan DNA menggunakan E. Coli. Hormon ini dimetabolisme terutama di hati, ginjal, dan otot (Depkes RI, 2000)

2) Obat Hiperglikemik Oral (OHO)

  Secara umum, DM dapat diatasi dengan obat-obat antidiabetes yang secara medis disebut obat hipoglikemia oral (OHO). Obat ini tidak boleh sembarangan dikonsumsi karena dikhawatirkan penderita menjadi hipoglikemia. Pasien yang mungkin berespon terhadap obat hipoglikemik oral adalah mereka yang diabetesnya berkembang kurang dari 5 tahun. Pasien yang sudah lama menderita diabetes mungkin memerlukan suatu kombinasi obat hipoglikemik dan insulin untuk mengontrol hiperglikemiknya. Obat-obat hipoglikemik oral dibagi atas 5 golongan:

  a) Golongan sulfonilurea

  Sulfonilurea menstimulasi sel-sel beta dari pulau langerhans, sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Disamping itu, kepekaan sel-sel beta bagi kadar glukosa darah juga diperbesar melalui pengaruhnya atas protein transport glukosa. Obat ini hanya efektif pada penderita diabetes mellitus tipe 2 yang tidak begitu berat, yang sel-sel betanya masih bekerja cukup baik. Ada indikasi bahwa obat-obat ini juga memperbaiki kepekaan organ tujuan bagi insulin dan menurunkan absorbsi insulin oleh hati (Tjay, 2007).

  b) Golongan biguanide

  Metformin adalah satu-satunya golongan biguanid yang tersedia, bekerja menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa jaringan. Obat ini hanya efektif bila terdapat insulin endogen. Kelebihan dari golongan biguanid adalah tidak menaikkan berat badan, dapat menurunkan kadar insulin plasma, dan tidak menimbulkan masalah hipoglikemia (Depkes RI, 2000).

  c) Golongan penghambat alfa glukosida

  Obat ini merupakan obat oral yang biasanya diberikan dengan dosis 150-600 mg/hari yang menghambat alfa- glukosidase, suatu enzim pada lapisan sel usus yang mempengaruhi digesti sucrose dan karbohidrat kompleks. Obat ini efektif pada pasien dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl. Akarbose bekerja menghambat alfa-glukosidase sehingga memperlambat dan menghambat penyerapan karbohidrat (Depkes RI, 2000).

  d) Thiazolidindion

  Thiazolidindion merupakan obat baru yang efek farmakologinya berupa penurunan kadar glukosa darah dan insulin dengan jalan meningkatkan kepekaan insulin dari otot, jaringan lemak, dan hati. Zat ini tidak mendorong pankreas untuk meningkatkan pelepasan insulin seperti pada sulfonilurea (Tjay, 2007).

  e) Meglitinida

  Kelompok obat terbaru ini bekerja menurunkan suatu mekanisme khusus, yaitu mencetuskan pelepasan insulin dari pancreas segera sesudah makan. Meglitinida harus diminum cepat sebelum makan, dan karena reabsorpsinya cepat maka mencapai kadar puncak dalam satu jam. Insulin yang dilepaskan menurunkan glukosa darah secukupnya. Ekskresinya juga cepat dalam satu jam sudah dikeluarkan tubuh (Tjay, 2007).

b. Terapi Non Farmakologi

  Pokok pangkal penanganan diabetes adalah makan dengan bijaksana atau diet. Semua pasien harus memulai diet dengan pembatasan kalori, terutama pada pasien dengan berat badan berlebih. Makanan perlu dipilih secara seksama terutama pembatasan lemak total dan lemak jenuh untuk mencapai normalitas kadar glukosa dan lipid darah (Tjay, 2007).

  Bila terdapat resistensi insulin, gerak badan secara taratur (olahraga) dapat mengurangi permasalahan tersebut. Hasilnya insulin dapat dipergunakan secara baik oleh sel tubuh dan dosisnya pada umumnya dapat diturunkan (Tjay, 2007).

B. Drug Related Problems (DRPs)

  Drug Related Problems (DRPs) merupakan suatu peristiwa atau keadaan

  dimana terapi obat berpotensi atau secara nyata dapat mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan (Bemt and Egberts, 2007; Pharmaceutical Care

  Network Europe Faoundation, 2010).

  Klasifikasi DRPs menurut Pharmaceutical Care Network Europe Foundation (PCNE V 6.2).

  Tabel 1. Klasifikasi dasar menurut PCNE V 6.2 Kode

  V6.2 Domain utama Masalah P1

  P2 P3 P4 Efektifitas terapi Reaksi yang tidak diinginkan Biaya pengobatan Lainnya

  Penyebab C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8

  Pemilihan obat Bentuk obat Seleksi obat Durasi pengobatan

Pemakaian obat/ proses administrasi

Logistik Pasien Lainnya

  Kode Domain utama

  V6.2 Intervensi

  I0 Tidak ada intervensi

  I1 Pada tahap peresepan

  I2 Pada tahap pasien

  I3 Pada tahap obat

  I4 Lainnya Hasil Intervensi O0 Hasil tidak diketahui

  O1 Seluruh masalah terselesaikan O2 Sebagian masalah terselesaikan O3 Masalah tidak terselesaikan Sumber : Pharmaceutical Care Network Europe Foundation, 2010.

  Tabel 2. Klasifikasi masalah DRPs menurut PCNE V 6.2 Domain utama Kode Masalah

  V6.2 Efektifitas terapi P1.1 Tidak ada efek terapi dari obat / kegagalan terapi.

  P1.2 Efek terapi tidak optimal.

P1.3 Efek yang tidak diinginkan dari terapi.

P1.4 Indikasi yang tidak ditangani.

  Reaksi yang tidak P2.1 Kejadian yang tidak diinginkan (non alergi). diinginkan P2.2 Kejadian yang tidak diinginkan (alergi).

  P2.3 Toksisitas akibat reaksi obat yang tidak diinginkan.

  Biaya pengobatan P3.1 Obat lebih mahal dari yang diperlukan.

  P3.2 Obat yang tidak perlu.

  Lain-lain P4.1 Pasien tidak puas dengan terapi akibat hasil terapi dan biaya pengobatan.

  P4.2 Masalah atau keluhan yang tidak jelas. Klasifikasi lain diperlukan. Sumber : Pharmaceutical Care Network Europe Foundation, 2010.

  Tabel 3. Klasifikasi penyebab terjadinya DRPs menurut PCNE V 6.2 Domain utama Kode Penyebab

  V6.2 Pemilihan obat C1.1 Obat yang tidak tepat.

  C1.2 Pemberian obat tanpa indikasi. C1.3 Kombinasi yang tidak tepat atau adanya interaksi obat dengan makanan.

  C1.4 Adanya duplikasi obat pada terapi atau bahan aktif. C1.5 Indikasi bagi penggunaan obat tidak ditemukan. C1.6 Terlalu banyak obat yang diresepkan pada indikasi. C1.7 Terdapat obat lain yang lebih cost effective. C1.8 Dibutuhkan obat yang sinergistik/pencegahan namun tidak diberikan.

  

C1.9 Indikasi baru bagi terapi obat muncul.

  Bentuk sediaan obat C2.1 Bentuk obat yang tidak sesuai. yang tidak tepat. Pemilihan dosis C3.1 Dosis terlalu rendah.

  C3.2 Dosis terlalu tinggi. C3.3 Regimen dosis tidak cukup. C3.4 Frekuensi regimen dosis berlebih. C3.5 Tidak ada monitoring terapi.

  Domain utama Kode

  I0.0 Tidak ada intervensi Pada tahap peresepan

  

Obat dihentikan

Obat baru mulai digunakan Intervensi atau aktivitas lain

  Dosis diganti menjadi …. Formulasi diganti menjadi …. Intuksi untuk penggunaan diganti menjadi ….

  I3.5 I3.6 Obat diganti dengan ….

  I3.3 I3.4

  I3.1 I3.2

  Pada tahap obat

  I2.3 I2.4 Konseling pasien (obat) Hanya memberikan informasi tertulis Mempertemukan pasien dengan dokter Bebicara dengan keluarga pasien

  I2.1 I2.2

  Pada tahap pasien

  I1.5 Menginformasikan kepada dokter Mengajukan informasi dari dokter Mengajukan intervensi yang diperbolehkan oleh dokter Mengajukan intervensi yang tidak diperbolehkan oleh dokter Mengajukan intervensi yang hasilnya tidak diketahui

  I1.3 I1.4

  I1.1 I1.2

  Tabel 4. Intervensi yang diberikan berdasarkan PCNE V 6.2 jika terjadi DRPs Domain utama Kode V 6.2 Intervensi Tidak ada intervensi

  V6.2 Penyebab C3.6 C3.7

  

Tidak ada penyebab yang jelas.

Sumber : Pharmaceutical Care Network Europe Foundation, 2010.

  Lain-lain C8.1 C8.2 Penyebab lain.

  Pasien tidak benar menyimpan obat.

  Pasien menggunakan obat yang tidak diperlukan. Pasien mengkonsumsi makanan yang berinteraksi dengan obat.

  Pasien C7.1 C7.2 C7.3 C7.4 Pasien lupa mengkonsumsi obat.

  Kesalahan peresepan. Kesalahan dispensing (salah obat / salah dosis).

  Ketersediaan C6.1 C6.2 C6.3 Obat yang diminta tidak tersedia.

  

Obat yang dikonsumsi kurang.

Obat yang dikonsumsi lebih.

Obat sama sekali tidak dikonsumsi.

Obat yang digunakan salah.

Penyalahgunaan obat. Pasien tidak dapat menggunakan obat sesuai interuksi.

  Proses penggunaan obat C5.1 C5.2 C5.3 C5.4 C5.5 C5.6 C5.7 Waktu penggunaan atau interval dosis yang tidak tepat.

  Durasi terapi terlalu lama.

  Durasi terapi C4.1 C4.2

Durasi terapi terlalu singkat.

  Masalah farmakokinetik yang membutuhkan penyesuaian dosis. Memburuknya/ membaiknya tahap penyakit yang membutuhkan penyesuaian dosis.

  I4.1 I4.2 Intervensi lain (spesifik) Melaporkan efek samping kepada otoritas Sumber : Pharmaceutical Care Network Europe Foundation, 2010. Tabel 5. Hasil dari intervensi menurut PCNE V 6.2 Domain utama Kode V 6.2 Hasil intervensi Tidak diketahui O0.0 Hasil dari intervensi tidak diketahui Terselesaikan

  O1.0 Seluruh masalah terselesaikan Sebagian terselesaikan O2.0 Sebagian masalah terselesaikan Tidak terselesaikan

  O3.1 O3.2 O3.3 O3.4 Masalah tidak terselesaikan, karena pasien tidak

kooperatif

Masalah tidak terselesaikan, karena dokter tidak

kooperatif

Masalah tidak terselesaikan, karena intervensi yang dilakukan tidak efektif Masalah yang tidak perlu atau tidak mungkin terselesaikan

  Sumber : Pharmaceutical Care Network Europe Foundation, 2010.

  • catatan: satu masalah (atau kombinasi intervensi) hanya dapat menyebabkan satu tingkat pemecahan masalah (PCNE V 6.2).

C. Rumah Sakit

  Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan alat ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personal terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik ( Siregar, 2003).

  Pada umumnya tugas rumah sakit adalah menyediakan keperluan untuk pemeliharaan dan pemulihan kesehatan. Menurut KEPMENKES RI Nomor : 983/Menkes/SK/XI/1992, Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksudkan, Rumah Sakit mempunyai fungsi :

  1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit;

  2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanankesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;

  3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalamrangka peningkatan kemampuan pemberian pelayanan kesehatan; dan

  4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

  D. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)

  Instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) adalah suatu unit/ bagian di rumah sakit yang melakukan pekerjaan kefarmasian dan memberikan pelayanan kefarmasian menyeluruh, khususnya kepada pasien, profesional kesehatan, rumah sakit, serta masyarakat pada umumnya, dipimpin oleh seorang apoteker yang sah, kompeten dan profesional (Siregar, 2004).

  Kriteria penetapan prioritas penerapan fungsi dan pelayanan IFRS didasarkan pada berbagai hal berikut:

  1. Fungsi yang memastikan tersedianya obat yang paling sesuai, efektif, aman, rasional, dan memadai.

  2. Fungsi yang memastikan, langsung mempengaruhi penulisan serta penggunaan obat yang paling tepat dan rasional.

  3. Fungsi yang memastikan upaya peningkatan keamanan dan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat.

  4. Fungsi dan pelayanan yang segera dapat dilakukan tanpa penambahan biaya yang besar.

  5. Fungsi dan pelayanan yang menjadi keahlian serta keterampilanapoteker.

  6. Fungsi dan pelayanan atas permintaan profesional kesehatan lainnya.

  (Siregar, 2004).

  E. Resep

  Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter kepada apoteker untuk membuat dan atau menyerahkan obat kepada pasien. Yang berhak menulis resep ialah :

  1. Dokter 2. Dokter gigi, terbatas pada pengobatan gigi dan mulut.

  3. Dokter hewan, terbatas pengobatan hewan. Dalam resep harus memuat :

  1. Nama, alamat, dan nomor izin praktek Dokter, Dokter gigi dan Dokter hewan

  2. Tanggal penulisan resep (inscription)

  3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep. Nama setiap obat atau komposisi obat (invicatio)

  4. Aturan pemakaian obat yang tertulis (signatur).

  5. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai denganperundang- undangan yang berlaku (subscriptio)

  6. Jenis hewan dan nama serta alamat pemiliknya untuk resep Dokter hewan

  7. Tanda seru dan paraf Dokter untuk resep yang mengandung obat yang jumlahnya melebihi dosis maksimal (Anief, 1988).

F. Rekam Medik

  Setiap Rumah Sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara rekam

  medik yang memadai dari setiap penderita, baik untuk penderita rawat tinggal maupun rawat jalan. Rekam medik harus secara akurat didokumentasikan, segera tersedia, dapat dipergunakan, mudah ditelusuri kembali (retrieving), dan lengkap informasi. Rekam medik adalah sejarah ringkas, jelas dan akurat dari kehidupan dan kesakitan penderita, ditulis dari sudut pandang rekam medik. Definisi rekam medik menurut Surat Keputusan Direktur Jendral Pelayanan Medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang diberikan kepada seorang penderita selama riwayat di Rumah Sakit, baik rawat jalan maupun rawat tinggal (Siregar, 2003).

  Kegunaan Rekam Medik:

  1. Digunakan sebagai dasar perencanaan dan keberlanjutan perawatan penderita.

  2. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap profesional yang berkontribusi pada perawatan penderita.

  3. Melengkapi bukti dokumen terjadinya/penyebab kesakitan penderita dan penanganan/pengobatan selama tiap tinggal di Rumah Sakit.

  4. Digunakan setiap dasar untuk kaji ulang study dan evaluasi perawatan yang diberikan kepada penderita.

  5. Membantu perlindungan kepentingan hukum penderita, rumah sakit dan praktisi yang bertanggung jawab.

  6. Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan.

  7. Sebagai dasar perhitungan biaya dengan menggunakan data dalam rekam medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang penderita (Siregar, 2003).