MANUSIA dan MENURUT ISLAM (1)

MANUSIA MENURUT ISLAM
Ditulis Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Dosen pengampu:
Asep Rahmatullah, M.Pd.I

Oleh:
Reni Wulandari

(932138514)

Fadhilah Tamimi

(932136914)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN KEDIRI)
2016

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai sebuah sistem kehidupan sesungguhnya telah menawarkan
sebuah solusi. Dalam pandangan Islam, problem solving yang paling mendasar
bagi persoalan-persoalan yang dihadapi manusia modern adalah masalah
pendidikan. Segala persoalan manusia, entah itu berkaitan dengan masalah
spiritual, material, sosial, politik, ataupun peradaban kiranya dapat diatasi dengan
penyelesaian masalah pendidikan dengan sebaik-baiknya.
Untuk mengetahui tujuan pendidikan, penting dipahami apa sebenarnya
objek dan subjek pendidikan, dalam hal ini manusia. Dengan apa Allah
menciptakan manusia, dan untuk tujuan apa manusia diciptakan. Makalah ini
membahas hakikat manusia, potensi apa saja yang dimiliki manusia, dan
bagaimana potensi itu dikembangkan berdasarkan Islam.
B. Rumusan Masalah
1.

Bagaimana hakikat manusia menurut Islam?

2.


Apa saja potensi manusia menurut Islam?

3.

Bagaimana martabat dan eksistensi manusia menurut Islam?

C. Tujuan
1.

Mengetahui hakikat manusia menurut Islam.

2.

Mengetahui apa saja potensi manusia menurut Islam.

3.

Mengetahui martabat dan eksistensi manusia menurut Islam.

1


BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Manusia
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan
perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan
substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain. islam
secara tegas mengatakan bahwa kedua substansi (unsur asal sesuatu yang ada)
dua-duanya adlah substansi alam. Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya
juga makhluk yang diciptakan Allah.1
Dalam Al-Qur’an ada tiga istilah kunci untuk mengacu pada makna pokok
manusia. Al-Basyar (‫)بشر‬, Al-Insan (‫)الناسان‬, dan An-Nas (‫)اللناس‬.
Dalam bentuk ayat, Al-Basyar memberikan referen pada manusia sebagai
makhluk biologis. Seperti contoh, Nabi Muhammad SAW pernah disuruh
mengaku dan menegaskan bahwa dirinya adalah sebagai Basyar pada umumnya.

َ
ُ
َ َ ‫ما أَاَا ب‬
ْ ‫ق‬

‫م‬
َ ‫م يُو‬
ُ َ ‫ما إإل‬
ْ ُ ‫هك‬
َ ّ ‫ي أا‬
ْ ُ ‫مثْلُك‬
ّ ‫ش ٌر‬
َ ّ ‫ل إإا‬
ّ َ ‫حى إإل‬
ً ‫مل‬
َ ‫ه‬
َ ‫جو ل إ‬
َ ٌ ‫حد‬
ْ ‫م‬
َ ‫ل‬
‫وال إ‬
‫قاء َرب ّ إ‬
َ َ ‫من ك‬
ْ َ ‫فلْي‬
ُ ‫ان ي َ ْر‬

َ ‫ع‬
َ ‫ع‬
َ ‫ف‬
ٌ َ ‫إإل‬
َ ‫ه‬
َ ‫عبادة رب‬
ْ ‫ر‬
ْ ُ ‫و َن ي‬
١١٠- ً ‫حدال‬
‫ك بإ إ َ َ إ َ ّ إ‬
َ ‫هأ‬
َ
َ ً ‫صالإحا‬
‫ش إ‬
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang
Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
dalam beribadat kepada Tuhannya"(QS. Al-Kahfi: 110)
Menurut


Ali

Sari’ati,

Al-Basyar

adalah

manusia

yang

esensi

kemanusiaannya tidak nampak dan aktifitasnya serupa dengan binatang. Ia hanya
wujud (being), ia memang makhluk Allah SWT, tapi bukan hamba dan khalifahNya, karena esensi kemanusiaannya tidak nampak adanya. Dengan demikian, AlBasyar menunjukkan manusia dalam dimensi biologis.

1


Zuharini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 75.

2

Hal ini berbeda dengan ekspresi manusia dalam istilah Al-Insan, karena
Al-Insan adalah manusia yang bergerak maju ke taraf menjadi (becoming) atau
menyempurna. “Menjadi” adalah bergerak maju, mencari kesempurnaan,
merindukan keabadian, tidak pernah menghambat dan menghentikan proses terus
menerus ke arah kesempurnaan.
Keistimewaan Al-Insan adalah berilmu pengetahuan, mempunyai daya
nalar, manusia demikian disebut ulul albab. Dengan ilmunya itu mereka mampu
mengomunikasikannya, makhluk yang menerima amanah dan mempertanggung
jawabkannya. Manusia dalam kategori kedua, kata insan dihubungkan dengan
predisposisi negatif pada diri manusia, misalnya cenderung dhalim dan kafr,
tergesa-gesa, bakhil, bodoh, banyak membantah dan mendebat, gelisah, resah, dan
segan membantu, ditakdirkan bersusah payah dan menderita, tidak berterimakasih,
berbuat dosa, dan meragukan hari akhir.

َ ‫الل‬
َ ‫الل‬

ْ ‫و‬
َ ‫ة عَل‬
ْ ‫ضنَا‬
‫ض‬
‫ر‬
‫الت‬
‫او‬
‫م‬
‫اللس‬
‫ى‬
‫ا‬
‫ا‬
‫م‬
َ
َ
ْ ‫إإاّا ع ََر‬
‫إ‬
ّ
َ
َ

ْ
َ
َ
‫إ‬
َ
َ َ ‫واللْجبال‬
ْ ‫ف‬
َ ‫ش‬
ْ َ ‫وأ‬
‫ها‬
‫ن إ‬
‫ح إ‬
ْ َ ‫ن أن ي‬
َ ْ ‫من‬
َ َ ‫ملْن‬
َ ‫ق‬
َ ْ ‫فأبَي‬
َ ‫ها‬
‫َ إ َ إ‬
ْ ‫ها‬

٧٢- ً ‫هون‬
َ َ‫ه ك‬
ُ ‫اس‬
َ ً ‫ان ظَلُوما‬
َ ‫و‬
ُ ‫ج‬
َ ‫الل إ‬
َ َ ‫مل‬
ُ ّ ‫ان إإا‬
َ ‫ح‬
َ
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS. Al-Ahzab: 72)
Istilah ketiga yang dipakai untuk menunjukkan manusia adalah An-Nas,
yaitu konsep yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Dicontohkan
oleh Jalaludin Rahmat bahwa ayat yang menunjukkan kelompok dengan
karakteristiknya, misalnya ayat yang menggunakan ungkapan “waminan nas”
(dan diantara sebagian manusia) ada sebagian manusia yang menyatakan beriman,

tetapi sebetulnya tidak beriman.

ُ َ ‫من ي‬
ُ ‫ق‬
‫ر‬
‫وم إ الخ إ‬
ّ ‫ن اللن‬
‫منّا بإالل ّ إ‬
‫و إ‬
َ ‫م‬
َ ‫ول آ‬
َ ‫اس‬
ْ َ ‫وبإالْي‬
َ ‫ه‬
َ
‫آ إ‬
‫إ‬
ْ ‫م‬
٨- ‫ين‬
ُ ‫ما‬
‫ؤ إ‬
َ ‫من إ‬
ُ ‫هم ب إ‬
َ ‫و‬
َ

3

Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari
kemudian,"pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
(QS. Al-Baqarah: 8)
Dengan demikian (melihat makna ketiga istilah tersebut), maka dapat
disimpulkan bahwa manusia itu dapat diklasifikasikan sebagai makhluk biologis,
psikologis, dan sosial. Ketiga-tiganya harus dikembangkan dan diperhatikan hak
dan kewajibannya secara seimbang, dan selalu berada dalam hukum-hukum yang
berlaku (sunnatullah).2
1. Proses Penciptaan Manusia
Manusia diciptakan Tuhan melalui sebuah proses alami yang
berlangsung dalam beberapa tahap. Musa Asy’arie menyebutkan empat tahap
proses penciptaan manusia, yaitu tahap jasad, tahap hayat, tahap ruh, dan
tahap nafs. Berikut penjelasan keempat tahapan ini.
a. Tahapan Jasad
Al-Qur’an menjelaskan bahwa permulaan penciptaan manusia
adalah dari tanah (turab), yaitu tanah berdebu. Al-Qur’an terkadang
menyebut tanah ini dengan istilah tin dan terkadang juga dengan istilah
shalshal. Namun, yang jelas, yang dimaksud dengan tanah ini adalah
saripatinya atau sulalah.

ْ ‫قنَا‬
ْ َ ‫قدْ آَل‬
َ َ ‫ول‬
- ‫ين‬
ٍ َ ‫س َلل‬
‫ان إ‬
َ ‫اس‬
ُ ‫من‬
َ ‫الل إ‬
ّ ‫ة‬
َ
ٍ ‫من ط إ‬
١٢
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah. (QS. Al-Mu’minun: 12)
Penciptaan dari tanah ini tidak berarti bahwa manusia di cetak
dari bahan tanah, seperti orang membuat patung dari tanah. Penciptaan
ini bermakna simbolik, yaitu saripati yang membentuk tumbuhan atau
binatang yang kemudian menjadi bahan makanan bagi manusia.
b. Tahap Hayat
2

Ahmad Ludjito dkk., Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Semarang: Pustaka Pelajar, 1996),
132-134.

4

Awal mula kehidupan manusia menurut Al-Qur’an adalah air,
sebagaimana kehidupan tumbuhan dan binatang.

َ
َ
َ َ ‫ين ك‬
‫الت‬
‫ن‬
‫او إ‬
‫م ي َ َر الل ّ إ‬
ّ ‫ف ُروال أ‬
ّ
َ ‫ذ‬
َ ‫اللس‬
ْ َ ‫ول‬
َ ‫م‬
َ ‫أ‬
َ ْ ‫و‬
ْ َ ‫فت‬
َ ‫ف‬
َ ً ‫ض كَااَتَا َرتْقا‬
‫ن‬
ُ ‫قنَا‬
‫علْنَا إ‬
َ ‫ج‬
َ ‫و‬
َ ‫م‬
َ ‫ه‬
َ ‫الل ْر‬
َ ‫ما‬
َ
َ َ‫ي أ‬
ْ ُ ‫ف َل ي‬
َ ‫ل‬
ّ ُ ‫ماء ك‬
٣٠- ‫ون‬
ٍ ‫ي‬
‫ؤ إ‬
َ ُ ‫من‬
َ ‫ء‬
َ ْ ‫الل‬
ّ ‫ح‬
ْ ‫ش‬
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya
langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman. (QS.
Al-Anbiya’: 30)
Maksud air kehidupan disini adalah air yang hina atau sperma.
Sperma ini kemudian membuahi sel telur yang ada di dalam rahim
seorang ibu. Sperma inilah yang merupakan awal mula hayat (kehidupan)
seorang manusia.
c. Tahap Ruh
Maksud dari ruh disini adalah sesuatu yang dihembuskan Tuhan
dalam diri manusia dan kemudian menjadi bagian dari diri manusia. Pada
saat yang sama, Tuhan juga menjadikan bagi manusia pendengaran,
penglihatan, dan hati.

َ َ ‫وا‬
َ ‫ع‬
َ ‫ف‬
‫م‬
‫من ّرو إ‬
‫خ إ‬
‫ح إ‬
‫ه إ‬
‫في إ‬
َ ‫ج‬
َ ‫و‬
َ ‫م‬
ُ ُ ‫ل لَك‬
ّ ُ‫ث‬
َ ‫ه‬
َ ُ‫واله‬
ّ ‫س‬
َ ْ ‫عو‬
ْ ‫و‬
َ َ‫فئإدَة‬
ْ َ ‫الل‬
ْ َ ‫ما ت‬
- ‫ون‬
َ ‫شك ُ ُر‬
ّ
ّ ً ‫قلإيل‬
ْ ‫اللس‬
َ ْ ‫اللب‬
َ ‫ار‬
َ ‫ص‬
َ َ ‫م‬
٩
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh
(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan
dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. As-Sajdah: 9)
Adanya proses peniupan ruh yang ditiupkan Tuhan dalam diri
manusia dan kemudian diiringi dengan pemberian pendengaran,
penglihatan, dan hati merupakan bukti bahwa yang menjadi pimpinan

5

dalam diri manusia adalah ruh. Ruhlah kiranya yang dapat membimbing
pendengaran, penglihatan, dan ahti untuk memahami kebenaran.
d. Tahap Nafs
Kata “nafs” dalam Al-Qur’an mempunyai empat pengertian, yaitu
nafsu, napas, jiwa, dan diri (keakuan). Dari keempat pengertian ini, AlQur’an lebih sering menggunakan kata “nafs” untuk pengertian diri
(keakuan). Diri atau keakuan adalah kesatuan dinamik dari jasad, hayat,
dan ruh. Dinamikanya terletak pada aksi atau kegiatannya. Kesatuannya
bersifat spiritual yang tercermin dalam aktfitas kehidupan manusia.3
2. Tujuan Hidup Manusia
Al-Qur’an

menjelaskan

bahwa

tidaklah

semata-mata

Allah

menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya.

ْ ‫و‬
ْ َ ‫ما آَل‬
٥٦- ‫ون‬
ْ َ ‫س إ إ ّن لإي‬
ُ ‫ق‬
ّ ‫ج‬
َ ‫و‬
َ ‫اللإا‬
‫ت الل ْ إ‬
‫عبُدُ إ‬
َ ‫ن‬
َ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. (QS. Al-Dzariyat: 56)
Ibadah (pengabdian) dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam
pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya yang luas. Yaitu,
nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Pendeknya, tujuan hidup manusia adalah
ibadah kepada Allah dalam segala tingkah lakunya.
Tujuan hidup ini pada gilirannya akan bersinggungan dengan tujuan
pendidikan Islam, sebab pendidikan pada dasarnya bertujuan memelihara
kehidupan manusia. Tujuan pendidikan Islam, tidak boleh tidak, harus terkait
dengan tujuan hidup manusia. manusia seperti apa yang hendak dibentuk dan
diinginkan oleh pendidikan Islam, jawabannya tergantung kepada tujuan
hidup yang hendak ditempuh oleh seorang muslim. Dengan demikian, tujuan
hidup Muslim sebenarnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.4

3
4

Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014), 67-68.
Ibid., 68-69.

6

3. Kedudukan Manusia
Kedudukan manusia menurut Al-Qur’an adalah khalifah Allah di
bumi. Kata “khalifah” dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak sepuluh kali.
Diantaranya:

َ
َ ّ ‫ال َرب‬
َ ْ‫وإإذ‬
ٌ ‫ع‬
َ ‫ق‬
‫ض‬
‫ل إ‬
‫جا إ‬
‫ملَئإك َ إ‬
َ ‫ة إإاّي‬
َ ْ ‫ك لإل‬
َ
‫في الل ْر إ‬
َ
ْ ُ ‫من ي‬
َ ‫ة‬
َ ‫آل إ‬
ُ ‫ع‬
‫ها‬
َ
ً ‫يف‬
‫سد ُ إ‬
‫ل إ‬
‫ف إ‬
َ ‫ج‬
ْ َ ‫قالُوال ْ أت‬
َ ‫في‬
َ ‫في‬
َ ‫ها‬
َ ‫د‬
ُ ‫ف‬
َ ُ ‫وا‬
‫س‬
‫س إ‬
‫م إ‬
َ ‫ح بإ‬
ُ ّ ‫سب‬
ْ َ ‫وا‬
َ ُ‫ن ا‬
ْ َ ‫وي‬
ُ ‫ح‬
ْ ‫ح‬
َ ّ‫ك اللد‬
ُ ّ ‫قد‬
َ ‫ك‬
َ ‫ماء‬
َ
َ
َ َ‫ل‬
َ ‫ك‬
َ ‫ق‬
٣٠- ‫ون‬
َ ‫م‬
ْ َ ‫ما ن َ ت‬
ُ َ ‫عل‬
َ ‫م‬
ُ َ ‫ال إإاّي أعْل‬
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
S" esungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?"Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui"(QS. Al-Baqarah: 30)

‫ملُوال‬
َ ‫و‬
َ ‫و‬
‫ع إ‬
‫منُوال إ‬
‫ه الل ّ إ‬
َ ‫ذ‬
ْ ُ ‫منك‬
َ ‫ين آ‬
ُ ّ ‫عدَ اللل‬
َ ‫م‬
َ
َ ‫الل‬
ْ ‫في‬
َ ‫خل إ‬
‫ما‬
‫ر‬
ْ َ ‫ست‬
‫هم إ‬
‫ح إ‬
َ ‫ص ال إ‬
ُ ّ ‫فن‬
ْ َ ‫ات لَي‬
َ َ‫ض ك‬
ّ ‫الل‬
ْ
‫إ‬
َ ‫من‬
‫م‬
َ َ ‫الستَخْل‬
‫ين إ‬
‫ف الل ّ إ‬
ُ َ‫ن ل‬
ْ
ّ َ ‫مكّن‬
َ ‫ذ‬
ْ ‫ه‬
َ ُ ‫ولَي‬
ْ ‫ه‬
َ ‫م‬
‫قبْل إ إ‬
‫د‬
َ َ ‫الرت‬
‫ع إ‬
‫م الل ّ إ‬
ْ َ ‫من ب‬
ُ ّ ‫ولَيُبَدّلَن‬
ُ َ ‫ضى ل‬
ُ َ ‫إدين‬
ّ ‫هم‬
ْ ‫ه‬
ُ ‫ه‬
َ ‫م‬
ْ ‫ذي‬
َ
ً ‫شيْئا‬
َ ‫ون بإي‬
ْ ُ ‫عبُدُواَنإي َن ي‬
‫َو إ‬
َ ُ ‫رك‬
ْ َ ‫منا ً ي‬
ْ ‫مأ‬
ْ ‫ه‬
ْ ‫آ‬
‫ش إ‬
‫ف إ‬
ُ َ ‫ك‬
َ ‫ولَئ إ‬
َ ‫عدَ ذَل إ‬
ُ ‫اس‬
َ ْ ‫م الل‬
َ َ ‫من ك‬
- ‫ون‬
ُ ‫ك‬
‫ف إ‬
َ ‫ق‬
ْ َ ‫ف َر ب‬
ُ ‫ه‬
َ ‫و‬
ْ ‫فأ‬
َ
٥٥
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan

7

Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan
tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.
(QS. An-Nur: 55)
Banyak pengertian yang dimaksudkan Al-Qur’an dengan kata ini,
diantaranya:

mereka

yang

datang

kemudian,

sesudah kamu,

yang

diperselisihkan, silih berganti, berselisih, dan pengganti. Namun demikian,
pengertian khalifah dalam hal kedudukan manusia adalah pengganti. Jadi,
khalifah Allah berarti pengganti Allah. Pengertian ini menurut Dawam
Rahardjo mempunyai tiga makna. Pertama, khalifah Allah itu adalah Adam.
Oleh karena Adam adalah simbol bagi seluruh manusia, dapat dikatakan
bahwa manusia adalah khalifah. Kedua, khalifah Allah itu adalah suatu
generasi penerus atau pengganti, yaitu bahwa kedudukan khalifah diemban
secara kolektif oleh suatu generasi. Ketiga, khalifah Allah itu adalah kepala
negara atau kepala pemerintahan. Dari ketiga makna ini, makna pertama
kiranya lebih mendukung untuk dapat diterapkan dalam hal posisi manusia
sebagai khalifah Allah.
Manusia selaku khalifah Allah di bumi, menurut Hasan Langgulung,
mempunyai beberapa karakteristik, sebagai berikut:
1. Manusia semenjak awal penciptaannya adalah baik secara fitrah. Ia
tidak mewarisi dosa karena Adam meninggalkan surga.
2. Interaksi antara badan dan ruh menghasilkan khalifah. Karakteristik
ini yang membedakan manusia dengan makhluk lain.
3. Manusia selaku khalifah memiliki kebebasan berkehendak (free
will), suatu kebebasan yang menyebabkan manusia dapat memilih
tingkah lakunya sendiri.
4. Manusia dibekali akal yang dengan akal itu manusia mampu
membuat pilihan antara yang benar dan yang salah.5
4. Tugas Manusia
Tugas manusia dalam pandangan Islam adalah memakmurkan bumi
dengan jalan memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya. Dengan kata
5

Ibid., 69-70.

8

lain, manusia sesungguhnya diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat
Tuhan menurut perintah dan petunjuk-Nya. Sifat-sifat Tuhan ini dalam
bahasa agama biasa disebut al-asma al-husna, yang berjumlah 99. Sebagai
contoh, Tuhan adalah maha pengasih (ar-Rahman), manusia diperintahkan
untuk bersifat asih terhadap dirinya dan makhluk lain.6
Dalam diri manusia, pada hakikatnya terdapat sifat dan unsur-unsur
ketuhanan, karena dalam proses kejadiannya kepada manusia telah ditiupkan
ruh dari Tuhan. Sifat dan unsur ketuhanan dalam diri manusia tersebut,
berupa potensi-potensi pembawaan yang dalam proses kehidupannya manusia
merealisir dan menjabarkannya dalam tingkah laku dan perbuatan nyata.7
Satu hal yang perlu dikemukakan di sini adalah sifat-sifat Tuhan itu
hanya dapat di manifestasikan oleh manusia dalam bentuk dan cara yang
terbatas. Hal ini, selain karena watak keterbatasan manusia, juga
dimaksudkan agar manusia tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Seyogianya manusia menganggap proses perwujudan sifat-sifat Tuhan ini
sebagai suatu amanah, agar manusia mempunyai tanggung jawab yang besar
dalam melaksanakan tugas ini.8
Sebagai makhluk Allah SWT, manusia mendapat amanat Allah yang
harus dipertanggung jawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul
manusia di muka bumi adalah tugas ke khalifahan, yaitu tugas
kepemimpinan, wakil Allah SWT di muka bumi untuk mengelola dan
memelihara alam. Manusia memperoleh mandat Tuhan untuk mewujudkan
kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan Allah kepada manusia
bersifat

kreatif,

yang

memungkinkan

dirinya

mengolah

serta

mendayagunakan apa yan ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Allah SWT.
Agar manusia dapat menjalankan kekhalifahannya dengan baik, Allah
SWT telah mengajarkan kepada manusia kebenaran dalam segala ciptaanNya dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap hukum-hukum yan
6

Ibid., 70.
Zuharini, Filsafat Pendidikan Islam., 79.
8
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam., 70.
7

9

terkandung dalam ciptaan-Nya, amnusia dapatb menyusun konsep-konsep
serta melakukan rekayasa membentuk wujud baru dalam alam kebudayaan.9
B. Potensi Manusia
Di dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim
disebutkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fithrah. Kedua orangtuanya lah
yang memungkinkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

‫َن‬
ْ َ‫ه أ‬
ْ َ ‫الن أ‬
َ ‫آب َ َراَا‬
َ ‫حدّثَنَا‬
‫عبْدُ اللل ّ إ‬
ُ َ‫عبْد‬
َ
ْ ‫سع‬
ُ ُ ‫آب َ َراَا يُوا‬
َ
َ
‫ن‬
‫د‬
ْ َ‫ي أ‬
َ ‫ن‬
َ ‫م‬
ْ ‫اللز‬
‫عب ْ إ‬
ّ ‫نأ‬
ّ
ْ ‫اللر‬
َ ‫آب َ َراإي أبُو‬
ُ ْ‫ة ب‬
َ ‫ح‬
َ َ ‫سل‬
ّ ‫ر‬
ّ
‫ه إ‬
‫م إ‬
َ ‫ه‬
َ ‫ق‬
‫ال‬
َ ‫ه‬
ُ ‫أَبَا‬
‫ه َري ْ َرةَ َر إ‬
ُ ْ ‫عن‬
ُ ّ ‫ي اللل‬
َ ‫ض‬
َ
ُ ‫س‬
َ ‫ق‬
‫ن‬
‫ما إ‬
‫ه عَلَي ْ إ‬
‫ول اللل ّ إ‬
َ ‫و‬
ُ ‫ال َر‬
ْ ‫م‬
َ ‫م‬
َ ّ ‫سل‬
ُ ّ ‫صلّى اللل‬
َ ‫ه‬
َ ‫ه‬
َ َ ‫فطْرة‬
‫ه‬
‫ولُو ٍد إ إ ّن يُولَدُ عَلَى الل ْ إ‬
‫ودَالا إ إ‬
‫َ إ‬
َ ُ ‫والهُ ي‬
َ
ّ ‫ه‬
َ َ ‫فأب‬
ْ ‫م‬
َ ‫وينَصرالاإه أ‬
ْ ‫ج الل‬
َ
‫ة‬
‫ب‬
‫ة‬
‫م‬
‫ي‬
‫ه‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ن‬
‫ت‬
‫ا‬
‫م‬
‫ك‬
‫ه‬
‫ا‬
‫ا‬
‫س‬
‫ج‬
‫م‬
‫ي‬
‫و‬
ً ‫م‬
ُ
‫إ‬
َ
ْ
ُ
‫إ‬
‫َ ُ ّ َ إ‬
َ
َ
ُ
ّ
ُ
َ
َ ‫هي‬
َ
َ
َ
ْ
‫إ‬
‫إ‬
ُ َ‫م ي‬
ُ ‫ق‬
ْ ‫ه‬
‫ول‬
‫ون إ‬
‫ل تُ إ‬
َ َ‫عاء‬
‫ها إ‬
َ ‫س‬
َ ‫ن‬
َ ‫م‬
َ
َ ‫في‬
ّ ‫ح‬
ْ ‫م‬
ّ ُ ‫جدْعَاءَ ث‬
ْ ‫ج‬
‫ه‬
َ ‫ه‬
ُ ‫أَبُو‬
‫ه َري ْ َرةَ َر إ‬
ُ ْ ‫عن‬
ُ ّ ‫ي اللل‬
َ ‫ض‬
َ ‫ه اللّتإي‬
َ ‫د‬
{ ‫يل‬
‫إ‬
‫ها َن تَب ْ إ‬
‫فطْ َرةَ اللل ّ إ‬
َ ْ ‫س عَلَي‬
َ ‫فطَ َر اللنّا‬
ْ
َ ‫ه ذَل إ‬
َ ْ ‫ين الل‬
‫م‬
‫ق اللل ّ إ‬
ُ ّ‫ك اللد‬
ُ ّ ‫قي‬
‫} لإخَل إ‬
Telah menceritakan kepada kami 'Abdan telah mengabarkan kepada kami
'Abdullah telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Az Zuhriy telah
mengabarkan kepada saya Abu Salamah bin 'Abdurrahman bahwa Abu Hurairah
radliallahu
'anhu
berkata;
Telah
bersabda
Rasulullah
Shallallahu'alaihiwasallam: "Tidak ada seorang anak pun yang terlahir kecuali
dia dilahirkan dalam keadaan fithrah. Maka kemudian kedua orang tuanyalah
yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi
sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan
sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya". Kemudian Abu Hurairah
radliallahu 'anhu berkata, (mengutip firman Allah subhanahu wata'ala QS ArRuum: 30 yang artinya: ('Sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
9

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 1517-158.

10

menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus").
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa manusia semenjak lahir sudah
dibekali dengan berbagai potensi yang disebut dengan fithrah. Fithrah adalah
suatu istilah dari bahasa Arab yang berarti tabiat yang suci atau baik, yang khusus
diciptakan Tuhan bagi manusia. Fithrah kiranya merupakan modal dasar bagi
manusia agar dapat memakmurkan bumi ini. Fithrah juga merupakan potensi
kodrati yang dimiliki manusia agar berkembang menuju kesempurnaan hidup.
Keberhasilan manusia dalam hal ini dapat dilihat dari kemampuannya
mengembangkan fithrah ini.
Oleh karena Islam memandang setiap manusia terlahir ke dunia sudah
dibekali dengan potensi (fithrah) yang baik dan suci, pandangan Islam ini
merupakan pandangan optimistik. Pandangan ini kiranya bertentangan dengan
pandangan pesimistik yang memandang adanya unsur jahat dalam potensi
manusia. Pandangan pesimistik pada hakikatnya merupakan implikasi dari suatu
pemikiran yang menganggap manusia terlahir dengan membawa doa warisan.
Pada sisi lain, pandangan optimistik juga bertentangan dengan pandangan
behavioristik yang memandang manusia itu netral, bukan baik dan bukan pula
jahat. Ia adalah tabula rasa, putih seperti kertas. Dalam hal ini, pandangan Islam
ini merupakan pandangan moderat, yang berupaya mensintesiskan antara
pandangan pesimistik dengan pandangan behavioristik.10
Fithrah yang dibawa semenjak lahir bagi anak itu sangat besar
dipengaruhi oleh lingkungan. Fithrah itu sendiri tidak akan berkembang tanpa
dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar, yang mungkin dapat dimodifikasikan atau
dapat diubah secara drastis manakala lingkungannya itu tidak memungkinkan
menjadikannya lebih baik. Faktor-faktor eksternal bergabung dengan fithrah, sifat
dasarnya bergantung kepada sejauh mana interaksi eksternal dengan fithrah itu
berperan. Lingkungan adalah faktor yang dapat mempengaruhi tingkah laku
manusia, namun bukan satu-satunya faktor tanpa adanya faktor lain.11

10

Ibid., 70-71.
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1994), 62-63.
11

11

C. Eksistensi dan Martabat Manusia
Al-Qur’an menggambarkan eksistensi manusia sebagai makhluk pilihan
Allah, sebagai khalifahnya dimuka bumi, yang dalam drinya ditanamkan sifat
mengakui Allah, bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun
alam semesta, serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit dan bumi.
Manusia dipusakai dengan kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan.
Keberadaan manusia dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan yang
kemudian bergerak kearah kekuatan, tetapi hak itu tidak menghapus kegelisahan,
kecuali manusia dekat dengan Allah dan mengingat-Nya. Kapasitas manusia tidak
terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam penerapan ilmu. Manusia
memiliki suatu keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong
manusia, dalam banyak hal, tidak bersifat kebendaan. Manusia dapat leluasa
memanfaatkan rahmat dan karunia yang dilimpahkan kepada dirinya, namun pada
saat yang sama, manusia harus menunaikan kewajiban kepada Tuhan.
Kalaupun manusia itu merupakan makhluk yang mulia, terlahir ke dunia
dalam keadaan fithrah, dan memiliki tanggung jawab sebagai khalifah dimuka
bumi, bukanlah berarti manusia itu tak berpotensi membuat kerusakan di muka
bumi. Manusia memiliki dua potensi yang saling berlawanan, baik dan buruk.
Tinggal bagaimana manusia menjalani kehidupannya. Sisi lain manusia selain
hamba Allah yang mulia adalah dimilikinya beberapa karakter, antara lain adalah
adanya hawa nafsu yang menyuruh pada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi
rahamt oleh Allah.
Kelemahan dalam diri manusia bukanlah menunjukkan bawa manusia itu
dilahirkan dalam keadaan salah, terkutuk, atau memikul dosa warisan. Manusia
dalam perspektif Islam tetap dilahirkan dalam keadaan fithrah, yakni suci, bersih,
bebas dari segala dosa turunan, dan memiliki kecenderungan menerima agama,
iman, dan tauhid. Manusia menjadi baik atau buruk adalah akibat dari faktor
pendidikan dan lingkungan, bukan kepada tabiat aslinya.12

12

Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, 151-155.

12

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pandangan Islam terhadap manusia memberikan keseimbangan antara hak
dan kewajiban manusia sebagai individu, sosial, budaya, dan makhluk Allah
SWT. Manusia hidup dibekali fithrah dan bertugas menjadi khalifah Allah
dimuka bumi.
Dengan adanya fithrah, manusia mempunyai kemampuan yang dibawa
sejak lahir, namun lingkungan juga sangat mempengaruhi bagaimana fithrah bisa
berkembang. Sebagai khalifah dimuka bumi, manusia memiliki tugas untuk
mengelola dan memelihara alam, juga untuk memakmurkan bumi.
Manusia adalah makhluk yang mulia, terlahir ke dunia dalam keadaan
fithrah, dan memiliki tanggung jawab sebagai khalifah dimuka bumi, bukan
berarti manusia itu tak berpotensi membuat kerusakan di muka bumi. Manusia
memiliki dua potensi yang saling berlawanan, baik dan buruk. Tinggal bagaimana
manusia menjalani kehidupannya.

13

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Saleh. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an.
Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Assegaf, Abd. Rachman. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press,
2011.
Ludjito, Ahmad dkk. Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam. Semarang: Pustaka
Pelajar, 1996.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014
Zuharini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

14