PENETAPAN PENGADILAN AGAMA TENTANG ISTBAT NIKAH (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA KOTABUMI)

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu hal yang terpenting di dalam realita kehidupan umat manusia. Perkawinan dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan setiap perkawinan juga harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan). Ada kecenderungan yang menafsirkan bahwa perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya, sedangkan pencatatan adalah syarat administrasi saja. Dilakukan atau tidaknya suatu pencatatan tidak merupakan suatu cacat atau lebih tegas tidak menyebabkan tidak sahnya perkawinan tersebut. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya masyarakat yang melakukan suatu perkawinan di bawah tangan, yakni perkawinan itu hanya dilakukan sesuai hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama.


(2)

Perkawinan yang tidak dicatatkan pada akhirnya sering mengalami permasalahan, hal ini dikarenakan tidak dapat diakuinya suatu perkawinan tanpa adanya bukti Kutipan Buku Akta Nikah dari Petugas Kantor Urusan Agama.

Dalam hal yang demikian, maka dapat mengajukan Permohonan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama setempat. Pelaksanaan Itsbat Nikah ini dilaksanakan di Pengadilan Agama, karena Pengadilan Agama merupakan badan Peradilan tingkat pertama yang menerima, memeriksa dan memutus serta menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodakoh, dan ekonomi syariah yang termasuk diantaranya Itsbat Nikah antara orang-orang yang beragama Islam.

Itsbat Nikah diatur dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Pasal 49 angka (22) penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 dan Pasal 7 ayat (2), (3) dan (4) Kompilasi Hukum Islam.1 Yang berhak mengajukan permohonan Itsbat Nikah adalah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b. Hilangnya akta nikah.

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Jakarta. 2011. hal 147


(3)

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan.

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Apabila dalam permohonan itsbat nikah itu tidak memenuhi syarat untuk dilaksanakannya itsbat nikah seperti yang terdapat dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, maka Hakim Pengadilan Agama harus menolak permohonan tersebut. Bagaimana jika pelaksanaan itsbat nikah tersebut tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Undang-Undang dan Pengadilan Agama mengabulkan permohonan itsbat nikah tersebut. Demikian juga apabila Majelis Hakim Pengadilan Agama memeriksa, mengadili perkara itsbat nikah dengan diktum penetapannya "Mengabulkan" sedang perkara tersebut pernikahannya terjadi setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hal ini akan menimbulkan kesan di tengah-tengah masyarakat bahwa melakukan perkawinan di bawah tangan ataupun nikah siri tanpa adanya bukti yang sah tidak begitu penting walaupun pada suatu saat akan dibutuhkan, karena dapat mengajukan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama.

Demikian seterusnya bila Majelis Hakim memeriksa dan mengabulkan permohonan itsbat nikah tersebut dengan alasan-alasan yang tidak terdapat dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, jelas akan menimbulkan paham bahwa mengajukan permohonan itsbat nikah pada Pengadilan Agama hanya sekedar melengkapi syarat administrasi.


(4)

Permasalahan ini yang terjadi pada para pelaku perkawinan siri, yang mengajukan permohonan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama, dengan tujuan untuk mengesahkan perkawinan mereka menurut undang-undang yang berlaku dengan alasan perkawinan mereka tidak melanggar larangan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 10 Undang-Undang No 1 Tahun 1974, selanjutnya disingkat dengan UU No 1 Th 1974 jo Pasal 39 sampai dengan Pasal 44 Kompilasi Hukum

Islam. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan suatu tinjauan yuridis terhadap Penetapan Pengadilan Agama Kotabumi terhadap penetapan Nomor: 53/Pdt.P/2012/PA.Ktbm, 54/Pdt.P/2012/PA.Ktbm dan 04/Pdt.P/2013/PA.Ktbm yang akan dituangkan ke dalam bentuk tesis dengan judul "PENETAPAN PENGADILAN AGAMA TENTANG ITSBAT NIKAH" (Studi Kasus di Pengadilan Agama Kotabumi).

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah yang menjadi alasan para pihak dalam mengajukan Itsbat Nikah? 2. Apa yang menjadi dasar-dasar pertimbangan Hakim dalam mengabulkan

permohonan itsbat nikah?

3. Bagaimana akibat hukum dari penetapan itsbat nikah?


(5)

1. Ruang lingkup keilmuan :

Berdasarkan permasalahan di atas maka ruang lingkup penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata khususya hukum perkawinan.

2. Ruang lingkup kajian :

Itsbat Nikah termasuk hubungan ikatan keluarga dan merupakan kompetensi atau kewenangan dari Pengadilan Agama, maka penelitian ini termasuk dalam lingkup hukum perdata khususnya hukum perkawinan sedangkan pembahasannya dibatasi pada persoalan yang menjadi dasar pertimbangan atas penetapan Hakim dan akibat hukum yang timbul dari permohonan itsbat nikah yang dikabulkan, dengan lokasi penelitian di Pengadilan Agama Kotabumi yang merupakan wilayah hukum Kabupaten Lampung Utara.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui dan memahami alasan para pihak mengajukan Itsbat Nikah. b. Untuk mengetahui dan memahami dasar-dasar pertimbangan hakim dalam

mengabulkan

permohonan itsbat nikah.

c. Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum yang timbul dari permohonan itsbat


(6)

2. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah : a. Kegunaan teoritis

Secara teoritis, penelitian ini berguna untuk :

1) Peningkatan dan pengembangan wawasan dan ilmu hukum, khususnya hukum perkawinan.

2) Menambah pemahaman dan kompetensi peneliti dalam ilmu hukum b. Kegunaan praktis

Secara praktis, penelitian ini berguna sebagai :

1) Menjadi bahan informasi bagi masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan syarat-syarat dalam pengajuan permohonan Itsbat Nikah. 2) Bahan bacaan bagi Pemerintah, Pengadilan Agama dan masyarakat pada umumnya.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian hukum. Perkawinan merupakan suatu aktivitas yang pada dasarnya tidak berbeda dengan aktivitas-aktivitas yang lain yaitu memiliki suatu tujuan, demikian juga dengan perkawinan. Selain perkawinan itumempunyai tujuan tertentu, perkawinan juga mempunyai pendorong tertentu pula, sehingga seseorang melangkah kejenjang perkawinan. Manusia sebagai mahluk hidup yang lebih sempurna bila dibandingkan dengan mahluk-mahluk hidup yang lain.


(7)

Dengan kelebihan yang ada pada manusia, maka sudah sewajarnya bahwa manusia dapat menggunakan kelebihan itu dengan baik, misal manusia dapat berpikir, manusia mempunyai kata hati.

Eratnya kebutuhan akan perkawinan dengan kehidupan manusia memberi arti penting tentang keberadaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dengan adanya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tantang Perkawinan, diharapkan perkawinan sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia agar dapat berjalan dengan baik dan benar.

Menurut ketentuan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialah : "Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagiadan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa". Menurut hukum Islam khususnya yang diatur dalam Ilmu Fiqih, pengertian perkawinan atau akad nikah adalah "ikatan yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang keduanya bukan merupakan muhrim".2

Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, oleh karena itu mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum, penting sekali kaitannya dengan sah tidaknya perbuatan hukum. Oleh karena itu, sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku (hukum positif), yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi :

2


(8)

"Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Undang-Undang Perkawinan menitik beratkan sahnya perkawinan padadua unsur, yaitu: Perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditentukan oleh Undang-undang (hukum negara) dan hukum agama.3 Perkawinan yang dilakukan oleh suami istri secara sah akan membawa konsekuensi dan akibat di bidang hukum. Akibat hukum tersebut adalah :

1. Timbulnya hubungan antara suami istri.

Dalam hubungannya sebagai suami istri dalam perkawinan yang sah, maka mereka mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk menegakkan rumah tangganya.

2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan.

Suami istri yang terkait dalam perkawinan yang sah, akan mempunyai harta benda, baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan.

3. Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak.

Pembahasan permasalahan dalam penulisan karya ilmiah ini menggunakan paradigma fakta sosial, karena permasalahan yang dibahas menyangkut struktur sosial dan institusi sosial, dalam hal ini menyangkut tentang masyarakat Kotabumi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam hubungan dengan fakta sosial. Kerangka berfikir yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah:


(9)

Keterangan :

Suami istri yang perkawinannya tidak dicatatkan pada KUA mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, setelah melalui proses persidangan, Pengadilan Agama mengeluarkan produk hukum yang berbentuk penetapan. Penulis melakukan suatu tinjauan yuridis terhadap penetapan yang dikeluarkan Pengadilan Agama Kotabumi yang termasuk dalam wilayah hukum Kabupaten Lampung Utara untuk mengetahui apakah yang menjadi alasan para pihak dalam mengajukan itsbat nikah, apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan itsbat nikah dan bagaimana akibat hukum dari penetapan itsbat nikah pada perkara nomor: 53/Pdt.P/2012/PA.Ktbm, 54/Pdt.P/2012/PA.Ktbm dan 04/Pdt.P/PA.Ktbm.


(10)

2.Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.

Sesuai dengan definisi tersebut maka peneliti akan melakukan analisis pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan judul yaitu:

a. Menurut Pasal 1 Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah "Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ataupun rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

b. Itsbat berasal dari bahasa arab yang artinya penetapan atau pengesahan. c. Menurut Kompilasi Hukum Islam Itsbat Nikah adalah penetapan

perkawinan yang dilakukan oleh pengadilan dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan kutipan buku Akta Nikah (Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

d. Penetapan adalah Salah satu produk pengadilan agama yang bersifat volunteer (permohonan) yang tidak berlawanan dan tidak mempunyai nilai eksekutorial.

e. Pengadilan Agama adalah Badan peradilan tingkat pertama yang menerima, memeriksa dan memutus serta menyelesaikan perkara-perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sodakoh dan ekonomi syariah ( Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989).


(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Perkawinan 1.

Pengertian Perkawinan

Menurut ketentuan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian perkawinan ialah: "ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Perkawinan yang dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita, pada hakekatnya merupakan naluri atau fitrah manusia sebagai makhluk sosial guna melanjutkan keturunannya. Bila dilihat dari aspek fitrah manusia tersebut, pengaturan perkawinan tidak hanya didasarkan pada norma hukum yang dibuat oleh manusia saja, melainkan juga bersumber dari hukum Tuhan yang tertuang dalam hukum agama. Tinjauan perkawinan dari aspek agama dalam hal ini terutama dilihat dari hukum Islam yang merupakan keyakinansebagian besar masyarakat Indonesia. Menurut hukum Islam khususnya yang diatur dalam Ilmu Fiqh, pengertian perkawinan atau akad nikah adalah "ikatan yang menghalalkan


(12)

pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan merupakan muhrim".1

Pengertian perkawinan di atas menggambarkan, bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian atau akad antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk hidup berumah tangga, yang di dalamnya termasuk pengaturan hak dan kewajiban serta saling tolong menolong dari kedua belah pihak. Dalam pandangan ajaran Islam, perkawinan merupakan asas pokok kehidupan dalam pergaulan, sebagai perbuatan yang sangat mulia dalam mengatur kehidupan berumah tangga. Pertalian nikah atau perkawinan, juga merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan umat manusia.2 Hal ini tidak saja terbatas pada pergaulan antar suami-istri, melainkan juga ikatan kasih mengasihi pasangan hidup tersebut, yang nantinya akan berpindah kebaikannya kepada semua keluarga dari kedua belah pihak. Kedua keluarga dari masing-masing pihak menjadi satu dalam segala urusan tolong menolong, menjalankan kebaikan, serta menjaga dari segala kejahatan, selain itu dengan melangsungkan perkawinan bahkan seorang dapat terpelihara terhadap kebinasaan dari hawa nafsunya.

Perkawinan yang merupakan perbuatan mulia pada prinsipnya, dimaksudkan untuk menjalin ikatan lahir batin yang sifatnya abadi dan bukan hanya untuk sementara waktu, yang kemudian diputuskan lagi. Atas dasar sifat ikatan perkawinan tersebut, maka dimungkinkan dapat didirikan rumah tangga yang

Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Attahiriyah. Jakarta. hal. 355


(13)

damai dan teratur, serta memperoleh keturunan yang baik dalam masyarakat. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Buku I tentang Hukum

Perkawinan Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah dirumuskan pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miltsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sementara itu Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam juga diatur bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.3

Ada beberapa definisi nikah yang dikemukakan ulama fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Ulama Mazhab Syafi'i mendefinisikannya dengan "akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal nikah/kawin atau yang semakna dengan itu" . Sedangkan ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan "akad yang memfaedahkan halalnya melakukan hubungan suami istri antara seorang lelaki dan seorang wanita selama tidak ada halangan syara'.

Menurut Zahri Hamid perkawinan adalah merupakan sunnah nabi yaitu suatu ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk memperoleh keturunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan syari'at Islam.

Dengan demikian perkawinan menurut hukum Islam pada prinsipnya merupakan ibadah dalam rangka mentaati perintah Allah SWT. Hal ini mengisyaratkan bahwa perkawinan tidak hanya sekedar ikatan antara seorang pria dengan wanita untuk

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Akademika Presindo. Jakarta.1995. hal. 114

7

Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Antara Fiqih Munakahat dan


(14)

membentuk rumah tangga guna memenuhi naluri kebutuhan duniawi, melainkan juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan ukhrowi (akhirat) dikemudian hari.Oleh karenanya perkawinan menurut hukum Islam merupakan ikatan lahir batin yang sifatnya agung dan suci antara pasangan pria danwanita, yang bertujuan untuk membentuk rumah tangga, dan senantiasa mengharapkan limpahan rahmat dari Allah SWT

2. Sahnya Perkawinan

Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, oleh karena itu mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum, penting sekali kaitannya dengan sah tidaknya perbuatan hukum. Oleh karena itu, sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku (hukum positif), yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaanya itu". Sedangkan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, bahwa: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqoon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.4

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menitikberatkan sahnya perkawinan pada dua unsur, yaitu; perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditentukan oleh undang-undang (hukum negara) dan hukum agama.5 Artinya kalau perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan

M. Ridwan Indra. Hukum Perkawinan Di Indonesia. CV. Haji Masagung. Jakarta. 1994. hal. 1

0


(15)

undang-undang negara tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuan agama perkawinan tersebut tidak sah, demikian juga sebaliknya.

a. Menurut Perundang-Undangan

Keikutsertaan pemerintah dalam kegiatan perkawinan adalah dalam hal menyangkut proses administratif, di mana perkawinan harus dicatatkan sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan; "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku"

Dengan adanya pencatatan ini juga akan memberikan perlindungan bagi suami istri dan anak-anaknya termasuk untuk kepentingan harta kekayaan yang terdapat dalam perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Bagi mereka yang beragama selain islam pencatatan dilakukan di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan tersebut tidak menentukan sahnya suatu peristiwa hukum suatu perkawinan, tetapi hanya memberikan pembuktian bahwa peristiwa hukum itu telah terjadi dan dilakukan, sehingga hanya bersifat administratif, karena sahnya perkawinan itu sendiri ditentukan oleh masing-masing agama dan kepercayaannya.

Adapun tahapan atau proses pencatatan perkawinan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 antara lain:

a. memberitahukan kehendak dilangsungkannya perkawinan secara lisan maupun

tulisan oleh


(16)

dan

disampaikan 10 (sepuluh hari) sebelum perkawinan dilangsungkan. (Pasal 4 dan 5, PP

Nomor 9 Tahun1975);

b. setelah semua persyaratan dipenuhi dan tidak ada halangan untuk melangsungkan

perkawinan menurut Undang-Undang, maka perkawinan tersebut dimasukkan

dalam buku

daftar dan diumumkan. (Pasal 6, 7, 8 dan 9 PP Nomor 9 Tahun 1975);

c. setelah perkawinan dilangsungkan kedua mempelai harus menandatangani Akta

Perkawinan yang dihadiri dua saksi dan pegawai pencatat perkawinan.

Sedangkan yang

beragama Islam akta tersebut juga ditanda tangani oleh wali nikah. (Pasal 12 dan 13 PP

Nomor 9 Tahun 1975);

d. untuk memberikan kepastian hukum kepada kedua mempelai masing-masing diserahkan kutipan akta perkawinan sebagai

alat bukti. b. Menurut Hukum Islam

Menurut ajaran Islam, suatu akad perkawinan dikatakan sah apabila akad perkawinan tersebut dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap, yang termasuk dalam syarat akad yaitu:


(17)

2) Calon mempelai bukanlah orang yang terlarang melaksanakan perkawinan. 3) Calon mempelai adalah orang-orang yang seagama, sehingga tercapai suatu

keharmonisan yang menjadi salah satu tujuan perkawinan tersebut.6

Adapun yang dimaksud dengan rukun akad, ialah segala sesuatu yang wajib ada dalam suatu akad perkawinan yaitu:

1. Sighat akad. 2. Maskawin 3. Dua orang saksi.

4. Wali dari pihak calon mempelai wanita. 12

5. Perwakilan.7

Suatu akad perkawinan dapat dikatakan batal apabila kurang atau tidak sempurna salah satu dari syarat-syarat atau rukun-rukun akad sehingga akad tersebut tidak mempunyai kepastian hukum dan mengakibatkan tidak ada hak isteri untuk memperoleh maskawin, nafkah, mut'ah atau pun harta waris.

3. Syarat dan Larangan Perkawinan a. Syarat Perkawinan

Dalam rangka mewujudkan tujuan perkawinan yaitu menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal, maka perkawinan dilakukan dengan syarat yang ketat. Apabila kita perhatikan syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal

Kamal Muchtar. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Bulan Bintang. Jakarta. 2004. hal 69


(18)

12 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka syarat perkawinan terbagi atas:

1) Syarat formal yaitu meliputi;

a. perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1));

b. perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak

wanita telah mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 ayat (1));

c. tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal yang diizinkan Pasal 3

ayat (2) dan Pasal 4 (Pasal 9).

2) Syarat materiil yang berlaku khusus, yaitu bagi perkawinan tertentu saja, antara lain;

a. tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 8, 9 dan 10

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

b. izin dari orang tua bagi mereka yang belum mencapai umur 21 tahun (Pasal 6 ayat 2).

Apabila telah dipenuhi syarat-syarat tersebut di atas, baik syarat materiil maupun syarat formil, maka kedua calon mempelai dapat mengucapkan ijab qabul

sehingga dapat resmi menjadi suami istri. Tetapi bila syarat-syarat perkawinan tersebut tidak dipenuhi, maka


(19)

menimbulkan ketidakabsahan perkawinan yang berakibat batalnya suatu perkawinan.

Menurut ajaran Islam, suatu akad perkawinan dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun suatu akad perkawinan sebagai berikut: 1) Kesanggupan.

Dalam hal ini kedua calon mempelai sanggup untuk melaksanakan suatu perkawinan, secara garis besar kesanggupan tersebut terbagi atas:

a. Kesanggupan jasmani dan rohani. b. Kesanggupan memberi nafkah.

c. Kesanggupan bergaul dan mengurus rumah tangga.

2) Kedua calon mempelai bukanlah orang-orang yang terlarang untuk melaksanakan suatu akad perkawinan, larangan perkawinan terbagi atas dua yaitu larangan untuk selama-lamanya (tahrim muabbad) dan larangan untuk sementara waktu saja (tahrim muwaqat).

3) Sejodoh.

Dalam istilah fiqih sejodoh disebut "kafa-ah" yang mempunyai arti "sama", "serupa", "seimbang" atau "serasi", maksudnya adalah keserasian antara calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai wanita sehingga pihak-pihak yang berkepentingan tidak keberatan atas perkawinan tersebut.8


(20)

Rukun-rukun suatu akad perkawinan menurut ajaran Islam terdiri atas: 1) Sighat akad nikah.

Shigat akad nikah ialah perkataan yang diucapkan oleh pihak-pihak calon suami dan pihak-pihak calon istri disaat pelaksanaan akad nikah. Shigat akad nikah terdiri atas "ijab" dan "qabul", ijab ialah pernyataan pihak calon istri yang menyatakan bahwa ia bersedia dinikahkan dengan calon suaminya, sedangkan qabul ialah pernyataan atau jawaban dari pihak calon suami bahwa ia menerima kesediaan calon istrinya untuk menjadi istrinya.

2) Mahar (maskawin).

Mahar atau maskawin adalah pemberian wajib yang diberikan dan dinyatakan oleh calon suami kepada calon istrinya di dalam shigat akad nikah yang merupakan tanda persetujuan dan kerelaan dari mereka untuk hidup sebagai suami istri. Para ahli fiqih ada yang berpendapat bahwa mahar merupakan rukun akad nikah dan ada yang berpendapat bahwamahar merupakan syarat sahnya nikah, oleh karenanya tidak boleh ada persetujuan untuk meniadakannya.

3) Perwalian.

Menurut istilah fiqih yang dimaksud perwalian ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang, dalam hal ini penguasaan atau perlindungan seseorang kepada wanita yang akan menikah atas dasar hubungan kerabat atau keturunan seperti perwalian seseorang atas kerabatnya atau anak-anaknya.


(21)

Para ahli fiqih sepakat bahwa pelaksanaan akad nikah harus dihadiri oleh saksi-saksi, karena kehadiran saksi-saksi tersebut merupakan rukun akad nikah, adanya saksi-saksi sebagai alat bukti dapat menghilangkan keraguan-raguan atas keabsahan suatu perkawinan.

5) Walimatul ursy.

Yang dimaksud dengan walimatul ursy ialah mengadakan perhelatan atau kenduri yang dilaksanakan dalam rangka perkawinan, sebagian besar ahli fiqih berpendapat sunat hukumnya mengadakan walimatul ursy sesuai dengan keadaan dan kemampuan dari pihak-pihak yang melaksanakannya. Agama menganjurkan kepada orang yang melaksanakan perkawinan untuk mengadakan walimah, tetapi tidak memberikan minimum atau maksimum dari walimah tersebut dengan mengingat agar dalam walimah tersebut tidak ada pemborosan, kemubaziran lebih-lebih disertai dengan sifat angkuh dan membanggakan diri.9 b. Larangan perkawinan

Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang larangan perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan di larang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,

antara

seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/ bapak tiri;


(22)

d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman

susuan;

e. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri

dalam hal

seorang suami beristri lebih dari seorang;

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang

kawin.

Dalam ajaran Islam adalah tidak sah suatu perkawinan berlainan agama sebagaimana tersebut dalam AL-qur'an Surah Al-baqarah ayat 221 dan Al-mumtahanah ayat 10. Ada 2 (dua) bentuk larangan dalam perkawinan terhadap agama lain menurut pandangan hukum islam;

1.Wanita muslim dilarang nikah dengan laki-laki diluar anggota kelompok/clannya yang bukan muslimnya. Ketentuan ini berdasarkan surat Al Baqarah ayat 221 dan surat Al Mumtahanah ayat 10;

2. Laki-laki muslim dibolehkan kawin dengan wanita di luar anggota kelompok/clannya yang tergolong ahli kitab sesuai dengan Nash Al- Qur'an Surat Al Maidah ayat 5.

Undang-Undang Perkawinan menghendaki tidak adanya perkawinan antar agama. Undang-Undang Perkawinan hanya mengenal perkawinan satu agama, yaitu perkawinan yang dilangsungkan oleh calon suami-istri yang seagama yang dilangsungkan menurut hukum agamanya yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1).


(23)

Dengan demikian perkawinan antar agama tidak diperbolehkan lagi karena tidak sah, tetapi pada kenyataannya masih saja terjadi perkawinan antar agama di negeri ini yang biasanya dilakukan di luar negeri dan setelah itu dicatatkan di Kantor Catatan Sipil di Indonesia sehingga (seolah-olah) mendapat legalitas atas perkawinannya.

Larangan kawin menurut ajaran Islam terbagi atas dua bagian, yaitu larangan untuk selama-lamanya (tahrim muabbad) dan larangan untuk sementara (tahrim

muwaqat), larangan untuk selama-lamanya disebabkan oleh:

a) Karena keturunan (nasab) antara lain:

-Ibu-Ibu, maksudnya adalah Ibu kandung, Ibu dari Ibu, Ibu dari Ayah dan seterusnya ke atas.

-Anak-anak yang perempuan, maksudnya ialah anak-anak perempuan, cucu perempuan dan

seterusnya ke bawah.

- Saudara-saudara perempuan, maksudnya saudara-saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu.

- Saudara-saudara ayah yang perempuan, termasuk didalamnya saudara kakek yang perempuan.

- Saudara-saudara ibu yang perempuan, termasuk didalamnya saudara nenek yang perempuan.

-Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung, seayah dan seibu. -Anak-anak perempuan dari saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu. b) Karena mengawini seorang wanita (mushaharah) antara lain:


(24)

-Bekas isteri ayah. -Bekas isteri dari anak.

- Anak tiri, ialah anak-anak dari isteri yang telah dicampuri. c) Karena sesusuan.

-Ibu-ibu yang menyusukan, termasuk didalamnya ibu dari ibu yang menyusukan, ibu dari suami ibu yang menyusukan dan seterusnya keatas.

-Anak-anak perempuan dari ibu yang menyusukan. -Anak perempuan dari suami ibu yang menyusukan. -Saudara-saudara perempuan yang sesusuan.

-Anak dari saudara laki-laki sesusuan. -Anak dari saudara perempuan sesusuan.

-Saudara-saudara perempuan dari ibu yang menyusukan. -Saudara-saudara perempuan dari suami ibu yang menyusukan. b).Tahrim muwaqat.

Adalah larangan perkawinan dengan seorang wanita dalam waktu tertentu saja jika ada sebab yang mengharamkan, apabila sebab tersebut hilang maka perkawinan boleh dilaksanakan. Wanita yang termasuk dalam tahrim muwaqat adalah :

-Mengumpulkan dua orang wanita yang ada hubungan mahram.

-Wanita yang masih terikat oleh hak orang lain, (wanita bersuami dan wanita yang masih dalam masa iddah).

-Wanita yang musrik.


(25)

-Menikahi lebih dari empat wanita dalam waktu yang sama.10

Dalam ajaran Islam juga diterangkan mengenai perkawinan yang dilarang oleh agama antara lain sebagai berikut:

-Nikah mut'ah yaitu nikah yang tujuannya semata-mata untuk melepaskan hawa nafsu belaka, untuk bersenang-senang dan diadakan untuk waktu tertentu saja. -Nikah muhalil yaitu nikah yang tujuannya untuk menghalalkan bekas isteri yang

telah ditalak tiga kali bagi suami yang telah mentalaknya tersebut, kecuali bekas isteri telah menikah lagi dengan laki-laki lain dan telah bercerai dengan suaminya tersebut.

-Nikah syighar (nikah tukaran) yaitu seorang laki-laki menikahkan seorang wanita dibawah perwaliannya dengan laki-laki lain, dengan perjanjian bahwa laki-laki lain itu menikahkan pula seorang wanita dibawah perwaliannya dengan laki-laki itu tanpa kesediaan membayar mahar.

-Nikah tafwidh yaitu nikah yang didalam sighat akadnya tidak dinyatakan kesediaan membayar mahar oleh pihak calon suami kepada calon isteri.

4. Akibat Perkawinan

Perkawinan yang dilakukan oleh suami isteri secara sah akan membawa konsekuensi dan akibat di bidang hukum. Akibat hukum tersebut adalah :

(a) Timbulnya hubungan antara suami isteri.

Dalam hubungannya sebagai suami isteri dalam perkawinan yang sah, maka mereka mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk menegakkan rumah tangganya.

(b) Timbulnya harta benda dalam perkawinan.


(26)

Suami isteri yang terikat dalam perkawinan yang sah, akan mempunyai harta benda, baik yang diperoleh sebelum perkawinan maupun selama perkawinan. Pengaturan terhadap harta kekayaan perkawinan tersebut selanjutnya diatur pada Pasal 35 sampai Pasal 37 Undang - Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

(c) Timbulnya hubungan antara orang tua dan anak

Akibat hukum terakhir dari perkawinan yang sah adalah adanya hubungan antara orang tua dan anak. Pengaturan selanjutnya terhadap hal ini diatur dalam Pasal 45 sampai Pasal

49 Undang - Undang No. 1 Tahun 1974.

Apabila perkawinan dilaksanakan hanya secara Islam saja, dan tidak dicatatkan pada instansi yang berwenang dalam hal ini Kantor Urusan Agama, maka suami dapat saja mengingkari perkawinan tersebut. Untuk itu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai syarat sahnya suatu perkawinan.

B. Pencatatan Perkawinan

Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkrit mengaturnya. Pada masa Rasulullah SAW maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi


(27)

unsur-unsur dan syarat syaratnya, apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah istri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. 11

Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami istri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami istri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi antara mereka. Dengan adanya pencatatan ini, maka pernikahan ini baik secara hukum agama maupun hukum negara menjadi sah. Hal ini penting bagi pemenuhan hak-hak istri dan anak terutama soal pembagian harta waris, pengakuan status anak dan jika ada masalah, istri memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggugat suaminya. Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang - Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur mengenai pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan

Al-Imam 'ala ad-dinAbi Bakar bin Mas'ud al-Kasani. Bada 'I Usama 'i fitartib as-syaraa 'I. Cet 1. Darul Fikri. Beirut. 1996. hal 380


(28)

dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, menggunakan dasar hukum Pasal 2 ayat (2) PP No. 9 tahun 1975.

C. Penetapan Itsbat Nikah 1. Pengertian Itsbat Nikah

Itsbat berasal dari bahasa arab yang artinya penetapan atau pengesahan, sedangkan Nikah yang juga berasal dari bahasa Arab yaitu nikahun yang artinya perkawinan. Maka jika digabungkan Itsbat Nikah artinya penetapan perkawinan atau pengesahan nikah. Jadi itsbat nikah merupakan penetapan perkawinan yang dilakukan oleh Pengadilan dalam hal perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan Kutipan Akta Nikah.

Selain pengertian diatas Itsbat Nikah juga merupakan produk Pengadilan dalam arti bukan Peradilan yang sesungguhnya yang diistilahkan jurisdictio voluntaria.

Dikatakan bukan Peradilan yang sesungguhnya karena disana hanya ada Pemohon, yang memohon untuk ditetapkannya tentang sesuatu. Karena penetapan itu muncul sebagai produk Pengadilan atau permohonan Pemohon yang tidak berlawanan, maka diktum penetapan tidak akan pernah berbunyi menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan (diclaratoir) atau menciptakan

(constitutoirey.


(29)

Dasar hukum Itsbat Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat (2) yang menyatakan : "Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan Itsbatnya di Pengadilan Agama. Selain itu pada pasal 39 ayat (4) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 menyebutkan bahwa jika kantor yang dahulu mengeluarkan surat-surat, maksudnya Kutipan Akta Nikah dan sebagainya tidak bisa membuat duplikatnya karena catatannya telah rusak atau hilang atau karena sebab lain, maka untuk menetapkan sahnya nikah, talak, cerai, atau rujuk, harus dibuktikan dengan keputusan Pengadilan Agama".

Dengan disahkannya perkawinan mereka oleh Pengadilan Agama, maka perkawinan mereka telah sah dan dicatat menurut undang-undang dan sah menurut agamanya. Dengan demikian perkawinan mereka telah sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Undang-Undang yang berlaku".

3.Alasan Pengajuan Itsbat Nikah.

Isbat nikah mempunyai implikasi memberi jaminan lebih konkrit secara hukum atas hak anak dan perempuan jika pasangan suami-istri bercerai. Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, Bagi yang beragama Islam, namun tak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan Akta Nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah kepada Pengadilan Agama (Pasal 7 KHI) namun Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:


(30)

Para pihak berperkara yang akan mengajukan gugatan atau permohonan perceraian dalam hal ini tidak dapat menunjukkan kutipan atau duplikat buku nikah karena belum dicatatkan pada KUA Kecamatan tempat menikah dahulu, dapat mengajukan pengesahan nikah terlebih dahulu sebelum proses perceraian di Pengadilan Agama berjalan.

b. hilangnya akta nikah;

Hilangnya Akta Nikah dapat disebabkan oleh terjadinya bencana alam seperti banjir, kebakaran dan lain sebagainya sehingga menyebabkan Buku Akta Nikah yang ada di KUA ataupun buku Kutipan Akta Nikah yang ada pada pemegang buku hilang atau rusak sehingga perlu adanya pengesahan nikah dari Pengadilan Agama agar KUA dapat mencatat dan menerbitkan kembali buku Kutipan Akta Nikah yang baru.

c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

Keraguan mengenai sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan bisa disebabkan karena pada saat dilangsungkannya perkawinan, wali dari pihak mempelai wanita bertempat tinggal jauh dari tempat dilangsungkannya perkawinan sehingga tidak dapat hadir sebagai wali, dan akhirnya pemuka-pemuka agama setempat yang ditunjuk sebagai wali nikah dan perkawinan tersebut tidak dicatatkan pada Kantor Urusan Agama setempat. d. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang

perkawinan;

Perkawinan yang dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


(31)

banyak belum dicatatkan pada Kantor Urusan Agama kecamatan tempat menikah.

e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan

menurut UU No. 1 Tahun 1974 (hubungan kekerabatan, semanda, sepersusuan atau

hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi/kemenakan dari istri, dalam hal suami

beristri lebih dari seorang).

Berdasarkan uraian syarat-syarat Itsbat Nikah sebagaimana tersebut di atas maka dapat dimengerti bahwa tidak semua peristiwa perkawinan dapat diitsbatkan oleh Pengadilan Agama. Artinya permohonan Itsbat Nikah yang diajukan melalui Pengadilan Agama setelah melalui proses persidangan ternyata syarat-syarat sebagaimana tersebut secara yuridis telah terpenuhi maka Majelis Hakim harus mengabulkan permohonan penetapan nikah tersebut. Namun sebaliknya bila syarat-syarat sebagaimana tersebut diatas tidak terpenuhi, maka secara yuridis hakim harus menolak permohonan Itsbat Nikah tersebut karena tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Kecuali apabila Majelis Hakim mempunyai argumentasi logis dalam pertimbangannya seperti pertimbangan psikologis, sosiologis atau pertimbangan lainnya yang apabila tidak dikabulkan akan menimbulkan mudharat bagi pihak-pihak ataupun bagi keluarganya. Seperti dengan tidak dikabulkannya permohonan pengesahan nikah akan menjadikan nasib Pemohon atau anak dari Pemohon yang berkepentingan atas pengesahan nikah tersebut mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan Akta Kelahiran atau


(32)

keperluan lainnya. Dengan demikian sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya Hakim berijtihad kemudian mengabulkan permohonan pengesahan nikah yang secara yuridis tidak terpenuhi syarat-syarat yang ditentukan diatas.

4. Syarat-syarat dan prosedur Pengajuan Itsbat Nikah.

Itsbat nikah merupakan perkara yang tidak mengandung unsur sengketa atau disebut juga perkara voluntair. Pengadilan Agama memiliki kewenangan itu dengan syarat bila dikehendaki oleh undang-undang. Prinsipnya pengadilan tidak mencari-cari perkara melainkan perkara itu telah menjadi kewenangannya karena telah diberikan undang-undang.

Pengesahan Nikah (Itsbat Nikah): yaitu permohonan agar akad nikah yang pernah dilaksanakan di masa lalu ditetapkan sah karena tidak adanya bukti otentik perkawinannya. Adapun Prosedurnya sebagai berikut:

1.Suami dan/atau isteri, janda atau duda, anak-anak, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu sebagai Pemohon, mengajukan permohonan tertulis ke pengadilan;

2.Permohonan diajukan ke pengadilan agama di tempat tinggal Pemohon; 3.Permohonan harus memuat:

a)identitas pihak (Pemohon/para Pemohon);

b)posita (yaitu: alasan-alasan/dalil yang mendasari diajukannya permohonan); c)petitum (yaitu hal yang dimohon putusannya dari pengadilan).


(33)

Mengenai itsbat nikah ini ada Permenag No. 3 Tahun 1975 yang dalam Pasal 39 ayat (4) menentukan bahwa jika KUA tidak bisa membuatkan duplikat akta nikah karena catatannya telah rusak atau hilang, maka untuk menetapkan adanya nikah, cerai atau rujuk harus dibuktikan dengan penetapan Pengadilan Agama . Namun, aturan itu hanya berkaitan dengan perkawinan yang dilangsungkan sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bukan perkawinan yang terjadi sesudahnya.

Untuk dapat diterimanya Itsbat Nikah seseorang terlebih dahulu harus mempunyai alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar bagi Hakim Pengadilan Agama melakukan Itsbat Nikah, disamping itu pula harus memenuhi syarat-syarat untuk dapat diterima dan didaftarkan permohonan Itsbat Nikahnya di Pengadilan Agama.Syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya yaitu :

a. Pemohon yang mengajukan permohonan Itsbat Nikah harus beragama Islam. b. Surat permohonan secara tertulis, atau dalam hal buta huruf catatan

permohonan.

c. Surat keterangan kependudukan/tempat tinggal/domisili bagi Pemohon.

d. Vorschot atau panjar biaya perkara, kecuali bagi yang miskin dapat

melampirkan Surat Keterangan Miskin dari Lurah/Kepala Desa yang disahkan sekurang-kurangnya oleh camat".12

Apabila Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi Pemohon untuk mengajukan Itsbat Nikah, maka Hakim memberikan Penetapannya berupa mengesahkan pernikahannya. Menurut Hukum Acara Perdata, apabila 3 hal di atas terpenuhi, Pengadilan secara formal tidak boleh menolak pendaftaran


(34)

perkaranya, sebab syarat-syarat kelengkapan lainnya sudah merupakan syarat-syarat untuk pemeriksaan bahkan untuk syarat pembuktian perkara.

5. Prosedur pengajuan Itsbat Nikah. a) Tahap Pertama

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa: " dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah dapat diajukan Itsbat Nikahnya ke Pengadilan Agama".

Dalam hal mengajukan Itsbat Nikah ini seseorang wajib mengajukan permohonan secara tertulis disertai alasan-alasan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya dengan membawa Surat Keterangan Kependudukan/tempat tinggal/domisili serta surat-surat lain yang dibutuhkan, namun jika Pemohon tidak bisa menulis (buta huruf) maka permohonan boleh diajukan secara lisan, kemudian didaftarkan di Kepaniteraan. Jadi bagi seseorang yang bermaksud mengajukan Itsbat Nikah terlebih dahulu harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan Agama dengan disertai alasan-alasannya dan surat-surat lain yang diperlukan.

b) Tahap Kedua

Saat Kepaniteraan Pengadilan Agama menerima berkas, surat permohonan tersebut akan diperiksa oleh petugas yang telah ditunjuk untuk itu melalui tahapan yaitu:

1. Apakah surat permohonan tersebut sudah jelas, mulai dari identitas

pihak-pihak, bagian posita dan petitumnya, apakah posita sudah terarah sesuai dengan petitum dan sebagainya.

Roihan A Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama. Rajawali Pers. Jakarta. 1990. hal 64


(35)

2. Apakah perkara tersebut termasuk kewenangan Pengadilan Agama, baik kewenangan relatif maupun kewenangan absolut.

Selanjutnya bila syarat kelengkapan permohonan sudah terpenuhi, penelitian sudah dilakukan, maka Pengadilan dilarang untuk tidak menerima didaftarkannya perkara tersebut, hal ini sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan kemudian dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama. c) Tahap Ketiga

Pengadilan dalam melakukan pemeriksaan perkara permohonan harus melalui pemanggilan pihak-pihak. "Pemanggilan pihak-pihak untuk lingkungan Peradilan Agama telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975".

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan PP Nomor 9 Tahun 1975 bahwa pemanggilan kepada Pemohon dalam perkara permohonan cerai talak, cerai gugat, izin poligami termasuk diantaranya permohonan Itsbat Nikah selambat-lambatnya hari ke 27 sejak perkara terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama, sebab sidang pertama untuk perkara-perkara tersebut selambat-lambatnya 30 hari sejak perkara tersebut terdaftar, sedangkan surat panggilan sekurang-kurangnya 3 hari sebelum sidang sudah diterima oleh pihak yang dipanggil.

d) Tahap Keempat

Setelah diperiksa oleh Majelis Hakim dan apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi Pemohon untuk melakukan Itsbat Nikah, maka Pengadilan memberikan penetapannya yang berupa penetapan Itsbat Nikah. Penetapan berupa


(36)

menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon serta mengesahkan telah terjadinya pernikahan Pemohon. Demikian prosedur Itsbat Nikah di Pengadilan yang telah diatur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. 6. Bentuk, Isi dan Kekuatan Penetapan

Bentuk dan isi penetapan terdiri dari :

a. Identitas para pihak pada permohonan penetapannya hanya memuat identitas Pemohon, kalaupun disitu termuat identitas Termohon, akan tetapi Termohon bukanlah pihak;

b. Tidak akan ditemui kata-kata "Berlawanan dengan " seperti pada putusan; c. Tidak akan ditemui kata-kata "Tentang duduk perkaranya" seperti pada

putusan melainkan langsung diuraikan apa permohonan Pemohon; d. Amar penetapannya bersifat declaratoire atau constitutoire;

e. Pada putusan didahului kata-kata " memutuskan" sedangkan pada penetapan dengan kata-kata "menetapkan".

f. Biaya perkara selalu dipikul atau dibebankan kepada Pemohon sedangkan pada putusan dibebankan kepada salah satu pihak yang kalah atau ditanggung bersama-sama oleh pihak Penggugat dan Tergugat, tetapi dalam perkara perkawinan tetap dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon;

g. Dalam penetapan tidak akan terjadi reconventie dan interventie atau

vrijwaring;

Dalam hal kekuatan, suatu penetapan hanya berlaku untuk Pemohon sendiri, untuk ahli warisnya dan untuk orang yang memperoleh hak dari padanya, seperti pada penetapan pengesahan nikah bagi keperluan pensiun Pegawai Negeri Sipil dari suami isteri yang tidak ada sengketa antara keduanya, tetapi saat menikah


(37)

dulu pencatatan pernikahan belum begitu tertib sehingga mereka tidak mendapatkan Akta Nikah.


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis dan konsisten. Sistematis artinya menggunakan sistem tertentu, metodelogis artinya menggunakan metode atau cara tertentu dan konsistensi berarti tidak ada hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu.18 Penelitian sangat diperlukan untuk memperoleh data yang akurat sehingga dapat menjawab permasalahan sesuai dengan fakta atau data yang ada dan dapat dipertanggung jawabkan.

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian.19 Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara normatif. Penelitian normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku bagi setiap orang. Adapun norma yang berlaku tersebut adalah norma hukum tertulis. Penelitian normatif disebut juga penelitian hukum teoritis atau dogmatik karena tidak mengkaji pelaksanaan atau implementasi hukum

18

Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan tian Hukum. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. hal 2 19 Ibid. hal 112


(39)

B. Sumber dan Jenis Data

Data adalah sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber. Adapun data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang sumbernya sebagai berikut :

Data Sekunder adalah data yang bersumber pada studi kepustakaan. Studi kepustakaan tersebut terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, yang masing-masing sumbernya sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan secara mengikat secara umum atau mempunyai kekuatan mengikat pihak- pihak berkepentingan, meliputi :

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2. Undang-Undang nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

4. Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) tanggal 10 Juni 1991 No 1 tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI). 5. Penetapan perkara Nomor

53/Pdt.P/2012/PA.Ktbm, Nomor 54/Pdt.P/2012/PA.Ktbm dan Nomor 04/Pdt.P/2013/PA.Ktbm.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer meliputi :

1. Literatur-literatur yang berkaitan dengan perkawinan. 2. Makalah dan artikel tentang perkawinan.


(40)

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder ( kamus hukum, ensiklopedia )

C. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka.

Studi ini dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang dilakukan dengan jalan mempelajari, menelaah, dan mengutip data dari berbagai buku literatur dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan mempunyai hubungan dengan masalah yang dibahas.

D. Pengolahan data

Setelah data berhasil dikumpulkan dari kegiatan penelitian di lapangan, maka kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pengolahan data dilakukan dengan serangkaian pemeriksaan kelengkapannya, kemudian mengidentifikasi sesuai dengan pokok bahasannya masing-masing selanjutnya disusun secara sistematika dan terperinci.

E. Analisis Data

Analisis data yang penulis gunakan didalam penelitian ini adalah analisis secara deskripsi kualitatif, yaitu menyajikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas, dan terperinci, kemudian di interpretasikan guna memperoleh suatu kesimpulan.


(41)

BAB V

KE SIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan.

Berdasarkan pembahasan dalam bab sebelumnya, maka dapat di simpulkan : 1. Alasan para pihak mengajukan permohonan itsbat nikah pada Pengadilan

Agama Kotabumi dikarenakan para Pemohon sangat memerlukan buku nikah sebagai bukti outentik pernikahan. Setelah melalui proses persidangan, Majelis Hakim yang menyidangkan mengabulkan permohonan tersebut kemudian terbitlah penetapan dari Pengadilan Agama Kotabumi yang menjadi dasar diterbitkannya buku nikah yang baru. Pada umumnya buku nikah dipergunakan sebagai salah satu syarat untuk mengurus berbagai keperluan seperti mengurus perceraian, ibadah haji, membuat akta kelahiran, mengurus taspen, syarat untuk mendaftar sebagai anggota TNI atau POLRI atau untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.

2. Majelis Hakim mengabulkan permohonan pada perkara Itsbat Nikah Nomor: 54/Pdt.P/2012/PA.Ktbm telah sesuai dan tepat bila dilihat baik dari segi hukum Islam maupun dari perundang-undangan. Artinya setelah melalui proses persidangan peristiwa pernikahan antara Pemohon I dan Pemohon II benar terjadi dan dilaksanakan sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan, antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada larangan perkawinan baik secara kekerabatan, sepersusuan ataupun semanda, dan perkawinan itu sendiri tidak ada larangan baik yang bersifat sementara maupun permanen.Mengenai


(42)

perkara Nomor 53/Pdt.P/2012/PA.Ktbm dan perkara Nomor 04/Pdt.P/2013/PA.Ktbm, berdasarkan Pasal 7 ayat 3 huruf (d) perkawinan tersebut dapat ditolak karena perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II dilaksanakan setelah berlaku efektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, namun Majelis Hakim mempunyai pertimbangan lain berdasarkan hukum Islam yang menyatakan bahwa pernikahan adalah akad yang sangat kuat untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah serta keberadaannya perlu dilindungi hukum Negara, disamping itu Majelis Hakim berpendapat bahwa Pernikahan antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada larangan kawin berdasarkan Pasal 8 s.d. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 39 s.d 44 Kompilasi Hukum Islam serta Pemohon I dan Pemohon II telah cukup alasan berdasar pada Pasal 7 ayat (2), (3) huruf e dan ayat 4 Kompilasi Hukum Islam sehingga Majelis Hakim berkesimpulan dapat mengabulkan Permohonan Pemohon I dan Pemohon II. 3.Akibat hukum yang timbul sebagai akibat dikabulkannya permohonan itsbat

nikah pada perkara nomor 53/Pdt.P/2012/PA.Ktbm, 54/Pdt.P/2012/PA.Ktbm dan 04/Pdt.P/2012/PA.Ktbm adalah disahkannya perkawinan para pemohon sehingga perkawinan mereka diakui menurut perundang-undangan yang berlaku dan dapat dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah wilayah KUA kecamatan tempat pernikahan para Pemohon dilangsungkan atau tempat para Pemohon berdomisili saat ini. Sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan


(43)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 5 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 8 Jo Pasal 35 huruf (a)

B.Saran.

Kepada Masyarakat apabila telah melangsungkan pernikahan namun belum dicatatkan pada KUA hendaklah segera dicatatkan sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan agar tidak menemui kesulitan bila hendak mengurus sesuatu yang berhubungan dengan hak-hak keperdataan yang ada hubungannya dengan diri serta keluarga. Apabila masyarakat tidak mempunyai akta nikah padahal mereka telah melangsungkan pernikahan, atau karena sesuatu dan lain hal bukti akta nikah hilang atau rusak, maka segera mengajukan permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat mereka tinggal.


(44)

(45)

(1)

39

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder ( kamus hukum, ensiklopedia )

C. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka.

Studi ini dilakukan untuk mendapatkan data sekunder yang dilakukan dengan jalan mempelajari, menelaah, dan mengutip data dari berbagai buku literatur dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan mempunyai hubungan dengan masalah yang dibahas.

D. Pengolahan data

Setelah data berhasil dikumpulkan dari kegiatan penelitian di lapangan, maka kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pengolahan data dilakukan dengan serangkaian pemeriksaan kelengkapannya, kemudian mengidentifikasi sesuai dengan pokok bahasannya masing-masing selanjutnya disusun secara sistematika dan terperinci.

E. Analisis Data

Analisis data yang penulis gunakan didalam penelitian ini adalah analisis secara deskripsi kualitatif, yaitu menyajikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis, jelas, dan terperinci, kemudian di interpretasikan guna memperoleh suatu kesimpulan.


(2)

77

BAB V

KE SIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan.

Berdasarkan pembahasan dalam bab sebelumnya, maka dapat di simpulkan : 1. Alasan para pihak mengajukan permohonan itsbat nikah pada Pengadilan

Agama Kotabumi dikarenakan para Pemohon sangat memerlukan buku nikah sebagai bukti outentik pernikahan. Setelah melalui proses persidangan, Majelis Hakim yang menyidangkan mengabulkan permohonan tersebut kemudian terbitlah penetapan dari Pengadilan Agama Kotabumi yang menjadi dasar diterbitkannya buku nikah yang baru. Pada umumnya buku nikah dipergunakan sebagai salah satu syarat untuk mengurus berbagai keperluan seperti mengurus perceraian, ibadah haji, membuat akta kelahiran, mengurus taspen, syarat untuk mendaftar sebagai anggota TNI atau POLRI atau untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi.

2. Majelis Hakim mengabulkan permohonan pada perkara Itsbat Nikah Nomor: 54/Pdt.P/2012/PA.Ktbm telah sesuai dan tepat bila dilihat baik dari segi hukum Islam maupun dari perundang-undangan. Artinya setelah melalui proses persidangan peristiwa pernikahan antara Pemohon I dan Pemohon II benar terjadi dan dilaksanakan sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan, antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada larangan perkawinan baik secara kekerabatan, sepersusuan ataupun semanda, dan perkawinan itu sendiri tidak ada larangan baik yang bersifat sementara maupun permanen.Mengenai


(3)

78

perkara Nomor 53/Pdt.P/2012/PA.Ktbm dan perkara Nomor 04/Pdt.P/2013/PA.Ktbm, berdasarkan Pasal 7 ayat 3 huruf (d) perkawinan tersebut dapat ditolak karena perkawinan antara Pemohon I dan Pemohon II dilaksanakan setelah berlaku efektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, namun Majelis Hakim mempunyai pertimbangan lain berdasarkan hukum Islam yang menyatakan bahwa pernikahan adalah akad yang sangat kuat untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah serta keberadaannya perlu dilindungi hukum Negara, disamping itu Majelis Hakim berpendapat bahwa Pernikahan antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada larangan kawin berdasarkan Pasal 8 s.d. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 39 s.d 44 Kompilasi Hukum Islam serta Pemohon I dan Pemohon II telah cukup alasan berdasar pada Pasal 7 ayat (2), (3) huruf e dan ayat 4 Kompilasi Hukum Islam sehingga Majelis Hakim berkesimpulan dapat mengabulkan Permohonan Pemohon I dan Pemohon II. 3.Akibat hukum yang timbul sebagai akibat dikabulkannya permohonan itsbat

nikah pada perkara nomor 53/Pdt.P/2012/PA.Ktbm, 54/Pdt.P/2012/PA.Ktbm dan 04/Pdt.P/2012/PA.Ktbm adalah disahkannya perkawinan para pemohon sehingga perkawinan mereka diakui menurut perundang-undangan yang berlaku dan dapat dicatatkan kepada Pegawai Pencatat Nikah wilayah KUA kecamatan tempat pernikahan para Pemohon dilangsungkan atau tempat para Pemohon berdomisili saat ini. Sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan


(4)

79

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo Pasal 5 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 8 Jo Pasal 35 huruf (a)

B.Saran.

Kepada Masyarakat apabila telah melangsungkan pernikahan namun belum dicatatkan pada KUA hendaklah segera dicatatkan sesuai dengan aturan hukum dan perundang-undangan agar tidak menemui kesulitan bila hendak mengurus sesuatu yang berhubungan dengan hak-hak keperdataan yang ada hubungannya dengan diri serta keluarga. Apabila masyarakat tidak mempunyai akta nikah padahal mereka telah melangsungkan pernikahan, atau karena sesuatu dan lain hal bukti akta nikah hilang atau rusak, maka segera mengajukan permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat mereka tinggal.


(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Penetapan Isbat Nikah Perkawinan Campuran (Analisis Penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor: 0044/Pdt.P/2014/PA.Tgrs.)

0 31 108

SKRIPSI Tinjauan Yuridis Tentang Itsbat Nikah (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta).

0 3 15

PENDAHULUAN Tinjauan Yuridis Tentang Itsbat Nikah (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta).

0 1 17

TINJAUAN YURIDIS TENTANG ITSBAT NIKAH (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta) Tinjauan Yuridis Tentang Itsbat Nikah (Studi Kasus di Pengadilan Agama Surakarta).

0 1 16

PELAKSANAAN ADOPSI ANAK MELALUI PENGADILAN AGAMA (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Karanganyar) Pelaksanaan Adopsi Anak Melalui Pengadilan Agama (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Karanganyar).

0 1 20

PELAKSANAAN ADOPSI ANAK MELALUI PENGADILAN AGAMA (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA KARANGANYAR) Pelaksanaan Adopsi Anak Melalui Pengadilan Agama (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Karanganyar).

0 1 10

PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA (STUDI KASUS Pelaksanaan Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten).

0 0 14

KEKUATAN HUKUM DARI PENETAPAN PENGADILAN AGAMA TENTANG PERMOHONAN PERUBAHAN BIODATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA KUDUS) - STAIN Kudus Repository

0 0 7

KEKUATAN HUKUM DARI PENETAPAN PENGADILAN AGAMA TENTANG PERMOHONAN PERUBAHAN BIODATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA KUDUS) - STAIN Kudus Repository

0 0 30

KEKUATAN HUKUM DARI PENETAPAN PENGADILAN AGAMA TENTANG PERMOHONAN PERUBAHAN BIODATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA KUDUS) - STAIN Kudus Repository

0 0 39