Makalah akang dan lembaga pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Lembaga Pendidikan Islam
Kata “lembaga”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai badan atau organisasi yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan
keilmuan atau suatu usaha. (Poerwadarminta, 1976:582). Sedangkan kata
“pendidikan” mempunyai arti yang kompleks dan bervariasi. Dalam UU Sisdiknas
Nomor 20 Tahun 2003, penididikan diartikan sebagai usaha dasar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya.
Sumadi Suryabrata (1995:317) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha
manusia (pendidik) untuk dengan penuh tanggungjawab membimbing anak didik
ke kedewassaan.
Sementara itu, John Dewey mengartikan pendidikan sebagai suatu proses
pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan
biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi
secara sengaja dan dilwmbagakan untuk menghasilkan kesinambungan sosial.
Proses ini melibatkan pengawasan dan pengembangan dari orang yang belum
dewasa dan kelompok dimana ia hidup (yunus, 1997:7)
Definisi-definisi pendidikan diatas mengandung makna yang hampir sama.
Semuanya
memberi
penekanan
bahwa
pendidikan
dilaksanakan
untuk
mengantarkan anak didik dalam menghadapi masa depannya. Dengan demikian,
pendidikan selalu berorientasi untuk masa depan, tanpa harus melupakan sejarah
dan masa lalu.
Dari definisi pendidikan tersebut selanjutnya dapat dirumuskan suatu
pengertian tentang pendidikan islam, sebagaimana dikemukakan oleh M. Arifin
(1996:10), yang mengartikan pendidikan sebagai latihan mental, moral dan fisik
(jasmaniyah) yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan
tugas kewajiban dan tanggungjawab dalam masyarakat selaku hamba Allah.
Penjelasan tersebut mengisyaratkan bahwa proses pendidikan islam adalah
bersumber pada pendidikan yang diberikan oleh Allah sebagai pendidik seluruh
ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan
islam yang terkandung di dalam kata at-tarbiyah terdiri atas 4 unsur pendekatan,
yaitu (1) memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (Baligh);
(2) mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan; (3) mengarahkan
seluruh fitrah menuju kesempurnaan; dan (4) melaksanakan pendidikan secara
bertahap. (An-Nahlawy. 1992:32).
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka lembaga pendidikan
islam adalah satuan pendidikan atau kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal dan informal pada
setiap jenjang dan jenis pendidikan, yang didalamnya berlangsung proses
pendidikan, pembelajaran dan latihan intelektual, mental, moral, dan fisik yang
menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
serta tanggungjawab dalam masyarakat selaku hamba Allah SWT.
Namun demikian, secara de facto lembaga pendidikan islam yang dikenal
masyarakat Indonesia biasanya terdiri dari pondok pesantren, madarasah dan
perguruan tinggi islam. Ketiga institusi pendidikan di tanah air itulah yang selama
ini dikenal sebagai lembaga pendidikan islam. Kalaupun di Indonesia juga
terdapat
lembaga-lembaga
pendidikan “umum”
yang memiliki
semngat
keislaman, namun masyarakat tetap memiliki citra dan persepsi yang kuat bahwa
institusi pendidikan islam terbatas pada pondok pesantren, madrasah, dan
perguruan tinggi islam.
Persepsi dan citra yang “kurang tepat” inni tampaknya berangkat dari
pandangan tentang adanya “dualisme ilmu” dikalangan masyarakat muslim, yaitu
dualisme ilmu antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu sekular” di sisi lain.
Dualisme antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama adalah suatu pengertian
yang keliru, yang diakibatkan oleh dualisme institusi pendidikan antara
pendidikan umum dan pendidikan agama. Keberadaan dualisme institusi
pendidikan di Indonesia dan diberbagai belahan dunia muslim sulit dihindari.
Karena proses sejarah yang panjang telah terbentuk dan seolah-olah
mengharuskan adanya dualisme institusi pendidikan tersebut.
Namun, jika dualisme institusi pendidikan itu berpengaruh terhadap
lahirnya pengertian mengenai dualisme ilmu, hal ini sungguh tidak dapat diterima.
Karena sualisme ilmu tidak hanya bertentangan dengan watak dasar ajaran islam,
melainkan juga bertentangan dengan watak dasar manusia sebagai makhluk Allah
SWT. Murthado Muthahari, seorang ulama, filosof dan ilmuwan islam
menyatakan bahwa iman dan sains merupakan karakteristik insani. Manusia
memiliki kecenderungan untuk menuju ke arah kebenaran-kebenaran dan wujudwujud suci, dan tidak dapat hidup tanpa menyucikan dan memuja sesuatu. Ini
adalah kecenderungan iman yang merupakan fitrah manusia. Tetapi di sisi lain
manusia pun memiliki kecenderungan untuk selalu ingin memahami alam
semesta, serta memiliki kemampuan untuk memandang masa lalu, masa sekarang,
dan masa mendatang, yang semuanya merupakan ciri khas sains. Karena iman dan
sains merupakan karakteristik insani, maka pemisahan atau dualisme antara
keduanya justru akan menurunkan martabat manusia.
Upaya untuk menghilangkan dualisme ilmu telah banyak ditawarkan oleh
cendekiawan muslim. Pemikiran pemikiran mengenai “islamisasi pengetahuan “
(Ismail Raji al-Faruqi), “dewesternisasi pengetahuan” ( Syed al-Naquib al-Attas),
dan gerakan-gerakan seperti AMSS ( Assocation of Social Scientist) di Amerika
Serikat merupakan gambaran dari keinginan unutk memberi warna agama
terhadap sains.
Gerakan “Islamisasi Pengetahua” atau “ Dewesternisasi pengetahuan”
memang tidak dimaksudkan langsung untuk menghilangkan pengertian dualisme
ilmu, antar ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Namun dilihat dari
substansinya, gagasan-gagasan tersebut akan memiliki dampak yang sangat positif
bagi perkembangan iptekyang islami.
Dalam
pengamatan
Hanna
Djumhana
Bastaman,
salah
seorang
cendekiawan muslim di bidang psikologi kepribadian dan psikodiagnostik,
“islamisasi pengetahuan” setidaknya memiliki beberapa bentuk mulai dari yang
sepurfisial sampai bentuk yang agak mendasar, yang menrutnya diistilahkan
sebagai berikut:
Similarisasi, yaitu menyamakan begitu saja konsep-konsep sains dengan
konsep-konsep agama, padahal belum tentu sama. Misalnya menganggap bahwa
ruh sama dengan jiwa; atau menyamakan konsep-konsep nafs al-lawwamah, nafs
amarah, nafs al-muthma’innah yang terdapat dalam Al-Quran dengan Id, ego, dan
super ego dalam psikologi.
Paralelisasi, yaitu menganggap paralel antara konsep yang berasal dari
Al-Quran dengan konsep yang berasal dari sains karena kemiripan konotasinya,
tanpa menyamakan keduanya. Misalnya menganggap perang dunia sejalan dengan
kiamat.
Komplementasi, yaitu antara sains dan agama saling mengisi dan saling
memperkuat satu sama lain, tetapi tetap mempertahankan eksistensi masingmasing. Misalnya manfaat puasa ramadhan (untuk kesehatan) dijelaskan dengan
prinsip-prinsip dietary dari ilmu kedokteran.
Komparasi,
yaitu
membandingkan
konsep/teori
sains
dengan
konsep/wawasan agama mengenai gejala-gejala yang sama. Misalnya teori
motivasi dalam psikologi dibandingkan dengan konsep motivasi yang dijabarkan
dari ayat-ayat Al-Quran.
Induktifikasi, yaitu asumsi-asumsi dasar dari teori-teori ilmiah yang
didukung oleh temuan-temuan empirik dilanjutkan pemikirannya secara
teoritik/abstrak ke arah pemikiran metafisik/ gaib, kemudian dihubungkan dengan
prinsip-prinsip agama mengenai hal itu.
Verifikasi, yaitu mengungkapkan hasil-hasil temuan ilmiah yang
menunjang dan membuktikan kebenaran-kebenaran Al-Quran.
B. Dasar Penyelenggaraan Lembaga Pendidkan Islam
Penyelenggaraan lembaga pendidikan Islam di Indonesia memiliki dua
dasar atau landasan, yaitu (1) landasan atau dasar ideal, dan (2) landasan
konstitusional.
1. Landasan atau dasar ideal
Menurut Ramayulis (2004:54) dasar ideal pendidikan islam mencakup
Al-Quran, Hadits, Atsar Sahabat, dan Ijtihad.
a. Al-Quran
Umat Islam adalah umat yang dikaruniai Tuhan suatu kitab
suci yang lengkap dengan segala petunjuk yang meliputi seluruh aspek
kehidupan dan bersifat universal. Dengan demikian, maka dasar
penyelenggaraan lembaga pendidikan Islam memiliki landasan dan
filsafat hidupyang berdasarkan kepada kitab suci itu, yaitu Al-Quran.
Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pendidik pertama, pada masa awal
pertumbuhan islam telah menjadikan Al-Quran sebagai dasar
pendidikan Islam di samping Sunnah beliau sendiri.
b. Sunnah (Hadits)
Dasar yang kedua selain Al-Quran adalah Sunnah
Rasulullah yaitu perkataan, perbuatan, ketetapan, dan tradisi kehidupan
Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya. Amalan yang dikerjakan oleh
Rasulullah s.a.w. dalam proses perubahan hidup sehari-hari menjadi
sumber utama pendidikan Islam setelah Al-Quran, karena Allah SWT.
Menjadikan Muhammad s.a.w. sebagai tauladan bagi umatnya.
Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Ahzab: 21 yang
artinya:
“sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.”
Konsepsi
dasar
pendidikan
yang
dicontohkan
nabi
Muhammad s.a.w menurut Ramayulis (2004:56) adalah sebagai
berikut:
a). Disampaikan sebagai Rahmatan Lil Alamin
b). Apa yang disampaikan merupakan kebenaran Mutlak
c). Kehadiran Nabi sangat evaluator atau segala aktifitas
pendidkan
d). Prilaku nabi sebagai teladan bagi umatnya
c. Ijtihad
Ijtihad dalam penggunaanya dapat meliputi seluruh aspek
ajaran Islam, termasuk juga aspek pendidikan. Ijtihad di bidang
pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran Islam yang terdapat
dalam Al-Quran dan Hadist hanya berupa prinsip-prinsip pokok saja.
Bila ternyata ada yang agak terinci, maka rincian itu merupakan
contoh Islam dalam menerapkan prinsip pokok tersebut. Sejak
diturunkan ajaran Islam kepada Nabi Muhammad s.a.w. sampai
sekarang, islam telah tumbuh dan berkembang melalui Ijthad sebagai
akibat adanya perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan
berkembang terus-menerus.
2. Landasan Konstitusional
Keberadaan lembaga pendidikan Islam secara konstitusional telah
diakui, terutama dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Pada BAB VI bagian kesembilan tentang pendidikan keagamaan
Undang-undang
tersebut
menyatakan:
“
pendidikan
keagamaan
diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 30).
Kemudian pada pasal yang sama ayat (2,3 dan 4) dinyatakan: “pendidikan
keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau
menjadi
ahli
ilmu
agama.
Pendidikan
keagamaan
dapat
diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pebhaja
samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
C. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Lembaga Pendidikan Islam
Prinsip pendidikan islam berdasarkan atas dasar yang sama dan
berpangkal dari pandangan islam secara filosofis terhadap jagat raya, manusia,
masyarakat, ilmu pengetahuan, dan akhlak. Pandangan Islam terhadap masalahmasalah tersebut melahirkan berbagai prinsip dalam pendidikan Islam.
Menurut Ramayulis (2004:8-16) prinsip-prinsip pendidikan islam adalah
sebagai berikut.
1. Prinsip yang berangkat dari Hakikat Manusia Menurut Islam
a. I’tirah Manusia
Dalam perspektif Islam, manusia pada hakikatnya tidak
dapat dipisahkan dari agama. Itulah fitrah manusia. Memang tidak
sedikit orang yang percaya bahwa bila pengetahuan dan teknologi
semakin maju, dan bila manusia telah sanggup mengatasi berbagai
rasa takut ketika berhadapan dengan fenomena alam yang dahsyat,
maka agama akan semakin ditinggalkan, karena peran agama
dipandang semakin tidak signifikan. Pandangan seperti ini dapat
ditemukan dalam tiga tahap perkembangan kebudayaan manusia,
yaitu tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. (van
peursen, 1989:18).
Tahap Mistis adalah sikap manusia yang merasakan dirinya
terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib disekelilingnya, yaitu
kekuasaan dewa-dewa alam raya. Tahap ontologis ialah sikap
manusia yang tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan mistis,
melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal ihwal. Manusia
mulai mengambil jarak terhadap sesuatu yang dulunya dianggap
sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori
mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) yang kemudian
menghasilkan ilmu pengetahuan. Tahap selanjutnya, yaitu tahap
fungsional ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam
manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya
(mistis),
ia
tidak
lagi
mengambil
jarak
terhadap
objek
penelitiannya (ontologis). Ia ingin mengadakan relasi relasi baru. Ia
sudah dapat menguasai dan menaklukan lingkungan sekitarnya.
Karena sudah mencapai tahap fungsional, maka fungsi dan
eksistensi agama semakin hilang. Demikian menurut teori tiga
tahap perkembangan kebudayaan manusia.
Namun pada kenyataannya, betapapun tingginya kemajuan
yang telah dicapai manusia, dan betapapun manusia telah
sedmikian rupa mampu menguasai alam lingkungannya, sehingga
perasaan takut terhadap alam yang dahsyat semakin hilang;
ternyata kebutuhan manusia terhadap agama tidak berkurang,
justru ada kecenderungan semakin modern manusia, maka semakin
kuat kebutuhannya terhadap agama. Itulah sebabnya, futurolog
Amerika Serikat, john Naisbitt dan Patricia Aburdene, meramalkan
akan terjadinya “ kebangkitan agama pada milenium ketiga”.
(Naisbitt & Aburdene, 1990: 254).
Mengapa demikian? Karena agama adalah fitrah manusia
dan manusia tidak akan pernah bisa dipisahkan dari fitrahnya.
Memisahkan
agama
dari
manusia
sama
artinya
dengan
memisahkan manusia dari pikirannya, nafsunya, dan segala fitrah
yang ada pada diri manusia. Itulah kurang lebih maksud dari
firman Allah SWT pada surah Ar-Rum ayat 30 yang artinya:
”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); (tetaplah diatas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan terhadap fitrah
Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”.
b. Manusia tersusun dari dua unsur yaitu ruh dan jasad
Menurut Quraish Shihab (1994:228), dari segi jasad
sebagian karakteristik manusia sama dengan binatang, sama-sama
memiliki dorongan untuk berkembang dan mempertahankan diri
serta berketurunan. Namun dari segi ruh, manusia sama sekali
berbeda dengan makhluk lain, Allah menyempurnakan kejadian
manusia dengan meniupkan ruh kepada struktur jasad manusia
untuk menerimanya.
Ruh ditiupkan kedalam diri manusia, sehingga manusia
dapat hidup berkembang. Ruh mempunyai dua daya, daya berfikir
yang disebut Aql, dan daya rasa yang disebut Qalb. Dengan daya
Aql manusia memperoleh ilmu pengetahuan, memperhatikan dan
menyelidiki alam sekitar. Dengan daya Qalb, manusia berusaha
mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan.
c. Manusia memiliki kebebasan berkehendak
Manusia memiliki karakter kebebasan berkemauan untuk
memiliki dan memutuskan tingkah lakunya sendiri. Kebebasan
sebagai karakteristik manusia meliputi berbagai dimensi seperti
kebebasan dalam beragama, berbuat, mengeluarkan pendapat,
memilih, berpikir, berekspresi, dan sebagainya, (shihab, 1994:228).
Walaupun manusia diberi kebebasan, akan tetapi kebebasan itu
tidak mutlak dimana ia sanggup berbuat semaunya dalam masa dan
tempat yang dikehendakinya. Kebebasan dalam islam adalah
kebebasan
yang
terikat
oleh
rasa
tanggungjawab,
tidak
menghalangi kebebasan orang lain, nilai-nilai agama dan moral
yang
dianut
masyarakat,
undang-undang
yang
berlaku,
kebersamaan dan keadilan serta akal logika.
2. Prinsip Integral dan Terpadu
Pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara sains
dan agama. Penyatuan antara kedua sistem pendidikan adalah tuntutan
akidah islam. Dalam doktrin ajaran Islam Allah adalah pencipta alam
semesta termasuk manusia. Dia pula yang menurunkan hukum-hukum
untuk mengelola dan melestarikannya. Hukum-hukum mengenai alam
fisik dinamakan sunnah Allah. Sedangkan pedoman hidup dan hukumhukum untuk kehidupan manusia telah ditentukan pula dalam ajaran
agama yang dinamakan Din Allah, yang mencakup akidah, syariah, dan
akhlak.
3. Prinsip Keseimbangan
Pandangan Islam yang menyeluruh terhadap semua aspek
kehidupan mewujudkan adanya keseimbangan. Ada beberapa
prinsip keseimbangan yang mendasari pendidikan Islam yaitu:
a. Keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi
b. Keseimbangan antara badan dan ruh, dan
c. Keseimbangan antara individu dan masyarakat. (Ramayulis,
2004:12).
4. Prinsip Universal
Prinsip Universal ini maksudnya adalah pandangan yang
menyeluruh pada agama, manusia, masyarakat, dan kehidupan. Agama
Islam yang menjadi dasar pendidikan Islam itu bersifat universal, baik
dalam pandangan dan tafsirnya terhadap wujud, alam jagat raya, maupun
pandangan terhadap kehidupan. Ia menekankan pandangan yang
menghimpun ruh dan badan, antara individu dan masyarakat, anatar dunia
dan akhirat. Pendidikan islam yang berprinsip ini bertujuan untuk
membuka, mengembangkan, dan mendidik segala aspek pribadi manusia,
potensi-potensinya, dan segala dayanya. Juga mengembangkan segala segi
kehidupan dalam masyarakat dan mengembangkan serta menigkatkan
aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik; dan berusaha turut serta
menyelesaikan masalah-masalah masyrakat masa kini dan bersiap
menghadapi tuntunan-tuntunan masa depan dan memelihara sejarah dan
kebudayaannya. (Asy-Syaibani, 1979:57).
PEMBAHASAN
A. Hakikat Lembaga Pendidikan Islam
Kata “lembaga”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai badan atau organisasi yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan
keilmuan atau suatu usaha. (Poerwadarminta, 1976:582). Sedangkan kata
“pendidikan” mempunyai arti yang kompleks dan bervariasi. Dalam UU Sisdiknas
Nomor 20 Tahun 2003, penididikan diartikan sebagai usaha dasar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya.
Sumadi Suryabrata (1995:317) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha
manusia (pendidik) untuk dengan penuh tanggungjawab membimbing anak didik
ke kedewassaan.
Sementara itu, John Dewey mengartikan pendidikan sebagai suatu proses
pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan
biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi
secara sengaja dan dilwmbagakan untuk menghasilkan kesinambungan sosial.
Proses ini melibatkan pengawasan dan pengembangan dari orang yang belum
dewasa dan kelompok dimana ia hidup (yunus, 1997:7)
Definisi-definisi pendidikan diatas mengandung makna yang hampir sama.
Semuanya
memberi
penekanan
bahwa
pendidikan
dilaksanakan
untuk
mengantarkan anak didik dalam menghadapi masa depannya. Dengan demikian,
pendidikan selalu berorientasi untuk masa depan, tanpa harus melupakan sejarah
dan masa lalu.
Dari definisi pendidikan tersebut selanjutnya dapat dirumuskan suatu
pengertian tentang pendidikan islam, sebagaimana dikemukakan oleh M. Arifin
(1996:10), yang mengartikan pendidikan sebagai latihan mental, moral dan fisik
(jasmaniyah) yang menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan
tugas kewajiban dan tanggungjawab dalam masyarakat selaku hamba Allah.
Penjelasan tersebut mengisyaratkan bahwa proses pendidikan islam adalah
bersumber pada pendidikan yang diberikan oleh Allah sebagai pendidik seluruh
ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan
islam yang terkandung di dalam kata at-tarbiyah terdiri atas 4 unsur pendekatan,
yaitu (1) memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (Baligh);
(2) mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan; (3) mengarahkan
seluruh fitrah menuju kesempurnaan; dan (4) melaksanakan pendidikan secara
bertahap. (An-Nahlawy. 1992:32).
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka lembaga pendidikan
islam adalah satuan pendidikan atau kelompok layanan pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal dan informal pada
setiap jenjang dan jenis pendidikan, yang didalamnya berlangsung proses
pendidikan, pembelajaran dan latihan intelektual, mental, moral, dan fisik yang
menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas dan kewajiban
serta tanggungjawab dalam masyarakat selaku hamba Allah SWT.
Namun demikian, secara de facto lembaga pendidikan islam yang dikenal
masyarakat Indonesia biasanya terdiri dari pondok pesantren, madarasah dan
perguruan tinggi islam. Ketiga institusi pendidikan di tanah air itulah yang selama
ini dikenal sebagai lembaga pendidikan islam. Kalaupun di Indonesia juga
terdapat
lembaga-lembaga
pendidikan “umum”
yang memiliki
semngat
keislaman, namun masyarakat tetap memiliki citra dan persepsi yang kuat bahwa
institusi pendidikan islam terbatas pada pondok pesantren, madrasah, dan
perguruan tinggi islam.
Persepsi dan citra yang “kurang tepat” inni tampaknya berangkat dari
pandangan tentang adanya “dualisme ilmu” dikalangan masyarakat muslim, yaitu
dualisme ilmu antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu sekular” di sisi lain.
Dualisme antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama adalah suatu pengertian
yang keliru, yang diakibatkan oleh dualisme institusi pendidikan antara
pendidikan umum dan pendidikan agama. Keberadaan dualisme institusi
pendidikan di Indonesia dan diberbagai belahan dunia muslim sulit dihindari.
Karena proses sejarah yang panjang telah terbentuk dan seolah-olah
mengharuskan adanya dualisme institusi pendidikan tersebut.
Namun, jika dualisme institusi pendidikan itu berpengaruh terhadap
lahirnya pengertian mengenai dualisme ilmu, hal ini sungguh tidak dapat diterima.
Karena sualisme ilmu tidak hanya bertentangan dengan watak dasar ajaran islam,
melainkan juga bertentangan dengan watak dasar manusia sebagai makhluk Allah
SWT. Murthado Muthahari, seorang ulama, filosof dan ilmuwan islam
menyatakan bahwa iman dan sains merupakan karakteristik insani. Manusia
memiliki kecenderungan untuk menuju ke arah kebenaran-kebenaran dan wujudwujud suci, dan tidak dapat hidup tanpa menyucikan dan memuja sesuatu. Ini
adalah kecenderungan iman yang merupakan fitrah manusia. Tetapi di sisi lain
manusia pun memiliki kecenderungan untuk selalu ingin memahami alam
semesta, serta memiliki kemampuan untuk memandang masa lalu, masa sekarang,
dan masa mendatang, yang semuanya merupakan ciri khas sains. Karena iman dan
sains merupakan karakteristik insani, maka pemisahan atau dualisme antara
keduanya justru akan menurunkan martabat manusia.
Upaya untuk menghilangkan dualisme ilmu telah banyak ditawarkan oleh
cendekiawan muslim. Pemikiran pemikiran mengenai “islamisasi pengetahuan “
(Ismail Raji al-Faruqi), “dewesternisasi pengetahuan” ( Syed al-Naquib al-Attas),
dan gerakan-gerakan seperti AMSS ( Assocation of Social Scientist) di Amerika
Serikat merupakan gambaran dari keinginan unutk memberi warna agama
terhadap sains.
Gerakan “Islamisasi Pengetahua” atau “ Dewesternisasi pengetahuan”
memang tidak dimaksudkan langsung untuk menghilangkan pengertian dualisme
ilmu, antar ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Namun dilihat dari
substansinya, gagasan-gagasan tersebut akan memiliki dampak yang sangat positif
bagi perkembangan iptekyang islami.
Dalam
pengamatan
Hanna
Djumhana
Bastaman,
salah
seorang
cendekiawan muslim di bidang psikologi kepribadian dan psikodiagnostik,
“islamisasi pengetahuan” setidaknya memiliki beberapa bentuk mulai dari yang
sepurfisial sampai bentuk yang agak mendasar, yang menrutnya diistilahkan
sebagai berikut:
Similarisasi, yaitu menyamakan begitu saja konsep-konsep sains dengan
konsep-konsep agama, padahal belum tentu sama. Misalnya menganggap bahwa
ruh sama dengan jiwa; atau menyamakan konsep-konsep nafs al-lawwamah, nafs
amarah, nafs al-muthma’innah yang terdapat dalam Al-Quran dengan Id, ego, dan
super ego dalam psikologi.
Paralelisasi, yaitu menganggap paralel antara konsep yang berasal dari
Al-Quran dengan konsep yang berasal dari sains karena kemiripan konotasinya,
tanpa menyamakan keduanya. Misalnya menganggap perang dunia sejalan dengan
kiamat.
Komplementasi, yaitu antara sains dan agama saling mengisi dan saling
memperkuat satu sama lain, tetapi tetap mempertahankan eksistensi masingmasing. Misalnya manfaat puasa ramadhan (untuk kesehatan) dijelaskan dengan
prinsip-prinsip dietary dari ilmu kedokteran.
Komparasi,
yaitu
membandingkan
konsep/teori
sains
dengan
konsep/wawasan agama mengenai gejala-gejala yang sama. Misalnya teori
motivasi dalam psikologi dibandingkan dengan konsep motivasi yang dijabarkan
dari ayat-ayat Al-Quran.
Induktifikasi, yaitu asumsi-asumsi dasar dari teori-teori ilmiah yang
didukung oleh temuan-temuan empirik dilanjutkan pemikirannya secara
teoritik/abstrak ke arah pemikiran metafisik/ gaib, kemudian dihubungkan dengan
prinsip-prinsip agama mengenai hal itu.
Verifikasi, yaitu mengungkapkan hasil-hasil temuan ilmiah yang
menunjang dan membuktikan kebenaran-kebenaran Al-Quran.
B. Dasar Penyelenggaraan Lembaga Pendidkan Islam
Penyelenggaraan lembaga pendidikan Islam di Indonesia memiliki dua
dasar atau landasan, yaitu (1) landasan atau dasar ideal, dan (2) landasan
konstitusional.
1. Landasan atau dasar ideal
Menurut Ramayulis (2004:54) dasar ideal pendidikan islam mencakup
Al-Quran, Hadits, Atsar Sahabat, dan Ijtihad.
a. Al-Quran
Umat Islam adalah umat yang dikaruniai Tuhan suatu kitab
suci yang lengkap dengan segala petunjuk yang meliputi seluruh aspek
kehidupan dan bersifat universal. Dengan demikian, maka dasar
penyelenggaraan lembaga pendidikan Islam memiliki landasan dan
filsafat hidupyang berdasarkan kepada kitab suci itu, yaitu Al-Quran.
Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pendidik pertama, pada masa awal
pertumbuhan islam telah menjadikan Al-Quran sebagai dasar
pendidikan Islam di samping Sunnah beliau sendiri.
b. Sunnah (Hadits)
Dasar yang kedua selain Al-Quran adalah Sunnah
Rasulullah yaitu perkataan, perbuatan, ketetapan, dan tradisi kehidupan
Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya. Amalan yang dikerjakan oleh
Rasulullah s.a.w. dalam proses perubahan hidup sehari-hari menjadi
sumber utama pendidikan Islam setelah Al-Quran, karena Allah SWT.
Menjadikan Muhammad s.a.w. sebagai tauladan bagi umatnya.
Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Ahzab: 21 yang
artinya:
“sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.”
Konsepsi
dasar
pendidikan
yang
dicontohkan
nabi
Muhammad s.a.w menurut Ramayulis (2004:56) adalah sebagai
berikut:
a). Disampaikan sebagai Rahmatan Lil Alamin
b). Apa yang disampaikan merupakan kebenaran Mutlak
c). Kehadiran Nabi sangat evaluator atau segala aktifitas
pendidkan
d). Prilaku nabi sebagai teladan bagi umatnya
c. Ijtihad
Ijtihad dalam penggunaanya dapat meliputi seluruh aspek
ajaran Islam, termasuk juga aspek pendidikan. Ijtihad di bidang
pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran Islam yang terdapat
dalam Al-Quran dan Hadist hanya berupa prinsip-prinsip pokok saja.
Bila ternyata ada yang agak terinci, maka rincian itu merupakan
contoh Islam dalam menerapkan prinsip pokok tersebut. Sejak
diturunkan ajaran Islam kepada Nabi Muhammad s.a.w. sampai
sekarang, islam telah tumbuh dan berkembang melalui Ijthad sebagai
akibat adanya perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan
berkembang terus-menerus.
2. Landasan Konstitusional
Keberadaan lembaga pendidikan Islam secara konstitusional telah
diakui, terutama dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Pada BAB VI bagian kesembilan tentang pendidikan keagamaan
Undang-undang
tersebut
menyatakan:
“
pendidikan
keagamaan
diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 30).
Kemudian pada pasal yang sama ayat (2,3 dan 4) dinyatakan: “pendidikan
keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau
menjadi
ahli
ilmu
agama.
Pendidikan
keagamaan
dapat
diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pebhaja
samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
C. Prinsip-prinsip Penyelenggaraan Lembaga Pendidikan Islam
Prinsip pendidikan islam berdasarkan atas dasar yang sama dan
berpangkal dari pandangan islam secara filosofis terhadap jagat raya, manusia,
masyarakat, ilmu pengetahuan, dan akhlak. Pandangan Islam terhadap masalahmasalah tersebut melahirkan berbagai prinsip dalam pendidikan Islam.
Menurut Ramayulis (2004:8-16) prinsip-prinsip pendidikan islam adalah
sebagai berikut.
1. Prinsip yang berangkat dari Hakikat Manusia Menurut Islam
a. I’tirah Manusia
Dalam perspektif Islam, manusia pada hakikatnya tidak
dapat dipisahkan dari agama. Itulah fitrah manusia. Memang tidak
sedikit orang yang percaya bahwa bila pengetahuan dan teknologi
semakin maju, dan bila manusia telah sanggup mengatasi berbagai
rasa takut ketika berhadapan dengan fenomena alam yang dahsyat,
maka agama akan semakin ditinggalkan, karena peran agama
dipandang semakin tidak signifikan. Pandangan seperti ini dapat
ditemukan dalam tiga tahap perkembangan kebudayaan manusia,
yaitu tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. (van
peursen, 1989:18).
Tahap Mistis adalah sikap manusia yang merasakan dirinya
terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib disekelilingnya, yaitu
kekuasaan dewa-dewa alam raya. Tahap ontologis ialah sikap
manusia yang tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan mistis,
melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal ihwal. Manusia
mulai mengambil jarak terhadap sesuatu yang dulunya dianggap
sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau teori
mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) yang kemudian
menghasilkan ilmu pengetahuan. Tahap selanjutnya, yaitu tahap
fungsional ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam
manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya
(mistis),
ia
tidak
lagi
mengambil
jarak
terhadap
objek
penelitiannya (ontologis). Ia ingin mengadakan relasi relasi baru. Ia
sudah dapat menguasai dan menaklukan lingkungan sekitarnya.
Karena sudah mencapai tahap fungsional, maka fungsi dan
eksistensi agama semakin hilang. Demikian menurut teori tiga
tahap perkembangan kebudayaan manusia.
Namun pada kenyataannya, betapapun tingginya kemajuan
yang telah dicapai manusia, dan betapapun manusia telah
sedmikian rupa mampu menguasai alam lingkungannya, sehingga
perasaan takut terhadap alam yang dahsyat semakin hilang;
ternyata kebutuhan manusia terhadap agama tidak berkurang,
justru ada kecenderungan semakin modern manusia, maka semakin
kuat kebutuhannya terhadap agama. Itulah sebabnya, futurolog
Amerika Serikat, john Naisbitt dan Patricia Aburdene, meramalkan
akan terjadinya “ kebangkitan agama pada milenium ketiga”.
(Naisbitt & Aburdene, 1990: 254).
Mengapa demikian? Karena agama adalah fitrah manusia
dan manusia tidak akan pernah bisa dipisahkan dari fitrahnya.
Memisahkan
agama
dari
manusia
sama
artinya
dengan
memisahkan manusia dari pikirannya, nafsunya, dan segala fitrah
yang ada pada diri manusia. Itulah kurang lebih maksud dari
firman Allah SWT pada surah Ar-Rum ayat 30 yang artinya:
”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); (tetaplah diatas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan terhadap fitrah
Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”.
b. Manusia tersusun dari dua unsur yaitu ruh dan jasad
Menurut Quraish Shihab (1994:228), dari segi jasad
sebagian karakteristik manusia sama dengan binatang, sama-sama
memiliki dorongan untuk berkembang dan mempertahankan diri
serta berketurunan. Namun dari segi ruh, manusia sama sekali
berbeda dengan makhluk lain, Allah menyempurnakan kejadian
manusia dengan meniupkan ruh kepada struktur jasad manusia
untuk menerimanya.
Ruh ditiupkan kedalam diri manusia, sehingga manusia
dapat hidup berkembang. Ruh mempunyai dua daya, daya berfikir
yang disebut Aql, dan daya rasa yang disebut Qalb. Dengan daya
Aql manusia memperoleh ilmu pengetahuan, memperhatikan dan
menyelidiki alam sekitar. Dengan daya Qalb, manusia berusaha
mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan.
c. Manusia memiliki kebebasan berkehendak
Manusia memiliki karakter kebebasan berkemauan untuk
memiliki dan memutuskan tingkah lakunya sendiri. Kebebasan
sebagai karakteristik manusia meliputi berbagai dimensi seperti
kebebasan dalam beragama, berbuat, mengeluarkan pendapat,
memilih, berpikir, berekspresi, dan sebagainya, (shihab, 1994:228).
Walaupun manusia diberi kebebasan, akan tetapi kebebasan itu
tidak mutlak dimana ia sanggup berbuat semaunya dalam masa dan
tempat yang dikehendakinya. Kebebasan dalam islam adalah
kebebasan
yang
terikat
oleh
rasa
tanggungjawab,
tidak
menghalangi kebebasan orang lain, nilai-nilai agama dan moral
yang
dianut
masyarakat,
undang-undang
yang
berlaku,
kebersamaan dan keadilan serta akal logika.
2. Prinsip Integral dan Terpadu
Pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara sains
dan agama. Penyatuan antara kedua sistem pendidikan adalah tuntutan
akidah islam. Dalam doktrin ajaran Islam Allah adalah pencipta alam
semesta termasuk manusia. Dia pula yang menurunkan hukum-hukum
untuk mengelola dan melestarikannya. Hukum-hukum mengenai alam
fisik dinamakan sunnah Allah. Sedangkan pedoman hidup dan hukumhukum untuk kehidupan manusia telah ditentukan pula dalam ajaran
agama yang dinamakan Din Allah, yang mencakup akidah, syariah, dan
akhlak.
3. Prinsip Keseimbangan
Pandangan Islam yang menyeluruh terhadap semua aspek
kehidupan mewujudkan adanya keseimbangan. Ada beberapa
prinsip keseimbangan yang mendasari pendidikan Islam yaitu:
a. Keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi
b. Keseimbangan antara badan dan ruh, dan
c. Keseimbangan antara individu dan masyarakat. (Ramayulis,
2004:12).
4. Prinsip Universal
Prinsip Universal ini maksudnya adalah pandangan yang
menyeluruh pada agama, manusia, masyarakat, dan kehidupan. Agama
Islam yang menjadi dasar pendidikan Islam itu bersifat universal, baik
dalam pandangan dan tafsirnya terhadap wujud, alam jagat raya, maupun
pandangan terhadap kehidupan. Ia menekankan pandangan yang
menghimpun ruh dan badan, antara individu dan masyarakat, anatar dunia
dan akhirat. Pendidikan islam yang berprinsip ini bertujuan untuk
membuka, mengembangkan, dan mendidik segala aspek pribadi manusia,
potensi-potensinya, dan segala dayanya. Juga mengembangkan segala segi
kehidupan dalam masyarakat dan mengembangkan serta menigkatkan
aspek budaya, sosial, ekonomi, dan politik; dan berusaha turut serta
menyelesaikan masalah-masalah masyrakat masa kini dan bersiap
menghadapi tuntunan-tuntunan masa depan dan memelihara sejarah dan
kebudayaannya. (Asy-Syaibani, 1979:57).