Negosiated Position dan Kontestasi Kekua

Negosiated Position dan Kontestasi Kekuasaan pada ‘Diskusi Novel Ulid tak Ingin Pergi ke
Malaysia’
Zakiyah Derajat

Pada 8 Desember 2012, diadakan sebuah diskusi buku oleh komunitas Kembang
Merak di Balairung UGM. Diskusi kali itu membahas novel bertajuk Ulid Tak Ingin Pergi ke
Malaysia (UTIM). Sebuah review UTIM yang sempat terbaca membawa saya untuk
menghadiri diskusi tersebut. Review apik yang ditulis oleh seorang bernama Dwicipta. Mas
Cipta (panggilan Dwicipta) ini kemudian menjadi pemantik diskusi bersama Sita H (Mbak
Sita), seorang dosen dari jurusan Antropologi UGM.
Diskusi juga menghadirkan penulis dari novel tersebut yang bernama Mahfud Ihwan
(Mas Mahfud). Saya datang dengan ekspektasi bahwa diskusi akan bernada positif mengulas
posisi sosiologis dan antropologis novel ini, sepositif gambaran saya terhadapnya yang
sebelumnya telah dibentuk oleh review Mas Cipta. Namun saya keliru. Memang ada
beberapa nada minor dalam review Mas Cipta, karena review tersebut dimaksudkan untuk
sebuah kritik, tetapi saya tidak menduga bahwa nada minor itulah yang kemudian menjadi
inti dari diskusi tersebut. 1 Kedua pembicara menitik-beratkan pada kritik terhadap buku ini,
dan kemudian dengan “cara”-nya masing-masing, mencoba menggiring Mas Mahfud untuk
merevisi novel yang telah ia karang.
Saya melihat berbagai praktik kuasa yang ada dalam diskusi ini. Hal ini kemudian
menarik perhatian saya, yaitu bagaimana pembaca, dalam hal ini kedua pembicara, bila

kemudian dipertemukan dengan produsen makna, dalam hal ini penulis UTIM, dalam
1

Nada minor ini akan digambarkan dan dibahas lebih lanjut pada poin-poin selanjutnya. Di sini saya juga
merefleksi diri, bahwasanya saya yang hanya membaca review sudah cenderung jatuh dalam posisi dominanhegemonic, bisa jadi saya tetap dalam posisi tersebut bila tidak menambah framework of knowledge saya
dengan mengikuti diskusi panel ini.

1

sebuah diskusi kecil, ternyata dapat menampilkan suatu fenomena yang layak untuk dikaji.
Bagaimana Mas Mahfud kemudian terlihat sedikit terusik dengan otoritasnya sebagai
pengarang, dan bagaimana kedua pembicara tetap menegaskan ekspektasinya akan “UTIM
yang seharusnya menurut mereka”. Pembahasan ini tidak dimaksudkan untuk
mendikotomikan diskusi menjadi Mahfud vs. Pembicara, namun tentu lebih dari itu, saya
tertarik untuk mengangkat praktik dari posisi pembacaan yang dilakukan Mbak Sita dan Mas
Cipta, serta praktik bertahan yang dilakukan Mas Mahfud. Kedua pembicara memiliki cara
yang berbeda dalam mempraktikkan posisi pembacaan masing-masing. Praktik kuasa ini
akan dipaparkan dan dianalisis setelah saya menganalisis terlebih dahulu posisi pembacaan
masing-masing pembicara dengan memakai teori milik Stuart Hall, Encoding/Decoding.2
Terdapat dua macam materi hasil pembacaan yang saya gunakan sebagai bahan

analisis. Yang pertama adalah materi yang ditulis oleh kedua pembicara, dan materi kedua
adalah dokumentasi video yang telah direkam oleh panitia (Komunitas Kembang Merak).
Penelitian serupa (reception studies) dengan metode kualitatif telah banyak
dilakukan sebelumnya. Dalam hal ini printed media, saya contohkan skripsi Sylvia Kartika
Tjandra, mahasiswa Universitas Kristen Petra yang berjudul “Penerimaan publik gereja
Mawar Sharon terhadap Misi Gereja Tahun 2011 dalam Artikel Buletin Army of God”
(Tjandra, 2011). Sylvia membuat penelitian reception studies pada jemaat gereja Mawar
Sharon atas artikel dalam buletin gereja tersebut: Army of God. Beberapa responden diteliti,
dan dilakukan proses penelitian memakai metode etnografi, yaitu dengan wawancara
responden (in depth).

2

Apakah hanya pembicara yang akan dibahas? Iya, namun saya juga akan mengangkat suara-suara yang akan
menggambarkan suasana diskusi. Dari 15-20 orang yang hadir, hanya 9 orang yang menyatakan pendapatnya,
dan dari 9 orang itu, 2 pembicara penulis, dan moderator mengambil porsi terbesar diskusi yang berlangsung
selama dua jam tersebut. Di dalam ruangan terdapat 10 orang, 3 di antaranya perempuan. Sisanya di luar,
yang juga mayoritas laki-laki.

2


Penelitian tentang relasi kuasa yang terjadi pada suatu kegiatan juga pernah
dilakukan oleh Kris Budiman (Budiman, 2002). Kegiatan yang saya analisis adalah sebuah
forum diskusi, sedang milik Kris Budiman adalah kegiatan menonton TV.
Sekilas Tentang UTIM
Novel Ulid Tak Ingin Pergi ke Malaysia pertama diterbitkan pada tahun 2009, berisi
400 halaman, dan hingga saat ini masih tersedia cetakan pertamanya.3 Menurut Mas
Mahfud, ia merampungkannya dalam periode 6 tahun. Berikut resensi singkat UTIM:
“Cerita ini tentang seorang anak manusia bernama Ulid. Terlahir sebagai
anak seorang guru dan ditakdirkan sebagai bocah yang sangat mencintai
kampung halamannya, membuat kehidupan Ulid kecil penuh warna.
Ramainya panen bengkuang, rasa bengkuang yang manis, dan
keheranannya pada orang kota yang memakan bengkuang yang dicuci
dengan air sungai yang sekaligus menjadi kakus orang Lerok adalah di
antara warna kehidupannya itu. Membakar gamping, kegagahan bapaknya,
umpatan-umpatan khas pembakar gamping, dan pengalaman membakar itu
sendiri adalah warna lain dari masa kecilnya.
Benar-benar penuh warna. Saking berwarnanya, kita tidak bisa
membayangkan kehidupan Ulid kecil tenang sentosa seperti anak guru masa
kini. Tarmidi, ayahnya, hanyalah seorang guru sekolah swasta di kampung

kecil dan miskin, yang tentu saja digaji dengan seikhlasnya (apa yang
diikhlaskan). Oleh karena itu, kehidupan mereka tidak baik-baik saja
walaupun bapaknya juga membakar gamping dan menanam bengkuang—di
mata Ulid kata baik-baik saja berarti beres, tidak baik-baik saja berarti ada
yang tidak beres.
Suasana tidak baik-baik saja pun benar-benar dialaminya. Setelah
sebelumnya dia mogok sekolah SD dan bertekad pindah ke sekolah swasta
karena malu dipasang-pasangkan dengan gadis mungil bernama Iyah, dia
harus mengembala kambing yang tidak disukainya, dan berbagai peristiwa
lain, akhirnya ditemuinya bapaknya bersiap berangkat ke Malaysia. Sebagai
seseorang yang tidak suka Malaysia tentu saja hal ini membuat Ulid murka.
Namun, tidak bisa ditampik, walaupun dipenuhi warna yang tidak kalah
pekatnya, peristiwa inilah yang berkontribusi besar atas keberhasilannya
melanjutkan SMA. Kemurkaannya semakin bertambah ketika mendapati
bapaknya tertangkap polisi Malaysia dan kemudian dideportasi. Bukan
3

Pasar tak begitu antusias dengan novel ini. Seorang teman Mas Mahfud yang mengikuti proses penjadian
UTIM bernama Tarli mengatakan, “Novel ini dibunuh oleh penerbitnya. Oleh penulis dimaksudkan sebagai
sastra, oleh penerbit dieksekusi dimasukkan fiksi.” (catatan notulen, 8 Des, 2012). Mungkin ambiguitas ini yang

membuat UTIM tidak jatuh pada tangan yang “pas”. Namun tentu, kita tidak akan membahasnya lebih jauh.

3

kepulangan bapaknya yang menjadi puncak kemurkaan Ulid, melainkan
akibat kepulangan bapaknya itu, ibunyalah yang berangkat ke Malaysia.
Pengalaman-pengalaman buruknya membuat Ulid yang semula membenci
Malaysia, justru berbalik arah. Dia berangkat meninggalkan segalanya,
meninggalkan bapaknya, adik-adiknya, hutan Lerok, bukit-bukit, kenangan
masa kecil, dan terlebih lagi meninggalkan Iyah, si gadis yang sempat
menjadi momok dalam kehidupannya.
Sebagai bagian tidak kalah penting dari cerita, ternyata sebagian besar
kehidupan Ulid tak terlepas dari tokoh sentral bernama Siti Juwairiyah, gadis
kecil yang sangat dihindarinya karena “pengalaman buruk” dipasangpasangkan sewaktu TK. Tanpa disadari, berbagai perjalanan hidup Ulid
selanjutnya, terutama dalam hal memilih sekolah, ternyata tak jauh dari
usaha menghindari Juwairiyah, yang kemudian disadari justru dicintainya.
Akan tetapi sayang, cinta tak berakhir bahagia bagi Ulid, kekasih hatinya
direnggut begitu saja.
Itu adalah sebagian dari cerita yang disampaikan Mahfud Ikhwan dalam Ulid
Tak Ingin ke Malaysia. Pada novel ini, detail kehidupan petani bengkuang di

Lerok begitu ditonjolkan, detail pembakar gamping—yang sebenarnya tidak
lain petani bengkuang juga, tak kalah rincinya. Detail bagaimana bengkuang
ditinggalkan, gamping dilupakan, dan Malaysia dijadikan tujuan, pun
diceritakan dengan begitu berwarna. Tak luput pula dikisahkan bagaimana
perubahan kehidupan warga Lerok setelah banyak warganya ke Malaysia,
keadaan masjidnya yang mulai ditinggalkan, keadaan dan berbagai kisah
sendu lain seiring dengan semakin banyaknya televisi, hadirnya listrik PLN,
sampai kehadiran film jorok yang tak sengajak ditonton Ulid karena dijebak
Yamin, temannya.
Lerok benar-benar berubah setelah itu. Malaysia adalah kiblat, sepatu,
mainan, pakaian, Ringgit, semuanya berbau Malaysia. Bahkan, didapati
kemudian, Ulid, bapak, emaknya, bahkan Siti Juwairiyah--walau pun tak
bertemu Ulid—ternyata ada di Malaysia.” 4

Pembaca dan Produksi Makna
Pembaca dalam cultural studies selalu diartikan sebagai pihak yang tidak pasif.
Pembacaan terhadap suatu teks media selalu kontekstual, dibingkai dengan banyak nilai
budaya dan struktur institusional (Thwaites, T., Davis, L., Mules, W., 2009 (2002); 324-325).
Artinya seorang pembaca bukanlah benda mati yang serta merta tidak memiliki kekuatan
4


http://kabarbahasa.blogspot.com/2011/09/kampung-lerok-sepenggal-kisah-tentang.html diakses pada 18
Desember 2012. Saya mengambil cerita singkat ini karena saya belum selesai membaca UTIM, dan pula saya
tidak akan turut membedah konten novel Mas Mahfud. Satu referensi ini (serta dua dari pembicara yang
masuk pada yang dianalisis) semoga cukup sebagai gambaran besar UTIM.

4

untuk bertindak di luar kuasa media. Seorang pembaca, dengan segala historinya memiliki
kemampuan untuk membaca menurut caranya sendiri, yang kemudian membantah adanya
gagasan pembacaan massal, di mana hasil pembacaan harus selalu sama. Agaknya setiap
manusia memiliki pengalaman hidup berbeda yang membentuk masing-masing kediriannya,
yang pada akhirnya membuat wajar bila hasil pembacaan beraneka ragam.
Stuart Hall dalam esainya Encoding/Decoding (Hall, 2006), menekankan betapa
pentingnya sebuah makna. Ia enggan menerima teori komunikasi tradisional yang linier:
pengirim / pesan / penerima yang lalu ia kritik karena hanya mementingkan level
pertukaran pesan saja sehingga miskin dalam proses produksi pesan (oleh pengirim) dan
penerimaan pesan (oleh penerima). Hall kemudian memilih rumusannya sendiri, yang terdiri
dari produksi, sirkulasi, distribusi/konsumsi, reproduksi (atas makna) yang menjelaskan
terdapat banyak proses diskursif dalam bentuk komunikasi/bahasa yaitu lewat operasi

tanda-tanda.
Memfokuskan analisis pada media Televisi, Hall menekankan bahwa makna itu selalu
hadir dalam proses komunikasi. Produksi pesan memroduksi makna (encoding), lalu pesan
terbentuk, kemudian konsumsi berarti menangkap makna yang juga merupakan proses
pembuatan makna dengan jalan men-decode – mencoba meraih apa yang dihadirkan oleh
pesan. Proses encoding dan decoding sama-sama dipengaruhi oleh kerangka pengetahuan
(framework of knowledge), relasi-relasi produksi (relations of production), dan infrastruktur
teknis (technical infrastructure). Artinya proses penerimaan pesan oleh audiens tidak dapat
dipahami hanya dalam terminologi sederhana sekedar ‘menyampaikan’ pesan saja. Audiens,
dengan struktur kompleks yang mempengaruhinya, juga memroduksi makna – yang dalam
istilahnya cenderung disebut mereproduksi. Berikut skema encoding decoding dalam
struktur broadcast yang ditampilkan Hall (Hall, 2006; 165):
5

Gambar 1. Skema encoding decoding
Makna yang dihasilkan oleh proses produksi, bisa jadi – atau sangat mungkin –
berbeda dengan makna yang direproduksi oleh audiens. Ini dikarenakan oleh perbedaan
kode yang sangat erat kaitannya dengan tiga hal yang telah disebutkan sebelumnya.
Tak pernah ada salah pemaknaan dalam kaca mata ini. Semua pemaknaan itu benar
karena makna hadir jika dan hanya jika ada proses produksi makna (konstruksionis).

Pemaknaan seperti apa pun adalah sah. Dan bagi Hall, tidak ada proses konsumsi makna jika
tidak ada makna yang didapat. Ini hanya mengulang sebuah pernyataan betapa pentingnya
arti sebuah makna bagi Hall.
Dalam hal produksi makna, produsen meng-encode sebuah makna yang merupakan
makna dominan (preferred meaning) – hasil representasi dari ideologi yang menghegemoni.
Terdapat 3 kemungkinan pengelompokan pembacaan atas pesan: dominant-hegemonic
position – audiens berideologi sama dengan makna dominan: muncul-lah apa yang disebut
perfectly transparent communication, di mana audiens mengartikan pesan sesuai dengan
yang diharapkan pengirim. Negotiated position – audiens ambivalen yang merasa ia
berideologi sama dengan makna dominan, namun ada bagian dari dirinya yang tidak: pada
akhirnya hasil pembacaan akan mereka sesuaikan dengan kebutuhan mereka (yang lalu
6

mengandaskan ambivalensi dalam dirinya). Oppositional position – audiens yang berideologi
bersebrangan dengan makna dominan: audiens akan menolak makna dominan dan memiliki
maknanya sendiri tergantung konteks sosialnya, bahkan posisi audiens ini akan mendebat
preffered meaning.

Sita dan Cipta
Dalam ulasan yang ditulisnya, Mbak Sita dan Mas Cipta sama-sama mengagumi spirit

kehidupan sosial yang dibawa UTIM. Keduanya sama-sama suka dengan pengangkatan isu
desa dengan segala proses sosiologis di dalamnya. Bahkan di awal paragraf, Mbak Sita
menyampaikan terima kasihnya kepada Mas Mahfud karena telah mengarang UTIM.
Kemudian Mbak Sita melanjutkan dengan kalimat yang menggambarkan bagaimana UTIM
bercerita tentang pembayangan warga Lerok atas negara. Perwujudan negara bagi warga
Lerok dalam sinder (pengawas perhutani), listrik, PLN, Sekolah Menengah Atas, dan lalu
paspor (di bagian akhir cerita) yang digambarkan dalam UTIM merupakan
“wujud “Antrophologi of the State” yang belum banyak diangkat ilmuwan
sosial Indonesia”.5
Sebuah kalimat pujian untuk Mas Mahfud. Mbak Sita juga memperjelas kehadiran novel
(seperti UTIM) sangat berguna mengingat ia merupakan dosen jurusan Antropologi.
“... dari segi akademis Mas Pujo (dosen Antropologi UGM) selalu bilang kalau
mau nulis etnografi yang bagus sebaiknya membaca novel. Saya juga kalau
nanti mungkin novel ini diterbitkan ulang dan mungkin agak sedikit
diperbaiki, saya akan menyarankan menyarankan mahasiswa-mahasiswa
saya untuk kuliah-kuliah yang bersinggungan”.6

5

Mbak Sita menuturkan, “Jadi buat mereka negara tidak ada sama sekali. Bandingkan dengan kita yang selalu

berhadapan dengan negara dari pagi sampai sore, […], negara hanya hadir dalam bentuk simbol-simbol.”
(rekaman video)
6
Rekaman video tertanggal 8 Desember 2012

7

Dalam penuturan yang ia sampaikan di awal pembicaraan tersebut, Mbak Sita sudah
terlihat mulai bernegosiasi atas posisi pembacaannya. Pujiannya terhadap UTIM serta merta
disusul oleh sebuah ‘ekspektasi’-nya agar UTIM diperbaiki dan diterbitkan kembali.
Senada dengan Mbak Sita, Mas Cipta yang menulis ulasannya jauh hari sebelum
diskusi, juga memiliki beberapa pernyataan positif tentang sisi antropologis dan sosiologis
dari UTIM. Ulasan Mas Cipta yang tertoreh pada sejumlah 7 halaman tulisan dimulai dengan
beberapa paragraf background, tujuan, dan posisi Mas Cipta dalam menulis ulasan tersebut.
Cara penulisannya sangat runut dan sistematis yang kemudian memperlihatkan bahwa
dirinya memanglah seorang penulis (sastra) yang mumpuni untuk membedah suatu karya
sastra, seperti halnya Mbak Sita yang dari percakapannya terlihat sering menunjukkan
bahwa ia adalah seorang Antropolog.
Dari sisi ini (antropologis dan sosiologis), mas Cipta membuka kalimatnya dengan,
“Sepanjang membaca novel UTIM, misalnya, aku sangat terpukau dengan
aspek sosiologis dan antropologis yang tertuang dalam novel ini.”
Mas Cipta melihat spirit untuk menjunjung kehidupan desa yang dibawa Mas
Mahfud begitu besar, dan semangat novel UTIM layak dikedepankan pada publik pembaca
sehingga dapat menjadi perbincangan bukan hanya secara literer, namun juga dalam
hubungannya dengan bidang-bidang kehidupan yang lain. Baginya UTIM dapat menjawab
kegelisahan Ahmad Tohari berkenaan dengan sedikitnya novel berlatar pedesaan dalam
satu dekade terakhir.7 Pada paragraf-paragraf awal, Mas Cipta memperlihatkan posisi
pembacaannya dengan gamblang, yaitu:

7

Seorang bernama Bosman mengamini pendapat ini dengan menyatakan (dalam rekaman): “PK Oyong sekitar
tahun 60-an pernah nulis di Kompas bahwa para sastrawan kita malas turun ke desa. Kemudian di tahun 87,
mereka juga bikin pengadilan sastra di Bandung, mengadili sastra waktu itu, terdakwanya antara lain
Goenawan Muhamad, Sapardi, dkk. Itu, itu juga hasilnya sama: sastra kita itu kurang tentang desa.”

8

“Ia8 berkata bahwa novel UTIM bagus. Aku sepakat dengannya, tapi dengan
banyak catatan atas kata bagus tersebut. Aku lebih suka mengatakan novel
ini punya potensi untuk menjadi lebih baik dari yang kubaca sekarang ini.”
Lalu saya menemukan fakta bahwa dalam beroposisi, Mbak Sita terlihat begitu
garang dalam diskusi, dengan seringnya mengajukan konfirmasi-konfirmasi kepada
pengarang, juga ekspektasinya atas UTIM. Kegarangan ini tidak terlihat dalam ulasan tiga
halamannya. Sedang Mas Cipta memiliki kegarangan yang sama ketika berdiskusi dengan
ulasan yang ditulisnya, walaupun bicaranya tidak sebanyak tulisannya. Posisi kedua
pembaca ini adalah posisi negosiated yang walaupun keduanya setuju dengan spirit
antropologis dan sosiologis UTIM, ada banyak poin yang lalu mereka kritik, sehingga
membawa mereka tidak fix pada posisi dominant-hegemonic atau oppositional reading.
Poin-poin yang dikritik oleh kedua pembicara adalah dari segi intelektual, seperti halnya
poin yang disanjung-sanjung oleh mereka.9

Negosiated Position dan Ruang Kontestasi10
Di sini saya akan memaparkan dan membahas bagaimana Mbak Sita dan Mas Cipta
menegaskan posisi pembacaannya dalam beberapa aksi di ruang kontestasi11 – katakanlah
dengan kata-kata yang meluncur dari mulut masing-masing. Dalam strukturnya, pembicara
8

Ia di sini adalah seorang bernama Bosman. Mas Cipta menulis review ditujukan untuk menjawab pernyataanpernyataan Bosman tentang UTIM sebelumnya.
9
Segers dalam bukunya “Evaluasi Teks Sastra” menggambarkan bahwa dua kategori paling besar dan penting
dari kriteria sastra adalah segi intelektual dan emosional. Hal ini kemudian membentuk jenis resepsi pembaca.
Resepsi yang termasuk dalam kategori emosional adalah bila pembaca memberikan tanggapan berdasarkan
persaannya (emosi), misalnya, menegangkan, menyedihkan, ikut terhanyut, dan lain-lain. Untuk yang
intelektual, bila yang diresepsi berkaitan dengan hal-hal yang tekstual, misalnya, resepsi berkaitan dengan
bahasa, tokoh, alur, dan semua yang bernada teknis menulis (Segers, 2000 (1978)). Di sini saya tidak
mengelompokkan apa itu yang sastra dan yang bukan, karena kriteria-kriteria untuk mendikotomikannya
sangat tergantung pada rezim yang berkuasa. Tulisan ini sangat tidak ditujukan untuk pembahasan seperti itu.
10
Tentu, ruang kontestasi yang dimaksud di sini adalah media diskusi itu sendiri
11
Kita mafhum bahwa dalam pengertian cultural studies, dunia ini merupakan arena kontestasi dan negosiasi
makna, sekaligus arena kontestasi dan negosiasi kekuasaan. Ini berlaku untuk segala bentuk dunia, yang subtil
tak terlihat, maupun besar menggelora. Tentang karakteristik Cultural Studies bisa dilihat di Cultural Studies for
Beginner (Sardar, Z. 2001 (1997); 9)

9

dalam sebuah forum memiliki level yang lebih tinggi daripada audience. Posisinya tentu
lebih tinggi daripada posisi audience. Tanpa repot-repot menunjukkan identitas, kediriannya
sudah ditolong moderator dengan penyebutan riwayat hidup diawal, berbeda dengan
peserta diskusi lain yang tidak memiliki hak serupa. Peserta mendengar pemantik berbicara,
lalu kemudian diskusi dijalankan.
Hal yang menarik kemudian hadir, ketika ternyata di satu forum tersebut juga
terdapat seorang narasumber yang tidak dijadikan pembicara. Mas Mahfud hadir sebagai
peserta diskusi, dan jelas gamblang posisinya sebenarnya kuat, karena dia-lah si produsen
makna. Kekuatan yang sama-sama besar lalu ditemukan. Mbak Sita dan Mas Cipta, yang
awalnya hanya pembaca biasa, kemudian diberi strata yang tinggi melebihi peserta lain,
harus berhadapan dengan satu peserta yang merupakan penulis dari yang mereka baca.
Mas Mahfud yang memroduksi apa yang telah mereka baca, juga harus deg-deg-an bertemu
dua orang pembacanya yang kali itu memiliki kekuatan untuk mengeksekusinya dalam
forum. Dua kekuatan ini terlihat dari bagaimana kedua pembicara mengkritik Mas Mahfud,
dan bahkan salah satunya berhasil menyudutkan sang pengarang.
Adalah Mbak Sita yang dalam narasi panjangnya lalu membawa otoritas pengarang
seakan terusik. Berikut kata-kata penutup dalam kesempatan pertama berbicaranya:
“[….] Saya memang bukan sastrawan ya, tapi saya agak rada keganggu
dengan pengandaian yang Drama Kumbara atau apa lah. Bener, Mas, saya
kan orang desa ya, Mas. Radio juga ada, tapi saya itu gak kenal yang
namanya Drama Kumbara. Jadi kalau Mas terlalu sering mengandaikan itu,
bagi orang yang gak pernah denger malah jadi asing. Jadi kalau kata-kata
misalnya itu pergulatan yang sangat berat, tapi terus diandaikan seperti
Drama Kumbara yang harus me-apa belantara, bagi saya itu kayak
melecehkan emosi yang seharusnya itu mungkin bener-bener mendalam, tapi
karena pengandaian itu yang membuat saya asing, saya nggak kenal itu,
Drama Kumbara, ceritanya bagaimana, pertama itu jadi asing, trus yang
kedua itu jadi kayak meremehkan emosi-emosi yang.. Saya kira saya bisa
baca, saya sempet nangis ketika di akhir ketika Ulid dengan mak-nya
10

menangis. Tapi terus kemudian muncul kata-kata seperti, andaikan, entah,
laiknya, saya waktu baca jadi agak tersinggung, karna itu kayak malas
melukiskan. Ya memang, saya sendiri kalau saya disuruh menulis, saya
sempat menulis di Facebook, dan itu perlu waktu yang sangat lama untuk
mampu menulis tanpa menangis, dan saya menulisnya pakai Bahasa Inggris,
karena kalau tanpa Bahasa Inggris saya gak bisa keluar. Tapi saya kira itu
harus diperjuangkan. Jangan terus langsung dengan mudahnya diandaikan
Drama Kumbara ke mana gitu. Mungkin memang berat kalau saya ngerti
sandiwaranya gitu. Saya bisa membayangkan oh kayak gitu ya dramatisnya.
Lha saya kan gak punya referensi ke sana, Mas..
(Mas Mahfud menjawab: “Ya..”)
“Kalau Mas menginginkan ini untuk pembaca, alangkah baiknya itu ditekuni.
(Mas Mahfud menanggapi: “Baik”).12
Mas Cipta lebih terlihat sebagai pembaca yang sadar bagaimana susahnya menulis,
sehingga kritikannya dinegosiasikan dengan posisinya sebagai penulis dan menghasilkan
kritikan yang tidak terlalu bernada menyudutkan, namun lebih dari itu, malah membangun.
Mungkin ini didasarkan sebagai solidaritas sesama Penulis, juga karena Mas Cipta sudah
kenal Mas Mahfud, sedang Mbak Sita bahkan baru bertemu penulis untuk pertama kalinya
di diskusi tersebut. Berikut penuturan Mas Cipta:
“[…] dan di banyak bagian dia memang menjelaskan terlalu banyak. Saya
sepakat dengan pendapat Bosman bahwa novel ini sangat menarik karna
mungkin karna proses penulisannya yang panjang gitu ya, 5 tahun, atau versi
penulisnya 6 tahun, penulis itu jadi memikirkan seluruh kemungkinankemungkinan yang bisa dia pakai di dalam ceritanya. Dia penggalian datanya
juga sangat bagus. Tapi mungkin karna itu juga menjebak penulis sehingga
karyanya itu tidak efisien, terlalu banyak sekali informasi yang ada di situ,
yang sebenarnya bisa disiasati, kalau ditulis secara efektif menggunakan
informasi seperlunya, tapi pembaca pada saat yang sama bisa
mengandaikan hal-hal yang tidak ada dalam cerita ini. Saya kira ini memang
problem, karna saya menulis juga, kesulitan sekali bagaimana menulis novel
seperti apa, memasukkan data-data yang tepat itu seperti apa,
mengekstrapolasi data menjadi cerita itu seperti apa, itu memang menjadi
problem tersendiri […]”.
Lalu berikut ini jawab Mas Mahfud atas ide di benak dua pembicara:13

12

Rekaman video

11

“Saya denger omongan Mbak Sita kemudian Cipta itu, agak ngenes ya..
(forum tertawa). Enggak-enggak. Memang sebenarnya saya tuh ini, layaknya
diem dan mendengarkan semua komentar apa yang pembaca tangkap
tentang apa yang saya tulis. Karna memang agak rumit kemudian jika saya
mencoba menanggapi, misalnya. Tapi okelah, forum ini menghendaki seperti
itu. Ini juga menjadi kesempatan saya, katakanlah untuk kepada Mbak Sita
meminta maaf misalnya karena ada beberapa hal yang mengganggunya dan
sangat melecehkan..”
Di kali ini Mbak Sita memotong pembicaraan dan menjelaskan lagi kejengahannya
atas munculnya Drama Kumbara di Ulid. Sempat Mas Mahfud ingin kembali pada
otoritasnya, namun Mbak Sita masih belum selesai. Akhirnya Mas Mahfud berhasil kembali
berbicara,
“Oke. Mungkin saya berangkat dari situ aja dulu, karna dari tadi saya juga
bingung, mau mengcounter satu-satu misalnya, dan itu tidak tepat, dalam
artian masak ada persepsi pembaca atas sebuah buku dan penulisnya
kemudian mengcounternya begitu.. []”.14
Dari dialog di atas, tidak berlebihan bila sebelumnya saya mengatakan bahwa
otoritas Mas Mahfud sebagai pengarang sedikit terusik. Itu ditunjukkan dengan pengucapan
kata “ngenes”, walau diandaikan untuk candaan saja 15. Juga dalam perkataan Mas Mahfud
tentang pengarang dan meng-counter apa yang pembaca katakan.
Walalupun terlihat begitu keras mengkritik, Mbak Sita tetap berada pada negosiated
position, karena ia tetap menyukai dan setuju beberapa konsep dan semangat yang dibawa
UTIM. Yang menarik dari sosok Mbak Sita adalah bagaimana ia dapat mendominasi forum
(yang mayoritas berisi laki-laki) ketika ia menginginkan. Mudah saja jawabnya, yang
pertama karena ia memiliki privilege sebagai pembicara, dan itu membuka tabir untuk
13

Hanya beberapa perempuan yang ada dalam diskusi tersebut. Suasananya sangat cair, ketika ada yang
melucu kemudian banyak yang tertawa, dan seterusnya. Mas Mahfud dari sekali pandang merupakan orang
yang ramah dan selalu menjawab dengan tersenyum. Saya berani menyimpulkan ia orang yang (masih)
egaliter.
14
Karena keterbatasan tempat, saya tidak dapat menghadirkan dialog lengkapnya.
15
Konsep seperti ini biasanya disebut Freudian Slip – sesuatu dari alam bawah sadar yang tidak dimaksudkan
oleh kesadaran seseorang untuk dinyatakan. Mbak Sita sedikit memaparkan konsep ini dalam diskusi.

12

jawab selanjutnya. Mbak Sita adalah seorang dosen yang memiliki banyak pengalaman
akademik yang prestigious yang kemungkinan besar melebihi pengalaman yang ada di
forum, sehingga ia mumpuni diangkat menjadi pembicara. Kapasitas dirinya tentu dihormati
oleh forum. Terlihat bahwa strata pendidikan dapat mengangkat status seseorang dalam
diskusi ini. Juga kemampuan berbicaranya di depan umum pasti dimilikinya karena ia adalah
seorang dosen yang sering berbicara di hadapan kelas.
Sedang Mas Cipta merupakan seorang penulis. Ia lebih dapat meng-explore dirinya
dengan tulisan. Ada keterbatasan-keterbatasan tertentu yang membuatnya tidak dapat
berbicara sebanyak ia berbicara dalam tulisan. Konsep ruang publik Habermas semakin
menjadi sempit, karena pun bila semua orang dapat bebas berbicara dalam suatu ruang
publik, masing-masing manusia ternyata memiliki keterbatasannya sendiri-sendiri karena
keragaman histori yang menyusun tiap-tiap manusia, sehingga menyebabkan ia tak dapat
berbicara sebebas seharusnya. Dan tentu struktur tetap tak dapat dihilangkan. Fragmented
public sphere mungkin merupakan fenomena yang dapat melingkupi penggambaran
pengungkapan pendapat dalam kasus ini, di mana seseorang dapat lebih bebas
berpendapat ketika memakai media (ruang publik) tertentu.

Sebuah Penutup
Saya akan menutup rentetan tulisan ini dengan beberapa pernyataan sebagai berikut:
1. Mbak Sita dan Mas Cipta, walaupun sebagai pembaca sangat aktif mengkritik,
mereka berdua masih berada pada negosiated position.
2. Praktik kuasa yang dilakukan masing-masing individu berbeda dari satu dan lainnya,
dan selalu ada sebuah kontestasi kekuasaan.

13

3. Konsep ruang publik milik Habermas, tidak dapat diterapkan walau untuk sebuah
diskusi buku yang kecil seperti yang telah digambarkan.

Daftar Pustaka
Habermas, Juergen. 2006. The Public Sphere: An Encyclopedia Article, dalam Menakshi Gigi
Durham & Douglas M. Kellner (ed.). Media and Cultural Studies. UK: Blackwell.
Hall, Stuart. 2006. Encoding/Decoding, dalam Menakshi Gigi Durham & Douglas M. Kellner
(ed.). Media and Cultural Studies. UK: Blackwell.
Segers, Rien T. 2000 (1978). Evaluasi Sastra. Yogyakarta: Adicita.
Sardar, Z. & Loon, B. V. 2001 (1997). Cultural Studies for Beginners. Cambridge: Icon Books
Ltd.
Thwaites, T., Davis, L., Mules, W. 2009 (2002). INTRODUCING CULTURAL AND MEDIA
STUDIES: Sebuah Pendekatan Semiotik. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.

14