SISTEM PENETAPAN PERWALIAN ANAK DALAM PERKARA KEWARISAN DI PENGADILAN AGAMA KLAS IA MAKASSAR (Studi Kasus Tahun 2014-2015)

  

SISTEM PENETAPAN PERWALIAN ANAK DALAM PERKARA

KEWARISAN DI PENGADILAN AGAMA KLAS IA MAKASSAR

(Studi Kasus Tahun 2014-2015)

  

Skripsi

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum Islam Jurusan Peradilan Agama pada Fakultas Syari‟ah dan Hukum

  UIN Alauddin Makassar Oleh

HASRIYANI HAFID

  NIM. 10100112010

  

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

  

2016

KATA PENGANTAR

      

  Segala puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah swt, yang telah memberikan kekuatan lahir dan batin untuk berlindung serta bertawakkal kepadanya dengan jalan mensyukuri segala nikmat yang telah di berikannya kepada kita semua, khususnya nikmat sehat dan rezeki sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul

  “Sistem Penetapan

Perwalian Anak dalam Perkara Kewarisan di Pengadilan Agama Klas IA

Makassar (Studi Kasus Tahun 2014-2015)

  . Salawat dan salam diperuntukan bagi

  junjungan Nabi Muhammad saw. yang telah membimbing kita dengan ucapan, sikap dan keteladanan.

  Kebesaran jiwa dan kasih sayang yang tak bertepi, doa yang tiada terputus dari kedua orang tuaku yang tercinta, Ayahanda Drs. Abd Hafid, S.H. M.H. dan Ibu St. Hamimah Badawi, yang senantiasa memberikan penulis curahan kasih sayang, nasihat, perhatian, bimbingan serta doa restu yang selalu diberikan sampai saat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Saudari-saudariku yang tercinta: Hafsah Hafid, S.HI., Hamdani Hafid, S.E. dan Amriyati Hafid. Serta kakak ipar beserta keluarga besar penulis, terima kasih atas perhatian, kejahilan dan kasih sayangnya selama ini dan serta berbagai pihak yang tulus dan ikhlas memberikan andil sejak awal hingga usainya penulis menempuh pendidikan di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar.

  Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi (S1) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Dalam menyusun skripsi ini tidak sedikit kekurangan dan kesulitan yang dialami oleh penulis, baik dalam kepustakaan, penelitian lapangan, maupun hal-hal lainnya. Tetapi berkat ketekunan, bimbingan, petunjuk serta bantuan dari pihak lain akhirnya dapatlah disusun dan diselesaikan skripsi ini menurut kemampuan penulis. Kendatipun isinya mungkin terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, baik mengenai materinya, bahasanya serta sistematikanya.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini disusun dan diselesaikan berkat petunjuk, bimbingan dan bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, sudah pada tempatnyalah penulis menghanturkan ucapan penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah rela memberikan, baik berupa moril maupun berupa materil dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

  Penghargaan dan ucapan terima kasih yang terdalam dan tak terhingga terutama kepada yang terhormat :

  1. Prof. Dr. H. Musafir Pababbari, M.Si. selaku Rektor UIN Alauddin Makassar.

  2. Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar beserta jajarannya.

  3. Dr. Supardin, M.HI. selaku Ketua Jurusan Peradilan Agama UIN Alauddin Makassar beserta Dr. Hj. Patimah, M.Ag. selaku Sekertaris Jurusan Peradilan Agama.

  4. Dr. Supardin, M.HI. selaku pembimbing I dan Dr. Patimah. M.Ag. selaku pembimbing II. Kedua beliau, di tengah kesibukan dan aktifitasnya bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan petunjuk dan bimbingan dalam proses penulisan dan penyelesaian skripsi ini.

  5. Dr. H. M. Saleh Ridwan, M.Ag. selaku penguji I dan A. Intan Cahyani, S.Ag. M.Ag. selaku penguji II. Yang bersedia meluangkan waktu dan senantiasa memberikan arahan dalam proses penulisan dan penyelesaian skripsi ini.

  6. Dosen serta seluruh staf akademik dan pegawai khususnya kepada kak sri staf PA Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar.

  7. Semua instansi terkait dan responden yang telah bersedia membantu dan memberikan data kepada penulis, baik dari Ketua Pengadilan Agama Klas

  IA Makassar dan pegawai serta staf Pengadilan agama Klas IA Makassar yang telah memberikan masukan dan saran selama penyusunan skripsi ini.

  8. Seluruh teman kuliah Jurusan Peradilan Agama Angkatan 2012 Khususnya Kelas Peradilan A, terima kasih atas kesetiakawanan, dukungan dan motivasinya selama ini.

  9. Kepada teman-teman seperjuangan KKN Profesi Angkatan VI Kecamatan Balocci Kabupaten Pangkep yang selalu mendukung disetiap kesulitan selama penyusunan skripsi ini.

  Atas segala bantuan, kerjasama, uluran tangan yang telah diberikan dengan ikhlas hati kepada penulis selama menyelesaikan studi hingga rampungnya skripsi ini. Begitu banyak bantuan yang telah diberikan bagi penulis, namun melalui doa dan

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................................ ii PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................................... iii KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x PEDOMAN TRANSLITERASI .......................................................................... xi ABSTRAK ........................................................................................................... xvii

  BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1-10 A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................

  1 B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus .....................................................

  6 C. Rumusan Masalah ....................................................................................

  7 D. Kajian Pustaka ..........................................................................................

  7 E. Tujuan dan Kegunaan ..............................................................................

  9 BAB II TINJAUAN TEORITIS ........................................................................... 11-37 A. Pengertian Perwalian ................................................................................ 11 B. Dasar Hukum Perwalian .......................................................................... 15 C. Macam-macam Perwalian ........................................................................ 23 D.

  Asas-Asas Perwalian ................................................................................ 25 E. Asas Persetujuan dari Keluarga ................................................................ 25 F. Tugas dan Kewajiban Wali ...................................................................... 25 G.

  Kedudukan Wali Terhadap Harta Warisan Anak Yang Belum Dewasa

  H.

  Pengertian Kewarisan ............................................................................... 32 I. Dasar Hukum Waris Islam ....................................................................... 34 J.

  Ahli Waris Menurut Hukum Islam .......................................................... 35

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 38-41 A. Jenis dan Lokasi Penelitian ...................................................................... 38 B. Pendekatan Penelitian .............................................................................. 38 C. Sumber Data ............................................................................................. 39 D. Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 39 E. Instrumen Penelitian ................................................................................. 40 F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ..................................................... 40 BAB IV PENETAPAN PERWALIAN ANAK DALAM PERKARA KEWARISAN ............................................................................................................................... 42-66 A.

  Profil Pengadilan Agama Klas IA Makassar….. ...................................... 42 B. Penetapan Perwalian Anak di Pengadilan Agama Klas I A Makassar .... 49 C. Pertimbangan Hakim dalam memutus Perwalian Anak dalam Perkara

  Kewarisan di Pengadilan Agama Klas I A Makassar Tahun 2014-2015 .. 66

  BAB V PENUTUP ................................................................................................ 68-69 A. Kesimpulan .............................................................................................. 67 B. Implikasi Penelitian .................................................................................. 67 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 70 LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................... 72 DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. 76

  

DAFTAR TABEL

Gambar 1. Peta wilayah yurisdiksi Pengadilan Agama/Mahkamah

  Syariah Makassar ................................................................................... 46

  

Gambar 2. Foto susunan Ketua Pengadilan Agama Makassar dari masa ke masa .. 49

Gambar 3. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Makassar ................................. 51

PEDOMAN TRANSLITERASI 1.

  Konsonan

  Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

  Alif Tidak dilambangkan tidak dilambangkan

  ا

  ba b be

  ب

  ta t te

  ت

  sa s es (dengan titik di atas)

  ث

  jim j je

  ج

  ha h ha (dengan titk di bawah)

  ح

  kha kh ka dan ha

  خ

  dal d de

  د

  zal z zet (dengan titik di atas)

  ذ

  ra r er

  ر

  zai z zet

  ز

  sin s es

  س

  syin sy es dan ye

  ش

  sad s es (dengan titik di

  ض

  ل

  ي

  hamzah , apostop

  ء

  ha h ha

  ه

  wau w we

  و

  nun n en

  ن

  mim m em

  م

  lam l el

  kaf k ka

  dad d de (dengan titik di bawah)

  ك

  qaf q qi

  ق

  fa f ef

  ف

  gain g ge

  غ

  „ain „ apostrop terbalik

  ع

  za z zet (dengan titk di bawah)

  ظ

  ta t te (dengan titik di bawah)

  ط

  ya y ye Hamzah yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apapun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda( ).

2. Vokal

  Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal tungggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut : Tanda Nama Huruf Latin Nama

  Fathah A A Kasrah

  I I

  Dammah U U

  Vokal rangkap bahasa Arabyang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu : Tanda Nama Huruf Latin Nama fathah dan ya Ai a dan i fathah dan wau Au a dan u 3.

  Maddah

  Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,

  transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu : Harkat dan Huruf Nama Huruf dan Tanda Nama

  fathah dan alif a a dan garis di atau ya atas kasrah dan ya

  I i dan garis di atas U u dan garis di

  dammah dan wau

  atas 4. Ta Marbutah

  Transliterasi untuk ta marbutah ada dua, yaitu: ta marbutah yang hidup atau mendapat harkat fathah, kasrah, dan dammah, yang transliterasinya adalah [t].

  Sedangkan ta marbutah yang mati atau mendapat harkat sukun transliterasinya adalah [h].

  Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbutah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta

  marbutah itu transliterasinya dengan [h].

5. Syaddah (Tasydid)

  Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

  sebuah tanda tasydid ( ), dalam transliterasinya ini dilambangkan dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.

  Jika huruf ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf

  ي kasrah maka ia ditransliterasikan seperti huruf maddah(i). ( ي ),

  6. Kata Sandang Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf (alif

  لا lam ma‟arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi

  xv seperti biasa, al-, baik ketika ia di ikuti oleh huruf syamsiah Maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).

  7. Hamzah Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrop ( ) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

  8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia Kata,istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata Al-

  Qur‟an (dari al-

  Qur‟an), sunnah,khusus dan umum. Namun, bila kata-katatersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh.

  9.

  (

  Lafz al-Jalalah

  الله)

  Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai mudaf ilaih (frase nominal), ditransliterasi tanpa huruf hamzah. Adapun ta marbutah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz a-ljalalah, ditransliterasi dengan huruf [t].

10. Huruf Kapital

  Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat.

  Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (AL-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK,DP, CDK, dan DR).

  

ABSTRAK

  NAMA : HASRIYANI HAFID NIM : 10100112010 JUDUL SKRIPSI : SISTEM PENETAPAN PERWALIAN ANAK DALAM

  PERKARA KEWARISAN DI PENGADILAN AGAMA KLAS IA MAKASSAR (Studi Kasus Tahun 2014-2015)

  Judul dari skripsi ini adalah Sistem Penetapan Perwalian Anak dalam Perkara Kewarisan di Pengadilan Agama Klas IA Makassar. Rumusan masalah dalam hal ini adalah kedudukan harta anak yang masih di bawah perwalian dan kedudukan wali terhadap harta warisan anak dalam perkara kewarisan di Pengadilan Agama Klas IA Makassar. Pengadilan Agama berwenang mengadili dan memutuskan proses permohonan penetapan perwalian untuk anak dibawah umur dan bagaimana memberi hubungan antara wali dan anak yang berada dibawah perwaliannya, tentang harta yang diserahkan kepadanya. Namun, wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma‟ruf kalau wali itu fakir.

  Pada penelitian lapangan kualitatif deskripstif. Penelitian ini menginterpretasikan atau menerjemahkan dengan bahasa penelitian yang diperoleh dari informan dilapangan sebagai wacana untuk mendapatkan penjelasan tentang kondisi yang ada dengan menghubungkan variabel-variabel dan selanjutnya akan dihasilkan deskripsi tentang objek penelitian. Sedangkan Pendektan yang digunakan ada 2 pendekatan yaitu Pedekatan Yuridis yaitu suatu metode atau cara yang digunakan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku yang memiliki korelasi dengan masalah yang akan diteliti.

  Pendekatan Teologi Normatif (Syar‟i) yaitu pendekatan terhadap Hukum Islam yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti. Dan teknik pengumpulan datanya adalah interview. Interview ini dilakukan untuk mendapatkan informasi dengan cara mewawancarai para informan, wawancara dilakukan dengan pemerintah setempat, tokoh masyarakat, serta masyarakat yang pernah membagi harta warisan.

  Setelah diadakan penelitian ditemukan bahwa penetapan perwalian atau ahli waris sebagai pemohon yang dilakukan di pengadilan agama akan diberikan kuasa insidentil. dalam sistem penetapan perwalian anak dalam perkara kewarisan di Pengadilan Agama Makassar sudah sesuai dengan Undang- undang yang berlaku di Indonesia dan sesuai dengan hukum islam, serta dalam mempertimbangkannya pula sudah sangat adil.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu kebutuhan manusia. Perkawinan adalah

  akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan dan menimbulkan hubungan timbal

  1

  balik antara hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perkawinan tidak hanya menyatukan dua insan saja melainkan keluarga kedua belah pihak serta menimbulkan hubungan hukum antara keduanya.

  Setiap kegiatan tentunya memiliki sebuah tujuan. Begitupun perkawinan juga mempunyai tujuan yang mulia yaitu sebagai jalan memuaskan naluri seks manusia, memperbanyak keturunan, menciptakan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, dan memelihara diri seseorang agar terhindar dari perbuatan zina. Jadi perkawinan merupakan jalan yang baik dalam menghindarkan hal-hal buruk yang terjadi bagi

  2 mereka yang sudah waktunya melakukan perkawinan.

  Menurut Soemiyati, dalam hal memperoleh keturunan setelah terjadinya perkawinan mengandung dua segi kepentingan yaitu kepentingan secara individual dan secara universal. Secara individual, anak merupakan penolong baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak bagi orang tua mereka. Sedangkan secara universal, anak-anak tersebut yang akan menjadi penyambung keturunan seseorang 1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan , (Jakarta: Kencana, 2006), h. 39. dengan cara yang sah dan teratur. Selain itu, keturunan yang diperoleh akan menghindarkan dari percampur-adukan keturunan. Sehingga silsilah dan keturunan manusia dapat dipelihara di atas dasar yang sah serta setiap orang tua akan tahu siapa anak-anaknya dan dapat bertanggung jawab terhadap mereka begitupun sebaliknya.

  3 Jadi melalui perkawinanlah peraturan seperti itu dapat tercapai.

  Setelah terjadinya perkawinan, maka akan menimbulkan akibat hukum sekaligus menimbulkan hak dan kewajiban selaku suami istri dalam keluarga. Adapun hak bersama suami istri yaitu dihalalkannya mengadakan hubungan seksual, haram melakukan perkawinan yaitu istri haram dinikahi oleh ayah suaminya dan sebaliknya. Selain itu suami istri berhak saling mewarisi, wajib berperilaku yang baik dan anak mereka merupakan keturunan yang jelas dari suaminya. Adapun kewajiban suami istri sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu suami istri wajib menegakkan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah, saling mencintai, menghormati serta memberikan bantuan lahir batin. Mempunyai kewajiban mengasuh dan memelihara anak mereka, memelihara kehormatan dan bilamana melalaikan kewajiban dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama

  4 (PA) serta memiliki kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami istri.

  Meskipun dalam melangsungkan perkawinan itu bertujuan untuk selama- lamanya, namun dalam mengarungi bahtera rumah tangga adakalanya ada sebab tertentu yang mengharuskan perkawinan itu tidak bisa dilanjutkan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan putusnya perkawinan, diantaranya yaitu karena kematian. 3 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undang-Undang No. Ketika salah seorang dari suami istri meninggal dunia, maka dengan sendirinya

  5 terjadilah perceraian.

  Dalam kaitannya dengan meninggalnya salah seorang suami atau istri dalam suatu rumah tangga, maka terjadi pula proses waris mewarisi sebagai hak dari suami istri tersebut. Jika suami meninggal maka istri mewarisi harta dari suaminya begitupun sebaliknya. Selain itu anak keturunannya pun juga memperoleh hak waris mewarisi dari sebab hubungan pertalian kekeluargaan atau nasab. Sehingga ahli waris

  6 ini adalah orang yang ditetapkan dalam nash berhak mendapatkan harta warisan.

  Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, ketika anak itu masih kecil, dia dilarang melakukan tindakan hukum. Dan anak kecil yang dilarang melakukan tindakan hukum harus mempunyai wali untuk mengasuh dan menangani berbagai hal sebagai wakil dari pelaku aslinya. Dan dalam hal ini adalah perwalian atas harta benda yang dimiliki oleh anak tersebut termasuk harta warisan dari orang tuanya. Sedangkan wali anak kecil adalah ayahnya sedangkan ibunya tidak mempunyai hak

  7

  perwalian kecuali menurut pe ndapat sebagian ulama Syafi‟i.

  Perwalian yang dilakukan oleh orang tuanya adalah ketika mereka masih kecil yang mereka belum pandai dan mengerti tentang hal yang berhubungan dengan pembelanjaan harta. Namun ketika anak-anak tersebut sudah besar dan mengerti tentang harta, maka segala tindakan yang berkaitan dengan harta diberlakukan

  5 Mustafa Kamal, et al, Fikih Islam Sesuai Dengan Putusan Majelis Tarjih, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2002), h. 272. 6 Mustafa Kamal, et al, Fikih Islam Sesuai Dengan Putusan Majelis Tarjih, h.323. kembali. Hal ini juga dijelaskan dalam firman Allah swt berfirman QS Al-Nisa/4: 5

  8 dan 6 .

                                                

               Terjemahnya:

  “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi- saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas.”

  Bagi orang islam di Indonesia, aturan tentang perwalian berlaku sebagai hukum positif yang digunakan di Pengadilan Agama. Perwalian diatur dalam KHI dan Undang-Undang (UU) RI No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam KHI dijelaskan pada BAB XV Perwalian pasal 107 dijelaskan bahwa perwalian itu hanya pada anak yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan. Perwalian itu mengenai diri dan harta kekayaannya. Ketika wali itu tidak mampu atau lalai dalam menjalankan tugas perwaliannya. Pengadilan Agama dapat menunjuk kerabat terdekatnya menjadi wali. Dan wali itu diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang dewasa, sehat, adil, jujur, dan berperilaku baik atau bisa

  9

  juga wali tersebut adalah suatu badan hukum. Dan pasal 50 UU RI No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelaskan bahwa: “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau 16 tahun belum pernah melangsungkan perkawinan dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, dia berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian tersebut

  10 mengenai pribadi anak itu dan harta bendanya”.

  Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa, anak di bawah umur yang belum pernah melakukan perkawinan, membutuhkan seorang wali untuk mengurus dirinya dan harta bendanya. Dan perwalian itu secara otomatis berada di tangan orang tuanya. Hal ini diperjelas oleh pasal 47 UU RI No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa:

  “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut kekuasaannya. Dan orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala

  11

  perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.” Selanjutnya perwalian anak akan dikaitkan dengan kewarisan dalam Islam itu sendiri. Mengingat berkembangnya masyarakat yang semakin kompleks dengan segala permasalahannya.

  Dalam hal perkara kewarisan yakni permohonan penetapan ahli waris, yang mana bila salah satu orang tua telah meninggal dunia lalu ingin menjual harta warisan, sedangkan anak yang mewarisi masih di bawah umur. Maka yang menjadi

  9 10 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 95.

  walinya adalah kerabatnya. Namun untuk membuktikannya maka diperlukan lagi penetapan dari pengadilan mengenai perwalian tersebut.

  Data awal yang peneliti dapat di Pengadilan Agama Kelas IA Makassar Sebagai berikut:

  Tahun Perkara di Pengadilan Agama Perkara Perwalian Dalam Kelas IA Makassar Kewarisan di Pengadilan

  Agama Kelas IA Makassar 2014 2108 76 2015 2400

  83 Jumlah 4508 159 Sehubungan dengan data awal yang peneliti dapatkan di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut terhadap permasalahan perwalian anak terhadap dalam perkara kewarisan terkait dengan penetapan perwalian bagi anak dengan judul skripsi

  

“Sistem Penetapan Perwalian Anak dalam Perkara Kewarisan di Pengadilan Agama

Kls IA Makassar (Studi Kasus Tahun 2014- 2015)”.

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus a. Fokus Penelitian

  Judul skripsi ini adalah Sistem Penetapan Perwalian Anak dalam Perkara Kewarisan di Pengadilan Agama Kls IA Makassar (Studi Kasus 2014-2015). Peneliti akan meninjau proses penyelesaian perwalian anak dalam hal perkara kewarisan.

b. Deskripsi Fokus

  Perwalian: Segala sesuatu mengenai urusan wali, pemeliharaan dan pengawasan (anak yatim dan hartanya), pengasuh (Negara,

  12

  daerah, dan sebagainya yang belum dapat berdiri sendiri) Kewarisan: Harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli

  13 waris.

  Pengadilan Agama Makassar Klas IA: Pengadilan Agama yang berlokasi di Kota Makassar Sul-Sel C.

   Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka penulis merumuskan pokok masalah yaitu bagaimana Sistem Penetapan Perwalian Anak dalam Perkara Kewarisan di Pengadilan Agama Kls IA Makassar (Studi Kasus 2014- 2015) yang terbagi dalam submasalah: 1.

  Bagaimana kedudukan anak yang masih di bawah perwalian? 2. Bagaimana kedudukan wali terhadap harta warisan anak dalam Perkara

  Kewarisan di Pengadilan Agama Kls IA Makassar? D.

   Kajian Pustaka

  Dalam penyusunan karya ilmiah dibutuhkan berbagai referensi atau rujukan yang mempunyai relevansi dengan pembahasan yang akan diteliti, sebelum

  12 hak cipta badan pengembangan dan pembinaan bahasa, Kemdikbud (pusat

  Ebta Setiawan” bahasa) (tanggal 23 januari 2016) 13 DR. M. Idris Ramulyo, S.H, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam di pengadilan dan

  melakukan penelitian penulis telah mengkaji dan menelaah berbagai literatur yang berkaitan dengan judul peneliti, diantaranya: Erni Nurosyidah menulis skipsi berjudul “Kedudukan Hukum Wali Dari Anak

  Di Bawah Umur Dalam Melakukan Transaksi Penjualan Harta Warisan” (Studi Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Jember No.95/Pdt.P/2010/PA.Jr). Dalam skripsi yang dibahas oleh penulis ini fokus kepada batasan-batasan wali untuk melakukan transaksi penjualan tanah waris milik anak dibawah umur, sedangkan dalam skripsi peneliti lebih memfokuskan kepada alasan-alasan bagaimana bisa terjadinya suatu permohonan perwalian oleh ibu kandung dan membahas bagaimana pertimbangan dari pengadilan agama mengenai permohonan perwalian yang diajukan oleh ibu kandung.

  Skripsi ditulis oleh Nur Faridah yang berjudul “Analisis Hukum Islam terhadap Penetapan Hakim tentang Perwalian Atas Dasar Keinginan Saudari Sendiri”. Pada skripsi ini dijelaskan bahwa ketika suami istri (orang tua) itu masih hidup, mereka berkewajiban untuk merawat, mendidik anak-anak mereka dengan baik.

  Namun setelah meninggal harus ada wali yang mengurus anak-anak tersebut. Sehingga saudari sendiri dari anak tersebut (kakaknya) mengajukan penetapan menjadi wali dari anak tersebut.

  Skripsi ini ditulis oleh Aditya Pudjo Hadi yang berjudul “ Kedudukan Wali Dalam Mewakili Ahli Waris Dibawah Umur Dalam Tindakan Hukum Menjual Warisan Hak Ahli Waris “. Pada Skripsi ini dijelaskan tentang banyak terjadi harta warisan yang merupakan hak anak yang masih di bawah umur, kemudian diurus dan bahkan dimiliki atau lebih bahaya lagi adalah dijual oleh pihak wali. Padahal secara hukum, harta warisan tersebut adalah dimiliki sebagian atau seluruhnya oleh anak di bawah umur tersebut. Dalam skripsi ini peneliti memfokuskan untuk menentukan status dan kedudukan wali dalam mewakili ahli waris yang masih dibawah umur dalam menjual warisan dan menentukan perlindungan hukum untuk ahli waris di bawah umur apabila wali melakukan tindakan hukum yang merugikan bagi ahli waris.

  Sejauh pengamatan penulis judul ini belum pernah dibahas oleh siapapun. Dan adapun perbedaan tulisan ini dengan tulisan sebelumnya adalah dalam tulisan ini, Penulis meneliti tentang sistem penetapan perwalian anak dalam perkara kewarisan.

E. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : a.

  Untuk mengetahui kedudukan anak yang masih di bawah perwalian.

  b.

  Untuk mengetahui kedudukan wali terhadap harta warisan anak dalam Perkara Kewarisan di Pengadilan Agama Kls IA Makassar .

2. Kegunaan Penelitian

  Adapun kegunaannya adalah: a.

  Kegunaan teoretis Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemikiran barubagi perkembangan hukum pada umumnya dan hukum Islam pada khususnya. Skripsi ini juga diharapkan dapat memperbanyak khazanah keilmuan terkait perwalian dalam kewarisan.

  b.

  Kegunaan praktis 1.

  Dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai penetapan perwalian dalam perkara kewarisan dan penyelesaian perkaranya di pengadilan agama.

  2. Dapat menambah referensi atas ilmu yang telah ada, memperluas wawasan dan memberikan informasi yang baru bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

BAB II TINJAUAN TEORETIS A. Pengertian Perwalian Menurut Alhabsyi Husen Perwalian (voogdij

  ) berasal dari kata „wali‟ mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua yang menuntut hukum diwajibkan mengawasi dan mewakili anak yang belum dewasa atau belum akil-balig (berusia dibawah 18 tahun dan 16 tahun belum menikah). Sehingga perwalian dapat diartikan sebagai orang tua pengganti terhadap anak yang belum cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Kata wali dalam bahasa Arab berasal dari kata-

  25 kata wilayah (kata benda) kata kerjanya walia yang artinya berkuasa.

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perwalian berasal dari kata „per‟ berarti satu. Sedangkan „wali‟ orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi

  26 kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.

  1. Perwalian adalah sesuatu yang berhubungan dengan wali, contoh pemeliharaan dan pengawasaan anak yatim berikut hartanya.

  2. Pembimbing (Negara, daerah, dan sebagainya) yang belum bisa berdiri sendiri.

  Secara etimologi (bahasa), kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamakawliya. Kata ini berasal dari kata Arab yang berarti teman, klien, sanak, atau

  27 pelindung.

25 Alhabsyi Husen, Kamus Alkausar, (Surabaya, Darussagaf, 1997), h. 591.

  Pengertian Perwalian istilah (terminologi) para pakar fuqaha (pakar hukum Islam) seperti diformulasikan wahbah al zuhaily ialah kekuasaan/ otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas seizin orang lain. Orang yang mengurusi/ menguasai sesuatu (akad/ transaksi). Kata al-waliyy muannatsnya al-waliyyah dan jamaknya al-awliya, berasal dari kaa wala-yali-walyan-wa-walayatan, secara harfiah berarti yang mencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh dan

  28 orang yang mengurus perkara (urusan) seseorang.

  Berdasarkan beberapa pengertian di atas, penulis berpendapat bahwa perwalian dapat dikatakan sebagai wakil dari kebutuhan seorang anak terhadap orang yang lebih dewasa terhadap persoalan yang menyangkut kebutuhan anak tersebut, sebatas pemeliharaan dirinya maupun harta bendanya.

  Selama anak tersebut menurut Undang-Undang untuk sementara waktu belum dibenarkan melakukan perbuatan hukum.

  Beberapa pendapat mengenai pengertian wali, antara lain menurut Sri Widoyati pemeliharaan anak-anak tergantung pada corak hukum kekeluargaan dalam hukum adat. Sri Widoyati memandang bahwa seorang anak yang menurut Undang- Undang dinyatakan belum dewasa dan belum dapat melakukan suatu perbuatan hukum, maka anak tersebut harus diwakili oleh orang tua atau keluarga adat dari salah satu orang tua tersebut yang cakap melakukan perbuatan hukum. Misalnya

27 Glossary of Islam.

  ”Glossary of the Middle East”, terakhir diakses 12 Maret 2014 Pukul.22.08 Wib.) dalam masyarakat adat yang bercorak hukum keibu bapak-an, orang tua yang masih ada berkewajiban memelihara si anak bila orang tua meninggal, harus dari salah satu keluarga yang paling cakap dengan tidak mementingkan pihak keluarga ibu atau pihak keluarga ayah. Hal semacam ini terdapat disebagian besar kepulauan Indonesia,

  29 seperti Aceh, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

  Sedangkan menurut Subekti, perwalian berasal dari kata wali yang mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua yang mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang

  30 belum dewasa atau belum akhil-balig dalam melakukan perbuatan hukum.

  Wali adalah wakil dari orang tua yang menyangkut kekuasaan sebagai orang tua terhadap anak dengan mengacu terhadap batasan-batasan yang diatur dalam Undang-Undang yang mengatur tentang anak. Agar ada batasan antara orang tua pengganti (wali) terhadap pemeliharaan maupun kesejahteraan anak yang diwakili baik yang ditunjuk oleh lembaga pemerintah maupun yang secara sukarela.

  Dibawah ini akan dijelaskan pula macam-macam Wali menurut hukum islam

  31

  yaitu:

  1. Wali adhal Seorang wali yang enggan mengawinkan anaknya, padahal tidak memiliki alasan yang dapat diterima. Si wanita dapat mengajukannya kepada wali hakim.

  29 30 Sri Widoyati, Anak dan Wanita dalam Hukum, (Jakarta, LP3ES, 1983), h. 48.

  Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta, Sinar Grafika, 1992), h. 60. Dengan demikian hak kewaliannya tidak jatuh kepada wali-wali yang urutannya dibawahnya tetapi langsung kepada wali hakim.

  2. Wali hakim Wali hakim adalah adalah penguasa dari suatu negara atau wilayah yang berdaulat atau yang mendapatkan mandat dan kuasa untuk mewakilinya.

  3. Wali Nasab Wali Nasab Adalah adalah wali yang memperoleh hak sebagai wali karena adanya pertalian darah. Jumhur sebagaimana Malik dan Syafi

  ‟i mengatakan bahwa wali adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah dan bukan dari garis ibu.

  Orang yang menerima wakil hendaklah melaksanakan wakalah itu dengan sendirinya sesuai dengan yang ditentukan semasa membuat wakalah itu karena orang yang menerima wakil tidak boleh mewakilkan pula kepada orang lain kecuali dengan izin memberi wakil atau bila diserahkan urusan itu kepada wakil sendiri seperti kata pemberi wakil: “Terserahlah kepada engkau (orang yang menerima wakil) melaksanakan perwakilan itu, engkau sendiri atau orang lain”. Maka ketika itu, boleh wakil berwakil pula kepada orang lain untuk melaksanakan wakalah itu. Wakil wajib melaksanakan wakalah menurut apa yang telah ditentukan oleh orang yang memberi wakil.

  Perwalian tidak lain merupakan suatu perbuatan hukum yang melahirkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban sehingga dalam pelaksanaannya dituntut harus sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku. Sering orang berbicara atau bahkan melakukan atau mengemban tugas dan kewajiban sebagai wali tetapi tidak perwalian itu harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga terjadilah tindakan-tindakan yang justru menyimpang dari tujuan sesungguhnya lembaga perwalian. Padahal, aturan hukum mengenai perwalian telah lama ada sebagaimana tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Ketentuan perwalian menurut kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti diketahui bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada juga disebutkan pengertian perwalian, yaitu pada pasal 330 ayat (3) menyatakan bahwa mereka yang

  32 belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.

  Perwalian terhadap anak baik yang dilakukan oleh orang-perorangan maupun yayasan dan lembaga lainnya, merupakan sebab-akibat dari adanya kebutuhan anak yang menghendaki adanya perwalian baik yang ditunjuk oleh Pengadilan maupun perwalian yang dengan sendirinya dapat terjadi berdasarkan dimensi hukumnya. Dalam perwalian, hanya ada seseorang yang dapat ditunjuk sebagai wali, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 331 KUHPerdata.

B. Dasar Hukum Perwalian

  1. Menurut Kompilasi Hukum Islam Perwalian bagi orang

  • – orang beragama Islam di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal 107-111. Pasal 107 mengatur bahwa perwalian hanya dapat dilakukan terhadap anak yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Dari ketentuan
tersebut, dapat dipahami usia dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah 21 (dua puluh satu) tahun dan atau belum pernah kawin. Perwalian menurut Hukum Islam meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.

  Apabila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali. Pembatalan perwalian lama dan penunjukan perwalian baru ini adalah atas permohonan kerabat tersebut. Untuk menjadi wali sedapat

  • – dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut, atau orang lain. Syarat menjadi wali adalah harus sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Disamping orang perorangan, Badan Hukum juga dapat menjadi wali.

  Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pengangkatan wali dapat juga terjadi karena adanya wasiat dari orang tua si anak, yang mewasiatkan kepada seseorang atau Badan Hukum tertentu untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak

  • – anaknya sesudah ia meninggal dunia. Selanjutnya pasal 109 menentukan, bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau Badan Hukum dan memindahkannya kepada Pihak lain. Permohonan untuk itu diajukan oleh kerabatnya, dengan alasan wali tersebut; pemabuk, penjudi, pemboros, gila, dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan yang berada di bawah perwaliannya.

  Pasal 110 mengatur kewajiban wali untuk mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, wali wajib memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya kepada anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Untuk itu wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. Dalam menjalankan tugasnya wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan – perubahan harta benda anak atau anak – anak itu.

  Apabila anak yang berada di bawah perwalian telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun, maka wali berkewajiban menyerahkan seluruh hartanya kepadanya. Dan setelah masa perwalian ini berakhir, Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan anak yang berada di bawah perwaliannya, tentang harta yang diserahkan kepadanya. Namun, wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma‟ruf kalau wali itu fakir.

  2. Menurut Hukum Syariat Al-