BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan Penelitian mengenai bahasa khususnya tindak tutur direktif dengan menggunakan kajian pragmatik sebelumnya pernah diteliti oleh: 1. Widyaningrum pada Tahun 2011 dengan judul “Tindak Tutur Direktif Guru Taman Kana

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan Penelitian mengenai bahasa khususnya tindak tutur direktif dengan

  menggunakan kajian pragmatik sebelumnya pernah diteliti oleh: 1.

   Widyaningrum pada Tahun 2011 dengan judul “Tindak Tutur Direktif Guru Taman Kanak-Kanak dalam Proses Belajar Mengajar di TK Aisyiyah Kasegeran, Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas”

  Peneitian tentang bahasa khususnya tindak tutur sebelumnya pernah dilakukan oleh Widyaningrum (2011) dengan judul “Tindak Tutur Direktif Guru Taman Kanak-

  Kanak dalam Proses Belajar Mengajar di TK Aisyiyah Kasegeran, Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas”. Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk tindak tutur direktif guru taman kanak-kanak dengan keterampilan guru dalam proses belajar mengajar di TK Aisyiyah Desa Kesegeran, Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas. Penelitian tersebut menghasilkan wujud tuturan direktif guru Taman Kanak-kanak dalam proses belajar mengajar terbagi menjadi enam bentuk di antaranya tuturan requestives, questions, requirment,

  

prohibitives, permissives, dan advisories. Data yang diambil dalam penelitian tersebut

  yaitu berupa data tuturan yang mengandung tuturan direktif pada guru TK Aisyiyah Kasegeran, Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas.

2. Evi Barokah pada Tahun 2012 dengan judul “Tindak Tutur Direktif Anak Usia Prasekolah Kajian pada Kelompok Bermain Universitas Muhammadiyah Purw okerto”

  Penelitian lain yang relevan yakni penelitian Evi Barokah (2012) dengan judul “Tindak Tutur Direktif Anak Usia Prasekolah Kajian pada Kelompok Bermain

  11 Universitas Muhammadiyah Purwokerto”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk tindak tutur direktif anak usia prasekolah khususnya anak usia (3-4) tahun. Ada pun tujuan lain yaitu mendeskripsikan keterkaitan bentuk- bentuk tindak tutur direktif anak usia prasekolah dengan strategi meminimalkan acaman muka positif dan muka negatif. Penelitian Evi Barokah menghasilkan enam wujud tuturan dari anak usia 3 tahun dan anak usia 4 tahun. Wujud tuturan tersebut diantaranya tuturan requestives, questions, requirements, prohibitives, permissives, dan advisories. Selanjutnya kesantunan berbahasa pada anak usia prasekolah (3-4) tahun ditemukan strategi meminimalkan muka positif dan muka negatif. Data yang diambil dan digunakan dalam penelitian, yaitu data berupa tuturan anak usia (3-4) tahun yang mengandung tindak tutur direktif di Kelompok Bermain Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

3. Kukuh Waskito Aji pada Tahun 2016 dengan Judul “Tindak tutur Ilokusi Direktif Dokter dengan Pasien di Puskesmas I Kemranjen Kabupaten Banyumas Bulan Desember 2014”

  Penelitian lain yang relevan yakni penelitian Kukuh Waskito Aji (2016) dengan judul “Tindak Tutur Ilokusi Direktif Dokter dengan Pasien di Puskesmas I Kemranjen Kabupaten Banyumas Bulan De sember 2014”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk tindak tutur ilokusi direktif yang terdapat pada percakapan antara Dokter dengan Pasien di Puskesma I Kemranjen, Kabupaten Banyumas bulan desember 2014. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut yaitu data tuturan dokter dengan pasien di Puskesmas I Kemranjen, Kabupaten Banyumas bulan Desember 2014. Metode yang digunakan dalam proses pengambilan data yaitu menggunakan metode simak dengan teknik sadap. Penelitian tersebut menghasilkan enam bentuk tuturan, yaitu tuturan requestives, questions, requirements, prohibitives, permissives, dan advisories.

  Selanjutnya, perbedaan penelitian yang akan peneliti lakukan dengan penelitan Widyaningrum, Evi Barokah, dan Kukuh Waskito Aji yakni pada data dan sumber datanya. Data pada penelitian Widyaningrum yaitu berupa data tuturan yang mengandung tuturan direktif pada guru TK Aisyiyah Kasegeran, Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas, dan data pada penelitian Evi Barokah yakni berupa tuturan anak usia prasekolah (3-4) yang mengandung tindak tutur direktif di Kelompok Bermain Universitas Muhammadiyah Purwokerto, serta data pada penelitian Kukuh Waskito Aji yaitu data tuturan dokter dengan pasien di Puskesmas I Kemranjen, Kabupaten Banyumas bulan Desember 2014. Sementara data pada penelitian ini yaitu tuturan anak usia 4-5 tahun di Desa Babadan, Pagentan, Banjarnegara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian- penelitian sebelumnya.

B. Kajian Teori 1. Anak Usia 4-5 Tahun a. Perkembangan Anak Usia 4-5 Tahun

  Pratisti (2008: 14) mengatakan bahwa masa anak-anak awal yaitu terbentang (usia 3-6 tahun). Masa ini sering disebut sebagai masa pra sekolah. Anak yang berada pada masa ini mulai peduli terhadap kehadiran anak lain. Demikian juga tentang bahasa yang digunakan, karena dengan adanya bahasa tersebut mereka dapat saling berkomunikasi baik dengan teman sepermainan maupun dengan orang dewasa yang berada sisekitarnya. Pada masa ini anak-anak juga dapat mengembangkan cara meminta dan memperoleh yang diinginkan dengan cara yang lebih baik dari sebelumnya. Selain itu, anak-anak juga lebih peduli terhadap diri sendiri, serta mulai melatih mengendalikan diri. Lain halnya dengan pendapat di atas, Prawiratirta (dalam Gunarsa 1983: 88-89) mengemukakan bahwa anak pada usia 3-5 tahun setelah berkembang kemampuannya menguasai otot dan dirinya sendiri, anak diharapkan pada lingkungan hidup yang lebih luas. Anak bisa melepaskan diri secara bebas dari lingkungan hidup orang tua dan mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Tidak lagi tergantung, melainkan sudah mempunyai inisiatif untuk melakukan sesuatu. Anak mulai mengetahui kemampuan dan keterbatasannya dan bisa berkhayal mengenai apa yang akan dilakukan. Anak bisa mengambil inisiatif untuk suatu tindakan yang akan dilakukan, meskipun seringkali apa yang dilakukan tidak berkenaan bagi orang tuanya.

  Atmodiwirjo (dalam Gunarsa 1983: 11-13) mengemukakan bahwa masa anak pra-sekolah disebut juga masa kanak-kanak awal, terbentang antara umur 2-6 tahun.

  Beberapa ciri perkembangan pada masa ini adalah: 1) Perkembangan motorik: dengan bertambah matangnya perkembangan otak yang mengatur sistem syaraf-otot (neuromuskuler) memungkinkan anak-anak usia ini lebih lincah dan aktif bergerak. 2) Perkembangan bahasa dan berpikir: sebagai alat komunikasi dan mengerti dunianya, kemampuan berbahasa lisan pada anak berkembang karena selain terjadi oleh pematangan dari organ-organ bicara dan fungsi berpikir, juga karena lingkungan ikut membantu mengembangkannya. Dalam hal ini ada empat tugas yang perlu diperhatikan pengembangannya, yakni a) mengerti pembicaraan orang lain, b) menyusun dan menambah perbendaharaan kata, c) menggabungkan kata menjadi kalimat, dan 4) pengucapan yang baik dan benar.

  3) Perkembangan sosial: dunia pergaulan anak menjadi bertambah luas.

  Keterampilan dan penguasaan dalam bidang fisik, motorik, mental, emosi sudah lebih meningkat.

  Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masa kanak-kanak disebut juga masa pra sekolah, yaitu terbentang antara usia 2-6 tahun. Pada masa ini nampak seakan- akan anak “haus nama”, di masa segala hal akan ditanyakan. Di dalam segi berpikir, anak berada pada tahap pra-operasional dan egoisentris. Dengan bertambahnya usia, egosentrisme akan berkurang dan ditambah dengan kefasihan berbicara. Pada masa ini anak semakin lama semakin mampu menggunakan simbol-simbol dan kemampuan bahasanyapun semakin bertambah, sehingga anak dapat berkomunikasi dengan baik terhadap orang-orang di sekitarnya. Kemampuan ini diperlukan karena pada usia ini anak mulai diperkenalkan dengan dunia baru, yakni dunia pendidikan formal.

b. Pemerolehan Bahasa Anak

  Dardjowidjojo (2010: 225) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural waktu ia belajar bahasa ibunya (native language). Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal itulah yang disebut dengan pemerolehan bahasa anak (Akhadiah, dkk, 1997: 1.3). Kemudian Garcia (dalam Akhadiah, dkk, 1997: 1.3) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan memiliki ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkain kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit (sintaksis). Berangkat ke arah yang melebihi tahap awal ini anak menghadapi tugas-tugas perkembangan yang berkaitan dengan fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.

  Sedangkan menurut McGraw (dalam Akhadiah, dkk, 1997: 1.3) ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Yang pertama pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kebebasan berbahasa dimulai sekitar satu tahun di kala anak-anak menggunakan kata-kata lepas atau terpisah dari sandi kebahasaan untuk mencapai aneka tujuan sosial mereka. Kedua pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari presentasi-presentasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. Dari beberapa pengertian mengenai pemerolehan bahasa, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerolehan bahasa pada anak didapatkan secara alami dan natural pada saat ia belajar bahasa pertamanya. Selain itu, pemerolehan bahasa juga memiliki ciri yang berkesinamungan yaitu pemerolehannya bertahap sesuai dengan kaidah tata bahasa dan sesuai perkembangan anak. Pemerolehan bahasa juga bertujuan untuk melakukan suatu tindakan komunikasi dalam mencapai tujuan sosialnya dengan orang lain.

c. Pemerolehan Pragmatik

  Menurut Ninio & Snow, Verschueren (dalam Dardjowidjojo, 2000: 41) definisi yang paling mendasar, pragmatik dapat dikatakan sebagai cabang ilmu linguistik yang membahas penggunaan bahasa-the study of language use. Dardjowidjojo (2000: 41- 42) mengemukakan bahwa bahasa terdiri dari tiga komponen dasar: fonologi, sintaksis (termasuk morfologi), dan semantik. Masing-masing komponen ini terikat dengan unit analisis sendiri-sendiri. Pragmatik bukan merupakan komponen tambahan pada bahasa tetapi memberikan perspektif yang berbeda terhadap bahasa. Perspektif ini ditemukan pada tiap komponen.

  Nino & Snow (dalam Dardjowidjojo 2000: 43) mengatakan bahwa penggunaan bahasa harus diperoleh anak karena keapikan berbahasa tidak hanya terletak pada kepatuhan terhadap aturan gramatikal tetapi juga pada kepatuhan aturan pragmatik. Anak mau tidak mau mengembangkan “pengetahuan yang diperlukan agar dalam situsi komunikasi antarpesona bahasa yang dipakai itu pantas, efektif, dan sekaligus mengikuti aturan gramatikal”. Sedangkan Dardjowidjojo (2000:43) mengemukakan, bahwa anak dari masyarakat yang bahasanya mempunyai sistem honorifik sudah dari kecil sudah dididik untuk berbahasa “dengan baik”. Dalam keluarga terdidik Jawa suatu ungkapan sopan santun yang wajib diucapkan sebagai pemenuhan terhadap norma sosial budaya dalam masyarakat Jawa. Misalnya, anak menyuruh makan neneknya dengan mengatakan

  “mbah, maem” yang berarti “nenek, makan” kata tersebut tidak pantas digunakan oleh anak kepada neneknya, pastilah seorang ibu akan menegur anaknya dan mengajarkan kepada anaknya dengan mengatakan

  “mbah, dhahar”.

2. Tindak Tutur a. Pengertian Tindak tutur

  Menurut Rohmadi (2004: 29), teori tindak tutur pertama kali dikemukakan oleh Austin (1956), seorang guru besar di Universitas Harvard. Teori yang berwujud hasil kuliah itu kemudian dikemukakan oleh J.O.Urmson (1965) dengan judul How to

  

do Things with words?. Akan tetapi teori itu baru berkembang secara mantap setelah

  Searle (1969) menerbitkan buku yang berjudul Speech Acts: An Essay in the

  

Philosophy of Language. Menurut Searle dalam semua komunikasi linguistik terdapat

  tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekedar lambang, kata atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang, kata atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (fire performance of speech acts).

  Chaer (2010: 27) mengataka bahwa tindak tutur adalah tuturan dari seseorang yang bersifat psikologis dan yang dilihat dari makna tindakan dalam tuturan itu. Lain halnya dengan pendapat yang diungkapkan oleh Tarigan (2009: 36) bahwa tindak tutur atau tuturan yang dihasilkan oleh manusia dapat berupa ucapan. Ia juga mengatakan bahwa ucapan tersebut dianggap sebagai suatu bentuk kegiatan atau suatu tindak ujaran. Sementara Suwito (dalam Rohmadi, 2004: 30) menjelaskan jika peristiwa tutur merupakan gejala sosial dan terdapat interaksi antara penutur dalam situasi dan tempat tertentu, maka tindak tutur lebih cenderung sebagai gejala individual, bersifat psikologis dan ditentukan oleh kemampuan bahasa bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Libih lanjut dijelaskan bahwa orang lebih mementingkan makna atau arti tindak dalam bertutur itu.

  Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Chaer dan Agustina (2004: 50), tindak tutur merupakan gejala individu yang bersifat psikologis dan berlangsungnya ditentukan oleh kemempuan oleh bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Sementara itu Searle (dalam Rohmadi, 2004: 29) menegaskan bahwa tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, perintah atau yang lainnya. Dari beberapa pengertian tindak tutur yang disampaikan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah aktivitas mengujarkan suatu kalimat dengan kondisi dan maksud tertentu. Dapat diartikan bahwa di dalam proses tindak tutur jika seseorang menuturkan sesuatu maka ada tindakan tertentu yang mengikuti tuturan tersebut.

b. Bentuk-Bentuk Tindak Tutur

  Austin (dalam Chaer, 2010: 27-29) tindak tutur yang dilakukan dalam kalimat performatif dirumuskan sebagai tiga buah tindakan yang berbeda. Tindakan tersebut, yaitu (1) tindak tutur lokusi, (2) tindak tutur ilokusi, dan (3) tindak tutur perlokusi. Dalam bukunya pun ia menjelaskan bagian dari masing-masing bentuk. Ketiga tindakan itu lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

  1) Tindak Tutur Lokusi

  Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu sebagaimana adanya atau The Act of Saying Something tindak untuk mengatakan sesuatu Austin (dalam Chaer, 2010: 27). Sementara Leech (2011: 316) memberikan rumus mengenai tindak lokusi yaitu bahwa tindak tutur lokusi berarti penutur memberikan tuturan kepada mitra tutur bahwa kata-kata yang diucapkan itu mempunyai suatu makna dan acuan tertentu. Contohnya yaitu sebagai berikut.

  (1) Jembatan Suramadu menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura. Kalimat (1) di atas dituturkan oleh seorang penutur semata-mata hanya untuk memberikan informasi sesuatu belaka, tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu.

  Informasi yang diberikan pada kalimat (1) adalah mengenai jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura. Berdasarkan paparan para ahli dan contoh tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tindak tutur lokusi dituturkan oleh penuturnya semata-mata hanya memberikan suatu informasi saja.

  2) Tindak Tutur Ilokusi

  Austin (dalam Chaer, 2010: 28) menyebutkan bahwa tindak tutur ilokusi selain menyatakan sesuatu juga menyatakan tindakan melakukan sesuatu. Oleh karena itu, tindak tutur ilokusi ini disebut The Act of Doing Something (tindakan melakukan sesuatu). Hal serupa juga diungkapkan oleh Rohmadi (2004: 31) mengatakan bahwa tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu. Tindak ilokusi juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut The Act of Doing Something. Pendapat lain juga diungkapkan oleh Schmidt dan Richhards (dalam Nadar 2009: 14) mengungkapkan bahwa tindak ilokusi adalah apa yang ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu. Berikut contoh kalimat dalam bentuk tindak tutur ilokusi.

  (2) Sudah hampir pukul tujuh. Kalimat (2) bila dituturkan oleh seorang suami kepada istrinya di pagi hari, selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan si istri bahwa si suami harus segera berangkat ke kantor; jadi minta disediakan sarapan. Tindak tutur ilokusi selain memberi informasi tentang sesuatu, tetapi juga lebih terkandung maksud dari tuturan yang diucapkan. Selanjutnya Putrayasa (2014: 90-92) membagi tindak tutur (ilokusi) menjadi lima jenis. Pembagian ini didasarkan atas asumsi “Berbicara menggunakan suatu bahasa adalah mewujudkan perilaku dalam aturan tertentu”. Kelima tindak tutur tersebut adalah sebagai berikut:

a) Tindak Tutur Representatif

  Representatif ialah tindak tutur yang berfungsi untuk menetapkan atau menjelaskan sesuatu apa adanya. Tindak tutur ini, seperti menyatakan, melaporkan, memberitahukan, menjelaskan, mempertahankan, dan menolak (Putrayasa, 2014: 90). Tindak menyatakan dan mempertahankan, maksudnya adalah penutur mengucapkan sesuatu, maka mitra tutur percaya terhadap ujaran penutur. Tindak melaporkan dan memberitahukan, maksudnya ketika penutur mengujarkan sesuatu, maka penutur percaya bahwa telah terjadi sesuatu. Tindak menolak dan menyangkal, maksudnya penutur mengucapkan sesuatu maka mitra tutur percaya bahwa terdapat alasan untuk tidak percaya. Tindak menyetujui dan menggakui, maksudnya ketika penutur mengujarkan sesuatu, maka mitra tutur percaya bahwa apa yang diujarkan oleh penutur berbeda dengan apa yang ia inginkan dan berbeda dengan pendapat semula

  b) Tindak Tutur Komisif

  Putrayasa (2014: 91) mengatakan bahwa komisif adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pembicaraan melakukn sesuatu, seperti berjanji, bernazar, bersumpah, dan ancaman. Sarle (dalam Rohmadi 2004: 32) juga menambahkan bahwa ilokusi komisif ini bertujuan untuk mendorong pembicara melakukan sesuatu. Selain itu, Sarle (dalam Rohmadi 2004: 32) juga meyebutkan ciri-ciri ilokusi komisif, yaitu berjanji, bersumpah atau mengancam. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melakukan suatu hal. Suatu hal tersebut yaitu segala sesuatu yang disebutkan dalan suatu tuturan.

  c) Tindak Tutur Direktif

  Ibrahim (1993: 27) Direktif (Directives) mengekspresikan sikap mitra penutur terhadap tindakan yang akan dilakukan oleh mitra tutur. Apabila sebatas pengertian ini yang diekspresikan, maka direktif merupakan konstatif (constatives) dengan batasan pada isi proposisinya (yaitu, bahwa tindakan yang akan dilakukan ditujukan kepada mitra tutur). Tetapi, direktif juga bisa mengekspresikan maksud penutur (keinginan, harapan) sehingga ujaran atau sikap yang diekspresikan dijadikan sebagai alasan untuk bertindak oleh mitra tutur. Pendapat lain juga dikemukakan Searle (dalam Chaer 2010: 29) direktif yaitu tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebut di dalam tuturan itu. Sejalan dengan pernyataan di atas, Yule (1996: 93) mengemukakan bahwa direktif merupakan jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu.

  Jinis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Putrayasa (2014: 91) mengemukakan bahwa tindak tutur direktif, yaitu tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar melakukan sesuatu. Tindak tutur ini meliputi perintah, pemesanan, permohonan, dan pemberian saran.

  Dari pengertian tindak tutur direktif tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak tutur direktif merupakan tidak tutur yang mempengaruhi mitra tuturnya untuk melakukan suatu tindakan seperti yang dianjurkan oleh penutur. Selain itu, direktif juga dapat diartikan bahwa kalimat yang diujarkan tidak hanya menyatakan sesuatu, akan tetapi dapat menindakkan seseorang untuk melakukan sesuatu. Hal tersebut dikarenakan kalimat yang terdapat pada tuturan yang dituturkan oleh penutur merupakan kalimat introgatif. Misalnya tuturan melarang, menyarankan, ajakan, memerintah, dan permintaan. Ibrahim (1993: 28-33) membagi tindak tutur direktif menjadi enam kategori, yaitu:

  (1) Requestives Requestives , yaitu mengekspresikan keinginan penutur sehingga mitra tutur

  melakukan sesuatu. Di samping itu, requestives mengekspresikan maksud penutur (atau, apabila jelas bahwa dia tidak mengharapkan kepatuhan, requestives mengkekspresikan keinginan atau harapan penutur) sehingga mitra tutur menyikapi keinginan yang terekspresikan ini sebagai alasan (atau bagian dari alasan) untuk bertindak. Tuturan yang termasuk dalam bentuk tindak tutur direktif requestives yaitu tuturan meminta, mengemis, memohon, menekan, mengundang, mendoa, mengajak, mendorong. Berikut ini contoh tindak tutur requstives: (3) Ayo bermain bola.

  (4) Tolong ambilkan kakak buku cerita di atas meja. Kalimat (3) dan (4) merupakan bentuk tindak tutur requestives. Kalimat (3) merupakan contoh kalimat mengajak. Tuturan mengajak pada kalimat (3) ditandai dengan adanya kata

  “ayo” yang bermaksud mengajak. tuturan tersebut apabila dituturkan oleh seseorang kepada temanya, yaitu bermaksud untuk mengajak bermain bola. Pada kalimat (4) merupakan contoh kalimat meminta. Tindak meminta pada tuturan tersebut ditandai dengan adanya kata

  “tolong” yang berarti menyatakan tindakan memita. Apabila tuturan tersebut disampaikan oleh seorang kakak kepada adiknya, artinya ia meminta kepada adiknya untuk mengambilkan buku.

  (2) Questions Questions, merupakan questions (pertanyaan) request (permohonan) dalam

  kasus yang khusus, khusus dalam pengertian apa yang dimohon adalah bahwa mitratutur memberikan kepada penutur informasi tertentu. Misalnya tuturan bertanya, menyelidiki, mengintrogasi. Pada tuturan bertanya penutur meminta suatu informasi yang dibutuhkan kepada mitra tuturnya. Selain itu, dapat dikatakan bahwa penutur menyatakan sesuatu kepada mitra tutur. Jadi, diharapkan dalam tuturan ini mitra tutur memberikan tanggapan yang berupa jawaban dari pernyataan penutur. Adapun contoh tindak tutur questions sebagai berikut.

  (5) Kenapa Dika tidak berangkat ke sekolah? Contoh tersebut termasuk bentuk tindak tutur questions bertanya. Kalimat (5) merupakan percakapan ibu dan anaknya. Tuturan bertanya pada tuturan (5) ditandai dengan adanya kata “kenapa”. Kata “kenapa” digunakan untuk menanyakan sebab. Dalam dal ini adalah menanyakan sebab mengenai ketidak hadiran Dika ke sekolah. Tuturan tersebut dituturkan oleh seorang guru kepada muridnya di kelas.

  (3) Requirements Reruirements, yaitu perintah. Maksud yang diekspresikan penutur adalah

  bahwa mitra tutur menyikapi ujaran penutur sebagai alasan untuk bertindak, dengan demikian ujaran penutur dijadikan sebagai alasan penuh untuk bertindak. Tuturan yang termasuk tuturan requirements diantaranya tuturan memerintah, menghendaki, mengkomando, menuntuk, mendikte, mengarahkan, menginstruksikan, mengatur, menyaratkan. Adapun contoh tindak tutur requirements sebagai berikut.

  (6) Jagalah adikmu baik-baik! Kalimat (6) merupkan contoh tindak tutur requirements memerintah. Tindak memerintah pada kalimat (6) ditandai dengan kata “jagalah”. Kata “jagalah” memiliki makna perintah. Kalimat tersebut dituturkan oleh seorang ibu kepada anak pertamanya bermaksud untuk memerintah sang kakak menjaga adiknya.

  (4) Prohibitives Prohibitives , seperti melarang (forbidding) atau membatasi (proscribing), pada

  dasarnya adalah requirements (perintah/suruhan) supaya mitratutur tidak mengerjakan sesuatu (Ibrahim, 1993:28-33). Tuturan melarang disampaikan supaya orang lain tidak mengerjakan sesuatu. Tuturan larangan biasanya ditandai dengan penggunaan kata atau ungkapan yang bermakna melarang. Kata yang paling sering digunakan adalah kata jangan yang menyatakan tindakan melarang (Rahardi, 2005:109). Adapun contoh tindak tutur prohibitives sebagai berikut.

  (7) Dilarang membuang sampah sembarangan. Kalimat (7) merupakan contoh kalimat prohibitives melarang. Tuturan tersebut disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur untuk tidak melakukan tindakan seperti yang dianjurkan oleh penutur. Tuturan melarang pada kalimat (7) ditandai dengan kata “dilarang”. Apabila tuturan tersebut disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur untuk melarang membuang sampah sembarangan. Karena tindakan membuang sampah sembarangan merupakan hal yang tidak baik.

  (5) Permissives Permissives, yaitu mengekspresikan kepercayaan penutur dan maksud penutur

  sehingga mitara tutur percaya bahwa ujaran penutur mengandung alasan yang cukup bagi mitra tutur untuk merasa bebas melakukan tindakan tertentu. Misalnya tuturan menyetujui, membolehkan, memberi wewenang, menganugrahi, mengabulkan, membiarkan, mengizinkan, melepaskan, memaafkan, memperkenalkan. Contoh tuturan direktif permissives (mengizinkan) yaitu sebagai berikut.

  (8) Saya perbolehkan kamu menggambar di buku ini. Tuturan (8) merupakan contoh bentuk tuturan membolehkan. Tuturan tersebut disampaikan secara langsung oleh penutur kepada mitra tutur untuk membolehkan mitra tutur. Bila tuturan tersebut disampaikan oleh seseorang kepada temannya yang akan menggambar, maka maksud dari tuturan tersebut yaitu membolehkan temannya untuk menggambar pada buku milik penutur.

  (6) Advisories Advisories, kepercayaan mitratutur bahwa apa yang diekspresikan penutur

  bukanlah keinginan mitratutur melakukan tindakan tertentu tetapi kepercayaan bahwa melakukan bahwa melakukan sesuatu merupakan hal baik, bahwa tindakan itu merupakan kepentingan mitratutur. Penutur juga mengekspresikan maksud bahwa mitratutur mengambil kepercayaan tentang ujaran penutur sebagai alasan untuk bertidak. Misalnya tuturan menasihatkan, memperingatkan, mengkonseling, mengusulkan, menyarankan, mendorong. Contoh tuturan direkrif advisories sebagai berikut.

  (9) Harus belajar sungguh-sungguh, agar mendapat nilai yang memuaskan. Tuturan (9) merupakan contoh bentuk tuturan menasihatkan. Kalimat tersebut jika dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya ketika menjelang UAS, kalimat tersebut bermaksud manasihati anaknya supaya belajar sungguh-sungguh supaya mendapat nilai yang bagus.

  Rahardi (2005: 93-116) menuliskan konstruksi ujaran direktif baik langsung maupun tidak langsung sebagai berikut: (a) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif perintah.

  Misalnya: (1) “Rangkai puisi ini!” (b) Tuturan yang mengandung makna pragmatik inperati suruhan.

  Misalnya: (2) “Coba rangkai puisi ini.” (c) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif permintaan.

  Misalnya: (3) “Tolong rangkai puisi ini.” (d) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif permohonan.

  Misalnya: (4) “Aku mohon kamu bersedia rangkai puisi ini.”

  (e) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif desakan.

  Misalnya: (5) “Ayo, rangkai puisi ini sekarang juga.” (f) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif bujukan.

  Misalnya: (6) “Tolong, malam ini kamu rangkai puisi ini.” (g) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif himbauan.

  Misalnya: (7) “Rangkailah puisi ini dengan baik.” (h) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif persilaan.

  Misalnya: (8) “Silakan puisinya dirangkai.” (i) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif ajakan.

  Misalnya: (9) “Mari kita rangkai puisi ini bersama-sama.” (j) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif permintaan izin.

  Misalnya: (10) “Bolehkah saya merangkai puisi ini.” (k) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif mengizinkan.

  Misalnya: (11) “puisinya boleh dirangkai sekarang.” (l) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif larangan.

  Misalnya: (12) “Jangan merangkai puisi ini.” (m) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif harapan.

  Misalnya: (13) “Saya mengharapkan rangkaian puisi ini cepat selesai.” (n) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif umpatan.

  Misalnya: (14) “Kena, kau!” (o) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif selamat.

  Misalnya: (15) “Selamat ya atas prestasimu.” (p) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif anjuran.

  Misalnya: (16) “Sebaiknya rangkaian dikerjakan sekarang saja akan lebih baik.”

  (q) Tuturan yang mengandung makna pragmatik imperatif “ngelulu”

  Misalnya (17 ) “Tidak usah makan, jajan saja terus sampai besok.”

  Ramlan (2005: 26-43) mengemukakan bahwa berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasi, kalimat dapat diglongkan menjadi tiga golongan, yaitu (1) kalimat berita, (2) kalimat tanya, dan (3) kalimat suruh.

  (1) Kalimat Berita

  Kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain sehingga tanggapan yang diharapkan berupa perhatian. Kadang-kadang perhatian itu anggukan, kadang juga disertai dengan ucapan

  “ya”. Kalimat berita memiliki pola

  intonasi yang disebut pola intonasi berita, yaitu [2] 3 // [2] 3 1 # dan [2] 3 // [2] 3 # apabila P-nya terdiri dari kata- kata yang suku kedua dari belakang bervokal /Ə/.

  Seperti kata keras, cepat, kering, tepung, bekerja. Intonasi kalimat berita bernada akhir turun. Berikut adalah contoh kalimat berita: (10) Jalan itu sangat menurun. Kalimat (10) termasuk kalimat berita, karena kalimat tersebut mempunyai pola intonasi berita, dan di dalam kalimat tersebut tidak terdapat kata tanya, ajakan, persilahan, dan larangan. Kalimat (10) dituturkan dengan maksud untuk memberitahukan kepada pengguna jalan bahwa jalannya sangat menurun, kemudian diharapkan pengguna jalan untuk lebih berhati-hati saat melintas di jalan tersebut agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

  (2) Kalimat Tanya

  Kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan sesuatu. Kalimat tanya memiliki pola intonasi yang bernada akhir naik, di samping nada suku terakhir yang lebih tinggi. Pola intonasi ialah: [2] 3 // [2] 3 #. Dalam kalimat tanya terdapat kata-kata tanya seperti apa, siapa, di mana, mengapa, bagaimana, ke mana, kenapa, mana.

  Selain ditandai dengan kata tanya, pola intonasi kalimat tanya digambarkan dengan tanda tanya. Sebagai contoh bisa dilihat berdasarkan kalimat berikut.

  (11) Bapak sedang membawa apa? Kata tanya yang digunakan pada kalimat (11) yaitu kata tanya

  “apa”. Kata tanya “apa” digunakan untuk menanyakan benda. Apabila kalimat tersebut diucapkan oleh seorang anak kepada bapaknya ketika bapaknya pulang dari pasar, artinya ia menanyakan barang bawaan bapaknya yang baru saja dibelinya dari pasar.

  (3) Kalimat Suruh

  Kalimat suruh mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari orang yang diajak berbicara. Berbicara ciri formalnya, kalimat ini memiliki pola intonasi 2 3 # atau 2 3 2 # jika diikuti partikel lah pada P-nya. Berdasarkan strukturnya kalimat suruh dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu (a) kalimat suruh yang sebenarnya, (b) kalimat persilahan, (c) kalimat ajakan, dan (d) kaliamt larangan.

  (a) Kalimat Suruh yang Sebenarnya

  Kalimat suruh yang sebenarnya ditandai oleh pola intonasi suruh. Selain dari pada itu, apabila P-nya terdiri dari kata verbal intransitif, bentuk kata verbal itu tetap hanya partikel lah dapat ditambahkan pada kata verbal untuk menghaluskan perintah. Misalnya:

  (12) Duduk! (13) Beristirahatlah! Apabila P-nya terdiri dari kata verbal transitif, kalimat suruh suruh yang sebenarnya, selain ditandai oleh pola intonasi suruh, juga dengan tidak adanya prefiks meN

  • pada

  kata verbal transitif. Partikel lah dapat ditambahkan pada kata verbal untuk menghaluskan suruhan.

  (b) Kalimat Persilahan

  Kalimat persilahan selain ditandai oleh pola intonasi suruh, kalimat persilahan ditandai juga oleh penambahan kata silahkan yang diletakkan di awal kalimat. S kalimat boleh di buang, boleh juga tidak. Misalnya:

  (14) Silahkan Bapak duduk di sini! (15) Silahkan datang ke sini!

  Kalimat (14) terlihat jelas dengan adanya S. Kalimat tersebut apa bila di tuturkan oleh tuan rumah kepada seseorang yang sedang bertamu, maka tuturan tersebut bermaksud untuk mempersilahkan tamu tersebut duduk pada tempat yang telah ditunjukkan oleh tuan rumah. Kemudian pada contoh kalimat (15) tidak terlihat adanya penggunaan S pada kalimat. Kalimat (15) apa bila dituturkan oleh seorang remaja kepada temannya yang akan meminjam buku, maka tuturan tersrsebut bermaksud untuk mempersilahkan temannya mengambil buku di rumah penutur.

  (c) Kalimat Ajakan

  Kalimat ajakan mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan yang bukan hanya dilakukan oleh orang yang diajak bicara, melainkan juga oleh orang yang berbicara atau penuturnya. Dengan kata lain tindakan tersebut dilakukan oleh kita. Kalimat ajakan ditandai oleh pola intonasi suruh dan juga ditandai oleh adanya kata- kata ajakan, ialah kata mari dan ayo yang diletakkan di awal kalimat. Partikel lah dapat ditambahkan pada kedua kata tersebut, yaitu menjadi marilah dan ayolah. S kalimat boleh dibuang, boleh juga tidak. Misalnya: (16) Mari kita belajar sekarang!

  Kalimat ajakan pada kalimat (16) ditandai dengan kata

  “mari”. Tuturan tersebut bila

  dituturkan oleh siswa SMP kelas VIII kepada temannya ketika akan ada ujian mata pelajaran bahsa Indonesia, maka tuturan tersebut bermaksud untuk mengajak belajar agar nantinya ketika ujian dapat mengerjakan dengan baik soal-soal yang diberikan oleh guru.

  (d) Kalimat Larangan

  Kalimat larangan ditandai oleh pola intonasi suruh dan ditandai juga oleh adanya kata jangan di awal kalimat. Partikel lah dapat ditambahkan pada kata tersebut untuk memperhalus larangan. S kalimat boleh dibuang, boleh juga tidak. Misalnya:

  (17) Jangan berangkat ke sekolah sendiri! Kalimat (17) merupakan kalimat larangan. Kalimat tersebut bila dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya ketika akan berangkat ke sekolah, maka tuturan tersebut bermaksud untuk melarang anaknya pergi sendirian. Akan tetapi ibunya yang akan mengantarkannya pergi ke sekolah.

d) Tindak Tutur Ekspresif

  Menurut Putrayasa (2014: 91) tindak tutur ekspresif berfungsi untuk mengekspresikan perasaan dan sikap. Tindak tutur ini berupa tindak meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji, dan mengkritik. Penutur mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur baik yang berupa rutinitas, maupun yang murni. Perasaan dan pengekspresian penutur untuk jenis situasi tertentu yang dapat berupa tindak menyampaikan salam (greeting) yang mengekspresikan rasa senang karena bertemu dan melihat seseorang, tindak berterima kasih (thanking) yang mengekspresikan rasa syukur karena telah menerima sesuatu. Tindak meminta maaf mengekspresikan simpati karena penutur telah melukai atau

  (apologizing) mengganggu mitra tutur.

e) Tindak Tutur Deklaratif

  Putrayasa (2014: 92) mengemukakan bahwa tidak tutur deklaratif merupakan tindak tutur yang berfungsi untuk memantapkan sesuatu yang dinyatakan. Suatu hal yang dinyatakan antara lain dengan setuju, tidak setuju, dan benar-benar salah. Berdasarkan hal tersebut, maka tindak tutur yang dilakukan oleh penutur bermaksud untuk menciptakan suatu hal. Hal tersebut bapat berupa persetujuan, status, dan keputusan.

3) Tindak Tutur Perlokusi

  Austin (dalam Chaer, 2010: 28) menyebutkan bahwa tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai pengaruh atau efek terhadap lawan tutur atau orang yang mendengar tuturan itu. Tindak tutur perlokusi sering disebut sebagai The

  

act of Affective Someone (tindak yang memberi efek pada orang lain). Tindak

perlokusi menghasilkan efek atau hasil yang ditimbulkan oleh ungkapan kalimat itu.

  tanggapan tersebut tidak hanya berbentuk kata-kata, tetapi juga berbentuk tindakan atau perbuatan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Rohmadi (2004: 31) bahwa tindak perlokusi disebut juga The Act of affecting Something. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya (Wijana, 1996: 19). Adapun contoh kalimat yaitu sebagai berikut.

  (18) Rumah saya jauh sih. Tuturan (18) bukan hanya memberi informasi bahwa rumah si penutur itu jauh; tetapi juga bila dituturkan oleh seorang guru kepada kepala sekolah dalam rapat penyusunan jadwal pelajaran pada awal tahun menyatakan maksud bahwa si penutur tidak dapat datang tepat waktu pada jam pertama. Efek atau pengaruhnya yang diharapkan si kepala sekolah akan memberi tugas mengajar tidak pada jam-jam pertama; melainkan pada jam-jam lebih siang.

c. Jenis-Jenis Tindak Tutur

  Wijana (1996: 30-36) dalam bukunya menjelaskan bahwa tindak tutur dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal, tindak tutur tidak literal, tindak tutur langsung literal, tindak tutur tidak langsung literal, tindak tutur langsung tidak literal, tindak tutur tidak langsung tidak literal. Dalam bukunya pun ia menjelaskan bagian dari masing-masing jenis. Kedelapan jenis tuturan itu lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:

1) Tindak Tutur Langsung

  Secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (introgatif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberitakan sesuatu (informasi), kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan, permohonan. Bila kalimat berita berfungsi secara konvensional untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah untuk menyuruh, mengajak, memohon, dan sebagainya, maka yang terbentuk adalah tindak tutur langsung (direct speecht act). Sebagai contoh:

  (19 ) “Gilang memiliki tiga buah jeruk.”

  (20 ) “Di mana penjual jeruk itu berjualan?”

  (21 ) “Ambilkan sepeda saya!”

  Ketiga kalimat di atas merupakan tindak tutur langsung yang berupa kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah. Kalimat (19) dituturkan dengan maksud untuk menginformasikan kepada mitra tuturnya bahwa Gilang memiliki tiga buah jeruk, kalimat (20) dituturkan dengan maksud untuk mencari informasi mengenai tempat penjual jeruk berjualan, sedangkan kalimat (21) dituturkan dengan maksud untuk memerintah mitra tutur mengambilkan sepeda.

2) Tindak Tutur Tidak Langsung (Indirect Speech Act)

  Tindak tutur tidak langsung ialah tindak tutur untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung. Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah. Misalnya seorang guru menyuruh ketua kelasnya yang bernama Ihzul untuk mengambilkan remot LCD, diucapkan dengan

  (22 ) “Ihzul, remot LCDnya dimana?”

  (23 ) “Di mana sapunya?”

  Pada kalimat (22), selain guru bertanya kepada ketua kelas, guru juga bertujuan memerintah ketua kelas untuk menyalakan LCD. Demikian pula tuturan (23) bila dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak, tidak semata-mata berfungsi untuk menanyakan di mana letak sapu itu, tetapi juga secara tidak langsung memerintah sang anak untuk mengambil sapu tersebut.

  3) Tindak tutur Literal (Literal Speech Act)

  Tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sebagai contoh dapat dilihat kalimat berikut.

  (24 ) “Artis itu suaranya sangat merdu.”

  Kalimat tersebut jika diutarakan dengan maksud untuk memuji atau mengagumi suara artis yang sedang dilihat. Kalimat tersebut merupakan tindak tutur literal.

  4) Tindak Tutur Tidak Literal (Nonliteral Speech Act)

  Tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Sebagai contoh dapat dilihat kalimat berikut:

  (25 ) “Bajumu bagus, tapi kamu tidak usah pakai baju itu.”

  Kalimat (25), penutur bermaksud mengatakan bahwa baju mitra tuturnya jelek, yaitu dengan mengatakan “tapi kamu tidak usah pakai baju itu”. Tindak tutur pada kalimat (25) merupakan tindak tutur tidak literal.

  5) Tindak Tutur Langsung Literal (Direct Literal Speech Act)

  Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur yang dituturkan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya. Misalnya:

  (26 ) “Ibu, ambilkan sepatu!”

  Tuturan (26) penutur mengutarakan maksud tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Tuturan tersebut dapat diidentifikasi sebagai tindak tutur langsung literal.

  6) Tindak Tutur tidak Langsung Literal (Indirect Literal Speech Act)

  Tindak tutur tidak langsung literal adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur. Dalam tindak tutur ini maksud memerintah diutarakan dengan kalimat atau tanda tanya. Misalnya:

  (27 ) “Kursinya berantakan”. Tuturan (27) dalam konteks seroang ibu rumah tangga berbicara dengan pembantunya. Tuturan ini tidak hanya informasi tetapi terkandung maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat berita.

  7) Tindak Tutur Langsung tidak Literal (Direct Nonliteral Speech Act)

  Tindak tutur tidak langsung tidak literal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Misalnya:

  (28 ) “Suaramu bagus, kok.” Tuturan (28) dalam tindak tutur langsung tidak liberal. Tuturan penutur bermaksud mengatakan bahwa suara mitra tuturnya tidak bagus. Maka tuturan tersebut memiliki makna implisit bahwa suara mitra si mitra tutur tidak bagus.

  8)

Tindak Tutur tidak Langsung tidak Liberal (Indirect Nonliberal Speech Act)

  Tindak tutur tidak langsung tidak liberal adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan. Misalnya:

  (29 ) “Bukunya berantakan.”

  Tuturan (29) dalam konteks penjaga perpustakaan dengan pengunjung untuk menyuruh pengunjung perpustakaan merapikan buku yang diambil di rak buku.

  Tuturan tersebut menjelaskan untuk merapikan buku. Jadi tuturan tersebut secara implisit penjaga perpustakaan menyuruh pengunjung merapikan buku.

  Landasan teori yang sudah penulis paparkan dapat dipetakonsepkan dalam bagan 1.

  Analisis Tindak Tutur Ilokusi Direktif Pada Anak Usia 4-5 Tahun di Desa Babadan, Pagentan, Banjarnegara 2016 Anak Usia

  Tindak Tutur

  4

  • – 5 tahun Pengertian Bentuk Jenis Perkembangan Pemerolehan Pemerolehan anak usia 4-5 bahasa anak pragmatik tahun

  1. Tindak tutur langsung Lokusi Ilokusi Perlokusi