HAM dan Kesejahteraan Sosial dan p

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Pada dasarnya keberadaan hak asasi manusia merupakan sesuatu
yang pastinya dimiliki oleh setiap manusia di seluruh dunia. Hak ini
melekat dalam diri dan tidak bias ditambah serta dikurangi, bahkan
dirampas. Dengan adanya hak ini manusia mendapatkan kebebasan hidup
dengan melihat dan mempertimbangkan hak manusia lain. Keberadaan
HAM tak lepas dari kontrol nilai, budaya, dan peraturan di masyarakat.
Pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara
mutlak tanpa memperhatikan hak orang lain. Setiap hak akan dibatasi oleh
hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan
hak orang lain, maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan adanya
batasan ini keteraturan antara hak yang satu dengan yang lain tidak saling
berbenturan.
Walaupun hak ini berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, namun
eksistensi HAM di dunia tidak semata-mata muncul begitu saja.

Keberadaannya tidak lepas karena adanya keinginan masyarakat di zaman
Yunani kuno untuk memperjuangkan hak-hak yang terlanggar. Hingga
muncullah Magna Charta Libertatum pada tahun 1215, Habeas Corpus
pada tahun 1679, Bill of Right pada tahun 1689, yang kemudian sangat
berpengaruh bagi munculnya United State Constitution di Amerika pada
tahun 1789 dan muncul Declaration of the Rights of Man and Citizen di
Prancis.
Pada perkembangan berikutnya, sejarah modern HAM muncul
dalam berbagai upaya politik dan hukum dalam skala yang lebih besar atau
internasional. Pada abad 19, lahir upaya-upaya untuk menghapus
perbudakan dan melindungi hak kaum buruh. Upaya ini terus berlanjut
1

sampai

pada

akhirnya

Liga


Bangsa-Bangsa

tahun

1926

mengkodifikasikan The League of Nations Conventions to Suppress the
Slave

Trade

and

Slavery (Konvensi

Liga

Bangsa-Bangsa


untuk

Menghapus Perbudakan dan Perdagangan Budak). Keprihatinan terhadap
HAM

juga

muncul

dengan

Organization (Organisasi

dibentuknya International

Buruh

Internasional)

pada


Labour
1919

serta International Committee of the Red Cross (Komite Palang Merah
Internasional) pada saat Konferensi Internasional di Jenewa tahun 1863.
Rentang sejarah HAM kemudian ditandai dengan terbentuknya
Komisi HAM PBB pada 16 Februari 1946. Komisi ini mengajukan usulan
kepada Dewan Umum PBB tentang pentingnya suatu Deklarasi Universal
HAM, Konvensi tentang kebebasan sipil, status perempuan, kebebasan
informasi, perlindungan warga minoritas dan pencegahan diskriminasi.
Sebagai hasilnya, pada 1948, lahirlah Universal Declaration of Human
Rights (UDHR) yang merupakan tonggak paling penting bagi pengakuan
dan

perlindungan

HAM

internasional.


UDHR

diyakini

mampu

memberikan definisi paling sahih mengenai kewajiban menghormati HAM
bagi sebuah negara yang ingin bergabung dengan PBB. Adanya
kemunculan berbagai kebijakan ini dapat kita lihat bahwa konsep tentang
HAM sangatlah diperlukan, dimiliki, dipenuhi, dan , diperhatikan satu
sama lain.

1.2.

Rumusan Masalah
1.

Bagaimana kondisi Hak Asasi Manusia dan Kesejahteraan Sosial di


2.

Indonesia?
Mengapa Hak Asasi Manusia dan Kesejahteraan Sosial penting dan
apakah kaitan diantara keduanya?

1.3.

Tujuan
1. Menggambarkan kondisi Hak Asasi Manusia dan Kesejahteraan Sosial
di Indonesia

2

2. Memberikan pemahaman mengenai pentingnya Hak Asasi Manusia dan
Kesejahteraan Sosial serta keterkaitan keduanya melalui proses studi kasus
1.4.

Manfaat
1. Manfaat bagi penulis

a. Untuk menambah pengetahuan, wawasan dan pengalaman bagi
penulis dan pembaca tentang kondisi Hak Asasi Manusia dan
Kesejahteraan Sosial di Indonesia
2. Manfaat secara akademis
a. Diharapkan makalah ini dapat menambah khasanah Ilmu
Kesejahteraan Sosial di bidang Hak Asasi Manusia dan
Kesejahteraan Sosial.

BAB II
BAHASAN KONSEPTUAL
3

2.1 Definisi HAM
Secara formal konsep mengenai Hak Asasi Manusia lahir tanggal 10 – 12
– 1948. ketika PBB memproklamirkan Deklarasi Universal Hak – hak Asasi
Manusia, yang didalamnya memuat 30 pasal dan sacara eksplisit menerangkan
bahwa Hak Asasi Manusia adalah sesuatu yang melekat pada manusia sejak lahir
yang tidak dapat dihilangkan atau dikurangi oleh siapapun. Dimasukkannya hak
asasi manusia ke dalam pasal 1 Piagam PBB, organisasi multinegara ini
menginginkan masyarakat Internasional dan negara-negara akan pengertian Hak

Asasi Manusia, bahwa pemahaman akan pengertian tentang HAM merupakan
suatu landasan yang dapat memecahkan masalah-masalh di bidang ekonomi,
sosial dan budaya (Sarjana, 2004).
Pada dasarnya HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada
diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak
dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti
menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status,
golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Sedangkan pengertian HAM menurut UU No. 39 Tahun 1999, Hak Asasi
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Beberapa ahli pun mengutarakan pendapatnya mengenai HAM. Menurut
Jack Donnely, hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia sematamata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan
kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan sematamata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Sementara Miriam Budiardjo,
berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang
telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam
kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa

4

perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, kelamin dan karena itu bersifat
universal. John Locke menyatakan macam-macam Hak Asasi Manusia yang
pokok adalah:




Hak hidup (the rights to life);
Hak kemerdekaan (the rights of liberty);
Hak milik (the rights to property).

Thomas Hobbes menyatakan bahwa satu-satunya Hak Asasi Manusia adalah hak
hidup. Prof. Darji Darmodiharjo, S. H, menyatakan Hak-hak Asasi Manusia
adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak Asasi itu menjadi dasar dari
hak dan kewajiban-kewajiban lain (Ilmu, 2012).
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 berisi 30 pasal memuat
macam-macam HAM sebagai berikut:







Hak atas kewarganegaraan (Pasal 15).
Hak untuk menikah dan membentuk keluarga (Pasal 16).
Hak atas kekayaan (Pasal 17).
Hak kebebasan berkeyakinan agama (Pasal 18).
Hak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat (Pasal







19).
Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat (Pasal 20).

Hak ikut serta dalam pemerintahan (Pasal 21).
Hak atas jaminan sosial (Pasal 22 dan Pasal 25).
Hak atas bidang pekerjaan (Pasal 23 dan Pasal 24).
Hak atas bidang pendidikan (Pasal 26).
Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa manusia memperoleh

kesempatan berkembang sesuai dengan harkat dan cita-citanya. Hal yang sama
juga dikemukakan oleh Slamet Marta Wardaya yang menyatakan bahwa hak
asasi manusia yang dipahami sebagai natural rights merupakan suatu
kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal (Ilmu, 2012).
2.2 Tiga Generasi HAM
HAM yang dimiliki oleh setiap manusia bersifat universal, yang berarti
tanpa ada perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, kelamin. Nilai universal ini
yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk hukum nasional di berbagai
negara untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusian. Bahkan
5

nilai universal ini dikukuhkan dalam intrumen internasional, termasuk perjanjian
internasional di bidang HAM (Ilmu, 2012).
Terdapat 3 generasi HAM (dalam Ilmu, 2012), yakni :
-

Generasi 1: hak sipil politik  hak personal yang harus dimiliki
seorang manusia. seperti hak memilih agama, bebas diskriminasi,
perlindungan hukum.

-

Generasi 2: hak ekonomi, sosial, budaya  hak-hak individu atau
kelompok untuk menerima pelayanan sosial guna merealisasi seluruh
potensi mereka sebagai manusia, seperti hak mendapatkan pendidikan,
kesehatan, perumahan, serta jaminan sosial.

-

Generasi 3: hak kolektif  hak-hak bukan individu (berarti hak
bersama) seperti hak memperoleh lingkungan yang sehat dan udara
yang bersih.

Di Indonesia Hak Asasi Manusia bersumber dan bermuara pada pancasila,
dimana hal ini berarti Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah
bangsa. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi
manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam
ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi
manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam pandangan hidup
bangsa Indonesia, yaitu Pancasila (Ilmu, 2012).

2.3 Instrumen HAM Republik Indonesia
Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat
dan tidak terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan
demi peningkatan martabat kemanusisan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan
kecerdasan serta keadilan.
Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik
Indonesia,yakni:
6





Undang – Undang Dasar 1945
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyebutkan 10 macam hak dan kebebasan manusia sebagai berikut :
1. hak untuk hidup (pasal 9),
2. hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan (pasal 10),
3. hak mengembangkan diri (pasal 11 s.d. 16),
4. hak memperoleh keadilan (pasal 17 s.d. 20),
5. hak atas kebebasan pribadi (pasal 21 s.d. 27),
6. hak atas rasa aman (pasal 28 s.d. 35),
7. hak atas kesejahteraan (pasal 36 s.d. 42),
8. hak turut serta dalam pemerintahan (pasal 43 s.d. 44),
9. hak wanita (pasal 45 s.d. 51), dan
10. hak anak (pasal 52 s.d. 66).

Di Indonesia secara garis besar disimpulkan, hak-hak asasi manusia itu dapat
dibeda-bedakan menjadi sebagai berikut :


Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan
menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan



bergerak.
Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk
memiliki



sesuatu,

hak

untuk

membeli

dan

menjual

serta

memanfaatkannya.
Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk



mendirikan partai politik.
Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan



pemerintahan ( rights of legal equality).
Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights).
Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untukmengembangkan



kebudayaan.
Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan
perlindungan

(procedural

rights). Misalnya

peraturan

dalam

hal

penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.
2.4 Mengapa HAM penting?

7

HAM penting karena mereka melindungi hak kita untuk hidup dengan
harga diri, yang meliputi hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan keamanan.
Hidup dengan harga diri berarti bahwa kita harus memiliki sesuatu seperti tempat
yang layak untuk tinggal dan makanan yang cukup. Ini berarti bahwa kita harus
dapat berpartisipasi dalam masyarakat, untuk menerima pendidikan, bekerja, dan
mempraktekkan agama kita, berbicara dalam bahasa kita sendiri, dan hidup
dengan damai. HAM adalah alat untuk melindungi orang dari kekerasan dan
kesewenang-wenangan. HAM mengembangkan saling menghargai antara
manusia. HAM mendorong tindakan yang dilandasi kesadaran dan tanggung
jawab untuk menjamin bahwa hak-hak orang lain tidak dilanggar. Misalnya, kita
memiliki hak untuk hidup bebas dari segala bentuk diskriminasi, tapi di saat yang
sama, kita memiliki tanggung jawab untuk tidak mendiskriminasi orang lain
(Ilmu, 2012).

2.5 Apa itu Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial adalah suatu institusi atau bidang kegiatan yang
melibatkan aktivitas terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembagalembaga pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi
atau memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial dan peningkatan
kualitas hidup individu, kelompok dan masyarakat (Suharto, 2009:1).
Penjelasan diatas mengandung pengertian bahwa masalah kesejahteraan
sosial tidak bisa ditangani oleh sepihak dan tanpa teroganisir secara jelas kondisi
sosial yang dialami masyarakat. Perubahan sosial yang secara dinamis
menyebabkan penanganan masalah sosial ini harus direncanakan dengan matang
dan berkesinambungan. Karena masalah sosial akan selalu ada dan muncul selama
pemerintahan masih berjalan dan kehidupan manusia masih ada.
Sejalan dengan itu menurut Adi (2003: 41) kesejahteraan sosial sebagai
suatu keadaan yang dirumuskan pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6
tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial yaitu:
Kesejahteraan sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil
maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman
8

lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk mengadakan
usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang
sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.
Rumusan di atas menggambarkan kesejahteraan sosial sebagai suatu
keadaan dimana digambarkan secara ideal adalah suatu tatanan (tata kehidupan)
yang meliputi kehidupan material maupun spiritual, dengan tidak menempatkan
satu aspek lebih penting dari lainnya, tetapi lebih mencoba melihat pada upaya
mendapatkan titik keseimbangan. Titik keseimbangan adalah keseimbangan antara
aspek jasmaniah dan rohaniah, ataupun keseimbangan antara aspek material dan
spiritual.

2.6 Keterkaitan antara HAM & Kesejahteraan Sosial
HAM pada dasarnya ada untuk melindungi hak kita sebagai manusia untuk
hidup dengan harga diri, dengan kebebasan dan keamanan. Hidup dengan harga
diri berarti bahwa kita harus memiliki sesuatu seperti tempat yang layak untuk
tinggal dan makanan yang cukup. Ini berarti bahwa kita harus dapat berpartisipasi
dalam masyarakat, untuk menerima pendidikan, bekerja, dan mempraktekkan
agama kita, berbicara dalam bahasa kita sendiri, dan hidup dengan damai. HAM
adalah alat untuk melindungi orang dari kekerasan dan kesewenang-wenangan.
Sedangkan Kesejahteraan Sosial sebagai suatu keadaan yang dirumuskan
pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 tahun 1974 tentang ketentuanketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial mengandung makna bahwa Kesejahteraan
Sosial merupakan terpenuhinya kebutuhan materiil maupun spiritual yang diliputi
oleh rasa keselamatan,

kesusilaan

dan ketentraman

lahir batin,

yang

memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk mengadakan usaha pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi
diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta
kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.
Apabila melihat HAM dan Kesejahteraan Sosial secara konseptual
keduanya sama-sama merupakan gambaran suatu kondisi yang ideal. Keduanya
9

sebagai tool dalam melihat titik keseimbangan dan upaya memanusiakan manusia.
Keduanya merupakan tolak ukur dalam memotret seberapa jauh seorang manusia
dapat hidup dengan selayaknya atau tidak. Keduanya merupakan cita-cita yang
luhur.

2.7 Implementasi HAM dan Kesejahteraan Sosial
Salah satu deklarasi HAM yaitu Deklarasi Wina. Deklarasi Wina yang
disepakati oleh 171 negara anggota PBB yang isinya merupakan hasil kompromi
HAM negara-negara maju Barat dan negara-negara berkembang. Deklarasi ini
merupakan titik balik dari puncak ketegangan perbedaan pandangan, apakah
HAM itu universal atau particular. Deklarasi mencapai kesepakatan bahwa nilainilai HAM yang telah dideklarasikan saling bergantung dan berhubungan. Yang
menjadi catatan dalam Deklarasi Wina adalah bahwa upaya implementasi HAM
bersifat relative. Tergantung kondisi dan prasyarat budaya, serta perbedaan sejarah
dan agama masing-masing masyarakat. (Monib & Bahrawi : 2011)
Ada perbedaan perspektif dalam konsepsi tentang HAM, terutama dalam
kaitannya dengan negara-negara Dunia Ketiga. Akar kontroversi penerapan HAM
di negara-negara Dunia Ketiga bermula dari perbedaan persepsi mengenai watak
HAM sebagai ekspresi budaya. Ada dua narasi besar, universalisme dan
partikularisme (relativism cultural), yang karena perbedaan fundamental dalam
konsepnya mengakibatkan perbedaan pemahaman atas (1) karakter HAM (apakah
internasional atau murni domestik), (2) pentingnya individu sebagai lawan hak
masyarakat, (3) penetuan waktu dan penahapan implementasi HAM dan
penegakannya (Latif, 2005).
Secara umum dapat dinyatakan, pada satu sisi, kaum universalis
menegaskan bahwa HAM adalah hak semua orang. HAM berasal dari “konsep
hukum alam yang menegaskan bahwa manusia memiliki hak alamiah tertentu
untuk hidup, bebas dan punya kepemilikan”. Juga “untuk memiliki HAM,
seseorang haruslah dipandang sebagai manusia (human being)”. Pada sisi lain,
kaum partikularis (kultural relativis) memersepsi bahwa norma-norma HAM tidak
muncul dari ruang hampa melainkan dibentuk oleh seperangkat pengalaman
10

masyarakat tertentu. Karena setiap masyarakat memiliki kondisi sejarahnya
tersendiri, hanya aspek-aspek HAM tertentu yang dapat diterapkan pada
masyarakat tertentu dan akan berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat yang
lain. Kaum universalis cenderung menekankan HAM individu dibandingkan
dengan kewajiban-kewajiban individu pada kelompok yang lebih besar. (Latif,
2005)
Implementasi HAM di Indonesia (Siregar, 2012) antara lain sebagai berikut :
1. HAM di Indonesia dibatasi oleh Aturan Perundangan-undangan. Bangsa
Indonesia mempunyai jati diri yang khas Indonesia, karena itu HAM-nya
juga bersifat spesifik. Misalnya soal kebebasan/ kemerdekaan. Kebebasan
yang ada di Amerika/ Eropa tidak sama dengan yang ada di Indonesia.
HAM di Indonesia tetap dibatasi oleh Aturan Perundang-undangan serta
dikontrol oleh nilai agama dan budaya.
2. Universalitas versus relatifisme budaya. Pertentangan antara prinsip
universalitas dengan nilai relativisme budaya seringkali sulit dielakkan.
Sedangkan kontekstual HAM di Indonesia (Siregar, 2012) antara lain :
1. HAM terdiri dari 10 hak asasi dan 4 kewajiban dasar
2. HAM sesuai dengan agama dan budaya
3. HAM dibatasi oleh aturan perundang-undangan
4. HAM menjadi Program Nasional
5. HAM diperkuat oleh konstitusi dan institusi

11

BAB III
STUDI KASUS

3.1 Kasus

MINGGU, 17 JANUARI 2010 | 12:09 WIB
Ibu Bunuh Anak Diduga karena Tekanan Ekonomi
TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi Nasional Perlindungan Anak menduga
perbuatan Manda, 25 tahun, ibu yang membunuh anak kandungnya
dipengaruhi oleh faktor tekanan ekonomi.
"Tampaknya faktor kemiskinan berpengaruh, daerah Sawah Besar memang salah
satu kantong kemiskinan di DKI," ujar Sekretaris Jenderal Komnas Anak, Arist
Merdeka Sirait saat dihubungi Tempo, Ahad (17/1). Jumat malam lalu Manda,

12

warga Sawah Besar, Jakarta Pusat, tega membekap anak kandungnya sendiri
hingga tewas. Pada polisi pelaku mengaku melakukan hal tersebut karena kesal
pada anaknya yang rewel. Ia lalu membekap anaknya yang sedang dalam kondisi
telentang, dengan bantal dan menekannya. Manda, yang mengetahui anaknya
lemas, kemudian membangunkan anaknya dengan menepuk-nepuk pipinya.
Namun sia-sia, Anisa telah tewas. Saat ini Manda telah menjadi tahanan di Polres
Jakarta Pusat. Polisi masih menyelidiki motif sebenarnya dari perbuatan tersebut.
Menurut Arist, anak-anak sangat rentan menjadi obyek kekerasan orang tua
maupun orang dewasa yang dekat dengan mereka. Berdasarkan data kasus yang
masuk ke Komnas Anak, sepanjang 2009 terdapat 1.998 kasus kekerasan terhadap
anak yang dilakukan oleh orang tua maupun orang dekat anak tersebut.
"Baik oleh ayah maupun ibu kandung, ayah atau ibu angkat, kakek atau nenek,
saudara, atau keluarga dekat anak tersebut," kata Arist. Dari kasus kekerasan
tersebut 18 diantaranya mengakibatkan kematian. Sedangkan pemicu terjadinya
kekerasan sebagian besar adalah faktor tekanan ekonomi. Tekanan ekonomi yang
menyebabkan orang tua tidak lagi menganggap perilaku anak yang rewel, nangis,
atau banyak menuntut sebagai sebuah perbuatan yang wajar.

Meskipun tekanan ekonomi diduga menjadi salah satu penyebabnya, pembunuhan
tersebut tetap tidak bisa dibenarkan. "Apapun motifnya, ini tetap tindak kriminal
pembunuhan, pelaku dan orang yang terkait bertanggung jawab atas peristiwa
tersebut harus mendapat hukuman, kalau keberatan memelihara anak kan bisa
dititipkan ke panti, biar dipelihara negara," kata Arist.
Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2010/01/17/064219571/Ibu-BunuhAnak-Diduga-karena-Tekanan-Ekonomi diunduh tanggal 23 November 2013
pukul 20.07

3.2 Analisa
3.2.1. Analisis mengenai Kasus Pembunuhan Anak oleh Ibunya dengan
Konsep Hak Asasi Manusia
13

Kasus yang diangkat dalam makalah ini yaitu kasus tentang pembunuhan
terhadap anak sendiri. Dalam kasus tersebut diceritakan bahwa seorang ibu yang
sedang memiliki masalah ekonomi tega membunuh anaknya sendiri karena tidak
tahan dengan tangisan si anak yang menurut ibunya menambah beban pikiran si
ibu.
Jika ditinjau dari konsep teori mengenai Hak Asasi Manusia, jelas sekali
bahwa ibu tersebut telah melanggar Hak Asasi Manusia. Pelaku pembunuhan
yang merupakan ibunya sendiri telah mengambil hak hidup si anak dengan
membunuhnya. HAM menurut UU No. 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Sedangkan pada pasal 11 UU No. 39 Tahun 1999 dikatakan bahwa “Setiap orang
berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara
layak”. Dalam kasus ini, si ibu melakukan tindakan pembunuhan pada anaknya
karena tekanan ekonomi dimana ia tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Tekanan ini menyebabkan mental si ibu tidak berkembang dalam menyelesaikan
masalahnya dan akhirnya berbuat tindakan pembunuhan yang berakhir dengan
pelanggaran HAM berupa hak untuk hidup bagi anaknya.
Jika melihat dari hak anak, dalam Pasal 53 ayat (1) yang berbunyi “Setiap
anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan
meningkatkan taraf kehidupannya.” Serta Pasal 58 ayat (1) yang berbunyi “Setiap
anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk
kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual
selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut” dan ayat (2) “Dalam hal orang
tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau
mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk
pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi,
maka harus dikenakan pemberatan hukuman.” Maka sudah jelas bahwa pelaku
pembunuhan yaitu ibu dari anak tersebut harus dijatuhi hukuman yang berat
14

karena dalam pasal diatas. Anak yang mengalami tindakan tersebut sudah
dilindungi hukum, sehingga setiap pelanggaran hukum akan dijatuhi hukuman
sesuai dengan berat atau tidaknya hukuman tersebut.
Selain itu jika melihat dari pengertian HAM menurut John Locke yang
terbagi yaitu Hak hidup (the rights to life); Hak kemerdekaan (the rights of
liberty); Hak milik (the rights to property) serta menurut Thomas Hobbes
menyatakan bahwa satu-satunya Hak Asasi Manusia adalah hak hidup, sang ibu
telah mengambil hak anaknya untuk hidup. Kasus pembunuhan anak tersebut
merupakan bentuk pelanggaran HAM berat karena anak tersebut telah kehilangan
hidupnya. Anak tersebut tidak dihargai eksistensinya di dunia. Hal ini juga terkait
dengan UUD 1945 Pasal 28A tentang HAM yang berbunyi “setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”
Instrumen HAM Republik Indonesia
Jika melihat instrument HAM di Indonesia, berbagai instrumen,yakni Undang
– Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia dan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Dalam salah satu instrumen HAM di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan tentang 10 macam hak dan
kebebasan manusia antara lain :
1. hak untuk hidup (pasal 9),
2. hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan (pasal 10),
3. hak mengembangkan diri (pasal 11 s.d. 16),
4. hak memperoleh keadilan (pasal 17 s.d. 20),
5. hak atas kebebasan pribadi (pasal 21 s.d. 27),
6. hak atas rasa aman (pasal 28 s.d. 35),
7. hak atas kesejahteraan (pasal 36 s.d. 42),
8. hak turut serta dalam pemerintahan (pasal 43 s.d. 44),
9. hak wanita (pasal 45 s.d. 51), dan
15

10. hak anak (pasal 52 s.d. 66).
Dari kesepuluh macam hak dan kebebasan menurut Undang-undang No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka jika melihat dari kasus tersebut,
maka diatur pada hak wanita dan hak anak. Di dalam hak anak diantaranya pada
pasal 53 ayat (1) serta pasal 58 ayat (1) dan (2).

3.2.2. Analisis mengenai Kasus Pembunuhan Anak oleh Ibunya dengan
Konsep Kesejahteraan Sosial
Kesejahteraan sosial menurut Adi (2003: 41) sebagai suatu keadaan yang
dirumuskan pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 tahun 1974 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial yaitu:
Kesejahteraan sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial
materiil maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan
ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk
mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan
sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan
Pancasila. Selain itu juga kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan dimana
digambarkan secara ideal adalah suatu tatanan (tata kehidupan) yang meliputi
kehidupan material maupun spiritual, dengan tidak menempatkan satu aspek lebih
penting dari lainnya, tetapi lebih mencoba melihat pada upaya mendapatkan titik
keseimbangan. Titik keseimbangan adalah keseimbangan antara aspek jasmaniah
dan rohaniah, ataupun keseimbangan antara aspek material dan spiritual. Dalam
kasus pembunuhan yang dilakukan ibu terhadap anaknya merupakan suatu
cerminan kondisi masyarakat yang tidak sejahtera. Kesejahteraan sosial dapat
dilihat sebagai suatu keadaan yang digambarkan secara ideal dimana seluruh
aspek kehidupan berada pada titik keseimbangan. Pada kasus tersebut, kondisi
tidak sejahtera terlihat dari ketiadaannya keseimbangan pada hidup si ibu tersebut.
Masih ada aspek yang belum terpenuhi dalam kehidupannya seperti aspek
ekonomi. Sang ibu merasa bahwa kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi sehingga si
ibu tidak dapat mencapai keadaan yang sejahtera.
16

Disamping itu, pada kasus pembunuhan anak diatas, terlihat adanya
pelanggaran terhadap UU no. 4 tahun 1979 tentang anak kesejahteraan anak
bahwa kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak
yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik
secara rohani, jasmani, maupun sosial. Pada kasus diatas, tercermin bahwa anak
yang menjadi korban tersebut tidak mendapatkan jaminan pertumbuhan dan
perkembangan dengan wajar karena tidak mendapatkan penghidupan yang layak.
Anak sebagai golongan yang rentan terhadap tindak kekerasan tidak memiliki
kekuatan untuk melawan segala bentuk tindakan yang mengancam dirinya.

3.2.3. Keterkaitan antara HAM & Kesejahteraan Sosial
Apabila melihat HAM dan Kesejahteraan Sosial secara konseptual keduanya
sama-sama merupakan gambaran suatu kondisi yang ideal. Keduanya sebagai tool
dalam melihat titik keseimbangan dan upaya memanusiakan manusia. Keduanya
merupakan tolak ukur dalam memotret seberapa jauh seorang manusia dapat
hidup dengan selayaknya atau tidak. Keduanya merupakan cita-cita yang luhur
(Saraswati, 2006). Jika melihat dalam kasus ini, HAM dan Kesejahteraan sosial
dapat menjadi alat bantu dalam melihat titik keseimbangan antara ibu dan
anaknya. Jika melihat dari sudut pandang anak, anak tersebut telah diambil
haknya, baik itu hak untuk hidup, hak untuk dibesarkan, dsb. Karena pengambilan
hak anak tersebut secara paksa oleh ibunya, maka si ibu dapat ditetapkan sebagai
pelanggar HAM dan si anak sebagai individu yang direbut hak asasinya. Namun
jika melihat dari sudut pandang ibunya, si ibu mengalami kondisi yang kurang
sejahtera karena dia mendapatkan tekanan ekonomi yang mengakibatkan mental
dan perasaannya tidak stabil sehingga ketika si anak menambah beban pikiran
ibunya, si ibu sudah tidak dapat berpikir dengan akal sehat.
Dari kedua sudut pandang tersebut, HAM dan kesejahteraan sosial dapat
membantu dalam penetapan pemberian hukuman bagi si ibu. Karena dari kedua
perspektif tersebut, dapat menjadi bahan pertimbangan sehingga pemnjatuhan
hukuman bagi ibunya dapat lebih adil dan dapat menimbulkan efek jera.
17

Implementasi HAM dan Kesejahteraan Sosial
Salah satu deklarasi HAM yaitu Deklarasi Wina. Dalam Deklarasi Wina
adalah bahwa upaya implementasi HAM bersifat relatif. Tergantung kondisi dan
prasyarat budaya, serta perbedaan sejarah dan agama masing-masing masyarakat
(Monib & Bahrawi : 2011). Ada perbedaan perspektif dalam konsepsi tentang
HAM, yaitu universalisme dan partikularisme (relativism cultural), yang karena
perbedaan fundamental dalam konsepnya mengakibatkan perbedaan pemahaman
atas (1) karakter HAM (apakah internasional atau murni domestik), (2)
pentingnya individu sebagai lawan hak masyarakat, (3) penetuan waktu dan
penahapan implementasi HAM dan penegakannya (Latif, 2005). Pada satu sisi,
kaum universalis menegaskan bahwa HAM adalah hak semua orang. Pada sisi
lain, kaum partikularis (kultural relativis) memersepsi bahwa norma-norma HAM
tidak muncul dari ruang hampa melainkan dibentuk oleh seperangkat pengalaman
masyarakat tertentu. Karena setiap masyarakat memiliki kondisi sejarahnya
tersendiri, hanya aspek-aspek HAM tertentu yang dapat diterapkan pada
masyarakat tertentu dan akan berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat yang
lain. (Latif, 2005). Dalam kasus ini, konsep yang dilihat dari konsep
universalisme. Universalisme digunakan karena masing-masing individu yang
terlibat dalam kasus ini –anak dan ibu –sama-sama dilihat haknya. Dalam konsep
universalisme, tiap orang memiliki HAM tanpa memandang status.
Jika melihat implementasi HAM di Indonesia (Siregar, 2012) antara lain:
1. HAM di Indonesia dibatasi oleh Aturan Perundangan-undangan. Bangsa
Indonesia mempunyai jati diri yang khas Indonesia, karena itu HAM-nya
juga bersifat spesifik. HAM di Indonesia tetap dibatasi oleh Aturan
Perundang-undangan serta dikontrol oleh nilai agama dan budaya. Dalam
kasus ini, walaupun HAM dikaji dari masing-masing pihak yaitu ibu dan
anak, faktor lain seperti peraturan perundang-undangan, agama, norma,
budaya dan nilai memiliki pengaruh yang besar. Disini hak asasi lebih
ditekankan pada anak karena jika dikaitkan dengan peraturan perundangundangan, agama, norma, budaya dan nilai, si anak lebih mengalami

18

banyak kerugian sehingga ia kehilangan nyawa dan juga ibunya telah
melakukan pelanggaran hukum formal.
3. Universalitas versus relatifisme budaya. Pertentangan antara prinsip
universalitas dengan nilai relativisme budaya seringkali sulit dielakkan.
Dalam kasus pelanggaran HAM ini, masing-masing dapat dikaji dengan
kedua konsep yaitu universalisme dan relativisme budaya. Dalam
universalisme, setiap orang dianggap memiliki HAM sehingga mereka
dapat

memperjuangkan

haknya

masing-masing.

Jika dilihat

dari

relativisme budaya, di kota-kota besar ini masalah tekanan ekonomi telah
menjamur dimana-mana. Dalam masyarakat yang majemuk ini, kasus
pembunuhan terhadap anaknya karena tekanan ekonomi hanya dianggap
sebagai kasus pelanggaran ringan, bahkan dianggap biasa, sehingga
hukuman yang diberikan pun tidak berat. Padahal bila kasus ini terjadi di
kota yang menjunjung tinggi nilai bahwa pembunuhan adalah hal yang
paling kejam dan bisa dibalas dengan hukuman mati.

3.3 Solusi
1. Perlunya menegakkan aturan hukum yang dibuat untuk memberikan
perlindungan hak asasi anak, dan memberikan hukuman bagi siapa saja
yang melanggar. Karena setiap anak harus mendapatkan perlindungan
hukum dalam rangka menciptakan suasana yang memungkinkan anak
untuk dapat berkembang secara baik dan normal.
2. Menjaga kesejahteraan rakyat dengan cara mencegah kesengsaraan rakyat
sehingga rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasarnya seperti sandang,
pangan, papan, kesehatan dan pendidikan.
3. Perlu adanya control dan pengawasan dari masyarakat (sosial control)
terhadap upaya-upaya menegakkan hak asasi manusia yang dilakukan oleh
pemerintah.
4. Mensosialisasikan tentang pentingnya memahami dan melaksanakan
HAM, agar kehidupan bersama menjadi tertib dan sejahtera. Dengan cara
19

melaksanakan hak asasi yang dimiliki dengan penuh tanggung jawab dan
memahami bahwa selain memiliki hak asasi, setiap orang juga memiliki
kewajiban yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
3.4 Peranan Pekerja Sosial
 Peran sebagai perantara (broker)
Peran sebagai perantara yaitu

menghubungkan individu-individu,

kelompok-kelompok dan masyarakat dengan lembaga pemberi pelayanan
masyarakat. Dalam hal ini pekerja sosial dapat menghubungkan korban
pelanggaran HAM dengan lembaga pelayanan masyarakat sepert


KOMNAS HAM.
Pendidik (educator)
Dalam menjalankan peran sebagai pendidik, community worker
diharapkan mempunyai kemampuan menyampaikan informasi dengan
baik dan benar serta mudah diterima oleh individu-individu, kelompokkelompok dan masyarakat yang menjadi sasaran perubahan. Dalam hal ini
pekerja sosial dapat mensosialisasikan mengenai penanaman HAM kepada



masyarakat.
Perencana sosial (social planner)
Seorang perencana sosial mengumpulkan data mengenai masalah sosial
yang dihadapi individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat,
menganalisa dan menyajikan alternative tindakan yang rasional dalam
mengakses Sistem sumber yang ada untuk mengatasi masalah pemenuhan
kebutuhan individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat. Dalam
hal ini pekerja sosial dapat menganalisa dan memberikan solusi untuk
mengatasi sumber masalah.

20

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hak Asasi Manusia lahir tanggal 10 – 12 – 1948. ketika PBB
memproklamirkan Deklarasi Universal Hak – hak Asasi Manusia, yang
didalamnya memuat 30 pasal dan sacara eksplisit menerangkan bahwa Hak Asasi
Manusia adalah sesuatu yang melekat pada manusia sejak lahir yang tidak dapat
dihilangkan atau dikurangi oleh siapapun. Pemahaman akan pengertian tentang
HAM merupakan suatu landasan yang dapat memecahkan masalah-masalah di
bidang ekonomi, sosial dan budaya (Sarjana, 2004). Pengertian HAM menurut
UU No. 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 berisi 30 pasal memuat
macam-macam HAM sebagai berikut:





Hak atas kewarganegaraan (Pasal 15).
Hak untuk menikah dan membentuk keluarga (Pasal 16).
Hak atas kekayaan (Pasal 17).
Hak kebebasan berkeyakinan agama (Pasal 18).
21

 Hak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat (Pasal






19).
Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat (Pasal 20).
Hak ikut serta dalam pemerintahan (Pasal 21).
Hak atas jaminan sosial (Pasal 22 dan Pasal 25).
Hak atas bidang pekerjaan (Pasal 23 dan Pasal 24).
Hak atas bidang pendidikan (Pasal 26).

Di Indonesia Hak Asasi Manusia bersumber dan bermuara pada pancasila,
dimana hal ini berarti Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah
bangsa. Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik
Indonesia,yakni:




Undang – Undang Dasar 1945
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Masalah kesejahteraan sosial tidak bisa ditangani oleh sepihak dan tanpa

teroganisir secara jelas kondisi sosial yang dialami masyarakat. Kesejahteraan
sosial sebagai suatu keadaan dimana digambarkan secara ideal adalah suatu
tatanan (tata kehidupan) yang meliputi kehidupan material maupun spiritual,
dengan tidak menempatkan satu aspek lebih penting dari lainnya, tetapi lebih
mencoba melihat pada upaya mendapatkan titik keseimbangan. HAM adalah alat
untuk melindungi orang dari kekerasan dan kesewenang-wenangan. Secara
konseptual HAM dan kesejahteraan sosial sama-sama sebagai tool dalam melihat
titik keseimbangan dan upaya memanusiakan manusia dan tolak ukur dalam
memotret seberapa jauh seorang manusia dapat hidup dengan selayaknya atau
tidak. Keduanya merupakan cita-cita yang luhur.
Salah satu deklarasi yang berisi HAM yaitu Deklarasi Wina mencapai
kesepakatan bahwa nilai-nilai HAM yang telah dideklarasikan saling bergantung
dan berhubungan. Implementasi tergantung kondisi dan prasyarat budaya, serta
perbedaan sejarah dan agama masing-masing masyarakat (Monib & Bahrawi :
2011). Implementasi HAM di Indonesia (Siregar, 2012) yaitu (1) HAM di
Indonesia dibatasi oleh Aturan Perundangan-undangan, dan (2) Universalitas
versus relatifisme budaya.
22

Kasus yang diangkat dalam makalah ini yaitu kasus tentang pembunuhan
terhadap anak sendiri. Dalam kasus tersebut diceritakan bahwa seorang ibu yang
sedang memiliki masalah ekonomi tega membunuh anaknya sendiri karena tidak
tahan dengan tangisan si anak yang menurut ibunya menambah beban pikiran si
ibu. Jika ditinjau dari konsep teori mengenai Hak Asasi Manusia, ibu tersebut
telah melanggar Hak Asasi Manusia karena telah mengambil hak hidup si anak
dengan membunuhnya. Hak yang diambil diantaranya hak untuk hidup. Kasus
pembunuhan anak tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM berat karena
anak tersebut telah kehilangan hidupnya. Anak tersebut tidak dihargai
eksistensinya di dunia. Hal ini juga terkait dengan UUD 1945 Pasal 28A tentang
HAM yang berbunyi “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”.

4.2 Saran
Untuk jalannya penerapan HAM kedepan, dapat dilakukan beberapa hal seperti
berikut :
1. Harus ada penegakkan hukum dan pemeberian sanksi yang tegas kepada
pelanggar HAM.
2. Pemenuhan kebutuhan dasar agar dapat mewujudkan kesejahteraan sosial.
3. Adanya pengawasan dan monitoring yang dilakukan, tidak hanya oleh
lembaga HAM tertentu, tapi juga masyarakat terhadap pelaksanaan dan
implementasi HAM untuk mengurangi adanya pelanggaran HAM.
4. Masing-masing individu harus sadar bahwa setiap HAM harus memiliki
hak dan kewajiban, sehingga setiap individu harus bertanggung terhadap
pelaksanaan dan implementasi HAM.

23

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :
Adi, Isbandi Rukminto. (2005). Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan
Sosial, Pengantar pada Pengertian dan beberapa Pokok Bahasan. Jakarta: FISIP
UI Press.
Ilmu, G. (2012, Mei 21). Gudang Ilmu: PERKEMBANGAN PEMIKIRAN
HAM. Retrieved November 30, 2013.
Latif, Yudi. 2005. Negara Paripurna : Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Moni, Mohammad; Bahrawi, Islah. 2011. Islam dan Hak Asasi Manusia dalam
Pandangan Nurcholis Madjid. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Rosman Siregar. 2012. Sejarah, Konsep dan Instrumen HAM Internasional
serta Implementasinya dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan
Bernegara. Sulawesi Utara : Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kanwil
Kementerian Hukum dan HAM Sulawesi Utara.
Saraswati. Hak Asasi Manusia. 2006. Jakarta: UI Press – FIB.
Sarjana, D. (2004). Kewarganegaraan. Surakarta: Mefi Caraka.
Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian
Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Bandung: Rafika Aditama

Sumber Website :
24

http://equitas.org/wp-content/uploads/2011/12/modul-2-hal-1-38.pdf diunduh
pada 24 November 2013 pukul 19.45
http://kepustakaanpresiden.pnri.go.id/uploaded_files/pdf/government_regulati
on/normal/UU_4_1979.pdf diunduh tanggal 23 November 2013 pukul 18.00
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/02/dasar-pelanggaran-hak-asasimanusiadan-solusi-dalam-penanggulangannya/ diunduh tanggal 23 November
2013 pukul 21.16
http://wawachayoo.blogspot.com/2012/07/pengertian-fungsi-dan-peranpekerja.html diunduh tanggal 23 November 2013 pukul 20.53
http://www.tempo.co/read/news/2010/01/17/064219571/Ibu-Bunuh-AnakDiduga-karena-Tekanan-Ekonomi diunduh tanggal 23 November 2013 pukul
20.07

Sumber Undang-Undang :
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948
Undang-Undang Nomor 6 tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial
Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang no. 4 tahun 1979

25

Lampiran Kasus :
MINGGU, 17 JANUARI 2010 | 12:09 WIB
Ibu Bunuh Anak Diduga karena Tekanan Ekonomi
TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi Nasional Perlindungan Anak menduga
perbuatan Manda, 25 tahun, ibu yang membunuh anak kandungnya
dipengaruhi oleh faktor tekanan ekonomi.
"Tampaknya faktor kemiskinan berpengaruh, daerah Sawah Besar memang salah
satu kantong kemiskinan di DKI," ujar Sekretaris Jenderal Komnas Anak, Arist
Merdeka Sirait saat dihubungi Tempo, Ahad (17/1). Jumat malam lalu Manda,
warga Sawah Besar, Jakarta Pusat, tega membekap anak kandungnya sendiri
hingga tewas. Pada polisi pelaku mengaku melakukan hal tersebut karena kesal
pada anaknya yang rewel. Ia lalu membekap anaknya yang sedang dalam kondisi
telentang, dengan bantal dan menekannya. Manda, yang mengetahui anaknya
lemas, kemudian membangunkan anaknya dengan menepuk-nepuk pipinya.
Namun sia-sia, Anisa telah tewas. Saat ini Manda telah menjadi tahanan di Polres
Jakarta Pusat. Polisi masih menyelidiki motif sebenarnya dari perbuatan tersebut.
Menurut Arist, anak-anak sangat rentan menjadi obyek kekerasan orang tua
maupun orang dewasa yang dekat dengan mereka. Berdasarkan data kasus yang
masuk ke Komnas Anak, sepanjang 2009 terdapat 1.998 kasus kekerasan terhadap
anak yang dilakukan oleh orang tua maupun orang dekat anak tersebut.
"Baik oleh ayah maupun ibu kandung, ayah atau ibu angkat, kakek atau nenek,
saudara, atau keluarga dekat anak tersebut," kata Arist. Dari kasus kekerasan
tersebut 18 diantaranya mengakibatkan kematian. Sedangkan pemicu terjadinya
kekerasan sebagian besar adalah faktor tekanan ekonomi. Tekanan ekonomi yang
menyebabkan orang tua tidak lagi menganggap perilaku anak yang rewel, nangis,
atau banyak menuntut sebagai sebuah perbuatan yang wajar.
26

Meskipun tekanan ekonomi diduga menjadi salah satu penyebabnya, pembunuhan
tersebut tetap tidak bisa dibenarkan. "Apapun motifnya, ini tetap tindak kriminal
pembunuhan, pelaku dan orang yang terkait bertanggung jawab atas peristiwa
tersebut harus mendapat hukuman, kalau keberatan memelihara anak kan bisa
dititipkan ke panti, biar dipelihara negara," kata Arist.

Sumber : http://www.tempo.co/read/news/2010/01/17/064219571/Ibu-BunuhAnak-Diduga-karena-Tekanan-Ekonomi diunduh tanggal 23 November 2013
pukul 20.07

27