Makalah pendidikan karakter dan anti kor
DAFTAR PUSTAKA
BAB I.......................................................................................................... 2
PENDAHULUAN......................................................................................... 2
A. Latar Belakang Masalah................................................................2
B. Rumusan Masalah..........................................................................3
C. Tujuan.............................................................................................. 4
D. Manfaat........................................................................................... 4
BAB II......................................................................................................... 5
PEMBAHASAN........................................................................................... 5
A. Pengertian Korupsi........................................................................5
B. Ciri-Ciri Korupsi.............................................................................. 5
C. Faktor Penyebab Korupsi.............................................................6
D. Jenis-Jenis Korupsi.........................................................................8
E. Pengertian Tindak Pidana Korupsi..............................................9
F. Pelaku Tindak Pidana Korupsi...................................................10
G. Sejarah Perkembangan Tindak Pidana Korupsi......................11
H. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi...................................13
I.
Dampak Korupsi...........................................................................18
BAB III...................................................................................................... 20
PENUTUP................................................................................................. 20
A.
Kesimpulan...................................................................................... 20
B.
Saran............................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 21
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi
merupakan
tindakan
seseorang
yang
menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu masalah atau
organisasi untuk mendapatkan keuntungan. Korupsi merupakan
suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang telah
tumbuh seiring dengan perkembangan peradaban manusia.
Menurut
Pengertian
Undang-Undang
No.31
Tahun
1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengartikan
bahwa Korupsi adalah Setiap orang yang dikategorikan melawan
hukum,
melakukan
perbuatan
memperkaya
diri
sendiri,
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan
kewenangan
maupun
kesempatan
atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini menjadi
salah satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa
yang dibuktikan dengan semakin meluasnya tindak pidana
korupsidalam masyarakat dengan melihat perkembangannya
yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak
pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa sisi negatif,
tidak
hanya
terhadap
denganmerugikan
melanggar
kehidupan
kondisi
hak-hak
perekonomian
keuangan
sosial
dan
negara,
nasional
namun
ekonomipada
juga
kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Hal ini disebabkan
2
karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas
dengan
kurangnya
pertanggungjawaban
pidana
yang
seharusnya dilakukan oleh pelaku tindak pidana terkait.
Tindak
pidana
merugikan
korupsi
keuangan
dalam
negara
jumlah
sehingga
besar
dapat
berpotensi
mengganggu
sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik
suatu negara. Korupsi juga dapat diindikasikan sebagai alasan
timbulnya bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena
telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan
sandang
pangan
rakyat,
keagamaan,
dan
fungsi-fungsi
pelayanan sosial lain. Dalam penyuapan di dunia perdagangan,
baik 2 yang bersifat domestik maupun transnasional, korupsi
jelas-
jelas
telah
merusak
mental
pejabat.Demi
mengejar
kekayaan, para pejabat negara tidak takut melanggar hukum
negara.Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkap karena
para pelakunya terkait dengan wewenang atau kekuasaannya
yang dimiliki.
Untuk
menyelesaikan
penyelesaian
yang
permasalahan
sifatnya
khusus
dan
ini
luar
diperlukan
biasa
pula
dikarenakan tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang
luar biasa “ Extra ordinary crime “, juga dilakukan dengan
sistematis.
Penyelesaian
dipisahkan
dari
merupakan
titik
hukum
adanya
sistem
sentral
di
Indonesia
pembuktian,
pemeriksaan
persidangan.
3
tidak
dapat
pembuktian
perkara
dalam
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas,
terdapat beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas,
yaitu :
1. Apa sajakah yang termasuk dalam praktik tindak pidana
korupsi ?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak
pidana korupsi?
3. Apasajakah yang termasuk undang-undang tindak pidana
korupsi?
4. Bagaimanakah
sanksi
pidana
pelaku
pemberi
parcel
sebagai bentuk gratifkasi menurut Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai sarana pengetahuan
umum tentang tindak pidana korupsi bagi pembaca agar dapat
mengetahui apa yang harus dilakukan bila menemukan suatu
tindak pidana korupsi yang terjadi pada masyarakat disekitar
kita.
D. Manfaat
Manfaat dari makalah ini yaitu, antara lain:
1. Kegunaan
teoritis
yaitu
mengkaji
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menghadapi
masalah korupsi
yang
marak
terjadi
di
Indonesia
dan
menambah pengetahuan para pembaca mengenai masalah
korupsi.
4
2. Kegunaan praktis yaitu dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi masyarakat pada umumnya agar
ikut serta dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain
itu untuk bahan kajian dan referensi mengenai adanya
penerapan pidana tambahan terhadap PNS pelaku tindak
pidana korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Kata
korupsi
berasal
latin “corruptio” atau corruptus.
dari
Menurut
bahasa
para
ahli
bahasa, corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata dari
Bahasa
Latin
yang
lebih
tua.
menurunkan
Kata
tersebut
kemudian
istilah corruption,
corrups (Inggris), corruption (Perancis), corruptie/korruptie (Bela
nda) dan korupsi (Indonesia).
5
Korupsi adalah menggunakan kewenangan publik untuk
mendapatkan keuntungan atau manfaat indifdu. Ada pula
yang menyebut korupsi adalah mengambil bagian yang bukan
menjadi haknya. Defnisi lain, korupsi adalah mengambil
secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang
yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk
kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi juga berarti
tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu
jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa
status kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat
atau kelompok sendiri.
B. Ciri-Ciri Korupsi
Menurut Evi Hartanti SH dalam bukunya menyebutkan bahwa
ciri-ciri korupsi adalah sebagai berikut:
1. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan. Seseorang
yang
di
berikan
menyalahgunakan
amanah
seperti
wewenangnya
pemimpin
untuk
yang
kepentingan
pribadi, golongan, taua kelompoknya.
2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta,
atau masyarakat umumnya. Usaha untuk memperoleh
keuntungan dengan mengatasnamakan suatu lembaga
tertentu seperti penipuan memperoleh hadian undian dari
suatu
perusahaan,
padahal
perusahaan
yang
sesungguhnya tidak menyelenggarakan undian.
3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk
kepentingan khusus. Contohnya, mengalihkan anggaran
keuangan yang semestinya untuk kegiatan sosial ternyata
di gunakan untuk kegiatan kampanye partai politik.
6
4. Di lakukn dengan rahasia, kecuali dalam keadaan dimana
orang-orang
yang
berkuasa
atau
bawahannya
menganggapnya tidak perlu. Korupsi biasanya di lakukan
tersembunyi untuk menghilangkan jejak penyimpangan
yang di lakukannya.
5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak. Beberapa jenis
korupsi melibatkan adanya pemberi dan penerima
6. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk
uang atau yang lain. Pemberi dan penerima suappada
dasarnya bertujuan mengambil keuntungan bersama.
7. Terpusatnya
kegiatan
korupsi
pada
mereka
yang
mengkehendaki keputusan yang pasti dan mereka yang
dapat memengaruhinya. Pemberian suap pada kasus
melibatkan
petinggi
Mahlkamah
Konstitusi
bertujuan
memengaruhi keputusnnya.
8. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam
bentuk pengesahan hokum. Adanya upaya melemahkan
lembaga pemberantasan korupsi melalui produk hokum
yang di hasilkan suatu Negara atas inisiatif oknum-oknum
tertentu di pemerintahan.
C. Faktor Penyebab Korupsi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik
berasal dari dalam diri pelaku atau dari luar pelaku. Faktor
penyebab korupsi antara lain :
1. Faktor Politik
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi.
Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas politik,
kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan
7
ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku
korup seperti menyuap, politik uang merupakan fenomena
yang sering terjadi. Menurut Susanto korupsi pada level
pemerintahan adalah dari sisi penerimaan, pemerasan
uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barangbarang publik untuk kepentingan pribadi, tergolong korupsi
yang disebabkan oleh konstlelasi politik.
2. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab
terjadinya
korupsi.
Hal
ini
dapat
dijelaskan
dari
pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan.
Selain rendahnya gaji atau pendapatan, banyak aspek
ekonomi lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi, di
antaranya adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi
dengan faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk
memenuhi kekayaan mereka dan kroninya. Terkait faktor
ekonomi
dan
terjadinya
korupsi,
banyak
pendapat
menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar masalah
korupsi.pernyataan tidak benar sepenuhnya, sebab banyak
korupsi yang dilakukan oleh pemimpin Asia dan Afrika, dan
mereka tidak tergolong orang miskin. Dengan demikian
korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru
sebaliknya, kemiskinan disebakan oleh korupsi.
3. Faktor Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi yang luas,
termasuk
sistem
pengorganisasian
lingkungan
masyarakat. Organisai yang menjadi korban korupsi atau
dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya
8
korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk
melakukan korupsi.
Aspek-aspek
organisasi
terjadinya
meliputi:
(a)
korupsi
dari
sudut
kurang
adanya
pandang
teladan
dari
pemimpin (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar,
(c) sistem akuntabilitas dalam instansi kurang memadai,
(d)
manajemen
cenderung
menutupi
didalam
organisasinya.
D. Jenis-Jenis Korupsi
Beberapa ahli mengidentifkasi jenis korupsi, di antaranya
Syed Hussein Alatas yang mengemukakan bahwa berdasarkan
tipenya korupsi di kelompokkan menjadi tujuh jenis korupsi
sebagai berikut:
1. Korupsi
transaktif (transactive
corruption)
yaitu
menunjukan kepada adanya kesepakatan timbal balik
antara
pihak
pemberi
dan
pihak
penerima,
demikeutungan kedua belah pihak dan dengan aktif di
usahakan tercapainya keuntungan ini oleh keduaduanya.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption) adalah
jenis korupsi di mana pihak pemberi di paksa untuk
menyuap
guna
mencegah
kerugian
yang
sedang
mengancam dirinya, kepentingannya atau orang-orang
dan hal-hal yang di hargainya.
3. Korupsi investif (investive corruption) adalah pemberian
barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dari
9
keungan
tertentu,
selain
keuntungan
yang
di
bayangkan akan di peroleh di masa yang akan dating.
4. Korupsi
perkerabatan (nepotistic
corruption)
adalah
penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak
saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan,
atau
tindakan
yang
memberikan
perlakuan
yang
mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk
lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan
norma dan peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defnitive (defnisife corruption) adalah perilaku
korban korupsi dengan pemerasan, korupsinya adalah
dalam rangka mempertahankan diri.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption) yaitu korupsi
yang di laksanakan oleh seorang diri.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption) yaitu korupsi
tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan
langsung dalam bentuk lain.
E. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Pengertian tindak pidana korupsi dalam arti luas yaitu
perbuatan seseorang yang merugikan keuangan negara dan
yang membuat aparat pemerintah tidak efektif, efsien, bersih
dan berwibawa. Pengertian Tindak Pidana Korupsi juga dapat
ditemukan pada Kamus Umum Bahasa Indonesia: “Korupsi
adalah
perbuatan
yang
buruk
seperti
penggelapan
uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya”.
Tindak pidana korupsi merupakan bentuk penyimpangan dari
kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seseorang aparat
pemerintahan yang mempunyai kedudukan tertentu sehingga
10
dengan kedudukan pejabat dapat melakukan tindak pidana
korupsi. tindak pidana korupsi merupakan kejahatan merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, maka percobaan
untuk melakukan kejahatan korupsi dijadikan delik selesai dan
diancam dengan hukuman yang sama dengan ancaman bagi
pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan.
Dari sudut pandang hukum, kejahatan tindak pidana korupsi
mencakup unsur-unsur sebagai. berikut : a. Penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, dan sarana b. memperkaya diri
sendiri, orang lain, atau korporasi c. merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
Ini adalah sebagian kecil contoh-contoh tindak pidana korupsi
yang sering terjadi, dan ada juga beberapa prilaku atau tindakan
korupsi lainnya: a. Memberi atau menerima hadiah (Penyuapan)
b. penggelapan dan pemerasan dalam jabatan c. ikut serta
dalam penggelapan dana pengadaan barang d. menerima
grativikasi.
F. Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pelaku adalah orang
yang melakukan suatu perbuatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa
Pelaku Tindak Pidana adalah orang yang melakukan perbuatan
atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman
pidana. 26 Menurut KUHP, macam pelaku yang dapat dipidana
terdapat pada pasal 55 dan 56 KUHP, yang berbunyi sebagai
berikut:
1. Pasal 55 KUHP Dipidana sebagai pembuat sesuatu
perbuatan pidana: a. Mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
11
perbuatan. b. Mereka yang dengan memberi atau
menjanjikan
sesuatu,
dengan
menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman
atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang
lain
supaya
penganjur,
melakukan
hanya
perbuatan.
perbuatan
yang
c.
Terhadap
sengaja
yang
dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibatakibatnya.
2. Pasal 56 KUHP. Dipidana sebagai pembantu sesuatu
kejahatan : Mereka yang dengan sengaja memberi
bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.Mereka yang
dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
Pada ketentuan Pasal 55 KUHP disebutkan perbuatan pidana,
jadi baik kejahatan maupun pelanggaran yang di hukum sebagai
orang yang melakukan disini dapat dibagi atas 4 macam, yaitu :
1. Pleger Orang ini ialah seorang yang sendirian telah
mewujudkan segala elemen dari peristiwa pidana. 27
2. Doen plegen Disini sedikitnya ada dua orang, doen
plegen dan pleger. Jadi bukan orang itu sendiri yang
melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh
orang lain, meskipun demikian ia dipandang dan
dihukum
sebagai
orang
yang
melakukan
sendiri
peristiwa pidana.
3. Medpleger Turut melakukan dalam arti kata bersamasama melakukan, sedikitdikitnya harus ada dua orang,
12
ialah pleger dan medpleger. Disini diminta, bahwa
kedua orang tersebut semuanya melakukan perbuatan
pelaksanaan, jadi melakukan elemen dari peristiwa
pidana itu. Tidak boleh hanya melakukan perbuatan
persiapan saja, sebab jika demikian, maka orang yang
menolong itu tidak masuk medpleger, akan tetapi
dihukum sebagai medeplichtige.
4. Uitlokker
Orang
itu
harus
sengaja
membujuk
melakukan orang lain, sedang membujuknya harus
memakai salah satu dari jalan seperti yang disebutkan
dalam Pasal 55 ayat (2), artinya tidak boleh memakai
jalan lain.
G. Sejarah Perkembangan Tindak Pidana Korupsi
Pada Zaman Kerajaan Pada zaman kerajaan praktek korupsi
hanya terjadi pada perebutan kekuasaan dimana hal ini juga
dilakukan untuk memperkaya diri dan keluarga serta untuk
memperluas wilayah kekuasaannya. Pada era Indonesia Merdeka
dan pada era setelah Indonesia merdeka. Didalam era tersebut
yang masih di bawah pimpinan presiden Ir.Soekarno terlihat jelas
bahwa telah dua kali di bentuk Badan Pemberantas Korupsi yaitu
Paran dan Operasi Budhi. Kedua badan tersebut dibentuk untuk
mengawasi praktek-praktek korupsi yang terjadi pada era
tersebut dimana salah satunya dengan cara mengisi formulir
yang zaman sekarang dikenal dengan daftar kekayaan pejabat
negara. Sedangkan Operasi Budhi sendiri kebanyakan bergerak
di perusahaanperusahaan negara yang dimana dianggap rawan
akan praktek korupsi.
13
Pada Era Orde Baru Pada masa orde baru sendiri juga terlihat
akan adanya praktek-praktek korupsi dengan dibentuknya suatu
badan khusus yang menangani akan hal ini, yaitu komite empat
dan juga Opstib (Operasi tertib).
Pada Era Reformasi Di dalam orde reformasi praktek korupsi
telah menjalar kemana-mana seperti virus yang menjangkit
seluruh elemen penyelenggara negara. Pada orde tersebut
pimpinan Negara Indonesia adalah Presiden BJ Habibie. Pada
waktu kepemimpinannya Presiden membuat suatu rumusan
undang-undang yaitu Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN dan
juga pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti
KPKPN,KPPU, atau lembaga Ombudsman. Serta dilanjutkan juga
oleh
30
presiden
selanjutnya
yaitu
Presiden
berikutnya,
Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Pada Era Demokrasi Beralih ke zaman sekarang, yaitu
Demokrasi adanya badan yang mengurus tentang Tindak Pidana
Korusi yang dimana telah kita ketahui yaitu KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) dimana KPK di bantu oleh lembagalembaga
hukum
yang
ada
di
Indonesia
dalam
misi
pemberantasan Korupsi. KPK adalah lembaga independen yang
berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun.
Tugas dan wewenang KPK telah terurai jelas di dalam Undangundang No.30 tahun 2002.
14
H. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
1. Undang- Undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dari
permulaan
dapat
diketahui
bahwa
peraturan
penguasa perang pusat tentang pemberanasan korupsi itu
bersifat darurat, bersifat temporer, yang berlandaskan
undang- undang keadaan bahaya. Semula, ia berbentul
peraturan
pemerintah
pengganti
undang-
undang,
kemudian disahkan menjadi undang- undang. Karena
bentuknya
adalah
peraturan
pemerintah
pengganti
undang- undang, yang dengan undang- undang Nomor 1
tahun 1961 dijadikan undang- undang, maka tidak perlu
dibahas di DPR.
Sebagaimana dikemukakan pembuat undang- undang
memandang tidak perlu lagi ada peraturan tentang
perbuatan korupsi bukan pidanan karena bagaimanapun,
dalam hal- hal seperti itu terbuka kemungkinan bagi
pemerintah untuk menggugat perdata melalui Pasal 1365
BW terhadap pelaku perbuatan seperti itu.
Telah dikemukakan jugan bahwa perumusan delik yang
ada dalam peraturan penguasa perang pusat tersebut
diambil alih sepenuhnya oleh undang- undag Nomor 24
(PRP) 1960 ini dengan sedikit perubahan. Pada Pasal 1
ayat (1) sub a dan sub b hanya kata “ perbuatan” diganti
dengan “tindakan” karena undang – undang ini memakai
istilah “tindak pidana Korupsi” bukan perbuatan korupsi
pidana.
15
Pada sub c hanya ditambah saja Pasal 415, 416, 417,
423, 425, dan 435 KUHP. Memang ini menjadi kekurangan
peraturan penguasa perang pusat karena penggelapan
oleh pegawai negeri benar merupakan bentuk inti korupsi
disamping masalah suap menyuap (pasal 209, 210, 418,
419, dan 420 KUHP) begitu pula dengan Pasal 423 dan
425 KUHP merupakan bentuk extortion yang disebut
knevelarij.
Perumusan- perumusan Undang- Undang Nomor 24
(Prp) tahun 1960 perlu dikaji, bukan saja sebagai suatu
sejarah,
tetapi
juga
berhubungan
dengan
adanya
ketentuan peralihan dalam undang- undang No.3 Tahun
1971 sehingga berlaku undang- undang pada saat tindak
pidana dilakukan.
2. Undang-
Undang
No.
3
Tahun
1971
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jika kita tinjau yurisprudensi selama kurun waktu antara
1960- 1970, sangat sedikit delik korupsi dapat ditemukan.
Berlainan misalnya dengan kurun waktu 1971- 1981,
dimana dapat ditemukan perkara korupsi dari yang kecil
sampai
yang
besar.
Kita
dapat
menemukan
dalam
yurisprudensi perkara- perkara yang besar seperti Robby
Tjahjadi, Abu Kiswo, Ledjen. siswadji, Budiadji, liem keng
eng, dan endang widjaja, kemudian dua orang hakim
senior, masing- masing JZL, yang diadili pengadilan negeri
jakarta pusat.
16
Seperti diketahui sejak lahirnya orde baru pada tahun
1966, suaru- suara yang menghendaki pemberantasan
korupsi, lebih diperhebat semakin hari bertambah nyaring,
baik berupa berita maupun berupa karangan disurat
kabar, majalah, dalam pertemuan, diskusi dan sebagainya
yang bertemakan pemberantasan korupsi. Juga dikenal
adanya komite anti korupsi di awal orde baru.
Masih dibawah kuasa peraturan penguasa perang
pusat, pemerintah telah berusaha sekeras- kerasnya
mengefektifkan
pemberantasan
dengankeputusan
presiden
korupsi,
Nomor
228
yaitu
Tahun
1967,
Tanggal 2 Desember 1967, dibentuk tim pemberantasan
korupsi (TPK). dalam tim ini jaksa agung diberi wewenang
mengoordinasikan penyidikan bak terhapda pelaku militer
maupun sipil, bahkan perkara koneksitas antara orang
sipil dan militer pada prinsipnya pengadilan negara
mengadili, dengan hakim- haim sipil dan militer.
Namun demikian, tuntutan masyarakat agar korupsi
diberantas tidak mengendor sehingga pada akhirnya
prediden pada tanggal 31 Januari 1970 mengeluarkan dua
buah keputusan, yaitu Keputusan Presiden Nomor 12
Tahun1970 tentang pembentukan komisi 4 dan keputusan
presiden nomor 13 Tahun 1970 tentang pengangkatan Dr.
Mohammad Hatta sebagai penasehat presiden.
3. Undang-undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan
menjadi
terbentuknya
menteri
kabinet
kehakiman
17
Habibie
pada
yang
tahun
mulai
1998,
dicanangkan untuk mempercepat penciptaan undangundang dalam waktu singkat, kurang dari dua tahun,
pemerintahan ini menciptakan undang-undang sebanyakbanyaknya dengan sepuluh tahun pemerintahan soeharto.
Penciptaan undang-undang yang diutamakan antara lain
perubahan atau penggantian undang-undang No 3 tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Rupanya
sehingga
anggapan
banyak
bahwa
terdapat
yang
kurang
korupsi
sempurna
ialah
undang-
undangnya, padahal “orangnya” dan “sistemnya”.
Tim yang pertama dibentuk diketahui oleh Bada Nawawi
Arief dan mengambil tempat di Puncak, yang anggotanya
antara lain : Loebby Loqman dan penulis bersama dengan
orang-orang dari Departemen Kehakiman sendiri seperti
Haryono dan Wahid. Setelah di pandang sudah lengkap,
antara lain dengan menciptakan minimum khusus, yang
meliputi baik pidana penjara maupun pidana denda,
pembedaan ancaman bagi setiap delik sesuai dengan
bobot delik itu serta kualitifkasinya, penambahan peran
masyarakat yang diusulkan oleh Wahid, maka diadakan
Tim Inter Departemen yang diketahui oleh penulis dan
mengadakan
rapat
di
Departemen
Kehakiman
pada
kuartal pertama tahun 1999. Sekitar bulan juli 1999
dibahaslah Rancangan ini di DPR. Pemerintah diwakili oleh
Menteri Muladi sendiri disertai dengan Dirjen Perundangundangan Romli, penulis dan Loebby Loqman.
Dalam
pembahasan
ini
Pansus
DPR
itulah
yang
ditambahkan tentang pidana mati khusus tentang pidana
18
mati untuk delik yang tercantum dalam pasal 2 dalam
keadaan “tertentu” yang kemudian dijelaskan apa yang
dimaksud dengan “keadaan tertentu” itu seperti bencana
alam nasional, keadaan, keadaan bahasa dan krisis
moneter dan ekonomi. Selain itu, ditambahkan pula
tentang akan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini
diundangkan. Usul ini berasal dari Fraksi PPP (Zain Bat
Jeber). Sementara itu, rumusan tentang pembalikan beban
pembuktian
yang
disusun
oleh
penulis
tolak,
baik
sebagian anggota DPR maupun oleh menteri sendiri
karena
dipandang
legalitas.
tidak
Sewaktu
Penghapusan
jelas
dan
pembahasan
ketetntuan
tentang
melanggar
Pidan
Mati
pembalikan
asas
dan
beban
pembuktian yang disusun oleh penulis ini, penulis tidak
hadir sehingga tidak sempat untuk mempertahankannya,
juga tentang ketentuan pidan mati dalam “keadaan
tertentu”.
Dengan demikian, undang-undang no 31 tahun 1999
adalah undang-undang paling keras dan bert di ASEAN.
Sayang,
ketentuan
tentang
pembalikan.
Beban
pembuktian tidak diterima, andai kata diterima, tidak
perlu diciptakan ancaman pidana demikian beratnya
selama semua pelanggar dapat diajukan ke pengadilan
dan semua kerugian negara dapat dikembalikan kekas
negara, sebagaiman berlaku di Hongkong dan Malaysia.
Pada tanggal 16 Agustus 1999 diundangkanlah undangundang no.3 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
19
Pidan Korupsi menggantikan undang-undang no.3 tahun
1971.
4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubaha
atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Setelah Baharudin Lopa menjabat Menteri Kehakiman
sekitar
bulan
maret
2001,
cita-citanya
menciptakan
ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian didalam
undang-undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
segera direalisasikan dengan membentuk tim yang terdiri
atas, antara lain Baharudin Lopa, Adnan Bayung Nasution,
Romli,
Abdulgani
Abdullah,
Netabaya,
Yusrida,
Sri
Hadningsih, Indrianto Seno Adji, Arifn, dan Oka Mahendra.
Jadi, maksud semula untuk mengubah undang-undang
no.31 tahun 1999 hanyalah untuk menambah ketentuan
tentang pembalikan beban pembuktian.
Ada dua jenis ketentuan tentang pembalikan beban
pembuktian, yang pertama menyangkut pemberian dalam
jumlah satu juta rupiah keatas, harus dilaporkan jika tidak
dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Berarti
penuntu umum hanya membuktikan satu bagian inti delik,
yaitu adanya pemberian kepada pegawai negri atau
penyelenggara
negara.
Bagian
yang
lain,
seperti
berhubungan dengan jabatanya dan berlawanan dengan
kewajibannya dibebankan kepada terdakwa.
Rumusan ini ditiru dari pasal 42 ACA Malaysia dengan
modifkasi
tertentu. Baharudin
20
Lopa
dan
Romli
mengusulkan agar jumlah uang atau harta yang diterima
bukan satu juta rupiah karena terlalu kecil, tapi sepuluh
juta rupiah. Rumusan yang pertama diubah oleh DPR
sehingga
hilang
artinya
sebagai
pembalikan
beban
pembuktian. Sementara itu, rumusan kedua diterima
penuh. Dengan demikian, pembalikan beban pembuktian
yang ada hanya satu macam saja yang terbatas ada
pembertasan harta saja.
Perubahan lain
yang
dicantumkan dalam undang-
undang no.20 tahun 2001 ialah tentang minimum khusus
yang hanya berlaku bagi delik korupsi yang nilainya lima
juta atau lebih. Penjelasan tentang apa yang dimaksud
dengan “ketentuan tertentu” untuk menjatuhkan Pidana
mati, juga diubah sesuai dengan rancangan bahwa bukan
waktu yang menentukan tetapi peruntukan uang untuk
keadaan tertentu itu yang dikorupsikan. Rumusan delik
berasal dari KUHP, langsung disalain seluruhnya dalam
rumusan delik korupsi dengan ancaman pidana sendiri
serta mencabut pasal-pasal tersebut dalam KUHP.
I. Dampak Korupsi
Dari beberapa sumber dampak dari korupsi sebagai berikut:
1. Berkurangnya Kepercayaan Terhadap Pemerintah Akibat
pejabat pemerintah melakukan korupsi mengakibatkan
berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah tersebut.
Disamping itu, negara lain juga lebih mempercayai negara
yang pejabatnya bersih dari korupsi, baik kerja sama di
bidang politik, ekonomi, ataupun dalam bidang lainya. Hal
ini akan mengakibatkan pembangunan ekonomi serta
21
mengganggu
stabiltas
perekonomian
negara
yang
stabilitas politik.
2. Berkurangnya Kewibawaan Pemerintah Dalam Masyarakat
Apabila banyak dari pejabat pemerintah yang melakukan
penyelewengan
keuangan
negara,
masyarakat
akan
bersifat apatis terhadap segala anjuran dan tindakan
pemerintah. Sifat apatis tersebut akan mengakibatkan
ketahanan nasional akan rapuh dan megganggu stabilitas
keamanan NegaraMenyusutnya Pendapatan 34 Negara
Penerimaan negara untuk pembangunan didapatkan dari
dua Sektor, yaitu dari pungutan bead an penerimaan
pajak pendapatan Negara dapat berkurang apabila tidak
diselamatkan dari penyelundupan dan penyelewengan
oleh
oknum-oknum
pemerintah
pada
sector
sekto
penerimaan tersebut.
3. c. Rapuhnya Keamanan dan Ketahanan Negara Keamanan
dan ketahanan negara akan rapuh apabila para pejabat
pemerintah mudah disuap karena kekuasaan asing yang
hendak memaksakan ideologi atau pengaruhnya terhadap
bangsa
Indonesia.
menggunakan
penyuapan
sebagai
suatu sarana untuk mewujudkan cita-citanya.
4. Hukum Tidak Lagi Dihormati . Negara kita adalah negara
hukum dimana segala sesuatu harus didasarkan pada
hukum. Cita-cita untuk menggapai tertib hukum tidak
akan terwujud apabila para penegak hukum melakukan
tindakan korupsi sehingga hokum tidak dapat ditegakkan,
ditaati, serta tidak diindahkan oleh masyarakat.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri
yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian
negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek.
Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya
dan aspek penggunaan uang Negara untuk kepentingannya.Adapun
penyebabnya
antara
pemimpin,kelemahan
penjajahan
rendahnya
lain,
ketiadaan
pengajaran
pendidikan,
dan
dan
etika,
kemiskinan,
kelemahan
kolonialisme,
tidak
adanya
hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur
ekonomi.Korupsi dapat diklasifkasikan menjadi tiga jenis, yaitu
bentuk, sifat,dan tujuan.Dampak korupsi dapat terjadi di berbagai
bidang diantaranya, bidang demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan
negara.
B. Saran
Pemiskinan koruptor memang mendapat sambutan positif dari
banyak kalangan. Namun perlu dipertimbangkan lagi mengenai
pelaksanaannya. Saran yang dapat penulis sumbangkan, yaitu:
1. Perlu adanya rekonseptualisasi mengenai konsep pemiskinan
koruptor. Rekonseptualisasi dengan memberikan arahan yang jelas
bagi penegak hukum mengenai konsep pemiskinan koruptor,
23
sehingga
pelaksanaan
pemiskinan
koruptor
dapat
dijalankan
sebagai suatu terobosan hukum yang memberikan efek jera dalam
tindak pidana korupsi.
2. Perlu adanya suatu gerakan yang mendorong pelaksanaan
pemiskinan koruptor. Contohnya seperti pendidikan, pemahaman,
penjelasan, integritas dari para penegak hukum agar para penegak
hukum di Indonesia melaksanakan sanksi pidana pemiskinan
koruptor dalam upaya pembera ntasan tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana
Indonesia .Bandung : Penerbit Sinar Baru.
Muzadi,
Pemberantasan
H.
2004.
MENUJU
INDONESIA
Tindak Pidana Korupsi.
Malang
BARU,
:
Strategi
Bayumedia
Publishing.
Pujiyono,
Kumpulan Tulisan Hukum
Pidana, (Bandung:
Mandar Maju, 2007)
Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia .
Jakarta : GhaliaIndonesia
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta:
Kompas, 2006)
24
BAB I.......................................................................................................... 2
PENDAHULUAN......................................................................................... 2
A. Latar Belakang Masalah................................................................2
B. Rumusan Masalah..........................................................................3
C. Tujuan.............................................................................................. 4
D. Manfaat........................................................................................... 4
BAB II......................................................................................................... 5
PEMBAHASAN........................................................................................... 5
A. Pengertian Korupsi........................................................................5
B. Ciri-Ciri Korupsi.............................................................................. 5
C. Faktor Penyebab Korupsi.............................................................6
D. Jenis-Jenis Korupsi.........................................................................8
E. Pengertian Tindak Pidana Korupsi..............................................9
F. Pelaku Tindak Pidana Korupsi...................................................10
G. Sejarah Perkembangan Tindak Pidana Korupsi......................11
H. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi...................................13
I.
Dampak Korupsi...........................................................................18
BAB III...................................................................................................... 20
PENUTUP................................................................................................. 20
A.
Kesimpulan...................................................................................... 20
B.
Saran............................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 21
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi
merupakan
tindakan
seseorang
yang
menyalahgunakan kepercayaan dalam suatu masalah atau
organisasi untuk mendapatkan keuntungan. Korupsi merupakan
suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang telah
tumbuh seiring dengan perkembangan peradaban manusia.
Menurut
Pengertian
Undang-Undang
No.31
Tahun
1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengartikan
bahwa Korupsi adalah Setiap orang yang dikategorikan melawan
hukum,
melakukan
perbuatan
memperkaya
diri
sendiri,
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan
kewenangan
maupun
kesempatan
atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini menjadi
salah satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa
yang dibuktikan dengan semakin meluasnya tindak pidana
korupsidalam masyarakat dengan melihat perkembangannya
yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya tindak
pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa sisi negatif,
tidak
hanya
terhadap
denganmerugikan
melanggar
kehidupan
kondisi
hak-hak
perekonomian
keuangan
sosial
dan
negara,
nasional
namun
ekonomipada
juga
kehidupan
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Hal ini disebabkan
2
karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas
dengan
kurangnya
pertanggungjawaban
pidana
yang
seharusnya dilakukan oleh pelaku tindak pidana terkait.
Tindak
pidana
merugikan
korupsi
keuangan
dalam
negara
jumlah
sehingga
besar
dapat
berpotensi
mengganggu
sumber daya pembangunan dan membahayakan stabilitas politik
suatu negara. Korupsi juga dapat diindikasikan sebagai alasan
timbulnya bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena
telah merambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan
sandang
pangan
rakyat,
keagamaan,
dan
fungsi-fungsi
pelayanan sosial lain. Dalam penyuapan di dunia perdagangan,
baik 2 yang bersifat domestik maupun transnasional, korupsi
jelas-
jelas
telah
merusak
mental
pejabat.Demi
mengejar
kekayaan, para pejabat negara tidak takut melanggar hukum
negara.Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkap karena
para pelakunya terkait dengan wewenang atau kekuasaannya
yang dimiliki.
Untuk
menyelesaikan
penyelesaian
yang
permasalahan
sifatnya
khusus
dan
ini
luar
diperlukan
biasa
pula
dikarenakan tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang
luar biasa “ Extra ordinary crime “, juga dilakukan dengan
sistematis.
Penyelesaian
dipisahkan
dari
merupakan
titik
hukum
adanya
sistem
sentral
di
Indonesia
pembuktian,
pemeriksaan
persidangan.
3
tidak
dapat
pembuktian
perkara
dalam
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas,
terdapat beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas,
yaitu :
1. Apa sajakah yang termasuk dalam praktik tindak pidana
korupsi ?
2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak
pidana korupsi?
3. Apasajakah yang termasuk undang-undang tindak pidana
korupsi?
4. Bagaimanakah
sanksi
pidana
pelaku
pemberi
parcel
sebagai bentuk gratifkasi menurut Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999?
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai sarana pengetahuan
umum tentang tindak pidana korupsi bagi pembaca agar dapat
mengetahui apa yang harus dilakukan bila menemukan suatu
tindak pidana korupsi yang terjadi pada masyarakat disekitar
kita.
D. Manfaat
Manfaat dari makalah ini yaitu, antara lain:
1. Kegunaan
teoritis
yaitu
mengkaji
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam menghadapi
masalah korupsi
yang
marak
terjadi
di
Indonesia
dan
menambah pengetahuan para pembaca mengenai masalah
korupsi.
4
2. Kegunaan praktis yaitu dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi masyarakat pada umumnya agar
ikut serta dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain
itu untuk bahan kajian dan referensi mengenai adanya
penerapan pidana tambahan terhadap PNS pelaku tindak
pidana korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Korupsi
Kata
korupsi
berasal
latin “corruptio” atau corruptus.
dari
Menurut
bahasa
para
ahli
bahasa, corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata dari
Bahasa
Latin
yang
lebih
tua.
menurunkan
Kata
tersebut
kemudian
istilah corruption,
corrups (Inggris), corruption (Perancis), corruptie/korruptie (Bela
nda) dan korupsi (Indonesia).
5
Korupsi adalah menggunakan kewenangan publik untuk
mendapatkan keuntungan atau manfaat indifdu. Ada pula
yang menyebut korupsi adalah mengambil bagian yang bukan
menjadi haknya. Defnisi lain, korupsi adalah mengambil
secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang
yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk
kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi juga berarti
tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu
jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa
status kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat
atau kelompok sendiri.
B. Ciri-Ciri Korupsi
Menurut Evi Hartanti SH dalam bukunya menyebutkan bahwa
ciri-ciri korupsi adalah sebagai berikut:
1. Suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan. Seseorang
yang
di
berikan
menyalahgunakan
amanah
seperti
wewenangnya
pemimpin
untuk
yang
kepentingan
pribadi, golongan, taua kelompoknya.
2. Penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta,
atau masyarakat umumnya. Usaha untuk memperoleh
keuntungan dengan mengatasnamakan suatu lembaga
tertentu seperti penipuan memperoleh hadian undian dari
suatu
perusahaan,
padahal
perusahaan
yang
sesungguhnya tidak menyelenggarakan undian.
3. Dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk
kepentingan khusus. Contohnya, mengalihkan anggaran
keuangan yang semestinya untuk kegiatan sosial ternyata
di gunakan untuk kegiatan kampanye partai politik.
6
4. Di lakukn dengan rahasia, kecuali dalam keadaan dimana
orang-orang
yang
berkuasa
atau
bawahannya
menganggapnya tidak perlu. Korupsi biasanya di lakukan
tersembunyi untuk menghilangkan jejak penyimpangan
yang di lakukannya.
5. Melibatkan lebih dari satu orang atau pihak. Beberapa jenis
korupsi melibatkan adanya pemberi dan penerima
6. Adanya kewajiban dan keuntungan bersama, dalam bentuk
uang atau yang lain. Pemberi dan penerima suappada
dasarnya bertujuan mengambil keuntungan bersama.
7. Terpusatnya
kegiatan
korupsi
pada
mereka
yang
mengkehendaki keputusan yang pasti dan mereka yang
dapat memengaruhinya. Pemberian suap pada kasus
melibatkan
petinggi
Mahlkamah
Konstitusi
bertujuan
memengaruhi keputusnnya.
8. Adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam
bentuk pengesahan hokum. Adanya upaya melemahkan
lembaga pemberantasan korupsi melalui produk hokum
yang di hasilkan suatu Negara atas inisiatif oknum-oknum
tertentu di pemerintahan.
C. Faktor Penyebab Korupsi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi, baik
berasal dari dalam diri pelaku atau dari luar pelaku. Faktor
penyebab korupsi antara lain :
1. Faktor Politik
Politik merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi.
Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas politik,
kepentingan politis para pemegang kekuasaan, bahkan
7
ketika meraih dan mempertahankan kekuasaan. Perilaku
korup seperti menyuap, politik uang merupakan fenomena
yang sering terjadi. Menurut Susanto korupsi pada level
pemerintahan adalah dari sisi penerimaan, pemerasan
uang suap, pemberian perlindungan, pencurian barangbarang publik untuk kepentingan pribadi, tergolong korupsi
yang disebabkan oleh konstlelasi politik.
2. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab
terjadinya
korupsi.
Hal
ini
dapat
dijelaskan
dari
pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi kebutuhan.
Selain rendahnya gaji atau pendapatan, banyak aspek
ekonomi lain yang menjadi penyebab terjadinya korupsi, di
antaranya adalah kekuasaan pemerintah yang dibarengi
dengan faktor kesempatan bagi pegawai pemerintah untuk
memenuhi kekayaan mereka dan kroninya. Terkait faktor
ekonomi
dan
terjadinya
korupsi,
banyak
pendapat
menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar masalah
korupsi.pernyataan tidak benar sepenuhnya, sebab banyak
korupsi yang dilakukan oleh pemimpin Asia dan Afrika, dan
mereka tidak tergolong orang miskin. Dengan demikian
korupsi bukan disebabkan oleh kemiskinan, tapi justru
sebaliknya, kemiskinan disebakan oleh korupsi.
3. Faktor Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi yang luas,
termasuk
sistem
pengorganisasian
lingkungan
masyarakat. Organisai yang menjadi korban korupsi atau
dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya
8
korupsi karena membuka peluang atau kesempatan untuk
melakukan korupsi.
Aspek-aspek
organisasi
terjadinya
meliputi:
(a)
korupsi
dari
sudut
kurang
adanya
pandang
teladan
dari
pemimpin (b) tidak adanya kultur organisasi yang benar,
(c) sistem akuntabilitas dalam instansi kurang memadai,
(d)
manajemen
cenderung
menutupi
didalam
organisasinya.
D. Jenis-Jenis Korupsi
Beberapa ahli mengidentifkasi jenis korupsi, di antaranya
Syed Hussein Alatas yang mengemukakan bahwa berdasarkan
tipenya korupsi di kelompokkan menjadi tujuh jenis korupsi
sebagai berikut:
1. Korupsi
transaktif (transactive
corruption)
yaitu
menunjukan kepada adanya kesepakatan timbal balik
antara
pihak
pemberi
dan
pihak
penerima,
demikeutungan kedua belah pihak dan dengan aktif di
usahakan tercapainya keuntungan ini oleh keduaduanya.
2. Korupsi yang memeras (extortive corruption) adalah
jenis korupsi di mana pihak pemberi di paksa untuk
menyuap
guna
mencegah
kerugian
yang
sedang
mengancam dirinya, kepentingannya atau orang-orang
dan hal-hal yang di hargainya.
3. Korupsi investif (investive corruption) adalah pemberian
barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dari
9
keungan
tertentu,
selain
keuntungan
yang
di
bayangkan akan di peroleh di masa yang akan dating.
4. Korupsi
perkerabatan (nepotistic
corruption)
adalah
penunjukan yang tidak sah terhadap teman atau sanak
saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan,
atau
tindakan
yang
memberikan
perlakuan
yang
mengutamakan dalam bentuk uang atau bentuk-bentuk
lain, kepada mereka, secara bertentangan dengan
norma dan peraturan yang berlaku.
5. Korupsi defnitive (defnisife corruption) adalah perilaku
korban korupsi dengan pemerasan, korupsinya adalah
dalam rangka mempertahankan diri.
6. Korupsi otogenik (autogenic corruption) yaitu korupsi
yang di laksanakan oleh seorang diri.
7. Korupsi dukungan (supportive corruption) yaitu korupsi
tidak secara langsung menyangkut uang atau imbalan
langsung dalam bentuk lain.
E. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Pengertian tindak pidana korupsi dalam arti luas yaitu
perbuatan seseorang yang merugikan keuangan negara dan
yang membuat aparat pemerintah tidak efektif, efsien, bersih
dan berwibawa. Pengertian Tindak Pidana Korupsi juga dapat
ditemukan pada Kamus Umum Bahasa Indonesia: “Korupsi
adalah
perbuatan
yang
buruk
seperti
penggelapan
uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya”.
Tindak pidana korupsi merupakan bentuk penyimpangan dari
kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seseorang aparat
pemerintahan yang mempunyai kedudukan tertentu sehingga
10
dengan kedudukan pejabat dapat melakukan tindak pidana
korupsi. tindak pidana korupsi merupakan kejahatan merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, maka percobaan
untuk melakukan kejahatan korupsi dijadikan delik selesai dan
diancam dengan hukuman yang sama dengan ancaman bagi
pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan.
Dari sudut pandang hukum, kejahatan tindak pidana korupsi
mencakup unsur-unsur sebagai. berikut : a. Penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, dan sarana b. memperkaya diri
sendiri, orang lain, atau korporasi c. merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.
Ini adalah sebagian kecil contoh-contoh tindak pidana korupsi
yang sering terjadi, dan ada juga beberapa prilaku atau tindakan
korupsi lainnya: a. Memberi atau menerima hadiah (Penyuapan)
b. penggelapan dan pemerasan dalam jabatan c. ikut serta
dalam penggelapan dana pengadaan barang d. menerima
grativikasi.
F. Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pelaku adalah orang
yang melakukan suatu perbuatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa
Pelaku Tindak Pidana adalah orang yang melakukan perbuatan
atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman
pidana. 26 Menurut KUHP, macam pelaku yang dapat dipidana
terdapat pada pasal 55 dan 56 KUHP, yang berbunyi sebagai
berikut:
1. Pasal 55 KUHP Dipidana sebagai pembuat sesuatu
perbuatan pidana: a. Mereka yang melakukan, yang
menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan
11
perbuatan. b. Mereka yang dengan memberi atau
menjanjikan
sesuatu,
dengan
menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman
atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang
lain
supaya
penganjur,
melakukan
hanya
perbuatan.
perbuatan
yang
c.
Terhadap
sengaja
yang
dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibatakibatnya.
2. Pasal 56 KUHP. Dipidana sebagai pembantu sesuatu
kejahatan : Mereka yang dengan sengaja memberi
bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.Mereka yang
dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
Pada ketentuan Pasal 55 KUHP disebutkan perbuatan pidana,
jadi baik kejahatan maupun pelanggaran yang di hukum sebagai
orang yang melakukan disini dapat dibagi atas 4 macam, yaitu :
1. Pleger Orang ini ialah seorang yang sendirian telah
mewujudkan segala elemen dari peristiwa pidana. 27
2. Doen plegen Disini sedikitnya ada dua orang, doen
plegen dan pleger. Jadi bukan orang itu sendiri yang
melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh
orang lain, meskipun demikian ia dipandang dan
dihukum
sebagai
orang
yang
melakukan
sendiri
peristiwa pidana.
3. Medpleger Turut melakukan dalam arti kata bersamasama melakukan, sedikitdikitnya harus ada dua orang,
12
ialah pleger dan medpleger. Disini diminta, bahwa
kedua orang tersebut semuanya melakukan perbuatan
pelaksanaan, jadi melakukan elemen dari peristiwa
pidana itu. Tidak boleh hanya melakukan perbuatan
persiapan saja, sebab jika demikian, maka orang yang
menolong itu tidak masuk medpleger, akan tetapi
dihukum sebagai medeplichtige.
4. Uitlokker
Orang
itu
harus
sengaja
membujuk
melakukan orang lain, sedang membujuknya harus
memakai salah satu dari jalan seperti yang disebutkan
dalam Pasal 55 ayat (2), artinya tidak boleh memakai
jalan lain.
G. Sejarah Perkembangan Tindak Pidana Korupsi
Pada Zaman Kerajaan Pada zaman kerajaan praktek korupsi
hanya terjadi pada perebutan kekuasaan dimana hal ini juga
dilakukan untuk memperkaya diri dan keluarga serta untuk
memperluas wilayah kekuasaannya. Pada era Indonesia Merdeka
dan pada era setelah Indonesia merdeka. Didalam era tersebut
yang masih di bawah pimpinan presiden Ir.Soekarno terlihat jelas
bahwa telah dua kali di bentuk Badan Pemberantas Korupsi yaitu
Paran dan Operasi Budhi. Kedua badan tersebut dibentuk untuk
mengawasi praktek-praktek korupsi yang terjadi pada era
tersebut dimana salah satunya dengan cara mengisi formulir
yang zaman sekarang dikenal dengan daftar kekayaan pejabat
negara. Sedangkan Operasi Budhi sendiri kebanyakan bergerak
di perusahaanperusahaan negara yang dimana dianggap rawan
akan praktek korupsi.
13
Pada Era Orde Baru Pada masa orde baru sendiri juga terlihat
akan adanya praktek-praktek korupsi dengan dibentuknya suatu
badan khusus yang menangani akan hal ini, yaitu komite empat
dan juga Opstib (Operasi tertib).
Pada Era Reformasi Di dalam orde reformasi praktek korupsi
telah menjalar kemana-mana seperti virus yang menjangkit
seluruh elemen penyelenggara negara. Pada orde tersebut
pimpinan Negara Indonesia adalah Presiden BJ Habibie. Pada
waktu kepemimpinannya Presiden membuat suatu rumusan
undang-undang yaitu Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN dan
juga pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti
KPKPN,KPPU, atau lembaga Ombudsman. Serta dilanjutkan juga
oleh
30
presiden
selanjutnya
yaitu
Presiden
berikutnya,
Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Pada Era Demokrasi Beralih ke zaman sekarang, yaitu
Demokrasi adanya badan yang mengurus tentang Tindak Pidana
Korusi yang dimana telah kita ketahui yaitu KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) dimana KPK di bantu oleh lembagalembaga
hukum
yang
ada
di
Indonesia
dalam
misi
pemberantasan Korupsi. KPK adalah lembaga independen yang
berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun.
Tugas dan wewenang KPK telah terurai jelas di dalam Undangundang No.30 tahun 2002.
14
H. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
1. Undang- Undang Nomor 24 (PRP) Tahun 1960 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dari
permulaan
dapat
diketahui
bahwa
peraturan
penguasa perang pusat tentang pemberanasan korupsi itu
bersifat darurat, bersifat temporer, yang berlandaskan
undang- undang keadaan bahaya. Semula, ia berbentul
peraturan
pemerintah
pengganti
undang-
undang,
kemudian disahkan menjadi undang- undang. Karena
bentuknya
adalah
peraturan
pemerintah
pengganti
undang- undang, yang dengan undang- undang Nomor 1
tahun 1961 dijadikan undang- undang, maka tidak perlu
dibahas di DPR.
Sebagaimana dikemukakan pembuat undang- undang
memandang tidak perlu lagi ada peraturan tentang
perbuatan korupsi bukan pidanan karena bagaimanapun,
dalam hal- hal seperti itu terbuka kemungkinan bagi
pemerintah untuk menggugat perdata melalui Pasal 1365
BW terhadap pelaku perbuatan seperti itu.
Telah dikemukakan jugan bahwa perumusan delik yang
ada dalam peraturan penguasa perang pusat tersebut
diambil alih sepenuhnya oleh undang- undag Nomor 24
(PRP) 1960 ini dengan sedikit perubahan. Pada Pasal 1
ayat (1) sub a dan sub b hanya kata “ perbuatan” diganti
dengan “tindakan” karena undang – undang ini memakai
istilah “tindak pidana Korupsi” bukan perbuatan korupsi
pidana.
15
Pada sub c hanya ditambah saja Pasal 415, 416, 417,
423, 425, dan 435 KUHP. Memang ini menjadi kekurangan
peraturan penguasa perang pusat karena penggelapan
oleh pegawai negeri benar merupakan bentuk inti korupsi
disamping masalah suap menyuap (pasal 209, 210, 418,
419, dan 420 KUHP) begitu pula dengan Pasal 423 dan
425 KUHP merupakan bentuk extortion yang disebut
knevelarij.
Perumusan- perumusan Undang- Undang Nomor 24
(Prp) tahun 1960 perlu dikaji, bukan saja sebagai suatu
sejarah,
tetapi
juga
berhubungan
dengan
adanya
ketentuan peralihan dalam undang- undang No.3 Tahun
1971 sehingga berlaku undang- undang pada saat tindak
pidana dilakukan.
2. Undang-
Undang
No.
3
Tahun
1971
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jika kita tinjau yurisprudensi selama kurun waktu antara
1960- 1970, sangat sedikit delik korupsi dapat ditemukan.
Berlainan misalnya dengan kurun waktu 1971- 1981,
dimana dapat ditemukan perkara korupsi dari yang kecil
sampai
yang
besar.
Kita
dapat
menemukan
dalam
yurisprudensi perkara- perkara yang besar seperti Robby
Tjahjadi, Abu Kiswo, Ledjen. siswadji, Budiadji, liem keng
eng, dan endang widjaja, kemudian dua orang hakim
senior, masing- masing JZL, yang diadili pengadilan negeri
jakarta pusat.
16
Seperti diketahui sejak lahirnya orde baru pada tahun
1966, suaru- suara yang menghendaki pemberantasan
korupsi, lebih diperhebat semakin hari bertambah nyaring,
baik berupa berita maupun berupa karangan disurat
kabar, majalah, dalam pertemuan, diskusi dan sebagainya
yang bertemakan pemberantasan korupsi. Juga dikenal
adanya komite anti korupsi di awal orde baru.
Masih dibawah kuasa peraturan penguasa perang
pusat, pemerintah telah berusaha sekeras- kerasnya
mengefektifkan
pemberantasan
dengankeputusan
presiden
korupsi,
Nomor
228
yaitu
Tahun
1967,
Tanggal 2 Desember 1967, dibentuk tim pemberantasan
korupsi (TPK). dalam tim ini jaksa agung diberi wewenang
mengoordinasikan penyidikan bak terhapda pelaku militer
maupun sipil, bahkan perkara koneksitas antara orang
sipil dan militer pada prinsipnya pengadilan negara
mengadili, dengan hakim- haim sipil dan militer.
Namun demikian, tuntutan masyarakat agar korupsi
diberantas tidak mengendor sehingga pada akhirnya
prediden pada tanggal 31 Januari 1970 mengeluarkan dua
buah keputusan, yaitu Keputusan Presiden Nomor 12
Tahun1970 tentang pembentukan komisi 4 dan keputusan
presiden nomor 13 Tahun 1970 tentang pengangkatan Dr.
Mohammad Hatta sebagai penasehat presiden.
3. Undang-undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan
menjadi
terbentuknya
menteri
kabinet
kehakiman
17
Habibie
pada
yang
tahun
mulai
1998,
dicanangkan untuk mempercepat penciptaan undangundang dalam waktu singkat, kurang dari dua tahun,
pemerintahan ini menciptakan undang-undang sebanyakbanyaknya dengan sepuluh tahun pemerintahan soeharto.
Penciptaan undang-undang yang diutamakan antara lain
perubahan atau penggantian undang-undang No 3 tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Rupanya
sehingga
anggapan
banyak
bahwa
terdapat
yang
kurang
korupsi
sempurna
ialah
undang-
undangnya, padahal “orangnya” dan “sistemnya”.
Tim yang pertama dibentuk diketahui oleh Bada Nawawi
Arief dan mengambil tempat di Puncak, yang anggotanya
antara lain : Loebby Loqman dan penulis bersama dengan
orang-orang dari Departemen Kehakiman sendiri seperti
Haryono dan Wahid. Setelah di pandang sudah lengkap,
antara lain dengan menciptakan minimum khusus, yang
meliputi baik pidana penjara maupun pidana denda,
pembedaan ancaman bagi setiap delik sesuai dengan
bobot delik itu serta kualitifkasinya, penambahan peran
masyarakat yang diusulkan oleh Wahid, maka diadakan
Tim Inter Departemen yang diketahui oleh penulis dan
mengadakan
rapat
di
Departemen
Kehakiman
pada
kuartal pertama tahun 1999. Sekitar bulan juli 1999
dibahaslah Rancangan ini di DPR. Pemerintah diwakili oleh
Menteri Muladi sendiri disertai dengan Dirjen Perundangundangan Romli, penulis dan Loebby Loqman.
Dalam
pembahasan
ini
Pansus
DPR
itulah
yang
ditambahkan tentang pidana mati khusus tentang pidana
18
mati untuk delik yang tercantum dalam pasal 2 dalam
keadaan “tertentu” yang kemudian dijelaskan apa yang
dimaksud dengan “keadaan tertentu” itu seperti bencana
alam nasional, keadaan, keadaan bahasa dan krisis
moneter dan ekonomi. Selain itu, ditambahkan pula
tentang akan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini
diundangkan. Usul ini berasal dari Fraksi PPP (Zain Bat
Jeber). Sementara itu, rumusan tentang pembalikan beban
pembuktian
yang
disusun
oleh
penulis
tolak,
baik
sebagian anggota DPR maupun oleh menteri sendiri
karena
dipandang
legalitas.
tidak
Sewaktu
Penghapusan
jelas
dan
pembahasan
ketetntuan
tentang
melanggar
Pidan
Mati
pembalikan
asas
dan
beban
pembuktian yang disusun oleh penulis ini, penulis tidak
hadir sehingga tidak sempat untuk mempertahankannya,
juga tentang ketentuan pidan mati dalam “keadaan
tertentu”.
Dengan demikian, undang-undang no 31 tahun 1999
adalah undang-undang paling keras dan bert di ASEAN.
Sayang,
ketentuan
tentang
pembalikan.
Beban
pembuktian tidak diterima, andai kata diterima, tidak
perlu diciptakan ancaman pidana demikian beratnya
selama semua pelanggar dapat diajukan ke pengadilan
dan semua kerugian negara dapat dikembalikan kekas
negara, sebagaiman berlaku di Hongkong dan Malaysia.
Pada tanggal 16 Agustus 1999 diundangkanlah undangundang no.3 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
19
Pidan Korupsi menggantikan undang-undang no.3 tahun
1971.
4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubaha
atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Setelah Baharudin Lopa menjabat Menteri Kehakiman
sekitar
bulan
maret
2001,
cita-citanya
menciptakan
ketentuan tentang pembalikan beban pembuktian didalam
undang-undang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
segera direalisasikan dengan membentuk tim yang terdiri
atas, antara lain Baharudin Lopa, Adnan Bayung Nasution,
Romli,
Abdulgani
Abdullah,
Netabaya,
Yusrida,
Sri
Hadningsih, Indrianto Seno Adji, Arifn, dan Oka Mahendra.
Jadi, maksud semula untuk mengubah undang-undang
no.31 tahun 1999 hanyalah untuk menambah ketentuan
tentang pembalikan beban pembuktian.
Ada dua jenis ketentuan tentang pembalikan beban
pembuktian, yang pertama menyangkut pemberian dalam
jumlah satu juta rupiah keatas, harus dilaporkan jika tidak
dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Berarti
penuntu umum hanya membuktikan satu bagian inti delik,
yaitu adanya pemberian kepada pegawai negri atau
penyelenggara
negara.
Bagian
yang
lain,
seperti
berhubungan dengan jabatanya dan berlawanan dengan
kewajibannya dibebankan kepada terdakwa.
Rumusan ini ditiru dari pasal 42 ACA Malaysia dengan
modifkasi
tertentu. Baharudin
20
Lopa
dan
Romli
mengusulkan agar jumlah uang atau harta yang diterima
bukan satu juta rupiah karena terlalu kecil, tapi sepuluh
juta rupiah. Rumusan yang pertama diubah oleh DPR
sehingga
hilang
artinya
sebagai
pembalikan
beban
pembuktian. Sementara itu, rumusan kedua diterima
penuh. Dengan demikian, pembalikan beban pembuktian
yang ada hanya satu macam saja yang terbatas ada
pembertasan harta saja.
Perubahan lain
yang
dicantumkan dalam undang-
undang no.20 tahun 2001 ialah tentang minimum khusus
yang hanya berlaku bagi delik korupsi yang nilainya lima
juta atau lebih. Penjelasan tentang apa yang dimaksud
dengan “ketentuan tertentu” untuk menjatuhkan Pidana
mati, juga diubah sesuai dengan rancangan bahwa bukan
waktu yang menentukan tetapi peruntukan uang untuk
keadaan tertentu itu yang dikorupsikan. Rumusan delik
berasal dari KUHP, langsung disalain seluruhnya dalam
rumusan delik korupsi dengan ancaman pidana sendiri
serta mencabut pasal-pasal tersebut dalam KUHP.
I. Dampak Korupsi
Dari beberapa sumber dampak dari korupsi sebagai berikut:
1. Berkurangnya Kepercayaan Terhadap Pemerintah Akibat
pejabat pemerintah melakukan korupsi mengakibatkan
berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah tersebut.
Disamping itu, negara lain juga lebih mempercayai negara
yang pejabatnya bersih dari korupsi, baik kerja sama di
bidang politik, ekonomi, ataupun dalam bidang lainya. Hal
ini akan mengakibatkan pembangunan ekonomi serta
21
mengganggu
stabiltas
perekonomian
negara
yang
stabilitas politik.
2. Berkurangnya Kewibawaan Pemerintah Dalam Masyarakat
Apabila banyak dari pejabat pemerintah yang melakukan
penyelewengan
keuangan
negara,
masyarakat
akan
bersifat apatis terhadap segala anjuran dan tindakan
pemerintah. Sifat apatis tersebut akan mengakibatkan
ketahanan nasional akan rapuh dan megganggu stabilitas
keamanan NegaraMenyusutnya Pendapatan 34 Negara
Penerimaan negara untuk pembangunan didapatkan dari
dua Sektor, yaitu dari pungutan bead an penerimaan
pajak pendapatan Negara dapat berkurang apabila tidak
diselamatkan dari penyelundupan dan penyelewengan
oleh
oknum-oknum
pemerintah
pada
sector
sekto
penerimaan tersebut.
3. c. Rapuhnya Keamanan dan Ketahanan Negara Keamanan
dan ketahanan negara akan rapuh apabila para pejabat
pemerintah mudah disuap karena kekuasaan asing yang
hendak memaksakan ideologi atau pengaruhnya terhadap
bangsa
Indonesia.
menggunakan
penyuapan
sebagai
suatu sarana untuk mewujudkan cita-citanya.
4. Hukum Tidak Lagi Dihormati . Negara kita adalah negara
hukum dimana segala sesuatu harus didasarkan pada
hukum. Cita-cita untuk menggapai tertib hukum tidak
akan terwujud apabila para penegak hukum melakukan
tindakan korupsi sehingga hokum tidak dapat ditegakkan,
ditaati, serta tidak diindahkan oleh masyarakat.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya diri
yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian
negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek.
Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya
dan aspek penggunaan uang Negara untuk kepentingannya.Adapun
penyebabnya
antara
pemimpin,kelemahan
penjajahan
rendahnya
lain,
ketiadaan
pengajaran
pendidikan,
dan
dan
etika,
kemiskinan,
kelemahan
kolonialisme,
tidak
adanya
hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur
ekonomi.Korupsi dapat diklasifkasikan menjadi tiga jenis, yaitu
bentuk, sifat,dan tujuan.Dampak korupsi dapat terjadi di berbagai
bidang diantaranya, bidang demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan
negara.
B. Saran
Pemiskinan koruptor memang mendapat sambutan positif dari
banyak kalangan. Namun perlu dipertimbangkan lagi mengenai
pelaksanaannya. Saran yang dapat penulis sumbangkan, yaitu:
1. Perlu adanya rekonseptualisasi mengenai konsep pemiskinan
koruptor. Rekonseptualisasi dengan memberikan arahan yang jelas
bagi penegak hukum mengenai konsep pemiskinan koruptor,
23
sehingga
pelaksanaan
pemiskinan
koruptor
dapat
dijalankan
sebagai suatu terobosan hukum yang memberikan efek jera dalam
tindak pidana korupsi.
2. Perlu adanya suatu gerakan yang mendorong pelaksanaan
pemiskinan koruptor. Contohnya seperti pendidikan, pemahaman,
penjelasan, integritas dari para penegak hukum agar para penegak
hukum di Indonesia melaksanakan sanksi pidana pemiskinan
koruptor dalam upaya pembera ntasan tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana
Indonesia .Bandung : Penerbit Sinar Baru.
Muzadi,
Pemberantasan
H.
2004.
MENUJU
INDONESIA
Tindak Pidana Korupsi.
Malang
BARU,
:
Strategi
Bayumedia
Publishing.
Pujiyono,
Kumpulan Tulisan Hukum
Pidana, (Bandung:
Mandar Maju, 2007)
Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia .
Jakarta : GhaliaIndonesia
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta:
Kompas, 2006)
24