MOCHAMMAD FAIZAL BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lanjut Usia a. Pengertian Lansia merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa

  tua merupakan masa hidup yang terakhir. Dimasa ini manusia mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap, Azizah (2011). Usia lanjut (old age) merupakan istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut, Suardiman (2011).

  Usia tua menurut Hurlock, (1993) adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat.

  Semua makhluk hidup memiliki siklus kehidupan menjadi tua yang diawali dengan proses kelahiran, kemudian tumbuh dewasa dan berkembang biak, selanjutnya menjadi semakin tua dan akhirnya akan meninggal. Masa usia lanjut merupakan masa yang tidak bisa dilakukan oleh siapapun khususnya bagi yang dikaruniai umur panjang. Yang bisa dilakukan oleh manusia hanyalah menghambat proses menua agar tidak terlalu cepat, karena pada hakekatnya dalam proses menua terjadi suatu kemunduran atau penurunan, Suardiman (2011)

  

13 Di Indonesia, hal

  • – hal yang terkait dengan usia lanjut diatur dalam suatu undang
  • – undang yaitu undang – undang Republik Indonesia No. 13
  • – Tahun 1998 tentang kesejahteraan Lanjut Usia. Dalam pasal 1 ayat 2 undang undang No. 13 Tahun 1998 tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas, (dalam Suardiman 2011) b.

   Klasifikasi Lansia

  Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO (dalam Maryam, 2008) klasifikasi lansia dikelompokan menjadi 4 yaitu : a. usia pertengahan atau middle age yaitu seseorang yang berusia 45-59 tahun b. lanjut usia atau elderly yaitu seseorang yang berusia 60-74 tahun

  c. lanjut usia tua atau old yaitu orang yang berusia 75-90 tahun d. usia sangat tua atau very old yaitu seseorang yang berusia 90 tahun.

c. Perubahan Yang Dihadapi Lansia

  a. Perubahan Fisik Sel pada lansia jumlahnya akan berkurang, ukurannya membesar, cairan tubuh dan cairan intra seluler menurun, Maryam (2008) Rata

  • – rata lansia jumlah saraf neocortical berkurang sebesar 1 perdetik, hubungan persyarafan cepat menurun, lambat dalam merespon baik dari gerakan maupun jarak waktu khususnya dengan stress,
mengecilnya saraf panca indra, serta menjadi kurang sensitif terhadap sentuhan, Efendi (2009) Pada sistem pendengaran membrane timpani atrofil, sehingga terjadi gangguan pendengaran, tulang

  • – tulang pendengaran mengalami kekakuan, Maryam (2008)

  Pada Sistem penglihatan timbul sklerosis pada sfingter pupil dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk seperti bola (sferis), lensa lebih suram (keruh) dapat menyebabkan katarak, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapang pandang, dan menurunnya daya untuk membedakan antara warna biru dengan warna hijau pada skala pemeriksaan, Efendi (2009)

  Katup jantung pada system kardiovaskuler menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun, elastisitas pembuluh darah menurun serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat, Maryam (2008)

  Pada sistem pernafasan otot mengalami kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktifitas dari silia, paru

  • – paru kehilangan elastisitas sehingga kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimal menurun dan kedalaman nafas menurun, Efendi (2009). Alveoli melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun serta terjadi penyempitan pada bronkus, Maryam (2008).
Tulang kehilangan kepadatannya dan semakin rapuh, kifosis, persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami skerosis, atrofi serabut otot sehingga gerak seseorang menjadi lambat, otot

  • – otot kram dan menjadi tremor, Efendi (2009). Pada gastrointestinal, esophagus melebar, asam lambung menurun, peristaltic menurun sehingga daya absorbs juga menurun, ukuran lambung mengecil serta fungus organ aksesoris menurun sehingga menyebabkan berkurangnya prodiksi hormone dan enzim pencernaan, Maryam (2008).

  Sistem genotourinaria, ginjal mengecil, aliran darah keginjal menurun, penyaringan diglomerulus menurun, dan fungsi tubuh meurun sehingga kemampuan ginjal untuk mengonsentrasikan urine juga menurun Maryam (2008). Otot

  • – otot kandung kemih melemah, kapasitasnya menurun sehingga 200 ml dan menyebabkan frekuensi buang air kecil meningkat, kandung kemih sulit dikosongkan sehingga meningkatkan retensi uriene Efendi, (2009).

  Sistem endokrin, menurunnya produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH, aktifitas tiroid, BMR, daya pertukaran gas, produksi aldosteron, serta sekresi hormone kelamin seperti progesteron, estrogen dan testosteron, Efendi (2009).

  Sistem integument kulit menjadi keriput, kulit kepala dan rambut menipis, rambut dalam hidung dan telinga menebal, elastisitas menurun, veskularisasi, rambut memutih, kelenjar keringat menurun, kuku keras dan rapuh (Maryam, 2008).

  b. Perubahan Mental Faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah perubahan fisik, kesehatan umum, tingkat pendidikan, hereditas, lingkungan, tingkat kecerdasan, dan kenangan (memori), Efendi (2009). Kemampuan belajar pada lansia masih ada tetapi relative menurun, Maryam (2008).

  c. Perubahan Psikososial Pada masa pensiun lansia akan kehilangan sumber financial, kehilangan status, relasi dan pekerjaan dan merasakan atau kesadaran akan kematian, Efendi (2009). Perubahan psikososial pada lansia meliputi short term memory, frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi dan kecemasan, Maryam (2008).

d. Karakterisitk Pada Lansia

  Menurut Bustan (2007) menjelaskan bahwa beberpa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui keberadaan masalah kesehatan lansia sebagai berikut :

  1) Jenis Kelamin Lansia lebih banyak wanita, terdapat perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang berbeda antara lansia laki

  • – laki dan wanita. Misalnya lansia laki
  • – laki dengan hyperplasia prostat, maka wanita mungkin menghadapi osteoporosis.

  2) Status Perkawinan Status masih pasangan lengkap atau sudah hidup janda / duda akan mempengaruhi keadaan kesehatan lansia baik fisik maupun psikologis.

  3) Struktur Keluarga Keadaan pasangan, tinggal sendirian atau bersama istri, anak atau keluarga lainnya.

  4) Kondisi kesehatan

  a) Kondisi umum : kemampuan umum untuk tidak tergantung kepada orang lain dalam kegiatan sehari

  • – hari, mandi, buang air kecil dan besar.

  b) Frekuensi sakit : frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan menjadi tidak produktif lagi bahkanmulai tergantung kepada orang lain.

  Bahkan ada yang karena penyakit kroniknya sudah memerlukan perawatan khusus.

e. Teori – teori Penuaan

  Menurut Stanly dan Patricia (2006) beberapa teori tentang penuaan dikelompokan menjadi 2 kelompok besar yaitu : 1) Teori biologis, yaitu teori yang mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang usia dan kematian. Perubahan

  • – perubahan dalam tubuh termasuk perubahan molekuler dan seluler dalam system organ utama dan kemampuan untuk berfungsi secara adekuat dan melawan penyakit.

  a) Teori Genetika Teori sebab akibat menjelaskan bahwa penuaan terutama dipengaruhi oleh pembentukan gen dan dampak lingkungan pada pembantukan kode etik. Penuaan adalah suatu proses yang secara tidak sadar di wariskan yang berjalan dari waktu mengubah sel atau struktur jaringan. Berdasarkan hal tersebut maka, perubahan rentang hidup dan panjang usia telah ditentukan sebelumnya.

  b) Teori Dipakai dan Rusak Teori ini mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolic atau zat nutrisi dapat merusak seintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi molekuler dan akhirnya malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh akan mengalami kerusakan berdasarkan suatu jadwal. c) Riwayat Lingkungan Menurut teori ini, faktor

  • – faktor di dalam lingkungan (misalnya, karsinogen dan industry cahaya matahari, trauma dan infeksi) dapat membawa perubaan dalam proses penuaan. Walaupun faktor
  • – faktor ini diketahui dapat mempercepat penuaan, dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan merupakan faktor utama dalam penuaan.

  d) Teori Imunitas Teori ini menggambarkan suatu kemunduran dalam system imunyang berhubungan dengan penuaan. Ketikaorang bertambah tua, pertahanan mereka lebih rentan yntuk menderita sebagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring dengan berkurangnya imun, terjadilah peningkatan dalam respon autoimun tubuh.

  e) Teori Neuroendokrin Teori

  • – teori biologi penuaan, berhubungan dengan hal – hal seperti yang telah terjadi pada struktur dan sel, serta kemunduran fungsi sistem neuroendokrin. Proses penuaan mengakibatkan adanya kemunduran system tersebut sehingga dapat mempengaruhi daya ingat lansia dan terjadinya beberapa penyakit yang berkaitan dengan system endokrin.

  2) Teori psikologis, teori ini memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis. Perubahan sosiologis dikombinasikan dengan perubahan psikologis.

  a) Teori kepribadian Kepribadian manusia adalah suatu wilayah pertumbuhan yang subur dalam tahun

  • – tahun akhir kehidupannya dan telah merangsang penelitian yang pantas dipertimbangkan. Teori kepribadian menyebutkan aspek
  • – aspek pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia.

  b) Teori Tugas Perkembangan Erickson menguraikan tugas utama lansia adalah mampu melihat kehidupan seseorang sebagai kehidupan yang dijalani dengan integritas. Dengan kondisi tidak adanya pencapaian pada perasaan bahwa lansia telah menikmati kehidupan yang baik, maka lansia tersebut beresiko untuk disibukkan dengan rasa penyesalan atau putus asa.

  c) Teori Disengagement (Teori Pembebasan) Suatu proses yang menggambarkan penarikan diri oleh lansia dan peran bermasyarakat dan tanggung jawabnya. d) Teori Aktifitas Lawan langsung dari teori pembebasan adalah teori aktifitas penuaan, yang berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif.

  e) Teori Kontinuitas Teori ini juga dikenal dengan teori perkembangan. Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap penuaan.

f. Teori Perkembangan Lansia

  Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang terjadi seiring penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi pada tiap individu, namun seiring penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan danfungsi tubuh akan terjadi. Perubahan ini tidak dihubungkan dengan penyakit dan merupakan perubahan normal. Adanya penyakit terkadang mengubah waktu timbulnya perubahan atau dampaknya terhadap kehidupan sehari – hari, Potter & perry (2005).

  Adapun tugas perkembangan pada lansia adalah : beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pension dan penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara mempertahankan kualitas hidup, (Potter & perry 2005).

B. Spiritualitas a. Pengertian

  Spiritualitas pada dasarnya bersifat dan diungkapkan secara individual, meliputi kebutuhan manusia seluruhnya dan sering kali mengikutsertakan kepercayaan di dalam potensi jiwa manusia. Agama dan kepercayaan tertentu mungkin termasuk dalam spiritualitas ini, yang kemudian memberikan filosofi atau pandangan hidup. Spiritualitas juga mungkin memiliki hasil yang diinginkan seperti keselamatan atau pengarahan yang berhubungan dengan beberapa agama formal. Terdapat banyak sekali jalan menuju dimensi spiritual. Spiritual mungkin merupakan sesuatu yang memberi kekuatan dan kenyamanan kepada sesorang mungkin menjadi hal yang penting saat ajal mendekat, Campbell (2013)

  Spiritualitas merupakan kualitas dasar manusia yang dialami oleh setiap orang dari semua keyakinan dan bahkan oleh orang-orang yang tidak berkeyakinan tanpa memandang ras, warna, asal negara, jenis kelamin, usia, atau disabilitas. Spiritualitas mencakup hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan alam harmonis, hubungan dengan orang lain, dan hubungan dengan ketuhanan, Hamid (2009).

  Sedangkan menurut Hawari (2002), spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai pencipta adat sebagai Maha Kuasa. Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhannya dengan menggunakan instrumen (medium) sholat, puasa, zakat, haji, doa, dan sebagainya

  Nelson (2009) berpendapat bahwa spiritualitas mencakup 4 tema yakni : 1) Sebagai sumber nilai, makna dan tujuan hidup yang melewati batas kedirian (beyond the self), termasuk rasa-misteri (sense of mystery) dan transendensi diri (selftranscendence),

  2) Sebuah cara untuk mengerti dan memahami kehidupan, 3) Kesadaran batin (inner awareness)dan 4) Integrasi personal.

b. Karakterisitik Spiritualitas

  Menurut Burkhardt (1993) dalam Kozier (1997) dalam syam (2010) menjelaskan bahwa karakteristik spiritual mencakup :

  1. Hubungan dengan diri sendiri Kekuatan dalam diri atau kepercayaan diri sendiri yang meliputi pengenalan tentang diri sendiri (misalnya menjawab pertanyaan siapa saya, apa yang dapat saya lakukan) dan sikap pada diri sendiri yang dimanifestasikan dengan percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan dan masa depan, ketentraman, dan harmonis dengan diri sendiri.

  2. Hubungan dengan orang lain Hubungan dengan orang lain dimanifestasikan dengan berbagai waktu, pengetahuan, dan sumber daya dengan orang lain dan membalas perbuatan baik orang lain. Hubungan ini juga dimanifestasikan dengan sikap peduli pada anak

  • – anak, orang tua, dan orang yang sakit, menguatkan kembali makna kehiduan dan kematian dengan cara mengunjungi makam/kuburan. Hubungan dengan sesama dideskripsikan sebagai dimensi horisontal yang beririsan dengan hubungan vertikal dengan Tuhan.

  3. Hubungan dengan alam Harmonisasi dengan alam, meliputi pengenalan tentang tumbuhan, tanaman, pepohonan, kehidupan alam, dan cuaca. Harmonisasi dengan alam juga dimanifestasikan dengan hidup bersama dengan alam seperti berkebun, berjalan, berada diluar dan memelihara alam.

  4. Hubungan dengan Tuhan Hubungan dengan Tuhan dilihat dari relijius atau tidak relijiusnya seseorang, seperti melakukan kegiatan doa atau meditasi, membaca kitab atau buku keagamaan, berpartisipasi dalam kelompok keagamaan. Hawari (2002) menjelaskan bahwa dalam agama Islam terdapat dimensi kesehatan jiwa pada rukun Iman yaitu Iman kepada Allah besar pengaruhnya bagi kesehatan jiwa manusia dimana orang yang beriman itu selalu ingat kepada Allah (dzikrullah/dzikir) sehingga perasaan tenang/aman/terlindungi selalu menyertainya. Pikiran, perasaa dan perilakunya baik dengan tidak melangar hukum, norma, moral dan etika kehidupan serta tidak merugikan orang lain karena ia tau benar dan yakin apa yang dilakukannya itu semua dicatat oleh malaikat. Mampu mengendalikan diri (self control) yang merupakan salah satu ajaran Nabi Muhammad

  . Yakin bahwa seseungguhnya Al Qur’an merupakan “text

  book” kesehatan jiwa terlengkap dan sempurna didunia, bagi mereka

  yang mengerti/menghayati/mengamalkannya akan memperoleh manfaat kesejahteraan lahir dan batin serta selamat di dunia maupun di akhirat kelak.

c. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Kebutuhan Spiritual

  Menurut Hidayat (2009) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan spiritual seseorang, yaitu : 1) Perkembangan

  • – Pada dasarnya manusia mempunyai perkembangan yang berbeda beda, begitu juga dengan pemenuhan kebutuhan spiritual. Usia perkembangan menjadi salah satu faktor yang dapat menentukan
terpenuhinya kebutuhan spiritual seseorang karena dalam setiap tahap perkembangan memiliki cara meyakini kepercayaan terhadap Tuhan.

  2) Keluarga Keluarga atau orang tua menjadi salah satu peran yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan spiritual karena mempunyai ikatan emosional yang kuat antara yang satu dengan yang lain sebagai tempat mengajarkan nilai

  • – nilai spiritual dan mempunyai intensitas bertemu atau berinteraksi sering dalam kehidupan sehari – hari.

  3) Ras atau suku Pada umumnya manusia terdiri dari berbagai ras, suku atau golongan yang berbeda

  • – beda sehingga proses pemenuhan kebutuhan spiritual seseorang juga berbeda
  • – beda antara orang yang satu dengan yang lain sesuai dengan keyakinan atau kepercayaan yang dimilikinya.

  4) Agama yang dianut Agama yang dianut seseorang mempunyai keyakinan atau kepercayaan yang berbeda yang dapat menentukan arti pentingnya kebutuhan spiritual dalam hidup. 5) Kegiatan keagamaan

  Kegiatan keagamaan yang dilakukan dapat mempengaruhi kebutuhan spiritual karena membuat seseorang selalu mengingat dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Pencipta.

d. Perkembangan Spiritual

  a) Bayi dan Todler (0-2 Tahun) Tahap awal perkembangan, spiritual adalah rasa percaya kepada yang mengasuh yang sejalan dengan perkembangan rasa aman dan dalam hubungan interpersonal, karena sejak awal kehidupan manusia mengenal dunia melalui hubungannya dengan lingkungan, khususnya orang tua. Bayi dan todler belum memiliki rasa salah dan benar, serta keyakinan spiritual. Mereka memulai meniru kegiatan ritual tanpa mengerti arti kegiatan tersebut serta ikut ke tempat ibadah yang mempengaruhi citra diri mereka, Hamid (2008).

  b) Prasekolah Sikap orang tua tentang kode moral dan agama mengajarkan kepada anak tentang apa yang dianggap baik dan buruk, anak prasekolah meniru apa yang mereka lihat bukan yang dikatakan orang lain. Permasalahan akan timbul apabila tidak ada kesesuaian atau bertolak belakang antara apa yang dilihat dan yang dikatakan kepada mereka. Anak prasekolah sering bertanya tentang moralitas dan agama, seperti perkataan atau tindakan tertentu dianggap salah. Juga bertanya “apa itu surga” mereka meyakini bahwa orang tua mereka seperti tuhan, Hamid (2008). c) Usia Sekolah Anak usia sekolah mengharapkan tuhan menjawab doanya, yang salah akan dihukum dan yang baik akan diberi hadiah. Pada masa pubertas, anak sering mengalami kekecewaan karena mereka mulai menyadari bahwa doanya tidak selalu dijawab menggunakan cara mereka dan mulai mencari alasan tanpa mau menerima begitu saja.

  Pada usia ini anak mulai mengambil keputusan akan melepaskan atau meneruskan agama yang dianutnya karena ketergantungan kepada orang tua. Pada masa remaja, mereka membandingkan standar orang tua mereka dengan orang tua lain dan menetapkan standar apa yang akan di integrasikan dalam perilakunya. Remaja juga membandingkan pandangan ilmiah dengan pandangan agama serta mencoba untuk menyatukannya. Pada masa ini, remaja mempunyai orang tuang yang berbeda agama, akan memutuskan pilihan agama yang akan dianutnya atau tidak memilih satupun dari kedua agama orang tuanya, Hamid (2008).

  d) Dewasa Kelompok usia dewasa muda yang dihadapkan pada pertanyaan bersifat keagamaan dari anaknya akan menyadari apa yang pernah diajarkan kepadanya pada masa kanak-kanak dahulu, lebih dapat diterima pada masa dewasa dari pada waktu remaja dan masukan dari orang tua tersebut dipakai untuk mendidik anaknya, Hamid (2008). e) Usia Pertengahan Kelompok usia pertengahan dan lansia mempunyai lebih banyak waktu untuk kegiatan agama dan berusaha untuk mengerti nilai agama yang diyakini oleh generasi muda. Perasaan kehilangan karena pensiun dan tidak aktif serta menghadapi kematian orang lain (saudara, sahabat) menimbulkan rasa kesepian dan mawas diri. Perkembangan filosofis agama yang lebih matang sering dapat membantu orang tua untuk menghadapi kenyataan. Berperan aktif dalam kehidupan dan merasa berharga, serta lebih dapat menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak atau dihindarkan, Hamid (2008).

C. Dukungan Keluarga a. Pengertian

  Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan, Muhlisin (2012).

  Keluarga adalah dua atau lebih yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan atau adopsi yang hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dalam perannya untuk menciptakan dan mempertahankan kebudayaan. Keluarga juga dapat diartikan sebagai suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam satu rumah tangga, Jhonson (2010).

  Pada hakekatnya keluarga diharapkan mampu berfungsi untuk mewujudkan proses pengembangan timbal balik rasa cinta dan kasih sayang antara anggota keluarga, antar kerabat, serta antar generasi yang merupakan dasar keluarga yang harmonis. Hubungan kasih sayang dalam keluarga merupakan suatu rumah tangga yang bahagia. Dalam kehidupan yang diwarnai oleh rasa kasih sayang maka semua pihak di tuntut agar memiliki tanggung jawab, pengorbanan, saling tolong menolong, kejujuran, saling mempercayai, saling membina pengertian dan damai dalam rumah tangga (Setiadi, 2008).

b. Bentuk Dukungan Keluarga

  Jenis dukungan keluarga menurut friedman, (1998) dalam Setiadi, (2008) antara lain:

  1. Dukungan informasional Informasi merupakan pemberitahuan, penerangan, kabar atau berita tentang sesuatu, sedangkan dukungan merupakan bantuan atau sesuatu yang didukung (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

  Nasional RI, (2008) dalam Setiadi, (2008). Dukungan informasional merupakan sebagai suatu bentuk bantuan dalam wujud pemberian informasi ataupun ide tertentu melalui poses komunikasi, dukungan ini berupa pemberian saran, pengarahan, ataupun umpan balik tentang bagaimana ia melakukan sesuatu, Setiadi (2008).

  2. Dukungan emosional .Dukungan ini melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap seseorang sehingga membuatnya merasa lebih baik, memperoleh kembali keyakinan, merasa dimiliki, dan dicintai pada saat stre, dukungan ini keluarga mendorong anggota keluarganya untuk mengkomunikasikan segala kesulitan pribadi mereka sehingga dapat merasa tidak sendiri menanggung segala persoalan yang dimiliki, Setiadi (2008). Komunikasi yang penuh perhatian serta menganggap bahwa orang tersebut berharga adalah salah satu cara untuk memberikan dukungan emosional pada orang lain, Helgeson & Cohen, (1996) dalam Istiqomah (2010).

  3. Dukungan Penilaian Penilaian mengacu pada kemampuan untuk menafsirkan lingkungan dan situasi diri dengan benar dan mengadaptasi suatu perilaku dan keputusan diri secara tepat, Karyuni (2008) dalam Istiqomah, 2010). Bentuk dukungan penghargaan ini muncul dari pengakuan dan penghargaan terhadap kemampuan keterampilan dan prestasi yang dimiliki seseorang. Dukungan ini juga muncul dari penerimaan dan penghargan terhadap keberadaan seseorang secara total, meliputi kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, Setiadi (2008). Bantuan penilaian ini dapat berupa penilaian positif dan penilaian negatif yang pengaruhnya sangat berarti bagi seseorang House dalam Setiadi (2008).

  Interaksi dengan orang lain dan mendapatkan penghargaan atas sesuatu yang dialaminya, seseorang akan dapat mengevaluasi dan memperkuat keyakinan dengan membandingkan pendapat dan sikap orang lain sehingga melalui dukungan ini seseorang akan merasa berharga, mampu dan dihargai, Istiqomah (2011).

  4. Dukungan Instrumental Dukungan ini berupa bantuan langsung, misalnya seseorang memberikan atau meminjamkan uang dan dapat juga berupa bantuan langsung mengerjakan tugas tertentu pada saat mengalami stress, Setiadi (2008). Dukungan instrumental keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan nyata (Caplan, 1976 dalam Istiqomah 2011).

  Keluarga dapat memberikan dukungan instrumental untuk mencegah sakit dengan memberikan bantuan nyata dan bantuan ekonomi .

  Bantuan ini akan memberikan dampak berupa kesehatan yang lebih baik pada anggotanya, Setidi (2008).

  c. Sumber Dukungan Keluarga

  Terdapat dua sumber dari dukungan sosial keluarga antara lain, Asih (1998) dalam Permana (2013).

  a. Sumber dukungan sosial keluarga internal Sumber dukungan sosial keluarga internal seperti dukungan dari suami atau istri, atau dukungan dari saudara kandung.

  b. Sumber dukungan sosial keluarga eksternal Sumber dukungan sosial keluarga eksternal meliputi jaringan kerja sosial dari keluarga inti itu sendiri. Jaringan kerja sosial merupakan struktur yang menggambarkan hubungan dari seseorang. Jar ingan kerja sosial ini antara lain tetangga, teman, sahabat, rekan kerja,

  • – kelompok pengajian, pemberi perawatan kesehatan dan kelompok kelompok yang menjadi mitra pengungkapan sebuah keluarga yang menyangkut kepentingan bersama.

  d. Fungsi keluarga

  Menurut Friedman (1998) dalam Setiadi (2008) fungsi keluarga dibagi menjadi lima yaitu : a. Fungsi afektif, adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. b. Fungsi sosialisasi, adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

  c. Fungsi reproduksi, adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.

  d. Fungsi ekonomi, adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

  e. Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan, yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi.

D. Kematian a. Pengertian Kematian

  Kematian merupakan suatu peristiwa yang tak dapat di hindari. Tidak ada seorangpun yang dpat menyangkal bahwa suatu hari nanti tubuh akan menjadi tua dan cepat atau lambat tubuh akan menjadi rusak dan mati. Menurut Easwaran (2000) memandang kematian bukan akhir dari keberadaban, walaupun secara fisik telah mati tetapi jiwa manusia akan tetap hidup terus.

  Menurut Parlumtter dan Hall (1985) dalam Hanifullah (2015) kematian adalah suatu kejadian yang terjadi pada saat pernafasan dan denyut jantung berhenti. Tidak ada oksigen yang mengaliri pembuluh darah sehingga sel otak tidak lagi hidup dan orang segera mati.

  Weenelson (1997) dalam Hanifullah (2015) mendefinisikan kematian merupakan sebagian suatu perampasan dan penghanyutan, menghilangkan control yang telah diperjuangkan dengan gigih sejak awal hidup. Kematian menimbulkan ketidakberdayaan yang mengakibatkan munculnya ketakutan.

b. Fase Kematian

  Berk (2007:636) menyatakan bahwa masa transisi dari hidup ke proses meninggal atau menghembuskan nafas terakhir melalui 3 fase :

  1. Fase bertahan (the agonal fase). Istilah agon berasal dari bahasa Yunani yang berarti

  ”struggle” atau bertahan. Di sini agonal

  mengandung arti menghembuskan nafas dan kejang otot selama beberapa saat sehingga tubuhnya tidak dapat mempertahankan hidupnya.

  2. Kematian klinis (clinical death). Suatu jarak waktu pendek yang mengikuti, dimana denyut jantung, sirkulasi, pernafasan, fungsi otak berhenti meskipun mungkin masih sadar.

  3. Kematian (mortality). Seseorang memasuki kematian permanen.

  Dalam beberpa saat, hilangnya kehidupan baru menjadi tampak mengecil / menyusut, sama sekali seperti ketika mereka masih hidup.

c. Perkembangan Konsep Kematian

  Konsep meninggal atau mati menurut Berk (2007 : 636) menyatakan bahwa pemahaman tentang kematian didasarkan pada 5 gagasan :

  1. Keabadian (permanence). Sesuatu yang hidup pasti mati, ia tidak akan kembali hidup lagi.

  2. Tak terhindarkan (Inevitabilty). Semua benda yang hidup akhirnya akan mati.

  3. Penghentian (cessation). Semua fungsi

  • – fungsi hidup, termasuk gerakan, proses
  • – proses tubuh, berfikir dan perasaan, berhenti pada kematian.

  4. Kegunaan (applicability). Kematian hanya terjadi pada benda yang hidup

  • – 5. Penyebab (causation). Kematian disebabkan oleh berhentinya fungsi fungsi tubuh.

  Semua orang sadar, bahwa pada saatnya nanti pasti mati, menghadap Tuhan. Selanjutnya bila kelak meninggal, semuanya berharap agar bisa “meninggal dengan bermartabat”, Suardiman (2011), yang oleh Berk (2007 : 636) disebut dengan

  “death with dignity”, bebas dari ahir penderitaan dalam keadaan tidur, atau beberapa saat terakhir dengan akal pikiran yang jernih, di mana mereka dapat mengucapkan selamat jalan dan menimbang hidupnya.

d. Reaksi Terhadap Datangya Kematian

  Catatan langsung datang dari kerja seseorang peneliti kematian, Coon & Mitterer, (2007 : 146

  • – 147) sepanjang tahun ia menghabiskan ratusan jam waktunya di sisi tempat tidur orang yang sakit pada saat
  • – saat terakhir, yaitu sakit yang akhirnya membawa kekematian, dimana ia mengamati 5 reaksi emosional dasar dalam menghadapi kematian, yaitu : 1. Penolakan dan pengasingan.

  Reaksi pertama adalah penolakan atas kematian dan menghindarkan diri dari informasi, bahwa kematian betul

  • – betul akan terjadi. Dalam hal informasi, awalnya orang yakin bahwa “semuanya adalah satu kesalahan”. Dengan yakin ia akan berfikir “ laporan dari laboratorium atau dokter telah membuat kesalahan” atau “itu bukan saya”. Penolakan yang demikian mungkin hasil usaha untuk menghindar setiap mengingat situasi itu.

  2. Marah Banyak orang yang sedang menghadapi kematian merasa marah dan bertanya “mengapa saya?”. Seperti ketika mereka menghadapi ancaman bahwa hidupnya akan berakhir, kemarahannya akan jatuh bangun pada kemarahannya terhadap hidup. Bahkan teman baiknya mungkin sementara menimbulkan marah karena perasaan iri atas kesehatan mereka.

  3. Menawar Reaksi umum lainnya, pasien yang mengalami sakit terakhir menawar dengan dirinya sendiri atau kepada Tuhan. Orang yang menghadapi kematian berfikir: “Berikan saya waktu sedikit lagi dan saya akan memanfaatkannya sebaik mungkin”. Atau orang mencoba menawar untuk mencoba menjadi orang yang lebih “baik”. Saya tidak akan merokok lagi, atau akan menjadi orang yang patuh pada ajaran agamanya.

  4. Depresi Pada saat orang mulai mengenali bahwa kematian tidak bisa dicegah, perasaan akan kegagalan, kelelahan, dan depresi mendalam mulai hadir. Ia akan merasa terpisah dari teman, orang yang dicintai, keluarga besarnya, serta penyebab kesedihannya.

  5. Penerimaan Jika kematian tidak tiba

  • – tiba, banyak orang akan mengelola dirinya dalam menghadapi kematian menerima dengan tenang. Orang yang menerima kematian juga sedih. Penerimaan biasanya tanda bahwa perjuangan dengan kematian telah diselesaikan. Kebutuhan untuk bicara tentang kematian berakhir.
Menurut Suardiman (2011), menjelaskan bahwa tidak semua orang yang menghadapi kematian menunjukan semua reaksi tersebut, atau sesuai dengan urutan tersebut, masing

  • – masing individu memiliki gaya masing
  • – masing yang saling bervariasi, sesuai dengan tingkat kematangannya, kehidupan beragamanya, usia, pendidikan, sikap terhadap keluarga dan
  • – lain. Pada umumnya proses cendrung pada gejala
  • – gejala yang dimulai : shock, penolakan, dan marah yang akhirnya penerimaan. Idealnya, kematian melibatkan pemecahan masalah yang berhasil, penerimaan, kekuatan dari dalam, dan menemukan arti di akhir hidupnya. Hasilnya adalah kematian yang positif, kematian seseorang yang bermartabat.

E. Kesiapan Menghadapi kematian

  Menurut (Indriana, 2012) Kesiapan menghadapi kematian terdiri dari dua aspek yaitu kesiapan menghadapi kematian secara psikis dan kesiapan menghadapi kematian secara spiritual, Secara psikis, kesiapan dalam menghadapi kematian dapat dilihat dari lansia yang yakin akan datangnya kematian, lebih memahami makna hidup dan kematian, dapat mengatasi rasa takut akan datangnya kematian, serta sering mengingat dan membicarakan kematian, sedangkan kesiapan menghadapi kematian secara spiritual, lanjut usia lebih berfokus pada kehidupan batin seperti perenungan, sehingga lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.

  a. Kesiapan menghadapi kematian secara psikis,

  1. Menerima dirinya yang berbeda dari masa sebelumnya, (Hurlock 1993 dalam Wahyuningsih 2014).

  2. Mengatasi rasa cemas maupun takutnya pada kematian dan sadar bahwa kematian pasti akan datang, (Backer 1982 dalam Wahyuningsih 2014).

  3. Memiliki pandangan dan sikap positif terhadap kematian, (Shihab,2007 dalam Wahyuningsih 2014).

  4. Menerima kematian sebagai suatu hal yang nyata (Najati 2001 dalam Wahyuningsih 2014).

  5. Memaknai hidup dengan nilai

  • – nilai positif (Hidayat 2007 dalam Wahyuningsih 2014).

  b. Kesiapan Menghadapi kematian secara spiritual

  1. Banyak mengingat kematian Rasullullah SAW bersabda

  “Bahwasanya hati manusia dapat berkarat sebagaimana berkaratnya besi ” para sahabat bertanya “Lalu bagaimana cara menanggulanginya ya Rasul. Lalu Rasullullah SAW bersabda “Dengan membaca Al Qur”an dan mengingat mati (HR Tirmidzi dan Abu Daud,) (dalam Islah, 2006).

  2. Mengurus jenazah Jika ada saudara kita yang meninggal alangkah baiknya jika kita ikut serta mengurus jenazahnya, sejak memandikan, mengafani, menyalayat, sampai menguburkannya. Hal ini sangat efektif sebagai sarana penyadaran diri bahwa kita suatu saat akan seperti jenazah tersebut. Tentang shalat jenazah Rasullullah SAW bersabda

  

“keutamaan shalat jenazah tidaklah tertandingi walaupun oleh

tumpukan bukti uhud (HR jamaah). (dalam Islah, 2006).

  3. Sering melaksanakan shalat gaib dan jenazah Hal ini sangat membantu seseorang untuk mengingat bahwa suatu kelak semua hamba Allah SWT termasuk dirinya pasti akan dishalatkan orang lain sehingga mendorongnya untuk melakukan amal kebaikan, (dalam wahyuningsih 2014).

  4. Menjenguk orang sakit Menjenguk orang sakit adalah menjadi hak setiap orang muslim, keadaan sakit menandakan bahwa keadaan tubuh manusia itu pada hakekatnya sangat lemah dibandingkan dengan kemaha perkasaan Allah SWT. Dengan menjenguk orang sakit kita akan menyadari bahwa kita ada yang memiliki dan sekaligus akan memupuk serta mengikat tali persaudaraan. Selain itu menjenguk orang sakit akan selalu mengingatkan kita untuk menjaga kesehatan, selalu mengingat Allah SWT dan menggunakan kesehatan itu untuk mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT mempersiapkan diri untuk menghadapNya, (dalam wahyuningsih 2014)

  5. Ziarah kubur Ziarah kubur berguna untuk mengingatkan kita bahwa manusia yang hidup dipastikan akan menjadi penghuni kubur mendiami alam barzah dan bahwa kuburan itu secara langsung merupakan batas antara hidup dan mati. Setiap saat kita dituntut untuk bersiap

  • – siap menjadi penghuninya. Oleh karenanya tidak ada alasan sedikitpun untuk takut menghadapi kematian, (dalam wahyuningsih 2014)

  6. Sering berdzikir Berdzikir atau mengingat Allah SWT membantu manusia untuk selalu mengetahui perintah dan larangan Allah SWT. Seringnya berdzikir menjadi pertanda bahwa orang yang melaksanakannya akan dijamin oleh Allah SWT masuk surga. Daya dan kekuatan zikir serta do’a hakikatnya memancar dengan dahsyat kelak di hari akhir yang harus kita alami setelah melalui perjalanan menembus pintu kematian.

  Dalam hal ini memperbanyak istighfar sangat dianjurkan, (dalam wahyuningsih 2014)

  7. Hidup mulia Tidak ada jalan lain untuk mati dalam keadaan husnul khatimah kecuali dengan hidup mulia. Mulai akhlak dan moralitasnya, mulia cara keberagamanya, mulia dalam pengabdiannya kepada Allah SWT, dan mulia dalam artian taqwa dalam segala sisi kehidupannya. Hidup mulia ini sebenarnya cukup sederhana, yakni dengan melaksanakan perintah dan menjauhi semua larangannya. (dalam wahyuningsih 2014)

  8. Melaksanakan tujuh sunnah harian Rasullullah SAW yaitu shalat tahajud setiap malam, shalat dhuha setiap pagi, selalu menjaga wudlu, bersedekah secara konsisten dan continue, beristighfar, shalat jamaah dimasjid terutama subuh dan isya dan membaca Al-

  Qur’an, (dalam wahyuningsih 2014)

c. Lansia Menghadapi Kematian

  Angka statistik menunjukkan, bahwa kematian banyak terjadi pada usia lanjut daripada usia muda, oleh usia lanjut sering dihadapinya dengan sikap menolak, seperti halnya rasa sakit atau tiadanya pertolongan, daripada kematian itu sendiri. Hal ini menunjukan bahwa orang cendrung tidak takut akan kematian, tetap secara umum mereka menolak kematian. Penolakan ini tampak dalam kata

  • – kata yang digunakan untuk menyebut orang yang meninggal dunia dengan sebutan : “beristirahat”, “menghadap

  Tuhan”, “dipanggil Tuhan”, “pergi ke alam abadi”, menghadap sang khalik dan sebagainya, Suardiman (2011) Kecemasan menghadapi kematian pada dasarnya tidak mengetahui hakekat maut, dan menduga kematian mendatangkan rasa sakit. Atau dikarenakan masih berat meninggalkan orang

  • – orang yang dikasihi dan mendapati siksa kubur (Shihab, 2007)
Berdasarkan hal

  • – hal tersebut pandangan lansia tentang konsep hidup dan mati memegang peranan penting dalam kesiapan lanjut usia menghadapi kematian dan kesiapan tersebut dapat mempengaruhi pencapaian optimum aging (Erickson, 1986). Hal ini dibuktikan dengan penelitian fry (2003) (dalam Wahyuningsih 2014), dalam penelitiannya tentang

  “pereceived selfefficacy domains as predictors of fear of the

unknown and fear of dying among older adults” menyatakan bahwa

  semakin kuat afifasi menguasai diri maka semakin rendah tingkat kecemasan menjelang kematian.

  Pandangan lansia tentang konsep hidup dan mati memegang peranan penting dalam kesiapan lansia untuk menghadapi kematian, kesiapan menghadapi kematian berarti keadaan lansia yang telah siap untuk menghadapi kematian, menerima akan datangnya kematian, Papalia (2002). Backer (1982), melakukan hal

  • – hal yang diperlukan untuk menghadapi kematian sehingga tidak ada penyesalan saat kematian itu datang. Hal – hal yang demikian itu dipengaruhi oleh sudut pandang dan sikap lansia terhadap kematian, pandangan agama serta kepercayaan kepada Allah SWT akan mempengaruhi lansia dalam memandang dan bersikap terhadap kematian, Shihab (2007).
Menrut Harapan (2014), menjelaskan bahwa kesiapan menghadapi kematian pada lansia dipengaruhi oleh 3 persepsi, yaitu :

  1. Pengalaman Pribadi Menurut (Erickson 1986 dalam Wahyuningsih 2014) menjelaskan bahwa proses kehidupan seseorang sebelumnya juga menentukan bagaimana seseorang akan bereaksi terhadap ancaman yang akan dihadapinya dimasa sekarang dan nanti. Pandangan umum mengenai kondisi fisik lansia yang semakin melemah dan perubahan lainnya membuat lansia menganggap masa usia lanjut tidak menyenangkan, selain itu sejalan dengan menurunnya kondisi fisik lansia mengalami kecemasan akan datangnya kematian, Hurlock (1993).

  2. Spiritualitas Spiritualitas merupakan kualitas dasar manusia yang dialami oleh setiap orang dari semua keyakinan dan bahkan oleh orang- orang yang tidak berkeyakinan tanpa memandang ras, warna, asal negara, jenis kelamin, usia, atau disabilitas. Spiritualitas mencakup hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan alam harmonis, hubungan dengan orang lain, dan hubungan dengan ketuhanan, Hamid (2009). Penelitian yang dilakukan oleh Williams (2006) (dalam Sari 2015), menunjukkan bahwa lansia yang memiliki tingkat spiritualitas tinggi maka dalam menjalani akhir kehidupan, hidup dalam ketenangan hingga ajal menjemputnya.

  Pada umumnya kehidupan lansia sudah sampai pada tahapan kesadaran berserah diri pada Tuhan. Kepasrahan akan membawa seseorang kepada ketenangan dan tidak mengenal putus asa, sekalipun mengalami masa

  • – masa sulit, selalu mengharapkan ridla Tuhan. Bahkan dalam Alqur’an, Allah SWT dengan tegas berfirman : ….. yang artinya : dengan berdzikir kepada Allah, hati kamu menjadi

  

tenang. Dzikir (mengingat Allah dengan lafadz-lafadz tertentu)

  merupakan salah satu metode kecerdasan spiritual untuk mendidik hati menjadi tenang dan damai, Suardiman (2011).

  3. Dukungan keluarga Keluarga merupakan tempat dimana orang dapat menjadi diri sendiri, merasa bebas, aman dan nyaman, oleh karena itu keluarga merupakan suatu kondisi nyata yang mempunyai arti istimewa bagi setiap orang, salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan usia lanjut dalam menjalani sisa kehidupannya adalah sikap orang di sekitarnya, Suardiman (2011).

  Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Harapan, (2013), dukungan keluarga mempengaruhi partisipan tentang persepsi lansia terhadap siapa yang ia inginkan berada disampingnya ketika menjelang kematian, pendapat ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Hattori (2005) dalam Harapan (2013) yang menyebutkan bahwa faktor keluarga mempengaruhi tempat kematian dan siapa yang diinginkan lansia berada disampingnya saat menjelang kematian.

F. Kerangka Teori

  Kesiapan Lansia Menghadapi Kematian a.

  kesiapan menghadapi kematian dipengaruhi oleh 3 persepsi yaitu :

  1. Pengalaman Pribadi 2.

   Spiritualitas, meliputi 4 aspek:

  • - Psikis b.
  • - Spiritual c.

   Hubungan dengan diri sendiri

  1. Aspek psikologis Coon&Miterer (2007)

  Hubungan Antara Spiritualitas..., MOCHAMMAD FAIZAL, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2016

  Sumber : Harapan (2014), Burkhardt(1993, dalam Kozier dkk, 1997), Meiner (2006), Indriana (2012), Coon&Miterer (2007)

Gambar 2.1 Krangka Teori

  4. Aspek fisik Meiner (2006)

  3. Aspek Sosial

  2. Aspek Spiritual

  Reaksi Terhadap Kematian Harapan (2014), Burkhardt (1993, dalam - Penolakan Kozier dkk, 1997), Setiadi (2007) - Marah

   Hubungan dengan orang lain

   Dukungan instrumental