Implementasi Pasal 10 Kovenan Hak Hak Si

LAPORAN HASIL PENELITIAN
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA
MELALUI UNIT PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA (PPM-FH UGM)
JUDUL :
IMPLEMENTASI PASAL 10 KOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK DALAM
PERLAKUAN NARAPIDANA DI LINGKUNGAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN
DI WILAYAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

OLEH :
PENELITI I

ERWIN PRASETYO
11/316330/HK/18838

PENELITI II

ARFIAN SETIAJI
11/316428/HK/18907
1501/H.01.H.FH/N/2013
FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GADJAH MADA
2014

PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T., karena berkat segala rahmat
dan karuniaNYA maka peneliti akhiranya dapat menyelesaikan laporan penelitian
yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM, dengan Judul: Implementasi
Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Perlakuan Narapidana Di
Lingkungan Lembaga Pemasyarakatan di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta
Penulisan laporan penelitian ini dilakukan untuk memenuhi tugas penelitian yang
diberikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan FH UGM, serta untuk
menambah wawasan kami sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Penyusun menyadari bahwa pembuatan laporan ini mungkin masih
jauh dari sempurna. Namun penyusun mempunyai harapan, semoga karya ilmiah
ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang
ilmu Hukum Internasional serta Hukum Pidana, juga bermanfaat bagi Kementrian
Hukum dan HAM dan Aparat Pemerintah yang mempunyai kepentingan dibidang
pemasyarakatan. Pada laporan ini, penyusun menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
1. Dr. Paripurna, S.H., M.Hum., LL.M.,Dekan Fakultas Hukum, Universitas

Gadjah Mada
2. Heribertus Jaka „Jetto‟ Triyana, S.H., LL.M., M.A, Selaku Dosen
Pembimbing dari Penelitian ini
3. Agustina Merdekawati, S.H., LL.M, selaku dosen Reviewer dari penelitian
ini

4. Departemen Penelitian dan Pengembangan Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada
5. Bapak Zaenal Arifin, Bc.IP, S.Sos, Kepala Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IIA Yogyakarta (Lapas. Wirogunan)
6. Bapak Supriyanto, Bc.IP, S.Pd, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas
IIB Sleman (Lapas Cebongan)
7. Setiap orang yang membantu peneliti baik pada saat melakukan observasi
lapangan maupun saat melakukan penyusunan laporan penelitian ini.
Peneliti sudah berusaha semaksimal mungkin agar penelitian

ini menjadi

sempurna, akan tetapi peneliti menyadari bahwa pasti masih banyak kekurangan.
Maka dari itu kritik dan saran dari pembaca, sangat penyusun harapkan demi

semakin baiknya diri penyusun. Semoga segala kebaikan dan pengorbanan yang
bapak ibu berikan, mendapat balasan dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa
Yogyakarta, Juli 2014

Erwin Prasetyo

INTISARI

ABSTRACT
The objective of imprisonment has significantly changed since the 19th Century,
when the aim of detention was not merely retribution of justice but also a social
rehabilitation for the criminals. And now, humane treatment to the prisoners and
the goal of social rehabilitation was inseparable within the penitentiary facilities
as the existence of Article 10 of ICCPR. Since one of the penitentiary facility in
Yogyakarta has been selected as the best penitentiary of 2014 in Indonesia,
observations to penitentiary facilities in Yogyakarta becomes highly relevant to
found whether Indonesia has fulfill the Article 10 of ICCPR.
This legal research combines normative legal research and empirical studies of the
normative international rule. Using the checklist that was derived from
supplementary legal source to the Article 10 (3) ICCPR such as the GA resolution

of Standard Minimum Rules of Treatment for Prisoners, the conclusion might be
derived whether or not Indonesia, as Member State to ICCPR has fulfilled the
obligation given by the Covenant.
The observations showed that generally Indonesia has fulfilled several obligations
that given by the Article 10 of ICCPR and relating instruments. However, the
several problems still exist in order to fulfill all of the requirements, such as the
existence of overcrowding.
[Keywords: Indonesia, Article 10 ICCPR, Penitentiary Facilities, humane
treatment]

DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN ......................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN ..................................................... 6
C. TUJUAN PENELITIAN .............................................................................. 6
D. KEASLIAN PENELITIAN .......................................................................... 7
E. MANFAAT PENELITIAN .......................................................................... 8
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 9
BAB III: METODE PENELITIAN ....................................................................... 13
1.


Tipe Penelitian ............................................................................................ 13

2.

Bahan Penelitian ......................................................................................... 14

3.

Metode Pengumpulan Data ........................................................................ 15

4.

Metode Analisis Data ................................................................................. 15

BAB IV: HASIL PENELITIAN ........................................................................... 16
A. IMPLEMENTASI INDONESIA TERHADAP PASAL 10 KOVENAN
HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK .................................................................... 16
B. PERLAKUAN YANG DIBERIKAN KEPADA NARAPIDANA DI
LINGKUNGAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA

YOGYAKARTA DAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIB ..... 20
C. HAL YANG PERLU DI TINGKATKAN PEMERINTAH UNTUK
MEMENUHI STANDAR YANG DITETAPKAN OLEH REZIM PASAL 10
KOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK ............................................... 30
BAB V: PENUTUP ............................................................................................... 32
A. KESIMPULAN .......................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 33

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Di masyarakat Internasional saat ini, hak-hak Manusia semakin
diperhatikan, beberapa konvensi dan perjanjian internasional secara
khusus mengatur tentang hak-hak manusia, beberapa diantaranya ialah
Universal Declaration of Human Rights (UDHR), International Covenant
on Civil and Political Rights (ICCPR), International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), Convention on the
Rights


of

the Child (CRC),

Discrimination

against

Committee

Women

on

(CEDAW),

the

Elimination


Convention

of

Against

Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading. Treatment or
Punishment (CAT), dan Committee on the Elimination of Racial
Discrimination (CERD) Beberapa diantara konvensi diatas seperti ICCPR
tidak hanya mengatur tentang hak-hak orang bebas saja, akan tetapi juga
mengatur tentang hak-hak orang yang dirampas kebebasannya oleh negara
atau dengan kata lain orang terpidana, ICCPR sendiri telah diadopsi oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1966, dan Entry
into force bagi anggota konvensi sejak 1976. 1 ICCPR dapat dikatakan
sebagai Perjanjian Internasional mengenai Hak Asasi Manusia yang

1

Sarah Joseph, 2013, The International Covenant on Civil and Political Rights, Oxford University
Press, Oxford, hlm. 3


1

terpenting di dunia.2 ICCPR dirancang untuk melindungi hak-hak sipil dan
politik seperti hak untuk hidup, perlindungan terhadap penangkapan
sewenang wenang, dan kebebasan berekspresi. Diantarannya mengandung
daftar Garansi substansial hak asasi manusia dalam Bagian III. Pada
Bagian II mengandung jaminan pendukung, seperti kewajiban penting
sebuah negara anggota dalam mengimplementasikan ICCPR, Bagian IV
Membentuk monitoring dan sistem supervisi, serta membentuk komite hak
asasi manusia (HRC).3
Tujuan pemidanaan diluar sebagai pembalasan (retribution) kepada
pelaku tindak pidana sudah berkembang sejak lama, tepatnya pada abad ke
18 didaratan Eropa. Seorang ahli bernama John Howard mengkritisi
kejamnya perlakuan yang diberikan kepada narapidana di Inggris melalui
bukunya yang berjudul “The state of the prison” (1777).4 Beberapa tahun
kemudian pemikiran John Howard diterima oleh kalangan ahli hukum di
Eropa seperti J. Benthem, untuk memperluas tujuan pemidanaan tidak
hanya sebagai balas dendam, akan tetapi juga sarana membina para
narapidana agak kelak setelah habis masa pidananya, dapat kembali ke

masyarakat dengan baik.5
Tujuan perlakuan terhadapan narapidana di Indonesia mulai berubah sejak
tahun 1964, setelah Dr. Sahardjo, S.H. mengemukakan dalam Konferensi
Kepenjaraan di Lembang Bandung bahwa tujuan pemidanaan adalah

2

Ibid
J Locke, 1988, The Second Treatise of Government, Two Treatises of Government ,Cambridge
University Press, Cambridge.
4
Drs. C.I. harsono HS, Bc.IP.,1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta,
hlm. 46.
5
Ibid

3

2


pemasyarakatan. Jadi narapidana tidak lagi dibuat jera akan perbuatannya,
tetapi dibina untuk kemudian dimasyarakatkan. pendapat Dr. Sahardjo,
S.H. tersebut sejalan dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 12
tahun 1995 tentang pemasyarakatan, 6 yang menyebutkan bahwa esensi
dari sistem pemasyarakatan adalah membuat manusia atau pelaku
kejahatan menyadari kesalahannya serta memperbaiki diri dan tidak
mengulangi kesalahannya sehingga dapat berintergrasi dan berperan serta
sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Perluasan tujuan pemidanaan ini juga telah diakui secara internasional
dalam Pasal 10 ayat 3 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang
berbunyi, “The penitentiary system shall comprise treatment of prisoners
the essential aim of which shall be their reformation and social
rehabilitation.” atau yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
berbunyi,

“Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama

memperbaiki

dan

melakukan

rehabilitasi

dalam

memperlakukan

narapidana”.
Menurut Pasal 11 dan Pasal 15 Konvensi Wina Mengenai Hukum Perjanjian 1969
suatu negara menjadi terikat untuk memenuhi kewajiban dalam suatu perjanjian
ketika negara tersebut melakukan proses aksesi. Bunyi dari Pasal 11 Konvensi
Wina tersebut adalah sebagai berikut
“The consent of a State to be bound by a treaty may be expressed by
signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification,
acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed.”

6

Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor 77

3

Dengan meng-aksesi ICCPR melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun
1995, Indonesia menjadi terikat untuk menjalankan atau mengaplikasikan
Pasal-Pasal yang terdapat konvensi tersebut. Menurut Pasal 2 Konvensi
Wina 1969 tersebut, salah satu jalan untuk menolak melaksanakan
kewajiban dari perjanjian yang telah mengikat hanyalah melalui reservasi.7
Berdasarkan Konvensi Wina 1969 Reservasi adalah :

“unilateral statement, however phrased or named, made by a State, when
signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty, whereby it
purports to exclude or to modify the legal effect of certain provisions of
the treaty in their application to that State”

Akan tetapi indonesia tidak membuat satupun reservasi terhadap ICCPR
sehingga indonesia sepenuhnya terikat kepada kovenan tersebut. dengan
meratifikasi

ICCPR,

Indonesia

tidak

hanya

terikat

untuk

menyelenggarakan pemasyarakatan dengan tujuan rehabilitasi sosial pada
Pasal 10 ayat 3, tapi juga Pasal 10 secara keseluruhan yang berbunyi:
“Pasal 10
1. Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara
manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri
manusia.

7

Pasal 19 Konvensi Wina 1969, 1155 U.N.T.S. 331

4

2. (a) Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus,
harus dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan
secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum
dipidana;
(b) Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan
secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.
3. Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan
melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di
bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai
dengan usia dan status hukum mereka.”

Berdasarkan penelitian awal yang kami lakukan, kami menemukan bahwa
salah satu lembaga pemasyarakatan di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta, yaitu Lapas Wirogunan baru-baru ini dinobatkan sebagai
Lembaga Pemasyarakatan Terbaik Se-Indonesia untuk tahun 2014
membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Lembaga
Pemasyarakatan di lingkungan wilayah DIY.

5

B. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah :
1) Bagaimanakah Indonesia mengimplementasikan Pasal 10 Kovenan HakHak Sipil dan Politik?
2) Apakah perlakuan yang diberikan kepada narapidana di lingkungan
Lembaga

pemasyarakatan

kelas

IIA

Yogyakarta

dan

Lembaga

Pemasyarakatan kelas IIB Sleman sudah sesuai dengan Pasal 10 Kovenan
Hak-Hak Sipil dan Politik?
3) Hal apa saja yang perlu ditingkatkan pemerintah untuk memenuhi standar
yang ditetapkan oleh rezim Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari bagaimana
implementasi yang dilakukan pemerintah Indonesia terkait perlakuan yang
diberikan di Lembaga Pemasyarakatan di Yogyakarta terhadap narapidana
dalam kaitannya dengan implementasi Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil
dan Politik. Hal ini perlu dipertanyakan mengingat Indonesia telah
mengaksesi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik sejak tahun 2005 melalui
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 dan terkait beberapa laporan
mengenai buruknya kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.8
Dampak tersebut akan di analisis lebih dalam agar dapat diketahui jika
masalah perlakuan terhadap Narapidana akan berdampak buruk bagi
8

Harian Jogja Kesaksian Rachel Dougall: Media Inggris Sebut Penjara Indonesia Jorok
Http://Www.Harianjogja.Com/Baca/2013/07/29/Kesaksian-Rachel-Dougall-Media-Inggris-SebutPenjara-Indonesia-Jorok-432645 diakses 18 Februari 2014

6

Narapidana dan akan mengganggu salah satu tujuan pemidanaan yaitu,
Rehabilitasi. 9 Hasil penelitian yang didapat nanti dapat dijadikan bahan
penilaian apakah Indonesia telah memenuhi kewajiban yang telah
ditetapkan melalui perjanjian internasional. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pengetahuan bagi masyarakat dan pemerintah mengenai
perlakuan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan agar dapat
meningkatkan kualitas perlakuan dan pelayanan terhadap Narapidana
sehingga memenuhi kewajiban yang dibebankan oleh komunitas
internasional melalui Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.

D. KEASLIAN PENELITIAN
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis,
ditemukan beberapa penelitian yang membahas mengenai Perlakuan dan
hak-hak Narapidana di lembaga permasyarakatan, salah satunya adalah :
Ika Pawestri HS: Pelaksanaan Standard Minimum Rules For the
Treatment of Prisoners Dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Manusia
Dalam Pembinaan Narapidana (Skripsi Universitas Gadjah Mada)
Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah pada
konsep dan perumusan masalahnya, Pada Penelitian tersebut Penulis fokus
pada pelaksanaan Standard Minimum Rules for the treatment of Prisoners
dalam Pemenuhan hak asasi manusia Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995, serta hambatan dalam rangka pembinaan
narapidana.pada penelitian ini lebih spesifik kepada implementasi Pasal 10
9

Pasal 10 ayat 3, Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, 999 U.N.T.S. 171 ; M. Sholehuddin, 2010,
Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 45.

7

Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Tidak hanya itu, penelitian ini juga
memasukan checklist lain untuk mengukur keberhasilan pemerintah
memperlakukan

narapidana

secara

manusiawi

sebagai

bentuk

implementasi dari Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.
Dalam penelitian ini aspek yang dikaji lebih mendetail dan objek yang
dijadikan bahan penelitan merupakan sample yang relevan untuk
menentukan apakah Indonesia telah memenuhi Pasal 10 Kovenan HakHak Sipil dan Politik

E. MANFAAT PENELITIAN
1. Kegunaan Keilmuan Diperoleh data tentang bagaimana
implementasi Pasal 10 Kovenan Sipil dan Politik
(International Covenant of Civil and Political Rights)
mengenai Perlakuan Terhadap Narapidana di lembaga
pemasyarakatan di Yogyakarta.
2. Kegunaan Praktis: Dapat digunakan sebagai masukan
kepada stakeholder terkait dan juga dapat dijadikan media
untuk peningkatan keterampilan menulis bagi penulis.

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan para ahli pidana seperti, J. Benthem, John Howard,
dan Dr. Sahardjo, S.H., Tujuan pemidanaan kini sudah bukan hanya untuk
menghukum si pelaku tindak pidana, akan tetapi untuk membuat mereka
dapat kembali berintegrasi dengan masyarakat sehingga perlakuan yang
diberikan oleh petugas lembaga pemasyarakatan pun seharusnya tidak
hanya bersifat menghukum, akan tetapi juga mengedukasi dan
memanusiakan manusia.
Hal tersebut juga sesuai dengan Pasal 10 ICCPR yang mana
mewajibkan negara penandatangan atau peratifikasi untuk memberikan
perlakuan yang manusiawi terhadap narapidana dan juga mewajibkan
negara untuk mengedepankan aspek rehabilitasi sosial kepada narapidana
dibandingan aspek “retribution of justice”. Dengan demikian Indonesia
berkewajiban untuk memperlakukan narapidana secara humanis guna
menjunjung tinggi tujuan pemidanaan berdasar ICCPR yaitu rehabilitasi
sosial dan integrasi narapidana ke masyarakat.

Berdasarkan Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, setiap
orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi
dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia. 10
10

Pasal 10 ICCPR, 999 UNTS 171

9

Pasal 10 ini kemudian juga tercermin pada Pasal 28 G ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia […]”
Berdasarkan laporan pemerintah Indonesia kepada Komite HAM
Internasional (Human Rights Committee) pada tahun 2012, pemerintah
menyatakan

bahwa

Indonesia

telah

mengadopsi

standar-standar

internasional mengenai perlakuan terhadap narapidana dalam prinsipprinsip lembaga pemasyarakatan seperti:
1) Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners
(1957), [SMR]
2) Body of Principles for the Protection of All Persons under
Any Form of Detention or Imprisonment (1988),
Melalui UU no. 12 tahun 1995, Pemerintah Indonesia telah melah
mencoba menetapkan hak-hak apa saja yang dapat di peroleh oleh seorang
narapidana diantaranya:
a. melakukan

ibadah

sesuai

dengan

agama

atau

kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun
jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang
layak; dan
e. menyampaikan keluhan;

10

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 jo Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang tata cara pelaksanaan hak
warga binaan pemasyarakatan telah memberikan pengaturan mengenai
pemenuhan hak-hak narapidana dalam lembaga pemasyarakatan. Peraturan
Pemerintah ini merupakan kelanjutan dari UU no 12 tahun 1995 yang
mana mengatur lebih detail mengenai pelaksanaan hak-hak yang diperoleh
Narapidana seperti:
1. Hak untuk beribadah
2. Hak untuk mendapatkan pengajaran
3. Hak atas kesehatan
4. Hak atas makanan yang layak, dll
Mengacu kepada salah satu kasus dalam Komite HAM
Internasional, yaitu Mukong v. Cameroon, kondisi-kondisi penjara yang
tidak sesuai dengan kapasitas sehingga kepenuhan (Overcrowding),
pemberian makanan-makan yang tidak sehat, dan diisolasi selama
beberapa hari dalam ruang tahanan merupakan bentuk pelanggaran Pasal
10 ICCPR. Merujuk pada kasus lain, Kalashnikov v. Russia dalam
Mahkamah HAM Eropa (ECtHR), kondisi tahan yang tidak higienis,
terlalu dingin, dan juga kelebihan muatan juga dianggap sebagai perlakuan
yang tidak humanis sehingga melanggar Pasal 10 ICCPR dan Pasal 3
konvensi HAM Eropa (ECHR)
Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang sifatnya lebih
detail seperti Peraturan Menteri Hukum dan HAM, Keputusan DITJEN

11

Pemasyarakatan mengenai standar perlakuan yang harus diberikan kepada
narapidana, misalnya saja seperti dalam Peraturan Menteri Hukum dan
HAM Nomor : M.Hh-01.Pk.07.02 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Makanan Bagi Warga Binaan Pemasyarakatan di
Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara yang dapat
dijadikan sebagai komparasi standar perlakuan terhadap narapidana baik
dalam Hukum Nasional dan Hukum Internasional dan relevansinya
sebagai indikator implementasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.

12

BAB III
METODE PENELITIAN

1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian kualitatif. Pada
penelitian kualititaif yang dilakukan di lapangan, merupakan suatu metode
penelusuran untuk meneksplorasi dalam pengertian pengumpulan data dari
pengamatan (observasi) kejadian realitanya.11 Pada penelitian metode ini,
selain mengamati, peneliti mewawancarai peserta penelitian 12 mengenai
bagaimana perlakuan yang diberikan terhadap narapidana dilembaga
pemasyarakatan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk melaksanakan
penelitian lapangan, maka para peneliti mewawancari petugas dalam
lembaga pemasyaraktan di Yogyakarta tentang bagaimana mereka
memperlakukan para penghuni lembaga pemasyarakatan tersebut. Dalam
hasil wawancara lembaga-lembaga ini, maka dapat diprediksi jika ada
sebuah trend yang negatif yang dapat menghambat tujuan pemidanaan.
Lalu, para peneliti melaksanakan observasi untuk mendapatkan data – data
apakah perlakuan yang diberikan kepada para narapidana baik itu fasilitas
dari lembaga pemasyarakatan tersebut maupun perlakuan yang diberikan
oleh petugas lembaga pemasyarakatan sudah sesuai dengan Pasal 10
Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.
Kemudian penelitian ini bersifat eksplanatori atau eksploratoris yang
bertujuan untuk memberikan wawasan dan pemahaman lebih dalam
11
12

Conny R. Semiawan, 2010, Metode Penelitian Kualitatif PT Grasindo, Jakarta, hlm. 112.
Ibid.

13

mengenai perumusan masalah pada peneliti. 13 Dalam pengertian setelah
penelitian ini dilaksanakan, para peneliti mendapat kesempatan untuk
memahami sejauhmana pemerintah telah mengimplementasikan Pasal 10
ICCPR terkait pelakuan kepada Narapidana.

2. Bahan Penelitian
Pengumpulan data terdiri dari dua sumber yaitu data primer dan
sekunder,

14

yang menjadi bahan data penelitian ini. Data primer

merupakan „data yang dikumpulkan secara langsung oleh peneliti untuk
menjawab masalah.‟15 Survei dan wawancara di lapangan, pada lembaga
pemasyarakatan merupakan data – data yang dianggap sebagai data
primer.
Sementara, data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak
langsung dari lapangan tetapi melalui Surat kabar, dokumen atau sumber
kepustakaan lainnya. 16 Data sekunder pada penelitian ini berbentuk
undang



undang

yang

menerapkan

tentang

fasilitas

lembaga

pemasyarakatan dan kovenan atau konvensi atau dokumen yang memuat
prinsip-prinsip internasional yang mengatur mengenai perlakuan kepada
narapidana serta peraturan terkait yang dikeluarkan pemerintah yang
mengatur standar perlakuan atau pemberian hak kepada narapidana
dilembaga pemasyarakatan.
13

Suhermin Ari Pujiati & Nur Rusliah, 1995, Penggunaan R dalam Psikologi, Pustaka Setia, hlm.

1

Asep Hermawan, 2005, Penelitian Bisnis – Paradigma Kuantitatif , PT Grasindo, Jakarta, hlm
168.
15
Ibid.
16
Eddy Soeryanto Soegoto, 2008,Marketing Research The Smart Way to Solve a Problem Elex
Media Komputindo: Jakarta, hlm 118.

14

14

3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumupulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan
berbagai metode yang terdapat dalam penelitian kualitatif Seperti
observasi langsung ke lembaga-lembaga pemasyarakatan di Daerah
Istimewa Yogyakarta, wawancara narapidana terhadap perlakuan yang
mereka terima selama di lembaga pemasyarakatan serta wawancara para
petugas lembaga pemasyarakatan

4. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis data melalui pendekatan
kualitatif terhadap data primer dan sekunder yang telah dilaksanakan. Data
primer yang didapatkan melalui kunjungan ke lembaga-lembaga
pemasyarakatan di Yogyakarta dan dokumen menyatakan perlakuan
terhadap penghuni lembaga tersebut membentuk gambaran bahwa
perlakuan terhadap penghuni lembaga tersebut mencerminkan tindakan
Indonesia dalam mengimplementasikan Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil
dan Politik.

15

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A.

IMPLEMENTASI INDONESIA TERHADAP PASAL 10 KOVENAN
HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK

Indonesia sebagai negara yang memiliki Konstitusi yang sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia/Kemanusiaan, sudah
sewajarnya

memberikan

perhatian

lebih

terhadap

Perlindungan,

pemenuhan, penegakan, penghormatan HAM, Tidak terkcuali terhadap
Narapidana yang sedang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan.
PBB sendiri telah memberikan perturan-peraturan Standard Minimum bagi
perlakuan Terhadap Narapidana ( Standard Minimum Rules For the
Treatment of Prisoners ).17 Peraturan yang telah disepakati oleh Kongres
Perserikatan Bangsa-Bangsa Pertama mengenai Pencegahan Kejahatan
dan Perlakuan Terhadap Pelanggar. dan disetujui oleh Dewan Ekonomi
dan Sosial dengan Resolusi 663 C (XXIV) tanggal 31 Juli 1957 dan
Resolusi 2076 (LXII) tanggal 1 Mei 1997.
Pada tahun 2005 Indonesia pun meng-aksesi Konvensi Hak-hak
sipil dan Politik melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tanpa
Reservasi, dan hal tersebut menjadikan Indonesia Terikat pada aturan
aturan Konvensi Hak-hak sipil dan politik yang berhubungan dengan
17

Peter Bachr dkk. 1997, Instrumen Internasional Pokok-pokok Hak Asasi Manusia, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 671-704.

16

Perlakuan Narapidana, khususnya Pasal 10, dan Standard minimum rules
for the treatment of prisoners merupakan bentuk aplikasi kongkrit dari
Pasal 10 (1), 10 (2), dan 10 (3).

Didalam aturan Standard Minimum Rules For the Treatment of
Prisoners, Terdapat sekitar 95 (Sembilan Puluh Lima) poin aturan yang
mengatur tentang perlakuan terhadap narapidana, seperti : Makanan,
pakaian, kebersihan pribadi, latihan dan olah raga, pelayanan kesehatan,
informasi kepada dan keluhan oleh narapidana, hubungan dengan dunia
luar,

buku,

agama,

penyimpanan

harta

kekayaan

narapidana,

pemberitahuan mengenai kematian, sakit, pemindahan dan sebagainya,
personal lembaga, hak-hak istimewa, pekerjaan, pendidikan dan rekreasi,
hubungan sosial dan perawatan sesudahnya, narapidana gila dan bermental
tidak

normal,

pemeriksaan

narapidana

yang ditahan

atau

sedang menunggu

pengadilan, narapidana sipil sampai kepada orang-orang

yang ditangkap atau ditahan tanpa tuduhan.

Dari sekian banyaknya aspek yang diatur, ECtHR (European Court of
Human Rights) dan IACtHR (Inter-America Court of Human Rights),
telah menetapkan sebuah preseden dalam kasus Kalashnikov melawan
Russia, 18 dan Vélez Loor melawan Panama, 19 bahwa aspek utama yang
menjadi indikator apakah suatu perlakuan terhadap narapidana itu
manusiawi atau tidak dapat dilihat dari 5 aspek utama, yaitu, 1.) Aspek
18
19

Kalashnikov v. Russia, ECtHR, Application no. 47095/99
Vélez Loor vs. Panamá, IACtHR, 23 November 2010

17

Makanan dan Minuman 2.) Aspek Kebersihan dan Kesehatan Narapidana,
3.) Aspek Psikologis dari Narapidana 4) Aspek manifestasi keagamaan
dari Narapidana, 4.) Aspek akses informasi dari dunia luar,
Dari berbagai aspek diatas, inilah bentuk dari implementasi dari ICCPR
oleh peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai berikut:

1.

Implementasi Standar Makanan
Mengenai standar makanan Tahanan/Narapidana di Lembaga
Pemasyarakat Indonesia telah mengimplementasikan dalam Bentuk
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia nomor
M.HH-01.PK.07.2 Tahun 2009.

2.

Implementasi Standar Pakaian dan Kebersihan Pribadi
Standar pakaian Tahanan/narapidana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang
pelaksanaan pemasyarakatan, dalam

Pasal 7 disebutkan bahwa

setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan berhak mendapat
perawatan jasmani berupa Pemberian kesempatan melakukan olah
raga dan rekreasi, pemberian perlengkapan pakaian dan pemberian
perlengkapan tidur dan mandi.
3.

Implementasi Pelayanan Kesehatan Untuk Narapidana
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
tentang pelaksanaan pemasyarakatan juga mengatur tentang hak
Narapidana memperoleh pelayanan kesehatan yang layak, pada
setiap LAPAS diwajib menyediakan poliklinik beserta fasilitasnya

18

dan disediakan sekurang-kurangnya seorang dokter dan seorang
tenaga kesehatan lainnya.
4.

Implementasi Pelayanan/Bimbingan keagamaan dan pendidikan
untuk Narapidana
Pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 1999 tentang pelaksanaan pemasyarakatan telah mengatur
bahwa setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakat wajib
mengikuti program pendidikan dan bimbingan agama sesuai
dengan agama dan kepercayaannya, dan sebelumnya di Pasal 3
setiap LAPAS diberi kewajiban wajib menyediakan petugas untuk
memberikan pendidikan dan bimbingan Keagamaan.

5.

Implementasi Penyediaan Informasi dan Buku Untuk Narapidana
Telah

diatur

dalam

Pasal

14

ayat

(1)

Undang-Undang

Pemasyarakatan, disebutka bahwa narapidana berhak mendapatkan
bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang.

19

B.

PERLAKUAN YANG DIBERIKAN KEPADA NARAPIDANA DI
LINGKUNGAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA
YOGYAKARTA DAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS
IIB

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta atau yang lebih dikenal
dengan lapas Wirogunan terletak di Jalan Tamansiswa Nomor 6 Yogyakarta,
dengan luas area lebih kurang 3,8 hektar. Lapas ini dibuat pada sekitar tahun 1910
sampai 1915. Lapas Wirogunan ini juga belum lama dinobatkan sebagai lapas
terbaik se-Indonesia pada bulan April 2014 lalu.
Dalam Pasal 10 ICCPR telah diatur bahwa setiap orang yang direbut hak
atas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi. Dokumen pendukung
ICCPR seperti Body Principle for the protection of all person under any form of
detention or imprisonment dan Standard minimum rules for the treatment of
Prisoners telah menetapkan bagaimana bentuk aplikasi dari Pasal berikut. Setelah
melakukan kunjungan selama 1 bulan ke lapas diwilayah DIY, peneliti mendapati
hasil sebagai berikut:
1. Administrasi dan Registrasi Tahanan
Dalam Prinsip nomor 7 sampai 11 Standard Minimum diatur bahwa setiap
lapas harus memiliki buku registrasi narapidana atau tahanan yang berisi
informasi identitas penghuni lapas, alasan pemenjaraan, hari dan jam narapidana
dipenjara dan waktu bebasnya. Kemudian diatur juga bahwa narapidana harus

20

dipisahkan dengan memperhatikan beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur
,dan Pasal yang divonis kepada narapidana.
Dalam Lapas di wilayah DIYterdapat bagian Kepala Pengamanan Lembaga
Pemasyarakatan yang bertugas untuk melakukan administrasi penempatan
narapidana.didalam buku registrasi tahanan tercantum data-data lengkap
mengenai tahanan seperti nama, umur, jenis kelamin dan Pasal yang divoniskan
kepada narapidana.
2. Kondisi Kamar
Dalam lapas di wilayah DIY terdapat beberapa jenis kamar, ukuran besar
dan kecil. Yang besar berukuran 12x10 meter ditujukan untuk kapasitas 18 sampai
maksimal 28 orang sedangkan yang kecil berukuran 3x8 yang ditujukan untuk
kapasitas 4 sampai 9 orang dengan rata-rata 1 orang mendapatkan ruang 2,67 m24,3 m2. Kemudian pada lapas wanita dilapas wirogunan terdapat kelebihan
kapasitas karena semua tahanan wanita dari seluruh jogja ditempatkan di lapas
wirogunan.
Menurut Rule 9 Standard Minimum dimungkinkan adanya kelebihan
kapasitas yang bersifat sementara dalam keadaan khusus. 20 Menurut penuturan
dari petugas lapas wirogunan, saat ini pemerintah berencana untuk membuat lapas
khusus wanita di jogja. Jika berdasarkan kasus di pengadilan HAM Eropa, ruang
0,9 -1,9 m2 termasuk dalam kategori perlakuan yang tidak manusiawi.21

20
21

SMR Rule 9
Kalashnikov v. Russia, ECHR, Application No. 47095/99, Judgment, Strasbourg, 15 07 2002.

21

Berikut adalah Statistik dari penghuni Lapas Wirogunan di Yogyakarta

ISI LAPAS KELAS II A Wirogunan Yogyakarta
Bulan

Isi

TAMBAH

Awal

Pindahan Eksekusi

Bulan
P

KURANG

Jaksa

Bebas

PB

Isi

CMB

CB

Pindah

Akhir
Bulan

Murni

W

P

W

P

W

P

W

P

W P W P W

P

W

P

W

Januari

275 74

15

20

-

3

8

9

9

-

1

-

4

-

-

-

269

87

Februari

269 87

6

12

1

1

4

9

11

-

3

-

2

2

-

-

257

90

Maret

257 90

22

7

-

-

12

4

7

2

2

-

4

2

-

-

256

87

April

256 87

5

9

1

-

7

5

4

1

1

-

4

1

-

-

246

87

Mei

246 87

26

11

1

1

7

3

5

1

-

-

1

1

-

-

361

93

Juni
Juli
Agustus
September
*Data Diambil Dari Penelitian Lapangan di LP Kelas Iia Wirogunan
Yogyakarta

3. Makanan
Standard Minimum juga menetapkan standar makanan yang harus
diberikan kepada tahanan melalui prinsip 20. Makan yang diberikan haruslah

22

sesuai dengan kebutuhan perhari, baik dari segi nutrisi, tingkat kematangan untuk
mendukung kesehatan dan kekuatan narapidana.
Dalam lapas Lapas di wilayah DIY setiap makanan sudah diatur
sedemikian rupa pelaksanaannya, sehingga menu yang disajikan dirotasi setiap
sepuluh hari sekali. Hal ini sudah sesuai dengan peraturan Mentri Hukum dan
HAM yang mana sudah mengatur tentang penyiapan makan secara detail mulai
dari angka kecukupan gizi orang Indonesia dan bahan-bahan makan apa yang
harus disediakan. Bahkan setiap 2 hari sekali para narapidana mendapatkan buah.
No.

Bahan Makanan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Beras
Ubi jalar/ketela
Daging sapi/kerbau
Ikan asin/ kering
Ikan segar
Ikan asin
Telur bebek/ ayam
Tempe/ kacang
Kacang hijau
Kacang tanah
Kelapa daging
Sayuran segar
Bumbu termasuk terasi & cabe
Garam dapur
Gula kelapa/ aren/pasir
Minyak goreng kelapa
Pisang
Cabe merah
Kayu bakar /
minyak tanah /
gas

*Tabel Jenis Makanan yang diberikan kepada narapidana, bersumber pada
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia nomor M.HH01.PK.07.2 Tahun 2009.

23

STANDAR KECUKUPAN GIZI :
Untuk hidup sehat , setiap orang memerlukan zat gizi yang cukup macam dan
jumlahnya yaitu karbohidrat , protein,lemak vitamin dan mineral serta air. Untuk
menentukan standar kecukupan gizi biasanya hampir disetiap negara memiliki
angka kecukupan gizi.Untuk orang Indonesia Angka Kecukupan Gizi ( AKG )
yang digunakan adalah hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, LIPI Tahun
2004 sebagai berikut :

STANDAR KECUKUPAN GIZI YANG DIANJURKAN
(BERDASARKAN KETENTUANWIDYAKARYA PANGAN DAN
GIZI TAHUN 2004)

No.

1.

2.

Macam Konsumn

Pria

Wanita

Widyakarya pangan dan gizi 2004
Golongan Usia

Enrgi (kalori)

13-15 th

2400

16-19 th

2500

20-45 th

2800

46-59 th

2500

13-15 th

2100

16-19 th

2000

20-45 th

2200

46-59 th

2100

ANGKA KECUKUPAN GIZI TAHANAN / NARAPIDANA
Angka kecukupan gizi tahanan / narapidana tidak berbeda dengan angka
kecukupan gizi untuk orang Indonesia pada umumnya, berdasarkan komposisi

24

umur dan jenis kelamin tahanan / narapidana adalah 2350 kilo kalori. Secara garis
besar kecukupan gizi tahanan / narapidana dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

1. tahanan / narapidana anak dan remaja umur 10-18 tahun
No

Umur

Kecukupan Energi rata-rata ( kilo
kalori )
Laki-laki

Wanita

1

10-12 tahun

2050

2050

2

13-15 tahun

2400

2350

3

16-18 tahun

2600

2200

2. tahanan / narapidana dewasa umur di atas 18 tahun
No

Umur

Kecukupan Energi rata-rata (kilo
kalori)
Laki-laki

Wanita

1

19-29 tahun

2550

1900

2

30-49 tahun

2350

1800

3

50-64 tahun

2250

1750

(sumber : Pedoman Standarisasi dan Penetapan Gizi Makanan
Narapidana dan Tahanan tahun 2004)

4. Kesehatan
Menurut Rule 22 sampai 26 diatur bahwa dalam setiap fasilitas lapas harus
terdapat fasilitas pengobatan yang juga memiliki minimal 1 orang dokter umum
serta ahli kejiwaan, kemudian disyaratkan juga adanya prosedur pengecekan
makanan yang dikonsumsi oleh warga binaan serta pengecekan sanitasi ruangan.
22

22

SMR Rule 22-26

25

Fasilitas kesehatan yang disediakan oleh Lapas wirogunan berupa 1 buah
klinik dengan 1 orang tenaga dokter umum, 1 orang dokter gigi, dan 5 orang
perawat. Klinik yang disedikan setara dengan puskesmas dan ketika ada warga
binaan yang butuh perawatan lebih lanjut maka akan dibawa kepada rumah sakit
wirogunan yang terletak tidak jauh dari lapas.
Dilapas Cebongan, terdapat 1 buah klinik dengan tenaga 1 orang dokter
umum, dan 3 orang perawat. Sama dengan yang terdapat di Lapas Wirogunan,
klinik yang disediakan setingkat dengan puskesmas.
5. Akses terhadap buku
Dilapas diwilayah DIY disediakan akses terhadap buku-buku melalui
perpustakaan. Perpustakaan itu terbuka untuk setiap lapas setidaknya 4 jam
perhari dari pukul 08.00-11.00 pagi. Buku-buku yang tersedia pun beragam dari
novel dan berita dan dapat dipinjam sampai kedalam sel. Menurut petugas
perpustakaan yang merupakan warga binaan lapas wirogunan minat membaca
cukup tinggi mengingat mereka memiliki banyak waktu luang didalam lapas
sehingga untuk
Dalam Standard Minimum Treatment Rule 40 tidak diatur begitu banyak
mengenai akses mengenai buku, hanya diatur bahwa harus terdapat buku buku
yang sifatnya rekreasional dan setiap narapidana harus disosialisasikan untuk
menggunakan fasilitas tersebut.23

23

SMR Rule 40

26

6. Aspek Keagamaan
Dilapas kedua Lapas di DIY tersebut, telah disediakan berbagai sarana
ibadah yaitu, 1 buah masjid dan 1 buah gereja dan disediakan rohaniawan bagi
agama lainnya. Selama dalam observasi hanya terdapat narapidana yang beragam
Islam dan beragama Katolik dan Protestan. Menurut petugas Lapas yaitu Ibu Asri,
apabila terdapat narapidana yang beragama hindu atau Buddha Lapas Wirogunan
telah bekerja sama dengan perkumpulan Hindu dan Buddha di Yogyakarta.
Kemudian baik didalam masjid maupun gereja, telah tersedia agenda-agenda rutin
yang dapat diikut oleh narapidana seperti, shalat berjamaah, kebaktian, misa,
maupun tarawih di bulan ramadhan dan Misa Natal di hari Natal.
Sebagaimana diatur dalam rule 41 sampai 42 standard minimum treatment, bahwa
setiap Narapidana harus mendapatkan kesempatan untuk menjalankan agamanya.
Bentuk pelaksanaan kesempatan tersebut berupa kepemilikan buku-buku
keagamaan, kehadiran rohaniawan secara rutin, bahkan jika diperlukan sebuah
bangunan untuk melaksanakan kegiatan keagamaan tersebut.24

7. Kegiatan diluar
Baik di lapas wirogunan maupun lapas cebongan, para narapidana
diizinkan keluar dari ruang tahanannya mulai dari pukul 08.00-12.00 kemudian
masuk kembali untuk shalat jum‟at dan makan siang, kemudian diperbolehkan
untuk keluar pukul 13.00-16.00, bagi narapidana yang dianggap berkelakuan baik
bahkan dapat keluar dari area steril dan bekerja membantu pekerjaan petugas
24

SMR Rule 41-42

27

lapas, misalkan membantu menjaga perpustakaan, membersihkan ruangan, dan
sebagainya. Bagi narapidana yang tidak ingin keluar dari area steril dapat
melakukan kegiatan yang dapat membantu mengembangkan soft skill mereka.
Menurut Standard Minimum Rules, setiap Narapidana yang tidak
dipekerjakan diluar ruangan harus memiliki setidaknya 1 jam sehari untk dapat
beraktivitas diluar ruangan.25
8. Pekerjaan dalam Lapas
Berdasarkan Rule 71-75 Standard Minimum Treatment, diatur bahwa
pekerjaan dalam lapas harus sesuai dengan kemampuan fisik dari narapidana yang
bersangkutan. Kemudian diatur pula bahwa pekerjaan yang diberikan kepada
narapidana haruslah membuat narapidana menjadi memiliki kemampuan untuk
menjadi mandiri setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, kemudian dalam
setiap pekerjaan yang disediakan harus ada sistem pengupahan yang diberikan
kepada narapidana.26
Didalam Lapas diwilayah Yogyakarta terdapat kegiatan yang dapat
mengasah soft skill mereka, seperti keahlian elektronika, menjahit, membuat
kerajinan tangan, menyablon, dan lain-lain. Terhadap kegiatan tersebut,
narapidana dapat memilih pekerjaan atau keahlian yang mereka inginkan dan akan
mendapatkan bayaran dalam bentuk voucher. Voucher ini nantinya dapat
digunakan untuk membeli barang-barang yang dijual didalam koperasi seperti
makanan ringan dan minuman ringan, kartu bermain. Dalam lapas wirogunan
tidak diperkenankan narapidana untuk memiliki rupiah karena untuk mencegah
25
26

SMR Rule 21
SMR Rule 71-75

28

narapidana untuk melakukan praktek bisnis illegal didalam lapas. Menurut
petugas, beberapa narapidana yang telah keluar dari lapas telah mampu membuat
usaha mandiri dari keahlian yang didapatkan dilapas. Melihat dari keadaan diatas
maka point ke delapan ini telah dipenuhi oleh Lapas di Wilayah Yogyakarta.

29

C. HAL YANG PERLU DI TINGKATKAN PEMERINTAH UNTUK
MEMENUHI STANDAR YANG DITETAPKAN OLEH REZIM
PASAL 10 KOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK

Meskipun beberapa aspek di lapas di wilayah Yogyakarta telah memenuhi standar
minimum yang telah ditetapkan ICCPR dan instrument hukum tambahan lainnya,
akan tetapi masih terdapat beberapa aspek yang harus ditingkatkan agak Indonesia
sepenuhnya memenuhi standar ICCPR seperti Overcrowding, pelayanan
kesehatan, Hasil Kerajinan.
a) Overcrowding
Yang harus ditingkatkan untuk menangani masalah Overcrowding adalah
pembangunan lapas-lapas baru, khususnya lapas wanita dan anak di
wilayah DIY karena belum adanya fasilitas khusus untuk menangani
narapidana-narapidana jenis tersebut. Namun overcrowding yang terjadi
diLapas di wilayah Yogyakarta tidak sampai dapat dikatakan tidak
manusiawi, akan tetapi apabila keadaan tersebut tetap dibiarkan maka
dapat menyebabkan psikis dari Narapidana akan terganggu.
b) Pelayanan Kesehatan
Meskipun telah terdapat klinik didalam setiap lapas yang kami kunjungi
akan tetapi, masih terdapat kekurangan yaitu masalah pendanaan biaya
perawatan para narapidana. Menurut petugas di lapas Wirogunan dan
Cebongan terdapat masalah pendanaan mengingat Peraturan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial tidak menyebutkan mengenai pendaaan

30

pelayanan kesehatan bagi narapidana. Maka dari itu pemerintah harus
merevisi aturan BPJS untuk mengakomodir kepentingan Narapidana.
c) Penyaluran Hasil Kerajinan
Menurut petugas lapas, kerajinan yang dibuat para narapidana sering
menemui kendala untuk menyalurkan hasil kerajinan karena tidak adanya
jaringan distributor untuk menyalurkan hasil produk tersebut. Padahal para
Narapidana telah membuat banyak kerajinan namun akibat kurangnya
distribusi, akhirnya produksi beberapa produk terpaksa dihentikan dan
narapidana tidak mendapatkan soft skill yang diharapkan. Maka dari itu
pemerintah sebaiknya menyediakan alur distribusi atau pemasaran bagi
produk-produk lapas, entah melalui bazaar, pameran, atau penjualan
langsung kedalam pasar tradisional

31

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Indonesia telah melakukan implementasi terhadap Pasal 10 ICCPR yang
telah diaksesi melalui UU no 12 tahun 2005 dalam beberapa peraturan perundangundangan yang meliputi beberapa bidang seperti, Makanan, Perlakuan narapidana,
kesehatan dan kebersihan narapidana, Akses terhadap informasi, dan lain-lain.
Perlakuan Narapidana di Yogyakarta, tepatnya

LAPAS kelas II A

wirogunan dan Kelas II B Cebongan secara garis besar telah sesuai dengan Pasal
10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Beberapa indikator yang telah sesuai
dengan Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik walaupun masih terdapat
beberapa kekurangan akan tetapi kurang lebih Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil
dan Politik telah di implementasikan dengan baik.

32

DAFTAR PUSTAKA

Buku
a.
Joseph, Sarah, 2013, The International Covenant of Civil and Political
Rights, Oxford University Press, Oxford
b.
Harsono, C.I.,1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan,
Jakarta
c.
Shaw, Malcolm N., 2008, Introduction to International Law, Cambridge,
New York
d.
Locke, John, 1988, The Second Treatise of Government, reprinted in P
Laslett (ed), Locke, Two Treatises of Government ,Cambridge University Press,
Cambridge

Peraturan Perundang-undangan
a.
Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of
Detention or Imprisonment
b.

Convention on the Rights of Child, 1577 UNTS 3

c.
Convention on the Elimination of Discrimination against Women, 1249
UNTS 13
d.

International Covenant on Civil and Political Rights, 999 UNTS 171

e.
International Covenant on Economic, Social and Cultural Right, 993
U.N.T.S.3
f.
Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, Economic and
Social Council Resolutions 663 C (XXIV)
g.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

h.
Undang-Undang no 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor 77)
i.
Undang-Undang no 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights, (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 119)

33

j.
Peraturan Pemerintah no 28 tahun 2006, (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 61 )
k.
Peraturan Pemerintah no 32 tahun 1999, Tentang Syarat Dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 69)
l.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor : M.Hh-01.Pk.07.02 Tahun
2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Makanan Bagi Warga Binaan
Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara

Jurnal
S. Joseph, A Right analysis of the Covenant on Civil and Political Rights, Journal
of Legal Studies vol. 57, 1995

Kasus
a.

Mukong v. Cameroon, HRC, Communication No. 458/1991

b.

Kalashnikov v. Russia, ECtHR, Application no. 47095/99

c.

Vélez Loor vs. Panamá, IACtHR, 23 November 2010

Situs Internet
Kantor Wilayah DIY Jogjakarta, Satu Kerja di Lingkungan Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta diakses melalui
http://jogja.kemenkumham.go.id/satuan-kerja
Http://Www.Harianjogja.Com/Baca/2013/07/29/Kesaksian-Rachel-DougallMedia-Inggris-Sebut-Penjara-Indonesia-Jorok-432645

34