Anti Monopoli Pasar Bersangkutan (1)

A. PASAR BERSANGKUTAN
Jelaskan yang anda ketahui tentang Pasar Bersangkutan dan jelaskan tujuan
penentuan Pasar Bersangkutan atas suatu produk yang diselidiki. Bagaimana prosedur
penetapannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia? Berikan salah satu
contoh penetapan Pasar Bersangkutan dalam Putusan KPPU dan berikan komentar
mengenai kelengkapan metode dan proses penetapannya.
Jawaban:
Pengertian Pasar Bersangkutan:
- Menurut Pasal 1 butir 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat “Pasar Bersangkutan
adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu
oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau
substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.”
- Menurut Federal Trade Commission (FTC), Amerika Serikat dalam Department
of Justice (DOJ) Merger Guidelines:1 “a product or group of products and a
geographic area in which it is sold such that a hypothetical, profit-maximizing firm,
not subject to price regulation, that was the only present and future seller of
those products in that area could impose a “small but
nontransitory” increase in price above prevailing

significant and


or likely future levels”, atau

dengan kata lain, pasar bersangkutan diartikan sebagai suatu atau sekelompok
produk dan wilayah geografis tertentu dimana perusahaan tertentu yang
dihipotetiskan mampu memaksimalkan profit karena merupakan satu-satunya
penyedia yang berpotensi menaikkan harga secara kecil namun signifikan dan
bersifat menetap.
Dapat disimpulkan bahwa Pasar Bersangkutan adalah persaingan dalam pasar, baik
secara geografis maupun ketersediaan alternatif produk, yang memungkinkan
terjadinya proses substitusi antarproduk.
1 DOJ Guidelines, 49 Fed Reg. 26,827 (1984) diambil dari
http://www.ftc.gov/opp/advocacy/1987/V870026.PDF

1

Untuk menentukan Pasar Bersangkutan di dalam kasus kita dapat tentukan melalui 4
(empat) hal yang utama, yaitu:
a. Manfaat atau fungsi.
b. Harga.

c.

Teknologi yang digunakan.

d. Komposisi yang digunakan.
Produk yang akan diteliti dibandingkan degnan produk pengganti (subtitusi) dengan
melihat 4 (empat) hal utama tersebut. Apakah manfaat dan fungsi produk yang diteliti
memiliki kesamaan dengan produk subtitusinya? Apakah jika harga produk dinaikkan
akan menyebabkan konsumen berpindah menggunakan produk subtitusi atau tetap
menggunakan produk tersebut? Bagaimanakah teknologi yang digunakan, sama atau
berbeda? Serta komposisi apa yang merupakan dalam pembuatan produk tersebut?
Hal-hal inilah yang harus dijawab oleh penyelidik dalam usahanya mengetahui Pasar
Bersangkutan yang terjadi dalam suatu masalah.
Pasar Bersangkutan menurut definisi yang dipergunakan oleh Komisi dalam
menerapkan Pasal 1 angka 10 UU 5/1999 sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Komisi No. 3 Tahun 2009 adalah sebagai berikut:
a.

Identifikasi produk,


b.

Pasar produk,

c.

Pasar Bersangkutan

Pasar Bersangkutan dapat ditentukan dengan
Tujuan penentuan Pasar Bersangkutan atas produk yang diselidiki adalah untuk
mengetahui apakah
Prosedur penetapannya adalah sebagai berikut
Contoh kasus
B. PENDEKATAN HUKUM (LEGAL APPROACH)
Berikan penjelasan tentang Pendekatan Hukum dalam Hukum Persaingan yang
saudara ketahui, dan bagaimana penerapan penggunaan Legal Approach tersebut
dalam putusan KPPU. Berikan contoh masing-masing penggunaan pendekatan hukum
2

tersebut dalam Putusan KPPU (sebut nomor dan tahun putusan beserta nama

kasusnya).
Jawaban:
Pendekatan Hukum dalam Hukum Persaingan di Indonesia menggunakan
pendekatan per se illegal dan rule of reason. Pendekatan per se illegal maupun rule of
reason telah lama diterapkan untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku
bisnis melanggar Undang-Undang Antimonopoli. 2
Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha
tertentu sebagai illegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan
dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se
illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta
pengaturan harga penjualan kembali. 3 Penerapan pendekatan per se illegal biasanya
dipergunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat
“… yang dapat mengakibatkan…”. Contoh penerapan pendekatan per se illegal dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tertuang dalam pasal-pasal berikut ini: 4
1. Penetapan Harga (Pasal 5)
2. Penetapan Harga Diskriminatif (Pasal 6)
3. Boikot (Pasal 10)
4. Perjanjian Tertutup (Pasal 15)
5. Persekongkolan dalam Menghambat Produksi dan/atau Pemasaran Pesaing
(Pasal 24)

6. Pemilikan Saham Mayoritas (Pasal 27)
Keunggulan penggunaan pendekatan per se illegal yaitu:
-

Memberikan kepastian hukum bagi pengusaha

-

Relatif singkat dan hemat

2 Ross, Stephen F., Principles of Antitrust Law, (Westbury New York: The Foundation Press, Inc., 1993),
Hal. 395-399. Diambil dari Lubis, Dr. Andi Fahmi, S.E., M.E., dkk, Hukum Persaingan Usaha (Antara Teks &
Konteks).(Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha, ___ ), Hal. 55.
3 Khemani, R. Sheyam dan D. M. Shapiro, Glossary of Industrial Organization Economics and Competition
Law (Paris: OECD, 1996) Hal. 51, diambil dari Ibid.
4 Slide Ajar Mata Kuliah Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat A.M. TRI ANGGRAINI

3

-


Prosedur pembuktian lebih sederhana

Kelemaran penggunaan pendekatan per se illegal yaitu:
-

Perjanjian tersebut belum tentu merugikan persaingan;

-

kesulitan dalam membuktikan adanya perjanjian lisan.

Dalam pendekatan per se illegal yang dibuktikan adalah adanya perjanjian. Bentuk
perjanjian tersebut meliputi perjanjian tertulis maupun perjanjian tidak tertulis (lisan).
Jenis perjanjian yang dicari nantinya dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu perjanjian
horizontal yang dilakukan antar sesame pesaing dan perjanjian vertical yang dilakukan
oleh antar level yang berbeda misalnya produsen, grosir dan pengecer.
Penggunaan pendekatan per se illegal dalam putusan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha dapat kita lihat dalam putusan Perkara KPPU Nomor 26/KPPU-L/2007 mengenai
perkara kartel SMS (Short Message Service) yang dilakukan oleh para operator

penyelenggara jasa telekomunikasi. Dalam kasus tersebut ditemukan beberapa
perjanjian kerja sama Interkoneksi yang dilakukan oleh para operator penyelenggara
jasa telekomuniksi yang mengatur tentang penetapan harga. Salah satu contoh
perjanjian penetapan harga yang dilakukan pelaku usaha dalam perkara ini yaitu:
-

Dalam Perjanjian antara Bakrie Telecom dan Exelkomindo pada tahun 2004 dalam
Pasal 18 yaitu ayat (2) tentang Charging yang berbunyi: “Khusus untuk Charging
layanan SMS yang akan dikenakan kepada Pengguna masing-masing pihak, Para
Pihak sepakat Charging kepada pengguna BakrieTel tidak boleh lebih rendah dari
Charging yang dikenakan oleh Excelcom kepada penggunanya yaitu Rp. 250/SMS”
Dalam Pasal 5 UU 5/1999 mengatur bahwa:
“1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. Suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b. Suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.”
Pada proses persidangan, Hakim memutuskan bahwa PT Excelkomindo Pratama,


Tbk; PT Telekomunikasi Seluler; PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk PT Bakrie Telecom;
PT Mobile-8 Telecom, Tbk; PT Smart Telecom terbukti melanggar Pasal 5 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
4

Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999). Para terlapor mendapatkan hukuman dengan dengan
besaran denda yang ditetapkan oleh Hakim. Selain melihat perjanjian yang dilanggar
oleh para pelaku usaha tersebu, KPPU juga membuktikan mengenai kerugian yang
dialami oleh konsumen yang menjadi dampak dari dibuatnya perjanjian tersebut. Dalam
kasus ini, para pelaku usaha membuat perjanjian diantaranya yang mengatur pelaku
usaha untuk mengenakan tariff SMS kepada konsumen dengan kisaran harga dari
Rp250,00 (dua ratus lima puluh Rupiah) danRp350,00 (tiga ratus lima puluh Rupiah)
per SMS. Bahkan dalam beberapa perjanjian ditemukan klausula yang mengatur
tentang larangan menggenakan tariff SMS lebih rendah dari Rp250,00 (dua ratus lima
puluh Rupiah), hal tersebut tentunya kan merugikan konsumen serta pelaku usaha
baru.
Selain putusan diatas, Putusan KPPU Nomor 05/KPPU-I/2003 dimana KPPU secara
inisiatif melakukan pemeriksaan terhadap dugaan Dewan Pimpinan Daerah Organda
wilayah Jakarta yang melakukan penetapan tarid Bus Kota Patas AC sebesar
Rp3.300,00 (tiga ribu tiga ratus Rupiah) dengan mengajukan permohonan kepada
Gubernur DKI Jakarta setelah melalui proses pembathasan antara beberapa

pengusaha angkutan bus kota dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Pemerintah DKI
Jakarta kemudian mengeluarkan Surat Nomor 2640/-1.811.33 pada tanggal 4
September 2011 tentang Penyesuaian Tarif Angkutan. Berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur tersebut Organda kemundian menerbitkan Surat Keputusan Nomor SKEP115/DPD/IX/2001 tanggal 5 September 2001 tentang Penyesuaian Tarif Angkutan
Umum Bus Kota Patas AC di wilayah Jakarta.
Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang dilakukan oleh lembaga
itirutas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau
kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan
usaha tersebut bersidat menghambat atau mendukung persaingan.
Pendekatan rule of reason dapat kita temukan dalam perjanjian/kegiatan tertentu
dinyatakan ilegal, setelah melakukan evaluasi ekonomis mengenai akibatnya terhadap
persaingan Misalnya: kata “patut diduga…”, atau “…yang dapat mengakibatkan…”
Contoh penerapan pendekatan rule of reason dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 adalah:
5

1. Oligopoli (Pasal 4)
2. Penetapan Harga di bawah Harga Pasar (Pasal 7)
3. Penetapan Harga Vertikal (Pasal 8)
4. Pembagian Wilayah (Pasal 9)

5. Kartel (Pasal 11)
6. Trust (Pasal 12)
7. Oligopsoni (Pasal 13)
8. Integrasi Vertikal (Pasal 14)
9. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16)
10.Praktek Monopoli (Pasal 17)
11.Praktek Monopoli (Pasal 17)
12. Monopsoni (Pasal 18)
13. Penguasaan Pasar (Pasal 19)
14. Penyalahgunaan Posisi Dominan (Pasal 25)
15. Jual Rugi (Pasal 29)
16. Curang dalam Menentukan Harga Produksi (Psl 21)
17. Persekongkolan Tender (Pasal 22)
18. Persekongkolan dalam Mendapatkan Informasi Rahasia Pesaing (Pasal 23)
19. Perangkapan Jabatan (Pasal 26)
20.Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan (Pasal 28)
Kelebihan penggunaan pendekatan rule of reason yaitu:
-

Memberikan kesempatan untuk melakukan interpretasi.


-

Lebih dijamin akurasinya karena menggunakan analisis ekonomi.

Kelemahan penggunaan pendekatan rule of reason yaitu:
-

Pembuktian relative lama dan mahal

-

Tidak adanya kepastian yang bisa menyebabkan penanganan 1 (satu) issue
dengan issue lain yang sejenis menghasilkan keputusan yang berbeda

-

Mensyaratkan hakim untuk memahami aspek-aspek ekonomi

Ada 4 (empat) tahapan untuk membuktikan apakah suatu permasalah menggunakan
pendekatan rule of reason, yaitu:
-

Harus didefinisikan dulu Pasar Bersangkutan dalam kasus tersebut,
6

-

Berapa besar penguasaan pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha, apakah
termasuk dominasi pasar atau tidak,

-

Buktikan perilaku atau conduct yang dilanggar, apakah mengenai masalah harga
(penetapan harga) atau non harga seperti pembagian wilayah, pembatasan
kuota, boikot ataukah persekongkolan

-

Buktikan dampak yang ditimbulkan akibat masalah tersebut terhadap pelaku
usaha lain (pesaing) dan juga terhadap konsumen.

C. PERJANJIAN YANG DILARANG
Apa yang saudara ketahui tentang perjanjian dan vertikal? Berikan masing-masing
contohnya dalam Putusan KPPU (masing-masing satu), serta sebutkan pelanggaran
pasalnya.
Dalam Definisi Perjanjian Pasal 1 angka 7 UU 5/1999 dikenal Perjanjian Tidak Tertulis,
Menurut anda, bagaimana membuktikan perjanjian (lisan) tersebut?
Jawaban:
Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan perjanjian   dan vertical, pertama­
tama kita perlu menjelaskan apa itu perjanjian. Dalam Pasal 1 angka 7 Undang­Undang
Nomor   5   Tahun   1999   disebutkan   mengenai   pengertian   perjanjian   yaitu:  “Perjanjian
adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap
satu  atau  lebih  pelaku  usaha   lain   dengan   nama  apapun, baik tertulis  maupun   tidak
tertulis” 
Perjanjian yang Dilarang dalam Undang­undang Nomor 5 Tahun 1999 diatur dalam
Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Perjanjian­perjanjian tersebut meliputi: 
1. Oligopoli, 
2. Penetapan harga (price fixing), 
3. Pembagian wilayah, 
4. Pemboikotan, 
5. Kartel, 
7

6. Trust, 
7. Oligopsoni, 
8. Integrasi vertikal, 
9. Perjanjian tertutup, dan 
10. Perjanjian luar negeri. 
Pada hakekatnya terdapat dua jenis hambatan dalam perdagangan, yakni hambatan
horisontal dan vertikal. Ketika para pesaing dalam bidang usaha tertentu terlibat dalam
perjanjian (kesepakatan) yang mempengaruhi perdagangan di wilayah tertentu, maka
tindakan   ini   disebut   dengan   hambatan   . 5  Hambatan   horisontal   diartikan   secara   luas
sebagai   suatu   perjanjian   yang   bersifat  membatasi   dan   praktek   kerjasama,   termasuk
perjanjian   yang   secara   langsung   atau   tidak   langsung   menetapkan   harga   atau
persyaratan  lainnya,  seperti   perjanjian   yang  menetapkan  pengawasan  atas   produksi
dan distribusi, alokasi (pembagian) kuota atau wilayah atau pertukaran informasi/data
mengenai   pasar,   dan   perjanjian   menetapkan   kerjasama   dalam   penjualan   maupun
pembelian   secara   terorganisasi,   atau   menciptakan   hambatan   masuk   pasar   (entry
barriers).6  Perjanjian     dapat   kita   temukan   dalam   Pasal   4   ayat   (1)   Undang­Undang
Nomor  5   Tahun   1999   yaitu:   “Pelaku   usaha   dilarang  membuat  perjanjian  dengan
pelaku usaha lain untuk secara bersama­sama melakukan penguasaan produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli   dan   atau   persaingan   usaha   tidak   sehat.”  Perjanjian     adalah   perjanjian   di
antara   para   pelaku   usaha   di   tingkat   perdagangan   yang   sama   dalam   rangkaian
distribusi.
Perjanjian   Horizontal   yang   dilarang   dalam   Undang­Undang   Nomor   5   Tahun   1999
antara lain:

5 Sullivan, E. Thomas dan Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic Implications,
(New York: Matthew Bender & Co.,1994), hal. 75. diambil dari
http://sekartrisakti.wordpress.com/2011/06/08/kajian-yuridis-terhadap-perjanjian-penetapan-harga-berdasarkan-uuno-5-tahun-1999-tentang-larangan-praktek-monopoli-dan-persaingan-usaha-tidak-sehat/ tanggal akses 22 Oktober
2012
6 Heidenhain , Martin, et. al., German Antitrust Law (Frankfurt am Main: Verlap Fritz Knapp GmbH, 
1999), hal. 17  diambil dari ibid.

8

Perjanjian   yang   bersifat   membatasi   (restrictive   agreements)   adalah   terlarang   jika
dilakukan   antara   pelaku   usaha   privat   maupun   publik,   dengan   kata   lain,   bahwa
perjanjian   tersebut   disetujui   oleh   semua   individu,   rekanan   (partnership),   perusahaan
yang   melakukan   kegiatan   usaha   tertentu   dalam   hal   penjualan   barang   atau   jasa
perdagangan berkaitan dengan pelaku usaha. Namun demikian, perjanjian  di  antara
pelaku  usaha   pengawas (controlling)  dan  yang   diawasi  (controlled), misalnya  antara
perusahaan induk (parent companies) dan anak perusahaan (subsidiary companies),
atau   antara   perusahaan­perusahaan   yang   terafiliasi   bukan   termasuk   dalam   jenis
perjanjian   ini,   karena   perjanjian   tersebut   termasuk   kesepakatan   antara   dua   pelaku
usaha yang berbeda tingkatannya, atau disebut juga dengan perjanjian vertikal. 7 
Hambatan vertikal adalah hambatan perdagangan yang dilakukan oleh para pelaku
usaha   dari   tingkat   (level)   yang   berbeda   dalam   rangkaian   produksi   dan   distribusi. 8
Secara umum hambatan vertikal adalah hambatan atau pembatasan yang ditetapkan
oleh   pabrikan   (manufacture)   atau   distributor   atas   kegiatan   usaha   dari   pengecer. 9
Analisis   atas   hambatan   vertikal   terdiri   atas   dua   kategori, pertama,   adalah   perjanjian
yang   dilakukan   oleh   penjual   untuk   mengontrol   faktor­faktor   yang   berkaitan   dengan
produk   yang   akan   dijual   kembali.   Sebagai   contoh,   misalnya   pabrikan   hanya   mau
menjual kepada pengecer yang menyetujui untuk menjual kembali produknya dengan
harga   tertentu.   Dalam   hal   ini,   pabrikan   kadang   kala   juga   menentukan   kepada   jenis
pelanggan  mana  barang  tersebut  dapat  dijual,  bahkan   menetapkan   lokasi   penjualan
produknya. Akibat langsung dari kategori (jenis) hambatan ini adalah persaingan antara
para penjual dalam produk sejenis atau disebut juga intrabrand competition. Kategori
yang kedua,   adalah   meliputi   usaha­usaha   penjual   untuk   membatasi   pembelian   yang
dilakukan oleh pembeli atas penjualan produk pesaingnya. Contoh jenis hambatan ini
terlihat dari tindakan tying arrangement, di mana seorang penjual hanya akan menjual
7 Ibid.
8 Sullivan, Lawrence Anthony, Antitrust (Saint Paul Minnesota: West Publishing, Co., 1977), hal. 657. 
diambil dari Ibid.
9 Sullivan, Thomas dan Jeffrey L. Harrison, Op. Cit., h. 149. diambil dari Ibid.

9

suatu jenis produk jika pembeli bersedia membeli jenis produk lainnya dari penjual yang
sama. Kemungkinan yang lain adalah penjual hanya menjual produknya dengan suatu
persyaratan,   bahwa   pembeli   harus   membeli   seluruh   komponen   yang   dibutuhkan
kepada   penjual   tersebut.   Pembatasan   seperti   ini   mengakibatkan   persaingan
antar brands atau interbrand   competition.10  Perjanjian   vertikal   adalah   perjanjian   di
antara pelaku usaha di tingkat yang berbeda dalam rangkaian distribusi barang dan
atau jasa.
Tidak mudah untuk membuktikan adanya perjanjian, apalagi ketika perjanjian tersebut
merupakan perjanjian tidak tertulis atau yang biasa disebut perjanjian lisan
D. KEGIATAN YANG DILARANG
Salah satu bentuk Kegiatan yang Dilarang adalah Praktek Monopoli. Apakah semua
jenis Monopoli dilarang UU5/1999? Berikan penjelasan atas jawaban saudara.
Jawaban:
Monopoli menurut Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu
“Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.”
Selanjutnya dalam Pasal 17 ayat (2) disebutkan bahwa:
“Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksuddalam ayat (1)
apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan
usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%
(lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

10 Ibid.

10

Penulis berpendapat bahwa melihat dari pengertian diatas, monopoli dilarang ketika
mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Monopoli yang kemudian mengakibatkan
pelaku usaha yang memiliki posisi dominan memanfaatkan posisi nya untuk mematikan
atau menghambat pelaku usaha lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya monopoli tidak dilarang apabia tidak merugikan pihak lain. Monopoli yang
tidak dilarang dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: 11
-

Monopoly by law, monopoli ini dilakukan oleh negara untuk cabang-cabang
produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Di
Indonesia, monopoli ini dilakukan berdasarkan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara” dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Contohnya adalah Bulog yang diberikan
kewenangan untuk menjadi satu-satunya importir beras.

-

Monopoly by nature, yaitu monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah
karena didukung oleh iklim dan lingkungan yang cocok. Suatu industri disebut
monopoli alamiah (natural monopoly) jika suatu perusahaan dapat menyediakan
barang atau jasa pada seluruh pasar yang membutuhkannya dengan biaya yang
lebih rendah daripada 2 (dua) atau 3 (tiga) perusahaan sekaligus. Suatu monopoli
alamiah mucul ketika terdapat skala ekonomi (economies of scale) di suatu
daerah output tertentu yang relevan. Contohnya monopoli alamiah adalah PDAM,
karena menguasai seluruh jaringan pipa di Indonesia maka ketika ada
perusahaan lain yang akan masuk harus membayar

biaya tetap berupa

pembangunan jaringan.12
-

Monopoly by license. Monopoli yang terakhir ini diperoleh melalui lisensi dengan
menggunakan mekanisme kekuasaan. Contohnya monopoli izin penggunaan hak
atas

kekayaan

intelektual

dimana

hanya

pemegang

hak

yang

dapat

11 Sumber: http://patricia-seohyerim.blogspot.com/2011/05/perjanjian-yang-dilarang-uu-no-5-tahun.html
dan http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar_monopoli tanggal akses 21Oktober 2012
12 Sumber: http://vangaliputra.blogspot.com/2011/05/monopoli.html tanggal 21 Oktober 2012

11

menggunakan

teknologi

tersebut,

serta

pemberian

hak

waralaba

yang

mengakibatkan hanya pemegang izin waralaba yang dapat menjual produk/jasa
tersebut.
E. PERSEKONGKOLAN TENDER
Apa yang saudara ketahui tentang Persekongkolan Tender? Menurut pendapat saudara
apakah KPPU menerapkan pengertian TENDER sebatas pada Penjelasan Pasal 22 UU
5/1999? Jelaskan pendapat saudara disertai contoh kasus Putusan KPPU berkaitan
dengan “perluasan” penerapan Pasal 22 tersebut.
Jawaban:
Persekongkolan tender menurut Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu:
“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat” Penjelasan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu:
“Tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk
mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa.”

12