MEA Pemuda dan Media Perspektif Pemuda t

MEA, Pemuda dan Media: Perspektif Pemuda terhadap Persiapan
Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Ruhul Auliya

Abstrak
Tidak dapat dipungkiri bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN hanya tinggal
menghitung hari. Tapi informasi mengenai MEA masih belum menyeluruh. Masih banyak
pemuda tidak mengetahui tentang apa itu MEA. Sementara, sebagian lainnya yang telah
mengetahui MEA belum memiliki gambaran persiapan untuk menghadapinya. Penelitian ini
berusaha menjawab pertanyaan: “Bagaimana persiapan Indonesia dalam menghadapi MEA
melalui perspektif pemuda?”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode wawancara semi terstruktur, baik langsung maupun online. Narasumber adalah
pemuda, khususnya kalangan mahasiswa di Yogyakarta.
Penelitian ini menemukan beberapa temuan. Pemuda memandang belum ada
persiapan serius dari pemerintah untuk membangun perekonomian mikro untuk menghadapi
MEA. Narasumber berpendapat bahwa informasi mengenai MEA masih sangat minim. Isu
MEA tidak menjadi agenda media massa, pemberitaan tentang MEA tidak menjadi prioritas
media-media di Indonesia. Hasilnya, kesadaran masyarakat akan MEA masih sangat minim.
Menurut narasumber, Indonesia memiliki potensi untuk dijadikan sebagai mangsa pasar
dalam MEA. Globalisasi kecil ASEAN ini berpotensi menjadikan masyarakat yang belum

siap sebagai batu loncatan untuk menunjang kepentingan terselubung Negara lain. Secara
umum, narasumber memandang Indonesia belum siap apabila MEA akan dilaksanakan pada
akhir tahun 2015.
Kata kunci: pemuda, agenda media, MEA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat Ekonomi ASEAN atau yang lebih dikenal sebagai MEA merupakan
sebuah kerjasama politik antar Negara ASEAN dalam bidang ekonomi. Adanya kerjasama ini
didasari oleh keinginan antara Negara-negara di ASEAN untuk menyatukan masyarakat
ASEAN dan bersama-sama memajukan perekonomian Negara-negara di ASEAN.
Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan salah satu dari 3 pilar penting dalam
ASEAN Community yaitu Masyarakat Keamanan ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN,
dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN. Penelitian ini fokus membahas bagaimana pemuda
melihat persiapan Indonesia untuk menghadapi MEA dan bagaimana pemuda melihat media
khususnya media massa memberitakan isu MEA. Secara umum, penelitian dilakukan dengan
pendekatan kualitatif dengan metode wawancara, baik wawancara langsung atau wawancara
via Internet.
Pembahasan mengenai pemuda dalam penelitian ini menjadi sangat penting dan
menarik ketika harus membahas mengenai peningkatan kualitas SDM para pemuda dalam


menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Terlebih, pemuda merupakan salah satu pihak
yang akan merasakan dampak paling besar akibat pengaplikasian Masyarakat Ekonomi
ASEAN ini. Pembahasan mengenai pemuda juga menjadi sangat penting mengingat
persebaran informasi dikalangan pemuda relatif lebih banyak. Hal itu disebabkan oleh
penggunaan media, baik media sosial maupun media massa lebih aktif digunakan oleh
pemuda. Sehingga, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pemuda melihat persiapan
Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN? Karena, dengan mengetahui
persiapan yang telah dilakukan oleh Indonesia untuk menghadapi MEA melalui perspektif
pemuda akan membantu pemerintah mengetahui besaran usaha yang telah dilakukan
pemerintah untuk membawa Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Penelitian ini
selanjutnya dapat dijadikan media bagi pemuda untuk ikut berpartisipasi dengan ikut
menyuarakan pendapatnya mengenai realisasi MEA. Terlebih bahwa Indonesia merupakan
Negara yang menganut demokrasi, dimana setiap keputusan berada ditangan rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam penelitian ini, peneliti menentukan kriteria-kriteria bagi pemuda yang
dijadikan sebagai narasumber, yaitu: pemuda usia produktif usia 18-25 tahun, pemuda yang
sedang menempuh S1, pemuda yang sedang mencari pekerjaan, dan pemuda yang sudah
memiliki pekerjaan. Penentuan kriteria diatas ditentukan dengan berbagai pertimbangan,
yaitu kemungkinan keragaman pengetahuan, persepsi dan strategi yang dapat diberikan oleh
para pemuda untuk kemajuan persiapan Indonesia menuju MEA.

Rumusan Masalah
Bagaimana persiapan Indonesia dalam menghadapi MEA melalui perspektif pemuda?
Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan bagaimana pemuda memandang persiapan Indonesia untuk menghadapi
MEA
2. Menjelaskan bagaimana pemuda melihat pemberitaan mengenai MEA di media
massa?
Urgensi Penelitian
Penelitian ini menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana pemuda memandang
persiapan Indonesia menuju MEA. Hal itu kemudian dapat dijadikan sebagai referensi bagi
pemerintah dalam mempersiapkan Indonesia menuju MEA. Dari penelitian ini, pemerintah
dapat melihat kekurangan dan potensi-potensi penting yang dapat dijadikan sebagai kekuatan
bagi Indonesia untuk Menghadapi MEA. Misalnya dari segi pendidikan, pemerintah bisa
menyiapkan kurikulum yang lebih kompatibel untuk diaplikasikan ketika MEA sudah
dijalankan. Sedangkan bagi para pemuda, hasil penelitian ini sangat penting untuk
menyebarluaskan kesadaran agar lebih melek terhadap media massa dan aktif dalam mencari
informasi-informasi. Dengan begitu, persiapan Indonesia untuk menuju Masyarakat Ekonomi
ASEAN akan lebih baik. Sehingga MEA dapat terealisasikan dengan baik, sesuai dengan
cita-cita atau tujuan dari terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN.


Kontribusi Penelitian
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi para peneliti yang ingin meneliti
khususnya dalam lingkup kajian media dan perubahan sosial, analisis konten media, tema
mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN, atau kajian tentang mengenai media massa secara
umum. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan langkahlangkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mempersiapkan Indonesia secara
keseluruhan menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.
METODOLOGI
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini cocok jika pokok
pertanyaan penelitian berkenaan dengan ”bagaimana” (how) atau ”mengapa” (why), serta jika
fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata
(Yin, 2003: 1 & 8).
Lokasi dan Narasumber Penelitian
Lokasi penelitian utama dalam penelitian ini adalah Yogyakarta dan kota sekitarnya
(Semarang, Surakarta), yang sebagian besar tengah menjalani studi. Namun, lokasi secara
luas dan virtual adalah Indonesia secara umum dimana peneliti melakukan wawancara via
Internet (Skype, Line, ataupun chatting) dengan pemuda-pemuda dari berbagai daerah.
Penelitian ini mengikuti definisi dalam Undang-Undang Kepemudaan, bahwa seseorang
dikatakan pemuda jika berumur 16 hingga 30 tahun.
Sedangkan penentuan narasumber dilakukan dengan teknik purposive sampling.

“Sampling purposive adalah teknik sampling dengan pertimbangan tertentu…” (Machfoedz,
2009: 54). Kriteria yang digunakan peneliti adalah usia dan pemahaman pemuda terhadap isu
yang ingin diteliti.
Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini terklasifikasi menjadi dua, primer dan sekunder. Data
primer diperoleh dengan wawancara, sementara data sekunder diperoleh dari dokumen dan
pustaka-pustaka yang relevan dengan masalah penelitian (Moleong, 2005).
Teknik wawancara yang akan diterapkan peneliti adalah: 1). Terbuka, artinya
narasumber mengetahui bahwa dia diwawancarai untuk kepentingan tertentu, 2). Mendalam,
artinya wawancara akan dilakukan secara intensif dan berulang-ulang dalam rangka menguak
makna-makna dan pemahaman terdalam dari narasumber tentang suatu hal tertentu, 3).
Terarah, artinya wawancara dilakukan secara bebas tetapi tetap mengacu pada pokok
permasalahan tertentu (Irianto dan Bungin, 2006: 143-147).
Analisis Data
Dalam tahap analisis data, penelitian ini akan menggunakan metode perbandingan
tetap (constant comparative method) yang prosesnya terdiri dari reduksi data, kategorisasi
data, sintesisasi, dan diakhiri dengan menyusun hipotesis kerja (Moelong, 2005: 288-299).

Reduksi data adalah proses dimana peneliti akan mengidentifikasi satuan-satuan
dalam data, memilih satuan yang memiliki makna atau penting bagi penelitian, serta

membuang satuan yang tidak memiliki makna atau tidak relevan. Kategorisasi adalah proses
memilah-milah setiap satuan sesuai kesamaan yang ada, mengelompokkannya dalam
kategori-kategori tertentu. Sintesisasi adalah berupaya mencari kaitan antara satu kategori
dengan lategori lain. Menyusun hipotesis kerja merupakan tahap terakhir yang intinya
menarik kesimpulan dari proses analisis data yang telah dilakukan di tahap-tahap
sebelumnya.

TEMUAN PENELITIAN
a. Pro-Kontra Realisasi MEA 2015
MEA sudah berada didepan mata. Dimana masyarakat akan dihadapi pada realita
bahwa sudah tidak ada lagi pilihan untuk tidak setuju terhadap realisasi MEA pada
penghujung tahun 2015. Namun hal itu masih tidak dapat menghentikan masyarakat untuk
tetap menyuarakan pendapat mereka mengenai pro dan kontra terhadap pelaksanaan MEA
diujung tahun 2015 ini. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kindie, seorang mahasiswa
tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.
“ Saat ini sih aku nggak setuju. Ya coba lihat kondisi perekonomian kita saja masih
amburadul. Terutama lihat deh bensin yang seharusnya dipakai untuk orang yang
tergolong tidak mampu tapi orang golongan menengah yang tergolong mampu.
Subsidi itu yang direncanakan untuk memperkuat perekonomian mikro menjadi tidak
optimal. Dan sepertinya subsidi itu dibajak oleh kelas menengah ekonomi dan kelas

menengah intelektual tadi.”
Lain Kindie, lain juga dengan Maria. Maria memilih untuk tidak berkomentar. Bagi
Maria, setuju atau tidak sudah bukan persoalan lagi. Karena cepat atau lambat, MEA akan
tetap diberlakukan. Masyarakat sudah tidak punya pilihan selain mempersiapkan diri. Karena
masyarakat yang tidak siap akan dijadikan sebagai mangsa pasar.
“Sekarang pertanyaannya bukan setuju atau tidak, kita bukan pemangku kebijakan
loh yaa. Kita hanya masyarakat yang terimo inpantum gitu kan, jadi setuju atau tidak
harus menjalaninya kayak gitu loh, ya sudah itu jawabku. Nggak bisa setuju atau
tidak, karena kita ya wayang yang menjalankan dalangnya sudah ada. Toh
perjanjiankan dibuat beberapa tahun yang lalu untuk mempersatukan. Jadi initinya
itu gini loh.. “ASEAN UNITED” bagaimana Negara-negara ASEAN bersatu tanpa
batas gitukan untuk sebenarnya tujuannya mulia ketika kita sudah siap. Jadikan
masyarakat ekonomi ASEAN itu tujuan utamanya, mean goalnya, itukan untuk
meningkatkan kesejahteraan Negara-negara di ASEAN. Tapi, kalo itu Negaranegaranya sudah siap. Nah kalo belum siap kayak Indonesia itu bisa menjomplang
gitu loh yang siap itu ya Negara lain. Jadi kita sebagai Negara konsumen. Konsumen
itu ya kita nggak berdaya ya kita sebagai pembeli-pembeli, buyers-buyers bukan

produsen. Nah itu yang kukhawatirkan, karena ya tadi itu masih belum siap dalam
segala hal lah.”


Sedangkan Erdy berpendapat bahwa keputusan untuk merealisasikan MEA atau AEC
adalah keputusan yang tepat. Karena setiap keputusan memiliki positif dan negatifnya. Justru
disinilah letak tantangannya. Masyarakat harus bisa berkompetisi dan mencari cara untuk
bertahan dalam MEA.
“Saya setuju dengan AEC. Semua ada positif negatif. Justru itu tantangannya,
bagaimana memanfaatkan positifnya dan meminimalisir negatif untuk pembangunan
masyarakat. AEC membuka berbagai kemungkinan baru. Mendorong kita pemuda
untuk berkolaborasi dengan mahasiswa luar. mendorong invetastasi,bisnis, dan
perkonomian. Mendorong terciptanya inovasi-inovasi baru dalam berbagai sektor
karena adanya kolaborasi. Membangun kekuatan positif untuk melawan kapitalisme
& pengaruh budaya barat yang negatif.”
Berdasarkan komentar-komentar diatas, dapat disimpulkan bahwa setuju atau tidak
bukan lah hal yang perlu diperdebatkan. Keputusan sudah dibuat bertahun-tahun yang lalu.
Sehingga tidak ada alasan untuk tidak mempersiapkan diri. Karena cepat atau lambat, MEA
akan tetap dilaksanakan.
b. MEA dan Media Massa
MEA merupakan sebuah perjanjian besar bagi Negara-negara ASEAN. Tentunya hal
ini merupakan sebuah kabar gembira bagi media-media massa. Nilai berita MEA seharusnya
memiliki posisi tinggi mengingat MEA memiliki hubungan erat dengan masyarakat. Terlebih
MEA juga menyangkut masa depan masyarakat dalam sebuah Negara.

Indonesia sebagai Negara yang kaya akan sumber daya alam tentunya harus lebih
aware terhadap perjanjian MEA. Pemberitaan mengenai MEA haruslah lebih gencar
sehingga masyarakat paham akan kepentingan Indonesia didalam MEA. Namun sekali lagi
realitas berbicara. Pada kenyataannya MEA bukanlah informasi yang cukup penting untuk
dibahas. MEA tidak menjadi agenda media. Narasumber mengaku mengetahui MEA dari
media-media lain karena minimnya informasi mengenai MEA di media massa. Hal itu seperti
yang diungkapkan oleh Hanafi dalam wawancaranya. “Tau MEA dari dosen. Jarang banget
liat di TV. Tapi pernah sekali dua kali.”
Selain Hanafi, Nispi juga mengaku bahwa dia mengetahui informasi mengenai MEA
justru dari seminar-seminar.
“Iya…pernah..pernah. Pernah mengikuti seminarnya tahun 2013. Kalau nggak salah
bulan September. Dari seminar. Awalnya dari seminar, dan sekilas kecil dari
informasi. Namun kalau dalam berita sehari-hari tuh jarang. Malahan di expose dari
berita nasional itu nggak pernah malahan. Taunya ya dari sosial-sosial dari tementemen, dari media, gitu aja.”

Seperti halnya Nispi, Maria juga mengetahui MEA dari seminar yang membahas
mengenai MEA. Meskipun mengaku sering mendengar informasi-infoprmasi mengenai
MEA.
“Ehmm…sering sih. Jadi, Kalau ASEAN Economic Community itu sudah setahun
yang lalu itu pertama kali saya dengar, waktu ada seminar. Dan itu sengaja saya ikut

memang untuk persiapan ya sekedar mengetahui saja gitu kan. Biar kita nggak gaptek
apalagi jadi anak komunikasi.
Hal diatas membuktikan betapa masih minimnya informasi mengenai MEA di media
massa. Padahal realisasi MEA sudah berada didepan mata namun informasi masih belum
menyeluruh. Hal ini tentu akan berdampak besar bagi pemahaman masyarakat mengenai
MEA. Hal itu akan diperburuk apabila ternyata masyarakat masih belum bersiap-siap untuk
menyambut MEA.
c. Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN
MEA tidak bisa dipandang sebelah mata. Persiapan merupakan sebuah keharusan
dalam MEA. Ketidaksiapan bukanlah jawaban yang bisa ditoleransi dalam menjawab
tantangan MEA. Oleh sebab itu, pemerintah perlu menyiapkan negaranya masing-masing
untuk menyambut MEA sehingga tidak terjebak dalam iklim perekonomian dan menjadi
mangsa pasar.
Indonesia juga sebagai salah satu Negara yang juga menandatangani perjanjian MEA juga
harus berkemas-kemas. Bahkan seharusnya dari sejak perjanjian MEA ditanda tangani,
pemerintah sudah harus menyiapkan strategi untuk mempersiapkan masyarakat dalam
menghadapi MEA. Namun kabar buruknya, pemuda justru tidak melihat persiapan yang
serius khususnya di bidang ekonomi mikro. Seperti yang telah diungkapkan oleh Hanafi.
“Aku nggak tau apa yang udah dilakukan pemerintah. Tidak mendengar soal peran
pemerintah.”

Hal serupa diperkuat oleh paparan dari Nispi. Dimana Nispi melihat bahwa
Pemerintah masih belum fokus dalam mempersiapkan Indonesia.
“Yang saya lihat pemerintah sekarang ini masih fokus pada masalah-masalah kita
dulu. Saya belum sama sekali melihat adanya tindakan atau persiapan dari
pemerintah untuk menghadapi ASEAN Economic Community ini. Yang saya tau,
banyak berita-berita dan masyarakat pun tau tentang berbagai kisah kapolri dengan
KPK lah, presiden ini dengan ini lah, masalah ISIS. Pemerintah hanya fokus dengan
itu. Belum tau masalah yang akan kita hadapi dimasa yang akan datang. Pemerintah
ya hanya menyetujui program ini. Belum tau bagaimana cara kita, masyarakatnya
terutama untuk menghadapi itu. Pemerintah ya hanya terima-terima saja kalau ingin
mendukung keuanga mereka belum tentu mendukung keuangan rakyat. Saya belum
pernah melihat aktivitas pemerintah untuk menghadapi MEA ini.”
Apa yang diungkapkan oleh Nispi tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Karena
realitanya, pemerintah dalam beberapa waktu ini lebih disibukkan oleh konflik-konflik yang

terus bermunculan dari internal pemerintahan. Lihat saja di media massa, ramai dengan
berbagai konflik internal pemerintahan. Beberapa waktu yang lalu bahkan media massa
dihebohkan dengan pemberitaan konflik Jakarta. Ini membuktikan bahwa relasi antara
masyarakat dan pemerintah masih belum cukup baik. Wajar saja jika hal ini menyurutkan
optimism masyarakat terhadap pengimplementasian MEA diujung tahun 2015 ini.
Argumen ini diperkuat oleh Kindie. Kindie berpendapat bahwa persiapan Indonesia
menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN masih berputar di ranah perekonomian makro.
Perekonomian kecil masih lemah sementara Indonesia pada dasarnya diperkuat oleh ekonomi
mikro. Dengan kata lain, perekonomian mikro akan menjadi semakin melemah dalam MEA
dan justru akan menjadi ‘keuntungan’ bagi pemain ekonomi makro.
“Kalau menurut aku tidak banyak dan pembahasan kerjasama ini masih masih
berputar terhadap kekuatan-kekuatan
ekonomi besar saja dan masih belum
mencapai kekuatan ekonomi-ekonomi kecil. Sehingga sayangnya perekonomian
Indonesia ini akan dimonopoli oleh kekuatan-kekuatan ekonomi besar yang mana itu
bisa saja nanti kalau aku katakan mengeksploitasi ekonomi mikro. Karena kalau itu
bisa terjadi, aku kira nanti akan terjadi ketimpangan yang besar, chaos dan semoga
saja tidak implasi lah ya.”
Lain dengan Kindie, Maria justru mengaku telah melihat usaha pemerintah dalam
mempersiapkan MEA. Namun sayangnya, persiapan itu masih belum cukup. Persiapan
pemerintah menuju MEA masih berada pada fase rendah yaitu hanya meminimalisir. Tentu
hal itu tidak cukup jika mengingat pesaing yang akan bermunculan dalam MEA sangat kuat.
“pemerintah sudah beberapa tahun yang lalu sudah banyak kaya’ memeberlakukan
politik anti dumping ya? Yang harganya bener-bener murah dan sebagainya terus
kemudian proteksi-proteksi terhadap product-product dari Cina itu sudah dilakukan.
Kemudian yang terbaru itu melindungi misalnya buah-buah impor masuk ke
Indonesia. Tapi kan masih meminimalisir. Yang masuk kan ya masih tetep kaya’ gitu
kan. Pada kenyataannya masih lebih menjual kok dan lebih enak kok rasanya.”
Begitu juga yang diungkapkan oleh Erdy, Erdy juga melihat persipan yang dilakukan
oleh pemerintah. Erdy berpendapat bahwa pemerintah hanya kurang mempersiapkan
Indonesia dalam sector pendidikan saja.
“Kalo dari 3 hal tadi, 2 sudah dilakukan yaitu pengembangan UKM plus nilai
tambah meskipun belum optimal. Sudah ada di UU tentang larangan ekspor bahan
mentah. Pelatihan UKM juga sudah banyak. Baik dari pemerintah/pihak swasta.
Pendidikan masih sangat kurang. Masyarakat belum tau banyak apa MEA itu,
bagaimana dampaknya, dll. Kalu nama kegiatannya kurang tau, mbak.”
Beberapa poin penting diatas perlu dijadikan sebagai rujukan bagi pemerintah.
Melihat kekurangan dan memperkuat potensi-potensi penting yang bisa dikuatkan oleh
pemerintah. Sehingga, Indonesia tidak akan tertinggal terlalu jauh dalam MEA.

d. MEA Sebagai Langkah Terbaik Perekonomian
Berbicara mengenai MEA, ‘peningkatan’ merupakan sebuah keharusan. Dalam hal
ini, peningkatan perekonomian menjadi sebuah keharusan. Karena tujuan dari terbentuknya
Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah untuk mensejahterakan masyarakat ASEAN secara
keseluruhan dengan mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan bebas.
Indonesia sebagai salah satu Negara yang akan mengaplikasikan Masyarakat
Ekonomi ASEAN juga harus mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Namun
realitasnya, pemuda masih merasa bahwa Indonesia masih belum memiliki persiapan untuk
menyambut MEA. Bahkan usaha dari pemerintah masih belum bisa dirasakan hingga saat ini.
Sedangkan perjanjian MEA sudah disepakati sudah sejak lama. Sehingga pemuda melihat
bahwa kepentingan Indonesia dalam MEA masih tidak jelas. Bahkan perjanjian MEA ini
terkesan memposisikan Indonesia sebagai Negara yang ditumpangi berbagai kepentingan
terselubung. Seperti yang diungkapkan oleh Kindie.
“ Sepenuhnya tidak ya. Karena, pasar perekonomian di lingkup Asia Tenggara ini
yang sangat strategis itu kan Indonesia ya, jadi aku belum melihat keseriusan atau
persiapan dari Indonesia sendiri terkait AEC tadi itu ya. Sehingga aku melihat kesan
bahwa AEC ini Indonesia di tumpangi kepentingan-kepentingan Negara tetangga.
Sebagian besar perekonomian di Indonesia ini di gerakan oleh perekonomian mikro.
Saya belum liat kesiapan Negara Indonesia untuk menghadapi AEC. Yang mana Ini
meranah ke kesenian kreatif , budaya dan nelayan. Jadi Dalam sektor- sektor itu aku
belum melihat kekuatannya, masih belum melihat kekuatan dari pemerintah itu
sendiri belum begitu terlalu banyak untuk mengelola itu. Di Indonesia, melihat
perekonomian masyarakatnya sendiri masih belum begitu kuat dan pemerintah
sendiri belum memiliki andil kuat untuk memperkuat itu juga. Sehingga Kalau aku
melihat untuk mempekuat perekonomian ASEAN sepertinya masih belum sepenuhnya
benarlah”
Apa yang diucapkan oleh Kindie memang tidak bisa dianggap salah. Hal serupa juga
diungkapkan oleh Nispi. Nispi menganggap bahwa MEA memiliki agenda terselubung
dengan mengatasnamakan MEA.
“Sebenernya itu hanya sebuah alasan dimana itu merupakan satu kepentingan dari
suatu golongan yang hanya ingin memajukan golongan tertentu. Tapi, itu sebagai
dongkrak yang sebenarnya ditutup oleh suatu perkumpulan yang diucapkan sebagai
suatu kepentingan sosial, kepentingan untuk semuanya. Padahal itu adalah sebuah
kepentingan yang mengusungkan kepentingan satu golongan saja. Tapi dalam
sosialnya kita taunya itu sebuah kepentinga n yang menyangkut semua Negara.”
Ketidak optimisan tersebut juga dirasakan oleh Maria. Berbicara mengenai
peningkatan perekonomian, tidak hanya dipandang dari segi kuantitas namun juga dari segi
kualitas. Maria berpendapat bahwa peningkatan perekonomian bisa dilakukan dari segi
kuantitas saja. MEA tidak bisa meningkatkan perekonomian dari segi kualitasnya.

“Ekonomi ASEAN yang mana? Pertanyaannya kan itu. Kalau Indonesia, kita bicara
masalah ekonomi makro, ya? Sejauh mana Masyarakat Ekonomi ASEAN itu akan
meningkatkan Produk Domestik Nasional Bruto, kaya’ gitu-gitu ya. Istilahnya,
pendapatan kotornya dalam scale, skala ekonomi makro ya kan. Seberapa jauh sih itu
bisa memberikan edit value? Nah, tapi kalau untuk meningkatkan secara global,
sepertinya sih akan meningkatkan juga. Tapi saya nggak mengatakan meningkatkan
itu nggak ada efeknya. Tapi kayaknya lebih banyak mengurangi pendapatan.
sepertinya loh ya? Daripada meningkatkan pendapatan. Mengurangi pendapatan
bukan berarti kuantitas rupiahnya tapi dari segi kualitasnya. Analoginya begini,
ketika ada pemberlakuan MEA. Kita nggak siap nih , kita semakin dibombardir.
Keuntungan kita apa? Benefit nya apa? Ok lah benefit mungkin bagi orang-orang
yang yang sudah aware, yang punya keahlian/skill dan mereka sudah siap. Artinya
mereka sudah menjadi pemain gitu ya? Tapi bagaimana dengan user, masyarakat
pasif yang hanya melihat sebagai audience? Nah itu kan mereka nggak punya
kekuatan apa-apa. Dan bisa dibayangkan kalau yang nggak siap itu banyak, dengan
mudahnya mereka menjadikan masyarakat Indonesia sebagai konsumen. Dari situ
kan kita merugi. Bangsa Indonesia itu sebegitu besarnya hanya sebagai Negara
konsumen. Lantas mereka yang punya usaha, punya kekuatan untuk menghegemoni
pikiran kita ‘Hey kamu itu konsumenku, jadi belilah aku’ misalnya kaya’ gitu. Itu baik
di bidang jasa maupun perdagangan dan sebagainya ya produk dan sebagainya
whatever itu, kita sebagai Negara pangsa pasar yang luar biasa bagi mereka. Itu kan
suatu kerugian luar biasa. Tidak hanya sekedar berapa rupiah atau berapa milyar.
Tapi itu kan sesuatu yang terjadi selamanya. Apabila MEA masih terus diberlakukan,
coba itu kalau kita itung-itung, sumber daya kita sudah nggak bertambah misalnya,
tapi dengan dibombardirnya orang-orang yang qualified tapi dari Negara lain, mau
jadi apa donk Negara kita? Jadi akhirnya kita bisa jadi nggak percaya diri dengan
kemampuan SDM anak Negeri. Rumah sakit lebih percaya pada dokter-dokter output
atau dokter-dokter impor dari Singapura atau dari sebagainya itu yang lebih
branding atau yang lebih menjual. Lagi-lagi kan kita hidup dalam dunia kapitalis.
Kapitalis yang bener-bener nggak bisa dibayangkan. Tapi itu nyata gitu loh.
Dampaknya itu sudah terasa sejak beberapa tahun yang lalu ya. Apalagi kalau akan
diberlakukan akhir Desember nanti, 2015. Ya semogalah tetap optimis tapi ya cuman
semoga dibarengi dengan banyaknya akademisi muda, mahasiswa yang menyiapkan
diri, softskill-nya perlu untuk bersaing tidak hanya sebagai individu, lulusan dari
universitas A,B,C atau menafkahi dirinya sendiri tapi ini sebagai representasi dari
bangsa Indonesia.”
Berbeda dengan pendapat-pendapat yang diutarakan oleh narasumber-narasumber
sebelumnya, Erdy justru mengutarakan hal sebaliknya. Menurut Erdy, perekonomian ASEAN
masih stabil. Namun, seperti yang diutarakan oleh Kindie dan Nispi pada pembahasan
sebelumnya, bahwa ada agenda dan kepentingan tersembunyi dibalik pelaksanaan MEA.
“Kalo ngomong terbaik sepertinya tidak. Perekonomian asean rasanya baik-baik
saja. bahkan eropa & amerika krisis, kita tidak terkena dampak signifikan, tetap

stabil. Jadi kalo AEC dibilang memperbaiki perekonomian, rasanya kurang pas. Itu
dia, saya belum tau banyak alasan sebenarnya. Pasti alasan utamanya peningkatan
perkonomian, namun dibalik itu kemungkinan besar ada hidden agenda lain.”

e. Posisi Indonesia dalam MEA dan Agenda Terselubung Kapitalisme
MEA tidak hanya dianggap sebagai sebuah kerjasama. MEA juga dianggap sebagai
pengglobalisasian kecil ASEAN. Kata ‘globalisasi” seringkali diidentikkan dengan kata
‘kapitalisme’. Bagaimana tidak, penyatuan ekonomi ini seperti memiliki potensi untuk
menunjang kepentingan-kepentingan terselubung. MEA juga berpotensi untuk menjadikan
masyarakat yang masih belum siap sebagai mangsa pasar. Seperti yang diungkapkan oleh
Maria berikut ini.
“Yang saya ketahui, MEA atau apapun sebutannya itu, itu kan sebuah semacam
revalitas nyata gitu kan. Itu sepertinya hukum rimba kapitalis yang akan
diberlakukan diakhir 2015. Waktu itu kan sebenernya awalnya pemerintah mau
memberlakukan 2015 awal, januari. Tapi kemudian diralat sendiri sama pemerintah
pusat itu diakhir tahun, jadi Desember 2015. Nah, dimana semua sistem perdagangan
itu bener-bener terjun bebas sebebas-bebasnya, mereka bisa masuk investasi kesini,
sebaliknya kita bisa berekspansi. Tapi kabar buruknya, ini yang buruk dulu ya? Ini
sepertinya kita masih belum siap lah. Karena banyak yang belum dipersiapkan. Baik
secara ekonomi makro maupun mikro. Kalau ekonomi makro, itu di pemerintah
sendiri misalnya di kementrian perdagangan dan sebagainya itu masih belum
menciptakan sistem dalam tanda kutip sistem imun gitu loh. Artinya, ketika kita sudah
menggaumkan siap diberlakukan akhir 2015, apakah itu sudah benar-benar
memproteksi perdagangan dalam negeri dari serbuan masyarakat asing? Karena
yang saya tau, Masyarakat Ekonomi ASEAN itu nanti sistemnya itu bener-bener ya
wes kapitalis murni gitu loh. Jadi dimana mereka misalnya gini, kaya’ dokter gitu ya?
Dokter itu, dokter Malysia, Singapore. Jangankan MEA diterapkan. Sudah beberapa
tahun yang lalu, itu dokter dari Singapore atau dari Malaysia atau dari mana gitu
kan sudah banyak yang membuka praktek di Rumah Sakit Internasional misalnya.
Atau yang bener-bener partikelir gitu ya, buka praktek di Jakarta misalnya kaya’ gitu.
Apalagi adanya MEA. Itu kan bisa mereka memborbardir kapanpun dan tanpa
ampun. Kalau membandingkan kan kita sepertinya ya belum se-level ya. Justru kita
masih dibawah level mereka. Jadi bisa dibayangkan betapa kita, bangsa Indonesia
masih belum siap sebenernya. Itu menjadi bom waktu yang kapanpun bisa meledak
gitu loh. Meledaknya itu kita sendiri yang mungkin akan dibombardir. Nggak siap
lah. Tapi kabar baiknya, ya itu kan dimana ada ancaman, pasti ada peluang kaya’
gitu kan. Jadi kalau sistem manajement itu kanya wes siap nggak siap kita harus
memanfaatkan ancaman itu menjadi peluang untuk siap berkompetisi.”
Erdy juga berpendapat senada. Dimana masyarakat Indonesia memiliki tantangan
tersendiri dalam MEA. Erdy melihat bahwa penduduk Indonesia memiliki tingkat konsumsi

yang sangat tinggi. Hal ini tentu akan menjadi masalah bagi Indonesia dalam pengaplikasian
MEA.
“AEC itu sebuah tantangan buat Indonesia. Penduduk asean mencapai 700an juta.
Indonesia sendiri penduduknya hampir 300jt, separuhnya. Artinya posisi Indonesia
sebenarnya punya positioning yg bagus. Indonesia pasti dipandang pasar empuk.
Disitulah bargaining power kita. Semua negara asean, pasti mengincar Indonesia.
Tinggal kitanya mau memanfaatkan positioning itu atau cuma jadi pasar empuk aja .
Positif nya banyak, negatif juga. Karena penduduk kita banyak dan memiliki sifat
konsumtif. Sifat konsumtif muncul karena kurangnya edukasi finansial. Biasanya
menerpa masyarakat middle class income yang baru naik kelas. Lihat di mall, diskon
dikit, semua berbondong bondong beli. Ada konser besar, pada rebutan tiket. Faktor
pendorongnya macam-macam. Ada yang penasaran,status sosial,atau memang
hedonism. Iphone 6 muncul, pada ganti hp. Padahal ya hp lama masih bisa dipakai.
Sebenarnya sangat bagus untuk roda perkonomian. Tapi, kalo keterusan tentu
merugikan dia sendiri dan ini yang menyebabkan Indonesia jadi pasar empuk. Kalo
beli produk indonesia sih ga masalah. Kalo udh aec, bisa-bisa produk impor yang
dibeli. Sekarang aja udah banyak yang beli. Gimana nanti? Produk lokal tergeser. Eh
maksutnya ada peluang tergeser. Terutama produk-produk UKM. Karena produkproduk UKM cenderung tidak efisien dan efektif dalam produksinya. Akhirnya harga
akhir tidak kompetitif. Berbeda dengan produk yang sudah mempunyai pabrik
dibawah naungan PT. Tapi kalo mereka berhasil efisien dan efektif dalam produksi,
mereka bakal dengan mudah go ASEAN. Permasalahannya masih banyak yang
belum. Makanya pemerintah sering ngadain pelatihan ukm dimana mana. Belum lagi
hambatan standar produk negara lain. Kualitas harus tinggi supaya bisa ekspor.
Sedangkan kita, standar produknya tidak setinggi negara ASEAN lain. Karena
standar produk suatu negara tentu harus sesuai dengan produk-produk di negara itu.
Naah produk-produk kita kualitasnya masih kalah. Jadi produk luar dapat mudah
masuk. Sedangkan kita jadi susah ekspor .”
Penjelasn Erdy memang masuk akal. Darwis dalam bukunya ‘Masyarakat Ekonomi
ASEAN 2015: Prospek Pengusaha Muda Indonesia Berjaya di Pasar ASEAN’.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain tidak terlepas dari konsumsi rumah tangga
dan investasi. Bahkan konsumsi rumah tangga menyumbang porsi dua per tiga bagian
dibandingkan investasi…..” (Darwis, 2014: 11)
KESIMPULAN
Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah tinggal menghitung hari. Namun informasi
mengenai MEA masih belum menyeluruh. Berbagai konflik berdatangan dari pihak internal.
Oleh karena itu, hal-hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mempersiapkan
masyarakat menuju MEA itu sendiri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara pemberian
informasi lebih kepada masyarakat mengenai MEA. Pemberian informasi tersebut bertujuan

untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai MEA. Dengan begitu masyarakat
akan dapat mempersiapkan diri untuk berkompetisi dalam MEA.

DAFTAR PUSTAKA
Darwis, Yuliandre. 2014. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015: Prospek Pengusaha Muda
Indonesia Berjaya di Pasar ASEAN. Jakarta.
Deddy, Kusdinar, dkk. 2009. Penyajian Data Informasi Kementerian Pemuda dan Olahraga
Tahun 2009. Jakarta: Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Irianto, Heru dan Burhan Bungin. 2006. “Pokok-Pokok Penting Tentang Wawancara”. Dalam
Burhan Bungin (ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke
Arah Ragam Varian Kontemporer . Jakarta: Rajawali Pers.
Machfoedz, Ircham. 2009. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan,
Kebidanan, Kedokteran. Yogyakarta: Penerbit Fitramaya.
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Yin, Robert K. 2003. Studi Kasus: Desain dan Metode. Terj. M. Djauzi Mudzakir. Jakarta:
Rajawali Pers.