BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Tindak tutur deklaratif bahasa batak Toba anak usia 4-5 tahun kajian : Psikolinguistik Interaksionis

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

  Dalam penelitian, ada beberapa konsep dasar yang berkaitan dengan topik penelitian yang pada intinya dibangun untuk menunjang teori yang diterapkan. Beberapa konsep tersebut diantaranya mengacu pada judul atau topik penelitian. Dalam penelitian ini ada beberapa konsep dasar yang dijadikan sebagai acuan yaitu:

2.1.1 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

  Yusuf (2000:162) (dalam Yuniarti 2010) mengemukakan bahwa anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar 2

  • –6 tahun atau sering disebut sebagai usia Taman Kanak-kanak (TK). Masa ini diperinci lagi kedalam dua masa, yaitu: 1) masa vital, karena pada usia ini individu menggunakan fungsi biologisnya untuk menemukan berbagai hal dalam dunianya, dan 2) masa estetik karena pada masa ini dianggap sebagai masa perkembangan rasa keindahan.

  Early childhood atau kadang dinamakan usia prasekolah adalah periode dari akhir

  masa bayi sampai umur lima atau enam tahun. Selama periode ini, anak menjadi makin mandiri, siap untuk bersekolah (seperti mulai belajar untuk mengikuti perintah dan mengidentifikasi huruf) dan banyak menghabiskan waktu bersama teman. Selepas taman kanak-kanak biasanya dianggap sebagai batas berakhirnya periode ini.

  Bermain juga merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan kemampuan anak didik. Dalam masa prasekolah, bermain merupakan cara alamiah untuk menemukan lingkungan, orang lain, dan dirinya sendiri. Pada prinsipnya, bermain mengandung rasa senang dan tanpa paksaan serta lebih mementingkan proses dari pada hasil akhir. Bermain adalah medium, di mana si anak mencobakan diri, bukan saja dalam fantasinya tetapi juga benar nyata secara aktif (Semiawan, 2008:22).

2.1.2 Bahasa Batak Toba

  Bahasa Batak Toba hingga saat ini masih merupakan alat komunikasi sehari-hari antarwarga masyarakat penturnya. Masyarakat Batak Toba akan lebih mudah dalam menyampaikan maksud dan perasaan jika menggunakan Bahasa Batak Toba kepada masyarakat penuturnya. Dalam dialognya penutur sering menggunakan ungkapan-ungkapan guna menjalin hubungan antar penutur dan lawan tuturnya. Jalinan komunikasi tersebut dapat berupa salam, mengakrabkan hubungan, dan dapat sebagai basa-basi pergaulan.

  Bahasa Batak Toba digunakan sebagai alat komunikasi oleh masyarakat penuturnya yang tersebar di beberapa kabupaten, yaitu: Kabupaten Daerah Tingkat II Samosir yang berpusat di Pangururan, Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara yang berpusat di Tarutung, dan Kabupaten Daerah Tingkat II Humbang Hasundutan yang berpusat di Dolok Sanggul serta kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir yang berpusat di Balige. Tempat fokus penelitian peneliti tepatnya di daerah Motung Kec. Ajibata di Desa Lumban Bagasan yang masih penutur asli bahasa Batak Toba.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Tindak Tutur

  Tindak tutur atau tindak bahasa adalah bagian dari peristiwa tutur (speech event) yang merupakan fenomena aktual dalam situasi tutur (Rohmadi, 2004 : 7). (Widyahening 2013) mengatakan ada beberapa defenisi tentang tindak tutur yang dikemukakan oleh para ahli pragmatik. Searle (16:1969) memberi batasan tindak tutur sebagai suatu tanggapan atau penghasilan kalimat dalam kondisi tertentu yang bisa berupa kegiatan menyatakan, memerintah, menjawab pertanyaan, berjanji, dan sebagainya. Chaer dan Leonie (2004:50) menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Yule (8:2006) menyatakan bahwa tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan dan dalam bahasa Inggris secara umum diberi label yang lebih khusus, misalnya permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan, janji atau permohonan.

  Begitupun dengan Searle (dalam Tampubolon 2013) yang membagi tindak tutur dalam lima kategori yaitu representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif, diantaranya: 1)

  Representatif (disebut juga asertif) Merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya. Misalnya mengatakan, melaporkan, dan menyebutkan.

  2) Direktif

  Merupakan tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang. 3) Ekspresif

  Merupakan tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan dalam tuturan itu. Misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengkritik, dan menyelak. 4) Komisif

  Merupakan tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya. Misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam.

  5) Deklaratif Merupakan tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb.) yang baru. Misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.

  Dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Tindakan dalam tuturan akan terlihat dari makna tuturan. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah aktivitas dengan menuturkan sesuatu. Tindak tutur yang memiliki maksud tertentu tersebut tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Konsep tersebut memperjelas pengertian tindak tutur sebagai suatu tindakan yang menghasilkan tuturan sebagai produk tindak tutur.

2.2.2 Psikolinguistik

  Menurut Clark dan Clarck (1977) (dalam Dardjowidjojo 2005:7) psikologi bahasa berkaitan dengan tiga hal utama :komprehensi ,produksi, dan pemerolehan bahasa. Secara etimologi kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing- masing berdiri sendiri dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai obyek formalnya. Kedua obyek tersebut memiliki materi yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa (Chaer 2003:5) .

  Psikolinguistik menguraikan proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarkannya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Chaer 2003:5). Maka secara teoretis tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakekat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakekat struktur bahasa dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur dan pada waktu memahami kalimat-kalimat penuturan itu (Chaer 2003:6). Dikaitkan dengan komunikasi, psikolinguistik memusatkan perhatian pada modifikasi pesan selama berlangsungnya komunikasi dalam hubungan dengan ujaran dan penerimaan atau pemahaman ujaran dalam situasi tertentu.

  2.2.3 Pemerolehan Bahasa

  Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang anak ketika anak memperoleh bahasa pertama bahasa ibunya. Pemerolehan biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa adalah proses-proses yang terjadi pada waktu seorang anak mempelajari bahasa kedua, setelah anak memperoleh bahasa pertamanya. Jadi pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).

  Pemerolehan Bahasa merupakan proses yang dilakaukauntuk pemahaman dan komunikasi. Kapasitas ini melibatkan berbagai kemampuan sepeyang luas. Pemerolehan bahasa biasanya merujuk pada pemerolehan bahasa pertama yang mengkaji pemerolehan anak terhadap mereka dan bukan pemerolehan bahasa kedua yang mengkaji pemerolehan bahasa tambahan oleh anak-anak atau orang dewasa. Kemampuan memperoleh bahasa pertama merupakan ‘kemampuan berbahasa’

  

(language faculty) bawaan (innateness) manusia yang diberikan kepada setiap anak yang

baru lahir (Cahyono 1995; 273).

  2.2.4 Psikolinguistik Interaksionis

  (Roza 2009) mengemukakan bahwa Psikolinguistik Interaksionis adalah gabungan dari dua pendekatan yakni perpaduan antara faktor internal dan eksternal dalam proses pemerolehan dan pembelajaran berbahasa. Pandangan ini menganggap bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental anak dengan lingkungan bahasa.

  Hubungan antara keduanya adalah hasil interaksi aktual antara pembelajar dengan orang lain. Titik awal pendekatan ini adalah kemampuan kognitif manusia dalam menemukan sruktur bahasa di sekitarnya. Proses pemerolehan dan pembelajaran dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya (Simanjuntak,1990:110). Kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami hal yang dipelajarinya.

  Kompetensi dan Performansi merupakan hal yang berkaitan dengan tata bahasa transformasi sebagai dasar kajian psikolinguistik yang juga berhubungan dengan psikologi interaksionis anak. Kompetensi tata bahasa inilah yang menjadi pengetahuan bahasa penutur bahasa itu yang memungkinkan dia melakukan performansi bahasa itu, yang terdiri dari menuturkan kalimat-kalimat dan memahami kalimat-kalimat yang didengarnya (Simanjuntak 2009:57).

2.2.5 Teori Kesantunan

  Dalam berinteraksi dengan menggunakan bahasa terdapat kesantunan berbahasa, atau disebut dengan kesantunan saja (Hasibuan 2005). Beberapa linguis memaparkan teori kesantunan, seperti Lakoff (1972), Brown dan Levinson (1987) dan Leech (1983). Penelitian ini menggunakan teori Brown dan Levinson sebagai alat untuk menganalisis kesantunan yang ada pada tindak tutur deklaratif.

  Menurut Brown dan Levinson dalam (Yuniarti 2010), teori kesantunan berbahasa berkisar pada nosi muka (face) yang dibagi menjadi muka negatif dan muka positif. Muka negatif adalah keinginan individu agar setiap keinginannya tidak dihalangi oleh pihak lain. Sedang muka positif adalah keinginan setiap penutur agar dia dapat diterima atau disenangi oleh pihak lain (dalamYule:1996). Dikatakan oleh Brown dan Levinson bahwa konsep tentang muka ini bersifat universal dan secara alamiah terdapat berbagai tuturan yang cenderung merupakan tindakan yang tidak menyenangkan (Face Threatening Act).

  Menurut Brown dan Levinson sebuah tindak ujaran atau tindak tutur dapat merupakan ancaman terhadap muka yang disebut sebagai facethreatening act (FTA). Karena ada dua sisi muka yang terancam yaitu muka negatif dan muka positif, kesantunanpun dibagi dua yaitu kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan positif (untuk menjaga muka positif). Brown dan Levinson (dalam Yuniarti 2010) merangkum beberapa tindakan yang melanggar muka negatif meliputi:

  a. Ungkapan mengenai perintah dan permintaan, saran, nasihat, peringatan, ancaman, tantangan.

  b. Ungkapan mengenai tawaran atau janji.

  c. Ungkapan mengenai pujian, ungkapan perasaan negatif yang kuat seperti kebencian, kemarahan.

  Tindakan yang mengancam muka positif lawan meliputi:

  a. Ungkapan mengenai ketidaksetujuan, kritik, tindakan merendahkan atau yang mempermalukan, keluhan, kemarahan, dakwaan, penghinaan.

  b. Ungkapan mengenai pertentangan, ketidaksetujuan atau tantangan.

  c. Ungkapan emosi yang tidak terkontrol yang membuat lawan tutur menjadi takut atau dipermalukan.

  d. Ungkapan yang tidak sopan, menyebutkan hal-hal yang tidak sesuai dengan situasi, yaitu penutur tidak menghargai nilai-nilai lawan tutur.

  e. Ungkapan kabar buruk mengenai lawan tutur, menyombongkan berita baik, tidak menyenangkan lawan tutur dan tidak mebgindahkan perasaan lawan tutur.

  f. Ungkapan mengenai hal-hal yang membahayakan, memecah belah pendapat, menciptakan atmosfir yang memiliki potensi untuk mengancam muka lawan tutur. g. Ungkapan yang tidak kooperatif antara penutur terhadap lawan tutur, menyela pembicaraan lawan tutur, tidak menunjukan kepedulian pada lawan tutur.

  h. Ungkapan yang menunjukan sebutan atau sesuatu pada lawan tutur pada perjumpaan pertama. Dalam situasi ini mungkin penutur membuat identifikasi yang keliru pada lawan tutur sehingga dapat mempermalukan lawan tutur baik sengaja atau tidak.

  Brown dan Levinson memberikan beberapa strategi yang digunakan untuk meminimalkan ancaman terhadap muka negatif maupun muka positif agar ujaran terdengar santun. Strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka positif antara lain:

  a. Memberikan perhatian khusus pada lawan tutur; ”Wah, rambut baru ya?bagus sekali. Eh,

  boleh pinjam printer tidak

  ?”

  b. Melebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati pada lawan tutur; “Rumah anda benar-

  benar bersih sekali

  .”

  c. Meningkatkan rasa tertarik pada lawan tutur untuk terlibat dalam pembicaraan; “Anda tahu

  maksud saya kan

  ?”

  d. Menggunakan pen anda yang menunjukan kesamaan jati diri atau kelompok; “Kamu mau

  membantuku kan, Sobat ?

  e. Mencari persetujuan lawan; “Benar tidak, ide itu luar biasa.”

  f. Menghindari pertentangan dengan lawan tutur; “Ya, idemu cukup bagus.”

  g. Menimbulkan persepsi sejuml ah persamaan penutur dan lawan tutur; “Ya aku tahu, pasti

  sakit sekali rasanya kan

  ?”

  h. Membuat lelucon;” Wah, kuenya pahit kalau cuma sedikit.”

i. Membuat persepsi bahwa penutur memahami keinginan lawan tutur; “Aku tahu kamu tidak

  suka nonton film, tapi film ini bagus. Tontonlah

  .” j. Membuat penawaran dan janji; “Kapan-kapan saya mampir.” k. Menunjukan rasa optimisme; “Saya yakin kamu pasti dapat dipercaya.” l. Berusaha melibatkan penutur dan lawan tutur dalam suatu kegiatan tertentu; “Ayo kita

  istirahat dulu sejenak

  .” m. Memberikan dan meminta alasan; “Bagaimana kalau kita ke pantai saja, lebih santai.” n. Menawarkan suatu tindakan timbal balik; “Saya akan meminjami kamu buku, kalau kamu

  juga mau meinjami aku majalahmu

  .” o. Memberikan simpati pada lawan t utur; “Kalau ada yang dapat aku bantu?”

  Sedangkan beberapa strategi untuk meminimalkan ancaman terhadap muka negatif antara lain: a. Pakailah ujaran tak langsung; ”Dapatkah engkau menolongku?”

  b. Pakailah pagar (hedge ); ”Aku agak ragu, tapi bisakah kau menolongku?”

  c. Tunjukan pesimisme; ”Aku sebenarnya mau minta tolong sama kamu, tapi aku takut

  merepotkanmu

  .”

  d. Minimalkan paksaan; ”Bolehkah aku merepotkanmu sebentar?”

  e. Berikan penghormatan; ”Aku ingin minta tolong sama kamu, karena aku tahu kamu satu-

  satunya orang yang bisa saya mintai tolong dalam hal ini

  .”

  f. Mintalah maaf; ”Sebelumnya aku minta maaf, tapi bisakah kamu menolongku?” g. Pakailah bentuk impersonal (yaitu dengan tidak menyebutkan penutur dan pendengar); ”Aku rasa setiap orang mengalami masa-masa sulit.”

h. Ujarkan tindak tutur itu sebagai ketentuan yang bersifat umum; ”Keadaan ekonomi sekarang ini sungguh sulit”.

2.3 Tinjauan Pustaka

  Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki atau mempelajari) Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon, (KBBI 2003: 912).

  Yuniarti (2010) dalam Thesisnya yang berjudul Kompetensi Tindak Tutur Direktif Anak

  

Usia Prasekolah ( Kajian Pada Kelompok Bermain Anak Cerdas P2PNFI Regional II

Semarang), membahas tentang mengidentifikasi realisasi bentuk pemahaman anak usia

  prasekolah terhadap Tindak Tutur Direktif (TTD), mengidentifikasi realisasi bentuk-bentuk TTD yang diterbitkan oleh anak usia prasekolah, dan mengidentifikasi keterkaitan perkembangan pemahaman serta penerbitan TTD anak usia prasekolah tersebut dengan kesantunan.

  Penelitian tentang bahasa di lingkungan taman kanak-kanak telah dilakukan oleh Gustianingsih (2002). Penelitiannya yang membahas Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa

  

Indonesia pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak, menunjukkan bahwa anak usia taman

kanak-kanak telah memperoleh kemampuan sintaksis dalam menyusun kalimat majemuk.

  Temuan ini akan menjadi gambaran pemerolehan bahasa terhadap fungsi tindak tutur anak secara sintaksis.

  Stiawati (2012) dalam artikelnya yang berjudul Kompetensi Tindak Tutur Direktif Anak

  

Usia Prasekolah. Penelitian tersebut bertujuan mengkaji kompetensi tindak direktif anak usia

  prasekolah. Data berupa tuturan-tuturan yang berisi bentuk, fungsi, dan strategi tindak direktif. Subjek penelitian adalah anak usia 3;0

  • – 5;0 tahun dari keluarga terdidik. Ancangan
teori yang digunakan adalah teori Pragmatik dan Etnografi Komunikasi. Analisis data menggunakan model interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak usia prasekolah sudah menggunakan diantaranya: empat belas kompetensi bentuk tindak direktif, enam kompetensi fungsi tindak direktif; dan kompetensi strategi tindak direktif secara langsung dan tidak langsung.

  Hutabarat (2011) dalam Tesisnya yang berjudul Pemerolehan Sintaksis Bahasa

  

Indonesia Anak Usia Dua Tahun dan Tiga Tahun Di Padang Bulan Medan, yaitu bagaimana

  anak-anak pada tahun pertama kehidupannya anak-anak mulai meniru kata-kata yang mereka dengar dari lingkungan sekitarnya dan dapat dikatakan pada saat itulah anak mulai menghasilkan “kata-kata pertama” mereka. Penelitian dilakukan berdasarkan teori biologis- kognitif Chomsky yang menyatakan bahwa setiap anak dilahirkan dengan potensi biologis untuk bahasa dan pemerolehan serta perkembangan bahasa terjadi bukan karena potensi biologis tersebut saja tetapi juga karena adanya lingkungan bahasa yang mendukung.

  Selanjutnya, Nasution (2009) dengan judul penelitian Kemampuan Berbahasa Anak

  Usia 3

  • –4 Tahun (Prasekolah) di Play Group Tunas Mekar Medan: Tinjauan Psikolinguistik,

  penelitian ini memaparkan bahwa anak usia 3

  • –4 tahun telah memperoleh kemampuan fonologis, sintaksis, maupun semantik. Penelitian ini menginformasikan bahwa anak pada usia itu telah mampu menguasai kalimat-kalimat secara bertahap mulai dari bentuk kalimat yang sederhana hingga bentuk kalimat yang kompleks.

  Taningsih (2006) mengamati pentingnya Mengembangkan Kemampuan bahasa Anak

  usia (4

  • –6 tahun) melalui Bercerita. Dalam tulisannya, dipaparkan bahwa cerita mendorong

  anak bukan saja senang menyimak cerita , tetapi juga senang bercerita atau berbicara. Anak belajar tentang tata cara berdialog dan bernarasi sehingga terstimulasi/terangsang untuk menirukannya. Kemampuan pragmatik terstimulasi melalui bercerita karena dalam cerita ada negosiasi dan pola tindak-tutur yang baik seperti menyuruh, melarang, berjanji, mematuhi larangan, dan memuji. Kajian ini menjadi referensi penelitian dalam mengamati tindak tutur anak taman kanak-kanak yang menjadi subjek peneliti.

  Marpaung (2006) dalam skripsinya yang berjudul Pemerolahan Bahasa Batak Toba

  Anak Usia 1

  • –5 Tahun, menyimpulkan bahwa tahap-tahap perkembangan pemerolehan bahasa

  anak, adalah tahap holofrastik (tahap linguistik pertama), tahap ucapan-ucapan dua kata, tahap perkembangan tata bahasa, tahap tata bahasa menjelang dewasa dalam bahasa Batak Toba.

  Selanjutnya, Nasution (2009) dalam Thesisnya yang berjudul Kemampuan Berbahasa

  

Anak Usia 3-4 tahun di Play Group Tunas Mekar Medan: Tinjauan Psikolingustik. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa anak usia prasekolah terlibat dalam tindak tutur.