BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Kelapa - ALTERNATIF PENGGUNAAN EKSTRAK KECAMBAH dan DAP (DIMETIL AMINO PHOSPHAT) SEBAGAI PENGGANTI UREA/ZA UNTUK SUMBER NITROGEN DALAM FERMENTASI NATA DE COCO - repository perpustakaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air Kelapa

  Produksi air kelapa cukup berlimpah di Indonesia yaitu mencapai lebih dari 1 sampai 900 juta liter per tahun. Namun pemanfaatannya dalam industri pangan belum menonjol, sehingga masih banyak air kelapa terbuang percuma, selain mubazir, buangan air kelapa dapat menimbulkan polusi asam asetat, akibat proses fermentasi dari limbah air kelapa tersebut (Onifade,2003 ; Warisno,2004). Air kelapa mempunyai potensi yang baik untuk dibuat menjadi minuman fermentasi, karena kandungan zat gizinya, kaya akan nutrisi yaitu gula, protein, lemak dan relatif lengkap sehingga sangat baik untuk pertumbuhan bakteri penghasil produk pangan. Air kelapa mengandung sejumlah zat gizi, yaitu protein 0,2 %, lemak 0,15%, karbohidrat 7,27 %, gula, vitamin, elektrolit dan hormon pertumbuhan.

  Kandungan gula maksimun 3 gram per 100 ml air kelapa. Jenis gula yang terkandung adalah sukrosa, glukosa, fruktosa dan sorbitol. Gula-gula inilah yang menyebabkan air kelapa muda lebih manis dari air kelapa yang lebih tua. (Warisno, 2004). Disamping itu air kelapa juga mengandung mineral seperti kalium dan natrium. Mineral-mineral itu diperlukan dalam poses metabolisme, juga dibutuhkan dan pembentukan kofaktor enzim-enzim ekstraseluler oleh bakteri pembentuk selulosa. Selain mengandung mineral, air kelapa juga mengandung vitamin-vitamin seperti riboflavin, tiamin, biotin. Vitamin-vitamin tersebut sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan maupun aktivitas Acetobacter xylinum pada saat fermentasi berlangsung sehingga menghasilkan selulosa bakteri. Oleh karena itulah air kelapa dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan selulosa bakteri atau nata de coco, disamping untuk memanfaatkan limbah air kelapa sehingga dapat mengurangi dampak negatif yang di akibatkan limbah air kelapa tersebut. (Pambayun, 2002 ; Ulrike, 2005).

  Buah kelapa yang terlalu muda belum memiliki daging buah, dan air kelapa muda rasanya lebih manis, mengandung mineral 4 %, gula 2%.

  Perbandingan komposisi air kelapa muda dengan air kelapa tua dapat dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Komposisi Air Buah Kelapa.

  Sumber air kelapa Air kelapa muda Air kelapa tua (dalam 100g)

  Kalori 17,0 kal - Protein 0,2 g 0,14 g Lemak 1,0 g 1,5 g Karbohidrat 3,8 g 4,6 g Kalsium 15,0 g - Fosfor 8,0 g 0,5 g Besi 0,2 g - Air 95,5 mg 91,5 mg

  • Bagian yang dapat 100,0 g dimakan Sumber Palungkun 1992
Sekitar tahun 1960- an penduduk asli Filipina penghasil kopra, memanfaatkan limbah air kelapa menjadi produk makanan segar yang disebut dengan nata de coco atau selulosa bakteri (Piluharto, 2003).

  Selulosa bakteri merupakan hasil fermentasi dari air kelapa oleh bantuan bakteri Acetobacter xylinum dan asam asetat. Gula dari air kelapa di ubah menjadi asam asetat dan benang - benang selulosa, yang lama kelamaan akan membentuk suatu massa yang mencapai ketebalan beberapa sentimeter. Dengan demikian selulosa bakteri yang berbentuk padat, berwarna putih transparan, bertekstur kenyal seperti kolang

  • – kaling dan umumnya dikonsumsi sebagai makanan ringan. (Tailor,1999 ; Pambayun, 2002).

1.2 Nata

  Istilah nata berasal dari Bahasa Spanyol yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin sebagai natare, yang berarti terapung-apung. Makanan olahan dari sari kelapa ini mulai diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 1987.

  Teknologi pengolahan produk ini berasal dari Fillipina. Nata dapat dibuat dari air kelapa, santan kelapa, tetes tebu (molases), limbah cair tahu, atau sari buah (nanas, melon, markisa, pisang, jeruk, jambu biji, dan lain-lain). Pemberian nama nata tergantung dari bahan baku yang digunakan (Saragih 2004).

  Kandungan terbesar dalam nata adalah air 98% (Susanti, 2006). Nata sangat baik dikonsumsi terutama oleh mereka yang diet rendah kalori atau diet tinggi serat, kandungan air yang tinggi berfungsi untuk memperlancar proses metabolisme tubuh. Serat nata di dalam tubuh manusia akan mengikat semua unsur sisa hasil pembakaran yang tidak diserap oleh tubuh, kemudian dibuang melalui anus berupa tinja atau bolus (Kusharto, 2006)

  Nata tidak hanya dibuat dari air kelapa, tetapi buah lain pun dapat digunakan. Nata merupakan makanan hasil fermentasi Acetobacter xylinum yang merubah komponen sukrosa dalam medium menjadi konsistensi berbentuk gel pada permukaan media (Herman 1979). Gel tersebut dihasilkan oleh kemampuan Acetobacter xylinum membentuk kapsul di luar dinding sel bakteri secara terusmenerus dan menebal menjadi konsentrasi yang kokoh.

  Pembentukan gel terjadi karena adanya enzim-enzim yang mampu mengoksidasi asam asetat yang disertai dengan pembentukan CO dan H O

  2

  2

  yang menyebabkan gel terapung di permukaan media. Acetobacter xylinum mampu mengubah 19 % sukrosa dalam media menjadi selulosa berupa benang yang bersama polisakarida berlendir membentuk jaringan yang secara terus- menerus menjadi nata (Thimann dan Kenneth 1964).

2.3 Nata De Coco

  berasal dari Filipina. Hal ini bisa dipahami karena

  Nata de coco

  Filipina merupakan salah satu negara penghasil kelapa yang cukup besar di dunia. Filipina termasuk negara yang paling banyak mendapatkan devisanya dari produk kelapa. Sekitar dekade 60-an penduduk asli Filipina penduduk asli Filipina yang bernama Nata mulai memikirkan “nasib” jutaan ton air kelapa yang terbuang percuma dari pabrik penghasil kopra di kampung halamannya. Peluang ini digunakan untuk membuat suatu produk yang bermanfaat dan tercipta makanan segar bernama nata de

  

coco . Kata coco berasal dari Cocos nucifera, nama latin dari kelapa.

  Sementara, di Indonesia pemanfaatan air kelapa belum maksimal, banyak yang terbuang percuma. Namun akhir-akhir ini sudah ada upaya untuk mengelola air kelapa menjadi nata de coco dan juga untuk berbagai produk seperti minuman ringan, jelli, aggur, cuka, etil asetat dan lain

  • – lain (Warisno, 2004).

  Sementara itu nata juga dapat diartikan dari bahasa Spanyol yang berarti krim (cream). Jadi, nata de coco adalah krim yang berasal dari air kelapa. Krim ini dibentuk oleh mikroorganisme Acetobacter xylinum melalui proses fermentasi. Mikroorganisme ini membentuk gel pada permukaan larutan yang mengandung gula. Bakteri Acetobacter xylinum dapat tumbuh dan berkembang membentuk nata de coco karena adanya kandungan air sebanyak 91,23 %, protein 0,29 %, lemak 0,15 %, karbohidrat 7,27 %, serta abu 1,06 % di dalam air kelapa. Selain itu, terdapat juga nutrisi

  • – nutrisi berupa sukrosa, dektrose, fruktose dan vitamin B kompleks yang terdiri dari asam nikotinat 0,01 ug, asam pantotenat 0,52 ug, biotin 0,02 ug, riboflavin 0,01 ug dan asam folat 0,003 ug per ml. Nutrisi – nutrisi tersebut merangsang pertumbuhan Acetobacter xylinum untuk membentuk nata de coco (Palungkung, 1992).

  Menurut Astrawan, M (2004), pembentukan nata de coco terjadi karena proses pengambilan glukosa dari larutan gula atau gula dalam air kelapa oleh sel

  • – sel Acetobacter xylinum. Kemudian glukosa tersebut digabungkan dengan asam lemak membentuk prekursor (penciri nata) pada membran sel. Prekursor ini selanjutnya dikeluarkan dalam bentuk ekskresi dan bersama enzim mempolimerisasikan glukosa menjadi selulosa di luar sel. Nata de coco sebenarnya tidak mempunyai nilai gizi yang berarti bagi manusia, oleh sebab itu produk ini dapat dipakai sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet.

  Bakteri Acetobacter xylinum akan membentuk nata jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan karbon (C) dan nitrogen (N) melalui suatu proses yang dikontrol. Dalam kondisi demikian, bakteri tersebut akan menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat menyusun (mempolimerisasi) zat gula (dalam hal ini glukosa) menjadi ribuan rantai (homopolimer) serat atau selulosa. Dari jutaan jasad renik yang tumbuh dalam air kelapa tersebut, akan dihasilkan jutaan lembar benang selulosa yang akhirnya nampak padat berwarna putih hingga transparan yang disebut dengan nata. Sebetulnya, nata dapat diusahakan bukan hanya dari air kelapa tetapi juga dari berbagai jenis bahan yang mengandung gula, protein dan mineral, seperti sari buah- buahan, sari kedelai dan bahkan air gula. Oleh sebab itu, nama nata dapat bermacam-macam sesuai dengan bahan yang digunakan, seperti nata de

  

soya (dari sari kedelai), nata de mango (dari sari buah mangga), nata de

pina (dari sari buah nenas), nata de coco (dari air kelapa) dan sebagainya

  (Dewi, Suratno, and Ratna, 2003).

  Nata sangat baik apabila diolah menjadi makanan atau minuman penyegar, karena nata mengandung serat pangan (dietary fiber) seperti halnya selulosa alami. Nata sangat berperan dalam proses pencernaan makanan yang terjadi dalam usus halus dan penyerapan air dalam usus besar, sehingga sangat bermanfaat dalam pencernaan makanan dan secara tidak langsung sangat baik bagi kesehatan (Pembayun, 2002).

  Nata de coco atau selulosa bakteri merupakan salah satu sumber

  alternatif bagi penyediaan selulosa dimana bahan ini lebih mudah dibuat, mudah diolah dan mudah diperoleh dengan biaya produksi yang lebih murah. Studi mendalam terhadap nata de coco untuk berbagai bidang aplikasi sangat diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah bagi produk

  

nata de coco dan tidak terbatas pada pemanfaatannya sebagai produk

  makanan. Proses pembuatan nata de coco sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hal ini berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi Acetobakter xylinum sebagai bakteri untuk proses fermentasi air kelapa. Pertumbuhan Acetobakter xylinum tersebut dipengaruhi oleh oksigen, pH, suhu dan nutrisi. (Anonim, 2011)

  Faktor-faktor inilah yang harus diperhatikan untuk memperoleh

  nata de coco yang berkualitas baik, di samping itu dalam pembuatannya sangat memerlukan ketelitian dan sterilitas alat (Anonim, 2004).

Tabel 2.2 Syarat mutu nata

  No. Jenis Uji Satuan Persyaratan

  1. Keadaan

  • 1.1 Bau

  Normal

  1.2 Normal - Warna

  1.3 Rasa Normal -

  1.4 Tekstur Normal -

  • 2. Bahan asing Tidak boleh ada

  3. Bobot Tuntas % Min.50

  4. Jumlah gula (dihitung % Min.15 sebagai sakarosa)

  5. Serat makanan % Maks.4,5

  6. Bahan tambahan makanan

  6.1 Pemanis Buatan : Tidak boleh ada

  • Sakarin Tidak boleh ada
  • Siklamat

  6.2 Pewarna Tambahan Sesuai SNI 01-0222-

  6.3 1995

  Pengawet (Na Benzoat)

  7. Cemaran logam: Sesuai SNI 01-0222-

  7.1 Timbal (Pb) mg/kg 1995 7.2 mg/kg

  Tembaga (Cu)

  7.3 Seng (Zn) mg/kg Maks.0,2 7.4 mg/kg Maks.2

  Timah (Sn)

  8. Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks.5,0

  9. Cemaran Mikroba: Maks.40,0/250,0*

  9.1 Angka lempeng total koloni/g Maks.0,1

  9.2 Coliform APM/g

  2

  9.3 Kapang koloni/g Maks. 2,0x10

  9.4 Khamir koloni/g <3 Maks.50 Maks.50

  Sumber : SNI 01

  • – 2881 – 1992

2.4 Acetobacter xylinum

  Bakteri pembentuk nata termasuk kedalam golongan Acetobacter, yang mempunyai ciri

  • – ciri antara lain : sel bulat panjang sampai batang (seperti kapsul), tidak mempunyai endospora, sel
  • – selnya bersifat gram negatif, bernafas secara aerob tetapi dalam kadar yang kecil (Pelczar dan Chan, 1988). Acetobacter xylinum dapat dibedakan dengan spesies yang lain karena sifatnya yang bila ditumbuhkan pada medium yang kaya komponen gula, bakteri ini dapat memecah komponen gula dan mampu membentuk suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler.
Gambar 2.1 Acetobacter xylinumGambar 2.1 menampilkan bakteri Accetobacter xylinum yang dapat menghasilkan enzim ekstraseluler untuk menyusun (mempolimerisasi) zat

  gula (glukosa) menjadi ribuan rantai (homopolimer) serat atau selulosa. Dari jutaan jasad renik yang tumbuh dalam media, akan dihasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang akhirnya nampak padat berwarna putih hingga transparan, yang disebut sebagai nata yang termasuk metabolit sekunder (Nainggolan, 2009). Enzim protein sintetase aktif pada pH 3-6 yang berfungsi untuk mengubah makanan yang mengandung C, H, O, dan N menjadi protein (Mandel, 2004). Dalam medium cair,

  

Acetobacter xylinum mampu membentuk suatu lapisan yang dapat

  mencapai ketebalan beberapa sentimeter. Bakteri terperangkap dalam benang

  • – benang yang dibuatnya. Untuk menghasilkan massa yang kokoh, kenyal, tebal, putih, dan tembus pandang perlu diperhatikan suhu fermentasi (inkubasi), komposisi medium dan pH medium. Klasifikasi ilmiah dari Acetobacter xylinum : Kerajaan : Bacteria Filum : Proteobacteria Kelas : Alpha Proteobacteria Ordo : Rhodospirilia
Famili : Pseudomonadaceae Genus : Acetobacter Spesies : Acetobacter xylinum (Moss M.O., 1995).

  Bakteri Acetobacter xylinum mengalami pertumbuhan sel. Pertumbuhan sel didefinisikan sebagai pertumbuhan secara teratur semua komponen di dalam sel hidup. Bakteri Acetobacter xylinum mengalami beberapa fase pertumbuhan sel yaitu fase adaptasi, fase pertumbuhan awal, fase pertumbuhan eksponensial, fase pertumbuhan lambat, fase pertumbuhan tetap, fase menuju kematian, dan fase kematian. Adapun tahap

  • – tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dalam kondisi normal dapat dilihat pada gambar 2.2 (Rao 2005) : Bobot

  Bobot Sel

  Nata Waktu

Gambar 2.2 Tahap-tahap pertumbuhan bakteri Acetobacter xylinum dalam kondisi normal

  a. Fase adaptasi Begitu dipindahkan ke media baru, bakteri Acetobacter

  

xylinum tidak langsung tumbuh dan berkembang. Pada fase ini, bakteri

  akan terlebih dahulu menyesuaikan diri dengan substrat dan kondisi lingkungan barunya. Fase adaptasi bagi Acetobacter xylinum dicapai antara 0

  • – 24 jam atau ± 1 hari sejak inokulasi.

  b. Fase pertumbuhan awal Pada fase ini, sel mulai membelah dengan kecepatan rendah. Fase ini menandai diawalinya fase pertumbuhan eksponensial. Fase ini dilalui dalam beberapa jam.

  c. Fase pertumbuhan eksponensial Fase ini disebut juga sebagai fase pertumbuhan logaritmik, yang ditandai dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Untuk bakteri Acetobacter xylinum, fase ini dicapai dalam waktu antara 1- 5 hari tergantung pada kondisi lingkungan. Pada fase ini juga, bakteri mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase sebanyak

  • – banyaknya untuk menyusun polimer glukosa menjadi selulosa.

  d. Fase pertumbuhan diperlambat Pada fase ini, terjadi pertumbuhan yang diperlambat karena ketersediaan nutrisi yang telah berkurang, terdapatnya metabolit yang bersifat toksik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, dan umur sel yang telah tua.

  e. Fase stasioner Pada fase ini, jumlah sel yang tumbuh relatif sama dengan jumlah sel yang mati. Penyebabnya adalah di dalam media terjadi kekurangan nutrisi, pengaruh metabolit toksik lebih besar, dan umur sel semakin tua. Namun pada fase ini, sel akan lebih tahan terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim jika dibandingkan dengan ketahanannya pada fase lain. Matrik nata lebih banyak diproduksi pada fase ini. f. Fase menuju kematian Pada fase ini, bakteri mulai mengalami kematian karena nutrisi telah habis dan sel kehilangan banyak energi cadangannya.

  g. Fase kematian Pada fase ini, sel dengan cepat mengalami kematian, dan hampir merupakan kebalikan dari dase logaritmik. Sel mengalami lisis dan melepaskan komponen yang terdapat di dalamnya.

  2.5 Dimetil Amino Phosphat (DAP)

  Penggunaan DAP adalah sebagai pengganti urea/ZA. Fungsi DAP sama halnya dengan urea/ZA yaitu sebagai sumber nitrogen yang merangsang pertumbuhan dan aktivitas bakteri Acetobacter xylinum. Sumber nitrogen yang dapat digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata dapat berasal dari nitrogen organik seperti Ekstrak yeast. Dan protein maupun nitrogen anorganik seperti Urea/ZA. Sumber nitrogen anorganik sangat murah dan fungsinya tidak kalah jika dibandingkan dengan sumber nitrogen organik kelebihan sumber nitrogen anorganik adalah murah, mudah larut, dan selektif bagi mikroorganisme lain. Penambahan sumber nitrogen yang

  2-

  berlebihan dapat menurunkan nilai rendemen dan PH karena adanya ion SO

  4 yang bersifat asam sehingga bakteri terganggu. (Mashudi 1993).

  2.6 Kecambah

  Kacang hijau (Phaseolus vulgaris) termasuk kacang-kacangan khususnya di daerah tropis. Perkecambahan biji adalah proses berkembangnya biji menjadi kecambah yang merupakan permulaan aktivitas pertumbuhan embrio yang ditandai dengan pecahnya kulit biji. Mobilisasi protein pada biji yang berkecambah berkaitan dengan peningkatan aktivitas enzim-enzim protease yang menghidrolisis protein menjadi asam amino. Asam amino yang dibebaskan digunakan untuk sintesis protein dan sebagai sumber energi (Kanetro dan Hastuti, 2006).

Gambar 2.3 Rumus Struktur Asam AminoTabel 2.3 Komposisi dan Nilai Gizi Biji Kacang Hijau dan Kecambah Kacang Hijau.

  Komposisi Gizi Nilai Gizi

(dalam 100g) Dalam biji Dalam Kecambah

  Kalori (kal) 345

  23 Protein (g) 22,2 2,9 Lemak (g) 1,2 0,2

  Hidrat Arang (g) 62,9 4,1 Kalsium (mg) 125

  29 Fosfor (mg) 320

  69 Besi (mg) 6,7 0,8 Vitamin A (IU)

  57

  10 Vitamin B (mg) 0,64 0,07 Vitamin C (mg)

  6

  15 Air (g) 10 92,4 Sumber : Direktorat Gizi dan Departemen Kesehatan (1981) dalam Soeprapto, HS (1992).

  Nitrogen organik biasanya ditambahkan dalam bentuk asam amino protein. Menurut Atmaka dan Sudadi (2000) ekstrak yeast dapat diganti dengan ekstrak kecambah. Kecambah kacang hijau memiliki kandungan protein tinggi sehingga dapat digunakan untuk pertumbuhan dari bakteri

  

Acetobacter xylinum. Diharapkan komponen terlarutnya pada saat proses

perkecambahan mengandung cairan yang bernutrisi.

Tabel 2.3 Perbedaan Senyawa Organik dan Senyawa Anorganik

  No Senyawa organik Senyawa Anorganik

  1 Kebanyakan berasal dari makhluk hidup dan beberapa dari hasil sintesis Berasal dari sumber daya alam mineral ( bukan makhluk hidup)

  2 Senyawa organik lebih mudah terbakar, dan memberikan hasil akhir CO 2 , H

  Tidak mudah terbakar

2 O, dan hasil sampingan lainnya.

3 Strukturnya lebih rumit Struktur sederhana

  4 Semua senyawa organik mengandung unsur karbon Tidak semua senyawa anorganik yang memiliki unsur karbon

  

5 Hanya dapat larut dalam pelarut Dapat larut dalam pelarut air atau

organik organik

  6 CH 4 , C

  2 H

  5 OH, C

  2 H 6 dsb. NaCl, NaBr, NaI dsb.

  (Sumber : http://logku.blogspot.co.id/)

2.7 Fermentasi

  Fermentasi adalah suatu proses pengubahan senyawa yang terkandung didalam substrat oleh mikroba (kultur) misalkan senyawa gula menjadi bentuk lain (misalkan selulosa Nata de Coco), baik merupakan proses pemecahan maupun proses pembentukan dalam situasi aerob maupun anaerob. Jadi proses fermentasi bisa terjadi proseskatabolisme maupun proses anabolisme.

  Fermentasi substrat air kelapa yang telah dipersiapkan sebelumnya prosesnya sebagai berikut; substrat air kelapa disterilkan dengan menggunakan outoclave atau dengan cara didihkan selama 15 menit.

  

o

  Substrtat didinginkan hingga suhu 40

  C. Substrat dimasukkan pada nampan atau baskom steril dengan permukaan yang lebar, dengan kedalaman substrat kira-kira 5 cm. Substrat diinokulasi dengan menggunakan starter atau bibit sebanyak 10 % (v/v). Substrat kemudian diaduk rata, ditutup dengan menggunakan kain kasa. Nampan diinkubasi atau diperam dengan cara diletakan pada tempat yang bersih, terhindar dari debu, ditutup dengan menggunakan kain bersih untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Inkubasi dilakukan selama 10

  • – 15 hari, pada suhu kamar. Pada tahap
fermentasi ini tidak boleh digojok. Pada umur 10-15 hari nata dapat dipanen. (Misgiyarta, 2007).

2.8 Penelitian-penelitian yang Mendukung

  Penelitian yang dilakukan oleh Amatun Nur tahun 2009 menyatakan bahwa kombinasi perlakuan DAP dan asam asetat glasial berpengaruh nyata terhadap sifat fisik (rendemen, ketebalan, kekenyalan dan derajat putih) dan sifat kimia (serat makanan larut air, serat makanan tidak larut air, total serat makanan dan kadar air) nata de cottonii. Sedangkan terhadap parameter warna, rasa dan aroma tidak terdapat perbedaan penerimaan panelis terhadap nata de cottonii.

  Menurut Eni Ernawati tahun 2012, dalam penelitiannnya melaporkan bahwa penambahan jenis dan konsentrasi ekstrak kecambah berpengaruh terhadap karakteristik fisik (rendemen, ketebalan, tekstur) dan karakteristik kimia (kadar air, dan serat pangan) nata de milko. Sedangkan pada uji organoleptis hasil yang didapat yaitu penambahan ektrak kecambah tidak berpengaruh terhadap parameter organoleptik nata de milko yang meliputi warna, aroma, dan rasa.

  Dari penelitian yang dilakukan oleh Rifda Naufalin dan Condro Wibowo tahun 2003 menyimpulkan bahwa penambahan ekstrak kecambah optimum sebesar 0,75% yang menghasilkan nata dengan rendemen basah tertinggi yaitu 41,00%b/b dan ketebalan nata 8,02 mm.

  Mades, Dwi Hilda, dan Shinta Sari tahun 2011, melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa penambahan touge sebagai sumber nitrogen dapat menghasilkan mutu nata yang lebih baik dibanding dengan tanpa penambahan sumber nitrogen dan urea, baik dari segi ketebalan, serat maupun kekenyalan.