BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis - Hubungan Gaya Kepemimpinan Situasional dengan Kesejahteraan Psikologi pada Karyawan

BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis

1. Definisi Kesejahteraan Psikologis

  Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Konsep Ryff berawal dari adanya keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja. Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara psikologis. Ia menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari-hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan-perasaan pribadi atas

  Menurut Ryff (1989) gambaran tentang karakteristik orang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Rogers tentang orang yang berfungsi penuh (fully-

  

functioning person ), pandangan Maslow tentang aktualisasi diri (self actualization), pandangan

  Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, juga sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai integrasi dibanding putus asa.

  Kesejahteraan psikologis dapat ditandai dengan diperolehnya kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi (Ryff, 1995). Menurut Ryff (1989) kebahagian (happiness) merupakan hasil dari dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia.

  Ryff menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis terdiri dari enam dimensi, yaitu self-

  

acceptance , positive relations with others, autonomy, environmental mastery, purpose in life dan

personal growth (Ryff, 1989). Selain itu, setiap dimensi dari kesejahteraan psikologis

  menjelaskan tantangan yang berbeda yang harus dihadapi individu untuk berusaha berfungsi positif (Ryff & Keyes, 1995).

  Dapat disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis adalah kondisi individu yang ditandai dengan adanya perasaan bahagia, mempunyai kepuasan hidup dan tidak ada gejala-gejala depresi. Kondisi tersebut dipengaruhi adanya fungsi psikologis yang positif seperti penerimaan diri, relasi sosial yang positif, mempunyai tujuan hidup, perkembangan pribadi, penguasaan lingkungan dan otonomi.

2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis

  psikologis dapat berfungsi secara positif (Ryff & Keyes,1995). Komponen individu yang mempunyai fungsi psikologis yang positif yaitu: a.

  Penerimaan diri (self-acceptance) Dimensi ini merupakan ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalani. Hal tersebut menurut Ryff (1989) menandakan kesejahteraan psikologis yang tinggi.

  Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian pula sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik yang memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini.

  b.

  Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam konsep kesejahteraan psikologis. Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. Dimensi ini juga menekankan adanya kemampuan yang merupakan salah satu komponen kesehatan mental yaitu kemampuan untuk mencintai orang lain. Individu yang tinggi atau baik dalam dimensi ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain. Ia juga mempunyai rasa afeksi dan empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang hanya mempunyai sedikit hubungan orang lain, menandakan bahwa ia kurang baik dalam dimensi ini.

  c.

  Otonomi (autonomy) Dimensi otonomi menjelaskan mengenai kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk mengatur tingkah laku. Seseorang yang mampu untuk menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal, hal ini menandakan bahwa ia baik dalam dimensi ini. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi otonomi akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain, dan cenderung bersikap konformis.

  d.

  Pengusaan terhadap lingkungan (environmental mastery) Individu dengan kesejahteraan psikologis yang baik memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi fisik dirinya. Dengan kata lain, ia mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian-kejadian diluar dirinya. Hal inilah yang dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai denga kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya dan mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental. Sebaliknya, individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari- hari, dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.

  e.

  Tujuan hidup (purpose in life) Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mencapai tujuan dalam hidup. Seseorang yang mempunyai rasa keterarahan dalam hidup, mempunyai perasaan yang memberikan tujuan hidup, dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup, maka ia dapat dikatakan mempunyai dimensi tujuan hidup yang baik. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti. Dimensi ini dapat menggambarkan kesehatan mental karena kita tidak dapat melepaskan diri dari keyakinan yang dimiliki oleh seorang individu mengenai tujuan dan makna kehidupan ketika mendefenisikan kesehatan mental. f.

  Perkembangan pribadi (personal growth) Dimensi ini menjelaskan mengenai kemampuan individu untuk mengembangkan potensi dalam diri dan berkembang sebagai seorang manusia. Dimensi ini dibutuhkan oleh individu agar dapat optimal dalam berfungsi secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Seseorang yang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam dirinya, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan menampilkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru, mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang membosankan, dan tidak tertarik dengan kehidupan yang dijalani.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis seseorang.

  a.

  Dukungan Sosial Merupakan gambaran berbagai ungkapan perilaku suportif (mendukung) kepada seorang individu yang diterima oleh individu yang bersangkutan dari orang-orang yang cukup bermakna dalam hidupnya. An dan Cooney (2006), menyatakan bahwa bimbingan dan arahan dari orang lain (generativity) memiliki peran yang penting pada kesejahteraan psikologis. Hal ini termasuk kedalam perilaku hubungan ( Relation Behaviour ) yang mana pemimpin, mendengar, memfasilitasi, dan mendukung karyawan, sehingga karyawan dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik (Hersey & Blanchard, 1988). Dukungan sosial yang diberikan adalah untuk mendukung karyawan dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup.

  b.

  Status sosial ekonomi Ryff (1999), menyatakan bahwa faktor status sosial ekonomi menjadi sangat penting dalam peningkatan kesejahteraan psikologis, bahwa tingkat keberhasilan dalam pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik, menunjukkan tingkat kesejahteraan psikologis juga lebih baik. Ryan dan Deci (2001), menegaskan status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis seseorang. Seperti besarnya income keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat. (Pinquart & Sorenson, 2000).

  c.

  Jaringan sosial Berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu seperti aktif dalam pertemuan- pertemuan atau organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan, dan dengan siapa kontak sosial dilakukan (Pinquart & Sorenson, 2000).

  d.

  Religiusitas Hal ini berkaitan dengan transendensi segala persoalan hidup kepada Tuhan Individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai kejadian hidupnya secara positif sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna (Bastaman, 2000).

  e.

  Kepribadian Gutie´rrez, Jime´nez, Herna´ndez, dan Puente (2004), menyatakan kepribadian merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam kesejahteraan psikologis. Schmutte dan

  Ryff (1997) menemukan sifat, low neuroticism, ekstrovert dan conscientiousness, berpengaruh pada kesejahteraan psikologis khususnya pada penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan tujuan hidup. Meskipun demikian aspek-aspek kesejahteraan psikologis yang lain juga berkorelasi dengan kepribadian yang lainya. Sifat keterbukaan terhadap pengalaman baru dan ekstovert pertumbuhan diri, sedangkan agreeableness berpengaruh pada hubungan positif dengan orang lain dan dimensi otonomi berkorelasi dengan beberapa kepribadian namun yang paling menonjol adalah neurotik.

B. Gaya Kepemimpinan Situasional

1. Definisi Gaya Kepemimpinan Situasional

  Gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam mengklasifikasi tipe kepemimpinan (Mulyadi dan Rivai, 2012). Menurut Mulyadi dan Rivai (2012), gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan untuk mempengaruhi bawahan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku (1982) menyebutkan gaya kepemimpinan adalah pola perilaku yang dilakukan oleh seseorang pada waktu tertentu dan berupaya mempengaruhi aktivitas orang lain.

  Gaya atau cara/norma perilaku yang dipergunakan oleh sesorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia inginkan, menurut Thoha (2011), disebut gaya kepemimpinan. Sedangkan gaya kepemimpinan menurut Husnan dan Heidjrachman (2002), mengatakan bahwa gaya kepemimpinan yang baik adalah penerapan gaya kepemimpinan dengan memperhatikan faktor, seperti faktor organisasi, pemimpin, bawahan dan situasi penugasan.

  Menurut Mulyadi dan Rivai (2012) gaya kepemimpinan situasional adalah Suatu pendekatan terhadap kepemimpinan yang menyatakan bahwa pemimpin memahami perilakunya, sifat-sifat bawahannya, dan situasi sebelum menggunakan suatu gaya kepemimpinan tertentu. Menurut Hersey dan Blanchard (1988) gaya kepemimpinan situasional didasarkan atas hubungan antara : a.

  Kadar bimbingan dan arahan (perilaku tugas) yang diberikan oleh pemimpinan.

  b.

  Tingkat dukungan sosioemosional (perilaku hubungan) yang disediakan pemimpin.

  c.

  Tingkat kesiapan (kematangan) yang diperlihatkan pengikut dalam pelaksanaan tugas, fungsi atau tujuan tertentu.

  Konsep ini dikembangkan untuk membantu orang dalam menjalankan kepemimpinannya, tanpa memperhatikan perannya, untuk lebih efektif dalam berinteraksi dengan orang lain.

  Konsep ini memberikan pemimpin beberapa pemahaman tentang hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kesiapan (kematangan) pengikut mereka.

  Menurut Hersey dan Blachard (1988 ) Dimensi kepemimpinan situasional terbagi dua yaitu perilaku tugas dan perilaku hubungan.

  a.

  Perilaku tugas (Task Behaviour) Perilaku tugas didefinisikan sebagai sejauh mana pemimpin terlibat dalam menjabarkan tugas dan tanggung jawab dari seorang individu atau kelompok. perilaku ini termasuk mengarahkan orang-orang apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukannya, kapan harus melakukannya, di mana untuk melakukannya, dan siapa yang melakukannya b.

  Perilaku Hubungan (Relationship Behaviour) Perilaku hubungan didefinisikan sebagai sejauh mana pemimpin terlibat dalam dua cara atau banyak cara komunikasi. perilaku termasuk mendengarkan, memfasilitasi, dan perilaku mendukung.

  Di dalam kepemimpinan situasional bawahan mempunyai arti sangat penting, yang mana seorang pemimpin harus memperhatikan kesiapan bawahannya. Hersey dan Blanchard (1988) mendefenisikan Kesiapan sebagai sejauh mana bawahan / pengikut (follower) memiliki kemampuan (ability) dan kemauan (willingness) untuk menyelesaikan tugas tertentu. Kesiapan mempunyai dua komponen utama yaitu ability dan willingness: a.

  Kemampuan (ability) adalah pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang seorang individu atau kelompok membawa tugas atau kegiatan tertentu.

  b.

  Kemauan (willingness) adalah sejauh mana individu atau kelompok memiliki kepercayaan diri, komitmen, dan motivasi untuk menyelesaikan tugas tertentu.

  a. R1 : Readiness 1

  Kesiapan tingkat 1 menunjukkan bahwa pengikut tidak mampu dan tidak yakin mengambil tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas. Pada tingkat ini, pengikut tidak memiliki kompetensi dan tidak percaya diri.

  b. R2 : Readiness 2

  Kesiapan tingkat 2 menunjukkan pengikut tidak mampu melakukan suatu tugas, tetapi ia sudah memiliki keyakinan. Motivasi yang kuat tidak didukung oleh pengetahuan dan keterampilan kerja yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas.

  c. R3: Readiness 3

  Kesiapan tingkat 3 menunjukkan situasi di mana pengikut memiliki pengetahuan dan keterampilan kerja yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas. Tetapi pengikut tidak yakin melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh pemimpinnya.

  d. R4: Readiness 4

  Kesiapan tingkat 4 menunjukkan bahwa pengikut telah memiliki pengetahuan dan keterampilan kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas, disertai dengan keyakinan yang kuat untuk melaksanakannya.

  Hersey dan Blanchard (1988) menggambarkan tingkat kesiapan (readiness) pengikut (follower) sebagai berikut :

  

Gambar 1. Kesiapan (Readiness) Pengikut (Follower)

  Hersey dan Blanchard (1988) mengemukakan tingkat kesiapan individu atau kelompok yang berbeda menuntut gaya kepemimpinan yang berbeda, gaya kepemimpinan yang sesuai mencakup kombinasi perilaku tugas (Task Behaviour) dan perilaku hubungan (Relationship

  

Behaviour ) yang mana Perilaku tugas dan perilaku hubungan ini perlu dikombinasikan secara

  tepat agar dapat meraih kesuksesan atau mencapai tujuan. Adapun gaya dasar kepemimpinan yang dihasilkan atas dasar kombinasi perilaku tugas dan perilaku hubungan dibedakan menjadi empat yaitu Telling (tinggi tugas dan rendah hubungan), selling (tinggi tugas dan tinggi hubungan) participating (tinggi hubungan dan rendah tugas), dan delegating (rendah hubungan dan rendah tugas).

  Keempat gaya kepemimpinan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

  a. S1 : Telling (memberitahukan)

  Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut rendah (R1). Ini menekankan perilaku tugas tinggi dan perilaku hubungan yang terbatas. Gaya kepemimpinan telling atau directing adalah karakteristik gaya kepemimpinan dengan komunikasi satu arah. Pemimpin memberitahu individu atau kelompok soal apa, bagaimana, mengapa, kapan dan dimana sebuah pekerjaan dilaksanakan. Pemimpin selalu memberikan instruksi yang jelas, arahan yang rinci, serta mengawasi pekerjaan secara langsung.

  b. S2 : Selling (menjajakan)

  tugas dan perilaku hubungan yang tinggi. Pada tahapan gaya kepemimpinan ini seorang pemimpin masih memberi arahan namun ia menggunakan komunikasi dua arah dan memberi dukungan secara emosional terhadap individu atau kelompok guna memotivasi dan rasa percaya diri pengikut. Gaya ini muncul kala kompetensi individu atau kelompok meningkat, sehingga pemimpin perlu terus menyediakan sikap membimbing akibat individu atau kelompok belum siap mengambil tanggung jawab penuh atas proses dalam pekerjaan.

  c. S3 : Participating (mengikutsertakan)

  Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut tinggi dengan motivasi moderat (R3). Ini menekankan pada jumlah tinggi perilaku hubungan tetapi jumlah perilaku tugas rendah. Gaya kepemimpinan pada tahap ini mendorong individu atau kelompok untuk saling berbagi gagasan dan sekaligus memfasilitasi pekerjaan dengan semangat yang mereka tunjukkan.

  Gaya ini muncul tatkala pengikut merasa percaya diri dalam melakukan pekerjaannya sehingga pemimpin tidak lagi terlalu bersikap sebagai pengarah. Pemimpin tetap memelihara komunikasi terbuka, tetapi kini melakukannya dengan cenderung untuk lebih menjadi pendengar yang baik serta siap membantu pengikutnya. Tugas seorang pemimpin adalah memelihara kualitas hubungan antar individu atau kelompok.

  d. S4 : Delegating (mendelegasikan)

  Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut tinggi (R4). Ini menekankan pada kedua sisi yaitu rendah perilaku kerja dan perilaku hubungan dimana gaya kepemimpinan pada tahap ini cenderung mengalihkan tanggung jawab atas proses pembuatan keputusan dan kompetensi yang tinggi sehubungan dengan pekerjaannya. Gaya ini efektif karena pengikut dianggap telah kompeten dan termotivasi penuh untuk mengambil tanggung jawab atas pekerjaannya. Tugas seorang pemimpin hanyalah memonitor berlangsungnya sebuah pekerjaan.

C. Karyawan

  Menurut kamus besar bahasa indonesia ( KBBI ) karyawan adalah orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dan sebaginya) dengan mendapat gaji (upah). Menurut Hasibuan (2005 ) karyawan / pegawai adalah seorang pekerja tetap yang bekerja dibawah perintah orang lain dan mendapat kompensasi serta jaminan.

  Sehingga dapat disimpulkan Karyawan adalah seorang yang bekerja pada suatu badan usaha atau perusahaan baik swasta maupun pemerintahan dan diberikan imbalan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang bersifat harian, mingguan, maupun bulanan.

  

D. Hubungan Gaya Kepemimpinan Situasional dengan Kesejahteraan Psikologis pada

Karyawan

  Sumber daya manusia, yaitu karyawan merupakan aset yang penting bagi suatu organisasi. Karyawan merupakan sumber daya yang esensial untuk mencapai tujuan organisasi.

  (Ie, 2004). Organisasi memerlukan karyawan yang mampu bekerja secara produktif, inovatif, dan memiliki performa kerja yang baik. Untuk memperoleh karyawan yang memiliki kemampuan kerja yang baik, salah satu caranya dengan mensejahterakan psikologis karyawan sejahtera (Envick, 2012). Harter, Schmidt, dan Keyes (2002) mengemukakan bahwa perasaan yang positif, pada karyawan sebagai tanda dari kesehatan mental karyawan, menjadikan karyawan lebih bahagia dan produktif merupakan bagian dari kesejahteraan psikologis. Menurut Envick (2012), karyawan yang sejahtera adalah karyawan yang produktif. Karyawan yang tidak produktif akan menunjukkan performa yang menurun.

  Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lyubomirsky, King, dan Diener (2002) seseorang dengan kesejahteraan psikologis yang tinggi akan menampilkan fleksibilitas dan orisinalitas yang tinggi, respon yang lebih baik atas umpan balik yang diberikan kepadanya, membuat penilaian positif tentang orang lain, menunjukkan tingginya level “keterikatan”, menjadi lebih produktif, dan bahagia ketika berada pada organisasi. Dalam hal ini, peran atasan dalam suatu organisasi tidak hanya menuntut karyawan saja, tetapi atasan dapat pula memotivasi dan menciptakan iklim menjadi positif (Walker Jr., 2011).

  Gilbreath dan Benson (2004) mengungkapkan bahwa kesejahteraan psikologis karyawan meningkat bila para atasan membuat tempat kerja menjadi sehat, namun tidak mengabaikan pengawasan. Sejalan dengan hal tersebut, Arnold, Turner, Barling, Kelloway dan Margaret (2007) menyebutkan bahwa kepemimpinan yang berkualitas secara positif mempengaruhi kesejahteraan psikologis orang lain. Faktor kepemimpinan atasan di suatu perusahaan akan berdampak pada kesejahteraan karyawan (Munandar, 2008). Menurut Maenapothi (2007) Kesejahteraan psikologis karyawan merupakan situasi dimana ketika individu bekerja akan merasa senang dan tidak merasa seperti bekerja, lebih efektif dan memiliki target pencapaian kerja baik untuk dirinya sendiri maupun untuk organisasi. Hal tersebut tercermin dari sejauh mana atasan membantu karyawan untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi

  Menurut Hersey dan Blanchard pemimpin dapat mengubah gaya kepemimpinan mereka (perilaku), tergantung pada situasi dan kesiapan karyawan (Badeni, 2013). Hersey dan Blanchard (1988) memberikan pemahaman kepada pemimpin tentang kaitan antara gaya kepemimpinan yang efektif dengan tingkat kedewasaan dari para pengikutnya. Bawahan merupakan faktor yang sangat penting dalam situasi kepemimpinan. Tingkat kedewasaan dari para bawahan menentukan gaya efektif dari pemimpin. Faktor kunci kepemimpinan situasional yang efektif adalah kemampuan pemimpin mengidentifikasi Kesiapan (kematangan) individu maupun kelompok yang hendak dipengaruhi untuk selanjutnya menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai (Mulyadi dan Rivai, 2012).

  Berdasarkan uraian diatas terlihat suatu benang merah antara gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan.

E. Hipotesa Penelitian

  Berdasarkan uraian teoritis diatas, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan situasional dengan kesejahteraan psikologis pada karyawan. Ini berarti semakin efektif gaya kepemimpinan situasional yang diterapkan maka kesejahteraan psikologis karyawan akan semakin tinggi.