B AB I PENDAHULUAN - PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DENGAN PERIKANAN EKOSISTEM : STUDI KASUS DI PERAIRAN KABUPATEN ACEH BARAT - Repository utu

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Kabupaten Aceh Barat merupakan salah satu wialayah operasional pengelolaan perikanan yang masuk kedalam teritorial wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 572, Perairan Aceh Barat termasuk perairan yang saat ini banyak dimanfaatkan potensi ikan pelagis kecilnya oleh nelayan tradisional setempat maupun yang berasal dari provinsi lain.

  Pengelolaan perikanan tidak cukup hanya dengan mempertimbangkan target populasi yang berkelanjutan. namun, pengelolaan perikanan perlu juga mempertimbangkan ekosistem dan sumberdaya hayati yang berkelanjutan sebagai habitat dari populasi ikan. Dampak ekosistem akibat pemanfaatan sumberdaya hayati menjadi penting untuk diidentifikasi lebih awal agar kerusakan sumberdaya bisa diminimalisir dan diantisipasi sehingga tidak menimbulkan degradasi sumberdaya hayati yang berkelanjutan. Pendekatan yang lebih mengedepankan aspek keberlanjutan ekosistem ini lebih dikenal dengan pendekatan ekosistem terhadap manajemen perikanan tangkap.

  Di beberapa wilayah terjadi eksploitasi sumberdaya ikan tanpa kendali. Pada daerah dengan stok yang sudah menipispun, laju penangkapan masih terus meningkat. Sehingga keterbatasan akses terhadap sumberdaya, tidak jarang menimbulkan konflik perebutan sumberdaya ikan. Pengendalian perikanan Pendekatan ekosistem merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumber daya yang mempertimbangkan perilaku, karakteristik atau sifat dari alam yang selama ini harus dinomor duakan setelah kepentingkan manusianya dikedepankan. Oleh karena itu, kita perlu melakukan facing –out kepada model pengelolaan ,sumber daya perikanan berbasis ekosistem yang dikenal sebagai

  

Ecosystem Based Fisheries Management (EAFM), pengelolaan sumber daya

  perikanan mencakup keseluruhan ekosistem termasuk aspek stakeholder dan dampak yang terjadi pada setiap sektor yang terkait pada perikanan.

  EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management ) adalah pendekatan pencapaiaan tujuan perikanan melalui pemahaman tentang interaksi antara komponen biotik, abiotik dan manusia dalam sebuah unit ekosistem perairan. Lebih lanjut, EAFM melengkapi dan mengintrgrasikan berbagai pendekatan yang ada untuk perikanan, kelautan dan pengelolaan sumber daya pesisir. Pengelolaan perikanan berkelanjutan dapat dicapai melalui pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries

  

Management). EAFM merupakan sebuah konsep yang menyeimbangkan antara

  tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan( kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan (Adrianto et al., 2013). Penelitian

  1.2. Perumusan Masalah

  Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pendekatan pengelolaan sumber daya perikanan kasus kelembagaan di Kabupaten Aceh Barat

  1.3. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk :

  1. Mengetahui prinsip domain teknik penangkapan perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) perairan Aceh Barat.

  2. Mengetahui status pengelolaan sumberdaya perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Aceh Barat.

  1.4. Manfaat Penelitian

  1. Hasil penelitian diharapkan bisa memberi gambaran mengenai kondisi perikanan cakalang di perairan Aceh Barat saat ini.

  2. Sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi dalam menyusun kebijakan pengelolan sumber daya perikanan cakalang di perairan Aceh Barat.

  1.5. Batasan Penelitian

  Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penelitian ini sesuai dengan prinsip pengelolaan perikanan cakalang berbasis EAFM (Ecosystem Approach to

  Fisheries Management) domain teknik penangkapan ikan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Ikan Cakalang (Katwonus pelamis)

2.1.1. Klasifikasi dan morfologi

  Klasisifikasi ikan cakalang (Katwonus pelamis) menurut Saanin (1984) diacu dalam Fausan (2011) adalah sebagai berikut : Phylum : Vertebrata

  Class : Telestoi Ordo : Perciformes

  Famili : Scombridae Genus : Katsuwonus

  Species : Katsuwonus pelamis (Skip jack)

Gambar 2.1. Ikan Cakalang (Sumber: Freitas, 2015)

  Cakalang termasuk jenis ikan tuna dalam famili Scombridae, bentuk serta mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hypural (Departemen Pertanian (1983) diacu dalam Fausan (2011).

  Ikan Cakalang banyak terdapat di daerah tropis dan subtropis, salah satunya terdapat di Pasifik timur dengan suhu air tempat ikan ini adalah 5 – 13 C (dapat sampai 23

  C). Menurut Nakamura (1991) diacu dalam Fausan (2011), potensi ikan cakalang di seluruh dunia cukup besar, dengan tingkat regenerasi cukup tinggi. Oleh karenanya tidak perlu khawatir akan habis meskipun dilakukan penangkapan dalam jumlah besar.

  Cakalang adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol (Scholling) sewaktu mencari makan. Kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km/jam.

  Kemampuan renang ini merupakan salah satu fektor yang menyebabkan penyebarannya dapat mengikuti skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas, termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudra. Pengetahuan mengenai penyebaran tuna dan cakalang sangat penting artinya dalam usaha penangkapan (Supadiningsih & Rosana 2004 diacu dalam Fausan, 2011)

2.1.2. Habitat

  Secara garis besarnya, cakalang mempunyai daerah penyebaran dan

2.1.3. Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang

  Salah satu faktor penentu keberhasilan dalam usaha penangkapan ikan adalah ketepatan dalam menentukan suatu daerah penangkapan ikan (DPI) yang layak untuk dapat dilakukan operasi penangkapan ikan. Pada umumnya nelayan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mencari schooling ikan, karena dalam menentukan daerah penangkapan ikan hanya berdasarkan intuisi/insting sehingga tidak efektif karena hasil tangkapan tidak pasti (Muklis et al., 2009).

  Prediksi daerah yang potensial untuk penangkapan ikan dapat dilakukan melalui pengkajian parameter-parameter oseanografi yang berhubungan dengan keberadaan ikan itu sendiri. Suhu dan konsentrasi klorofil-a merupakan parameter oseanografi yang berpengaruh bagi keberadaan sumberdaya ikan. Informasi spasial dan temporal dari parameter-parameter oseanografi dari citara satelit dapat dimanfaatkan untuk mengkaji daerah potensial penangkapan ikan cakalang (Muklis, et al., 2009). Dalam operasi penangkapan ikan cakalang, salah satu kendala dalam berburu cakalang adalah lemahnya informasi fishing ground baik secara spasial maupun temporal. Kondisi iklim global yang berubah-ubah semakin menyulitkan dalam menentukan fishing ground ikan cakalang, sehingga perburuan cakalang menjadi kurang efektif, boros waktu dan bahan bakar namun hasilnya kurang optimal. Kegiatan penangkapan ikan akan menjadi lebih efisien dan efektif apabila daerah penangkapan ikan dapat diduga terlebih dahulu, sebelum armada penangkapan

II.2. Kapasitas Perikanan dan Upaya Penangkapan Ikan

  Fishing capacity atau kapasitas penangkapan ikan belum didefinisikan

  secara tegas oleh FAO, baik di dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) maupun di dalam International Plan of Action (IPOA), karena sulitnya menyatakan satu definisi yang tepat dan tidak meragukan. Ada yang negara yang mendefinisikan fishing capacity dalam terminologi Gross Tonnage (GT) dan Daya Mesin Utama dimana pemanfaatan secara penuh kapal tersebut adalah kapasitas usahanya. Kemudian ada juga yang mendefinisikan fishing capacity sebagai jumlah ikan yang dapat ditangkap oleh satu kapal atau armada bila tidak dibatasi oleh peraturan atau pertimbangan tingkat panen yang berkelanjutan (Adrianto et al., 2013). Pada prinsipnya, fishing capacity dapat didefinisikan dengan mengacu pada faktor input penangkapan (yakni: kapal dan upaya) atau pada faktor output penangkapan (yakni: potensi tangkapan). Dengan mempertimbangkan beberapa pengertian diatas dan sisi kepraktisan dalam implementasi untuk mengestimasinya, maka pada modul ini, fishing capacity didefinisikan sebagai jumlah hasit tangkapan ikan maksimum yang dapat dihasilkan pada periode waktu tertentu (tahun) oleh satu kapal atau armada bila dioperasikan secara penuh, dimana upaya dan tangkapan tersebut tidak dihalangi oleh berbagai tindakan pengelolaan perikanan yang menghambatnya. Satuan unit yang digunakan untuk fishing capacity adalah ton/tahun (Adrianto et al., 2013).

  Sementara, effort atau upaya penangkapan ikan didefinisikan sebagai penangkapan ikan beroperasi aktif di dalam air), Namun, unit yang paling umum digunakan untuk satuan effort adalah trip. Trip merupakan istilah yang dipergunakan untuk menyatakan satuan waktu yang ada (Adrianto et al., 2013).

  Fishing capacity menjadi input control dalam manajemen perikanan tangkap. Input perikanan yang berlebih berpotensi menimbulkan kapasitas yang berlebin (over capacity). Jadi overcapacity diartikan sebagai situasi berlebihnya kapasitas input perikanan, yakni armada penangkapan ikan yang digunakan untuk menghasilkan output perikanan (hasil tangkapan ikan) pada level tertentu.

  

Overcapacity yang berlangsung terus menerus akan menyebabkan overfishing,

  sehingga hal ini tentu saja akan dapat menghambat terwujudnya perikanan yang berkelanjutan dan lestari (Adrianto et al., 2013).

  Untuk mengetahui apakah di suatu perairan terdapat kecenderungan akan terjadi fishing capacity berlebih yang akan mengancam kelestarian sumber daya ikan, maka dilakukan dengan pendekatan tidak langsung, yakni melihat nilai ratio antara fishing capacity pada tahun dasar (tahun sebelumnya) dibandingkan dengan

  

fishing capacity pada tahun terakhir. Bila nilai rationya dibawah 1 (satu), maka

  dapat diperkirakan ada kecenderungan akan terjadi overcapacity yang pada akhimya akan menyebabkan terjadinya overfishing. Jadi, kriteria penilaian baik atau buruknya indikator fishing capacity dan effort dalam pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem di suatu perairan adalah dengan melihat nilai rationya. Satuan unit yang digunakan untuk indikator fishing capacity adalah nilai

2.3. Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem (EAFM)

  Didalam dunia perikanan, pengelolaan perikanan berbasis ekosistem (EBFM) atau sering juga disebut sebagai EAFM (Ecosystem Approach to

  

Fisheries Management) telah diidentifikasi sebagai sebuah pendekatan

  pengelolaan yang cukup sukses dikala pendekatan pengelolaan perikanan lain mengalami kegagalan (Adrianto, 2010 diacu dalam Adrianto et al., 2013). Ward.

  

et al. (2002) diaju dalam Adrianto et al. (2013). Menyebutkan bahwa didalam

  pengelolaan berbasis ekosistem, keberlanjutan ekologi adalah menjadi tujuan utama dari sistem pengelolaan ini, begitu pula dengan pemahaman kritis akan tingkat ketergantungan kesejahteraan manusia dengan tingkat kesehatan ekologi (Adrianto, 2010 diacu Adrianto et al., 2013). Menyebutkan lebih lanjut bahwa secara sederhana EAFM atau EBFM dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara pengetahuan, informasi dan ketidak pastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.

  Menurut Gracia and Cochrane (2005) diacu dalam Adrianto et al. (2013), seperti pendekatan pengelolaan konvensional, implementasi EAFM memerlukan perencanaan kebijakan (policy planning), perencanaan strategi (strategic

  

planning), dan perencanaan operasional manajemen (operational management

planning). Perencanaan kebijakan diperlukan dalam konteks makro implementasi EAFM melalui penggabungan tujuan sosial ekonomi dan pertimbangan lingkungan dan sumberdaya ikan. Selain itu, dalam perencanaan kebijakan juga ditetapkan mekanisme koordinasi pusat dan daerah, koordinasi antar sektor, dan hubungan antara regulasi nasional dan internasional terkait dengan implementasi EAFM secara komprehensif.

  Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM) antara lain adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3) perangkat pengelolaan sebaiknya

  

compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian

  dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (Adrianto et

  al., 2013).

BAB III METODE PENELITIAN

  3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan dari bulan April sampai Mei 2015 di Kabupaten

Aceh Barat. Adapun lokasi penelitian adalah 3 lokasi yaitu PPI Ujong Baroh, TPI

  

Meureubo dan TPI Samatiga, 3 lokasi ini di Aceh Barat merupakan pusat kegiatan

perikanan tangkap.

  3.2. Metode Penelitian

  Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dan pembahasan secara deskriptif. Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, wawancara, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15 dalam Afriani, 2009).

  Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive

  

sampling. Metode ini digunakan terutama pada saat terbatasnya jumlah responden

  yang ada dilokasi penelitian, atau juga sering digunakan untuk penelitian secara cepat (Afriani, 2009). perairan Aceh Barat dan stakeholder serta akademisi yang ikut terlibat dalam penelitian ini yaitu DKP, UPTD,TPI dan PPI meulaboh.

  Adapun jumlah responden nelayan yang diambil dalam penelitian ini menggunakan rumus Pengambilan sampling dalam (Arikunto, 2002).

  n=25 % x N

  Keterangan : n = Jumlah sampel N= Jumlah Populasi

  Penelitian ini menggunkan data sekunder maupun data primer, adapun cara dan prosesnya yaitu sebagai berikut : a. Data sekunder

  Data sekunder diperoleh dari data statistik perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Barat serta dari hasil penelitian-penelitian dan publikasi publikasi ilmiah terkait yang pernah dilakukan.

  b. Data primer Data primer untuk wawancara dan kuisioner diperoleh dari sampel responden yang dipilih secara khusus dari pelaku (individu atau organisasi) yang mengerti terhadap permasalahan penelitian. Pengisian kuesioner dan wawancara ditujukan lansung kepada pihak petugas Dinas Kelautan Dan Perikanan (DKP), panglima laot, nelayan, Himpunan nelayan seluruh Indonesia (HNSI) dan akademisi.

  Pengumpulan data primer berdasarkan sumber dan informasi yang ingin

  Data Responden 2 orang yaitu

  Sistem pengelolaan perikanan tangkap

  1 DKP staf DKP Aceh diaceh barat Barat

  Kebijakan pemerintah terhadap proses

  3 Orang yaitu

  2 Panglima laot pengelolaan perikanan tangkap di aceh panglima laot barat kecamatan Mengenai ruang lingkup domain 30 orang

  3 Nelayan teknik penangkapan ikan Nelayan Mengenai kinerja nelayan dalam 1 orang yaitu

  4 HSNI memanfaatkan sumber daya perikanan Ketua HNSI 1 orang dari

  Mengenai status pengelolaan Fakultas

  5 Akademisi perikanan tangkap diaceh barat Perikanan dan Ilmu Kelautan

3.4. Penilaian Indikator EAFM

  Penilaian indikator EAFM dilakukan untuk dapat mengetahui kondisi perairan Aceh Barat terhadap domain teknologi penangkapan ikan. Penentuan status pengelolaan perikanan pada perairan Aceh Barat dilakukan melalui analisis komposit terhadap indikator pada domain teknologi penangkapan ikan. Hasil analisis komposit ini dapat divisualisasikan dengan teknik flag modelling agar dapat mengetahui status pengelolaan perikanan di perairan Aceh Barat.

  Flag Modelling

Kriteria Bobot Skor Analisis Kriteria

Indikator Indikator Indikator Komposit Indikator

Gambar 3.1. Teknik Flag modeling (Adrianto et al., 2011)

3.5. Analisis Data

  Analisis EAFM merupakan salah satu pendekatan multi atribut dengan pendekatan kepada gejala atau performa indikasi kondisi ekosistem perairan secara umum (Adrianto et al., 2011).

  Analisis EAFM ini dilakukan melalui pendekatan indikator teknik penangkapan ikan. Indikator secara sederhana didefinisikan sebagai sebagai sebuah alat atau jalan untuk mengukur, mengindikasikan, atau merujuk sesuatu hal dengan lebih atau kurang dari ukuran yang diinginkan (Adrianto et al., 2011).

  Pada penelitian ini dilakukan penilaian terhadap 6 indikator yang ada pada domain teknologi penangkapan ikan. Setiap indikator memiliki kriteria dan bobot penilaian yang berbeda. Kriteria dan bobot masing-masing indikator dapat dilihat pada Tabel 3.1 (Adrianto et al., 2011).

Tabel 3.2. Metode pengukuran, kriteria, dan bobot indikator pada domain teknologi penangkapan ikan

  Metode Bob Domain Indikator Penguk Kriteria ot uran

  Teknologi Metode 1=frekuensi penangkapan Penangkapa penangkapan ikan dengan alat n Ikan ikan yang penangkapan ikan bersifat destruktif dan atau ilegal

  Wawanc destruktif dan tinggi ; 30 ara atau illegal 2 = frekuensi penangkapan ikan dengan alat penangkapan

  Modifikasi alat Wawanc 1 = modifikasi alat

  25 penangkapan ara penangkapan ikan dan atau ikan menimbulkan dampak yang sedang terhadap SDI; 3 = modifikasi alat penangkapan ikan dan atau alat bantu penangkapan ikan menimbulkan dampak yang rendah terhadap SDI

  Fishing capacity 1 = FP aktual > Poptimal (overcapacity); 2 = FP

  Wawanc aktual = FPoptimal; dan 3 15 ara

  = FP aktual < FP optimal (undercapacity)

  Selektifitas alat 1= tinggi (> 75%) ; tangkap 2 = sedang (50-75%) ; 3 = rendah (kurang dari

  Wawanc

  15 50%/tidak ada ara penggunaan alat tangkap yang tidak selektif)

  Kesesuaian 1 = lebih dari 100% ; fungsi dan 2 = 50-100 %, ukuran kapal Wawanc 3 = kurang dari 50%

  10 penangkapan ara ikan dengan dokumen legal Sertifikasi awak 1= Kepemilikan sertifikat kapal perikanan rendah; 2= Kepemilikan

  Wawanc sesuai dengan sertifikat sedang; 3 = 5 ara peraturan Kepemilikan sertifikat

  Tinggi

  Jumlah 100

  Visualisasi hasil penilaian indikator EAFM menggunakan teknik flag

  

modeling. Teknis Flag Modeling dilakukan dengan pendekatan Multi Criteria

Analysis (MCA) di mana sebuah set kriteria dibangun sebagai basis bagi analisis

  keragaan wilayah pengelolaan perikanan dilihat dari pendekatan ekosistem dalam

  2. Kaji keragaan setiap indikator yang diuji.

  1.00

  61

  60 Sedang

  41

  40 Kurang baik

  21

  20 Buruk

  Deskripsi Rendah Tinggi Buruk

  3. Berikan skor untuk setiap keragaan indikator

  Rentang Nilai Model Bendera

Tabel 3.3. Visualisasi model bendera untuk indikator EAFM. (Adrianto et al., 2014 )

  = f (C A I y ………y = 1,2,3……z; z = 11) Indikator yang dinilai kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis y komposit sederhana berbasis rataan aritmetik yang kemudian ditampilkan dalam bentuk model bendera (Adrianto et al., 2011) (Tabel 3.2).

  WPPi

  6. Kembangkan indeks komposit untuk seluruh keragaan EAFM dengan model fungsi sebagai berikut : C-

  5. Kembangkan indeks komposit masing-masing aspek dengan model fungsi : C A i = f (C A n….n=1,2,3…..m)

  4. Tentukan bobot untuk setiap indikator

  80 Baik 81 100 Baik sekali Pengelolaan Domain Teknik Ruang Lingkup Data Primer Perikanan

  Penangkapan Analisa dan Sekunder Ikan

  Feeback Analysis Perfoma Analisa Set Kriteria Indikator Pengelolaan Performa EAFM Ikan

Gambar 3.2. Kerangka Pendekatan Analisa Pengelolaan Perikanan Berbasis

  Ekosistem (EAFM) (Sumber : Adrianto et al., 2011)

Gambar 3.3. Kerangka Domain Penangkapan Ikan (Sumber : Adrianto et al.,

  2011)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Letak Geografis Lokasi Penelitian

  Secara geografis Kabupaten Aceh Barat terletak pada letak geografis Kabupaten Aceh Barat secara astronomi terletak pada 04°06'-04°47' Lintang Utara dan 95°52'- 96°30' Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Aceh Barat memiliki batas administrasi Kabupaten Aceh Jaya dan Pidie di sebelah utara, dan sebelah timur Kabupaten Aceh Tengah dan sebelah barat Samudra Indonesia Kabupaten Nagan Raya di sebelah barat dan selatan (Hafinuddin, 2010).

  Kabupaten Aceh Barat terletak dibagian ujung pulau sumatera dipesisir

  2 Barat,luas wilayah Kabupaten Aceh Barat mencapai 2.927,95 Km atau seluas

  292,795 Ha sedangkan panjang garis pantai diperhitungkan 50.55 km dengan luas

  2

  laut 12 mil atau 233 km daratan (DKP, 2007 diacu dalam Hafinuddin, 2010) Kabupaten ini memiliki empat kecamatan yang berbatasan lansung dengan

  Samudera Indonesia dan merupakan Kecamatan pesisir yaitu Kecamatan Johan Pahlawan, Meureubo, Samatiga dan Kecamatan Arongan Lambalek. Serta 8 kecamatan daratan yaitu Kaway XVI, Sungai Mas, Pantee Ceureumen, Panton Ree, Bubon, Woyla, Woyla Barat dan Woyla Timur.

  PPI Meulaboh berlokasi di Desa Ujong Baroh, Kecamatan Johan Pahlawan. Luas Wilayah Kecamatan Johan Pahlawan adalah 44,91 Km2 atau 1,53

4.2. Keadaan Umum Perikanan Laut Aceh Barat

  Kabupaten Aceh Barat memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang cukup besar dan memiliki peluang yang cukup menjanjikan untuk pengembangan sub sektor perikanan khususnya perikanan tangkap. Diperkirakan potensi perikanan laut di perairan Aceh Barat mencapai lebih kurang 12.556.6 ton per tahun (Statistik Perikanan Aceh, 2013).

4.2.1. Unit Penangkapan Ikan

  Unit penangkapan merupakan satu kesatuan dari nelayan, kapal dan alat tangkap yang merupakan faktor yang menentukan dalam usaha penangkapan ikan.

4.2.1.1. Kapal

  Berdasarkan data Statistik Perikanan Aceh (2013), jumlah armada penangkapan ikan di Kabupaten Aceh Barat mencapai 848 unit, yang didominasi oleh armada perahu kapal motor 559 unit,. Rincian data jumlah armada penangkapan dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Jumlah armada penangkapan pada tahun 2008 – 2013

  No Armada Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013

  1 Perahu tanpa Jukung

  74

  74

  74

  74

  74

  74 motor PP Kecil

  39

  39

  93

  93

  93

  93

  • PP sedang

  41

  41

  41

  41 PP legar

  76

  76

  7

  7

  7

  7

  2 Motor tempel 138 138

  74

  74

  74

  74

  3 Kapal motor <5 GT 509 509 509 509 509 378 5-10 GT

  35

  35

  35

  35 35 159

4.2.1.2. Alat Tangkap

  Jenis alat tangkap ikan cakalang yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Aceh Barat antara lain, pancing tonda, pancing ulur, pukat cincin, dan rawai hiu. Dalam perkembangannya jenis alat tangkap pancing, pancing tonda yang mendominasi alat tangkap di Kabupaten ini. Menurut nelayan penggunaaan alat tangkap pancing tonda lebih efektif dibandingkan alat tangkap yang ramah lingkungan lainnya. Menurut Nelayan Aceh Barat sekitar 80% pengunaan alat tangkap pancing tonda ini diduga sangat sesuai dilokasi perairan Aceh Barat dan diperairan tempat daerah penangkapan lainnya (fishing ground) karena didukung oleh arus yang kuat.

4.2.2. Volume dan Nilai Produksi Ikan Cakalang

  Produksi perikanan cakalang di Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2013 mencapai 1.632,2 ton, dimana pada tahun tersebut telah mengalami peningkatan sebesar 36,37% dari tahun sebelumnya (tahun 2012). Adapun peningkatan rata- rata produksi perikanan cakalang dari tahun 2008-2013 adalah sebesar 47.09% (lihat tabel 4.1 dan gambar 4.1). Besarnya peningkatan produksi pertahun diduga karena nelayan Aceh Barat memperbesar dan memperjauh daerah fishing ground ikan cakalang.

Tabel 4.2. Volume dan nilai produksi ikan cakalang di Kabupaten Aceh Barat tahun 2008-2013

  Nilai Volume Pertumbuhan Pertumbuhan Tahun Produksi (x produksi (%) (%) Rp 1000)

  2008 325,9 0,00 3910800 2009 321,7 -1,29 4825452 18,96 2010 841,9 161,70 12628500 61,79 2011 965,9 14,73 16299041 22,52 2012 1196,9 23,92 20801521 21,65 2013 1632,2 36,37 20528145 -1,33

  Rata-Rata Pertumbuhan 47,09 24,72 per tahun

  Sumber: Statistik Perikanan Aceh, 2008-2013; diolah kembali 2000

  ) n

  1500

  to ( si k u d

  1000

  ro p e m

  500

  u ol

  V

  2008 2009 2010 2011 2012 2013

  

Tahun

Gambar 4.1. Volume produksi ikan cakalang di Kabupaten Aceh Barat

  Tahun 2008-2013

  2008 2009 2010 2011 2012 2013 5000000 10000000 15000000 20000000 25000000

  Tahun N il a i P ro d u k s i (x R p

   1 )

Gambar 4.2. Perkembangan Nilai Produksi Ikan Cakalang di Kabupaten

  Aceh Barat Tahun 2008 - 2013 Nilai produksi ikan cakalang di Kabupaten Aceh Barat pada tahun 2013

  

mencapai Rp 20.528.145.000,-. Namun pada tahun 2013 telah telah terjadi

penurunan nilai produksi sebesar -1,33% dari tahun sebelumnya (tahun 2012).

  Adapun peningkatan rata-rata per tahun (tahun 2008-2013) adalah sebesar 24,72% (lihat Tabel 4.1 dan Gambar 4.2).

  2008 2009 2010 2011 2012 2013 5000000

  10000000 15000000 20000000 25000000

  N ila i P ro d u k si ( x R p

   1

  00 0) Aceh Barat mengenal adanya dua musim yang berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan ikan, yaitu musim barat dan musim timur. Musim timur biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai April, musim ini adalah musim melaut bagi nelayan dalam menangkap ikan cakalang. Musim barat terjadi pada bulan Mei - September, pada kondisi ini umumnya nelayan enggan tidak melaut karena cuaca buruk.

  Armada penangkapan ikan yang ada di Kabupaten ini didominasi oleh armada kapal motor dengan ukuran gross tonase yang besar (5 – 10 GT), yaitu sebanyak 534 unit (Statistik Perikanan Aceh, 2013) maka diduga jarak tempuh armada tersebut jauh dari perairan Aceh Barat atau diprediksikan nelayan kabupaten ini melaut dengan radius 150 mil ke arah laut lepas.

  Daerah penangkapan ikan (fishing ground) cakalang yang sangat potensial diduga terjadi pada bulan April – Oktober, yang terdapat pada 6 titik yaitu di Pulau Sinabang, Pantai Murami (Sabang), Pantai Kausar (Sinabang), Calang (Aceh Jaya), Sudu (Aceh Besar) serta perbatasan Srilanka (India). Pada bulan April – Oktober menurut nelayan Aceh Barat ,bahwa rentang bulan tersebut merupakan puncak musim untuk penangkapan ikan cakalang. Diduga daerah penangkapan potensial terbanyak diduga terdapat pada bulan September yaitu yang diprediksikan sebanyak 4 titik fishing ground (Pulau Sabang, Calang, Pantai Kausar, Pantai Murami). Hal ini sesuai dengan munculnya musim puncak ikan cakalang di perairan pada bulan September. Pada bulan Oktober daerah yang rendah. Wilayah yang masuk dalam kategori sedang dalam penangkapan cakalang menurut nelayan Aceh Barat terdapat di Perairan Calang, Aceh Selatan, serta Aceh Besar.

4.3. Analisis Status dan Kondisi Perikanan Cakalang di Aceh Barat

  Berdasarkan hasil wawancara diduga besarnya produksi ikan cakalang di Kabupaten Aceh Barat dihasilkan sebayak tangkapan target utama (80%) dan hanya 20% merupakan taget sampingan (DKP, Data Statistik Perikanan Aceh 2008-2013). Sangat jelas menyebutkan bahwa saat ini sumberdaya perikanan ikan cakalang di Kabupaten Aceh Barat sedang mengalami peningkatan dengan volume produksi ikan cakalang rata rata 47,09%, sedangkan untuk hasil nilai produksi ikan cakalang mengalami peningkatan rata rata 24,72% dibanding dengan hasil tangkapan tahun yang lalu, bahkan beberapa responden menyebutkan waktu yang dibutuhkan oleh nelayan menuju ke lokasi tangkap sangat beragam dari hanya beberapa jam hingga memakan waktu yang cukup lama. Namun pada umumnya nelayan skala kecil hanya membutuhkan waktu beberapa jam dari pangkalan pelabuhannya. Sedangkan untuk perikanan skala besar memerlukan waktu yang lebih lama sekitar 5-10 hari untuk mencapai lokasi tangkapnya di Perairan Aceh Barat hingga luar Aceh.

  Menurut nelayan peningkatan produksi ikan cakalang ini di dukung karena sedang berlangsungnya musim timur. pada musim timur nelayan-nelayan Aceh

4.4.1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan illegal

  Hasil penelitian ini menunjukan bahwa di Aceh Barat khususnya kecamatan Johan Pahlawan di UPTD PPI Ujong Baroh tahun 2015 tidak ada metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan ilegal yang merusak secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan Nilai indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan ilegal di perairan Aceh Barat tergolong dalam kondisi baik karena diduga jumlah frekuensi pelanggarannya < 5 kasus pertahun, hal ini diperoleh dari hasil analisis wawancara nelayan Aceh Barat.

  Kegiatan penangkapan ikan dengan cara yang merusak dan atau ilegal, secara umum dipicu oleh kondisi masyarakat penangkap ikan (nelayan) yang miskin dan pemahaman yang minim mengenai siklus hidup ikan dan ekosistem yang mendukungnya (yang menjadi tempat tinggal dan berkembang biak), serta tingginya permintaan pasar perdagangan ikan, sehingga mendorong mereka untuk mencari cara yang singkat dan mudah untuk mendapatkan banyak uang melalui eksploitasi sumber daya ikan sedemikian rupa guna meraih hasil tangkapan ikan yang banyak dalam waktu yang singkat walaupun menggunakan cara-cara penangkapan yang ikan yang merusak dengan mengabaikan kepentingan lingkungan. Selain itu, kurangnya penegakan hukum bagi pelaku penangkapan ikan yang merusak tersebut dan ditambah lagi dengan kurangnya informasi serta rendahnya kesadaran konsumen mengenai bagaimana ikan-ikan yang

4.4.2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan

  Hasil analisis indikator modifikasi alat penangkapan dan alat bantu penangkapan ikan diperairan Aceh Barat tergolong dalam kondisi sedang, karena terdapat 25 – 50 % ukuran ikan tangkapan yang lebih kecil dari nilai Lm. Menurut data base fishbase nilai Lm (length at first maturity) ikan cakalang berkisar 45 cm, sedangkan hasil rata-rata tangkapan ikan diperairan Aceh Barat 45% dari hasil tangkapan berukuran 30 cm, data yang didapatkan dilapangan ini menunjukan dalam kondsi sedang karena ukuran ikan dari hasil tangkapan 45% nya lebih kecil dari nilai Lm.

  Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan didefinisikan sebagai penggunaan alat tangkap dan dan alat bantu yang tidak sesuai dengan peraturan yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap sumber daya ikan. Penentuan indikator ini dilakukan karena modifikasi alat tangkap dan alat bantu yang tidak sesuai dengan peraturan akan memberikan dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan (Adrianto et al.,, 2013).

  Umumnya alat tangkap yang dimodifikasi tanpa memperhatikan peraturan atau panduan yang telah ditetapkan pemerintah akan berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan. Demikian juga dengan modifikasi alat bantu penangkapan, seperti: penggunaan rumpon yang berlebihan dengan jarak yang sangat berdekatan. Hal tersebut, tentu akan mengganggu pola ruaya atau migrasi penangkapan ikan yang memodifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapannya serta ditambah lagi minimnya pengetahuan dan kesadaran konsumen mengenai ukuran yang layak diperdagangkan atau dikonsumsi, mengakibatkan perkembangannya semakin sulit dikendalikan, sehingga hal tersebut tentu saja akan dapat menghambat terwujudnya perikanan yang berkelanjutan dan lestari (Adrianto et al.,, 2013).

4.4.3. Kapasitas Penangkapan

  Dari hasil fishing capacity dan effort data dilapangan memiliki nilai perbandingan yang cukup signifikan, adapun perbandingan nilai fishing capacity pada tahun 2009 sebesar 10.540.704 ton dan pada tahun 2013 sebesar 992.385 ton, dari data tersebut setelah dirumuskan melalui hasil pembagaian nilai fishing

  

capacity (FC) tahun 2009 dan Ardianto 2013 bahwa nilai rasio fishing capacity

  pada tahun 2009 dan 2013 berjumlah 10,62, dengan demikian dapat disimpulkan menurut kriteria penilaian EAFM nilai rasio fishing capacity > 1, yang berarti bahwa di perairan Aceh Barat tergolong dalam kondisi baik.

  Kapasitas penangkapan atau fishing capacity merupakan jumlah waktu yang dihabiskan untuk menangkap ikan di wilayah perairan tertentu. Penentuan banyaknya trip penangkapan satu jenis unit penangkapan ikan dalam setahun adalah dengan memperhitungkan bahwa dalam satu tahun unit penangkapan tersebut secara total beroperasi berapa banyak. Faktor-faktor yang mempengaruhi

4.4.4. Selektivitas tangkapan

  Dari data yang diperoleh, jumlah armada penangkapan ikan adalah 153 unit, yang terdiri atas 113 unit menggunakan alat tangkap yang selektif yaitu pancing tonda, pancing ulur, pukat cincin, dan rawai hiu. Sedangkan kapal yang menggunakan alat tangkap yang kurang selektif berjumlah 40 unit adapun alat tangkap yang kurang selektif yaitu pukat trawl. (UPTD PPI Meulaboh,2015). Dengan demikian hasil analisis indikator selektifitas dan menggunakan alat penangkapan ikan diperoleh 26,14%, alat tangkap yang sudah diPPI Meulaboh kurang selektif. Menurut kriteria EAFM hasil tersebut menunjukan bahwa di perairan Aceh Barat penggunaan alat yang kurang selektif (PS) masih tergolong baik karena nilai PS lebih lebih kecil dari 50%.

  Selektivitas penangkapan merupakan aktivitas penangkapan ikan yang dikaitkan dengan luasan, waktu dan keragaman hasil tangkapan. Pemilihan indikator ini dilakukan karena selektivitas penangkapan yang rendah akan memberikan dampak langsung terhadap kelestarian sumber daya ikan. Selektivitas penangkapan dapat diidentikan dengan sifat keramahan lingkungan, maksudnya adalah bahwa alat tangkap ikan memiliki selektivitas penangkapan yang baik atau tinggi berarti pula alat tangkap tersebut merupakan alat tangkap ramah lingkungan (Adrianto et al.,2013).

  Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penilaian keberhasilan implementasi dianggap belum berhasil, dan sebaliknya, pengelolaan perikanan dianggap berhasil, bila tingkat selektivitas penangkapan tinggi (Adrianto et al.,, 2013).

  

4.4.5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkap ikan dengan dokumen

legal

  Dari 10% data populasi dokumen kapal legal, 15 unit kapal hasil pemeriksaan terdapat dokumen legal yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan sejumlah 5 dokumen, dari hasil analisis data persentase jumlah dokumen legal yang tidak sesuai dengan fakta dilapangan sebesar 33,3%, oleh karena itu, dapat diduga kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkap ikan dengan dokumen legal dalam kondisi sedang, karena menurut kriteria penilaian EAFM apabila tingkat kesesuaiannya berkisar 30 – 50 % berarti dalam kondisi sedang.

  Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal merupakan sebagai perbandingan antara dokumen surat legal yang dimiliki dengan aktivitas nyata dari fungsi dan dimensi ukuran kapal dalam melakukan operasi penangkapan ikan. Pemilihan indikator ini dilakukan, karena bila antara surat ijin yang dikeluarkan berbeda dengan aktivitas kenyataan yang ada, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar aturan atau illegal fishing, dan secara tidak langsung tentunya akan berpotensi mengancam kelestarian sumber daya ikan (Adrianto et al., 2013).

  Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen dapat menyebabkan pengelolaan perikanan menjadi bias atau tidak tepat, yang diakibatkan oleh kesalahan data atau informasi yang diterima. Dengan demikian, bila ada masih terdapat ketidaksesuaian antara dokumen legal dengan faktanya, sudah dapat dipastikan akan memberikan dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya ikan yang ada. Akibat selanjutnya tentu akan sulit atau bahkan tidak akan mungkin mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggung jawab

  (responsible fisheries) (Adrianto et al., 2013).

4.4.6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan

  Menurut hasil penelitian terhadap kapal >5 GT sebesar 52 unit kapal diperoleh kapal yang bersertifikat hanya 24 unit kapal maka, hasil perhitungan didapatkan presentase jumlah sampel kapal penangkapan ikan yang dioperasikan oleh awak kapal yang bersertifikat adalah sebesar 46,15%. Dengan demikian dapat disimpulakan menurut criteria penilaian EAFM komposit ini dalam kondisi buruk, karena nilai presentase < 50% berarti dalam kondisi buruk..

  Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan dapat didefinisikan sebagai awak kapal perikanan yang telah memenuhi syarat kecakapan tertentu untuk bekerja diatas kapal. Sertifikasi awak kapal dilakukan dengan manfaat untuk penerapan kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab oleh awak kapal perikanan. Indikator ini didekati dengan mengukur tingkat kepemilikan awak kapal terhadap sertifikasi ANKAPIN dan ATKAPIN.

  Sertifikasi awak kapal perikanan yang sesuai dengan peraturan secara tidak langsung juga turut andil dalam menentukan kelestarian sumber daya ikan.

  Hal ini dapat dimengerti bahwa bila awak kapal yang mengoperasikan kapal penangkapan ikan, belum bersertifikat, maka dapat diperkirakan bahwa aktivitas penangkapan ikannya tidak dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab. Hal ini tersebut, secara tidak langsung akan memberikan dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya ikan yang ada. Akibat selanjutnya tentu akan sulit atau bahkan tidak akan mungkin mewujudkan perikanan tangkap yang bertanggungjawab (responsible fisheries) (Adrianto et al., 2013).

4.5. Analisis Flag Modelling

  Teknik Flag Modeling digunakan untuk dapat melihat status atau kategori penilaian indikator yang telah dilakukan. Indeks agregat indikator EAFM pada domain teknik penangkapan ikan dilakukan dengan menjumlahkan indicator pada domain tersebut (Lampiran 2). Indeks agregat indicator EAFM menunjukkan bahwa teknik penangkpan ikan masuk dalam kategori sedang. Rata-rata nilai agregat dari domain teknik penangkapan ikan yaitu sebesar 2,07 yang berarti bahwa kegiatan perikanan tangkap yang dilihat dari domain teknik penangkpan ikan pada ikan cakalang di perairan Aceh Barat masih termasuk dalam kategori sedang. Walaupun dalam kondisi yang sedang pemerintah aceh barat perlu

Tabel 4.3. Indeks komposit agregat indicator EAFM pada domain teknik penangkapan ikan di perairan Aceh Barat

  Domain Nilai Bendera Keterangan Teknik Penangkapan Ikan 2,07 Sedang Rata-rata 2,07 Sedang

  Pada tabel 4.3. Menunjukan hasil indeks komposit agregat indikator EAFM pada domain teknik penangkapan ikan di perairan Aceh Barat memiliki nilai 2,07 dengan bendera berwarna kuning, menunjukan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) masih tergolong sedang

  Dengan demikian untuk tahap perbaikan pengelolaan sumberdaya perikanan cakalang di Aceh Barat dalam kondisi sedang maka perlu dilakukan upaya pemantauan nelayan agar sumberdaya perikanan cakalang diperairan Aceh Barat akan terus berkelanjutan dan dalam kondisi baik.

  5.1. Kesimpulan

  Kesimpulan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut :

  1. Prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan ikan cakalang di perairan Aceh Barat dalam domain penangkapan meliputi :

  a. Kegiatan penangkapan ikan cakalang tidak bersifat illegal dan merusak,

  b. Modifikasi alat penangkapan perlu memperhatikan ukuran ikan yang hendak ditangkap guna menjaga sumber daya yang berkelanjutan c. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan cakalang di perairan Aceh

  Barat maka penangkapan ikan diharuskan menggunakan alat tangkap yang selektif

  2. Menurut hasil analisis EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries

  Management) status domain teknik penangkapan ikan di perairan Aceh Barat masih tergolong baik sekali.

  5.2. Saran

  Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang optimalisasi pengelolaan sumberdaya perikanan ikan cakalang berbasis ekosistem dengan domain sumberdaya ikan, domain habitat dan ekosistem perairan,domain ekonomi, dan domain sosial di perairan Aceh Barat. Adrianto L, Matsuda Y, Sakuma Y. 2005. Assesing Sustainability of Fishery Systems in A Small Island Region: Flag Modeling Approach.

  Proceeding of IIFET. 2005 Adrianto, L., Budiman, A. A., Christijanto, H., Kamarijah, S., Budoyo, G. H.,

  Musthofa, I., Habibi, A., Wardiatno, Y., Susanto, H. A., Azizy, A., Arif, T., Nurcahyanto, A.,2011 Kajian Awal Kerangka Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan perikanan ( Ecosystem Approach to Fisheries Management) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

  Bogor: PKSPL-IPB. Adrianto, L.,Habibi, A., Fahrudin, A., Azizy, A., Susanto, H. A., Musthofa, I.,

  Kamal, M. M., Wisodo, S. H., Wardiatno, Y., Raharjo, P. & Nasution, Z. 2013. Modul Penilaian Indikator untuk Pengelolaan Perikanan Berpendekatan Ekosistem (Ecosystem Approach tp Fisheries Management). Jakarta: National Working Group II EAFM, Direktorat Sumberdaya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

  Ardrianto, L., Habibi, A., Fahrudin, A., Azizy, A., Susanto, H. A., Musthofa, I., Kamal, M. M., Wisodo, S. H., Wardianto, Y., Raharjo, P., Nasution, Z., Yonuitner,2014. Indikator untuk Pengelolaan Dengan Pendekatan Ekosistem Ecosystem Approach to Fisheries Management. Jakarta: National Working Group II EAFM, Direktorat Sumberdaya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.