Suara Kritis dan Optimistis Guru Sastra

Suara Kritis dan Optimistis Guru Sastra1

I Made Sujaya2

Perbincangan mengenai pembelajaran di sekolah kerap kali diwarnai dengan
keluh dan kritik. Sorotan tajam tentu saja datang dari kalangan sastrawan dan pecinta
sastra yang menilai pembelajaran sastra dianaktirikan. Padahal, sastra diyakini
menjadi media penting dalam pembentukan karakter anak didik. Dua komponen yang
acap kali disebut-sebut sebagai penyebab terpinggirkannya pembelajaran sastra, yaitu
kurikulum pelajaran bahasa Indonesia yang lebih menitikberatkan pada kompetensi
kebahasaan serta rendahnya minat guru bahasa Indonesia terhadap sastra.
Nyaris tidak ada kurikulum yang lepas dari kritik berkenaan dengan proporsi
pembelajaran sastra. Begitu juga dengan kurikulum 2013 yang mulai diberlakukan
secara serentak tahun ajaran 2014/2015 tak luput dari kritik berkenaan komposisi
yang tidak seimbang antara pembelaran teks sastra dan teks nonsastra. Memang, jika
dicermati kompetensi dasar pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulum
2013 terlihat adanya ketidakseimbangan antara penyajian teks sastra dan nonsastra.
Sajian teks nonsastra cenderung lebih besar tinimbang teks sastra. Padahal, dalam
kurikulum 2006, keseimbangan antara teks sastra dan teks nonsastra masih lebih
memadai. Bahkan, ada kewajiban bagi siswa untuk membaca sejumlah buku sastra,


1

Disampaikan dalam acara Bedah Buku “Apresiasi Sastra dalam Pembentukan Pikiran Kritis”
serangkaian peringatan Bulan Bahasa di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP PGRI Bali, Selasa,
28 Oktober 2014
2
Dosen tetap yayasan di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP PGRI Bali.

yaitu 9 buku sastra bagi SD, 15 buku sastra bagi SMP dan SMA. Hanya memang, hal
ini belum berjalan efektif karena berbagai faktor.
Faktor penting selain kurikulum tentu saja guru Bahasa Indonesia. Minat guru
Bahasa Indonesia terhadap sastra ditengarai belum menggembirakan. Relatif sedikit
guru Bahasa Indonesia yang mau membaca dan menyelami karya-karya sastra
mutakhir dan berkualitas. Jauh lebih sedikit lagi yang mau menulis pengalamannya
bergaul dengan sastra apalagi memproduksi sendiri teks sastra untuk pengayaan
bahan ajar.
I Gusti Ketut Tribana, guru SMAN 8 Denpasar merupakan satu di antara
sedikit guru Bahasa Indonesia yang memiliki minat kuat terhadap sastra, mau
menyelam di kedalaman sastra serta tiada henti berjuang mendekatkan anak didiknya
kepada sastra melalui cara-cara pembelajaran yang kreatif, inovatif dan inspiratif.

Bahkan, Tribana menuangkan gagasan dan pengalamannya dalam bentuk tulisan.
Semangat itu terekam dalam buku Apresiasi Sastra dalam Pembentukan Pikiran
Kritis (ASPPK) yang disusunnya dan diterbitkan Pustaka Larasan tahun 2014 ini. Ini
merupakan buku ketiganya setelah Pengajaran Bahasa dan Sastra di Sekolah Upaya
Pembentukan Perilaku Remaja (Balai Bahasa Denpasar, 2004) dan Desas-desus Seks
dalam Pendidikan (Buku Arti, 2007).
Buku ASPPK merupakan himpunan esai dan artikel Tribana yang pernah
dimuat di sejumlah media massa serta disajikan dalam beberapa pertemuan ilmiah.
Ada 23 tulisan yang terhimpun dalam buku ini yang dibagi dalam tiga kelompok,
yaitu gagasan seputar pembelajaran sastra, ulasan karya sastra dan pengalaman
mengajarkan sastra di sekolah.

Sebagai sebuah himpunan tulisan, tentu saja buku ini menyajikan pemikiran
terberai. Namun, seluruh tulisan dalam buku ini masih berada dalam nafas yang sama,
yaitu pembelajaran sastra. Itu sebabnya, benang merah antara satu tulisan dengan
tulisan yang lain masih bisa didapatkan.
Tulisan-tulisan dalam ASPPK menunjukkan penulisnya sebagai guru Bahasa
Indonesia yang kritis sekaligus juga optimistis. Sikap kritis Tribana dapat dibaca
dalam tulisannya seputar gagasan tentang pembelajaran sastra. Mulai dari soal ujian
praktis sastra, bacaan sastra dengan konten berbau pornografi dan pornoaksi, dilema

siswa menyikapi ambiguitas materi sastra dalam Ujian Nasional, termasuk telaah
kritisnya terhadap sejumlah karya sastra.
Tribana memang bersuara kritis terhadap kebijakan berkaitan dengan
pembelajaran sastra di sekolah, tetapi dia tidak berhenti pada kritik, apalagi keluh
kesah. Selain menawarkan solusi, Tribana juga mengimplementasikan berbagai
gagasan dan solusi yang ditawarkannya sendiri saat mengajar di kelas. Hal itu dapat
dicermati dalam tulisan-tulisannya seputar pengalaman mengajarkan sastra di kelas.
Tribana tidak saja mengimbau rekan-rekannya sesama guru Bahasa Indonesia atau
pun anak didiknya membaca sastra, pada saat yang sama dia juga mencemplungkan
dirinya dalam samudera karya sastra lalu menuangkan hasil penjelajahannya dalam
bentuk tulisan. Tribana tampaknya meresapi betul ungkapan bahwa seorang guru
yang baik mengajarkan sesuatu dengan melakukannya. Dengan kata lain, guru
menjadi model atau teladan dalam pembelajaran sastra.
Tantangan terbesar dalam pembelajaran sastra sesungguhnya memang pada
minat baca siswa yang rendah selain ketersediaan bahan bacaan sastra di

perpustakaan sekolah yang minim. Jauh lebih rendah lagi minat siswa membaca
karya sastra. Itu sebabnya, bukan hal yang aneh jika siswa kerap merasa sangat
terpaksa manakala ditugasi membaca karya sastra sebagaimana juga diceritakan
Tribana dalam buku ini (halaman 144). Jika minat baca sastra guru Bahasa Indonesia

juga rendah, dapat dibayangkan betapa makin jauh lebih beratlah pembelajaran sastra
di sekolah. Sangat sulit mengharapkan pembelajaran sastra menjelma pembelajaran
yang menyenangkan dan menginspirasi dalam kondisi seperti itu.
Karena itu, tugas pertama seorang guru Bahasa Indonesia sebetulnya
menumbuhkan minat baca anak didiknya. Tribana memulainya dengan cara paksaan.
Anak didiknya dipaksa membaca tiga buku sastra tiap semester. Tindakan represif
terkadang memang diperlukan untuk membangun kultur, termasuk kultur baca sastra.
Namun, selain cara paksaan, guru Bahasa Indonesia juga bisa menggunakan
cara persuasif. Kuatnya budaya menonton di kalangan siswa bisa dimanfaatkan untuk
memancing budaya membaca sastra. Misalnya, mengajak menonton bersama sebuah
film

yang

diangkat

dari

novel/roman


sastra.

Selanjutnya,

ajak

mereka

membandingkan antara film dan novel/romannya. Cara ini tentu saja menuntut
keaktifan dan kreativitas guru mencari sumber belajar berupa film-film yang diangkat
dari buku sastra untuk disajikan kepada siswa. Kecenderungan siswa menggunakan
media jejaring sosial juga bisa dimanfaatkan untuk menjadikan pembelajaran sastra
dekat dengan siswa.
Intinya, untuk membangun pembelajaran sastra yang menggairahkan dan
menginspirasi, seorang guru Bahasa Indonesia mesti bisa menjadi bagian dekat dalam
dinamika pergaulan siswa. Triabana, mengutip pendapat sejumlah anak didiknya,

menggunakan istilah “guru yang ramah”. Istilah anak-anak muda sekarang, menjadi
guru yang “gue bingitz”. Guru bukan lagi menjadi orang tua, tetapi teman berbagi
bagi anak didiknya.

Tulisan-tulisan

dalam

buku

Tribana

tampaknya

belum

menyentuh

pemanfaatan media pembelajaran yang lebih familiar dengan dunia remaja dewasa
ini, seperti film. Padahal, di negara-negara maju, film menjadi bagian penting dalam
pembelajaran sastra. Bahkan, aspek pertunjukan sastra sebagai media pembelajaran
sastra juga sedikit mendapat perhatian dalam buku ini. Hanya ada satu tulisan tentang
pertunjukan sastra, yaitu musikalisasi puisi. Penulis tampaknya lebih menekankan
pembelajaran sastra dari aspek keterampilan membaca dan menulis, sedangkan aspek

keterampilan menyimak dan berbicara kurang menjadi fokus.
Memang, pembelajaran sastra dalam kurikulum 2013 kini menempatkan teks
sebagai bagian penting. Berbagai kompetensi dasar dicapai dengan pembelajaran
berbasis teks. Namun, guru Bahasa Indonesia yang kreatif, inovatif dan inspiratif
semestinya tidak semata-mata memandang teks sebagai teks yang disajikan secara
tertulis, tetapi juga melihat kemungkinan teks yang disajikan secara lisan atau pun
melalui pertunjukan. Dengan begitu teks menjadi lebih menarik karena terasa hidup.
Kendati begitu, secara umum buku ASPPK karya Tribana ini pantas disambut
dengan hangat. Keunggulan buku ini bukan saja karena menghadirkan gagasan
sekaligus pengalaman seorang guru Bahasa Indonesia dalam memperjuangkan
pembelajaran sastra yang menyenangkan dan menginspirasi, tetapi justru karena sang
guru mau menuliskan pemikiran dan pengalamannya lalu menerbitkannya menjadi
sebuah buku. Dengan begitu, pemikiran dan pengalamannya tidak hanya

terdokumentasi, tetapi juga bisa ditanggapi secara kritis oleh guru lain atau pun para
peneliti dan pecinta sastra. Dengan begitu, pembelajaran sastra bakal makin
berkembang.
Kritik yang mungkin bisa diberikan terhadap buku ini, selain sejumlah hal
teknis yang membutuhkan penyuntingan yang lebih cermat, tentu saja karena buku ini
berupa himpunan tulisan. Penulis mesti didorong untuk menghadirkan buku dengan

sajian yang lebih utuh dan mendalam mengenai satu topik. Boleh saja penulis
mencicil tulisannya dalam bentuk esai, tetapi tiap-tiap esai hendaknya ditulis dengan
satu tema pokok dan tema-tema itu tersusun secara sistematis dan holistik.
Sejarah dunia buku kita mencatat sejumlah buku kumpulan esai karya
sejumlah penulis yang kemudian menjadi buku penting dalam studi bidang tertentu.
Buku karya Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan dapat
disebut sebagai salah satu contoh buku kumpulan esai yang amat penting dan
berwibawa dalam studi kebudayaan di Indonesia. Buku Membaca dan Menilai Sastra
karya A. Teeuw merupakan contoh buku sejenis dalam bidang sastra.
Tribana sesungguhnya memiliki modal kuat untuk bisa melakukan hal
semacam itu. Buku ASPPK ini harus dipandang sebagai titik keberangkatan, bukan
titik kedatangan dalam menulis buku. Artinya, buku ASPPK bukanlah akhir, tetapi
justru awal menulis buku yang utuh dan mendalam. (*)