Jurnalisme Warga dan Ruang Publik Berbas
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 1
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
Jurnalisme Warga dan Ruang Publik
Berbasis Televisi Kampus : Idealisme dan
Tantangan
Fajar Junaedi
Berdasarkan Undang-undang No. 32 tahun 2002 ada tiga jenis lembaga
penyiaran (broadcasting), yaitu lembaga penyiaran komunitas, lembaga penyiaran
publik dan lembaga penyiaran swasta. Regulasi ini tidak mengenal istilah televisi
kampus, namun bukan berarti televisi kampus terabaikan dalam khazanah ranah
penyiaran di Indonesia. Televisi kampus adalah fenomena nyata dalam dunian
penyiaran di Indonesia Jika dikaitkan dengan ketiga bentuk lembaga penyiaran yang
diakomodir oleh undang-undang, televisi kampus umumnya mengambil posisi
sebagai lembaga penyiaran swasta atau lembaga penyiaran komunitas.
Di antara ketiga lembaga penyiaran yang diakomodir oleh regulasi yang
berlaku, lembaga penyiaran swasta secara telak menguasai langit penyiaran
Indonesia. Stasiun televisi swasta, yang berdiri sebelum regulasi ini diberlakukan
maupun yang berdiri setelah pemberlakuan regulasi ini, mendominasi ranah
penyiaran di Indonesia. Beberapa stasiun televisi yang bersiaran secara nasional
bahkan menolak untuk melakukan siaran dengan sistem berjaringan dengan televisi
swasta lokal yang berada di daerah. Penolakan ini memperlihatkan adanya arogansi
televisi swasta yang bersiaran secara nasional. Kritik yang kuat dari penggiat
kebebasan informasi publik agak meredakan arogansi televisi swasta yang
1
bersiaran nasional dengan kemauan mereka untuk bekerja sama dengan televisi
swasta lokal. Walaupun kerjasama ini diragukan mampu memberdayakan televisi
swasta lokal, karena kebijakan dan manajemen yang dicengkeram kuat oleh televisi
swasta nasional.
Dalam perkembangan dunia penyiaran televisi kontemporer di Indonesia,
persoalan-persoalan mengemuka terutama yang berkaitan dengan keberpihakan
media televisi terhadap kekuatan ekonomi dan politik tertentu. Dalam konteks
ekonomi, stasiun televisi swasta yang menguasai langit penyiaran dikuasai oleh
segelintir kelompok usaha (konglomerasi). Media Nusantara Citra (MNC) menguasai
RCTI, GlobalTV dan MNCTV. Kelompok usaha Para yang bermetamorfosis menjadi
TransCorp menguasai TransTV dan Trans 7. Kelompok usaha Bakrie menguasai
ANTV dan diindikasikan juga TVOne. Selain bermain di bisnis penyiaran televisi,
kelompok-kelompok usaha ini juga melakukan integrasi horizontal dalam bisnis
media dengan menguasai bisnis media di luar bisnis penyiaran televisi. Ini
memperlihatkan bahwa media secara cepat meningkat signifikansi ekonominya,
sebagaimana industri media tumbuh, berkembang dan mengkosolidasikan
kekuasaannya di pasar (McQuail dalam Devereux,2003:8). Kelompok usaha MNC,
selain ketiga stasiun televisi yang mereka miliki juga menguasai koran Seputar
Indonesia, radio Sindo dan situs berita okezone.com. Kelompok usaha Media Group
yang menguasai MetroTV juga menjalankan bisnis di bidang penerbitan dengan
Koran Media Indonesia dan Lampung Pos. Dengan pendekatan ekonomi-politik,
yang menekankan kritik sosial yang berfokus pada relasi antara struktur ekonomi
dan dinamisasi industri media dan isi ideologis dari media, maka akan selalu ada
implikasi dari konsentrasi dan konglomerasi media ini
(McQuail dalam
Devereux,2003:62). Implikasi dari konsentrasi dan konglomerasi media ini akan
semakin terlihat jelas dalam pembahasan berikut ini.
Bukan hanya penguasaan di bidang penyiaran, kelompok usaha di atas juga
memiliki lini bisnis lain baik di bidang media maupun non media. Beberapa
konglomerasi yang terjun ke bisnis media umumnya memiliki bisnis lain luar bisnis
media, seperti Kelompok Bakrie yang memiliki bisnis pengelolaan hutan,
pertambangan dan property. Kelompok TransCorp juga memiliki bisnis taman
2
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 3
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
hiburan, bank dan hotel. Penguasaan atas bisnis media dan non media ini akan
memicu persoalan ketika bisnis non media yang dikelola mendapat masalah,
sebagaimana yang bisa dilihat dalam pemberitaan ANTV dalam kasus Lumpur
Lapindo yang melibatkan PT. Lapindo, salah satu bagian dari kelompok usaha
Bakrie di bidang pertambangan. Stasiun televisi ini terkesan berusaha membingkai
kasus lumpur Lapindo menjadi bencana alam, bukan kesalahan yang dilakukan oleh
salah satu kelompok usaha Bakrie dengan menyebutnya sebagai Lumpur Sidoarjo,
bukan Lumpur Lapindo.
Kedekatan pemilik stasiun televisi dengan partai politik tertentu membawa
implikasi lebih banyaknya pemberitaan mengenai figure tertentu. MetroTV, stasiun
televisi berita yang dimiliki Surya Paloh, seorang aktivis Partai Golkar yang
kemudian keluar dan terlibat dalam Partai Nasional Demokrat (Nasdem), secara
jelas memberi porsi lebih banyak pada Surya Paloh untuk tampil. Demikian juga
ANTV yang dimiliki oleh kelompok usaha Bakrie, memberikan porsi lebih pada
Aburizal Bakrie, ketua umum Partai Golkar, untuk tampil lebih banyak.
Jadi mengharapkan televisi swasta sebagai ruang publik agaknya sesuai yang
utopia. Utopia ini tidak lepas dari fakta bahwa isi media dipengaruhi oleh institusi
sosial dan kekuatan-kekuatan lainnya. Maksudnya adalah bahwa faktor-faktor
eksternal seperti kekuatan-kekuatan ekonomi, kultural, dan khalayak akan
menentukan isi media (Gans dan Gitlin dalam Shoemaker dan Reese, 1996). Pemilik
media sebagai kekuatan ekonomi menjadi faktor penting dalam pembingkaian
berita di media, sehingga agaknya ruang publik tidak tersedia secara luas dalam
model penyiaran televisi swasta karena pemilik media selalu berorientasi pada
pemenuhan peningkatan keuntungan untuk memperbesar modal mereka.
Lembaga penyiaran publik, dalam hal ini adalah TVRI juga masih tertatihtatih. Ini bisa dilihat dari programming acara yang jauh tertinggal dibandingkan
dengan lembaga penyiaran komersial yang dikelola oleh swasta. Jika dibandingkan
dengan negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris, perhatian
pemerintah Indonesia terhadap media dan industri budaya masih jauh tertinggal. Di
3
negara-negara ini, pemerintah mengambil langkah aktif dalam kebijakan di bidang
media dan industri budaya untuk melindungi kepentingan publik. Ranah yang
banyak mendapat perhatian adalah penyiaran, dimana ranah ini diatur secara ketat
dengan regulasi demi melindungi kepentingan publik. Sebagai contoh, stasiun
televisi publik BBC di Inggris disokong oleh pendanaan yang mencukupi oleh
pemerintah melalui kebijakan pajak lisensi (Stoke, 2007:103). Dukungan yang kuat
dari pemerintah ini menjadikan BBC mampu bersaing dalam programming yang
mereka produksi, dan sekaligus mampu bersaing dengan lembaga penyiaran
komersial.
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap lembaga penyiaran publik juga
terjadi pada lembaga penyiaran komunitas. Kurangnya dukungan kebijakan yang
kuat dari pemerintah untuk memberdayakan lembaga penyiaran komunitas
menyebabkan lembaga penyiaran komunitas seolah mati suri. Sempat terjadi
euforia di kalangan penggiat lembaga penyiaran komunitas, terutama pasca
reformasi tahun 1998 ketika banyak dari penggiat lembaga penyiaran komunitas
mendirikan radio dan televisi komunitas. Walaupun sebenarnya, sampai tahun 2002
saat diberlakukan Undang-undang No. 32 tahun 2002, belum ada kebijakan yang
mengatur tentang lembaga penyiaran komunitas. Namun euforia ini hanya terjadi
dalam sementara waktu, seiring dengan hambatan dan tantangan yang harus
dihadapi oleh lembaga penyiaran komunitas.
Dalam perkembangannya, lembaga penyiaran komunitas terutama televisi
komunitas, harus dihadapkan pada tingginya biaya pengelolaan stasiun televisi
komunitas dan persaingan dengan faktor eksternal seperti harus menghadapi
kompetisi dengan stasiun televisi swasta dan aturan pemerintah yang menyebabkan
televisi komunitas terpingggirkan. Penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) pada tahun 2009 membuktikan hal ini. Penelitian AJI
menyebutkan bahwa media komunitas harus menghadapi problem yang datang dari
dua sisi, yaitu dari dunia industri/bisnis dan dari sisi regulasi pemerintah (Nugroho,
Putri dan Laksmi, 2012:29)
Stasiun televisi komunitas GrabagTV, sebuah stasiun televisi komunitas
terkemuka yang berdiri di wilayah Grabag Kabupaten Semarang, adalah salah satu
4
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 5
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
contoh stasiun televisi komunitas yang dihadapkan pada persoalan ini. Sebenarnya,
stasiun televisi komunitas ini berfungsi tidak hanya bermanfaat memberikan akses
informasi yang langsung bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari, tapi juga
media aktualisasi warga dalam pengembangan seni budaya lokal dan pendidikan.
Beberapa program siaran yang ditayangkan melalui GrabagTV berisi aktivitas
kehidupan masyarakat sekitar, seni pertunjukan lokal dan memberikan kesempatan
kepada siswa-siswa sekolah sekitar untuk berekspresi melalui televisi komunitas
(Hermanto dalam Rianto dkk,2012:19).
Namun sayangnya, kontribusi penting televisi komunitas dalam membangun
ruang publik di tingkat komunitas, bahkan dengan melibatkan siswa-siswa sekolah
ini dihadapkan pada tantangan yang kian membelit. Menurut pengelola GrabagTV,
Hartanto, GrabagTV harus bersaing dengan berbagai faktor eksternal yang
menyebabkan masyarakat semakin melupakan televisi komunitas, yaitu munculnya
mall di daerah yang mendorong masyarakat untuk semakin konsumtif, mudahnya
masyarakat mendapatkan kredit pembiayaan sepeda motor sehingga mobilitas
masyarakat ke kota untuk mendapatkan hiburan semakin mudah dan semakin
murahnya antena parabola dan iuran bulanan televisi satelit yang menyebabkan
masyarakat semakin dimanja oleh tayangan televisi swasta dan stasiun televisi
asing yang memiliki progamming lebih maju (berdasarkan wawancara pada 19
Maret 2012). Fakta ini tentu memprihatinkan karena sebenarnya televisi komunitas
adalah salah satu media terbaik bagi masyarakat di tingkat komunitas untuk aktif
dalam jurnalisme warga (citizen journalism). Melalui televisi komunitas, masyarakat
bukan hanya mengkonsumsi tayangan televisi secara pasif, namun mereka mampu
menjadi khalayak aktif yang melek media dengan mampu membuat program acara
televisi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Di tengah euforia televisi komunitas, dunia kampus berusaha untuk ikut
membuat televisi komunitas berbasis kampus yang lazim disebut dengan televisi
kampus. Beberapa diantaranya adalah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY) melalui pendirian UMYTV, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta (UAD)
5
melalui ADITV, Universitas Dian Nuswantoro Semarang (Udinus) melalui TVKU,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) melalui FiatV, Universitas Pembangunan
Nasional Veteran Yogyakarta UPNVY dengan UPNTV, Akademi Komunikasi
Indonesia (Akindo) Yogyakarta dengan AkindoTV, Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAIN) Kediri dengan KakaTV dan Stisipol Candradimuka Palembang dengan
CandradimukaTV. Pendirian televisi kampus umumnya didasari pada kebutuhan
untuk meningkatkan ketrampilan mahasiswa di bidang penyiaran serta idealisme
membangun ruang publik di kampus melalui jurnalisme warga dengan
menggunakan televisi kampus serta ketersediaan alat yang ada di kampus. Pada
realitasnya televisi kampus dibangun dengan segala keterbatasan yang kemudian
keterbatasan ini menyebabkan televisi kampus dihadapkan pada banyak persoalan
yang menghambat.
Banyaknya persoalan yang menantang televisi kampus menyebabkan televisi
kampus dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, menjadi televisi kampus
dikembangkan menjadi lembaga penyiaran swasta. Opsi ini dipilih oleh ADITV dan
TVKU yang bermetamorfosis menjadi lembaga penyiaran swasta. Kedua, televisi
kampus memilih untuk tetap menjadi lembaga penyiaran komunitas. Pilihan ini
dilakukan oleh FiatTV dan UMYTV. Pembahasan lebih lanjut hanya akan difokuskan
pada televisi kampus yang tetap bertahan sebagai televisi komunitas, dengan
pertimbangan format televisi komunitas yang dipilih oleh pengelola televisi kampus
secara idealis lebih menjamin peran televisi kampus sebagai ruang publik yang
dibangun melalui jurnalisme warga. Ketika televisi kampus memilih menjadi
lembaga penyiaran swasta, maka ideologi pasar yang ditandai dengan orientasi
mengejar rating agar banyak pengiklan yang masuk menjadi lebih dominan.
Jurnalisme Warga dan Ruang Publik dalam Televisi Kampus: Tantangan dan
Hambatan
Di tengah jurnalismenya yang dikendalikan oleh kepentingan pasar (market
6
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 7
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
driven journalism) sebagaimana ditandai dengan dominasi lembaga penyiaran
swasta, terutama di ranah penyiaran, jurnalisme warga menjadi pilihan idealis
dalam mewujudkan ruang publik. Jurnalisme warga memungkinkan terbukanya
aktivitas media yang demokratis (Devereux 2007:139). Praktek jurnalisme warga
ini lekat dengan media komunitas, dimana melalui media komunitas terjadi
transformasi dari partisipasi warga yang pasif ke dalam partisipasi yang lebih aktif
(Nugroho, Putri dan Laksmi, 2012:56). Terbukanya partisipasi warga secara lebih
luas ini tidak lepas dari ketersediaan ruang publik (public sphere) yang terbuka luas
melalui jurnalisme warga. Dengan demikian mimpi akan ruang publik dalam
terminologi Jurgen Habermas akan jauh lebih bisa diwujudkan dalam lembaga
penyiaran komunitas dibandingkan dengan lembaga penyiaran swasta. Ini karena
lembaga penyiaran swasta akan tunduk pada dua kekuatan pokok, yakni iklan dan
pemilik. Sementara pada lembaga penyiaran komunitas, karena merupakan milik
bersama warga, kontrol semacam itu jauh lebih tidak mungkin terjadi (Rianto,
2012:92-93).
Untuk memahami terminologi Jurgen Habermas tentang ruang publik maka
tiga dimensi ruang publik menjadi perlu dikemukakan. Ada tiga dimensi dari ruang
publik, pertama, ruang publik menuntut adanya sebuah forum yang dapat diakses
oleh sebanyak mungkin orang, dimana berbagai pengalaman sosial dapat
diekspresikan dan dipertukarkan. Kedua, dalam ruang publik, berbagai pendapat
dan pandangan dibenturkan melalui diskusi rasional. Terakhir, kontrol secara
sistematis dan kritis atas kebijakan pemerintah adalah tugas utama ruang publik
(Devereux,2003:65). Sebenarnya melalui televisi, dimensi pertama dari ruang
publik sebagaimana tersebut di atas lebih mudah dicapai daripada menggunakan
media massa yang lain. Melalui televisi, publik yang lebih luas dapat dijangkau
untuk saling berbagi pengalaman. Melalui televisi pula berbagai pendapat dan
pandangan dapat dibenturkan melalui diskusi yang rasional. Namun sayangnya,
dominasi industri televisi yang secara telak dikuasai konglemerasi media
menyebabkan ruang publik ini sulit tercapai.
7
Jika merujuk pada sejarah pers di Indonesia, pada masa demokrasi ala Orde
Baru yang tidak memberikan cukup ruang bagi kebebasan pers, pers kampus
terutama dalam bentuk media cetak majalah menjadi pers alternatif dalam
menyuarakan isu-isu yang sensitif. Pembredelan yang membayangi pers umum
menyebabkan pers umum dihadapkan pada dua pilihan, yaitu mengambil garis
aman dengan menjauhi pemberitaan isu-isu yang sensitif bagi Orde Baru seperti
korupsi, kesenjangan sosial, monopoli keluarga penguasa dan demokratisasi atau
tetap memberitakan isu-isu sensitif tersebut dengan resiko dibredel.
Setelah reformasi, kebebasan pers yang terbuka lebar menjadikan pers
kampus tidak lagi menjadi satu-satunya alternatif. Pers umum, yang disokong oleh
sumber daya manusia dan pendanaan yang melimpah ikut memberitakan isu-isu
sensitif yang sebelumnya menjadi isu haram pada era Orde Baru. Akibatnya pers
kampus kalah bersaing dengan pers umum. Namun, bukan berarti ini menjadikan
kalangan kampus mati ide. Mereka kemudian berinisiatif membuat pers kampus
model baru dengan memanfaatkan media televisi, sehingga munculah istilah televisi
kampus.
Pada umumnya, pada tahap awal pendiriannya televisi kampus dibangun
sebagai televisi komunitas. Sebagai televisi komunitas, televisi kampus dianggap
mampu meneruskan idealisme pers kampus sebagaimana pada era sebelumnya.
Studi yang dilakukan oleh Budhi Hermanto memperlihatkan bahwa keberadaan
televisi komunitas mampu merangsang dialog sebagai bagian dari proses demokrasi
dan kontrol sosial, serta memberikan akses bagi kearifan budaya lokal dan media
pembelajaran bagi sekolah (Hermanto, 2007:248).
Belajar dari pengalaman televisi komunitas yang mampu memainkan
peranan seperti tersebut di atas, harapan tinggi disematkan pada televisi kampus,
sebagaimana yang bisa dilihat dalam pernyataan dari Budhi Hermanto, penggiat
radio dan televisi komunitas yang dikutip dalam sebuah berita berikut ini :
Budhi Hermanto, penggiat televisi dan radio komunitas yang aktif di Jaringan
Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY) menyatakan bahwa konten yang
disajikan oleh televisi kampus tentunya harus berupa tayangan-tayangan yang
menarik, mendidik dan menghibur. Sehingga nantinya mampu meng-counter
8
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 9
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
tayangan-tayangan televisi komersial yang sifatnya sangat artifisial
(Joglosemar, 26 Februari 2011)
Sayangnya semangat tinggi untuk mendirikan dan mengelola televisi kampus
sebagai sebuah budaya perlawanan (counter culture) pada televisi swasta yang
dianggap kurang mendidik tidak diimbangi dengan amunisi yang mencukupi.
Televisi kampus masih terkendala dengan banyak persoalan yang menghambat.
Beberapa persoalan yang mengemuka menjadi hambatan adalah sebagai berikut,
pertama, keterbatasan alat dan modal. Televisi kampus pada umumnya didirikan
dengan memanfaatkan alat yang ada di kampus, terutama di kampus yang memiliki
laboratorium penyiaran yang berisi alat-alat audio-visual. Di beberapa kampus,
keberadaan Program Studi Ilmu Komunikasi yang memiliki konsentrasi atau
peminatan di bidang broadcasting membantu pendirian televisi kampus karena
keberadaan program studi ini menjamin tersedianya sumber daya manusia baik
dosen maupun mahasiswa yang memiliki kompetensi di bidang penyiaran.
Fenomena ini ditemukan di UAJY dan UMY dimana para penggiat televisi kampus
didominasi oleh sivitas akademika Ilmu Komunikasi.
Ketersediaan sumber daya manusia ini sayangnya tidak beriringan dengan
dukungan peralatan yang memadai. Dibandingkan dengan pers kampus dalam
bentuk cetak, televisi kampus membutuhkan peralatan yang mahal dengan nilai
penyusutan alat yang cepat. Umumnya peralatan yang digunakan di televisi kampus
adalah peralatan yang berasal dari laboratorium yang juga digunakan untuk praktek
mahasiswa dalam kegiatan praktikum perkuliahan sehingga penyesuaian jadwal
penggunaan peralatan harus disiasati oleh pengelola kampus.
Kedua, jumlah program yang belum mampu memenuhi jumlah jam siaran
secara mencukupi. Akibatnya televisi kampus hanya berkutat pada produksi
program siaran yang sangat terbatas. Produksi program acara televisi adalah proses
yang tidak sederhana dan membutuhkan energi tinggi, padahal di saat yang
bersamaan para penggiat televisi kampus juga harus berhadapan pada kewajiban
akademik. Mahasiswa yang bergiat di televisi kampus harus membagi waktunya
9
dengan kegiatan perkuliahan dan tugas-tugas perkuliahan. Dosen juga harus
mengajar, melakukan penelitian dan pengabdian, sejalan dengan kewajibannya
dalam kerangka tridharma perguruan tinggi.
Ketiga, pilihan untuk menjadi televisi komunitas berimplikasi bahwa televisi
kampus menjadi lembaga penyiaran yang dibiayai oleh komunitas dan bersifat
nonprofit oriented. Sebagai lembaga penyiaran komunitas, televisi kampus hanya
diijinkan menerima hibah yang tidak mengikat, selain kontribusi anggota komunitas
dan tidak diperkenankan mencari iklan.
Di sisi yang lain, lembaga penyiaran komunitas juga harus mengurusi
perijinan yang sama dengan lembaga penyiaran swasta. Prosedur perijinan yang
panjang akan membuat energi untuk mengelola televisi kampus tersedot untuk
mengurus perijinan.
Bagi pelaku penyiaran komunitas, termasuk di dalamnya
adalah televisi kampus, proses menyiapkan proposal perijinan yang didalamnya
berisi
aspek kelembagaan, program siaran, teknis, keuangan dan manajemen
bukanlah persoalan yang mudah (Darmanto, 2009:126). Padahal, sebagaimana yang
disebutkan sebelumnya, penggiat televisi kampus juga harus menyelesaikan
kewajiban akademik yang lebih penting. Sampai bulan Mei 2012, setidaknya hanya
CandradimukaTV yang serius mengurus perijinan televisi kampus.
Mengurus perijinan televisi kampus yang berbentuk lembaga penyiaran
komunitas secara administratif juga bukan persoalan sederhana. Televisi kampus
seperti ini harus membuat proposal perijinan yang dilengkapi dengan fotokopi
Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga komunitas di sekitar kampus, padahal
umumnya penggiat televisi kampus adalah mahasiswa yang tidak memiliki KTP
dengan alamat yang berada di sekitar televisi kampus. Akibatnya, harus ada energi
ekstra untuk mendapatkan dukungan warga di sekitar kampus berupa fotokopi
KTP.
Keempat, televisi kampus dihadapkan pada persoalan pembiayaan.
Pengelolaan stasiun televisi membutuhkan modal yang tidak sedikit sehingga bagi
pengambil kebijakan keuangan di kampus keberadaan televisi kampus bukan
merupakan pilihan rasional dari sisi keuangan kampus. Televisi kampus yang
berbentuk lembaga penyiaran komunitas cenderung hanya akan menghabiskan
10
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 1
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas 1
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
anggaran kampus untuk mengelolanya, padahal pendapatan iklan dari televisi
kampus tidak bisa diharapkan karena memang tidak diijinkan. Sebagai televisi
komunitas, televisi kampus hanya boleh menerima sumbangan yang berasal dari
iuran anggota komunitas dan hibah yang tidak mengikat. Alasan keempat inilah
yang menyebabkan beberapa kampus lebih memilih stasiun televisinya bermigrasi
menjadi lembaga penyiaran swasta. Walaupun pilihan ini membawa konsekuensi
dimana televisi kampus tidak lagi bisa diharapkan menjadi ruang publik yang
dibangun melalui jurnalisme warga.
Untuk mensiasati tingginya biaya pendirian dan produksi program, kampus
mensinergikan televisi kampus dengan kebutuhan kampus bersangkutan. UMY
adalah salah satu kampus yang mensiasati pendirian UMYTV dengan kebutuhan
Muktamar 1 Abad Muhammadiyah di UMY pada tahun 2010.
Pengelola UMYTV mengungkapkan hal ini dalam sebuah berita sebagai
berikut :
Karena dukungan penuh dari pihak universitas baik dari segi peralatan
maupun pendanaan ataupun efektifitas sumber daya manusia akhirnya kami
mampu membuat lembaga TV kampus bertahan sebagai sebuah stasiun
televisi komunitas. (Joglosemar, 21 Agustus 2010)
Beratnya pengelolaan televisi kampus yang mengambil posisi sebagai televisi
komunitas juga diakui oleh pengelola AkindoTV yang dikelola oleh Akademi
Komunikasi Indonesia (AkindoTV) dalam pernyataan berikut ini :
Televisi kampus menayangkan berbagai program demi kepentingan
komunitas. Tapi di tengah perjalanannya, penjagaan terhadap kuantitas dan
kualitas siaran perlu perhatian khusus. Secara kuantitas, jumlah program
belum bisa memenuhi jam siaran 24 jam atau paling tidak siaran setiap hari
walaupun hanya 1 jam. Seperti diakui Noor Fedy Asfari, Kepala Laboratorium
Televisi Kampus Akindo (Akindo TV), pada awal siaran dilakukan sekali dalam
2 minggu. Di tahun 2008 meningkat menjadi 2 kali dalam 1 minggu. Waktu
tayang ini belum terpotong vakumnya siaran saat mahasiswa menikmati libur
11
akademik. Sedang secara kualitas, tayangan TV kampus sangat terkendala
dengan pembiayaan mengingat televisi membutuhkan modal terkait produksi,
pengadaan dan pemeliharaan alat siaran, subsidi untuk kru, dan masih banyak
lagi (Joglosemar, 21 Agustus 2010).
Idealisme menjadikan televisi kampus sebagai media pembelajaran
mahasiswa melalui praktek jurnalisme warga dan sekaligus memberikan
pemberdayaan pada komunitas, baik yang berada di dalam pagar kampus maupun
yang berada di luar pagar kampus agaknya masih menjadi sulit terlaksana
sebagaimana idealisme yang diharapkan. Sebagaimana juga yang dialami oleh
lembaga penyiaran komunitas yang lain, televisi kampus dihadapkan pada dua
persoalan yaitu dari satu sisi adalah televisi swasta yang dijalankan dengan logika
pasar dengan menghadirkan program tayangan yang dikemas secara lebih menarik,
walaupun sebenarnya artifisial. Televisi swasta memiliki sumber daya manusia,
peralatan dan keuangan yang jauh lebih memadai sehingga mampu memproduksi
tayangan yang jauh lebih menarik. Di sisi yang lain adalah regulasi pemerintah yang
tidak memberikan cukup ruang bagi televisi kampus untuk mengkonsolidasikan
diri.
Tanpa adanya dukungan yang kuat dari pengambil kebijakan di kampus,
militansi tinggi dari penggiat televisi kampus dan kebijakan pemerintah yang
mampu memberdayakan televisi komunitas, termasuk di dalamnya adalah televisi
kampus yang berada dalam ranah lembaga penyiaran komunitas, jurnalisme warga
yang dipraktekan dalam televisi kampus akan semakin utopis.
Pada masa Orde Baru, pers kampus mampu memainkan peran penting
sebagai pers komunitas kampus yang mampu menelorkan ide-ide cerdas
melampaui pagar kampus. Tema-tema yang diangkat pers kampus di masa ini
mampu menjadi alternatif bagi khalayak untuk mendapatkan informasi yang
berbeda daripada media mainstream. Setelah reformasi, pers kampus mendapat
saingan dari media mainstream yang menikmati kebebesan pers sehingga dapat
memberitakan isu sensitif, yang di masa Orde Baru menjadi santapan pers kampus.
Mahasiswa yang menjadi penggerak pers kampus, menjalankan penerbitan pers
kampus dalam kerangka jurnalisme warga, dimana orientasi yang dikejar bukanlah
12
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 1
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas 3
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
keuntungan materi.
Prestasi yang digapai pers kampus inilah yang sebenarnya harus mampu
diteladani oleh televisi kampus. Sayangnya berbagai hambatan, sebagaimana yang
dibahas di atas, menyebabkan televisi kampus menjadi susah berkembang. Untuk
mensiasatinya, televisi kampus harus melakukan inovasi. Inovasi yang dapat
dilakukan televisi kampus adalah dengan memanfaatkan platform media internet
untuk melakukan siaran yang lebih luas. Dengan teknologi streaming di internet,
televisi kampus dapat melakukan siaran secara lebih luas. Televisi kampus juga
dapat menggunakan fasilitas media sosial berbasis video, seperti youtube dan vimeo
untuk mengunggah program televisi yang meraka produksi agar khalayak yang luas
mampu menikmati program produksi televisi kampus. Dengan media sosial ini pula,
publik dapat memberikan komentar atas isi program televisi yang diunggah oleh
televisi kampus, sehingga ruang publik dalam kerangka jurnalisme warga akan
semakin terbuka melalui dialog di media sosial.
Selain inovasi di bidang teknologi, televisi kampus perlu membangun jejaring
yang kuat. Melalui jejaring yang kuat televisi kampus dapat saling bertukar program
siaran sehingga kesulitan program televisi untuk mengisi slot siaran dapat teratasi.
Melalui jejaring yang dibangun penggiat televisi kampus, televisi kampus dapat
saling berdialog untuk mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi.
13
Daftar Pustaka
Buku
Devereux, Eoin (2007). Understanding The Media, Second Edition. Los Angeles, Sage
Publications
Devereux, Eoin (2003). Understanding The Media. Los Angeles, Sage Publications
Stokes, Jane (2007). How to Do Media and Cultural Studies. London, Sage
Publications
Rianto, Puji dkk (2012). Dominasi TV Swasta (Nasional) : Tergerusnya Keberagaman
Isi dan Kepemilikan. Yogyakarta, PR2Media dan Tifa
Shoemaker, Pamela J dan Reese, Stephen D (1996).
Mediating The Message :
Theories of Influences on Mass Media Content 2nd Edition. New York, Longman
Publishing
Jurnal dan Laporan Riset
Darmanto, A (2009). Kinerja Perijinan Radio Komunitas di Propinsi DIY. Jurnal IptekKom Volume 11, Nomor 2 (Desember 2009)
Hermanto, Budhi (2007). Televisi Komunitas : Media Pemberdayaan Masyarakat.
Jurnal Komunikasi Volume 2, Nomor 1 (Oktober 2007)
14
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 1
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas 5
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
Nugroho, Yanuar ; Putri, Dinita Andriani ; Lakhsmi, Sinta (2012). Mapping the
Landscape of the Media Industry in Contemporary Indonesia. Jakarta, Center
for Information Policy and Governance
Koran
Prihantoro, Anom dkk (2010). Dinamika Televisi Kampus. Harian Joglosemar, 21
Agustus 2010
Armando, Rio dkk (2011). TV Kampus, Edukatif dan Menghibur. Harian Joglosemar,
26 Februari 2011
Fajar Junaedi, adalah dosen dan penulis pada bidan ilmu komunikasi, dapat dihubungi
di e-mail [email protected] dan twitter @fajarjun
15
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
Jurnalisme Warga dan Ruang Publik
Berbasis Televisi Kampus : Idealisme dan
Tantangan
Fajar Junaedi
Berdasarkan Undang-undang No. 32 tahun 2002 ada tiga jenis lembaga
penyiaran (broadcasting), yaitu lembaga penyiaran komunitas, lembaga penyiaran
publik dan lembaga penyiaran swasta. Regulasi ini tidak mengenal istilah televisi
kampus, namun bukan berarti televisi kampus terabaikan dalam khazanah ranah
penyiaran di Indonesia. Televisi kampus adalah fenomena nyata dalam dunian
penyiaran di Indonesia Jika dikaitkan dengan ketiga bentuk lembaga penyiaran yang
diakomodir oleh undang-undang, televisi kampus umumnya mengambil posisi
sebagai lembaga penyiaran swasta atau lembaga penyiaran komunitas.
Di antara ketiga lembaga penyiaran yang diakomodir oleh regulasi yang
berlaku, lembaga penyiaran swasta secara telak menguasai langit penyiaran
Indonesia. Stasiun televisi swasta, yang berdiri sebelum regulasi ini diberlakukan
maupun yang berdiri setelah pemberlakuan regulasi ini, mendominasi ranah
penyiaran di Indonesia. Beberapa stasiun televisi yang bersiaran secara nasional
bahkan menolak untuk melakukan siaran dengan sistem berjaringan dengan televisi
swasta lokal yang berada di daerah. Penolakan ini memperlihatkan adanya arogansi
televisi swasta yang bersiaran secara nasional. Kritik yang kuat dari penggiat
kebebasan informasi publik agak meredakan arogansi televisi swasta yang
1
bersiaran nasional dengan kemauan mereka untuk bekerja sama dengan televisi
swasta lokal. Walaupun kerjasama ini diragukan mampu memberdayakan televisi
swasta lokal, karena kebijakan dan manajemen yang dicengkeram kuat oleh televisi
swasta nasional.
Dalam perkembangan dunia penyiaran televisi kontemporer di Indonesia,
persoalan-persoalan mengemuka terutama yang berkaitan dengan keberpihakan
media televisi terhadap kekuatan ekonomi dan politik tertentu. Dalam konteks
ekonomi, stasiun televisi swasta yang menguasai langit penyiaran dikuasai oleh
segelintir kelompok usaha (konglomerasi). Media Nusantara Citra (MNC) menguasai
RCTI, GlobalTV dan MNCTV. Kelompok usaha Para yang bermetamorfosis menjadi
TransCorp menguasai TransTV dan Trans 7. Kelompok usaha Bakrie menguasai
ANTV dan diindikasikan juga TVOne. Selain bermain di bisnis penyiaran televisi,
kelompok-kelompok usaha ini juga melakukan integrasi horizontal dalam bisnis
media dengan menguasai bisnis media di luar bisnis penyiaran televisi. Ini
memperlihatkan bahwa media secara cepat meningkat signifikansi ekonominya,
sebagaimana industri media tumbuh, berkembang dan mengkosolidasikan
kekuasaannya di pasar (McQuail dalam Devereux,2003:8). Kelompok usaha MNC,
selain ketiga stasiun televisi yang mereka miliki juga menguasai koran Seputar
Indonesia, radio Sindo dan situs berita okezone.com. Kelompok usaha Media Group
yang menguasai MetroTV juga menjalankan bisnis di bidang penerbitan dengan
Koran Media Indonesia dan Lampung Pos. Dengan pendekatan ekonomi-politik,
yang menekankan kritik sosial yang berfokus pada relasi antara struktur ekonomi
dan dinamisasi industri media dan isi ideologis dari media, maka akan selalu ada
implikasi dari konsentrasi dan konglomerasi media ini
(McQuail dalam
Devereux,2003:62). Implikasi dari konsentrasi dan konglomerasi media ini akan
semakin terlihat jelas dalam pembahasan berikut ini.
Bukan hanya penguasaan di bidang penyiaran, kelompok usaha di atas juga
memiliki lini bisnis lain baik di bidang media maupun non media. Beberapa
konglomerasi yang terjun ke bisnis media umumnya memiliki bisnis lain luar bisnis
media, seperti Kelompok Bakrie yang memiliki bisnis pengelolaan hutan,
pertambangan dan property. Kelompok TransCorp juga memiliki bisnis taman
2
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 3
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
hiburan, bank dan hotel. Penguasaan atas bisnis media dan non media ini akan
memicu persoalan ketika bisnis non media yang dikelola mendapat masalah,
sebagaimana yang bisa dilihat dalam pemberitaan ANTV dalam kasus Lumpur
Lapindo yang melibatkan PT. Lapindo, salah satu bagian dari kelompok usaha
Bakrie di bidang pertambangan. Stasiun televisi ini terkesan berusaha membingkai
kasus lumpur Lapindo menjadi bencana alam, bukan kesalahan yang dilakukan oleh
salah satu kelompok usaha Bakrie dengan menyebutnya sebagai Lumpur Sidoarjo,
bukan Lumpur Lapindo.
Kedekatan pemilik stasiun televisi dengan partai politik tertentu membawa
implikasi lebih banyaknya pemberitaan mengenai figure tertentu. MetroTV, stasiun
televisi berita yang dimiliki Surya Paloh, seorang aktivis Partai Golkar yang
kemudian keluar dan terlibat dalam Partai Nasional Demokrat (Nasdem), secara
jelas memberi porsi lebih banyak pada Surya Paloh untuk tampil. Demikian juga
ANTV yang dimiliki oleh kelompok usaha Bakrie, memberikan porsi lebih pada
Aburizal Bakrie, ketua umum Partai Golkar, untuk tampil lebih banyak.
Jadi mengharapkan televisi swasta sebagai ruang publik agaknya sesuai yang
utopia. Utopia ini tidak lepas dari fakta bahwa isi media dipengaruhi oleh institusi
sosial dan kekuatan-kekuatan lainnya. Maksudnya adalah bahwa faktor-faktor
eksternal seperti kekuatan-kekuatan ekonomi, kultural, dan khalayak akan
menentukan isi media (Gans dan Gitlin dalam Shoemaker dan Reese, 1996). Pemilik
media sebagai kekuatan ekonomi menjadi faktor penting dalam pembingkaian
berita di media, sehingga agaknya ruang publik tidak tersedia secara luas dalam
model penyiaran televisi swasta karena pemilik media selalu berorientasi pada
pemenuhan peningkatan keuntungan untuk memperbesar modal mereka.
Lembaga penyiaran publik, dalam hal ini adalah TVRI juga masih tertatihtatih. Ini bisa dilihat dari programming acara yang jauh tertinggal dibandingkan
dengan lembaga penyiaran komersial yang dikelola oleh swasta. Jika dibandingkan
dengan negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat dan Inggris, perhatian
pemerintah Indonesia terhadap media dan industri budaya masih jauh tertinggal. Di
3
negara-negara ini, pemerintah mengambil langkah aktif dalam kebijakan di bidang
media dan industri budaya untuk melindungi kepentingan publik. Ranah yang
banyak mendapat perhatian adalah penyiaran, dimana ranah ini diatur secara ketat
dengan regulasi demi melindungi kepentingan publik. Sebagai contoh, stasiun
televisi publik BBC di Inggris disokong oleh pendanaan yang mencukupi oleh
pemerintah melalui kebijakan pajak lisensi (Stoke, 2007:103). Dukungan yang kuat
dari pemerintah ini menjadikan BBC mampu bersaing dalam programming yang
mereka produksi, dan sekaligus mampu bersaing dengan lembaga penyiaran
komersial.
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap lembaga penyiaran publik juga
terjadi pada lembaga penyiaran komunitas. Kurangnya dukungan kebijakan yang
kuat dari pemerintah untuk memberdayakan lembaga penyiaran komunitas
menyebabkan lembaga penyiaran komunitas seolah mati suri. Sempat terjadi
euforia di kalangan penggiat lembaga penyiaran komunitas, terutama pasca
reformasi tahun 1998 ketika banyak dari penggiat lembaga penyiaran komunitas
mendirikan radio dan televisi komunitas. Walaupun sebenarnya, sampai tahun 2002
saat diberlakukan Undang-undang No. 32 tahun 2002, belum ada kebijakan yang
mengatur tentang lembaga penyiaran komunitas. Namun euforia ini hanya terjadi
dalam sementara waktu, seiring dengan hambatan dan tantangan yang harus
dihadapi oleh lembaga penyiaran komunitas.
Dalam perkembangannya, lembaga penyiaran komunitas terutama televisi
komunitas, harus dihadapkan pada tingginya biaya pengelolaan stasiun televisi
komunitas dan persaingan dengan faktor eksternal seperti harus menghadapi
kompetisi dengan stasiun televisi swasta dan aturan pemerintah yang menyebabkan
televisi komunitas terpingggirkan. Penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) pada tahun 2009 membuktikan hal ini. Penelitian AJI
menyebutkan bahwa media komunitas harus menghadapi problem yang datang dari
dua sisi, yaitu dari dunia industri/bisnis dan dari sisi regulasi pemerintah (Nugroho,
Putri dan Laksmi, 2012:29)
Stasiun televisi komunitas GrabagTV, sebuah stasiun televisi komunitas
terkemuka yang berdiri di wilayah Grabag Kabupaten Semarang, adalah salah satu
4
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 5
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
contoh stasiun televisi komunitas yang dihadapkan pada persoalan ini. Sebenarnya,
stasiun televisi komunitas ini berfungsi tidak hanya bermanfaat memberikan akses
informasi yang langsung bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari, tapi juga
media aktualisasi warga dalam pengembangan seni budaya lokal dan pendidikan.
Beberapa program siaran yang ditayangkan melalui GrabagTV berisi aktivitas
kehidupan masyarakat sekitar, seni pertunjukan lokal dan memberikan kesempatan
kepada siswa-siswa sekolah sekitar untuk berekspresi melalui televisi komunitas
(Hermanto dalam Rianto dkk,2012:19).
Namun sayangnya, kontribusi penting televisi komunitas dalam membangun
ruang publik di tingkat komunitas, bahkan dengan melibatkan siswa-siswa sekolah
ini dihadapkan pada tantangan yang kian membelit. Menurut pengelola GrabagTV,
Hartanto, GrabagTV harus bersaing dengan berbagai faktor eksternal yang
menyebabkan masyarakat semakin melupakan televisi komunitas, yaitu munculnya
mall di daerah yang mendorong masyarakat untuk semakin konsumtif, mudahnya
masyarakat mendapatkan kredit pembiayaan sepeda motor sehingga mobilitas
masyarakat ke kota untuk mendapatkan hiburan semakin mudah dan semakin
murahnya antena parabola dan iuran bulanan televisi satelit yang menyebabkan
masyarakat semakin dimanja oleh tayangan televisi swasta dan stasiun televisi
asing yang memiliki progamming lebih maju (berdasarkan wawancara pada 19
Maret 2012). Fakta ini tentu memprihatinkan karena sebenarnya televisi komunitas
adalah salah satu media terbaik bagi masyarakat di tingkat komunitas untuk aktif
dalam jurnalisme warga (citizen journalism). Melalui televisi komunitas, masyarakat
bukan hanya mengkonsumsi tayangan televisi secara pasif, namun mereka mampu
menjadi khalayak aktif yang melek media dengan mampu membuat program acara
televisi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Di tengah euforia televisi komunitas, dunia kampus berusaha untuk ikut
membuat televisi komunitas berbasis kampus yang lazim disebut dengan televisi
kampus. Beberapa diantaranya adalah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY) melalui pendirian UMYTV, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta (UAD)
5
melalui ADITV, Universitas Dian Nuswantoro Semarang (Udinus) melalui TVKU,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) melalui FiatV, Universitas Pembangunan
Nasional Veteran Yogyakarta UPNVY dengan UPNTV, Akademi Komunikasi
Indonesia (Akindo) Yogyakarta dengan AkindoTV, Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAIN) Kediri dengan KakaTV dan Stisipol Candradimuka Palembang dengan
CandradimukaTV. Pendirian televisi kampus umumnya didasari pada kebutuhan
untuk meningkatkan ketrampilan mahasiswa di bidang penyiaran serta idealisme
membangun ruang publik di kampus melalui jurnalisme warga dengan
menggunakan televisi kampus serta ketersediaan alat yang ada di kampus. Pada
realitasnya televisi kampus dibangun dengan segala keterbatasan yang kemudian
keterbatasan ini menyebabkan televisi kampus dihadapkan pada banyak persoalan
yang menghambat.
Banyaknya persoalan yang menantang televisi kampus menyebabkan televisi
kampus dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, menjadi televisi kampus
dikembangkan menjadi lembaga penyiaran swasta. Opsi ini dipilih oleh ADITV dan
TVKU yang bermetamorfosis menjadi lembaga penyiaran swasta. Kedua, televisi
kampus memilih untuk tetap menjadi lembaga penyiaran komunitas. Pilihan ini
dilakukan oleh FiatTV dan UMYTV. Pembahasan lebih lanjut hanya akan difokuskan
pada televisi kampus yang tetap bertahan sebagai televisi komunitas, dengan
pertimbangan format televisi komunitas yang dipilih oleh pengelola televisi kampus
secara idealis lebih menjamin peran televisi kampus sebagai ruang publik yang
dibangun melalui jurnalisme warga. Ketika televisi kampus memilih menjadi
lembaga penyiaran swasta, maka ideologi pasar yang ditandai dengan orientasi
mengejar rating agar banyak pengiklan yang masuk menjadi lebih dominan.
Jurnalisme Warga dan Ruang Publik dalam Televisi Kampus: Tantangan dan
Hambatan
Di tengah jurnalismenya yang dikendalikan oleh kepentingan pasar (market
6
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 7
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
driven journalism) sebagaimana ditandai dengan dominasi lembaga penyiaran
swasta, terutama di ranah penyiaran, jurnalisme warga menjadi pilihan idealis
dalam mewujudkan ruang publik. Jurnalisme warga memungkinkan terbukanya
aktivitas media yang demokratis (Devereux 2007:139). Praktek jurnalisme warga
ini lekat dengan media komunitas, dimana melalui media komunitas terjadi
transformasi dari partisipasi warga yang pasif ke dalam partisipasi yang lebih aktif
(Nugroho, Putri dan Laksmi, 2012:56). Terbukanya partisipasi warga secara lebih
luas ini tidak lepas dari ketersediaan ruang publik (public sphere) yang terbuka luas
melalui jurnalisme warga. Dengan demikian mimpi akan ruang publik dalam
terminologi Jurgen Habermas akan jauh lebih bisa diwujudkan dalam lembaga
penyiaran komunitas dibandingkan dengan lembaga penyiaran swasta. Ini karena
lembaga penyiaran swasta akan tunduk pada dua kekuatan pokok, yakni iklan dan
pemilik. Sementara pada lembaga penyiaran komunitas, karena merupakan milik
bersama warga, kontrol semacam itu jauh lebih tidak mungkin terjadi (Rianto,
2012:92-93).
Untuk memahami terminologi Jurgen Habermas tentang ruang publik maka
tiga dimensi ruang publik menjadi perlu dikemukakan. Ada tiga dimensi dari ruang
publik, pertama, ruang publik menuntut adanya sebuah forum yang dapat diakses
oleh sebanyak mungkin orang, dimana berbagai pengalaman sosial dapat
diekspresikan dan dipertukarkan. Kedua, dalam ruang publik, berbagai pendapat
dan pandangan dibenturkan melalui diskusi rasional. Terakhir, kontrol secara
sistematis dan kritis atas kebijakan pemerintah adalah tugas utama ruang publik
(Devereux,2003:65). Sebenarnya melalui televisi, dimensi pertama dari ruang
publik sebagaimana tersebut di atas lebih mudah dicapai daripada menggunakan
media massa yang lain. Melalui televisi, publik yang lebih luas dapat dijangkau
untuk saling berbagi pengalaman. Melalui televisi pula berbagai pendapat dan
pandangan dapat dibenturkan melalui diskusi yang rasional. Namun sayangnya,
dominasi industri televisi yang secara telak dikuasai konglemerasi media
menyebabkan ruang publik ini sulit tercapai.
7
Jika merujuk pada sejarah pers di Indonesia, pada masa demokrasi ala Orde
Baru yang tidak memberikan cukup ruang bagi kebebasan pers, pers kampus
terutama dalam bentuk media cetak majalah menjadi pers alternatif dalam
menyuarakan isu-isu yang sensitif. Pembredelan yang membayangi pers umum
menyebabkan pers umum dihadapkan pada dua pilihan, yaitu mengambil garis
aman dengan menjauhi pemberitaan isu-isu yang sensitif bagi Orde Baru seperti
korupsi, kesenjangan sosial, monopoli keluarga penguasa dan demokratisasi atau
tetap memberitakan isu-isu sensitif tersebut dengan resiko dibredel.
Setelah reformasi, kebebasan pers yang terbuka lebar menjadikan pers
kampus tidak lagi menjadi satu-satunya alternatif. Pers umum, yang disokong oleh
sumber daya manusia dan pendanaan yang melimpah ikut memberitakan isu-isu
sensitif yang sebelumnya menjadi isu haram pada era Orde Baru. Akibatnya pers
kampus kalah bersaing dengan pers umum. Namun, bukan berarti ini menjadikan
kalangan kampus mati ide. Mereka kemudian berinisiatif membuat pers kampus
model baru dengan memanfaatkan media televisi, sehingga munculah istilah televisi
kampus.
Pada umumnya, pada tahap awal pendiriannya televisi kampus dibangun
sebagai televisi komunitas. Sebagai televisi komunitas, televisi kampus dianggap
mampu meneruskan idealisme pers kampus sebagaimana pada era sebelumnya.
Studi yang dilakukan oleh Budhi Hermanto memperlihatkan bahwa keberadaan
televisi komunitas mampu merangsang dialog sebagai bagian dari proses demokrasi
dan kontrol sosial, serta memberikan akses bagi kearifan budaya lokal dan media
pembelajaran bagi sekolah (Hermanto, 2007:248).
Belajar dari pengalaman televisi komunitas yang mampu memainkan
peranan seperti tersebut di atas, harapan tinggi disematkan pada televisi kampus,
sebagaimana yang bisa dilihat dalam pernyataan dari Budhi Hermanto, penggiat
radio dan televisi komunitas yang dikutip dalam sebuah berita berikut ini :
Budhi Hermanto, penggiat televisi dan radio komunitas yang aktif di Jaringan
Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY) menyatakan bahwa konten yang
disajikan oleh televisi kampus tentunya harus berupa tayangan-tayangan yang
menarik, mendidik dan menghibur. Sehingga nantinya mampu meng-counter
8
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 9
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
tayangan-tayangan televisi komersial yang sifatnya sangat artifisial
(Joglosemar, 26 Februari 2011)
Sayangnya semangat tinggi untuk mendirikan dan mengelola televisi kampus
sebagai sebuah budaya perlawanan (counter culture) pada televisi swasta yang
dianggap kurang mendidik tidak diimbangi dengan amunisi yang mencukupi.
Televisi kampus masih terkendala dengan banyak persoalan yang menghambat.
Beberapa persoalan yang mengemuka menjadi hambatan adalah sebagai berikut,
pertama, keterbatasan alat dan modal. Televisi kampus pada umumnya didirikan
dengan memanfaatkan alat yang ada di kampus, terutama di kampus yang memiliki
laboratorium penyiaran yang berisi alat-alat audio-visual. Di beberapa kampus,
keberadaan Program Studi Ilmu Komunikasi yang memiliki konsentrasi atau
peminatan di bidang broadcasting membantu pendirian televisi kampus karena
keberadaan program studi ini menjamin tersedianya sumber daya manusia baik
dosen maupun mahasiswa yang memiliki kompetensi di bidang penyiaran.
Fenomena ini ditemukan di UAJY dan UMY dimana para penggiat televisi kampus
didominasi oleh sivitas akademika Ilmu Komunikasi.
Ketersediaan sumber daya manusia ini sayangnya tidak beriringan dengan
dukungan peralatan yang memadai. Dibandingkan dengan pers kampus dalam
bentuk cetak, televisi kampus membutuhkan peralatan yang mahal dengan nilai
penyusutan alat yang cepat. Umumnya peralatan yang digunakan di televisi kampus
adalah peralatan yang berasal dari laboratorium yang juga digunakan untuk praktek
mahasiswa dalam kegiatan praktikum perkuliahan sehingga penyesuaian jadwal
penggunaan peralatan harus disiasati oleh pengelola kampus.
Kedua, jumlah program yang belum mampu memenuhi jumlah jam siaran
secara mencukupi. Akibatnya televisi kampus hanya berkutat pada produksi
program siaran yang sangat terbatas. Produksi program acara televisi adalah proses
yang tidak sederhana dan membutuhkan energi tinggi, padahal di saat yang
bersamaan para penggiat televisi kampus juga harus berhadapan pada kewajiban
akademik. Mahasiswa yang bergiat di televisi kampus harus membagi waktunya
9
dengan kegiatan perkuliahan dan tugas-tugas perkuliahan. Dosen juga harus
mengajar, melakukan penelitian dan pengabdian, sejalan dengan kewajibannya
dalam kerangka tridharma perguruan tinggi.
Ketiga, pilihan untuk menjadi televisi komunitas berimplikasi bahwa televisi
kampus menjadi lembaga penyiaran yang dibiayai oleh komunitas dan bersifat
nonprofit oriented. Sebagai lembaga penyiaran komunitas, televisi kampus hanya
diijinkan menerima hibah yang tidak mengikat, selain kontribusi anggota komunitas
dan tidak diperkenankan mencari iklan.
Di sisi yang lain, lembaga penyiaran komunitas juga harus mengurusi
perijinan yang sama dengan lembaga penyiaran swasta. Prosedur perijinan yang
panjang akan membuat energi untuk mengelola televisi kampus tersedot untuk
mengurus perijinan.
Bagi pelaku penyiaran komunitas, termasuk di dalamnya
adalah televisi kampus, proses menyiapkan proposal perijinan yang didalamnya
berisi
aspek kelembagaan, program siaran, teknis, keuangan dan manajemen
bukanlah persoalan yang mudah (Darmanto, 2009:126). Padahal, sebagaimana yang
disebutkan sebelumnya, penggiat televisi kampus juga harus menyelesaikan
kewajiban akademik yang lebih penting. Sampai bulan Mei 2012, setidaknya hanya
CandradimukaTV yang serius mengurus perijinan televisi kampus.
Mengurus perijinan televisi kampus yang berbentuk lembaga penyiaran
komunitas secara administratif juga bukan persoalan sederhana. Televisi kampus
seperti ini harus membuat proposal perijinan yang dilengkapi dengan fotokopi
Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga komunitas di sekitar kampus, padahal
umumnya penggiat televisi kampus adalah mahasiswa yang tidak memiliki KTP
dengan alamat yang berada di sekitar televisi kampus. Akibatnya, harus ada energi
ekstra untuk mendapatkan dukungan warga di sekitar kampus berupa fotokopi
KTP.
Keempat, televisi kampus dihadapkan pada persoalan pembiayaan.
Pengelolaan stasiun televisi membutuhkan modal yang tidak sedikit sehingga bagi
pengambil kebijakan keuangan di kampus keberadaan televisi kampus bukan
merupakan pilihan rasional dari sisi keuangan kampus. Televisi kampus yang
berbentuk lembaga penyiaran komunitas cenderung hanya akan menghabiskan
10
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 1
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas 1
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
anggaran kampus untuk mengelolanya, padahal pendapatan iklan dari televisi
kampus tidak bisa diharapkan karena memang tidak diijinkan. Sebagai televisi
komunitas, televisi kampus hanya boleh menerima sumbangan yang berasal dari
iuran anggota komunitas dan hibah yang tidak mengikat. Alasan keempat inilah
yang menyebabkan beberapa kampus lebih memilih stasiun televisinya bermigrasi
menjadi lembaga penyiaran swasta. Walaupun pilihan ini membawa konsekuensi
dimana televisi kampus tidak lagi bisa diharapkan menjadi ruang publik yang
dibangun melalui jurnalisme warga.
Untuk mensiasati tingginya biaya pendirian dan produksi program, kampus
mensinergikan televisi kampus dengan kebutuhan kampus bersangkutan. UMY
adalah salah satu kampus yang mensiasati pendirian UMYTV dengan kebutuhan
Muktamar 1 Abad Muhammadiyah di UMY pada tahun 2010.
Pengelola UMYTV mengungkapkan hal ini dalam sebuah berita sebagai
berikut :
Karena dukungan penuh dari pihak universitas baik dari segi peralatan
maupun pendanaan ataupun efektifitas sumber daya manusia akhirnya kami
mampu membuat lembaga TV kampus bertahan sebagai sebuah stasiun
televisi komunitas. (Joglosemar, 21 Agustus 2010)
Beratnya pengelolaan televisi kampus yang mengambil posisi sebagai televisi
komunitas juga diakui oleh pengelola AkindoTV yang dikelola oleh Akademi
Komunikasi Indonesia (AkindoTV) dalam pernyataan berikut ini :
Televisi kampus menayangkan berbagai program demi kepentingan
komunitas. Tapi di tengah perjalanannya, penjagaan terhadap kuantitas dan
kualitas siaran perlu perhatian khusus. Secara kuantitas, jumlah program
belum bisa memenuhi jam siaran 24 jam atau paling tidak siaran setiap hari
walaupun hanya 1 jam. Seperti diakui Noor Fedy Asfari, Kepala Laboratorium
Televisi Kampus Akindo (Akindo TV), pada awal siaran dilakukan sekali dalam
2 minggu. Di tahun 2008 meningkat menjadi 2 kali dalam 1 minggu. Waktu
tayang ini belum terpotong vakumnya siaran saat mahasiswa menikmati libur
11
akademik. Sedang secara kualitas, tayangan TV kampus sangat terkendala
dengan pembiayaan mengingat televisi membutuhkan modal terkait produksi,
pengadaan dan pemeliharaan alat siaran, subsidi untuk kru, dan masih banyak
lagi (Joglosemar, 21 Agustus 2010).
Idealisme menjadikan televisi kampus sebagai media pembelajaran
mahasiswa melalui praktek jurnalisme warga dan sekaligus memberikan
pemberdayaan pada komunitas, baik yang berada di dalam pagar kampus maupun
yang berada di luar pagar kampus agaknya masih menjadi sulit terlaksana
sebagaimana idealisme yang diharapkan. Sebagaimana juga yang dialami oleh
lembaga penyiaran komunitas yang lain, televisi kampus dihadapkan pada dua
persoalan yaitu dari satu sisi adalah televisi swasta yang dijalankan dengan logika
pasar dengan menghadirkan program tayangan yang dikemas secara lebih menarik,
walaupun sebenarnya artifisial. Televisi swasta memiliki sumber daya manusia,
peralatan dan keuangan yang jauh lebih memadai sehingga mampu memproduksi
tayangan yang jauh lebih menarik. Di sisi yang lain adalah regulasi pemerintah yang
tidak memberikan cukup ruang bagi televisi kampus untuk mengkonsolidasikan
diri.
Tanpa adanya dukungan yang kuat dari pengambil kebijakan di kampus,
militansi tinggi dari penggiat televisi kampus dan kebijakan pemerintah yang
mampu memberdayakan televisi komunitas, termasuk di dalamnya adalah televisi
kampus yang berada dalam ranah lembaga penyiaran komunitas, jurnalisme warga
yang dipraktekan dalam televisi kampus akan semakin utopis.
Pada masa Orde Baru, pers kampus mampu memainkan peran penting
sebagai pers komunitas kampus yang mampu menelorkan ide-ide cerdas
melampaui pagar kampus. Tema-tema yang diangkat pers kampus di masa ini
mampu menjadi alternatif bagi khalayak untuk mendapatkan informasi yang
berbeda daripada media mainstream. Setelah reformasi, pers kampus mendapat
saingan dari media mainstream yang menikmati kebebesan pers sehingga dapat
memberitakan isu sensitif, yang di masa Orde Baru menjadi santapan pers kampus.
Mahasiswa yang menjadi penggerak pers kampus, menjalankan penerbitan pers
kampus dalam kerangka jurnalisme warga, dimana orientasi yang dikejar bukanlah
12
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 1
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas 3
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
keuntungan materi.
Prestasi yang digapai pers kampus inilah yang sebenarnya harus mampu
diteladani oleh televisi kampus. Sayangnya berbagai hambatan, sebagaimana yang
dibahas di atas, menyebabkan televisi kampus menjadi susah berkembang. Untuk
mensiasatinya, televisi kampus harus melakukan inovasi. Inovasi yang dapat
dilakukan televisi kampus adalah dengan memanfaatkan platform media internet
untuk melakukan siaran yang lebih luas. Dengan teknologi streaming di internet,
televisi kampus dapat melakukan siaran secara lebih luas. Televisi kampus juga
dapat menggunakan fasilitas media sosial berbasis video, seperti youtube dan vimeo
untuk mengunggah program televisi yang meraka produksi agar khalayak yang luas
mampu menikmati program produksi televisi kampus. Dengan media sosial ini pula,
publik dapat memberikan komentar atas isi program televisi yang diunggah oleh
televisi kampus, sehingga ruang publik dalam kerangka jurnalisme warga akan
semakin terbuka melalui dialog di media sosial.
Selain inovasi di bidang teknologi, televisi kampus perlu membangun jejaring
yang kuat. Melalui jejaring yang kuat televisi kampus dapat saling bertukar program
siaran sehingga kesulitan program televisi untuk mengisi slot siaran dapat teratasi.
Melalui jejaring yang dibangun penggiat televisi kampus, televisi kampus dapat
saling berdialog untuk mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi.
13
Daftar Pustaka
Buku
Devereux, Eoin (2007). Understanding The Media, Second Edition. Los Angeles, Sage
Publications
Devereux, Eoin (2003). Understanding The Media. Los Angeles, Sage Publications
Stokes, Jane (2007). How to Do Media and Cultural Studies. London, Sage
Publications
Rianto, Puji dkk (2012). Dominasi TV Swasta (Nasional) : Tergerusnya Keberagaman
Isi dan Kepemilikan. Yogyakarta, PR2Media dan Tifa
Shoemaker, Pamela J dan Reese, Stephen D (1996).
Mediating The Message :
Theories of Influences on Mass Media Content 2nd Edition. New York, Longman
Publishing
Jurnal dan Laporan Riset
Darmanto, A (2009). Kinerja Perijinan Radio Komunitas di Propinsi DIY. Jurnal IptekKom Volume 11, Nomor 2 (Desember 2009)
Hermanto, Budhi (2007). Televisi Komunitas : Media Pemberdayaan Masyarakat.
Jurnal Komunikasi Volume 2, Nomor 1 (Oktober 2007)
14
Paper ini dimuat dalam buku : Suyanto dan Rumyeni [ed] (2012). Komunikasi 1
Budaya dan Jurnalisme Warga. Pekanbaru,Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas 5
Riau, Aspikom Riau dan Alaf. ISBN 978-602-9012-82-8 halaman 321-334
Nugroho, Yanuar ; Putri, Dinita Andriani ; Lakhsmi, Sinta (2012). Mapping the
Landscape of the Media Industry in Contemporary Indonesia. Jakarta, Center
for Information Policy and Governance
Koran
Prihantoro, Anom dkk (2010). Dinamika Televisi Kampus. Harian Joglosemar, 21
Agustus 2010
Armando, Rio dkk (2011). TV Kampus, Edukatif dan Menghibur. Harian Joglosemar,
26 Februari 2011
Fajar Junaedi, adalah dosen dan penulis pada bidan ilmu komunikasi, dapat dihubungi
di e-mail [email protected] dan twitter @fajarjun
15