Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Dari Limbah Kulit Pisang Uli (Musa paradisiaca L. AAB)

(1)

Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Dari Limbah Kulit Pisang Uli

(Musa paradisiaca

L. AAB)

SKRIPSI

Syukron Maulana

NIM: 108102000068

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015


(2)

Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Dari Limbah Kulit Pisang Uli

(Musa paradisiaca

L. AAB)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi syarat gelar Sarjana Farmasi (S.Far)

Syukron Maulana

NIM: 108102000068

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015


(3)

(4)

(5)

(6)

v (Musa paradisiaca L. AAB)

Indonesia merupakan negara penghasil pisang terbesar se Asia. Salah satu jenis pisang yang menjadi makanan favorit diantaranya ialah pisang uli, dan merupakan salah satu jenis pisang yang banyak dikonsumsi masyarakat indonesia. pemanfaatannya sebagai bahan makanan olahan maupun langsung menghasilkan limbah kulit pisang yang melimpah. Kulit pisang selain digunakan untuk pakan ternak, dapat juga diambil kandungan pektin yang ada di dalamnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pektin yang dihasilkan dari limbah kulit pisang uli.Proses ekstraksi dilakukan menggunakan HCl untuk kemudian dilakukan perendaman menggunakan etanol 96%. Adapun variable waktu ekstraksi yang digunakan adalah 70 dan 80 menit. Parameter yang dianalisa adalah bobot pektin, kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat dan derajat esterifikasi.Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil yang paling optimum didapat dari variabel waktu ekstraksi 80 menit dengan rincian; bobot pektin 2,45 gram; kadar air 9,58%; kadar abu 0,38%; berat ekivalen 3.642,191; kadar metoksil 3,20%; kadar galakturonat 72,95% serta derajat esterifikasi 24, 96%


(7)

vi peel (Musa paradisiaca L. AAB)

Indonesia is the largest banana producer in Asia. One type of banana which favorite food is Uli, and one of many types of bananas ore consumed by indonesia people. It’s used as a food ingredient or directly processed. It’s usage could produce abundant waste banana peel. Banana peel just used for animal feed, may also be taken pectin content in it. This study aims to determinate the characteristic of pectin produced from Uli banana peel .The extraction process is done using HCl for later immersion using 96% ethanol. As for variable extraction time used was 70 and 80 minutes. The parameters analyzed were weight pectin, moisture content, ash content, equivalent weight, methoxyl content, galakturonat levels and the degree of esterification.The result showed that the most optimum result obtained from the variable extraction time of 80 minutes with the details; weight of 2,45 grams pectin; 9,58% moisture content; 0,38% of ash content; equivalent weight of 3.642,191; 3,20% metoksil level; 72,95% galakturonat levels and 24, 96% the degree of esterification


(8)

vii

kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa cahaya petunjuk dan menjadi suri tauladan bagi umat manusia, semoga kelak kita semua mendapat syafaat beliau.Amin ya robbal’alamin

Skripsi dengan judul “Ekstraksi dan karakterisasi pektin dari kulit pisang uli (Musa paradisiaca L. AAB)” ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir untuk memperoleh gelar sarjana farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari begitu banyak bantuan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya, mendidik serta membimbing sejak masa perkuliahan sampai pada proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Arif Sumantri, S.KM., M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Yardi, Ph.D, Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bapak Supandi M.Si, Apt. selaku Dosen Pembimbing Pertama yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran dalam menuntun penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Lina Elfita M.Si, Apt. selaku Dosen Pembimbing Kedua yang telah sabar dalam memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap Dosen Farmasi UIN yang telah memberikan ilmu, pengalaman serta wawasannya kepada penulis selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kak Lisna, kak Tiwi dan kak Eris selaku Laboran yang telah banyak membantu penulis selama penelitian di laboratorium.


(9)

viii

8. Orangtua, kakak, adik dan keluarga besar yang selalu memberi dukungan, semangat dan doa kepada penulis.

9. Rekan seperjuangan Teguh Priyanto, Muhamad Luqmanul Hakim, Adam Dzulfaqih Amry yang telah bersama dalam suka dan duka mengejar kelulusan. Sahabat-sahabat Jidin Abdullah, Muhammad Farhan, Ahmad Ziaul Fitrahuddin, Ludi Mauliana, Ali Aridhi, Muhamad Khairul Anwar dll, yang telah memberikan dukungan dan dorongan sehingga saya bersemangat dan bisa menyelesaikan tugas akhir ini.

10. Teman-teman seangkatan Farmasi 2008 yang telah menempuh pendidikan bersama selama empat tahun, Semoga semangat dan kesuksesan bersama-sama dengan kita semua.

11. Semua pihak yang tak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran pembuatan skripsi, Saya ucapkan terimakasih.

Saya menyadari bahwa dalam makalah skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga dapat menyempurnakan skripsi ini dan melaksanakan perbaikan di masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Ciputat, 13 Juli 2015


(10)

(11)

x

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

ABSTRAK ...v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... ix

DAFTAR ISI ...x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ...xv

BAB 1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah ...2

1.3 Tujuan Penelitian ...3

1.4 Manfaat Penelitian ...3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...4

2.1 Pisang ...4

2.1.1 Deskripsi Tanaman Pisang ...4

2.1.2 Klasifikasi Pisang Uli ...8

2.1.3 Karakteristik Pisang Uli ...8

2.1.4 Kandungan Kimia Kulit Pisang...9

2.1.5 Kegunaan Kulit Pisang ...10

2.2 Pektin ...11

2.2.1 Senyawa Pektin ...11

2.2.2 Struktur Kimia Pektin ...12

2.2.3 Sifat Pektin ...13

2.2.4 Sumber Pektin ...14

2.2.5 Kegunaan Pektin ...15

2.2.6 Ekstraksi Pektin...16

2.3 Karekterisasi Pektin ...17

2.3.1 Kadar air...18

2.3.2 Kadar Abu ...18

2.3.3 Berat Ekivalen ...19

2.3.4 Kadar Metoksil...19

2.3.5 Kadar Galakturonat ...19

2.3.6 Derajat Esterifikasi...20


(12)

xi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...24

3.1 waktu dan Tempat Penelitian...24

3.2 Bahan uji ...24

3.3.1 Penyediaan Bahan Uji ...24

3.3.2 Determinasi Bahan Uji...24

3.4 Alat dan Bahan...24

3.4.1 Alat...24

3.4.2 Bahan ...24

3.5 Prosedur Kerja ...25

a. Persiapan Bahan ...25

b. Ekstraksi Pektin... 25

c. Pengendapan Pektin ... 25

d. Pencucian Pektin Masam ...26

e. Pengeringan ...26

3.6 Analisa Kadar ...26

3.6.1 Penimbangan bobot pektin ...26

3.6.2 Penentuan Kadar Air ...26

3.6.3 Penetuan Kadar Abu ...26

3.6.4 Penentuan Berat Ekivalen...27

3.6.5 Analisa Kadar Metoksil...27

3.6.7 Analisa Kadar Galakturonat ...28

3.6.8 Penentuan Derajat Esterifikasi ...28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... ...29

4.1 Bahan Baku...29

4.1.1 Penentuan Bahan Baku... 29

4.1.2 Determinasi Tanaman Bahan Baku ...29

4.1.3 Persiapan Bahan Baku ...30

4.2 Produksi Pektin ...31

4.3 Identifikasi Kualitatif Pektin...34

4.4 Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi ...35

4.4.1 Bobot Pektin...36

4.4.2 Kadar Air...37

4.4.3 Kadar Abu ...38

4.4.4 Berat Ekivalen ...39

4.4.5 Kadar Metoksil ...41

4.4.6 Kadar Galakturonat ...42


(13)

xii

DAFTAR PUSTAKA ...46 LAMPIRAN ...52


(14)

xiii

Tabel 2.1. Berbagai Jenis Pisang Berdasarkan Genom...4

Tabel 2.2. Kandungan Buah Pisang ...5

Tabel 2.3. Kandungan Asam Amino Kulit Pisang...9

Tabel 2.4. Komposisi Pektin pada Berbagai Sayuran dan Buah... 15

Tabel 2.5. Standar Mutu Pektin ...17

Tabel 2.6. Spesifikasi Pektin Berdsarkan Farmakope V...18

Tabel 4.1. Komposisi Nutrien Kulit Pisang ...30

Tabel 4.2. Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi ...34


(15)

xiv

Gambar 2.2. Stuktur Pektin (Faridaet al.,2012) ...13

Gambar 4.1 Diagram Bobot Pektin...36

Gambar 4.2 Diagram Kadar Air Pektin ...37

Gambar 4.3 Diagram Kadar Abu Pektin ...38

Gambar 4.4 Diagram Berat Ekivalen Pektin ...39

Gambar 4.5 Diagram Kadar Metoksil Pektin ...41

Gambar 4.6 Diagram Kadar Galakturonat Pektin ...42


(16)

xv

Lampiran 2. Alur Kerja Penelitian ... 53

Lampiran 3. Dokumentasi Proses Ekstraksi Pektin ... 54

Lampiran 4. Gambar Alat yang Digunakan ... 55

Lampiran 5. Perhitungan Pembakuan Larutan Titran NaOH ... 56

Lampiran 6. Contoh Perhitungan Kadar Air Pektin . . . 5 7 Lampiran 8. Contoh Perhitungan Kadar Abu Pektin ... 58

Lampiran 9. Contoh Perhitungan Berat Ekivalen... 59

Lampiran 10. Contoh Perhitungan Kadar Metoksil ... 60

Lampiran 11. Contoh Perhitungan mEq NaOH ... 61

Lampiran 12. Contoh Perhitungan Kadar Galakturonat ... 62

Lampiran 13. Contoh Perhitungan Derajat Esterifikasi ... 63

Lampiran 14. Bobot Pektin Hasil Ekstraksi ... 64

Lampiran 15. Kadar Air Pektin...65

Lampiran 16. Kadar Abu Pektin ... 66

Lampiran 17. Penentuan Berat Ekivalen Pektin ... 67

Lampiran 18. Penentuan Kadar Metoksil Pektin ... 68


(17)

1

1. 1 Latar Belakang Masalah

Pisang (Musa sp) merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara dan memberikan kontribusi yang sangat penting pada industri buah di Asia khususnya di Asia Tenggara. Di Indonesia pisang merupakan buah yang sangat penting dan menduduki ranking pertama baik dalam luas, volume produksi (Subijanto, 1990) serta memiliki peluang ekspor yang terbuka lebar mengingat jenis pisang Indonesia cukup digemari dan tidak kalah penting dengan pisang luar negeri (Rukmana, 1989). Pada tahun 2010, produksi pisang di Indonesia mencapai 5,8 juta ton atau sekitar 30% dari produksi buah nasional (Kuntarsih, 2012).

Pemanfaatan buah pisang selain dikonsumsi langsung sebagai buah, juga dapat dimanfaatkan sebagai keripik pisang, selai kripik, pembuatan tepung dan dibuat berbagai olahan bahan makanan yang lezat seperti pisang goreng, kue pisang, agar-agar pisang dan lain sebagainya, dan salah satu dari pisang tersebut ialah Pisang Uli.

Pisang Uli merupakan salah satu jenis pisang raja yang sangat cocok diolah menjadi berbagai sajian menu karena mampu mempertahankan rasa manis ketika telah diolah menjadi berbagai macam sajian. Para penjual pisang goreng pun mayoritas menggunakan piang jenis ini dikarenakan harganya yang terjangkau, mudah didapat serta banyak disukai oleh masyarakat karena rasanya yang enak.

Dari pengolahan pisang goreng tersebut dapat menghasilkan limbah berupa kulit pisang yang umumnya hanya dibuang begitu saja (Retno dan Eddy, 2008), sedangkan bobot kulit pisang itu sendiri dapat mencapai 40% dari buahnya (Tchobanoglous, 2003), sehingga akan lebih baik bila dilakukan perlakuan terhadap limbah kulit pisang tersebut sehingga dapat menjadi suatu bahan yang memiliki kualitas komersial


(18)

Penanganan limbah kulit pisang secara profesional hingga saat ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga perlu dicarikan jalan keluarnya. Limbah kulit pisang memiliki prospek yang amat baik sebagai sumber bahan baku pembuatan pektin jika diolah dengan menggunakan teknologi yang relatif sederhana.

Pektin sendiri merupakan bahan pangan fungsional bernilai tinggi yang berguna secara luas dalam pembentukan gel dan bahan-bahan penstabil pada sari buah, bahan pembuat jeli, selai dan marmalade (Willat, 2006). Pektin secara komersial umumnya diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan larutan asam dari bagian albedo kulit jeruk atau ampas apel dengan cara pemurnian dan isolasi yang berbeda-beda (Herbstreith and Fox, 2005).

Hingga tahun 2011, seluruh pektin yang digunakan pada industri-industri Indonesia merupakan barang impor. Jumlah impor pektin cukup besar, yaitu lebih besar dari 100 ton pertahun dan harganya sangatlah mahal, membuat biaya impor pektin berdampak terhadap pengurangan devisa negara yang besar pula (Sofia, 2012).

Dalam usaha mengurangi impor pektin, dikaji beberapa kemungkinan untuk mencari sumber bahan baku pektin yang diduga memiliki potensi untuk dikembangkan, dan salah satunya menggunakan limbah kulit Pisang Uli, mengingat kulit Pisang Uli belum pernah diteliti mengenai kandungan pektin di dalamnya

1.2 Rumusan Masalah

Ditinjau dari latar belakang masalah diatas, maka dapat ditentukan rumusan masalah berupa:

1. Apakah kulit Pisang Uli dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pektin dengan cara ekstraksi menggunakan HCl

2. Bagaimanakah karakteristik pektin yang dihasilkan dan apakah kualitas pektin tersebut sesuai dalam mutu yang telah ditetapkan


(19)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data karakteristik pektin yang dihasilkan dari ekstraksi limbah kulit Pisang Uli menggunakan asam klorida dengan variasi waktu ekstraksi

1.4 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai karakteristik pektin yang dihasilkan dari ekstraksi kulit Pisang Uli dengan berbagai variasi waktu pada saat ekstraksi, serta dapat menjadi bahan baku baru dalam pembuatan pektin kedepan.


(20)

4

2.1. Pisang

2.1.1. Deskripsi Tanaman Pisang

Tanaman pisang tergolong famili Musaceae yang termasuk kedalam genus Musa dengan 2 spesies liar yaitu Musa acuminata Colla dan Musa Balbisiana Colla (Simmonds, 1996). Persilangan keduanya menghasilkan keturunan yang memiliki tingkat ploidi yang beragam. Pisang budidaya yang diturunkan secara murni dari spesies Musa acuminata diberi simbol AA, yang triploid diberi simbol AAA dan tetraploid AAAA. Adapun hasil persilangan

Musa acuminata dan balbisiana yang triploid diberi simbol AAB atau ABB. Pisang Musa acuminata (AA) enak dimakan, sedangkan pisang Musa balbisiana (BB) tidak enak dimakan dan selalu berbiji (Simmonds & Shepherd, 1995)

Tabel 2.1. Berbagai Jenis Pisang Berdasarkan Genom (Valmayor et,al, 1991)

Spesies, Genom Nama Lokal

Musa acuminata Diploid AA (pisang meja) Pisang Mas Pisang Pinang Pisang Masam Pisang Jari Buaya Pisang Kole Piang Lampung Pisang Lidi Pisang Lilin Diploid AA

(pisang meja dan olahan )

Pisang Kapas Dipolid /Triploid

AA/AAA (pisang meja)

Pisang Berangan Kuning Pisang Berangan Merah Triploid

AAA

(pisang meja)

Pisang Badak Pisang Ambon


(21)

(cavendish )

(non cavendish) Pisang Ambon Kuning Pisang Susu

Musa x paradisiaca

Triploid AAB (pisang meja)

Pisang Raja Sereh Pisang Raja (dimasak) (plantain) Pisang Tanduk Pisang Nangka Pisang Gading (non plantain) Pisang Uli

Musa x paradisiaca

Triploid ABB

(pisang meja dan olahan)

Pisang Siem

(olahan) Pisang Kosta

Musa balbisiana

Triploid BBB (olahan)

Pisang Kepok

Pisang Kepok Kuning Pisang Kepok Putih

Manfaat buah pisang bagi kesehatan cukup potensial, karena pisang termasuk ke dalam buah yang mengandung gizi lengkap. Menurut ilmuan dari Universitas John Hopkins di Amerika Serikat bahwasannya potasium yang terkandung dalam buah pisang sangat membantu dalam proses pemindahan garam dalam tubuh, sehingga dapat cepat menurunkan tekanan dalam darah (Mulyati, 2005)

Berikut data kandungan pisang berdasarkan genotipnya Tabel 2.2. Kandungan Buah Pisang (Florent, et.al.,2015)

Kandungan Pisang Genotip

AAA AAB ABB

Kandungan proksimat (% berat kering)

Kadar air 92,29 93,73 92,88

Kadar abu 12,25 9,88 15,69

Total Karbohidrat 22,36 62,19 45,73

Protein 10,35 8,89 10,06

Lemak 4,95 8,81 15,69


(22)

Komposisi makromineral (mg/100g)

Kalsium 687 570 482

Magnesium 273 211,3 232

Posfor 211 217 296,6

Kalium 6480 5246,6 5016,6

Natrium 4,7 6,4 5,1

Komposisi mikromineral (mg/100g)

Fe 158,13 166,16 151,26

Cu 5,43 3,07 3,07

Zn 22,53 17,20 22,52

Mn 46,60 37,30 32,46

Pisang dapat tumbuh di daerah tropis baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan ketinggian tidak lebih dari 1.600 m di atas permukaan laut. Suhu optimum untuk pertumbuhan tanaman pisang adalah 27 , dan suhu maksimumnya 38 , dan dengan keasaman tanah (pH) sekitar 4,5-7,5. Curah hujan 2000-2500 mm/tahun atau paling tidak 100 mm/bulan. Apabila suatu daerah mempunyai bulan kering berturut-turut melebihi 3 bulan maka tanaman pisang memerlukan tambahan pengairan agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2008).

Pohon pisang menyerupai tanaman herbal Perennial (tetap hijau) dengan tinggi pohon 2-9 m (Verheij & Coronel, 1992). Tanaman pisang berbatang sejati. Batang sejati tanaman pisang tersebut berupa umbi batang yang berada di dalam tanah. Batang tanaman pisang bersifat keras dan memiliki titik tumbuh (mata tunas) yang akan menghasilkan daun dan bunga pisang. Sementara bagian yang berdiri tegak menyerupai batang adalah batang semu yang terdiri atas pelepah-pelepah daun panjang (kelopak daun) yang saling membungkus dan menutupi, dengan kelopak daun yang lebih muda berada pada bagian dalam. Dengan demikian, kedudukannya kuat dan


(23)

kompak, tampak seperti batang. Batang semu tanaman pisang bersifat lunak dan banyak mengandung air (Cahyono, 2009)

Akar pohon pisang tumbuh pada umbi batang, berupa akar serabut dan tidak memiliki akar tunggang (Cahyono, 2009). Akar pisang tumbuh menyebar 4-5 m ke arah lateral (menyamping) dan 75-150 cm ke arah pusat bumi tergantung kepada varietasnya (Verheij & Coronel, 1992).

Tunas pisang berbentuk silinder pseudostem dengan pelepah daun yang bertumpuk dan melingkari satu dengan lainnya sehingga menghasilkan gulungan yang keras berdiameter 20-50 cm. Daun yang baru tumbuh mulai dari bagian tengah kumpulan dahan terus menjalar ke atas melewati bagian tengah dari pseudostem dengan helaian daun yang melingkar tebal (Verheij & Coronel, 1992).

Daun pisang yang telah membuka berbentuk seperti bujur mata pisau dengan panjang sekitar 150-400 cm dan lebar 70-100 cm dengan daun yang menempel pada dahannya berbentuk rapih dan urat-uratnya tersusun sejajar (Verheij & Coronel, 1992). Daun pisang memiliki lapisan lilin pada permukaan bagian bawahnya serta tidak memiliki tulang daun pada bagian pinggirnya sehingga daun pisang mudah sekali robek bila terhempas angin (Cahyono, 2009)

Bunga tanaman pisang berbentuk bulat lonjong dengan bagian ujung runcing. Bunga tanaman pisang yang baru muncul, biasa disebut jantung pisang. Bunga tanaman pisang terdiri atas tangkai bunga, daun penumpu bunga atau pelindung bunga (seludang bunga) dan mahkota bunga. Seludang bunga berwarna merah tua, tersusun secara spiral, berlapis lilin dengan ukuran panjang 10-25 cm. Seludang bunga akan rontok setelah bunga mekar. Mahkota bunga berwarna putih dan tersusun melintang sebanyak dua baris. Bunga tanaman pisang berkelamin satu dengan benang sari berjumlah lima buah. Bakal buah berbentuk persegi (Cahyono, 2009)


(24)

2.1.2. Klasifikasi Pisang Uli (Verheij, 1992) Kingdom :Plantae

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Zingiberales Famili :Musaceae Genus : Musa

Spesies : Musa x pradisiaca L. AAB

2.1.3. Karakteristik Pisang Uli

Karakteristik morfologi Pisang Uli diantaranya adalah tinggi pohon mencapai 2 – 2,5 m dengan warna hijau pucat atau kemerah-merahan, panjang daun sekitar 180-200 cm berwarna hijau dengan tangkai daun kadang berwarna merah muda, panjang tandan buah mencapai 1,5-1,7 m, merunduk dan berbulu halus; jantung berbentuk bulat telur, kelopak luar berwarna ungu dan sebelah dalam berwarna merah (Rukmana, 1999).

Pisang Uli dikenal sebagai pisang olahan. Warna kulit buah kuning cerah serta daging buahnya berwarna putih, buahnya manis dan agak kesat serta beraroma harum. Setiap tandan terdiri atas 5-8 sisir buah dengan berat setiap sisir kurang lebih 1,6 kg. Berat tiap buah 120 g, panjang buah 18 cm, dan lingkar buah 13 cm (Kuntarsih, 2012)


(25)

Gambar 2.1. Pisang Uli (Kuntarsih, 2012)

2.1.4. Kandungan Kimia Kulit Pisang

Pada umumnya semua jenis kulit pisang mengandung air, karbohidrat, lemak, protein, kalsium, fosfor, besi, vitamin B dan vitamin C (Munajim, 1984). Selain itu, kulit pisang juga mengandung senyawa bioaktif seperti flavonoid, katekolamin dan dopamin yang berfungsi sebagai antioksidan (Kanazawa, K. & Sakakibara H., 2000). Kulit pisang merupakan sumber mineral yang bagus, khususnya potasium (Anhwage, 2008) dan memiliki kandungan serat sekitar 30% (Happi Emaga et al.,2011). Secara rinci kulit pisang didalamnya terdapat kandungan protein sebesar 10,09%; 18,01% serat kasar; 5,17% lemak; 55, 59% bahan kering; kalsium 0,36%,; fosfor 0,10% dan energi sebesar 3727 kkal/kg (Adlin, 2008) serta mengandung gula berupa glukosa 14,6% dan sukrosa 56% (Goewert & Nicholas, 1980).

Selain kandungan diatas, kulit pisang pun memiliki kandungan asam amino, diantaranya seperti yang tertera pada tabel berikut

Tabel 2.3. Kandungan Asam Amino Kulit Pisang Asam amino * Tipe kulit pisang

Mentah Setengah matang Matang Asam aspartat (%) 0,299 0,409 0,331 Threonin (%) 0,140 0,189 0,153 Serin (%) 0,156 0,211 0,169


(26)

Asam glutamat (%) 0,382 0,539 0,454 Prolin (%) 0,129 0,173 0,171 Glisin (%) 0,196 0,273 0,228 Alanin (%) 0,250 0,285 0,255 Sistein (%) 0,059 0,080 0,061 Valin (%) 0,193 0,260 0,223 Metionin (%) 0,051 0,063 0,060 Isoleusin (%) 0,122 0,155 0,127 Leusin (%) 0,225 0,297 0,242 Fenilalanin (%) 0,061 0,080 0,064 Lisin (%) 0,225 0,297 0,242 Arginin (%) 0,078 0,102 0,084

*Dianalisa oleh Ajinomoto Co., (thailand) Ltd (dalam: the nutritive value of banana peel in growing pig)

2.1.5. Kegunaan Kulit Pisang

Kulit pisang memiliki beberapa manfaat, diantaranya dapat dijadikan makanan ternak dan sebagai bahan pakan pelengkap alternatif ketika terjadi krisis pangan. Kulit pisang memiliki kandungan kelembapan yang tinggi, yaitu sekitar 15% DM (FAO, 2012) sehingga tetap menjaga cairan tubuh hewan. Menurut Tan Pei Tee dan Halijah Hasan (2011) dalam penelitiannya yang mengenai aktivitas mirip antidepresan dari ekstrak kulit pisang terhadap mencit didapatkan hasil bahwa ekstrak kulit pisang kuning dan hijau yang diberikan secara oral dengan dosis 200 dan 400 mg/ dapat berperan sebagai antidepresan dengan dilakukan test FST dan TST. Kulit pisang juga memiliki kemampuan sebagai adsorben yang mampu menyerap arsenik (Saima et.al.,2008), Cu(II) dan Pb(II) (Renata et.al.,2011) yang terkandung dalam air tanah yang tercemar.


(27)

2.2. Pektin

2.2.1. Senyawa Pektin

Kata pektin berasal dari bahasa latin “pectos” yang berarti pengental atau yang membuat sesuatu menjadik keras/padat. Pektin ditemukan oleh Vauquelin dalam jus buah sekitar 200 tahun yang lalu. Pada tahun 1790, pektin belum diberi nama. Nama pektin pertama kali digunakan pada tahun 1824, yaitu ketika Braconnot melanjutkan penelitian yang dirintis oleh Vauquelin. Braconnot menyebut substansi pembentuk gel tersebut sebagai asam pektat (Herbstreith and Fox, 2005)

Pektin adalah polisakarida kompleks bersifat asam yang terdapat dalam jumlah yang bervariasi, terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman, umumnya terdapat di dalam dinding sel primer dan khususnya di sela-sela antar selulosa dan hemiselulosa. Pada dasarnya semua tanaman yang berfotosintesis tanpa terkecuali mengandung pektin namun dalam jumlah yang berbeda bergantung kepada jenis tanaman dan tingkat kematangannya (McCready, 1965). Pektin dalam sel tumbuhan berperan dalam pertumbuhan, perkembangan, morfogenesis, pertahanan, adhesi sel, pembentuk struktur dinding sel, agen pengenal, pengembang sel, dinding penyerap, perkembangan tabung serbuk sari, pengikat ion, dan perkembangan buah (O’Neill et al.,1990. Willats et al.,2001). Pektin juga berperan dalam memberikan kekuatan dan kelenturan pada jaringan tumbuhan ketika berinteraksi dengan komponen dinding sel yang lain (Carpita and Gibeaut, 1993). Fungsi lain dari Pektin ialah berfungsi sebagai bahan perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lainnya (Hasbullah, 2001). Pada dinding sel tanaman, pektin berikatan dengan ion kalsium sehingga memiliki fungsi untuk memperkuat dinding sel (Wang, et. al, 2002)

Pada umumnya senyawa-senyawa pektin dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok senyawa, yaitu asam pektat, asam pektinat (pektin), dan protopektin. Pada asam pektat, gugus karboksil asam galakturonat dalam ikatan polimernya tidak teresterkan. Asam pektat dapat membentuk garam


(28)

seperti halnya asam-asam lain dan terdapat dalam jaringan tanaman sebagai kalsium atau magnesium pektat. Asam pektinat yang disebut juga dengan pektin, dalam molekulnya terdapat ester metil pada beberapa gugus karboksil sepanjang rantai polimer dari galakturonat. Bila pektinat mengandung metil ester yang cukup, yaitu sekitar 50% dari seluruh karboksil, maka disebut dengan pektin. Pektin juga dapat membentuk garam yang disebut dengan garam pektinat, dan dalam bentuk garam inilah pektin tersebut berfungsi dalam pembuatan jeli dengan gula dan asam (Winarno, 2004).

Protopektin merupakan istilah untuk senyawa-senyawa pektin yang tidak larut, yang banyak terdapat pada jaringan tanaman yang muda. Bila jaringan-jaringan tanaman ini dipanaskan dalam air yang juga mengandung asam, protopektin dapat berubah menjadi pektin yang mudah terdispersi dalam air (Winarno, 2004).

Asam pektat tersusun dari beberapa elemen struktural, dan yang paling penting diantaranya ialah Homogalakturonan (HG) dan Rhamnogalakturonat tipe I (RG-I) yang sering digambarkan dengan bagian yang halus dan berambut secara berturut-turut. Wilayah HG berisikan ikatan 1 4 dari residu -D-GalA yang dapat termetilasi secara parsial pada gugus C-6 (Pilnik dan Voragen, 1970) dan mungkin sebagian asetil terasterifikasi pada gugus O2 dan O3 (Rombouts dan Thibault, 1986).

Derajat metilasi (DM) dan derajat asetilasi (DAc) didefinisikan sebagai jumlah mol dari metanol atau asam asetat per 100 mol GalA. Derajat metilasi dari pektin alam biasanya berkisar antara 70-80, sedangkan derajat asetilasi biasanya lebih rendah yaitu sekitar 35 untuk gula bit (Rombouts dan Thibault, 1986).

2.2.2. Struktur Kimia Pektin

Pektin merupakan polimer dari asam D-galakturonat yang dihubungkan oleh ikatan -1,4 glikosidik. Asam D-galakturonat memiliki struktur yang sama seperti struktur D-galaktosa, perbedaannya terletak pada gugus alkohol


(29)

primer C6 yang memiliki gugus karboksilat (Hart.,et al, 2003) seperti yang

terlihat pada gambar

Gambar 2.2. Stuktur pektin (Farida et al.,2012)

Asam galakturonat memiliki gugus karboksil yang dapat saling berikatan dengan ion atau sehingga berkas-berkas polimer berlekatan satu sama lain. Ini menyebabkan rasa lengket pada kulit (Anonim, 2010)

Pektin berisikan ratusan sampai ribuan unit sakarida yang berada dalam ikatan seperti konfigurasi, hal ini didasarkan kepada bobot molekul yang berkisar antara 50.000 sampai 150.000 dalton. Gula netral juga terdapat dalam untaian pektin ini. Rhamnosa merupakan komponen terkecil dalam untaian inti dan dapat menjadikan rantai untaian pektin yang kusut menjadi lurus, dan gula netral yang lain seperti arabinosa, galaktosa, xylosa juga terdapat pada sisi rantainya (Oakenful, 1991).

Molekul pektin tidaklah lurus, melainkan bergulung dengan ikatan hidrogennya lebih sedikit ketimbang ikatan hidrogen dalam polimer lurus seperti selulosa (Deman, 1989). Sterling (1963) menunjukan bahwa hal ini mungkin disebabkan oleh konformasi rantai, posisi polar gugus hidroksi C2 dan C3, tidak ada tarik menarik antara gugus hidroksil ini dengan gugus metil dan muatan yang ditimbulkan oleh gugus karboksil yang terdisosiasi.

2.2.3. Sifat Pektin

Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi V (2014) pektin berbentuk serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan, hampir tidak berbau dan mempunyai rasa musilago. Pektin hampir larut sempurna dalam 20 bagian air,


(30)

membentuk cairan kental, opalesen, larutan koloidal mudah dituang dan bersifat asam terhadap lakmus, praktis tidak larut dalam etanol atau pelarut lain.

Dalam SNI disebutkan bahwa pektin merupakan zat berbentuk serbuk kasar hingga halus yang berwana putih kekuningan, tidak berbau, dan memiliki rasa seperti lendir. Gliksman (1969) menyebutkan pektin kering yang telah dimurnikan berupa kristal yang berwarna putih dengan kelarutan yang berbeda-beda sesuai dengan kandungan metoksilnya. Pektin yang memiliki kadar metoksil tinggi dapat larut dalam air dingin, sedangkan pektin dengan kadar metoksil rendah larut dalam alkali dan asam oksalat. Pektin tidak dapat larut dalam aseton dan alkohol (Kirk dan Othmer, 1952)

Menurut Towle dan Christensen (1973) kelarutan pektin dalam air ditentukan oleh jumlah gugus metoksil, distribusinya, dan bobot molekulnya. Secara umum, kelarutan akan meningkat dengan menurunnya bobot molekul dan meningkatnya gugus metil ester. Namun pH, suhu, jenis pektin, garam dan adanya zat organik seperti gula juga mempengaruhi kelarutan pektin.

Sifat penting pektin adalah kemampuannya membentuk gel. Pektin metoksil tinggi membentuk gel dengan gula dan asam, yaitu dengan konsentrasi gula 58-75 dan pH 2,8-3,5. Pembentukan gel terjadi melalui ikatan hidrogen diantara gugus karboksil bebas dan diantara gugus hidroksil. Pektin bermetoksil rendah tidak mampu membentuk gel dengan asam dan gula, tetapi dapat membentuk gel dengan adanya ion-ion kalsium (Caplin, 2004)

2.2.4. Sumber Pektin

Pektin bisa didapatkan dari berbagai sumber dengan presentasi kandungan yang bervariasi. Pektin komersial utamanya diekstraksi dari kulit jeruk dan daging buah apel dengan menggunakan ekstraksi asam dengan hasil pektin sekitar 12% sampai 25%. Gula bit dan biji bunga matahari mengandung sekitar 10% – 20% pektin (Myamoto & Chang, 1992). Sumber lain yang terdapat pektin didalamnya diantaranya ialah kulit kakao dengan


(31)

kadar pektin kering sekitar 9% (Mollea et al.,2008). Kandungan pektin dari beberapa sayuran dan buah-buahan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.4. Komposisi Pektin Pada Berbagai Sayuran dan Buah-Buahan (Kertez, 1951)

Jenis Bahan Kandungan Pektin (% berat) Apel :

 Kulit

 Daging buah

17,44 17,63 Jeruk (Grape Fruit)

 Albedo

 Flavedo

16,4 14,2

Jambu biji 3,4

Terong 11

Bawang bombay 4,8

Tomat  Hijau  Kuning  Merah 3,43 4,65 4,63

Kubis 4,57

Wortel 7,14

Bayam 11,58

2.2.5. Kegunaan Pektin

Pektin merupakan pangan fungsional bernilai tinggi yang berguna secara luas dalam pembentukan gel dan bahan penstabil pada sari buah, bahan pembuat jelly, selai dan marmalade (Willat et al,.2006). Konsentrasi pektin berpengaruh terhadap pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu (Chang and Myamoto, 1992)

Selain memliki kegunaan sebagai agen pembentuk gel dan stabilizer pada industri bahan makanan dan kosmetik, pektin juga memliki beberapa


(32)

efek positif bagi kesehatan seperti menurunkan kadar kolesterol dan kadar gula darah, menurunkan kanker (Jackson., et al, 2007) dan merangsang respon imun (Inngjerdingen,. et al, 2007). Pektin juga digunakan pada produksi beberapa produk tertentu seperti film biodigradasi, busa, plastisizer dan penghantar obat.

Pada usus halus, pektin dan polisakarida pembentuk gel lainnya dapat meningkatkan viskositas makanan dalam saluran pencernaan sehingga mempengaruhi proses pencernaan dan penyerapan (Judd & Truswell 1985, dalam Arjmandi et al. 1992). Pektin termasuk jenis serat pangan yang larut air dan mudah difermentasi oleh mikroflora usus besar (Gallaher, 2000)

Dalam hal menurunkan kadar kolesterol, telah dilaporkan bahwa pektin dapat menurunkan koleterol darah dengan baik (Sriamonsark, 2001). Mengkonsumsi sekurangnya 6g/hari dapat menurunkan kadar kolesterol secara signifikan (Ginter et al.,1979). Mietinnen dan Tarplia (1977) melaporkan terjadi pengurangan kolesterol dalam serum sebanyak 13% setelah 2 minggu pengobatan menggunakan pektin.

Pektin juga berperan sebagai agen profilaktik yang dapat melawan racun dari toksik kation, dan telah menunjukkan efektivitasnya dalam menghilangkan timah dan merkuri dari saluran gastrointestinal serta organ pernapasan (Kohn, 1982).

2.2.6. Ekstraksi Pektin

Penggunaan asam dalam ekstraksi pektin adalah untuk menghidrolisis protopektin menjadi pektin yang larut dalam air atau pun membebaskan pektin dari ikatan dengan senyawa lain, misalnya selulosa (Kaban, et.al., 2012). Asam dengan ion berfungsi selain memecahkan ikatan protopektin dengan senyawa-senyawa dalam dinding sel tanaman, juga dapat menyatukan satu molekul pektin yang lain sehingga terbentuk suatu jaringan yang dapat merangkap air (Nurhikmat, 2003). Meyer (1978) menyatakan bahwa protopektin merupakan molekul dengan berat yang tinggi, terbentuk dari beberapa rantai molekul pektin atau dengan polimer lainnya.


(33)

Protopekin tidak dapat larut dalam air karena berada dalam bentuk garam-kalsium-magnesium pektinat. Proses pelarutan protopektin menjadi pektin terjadi karena adanya penggantian ion kalsium dan magnesium oleh ion hidrogen ataupun dikarenakan putusnya ikatan antara pektin dengan selulosa. Semakin tinggi konsentrasi ion hidrogen, maka semakin tinggi pula kemampuan menggantikan ion kalsium dan magnesium, dengan kata lain kemampuan untuk memutuskan ikatan pektin dengan selulosa akan semakin tinggi pula sehingga pektin yang larut akan bertambah (Meyer,1978)

Kisaran tingkat keasaman (pH) pada ekstraksi pektin adalah 1,2-3,0. Jika pH terlalu rendah, maka protopektin tidak dapat berubah menjadi pektin secara optimal. Demikian juga apabila pH terlalu tinggi maka pektin akan berubah menjadi asam pektat sehingga tidak dapat membentuk gel (Manalo, et.al, 1985).

Menurut Towle dan Christensen (1973) kelarutan pektin dalam air ditentukan oleh jumlah gugus metoksil, distribusinya dan bobot molekulnya. Secara umum kelarutan akan meningkat dengan menurunnya bobot molekul dan meningkatnya gugus metil ester

2.3. KarekterisasiPektin

Berikut ini adalah standar mutu pektin berdasarkan standar mutu

InternatonalPectinAssociation (2002) dan Codex (1996)

Tabel 2.5. Standar Mutu Pektin

Faktor Mutu Kandungan

Susut pengeringan (kadar air) Kadar abu

Berat ekivalen Kandungan metoksil

 Pektin metoksi tinggi

 Pektin metoksi rendah

Maks 12% Maks 1,0% 600-800 mg

>7,12% 2,5 – 7,12%


(34)

Kadar Asam Galakturonat Derajat esterifikasi untuk :

 Pektin ester tinggi

 Pektin ester rendah

Min 65%

Min 50% Maks 50%

Tabel 2.6. Spesifikasi Pektin Berdasarkan FarmakopeV

Test USP 28

Identifikasi +

Susut pengeringan 10,0 % Arsenik 3 ppm Timah 5 Gula dan asam organik +

Batas mikroba + Ujika kadar:

 Grup metoksil

 Asam galakturonat

6,7 % 74,0 %

2.3.1. Kadar Air

Kadar air bahan akan berpengaruh terhadap masa simpan bahan. Tingginya kadar air dalam bahan menyebabkan kerentanan terhadap aktivitas mikroba. Dalam upaya memperpanjang masa simpan, dilakukan pengeringan sampai batas kadar air tertentu. Pengeringan pada suhu rendah bertujuan untuk meminimalisir terjadinya degradasi pektin (Hariyati, 2006)

2.3.2. Kadar Abu

Abu merupakan residu atau sisa pembakaran bahan organik yang berupa bahan anorganik. Kadar abu berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin. Semakin tinggi tingkat kemurnian pektin, kadar abu dalam pektin semakin rendah (Budiyanti et.al., 2008 dalam Tarigan et.al., 2012)


(35)

Prinsip penetapan kadar abu adalah bahan dipanaskan pada tempratur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga yang tertinggal hanya unsur mineral dan unsur anoranik (DepKes, 2000) 2.3.3. Berat Ekivalen

Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam galakturonat bebas (tidak teresterifikasi) dalam rantai molekul paktin. Asam pektat murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun atas atas asam poligalakturonat yang terbebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami esterifikasi. Semakin rendah kadar pektin akan menyebabkan berat ekivalen semakin rendah (Ranggana, 2000)

2.3.4. Kadar Metoksil

Kadar metoksil didefinisikan sebagai jumlah mol etanol yang terdapat di dalam 100 mol asam galakturonat. Kadar metoksli pektin memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin (Constenla et al, 2003). Berdasarkan kandungan metoksilnya, pektin dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu pektin berkadar metoksil tinggi (HMP), dan pektin berkadar metoksil rendah (LMP). Pektin bermetoksil tinggi memiliki kandungan metoksil minimal 7%, sedangkan pektin bermetoksil rendah memiliki kandungan pektin maksimal 7% (Guichard et.al., 1991)

2.3.5. Kadar Galakturonat

Kadar Galakturonat menunjukkan kemurnian pektin terhadap bahan organik netral lainnya, yaitu polisakarida seperti arabinosa, galaktosa dan gula lain (Mohamed, 1995). Kadar galakturonat menunjukkan kemurnian pektin dan disarankan untuk tidak kurang dari 65% (Food Chemical Codex, 1996). Estimasi kandungan asam galakturonat sangat penting untuk menentukan kemurnian dan derajat esterifikasi, serta untuk mengevaluasi sifat fisik dari pektin (Ranggana, 1997)


(36)

2.3.6. Derajat Esterifikasi

Derajat esterifikasi didefinisikan sebagai presentase kelompok karboksil yang teresterifikasi. Pektin dengan derajat esterifikasi di atas 50% dinamakan pektin tinggi metoksil, sedangkan derajat esterifikasi di bawah 50% dinamakan pektin rendah metoksil (Siamornsak, 2003).

Menurut Whistler dan Daniel (1985), derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam D-galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol. Nilai derajat esterifikasi pektin diperoleh dari nilai kadar metoksil dan kadar asam galakturonat. Persentase dari kelompok karboksil teresterifikasi oleh methanol dinamakan derajat esterifikasi (Fennema, 1996) dalam Hariyati ,2006).

2.4. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. (Depkes RI, 2000).

Dalam buku Farmakope Indonesia Edisi V, disebutkan bahwa ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.

2.4.1. Faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak

1. Faktor biologi

Mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat), dipandang secara khusus dari segi biologi yaitu identitas jenis, lokasi tumbuhan asal, periode pemanenan, penyimpanan bahan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.


(37)

2. Faktor kimia

Mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat), dipandang secara khusus dari kandungan kimia, yaitu :

a. Faktor internal, seperti jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif.

b. Faktor eksternal, seperti metode ekstraksi perbandingan ukuran alat ekstraksi, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, ukuran kekerasan, dan kekeringan bahan (Depkes RI, 2000).

2.4.2. Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Kelarutan dan stabilitas senyawa pada simplisia terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman dipengaruhi olah struktur kimia yang berbeda-beda. (Depkes RI, 2000)

Simplisia yang lunak seperti rimpang, akar dan daun mudah diserap oleh pelarut, sehingga pada proses ekstraksi tidak perlu diserbuk sampai halus. Sedangkan simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu, dan kulit akar susah diserap oleh pelarut, karena itu perlu diserbuk sampai halus. Selain sifat fisik dan senyawa aktif dari simplisia, senyawa-senyawa yang terdapat dalam simplisia seperti protein, karbohidrat, lemak dan gula juga harus diperhatikan (Depkes RI, 2000).

2.4.3. Metode Ekstraksi

Dengan menggunakan metode penyarian atau pelarut dalam ekstraksi dapat dibedakan macam-macam cara ekstraksi diantaranya:

a. Cara Dingin 1. Maserasi

Maserasi ialah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi


(38)

dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. Cara ini dapat menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. (Depkes RI, 2000)

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1- 5 kali bahan. Ekstraksi ini membutuhkan pelarut yang lebih banyak. (Depkes RI, 2000)

b. Cara Panas 1. Refluks

Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. (Depkes RI, 2000)

2. Soxhletasi

Soxhletasi ialah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik. (Depkes RI, 2000)


(39)

3. Digesti

Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC. (Depkes RI, 2000)

4. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air mendidih, temperature terukur 96o C-98o C selama waktu tertentu (15-20 menit). Infus pada umumnya digunakan untuk menarik atau mengekstraksi zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Hasil dari ekstrak ini akan menghasilkan zat aktif yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang, sehingga ekstrak yang diperoleh dengan infus tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. (Depkes RI, 2000)


(40)

24

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian II dan Laboratorium Kimia Obat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2015.

3.2. Bahan Uji

3.2.1. Penyediaan Bahan Uji

Bahan yang akan dilakukan pengekstraksian berupa kulit pisang Uli yang telah masak yang didapatkan dari penjual pisang goreng di sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.2.2. Determinasi Bahan Uji

Bahan kulit pisang Uli yang akan diekstraksi terlebih dahulu dilakukan pengidentifikasian di Laboratorium Botani, Puslit Biologi LIPI Cibinong.

3.3. Alat dan Bahan 3.3.1. Alat

Peralatan penelitian yang digunakan antara lain oven, blender, alat-alat gelas (erlenmeyer, gelas beker, gelas ukur, pipet tetes, buret dll), motor pengaduk, stirrer, tabung pendingin balik, pH indikator universal, cawan penguap, cawan krus, labu gelas, termometer, hot plate, termokontrol, neraca analitik, statif dan klem serta corong buchner.

3.3.2.Bahan

Kulit pisang uli matang, etanol 96%, Asam Klorida (HCl), Aquadest, natrium klorida (NaCl), natrium hidroksida (NaOH), indikator


(41)

3.4. Prosedur Kerja

a. Persiapan bahan

Kulit pisang dilakukan pensortiran dari kulit pisang yang busuk atau rusak, selanjutnya dilakukan pembersihan dengan menggunakan tissue basah pada bagaian kulit luar agar kulit pisang yang akan digunakan dapat terbebas dari kotoran-kotoran yang menempel. Setelah kulit pisang tersebut bersih, lalu dilakukan pengeringan dengan cara dijemur dengan menggunakan panas matahari selama 2 hari (16 jam), untuk kemudian dikeringkan lebih lanjut menggunakan oven selama 5 jam dengan suhu 70 guna menghilangkan kandungan air yang masih tersisa. Setelah kulit pisang tersebut kering, untuk selanjutnya dilakukan penghalusan dengan cara diblender dan diayak dengan ukuran Mesh 100 (Hanum et.,al, 2012 dengan modifikasi).

b. Ekstraksi Kulit Pisang

Sebanyak 30 g bubuk kulit pisang yang telah dihasilkan dimasukkan kedalam labu gelas lalu ditambahkan larutan HCl sebanyak 1000 ml dengan pH 1,5. Hasil yang diperoleh disebut dengan bubur masam. Bubur masam kemudian dipanaskan dengan menyalakan pemanas listrik dengan setingan suhu 90 . Penghitungan waktu ekstraksi dari saat tercapainya kondisi operasi sesuai variabel percobaan yaitu 70 dan 80 menit. Setelah dipanaskan, bubur masam tersebut disaring dengan menggunakan corong buchner yang telah dilapisi dengan kapas dan dihubungkan dengan vakum guna memisahkan filtratnya. Filtrat yang didapatkan disebut dengan filtrat petin (Beri Satria dan Yusuf Ahda, 2008 dengan modifikasi).

c. Pengendapan pektin

Larutan etanol 96% diasamkan dengan menambahkan 2 ml HCl pekat per satu liter etanol, larutan ini disebut dengan alkohol asam. Filtrat pektin ditambahkan dengan alkohol asam lalu diaduk hingga rata. Perbandingan filtrat pekat dengan alkohol asam adalah 1 : 1,5. Setelah itu filtrat didiamkan selama 15-17 jam. Endapan pektin kemudian dipisahkan dari filtratnya dengan


(42)

kertas saring. Hasil yang diperoleh disebut dengan pektin masam (Akmaludin dan Kurniawan, 2009).

d. Pencucian pektin masam

Pektin masam ditambahkan dengan etanol 96% sambil diaduk untuk kemudian dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring. Hal ini dilakukan beberapa kali sampai etanol bekas pencucian berwarna jernih dan tidak bereaksi dengan asam, adapun tanda dari tidak lagi bereaksi dengan asam adalah ketika air bekas pencucian pektin berwarna berwarna merah bila ditetesi dengan phenolftalein (Akmaludin dan Kurniawan, 2009).

e. Pengeringan

Pektin yang sudah dilakukan pencucian tersebut selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 30-40 selama 6-10 jam. Hasil yang diperoleh disebut dengan pektin kering (Akhmaludin dan Kurniawan, 2009)

3.5. Analisa Kadar

3.5.1. Penimbangan bobot pektin

Bobot pektin adalah banyaknya pektin yang dihasilkan dari ekstraksi kulit pisang uli pada masing-masing variasi waktu

3.5.2. Penentuan kadar air

Sebanyak 0,3 g sampel pektin dikeringkan di dalam oven pada suhu 100 selama 4 jam. Selanjutnya sampel didinginkan dalam desikator lalu ditimbang sampai diperoleh bobot yang tepat

% Kadar air =

100%

Dimana : Wa = bobot sebelum dikeringkan (gram) Wb = bobot setelah dikeringkan (gram) (Pardede, et.al., 2013)

3.5.3. Penentuan kadar abu

Cawan krus dikeringkan di dalam tanur pada suhu 600 , kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebagai wadah, kemudian


(43)

0,3 g pektin ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 selama 4 jam. Residu kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang untuk mengetahui berat konstan

Kadar abu (%) = Keterangan :

W = bobot sampel awal

W1 = bobot wadah + sampel setelah pemanasan (gram) W2 = bobot wadah kosong (gram)

(Ranggana, 1997 dalam Hariyati, 2006)

3.5.4. Penentuan berat ekivalen

Nilai berat ekivalen digunakan untuk perhitungan kadar asam anhidrouronat dan derajat esterifikasi. Berat ekivalen ditentukan dengan menimbang 0,5 g pektin yang diperoleh lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dan dilembabkan dengan 5 ml etanol. Sebanyak 1 g NaCl ditambahkan ke dalamnya guna mempertajam titik akhir titrasi. Air suling bebas CO2 sebanyak 100 ml dan 6 tetes indikator phenolptalein ditambahkan. Campuran tersebut kemudian diaduk cepat guna memastikan bahwa semua substansi pektin telah terlarut dan tidak ada gumpalan yang menempel pada dinding erlenmeyer. Titrasi dilakukan secara perlahan (untuk menghindari kemungkinan terjadinya deesterifikasi) dengan titran standar 0,1 N NaOH sampai warna campuran berubah menjadi merah muda (pH) dan tetap bertahan selama kurang lebih 30 detik. Larutan tersebut kemudian dinetralkan guna penentuan kadar metoksil

Berat ekivalen =

(Ranggana, 1997 dalam Hariyati, 2006)

3.5.5. Analisa Kadar Metoksil

Penentuan kadar metoksil dilakukan dengan penambahan 25 ml 0,5N NaOH ke dalam larutan yang dititrasi kemudian dikocok secara perlahan,


(44)

lalu didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar dalam erlenmeyer tertutup. Sebanyak 25 ml HCl 0,25N dan phenolptalein ditambahkan kedalamnya kemudian dilakukan titrasi hingga larutan berubah menjadi merah muda

Kadar metoksil (%) =

Dimana angka 31 menunjukkan berat molekul (BM) dari metoksil (Ranggana, 1997 dalam Hariyati, 2006)

3.5.6. Analisa Kadar Galakturonat

Kadar galakturonat dihitung dari miliekivalen NaOH yang diperoleh dari penentuan BE (berat ekivalen) dan kandungan metoksil.

Galakturonat (%) =

Dimana angka 176 merupakan berat terendah ekivalen dari asam pektat (Ismail et,al 2012)

3.5.7. Penentuan derajat esterifikasi

Derajat esterifikasi (DE) dari pektin dapat dihitung dengan: DE (%) =


(45)

29

4.1 Bahan Baku

4.1.1 Penentuan Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini berupa kulit pisang Uli hasil limbah dari pembuatan pisang goreng. Pisang Uli merupakan jenis pisang yang banyak digunakan untuk makanan olahan seperti pisang goreng, molen serta produk makanan lain yang umumnya akan menghasilkan limbah berupa kulit pisang yang pada saat ini hanya di buang begitu saja. Pisang Uli juga dapat dimakan secara langsung dikarenakan rasanya manis, hanya saja tekstur dari buahnya kenyal dan terasa agak sepat, tetapi rasa sepat tersebut akan berangsur menghilang seiring dengan semakin matangnya buah. Dari pemanfaatan yang besar itulah produksi makanan olahan pisang banyak menghasilkan limbah kulit pisang.

Menurut Cahyono (2009), pektin terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman dan umumnya terdapat pada dinding sel. Pisang Uli memliki kulit buah yang agak tebal meskipun tidak setebal kulit pisang kepok, sehingga masih memliki kemungkinan terdapat pektin pada kulit Pisang Uli tersebut. Pemilihan bahan baku kulit Pisang Uli didasarkan pada tingginya konsumsi Pisang Uli baik itu secara konsumsi langsung maupun sebagai olahan, sehingga menghasilkan limbah kulit pisang dalam jumlah besar. Dan oleh karena pektin juga terdapat pada kulit pisang, maka pemanfaatan limbah kulit pisang diharapkan mampu menekan biaya produksi pektin di indonesia.

4.1.2 Determinasi Tanaman Bahan Baku

Determinasi bahan baku dilakukan guna memastikan keabsahan dari bahan yang akan digunakan dari segi identitas tanaman. Adapun determinasi tanaman tersebut dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat


(46)

Penelitian Biologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Cibinong, Bogor. Adapun hasil determinasi menunjukan bahwa bahan baku yang digunakan adalah dari jenis tanaman Pisang Uli dari Famili Musaceae.

4.1.3 Persiapan Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini berupa kulit Pisang Uli yang telah masak, hal itu dikarenakan konsumsi buah pisang uli untuk berbagai kebutuhan umumnya pada kondisi yang telah masak, karena pada kondisi tersebut buah pisang uli memiliki rasa yang manis dengan tekstur yang tetap kenyal. Di samping karena waktu pemanfaatannya, kandungan serat kasar kulit pisang yang telah masak lebih tinggi dibandingkan pada saat masih mentah, dan telah dijelaskan sebelumnya bahwa pektin banyak terdistribusi pada dinding sel primer suatu tumbuhan.

Tabel 4.1.Komposisi Nutrien Kulit Pisang (Tartrakoon, 1999)

Komposisi nutrien (% berat kering)

Tipe kulit pisang

Mentah Ranum Masak

Bahan kering (%) 91,62 92,38 95,66

Protein kasar (%) 5,19 6,61 4,77

Ekstrak eter (%) 10,66 14,20 14,56

Serat kasar (%) 11,58 11,10 11,95

Kadar abu (%) 16,30 14,27 14,58

Kalsium (%) 0,37 0,38 0,36

Fosfor (%) 0,28 0,29 0,23

Gross energi (Kkal/kg) 4383 4692 4592

Tannin (%) 6,84` 4,97 4,69

Serat kasar merupakan bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau karbohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau parsial pada usus besar (American Association of Cereal Chemist, 2001). Serat kasar terdiri dari dinding sel tanaman yang sebagian besar mengandung 3 macam


(47)

polisakarida, yaitu sellulosa, pektin dan hemisellulosa (Piliang dan Djojosoebagjo, 2002)

Adapun bahan baku diambil dari pasar Ciputat Tangerang Selatan. Kulit pisang terlebih dahulu di bersihkan dari ujung pisang yang masih terdapat sisa-sisa buah pisang untuk selanjutnya kulit pisang dibersihkan dengan cara digosok permukaan luar kulitnya menggunakan tissue basah hingga terbebas dari kotoran yang menempel, untuk selanjutnya kulit pisang dikeringkan dengan cara dijemur di terik matahari selama 2 hari (dari jam 10.00 – 15.00 WIB) kemudian dilakukan pengovenan dengan suhu 70 selama 5 jam.

Kulit pisang yang telah kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender kemudian di ayak menggunakan ayakan berukuran 100 Mesh, adapun tanda dari kulit pisang yang telah kering adalah mudah dipatahkan.

4.2 Produksi Pektin

Produksi pektin dilakukan melalui proses ekstraksi kulit Pisang Uli menggunakan asam klorida dengan normalitas 0,031 dan dengan variasi waktu ekstraksi 70 dan 80 menit. Suhu yang digunakan untuk ekstraksi sekitar 90 . Ekstraksi pektin dilakukan dengan menggunakan metode konvensional yaitu pemanasan secara langsung. Srivastava dan Malviya (2011) menyatakan bahwa ada dua metode ektraksi pektin yang biasa dilakukan, yaitu pemanasan secara langsung dan pemanasan dengan menggunakan microwave.

Hanum et.al. (2012) mengungkapkan bahwa ekstraksi pektin dapat dilakukan dengan hidrolisis asam, yaitu dengan menggunakan pelarut HCl guna merombak protopektin yang tidak larut dalam air menjadi pektin yang mudah larut dalam air. Penggunaan pelarut HCl didasarkan pada pernyataan Kertesz (1951) bahwa selain asam organik, ekstraksi pektin memiliki kecendrungan untuk menggunakan asam mineral yang mudah didapat seperti asam klorida, asam sulfat dan asam nitrat.


(48)

Dalam proses ekstraksi pektin ini digunakan bahan baku kering. Sebanyak 30 gram bahan baku kering dimasukkan ke dalam erlenmeyer 2000 mL, lalu ditambahkan pelarut HCl dengan pH 1,5 sebanyak 1000 mL. Pada ujung leher erlenmeyer disumbat menggunakan gulungan kapas yang pada bagian tengahnya di pasang termometer guna memastikan suhu yang digunakan stabil. Proses ekstraksi dilakukan dengan pemanasan di atas hot plate pada suhu 90 dengan varian waktu 70 dan 80 menit. Pada saat proses ektraksi dilakukan pengadukan menggunakan magnetic stirrer

dengan kecepatan 10 (600 rpm). Menurut Prina, et.al.(2007), pengadukan dalam ekstraksi penting dilakukan karena dapat meningkatkan perpindahan solut dari permukaan partikel ke dalam cairan pelarut dan mencegah pengendapan padatan serta memperluas kontak partikel dengan pelarutnya.

Setelah proses ektraksi selesai, campuran terlebih dahulu didinginkan untuk kemudian dilanjutkan proses penyaringan guna memisahkan filtrat dari residunya menggunakan kertas saring.

Setelah proses penyaringan selesai, filtrat yang diperoleh dipindahkan ke dalam wadah kaca lain, lalu dilakukan perendaman filtrat menggunakan etanol 96%, hal tersebut dimaksudkan agar tejadi pemisahan larutan ekstak dari rafinat. Etanol yang ditambahkan dalam larutan pektin akan bersifat sebagai pendehidroksi sehingga keseimbangan antara pektin dengan air akan terganggu dan pektin akan mengendap (Prasetyowati,et.al, 2009)

Berdasarkan Rouse (1977) di dalam Astuti (2007), penggumpalan atau koagulasi pektin terjadi karena gangguan terhadap kestabilan dispersi koloidalnya. Pektin merupakan koloidal hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak memiliki titik isoelektrik. Seperti koloid hidrofilik pada umumnya, pektin distabilkan oleh selapis air melalui ikatan elektrostatik anatara muatan negatif molekul pektin dengan muatan positif molekul air. Penambahan zat pendehidrasi seperti alkohol dapat mengurangi stabilitas diperse pektin karena efek


(49)

dehidrasi dapat mengganggu kesetimbangan pektin dengan air, sehingga paktin akan menggumpal.

Etanol dipilih karena tidak terlalu berbahaya bagi pernapasan serta agar tidak terjadi kontaminasi pada saat pencucian pektin, mengingat pencucian pektin dilakukan menggunakan etanol.Penambahan etanol ke dalam filtrat hasil ekstraksi dilakukan secara perlahan sambil diaduk sehingga terbentuk endapan untuk kemudian didiamkan semalaman (17 jam) agar proses pengendapan berlangsung sempurna. Setelah perendaman satu malam, endapan tersebut dicuci beberapa kali menggunakan alkohol guna membersihkan sisa-sisa asam pada pektin. Pencucian menggunakan alkohol dipilih karena menghasilkan warna pektin yang lebih bersih dan putih dibandingkan dengan pencucian tanpa alkohol (Susilowati, 2013). Penentuan bebas asam dilakukan dengan memeriksa larutan bekas pencucian pektin menggunakan pH indikator universal. Adapun hasil dari beberapa kali pencucian menyatakan bahwa tingkat keasaman pada pektin menunjukkan angka 6, hal itu disebabkan pH dari etanol yang digunakan ber pH 6.

Setelah pencucian pektin, tahap selanjutnya ialah pengeringan pektin. Pektin yang dihasilkan untuk selanjutnya dikeringkan menggunakan oven selama kurang lebih 8 jam dengan suhu pengeringan rendah yakni 40 , hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi degradasi pektin selama masa pengeringan. Pektin yang telah kering selanjutnya dihaluskan menjadi serbuk dengan cara digerus mengunakan lumpang. Hal itu dikarenakan pektin yang dihasilkan setelah pengovenan berbentuk seperti karamel yang mengeras dan tidak saling terpisah satu dengan lainnya. Setelah pektin terbentuk serbuk, tahap selanjutnya dilakukan penimbangan bobot serta karaketrisasi untuk menentukan kualitas dari pektin yang dihasilkan.


(50)

4.3 Identifikasi Kualitatif Pektin

Pemerian pektin hasil ekstraksi pada penelitian ini cenderung tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pektin dengan waktu ekstraksi 70 menit dan waktu ekstraksi 80 menit. Seluruh pektin hasil dari ekstraksi berwarna cokelat dengan tekstur mirip seperti gula putih.

Tabel 4.2. Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi

No Kondisi ekstraksi Pemerian 1 Sampel ekstraksi 70 menit

2 Sampel ekstraksi 80 menit

Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi V (2014), pemerian pektin berupa serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan, hampir tidak berbau dan mempunyai rasa musilago. Menurut Food Chemical Codex

(1996), pemerian pektin berupa serbuk kasar hingga halus; berwarna putih kekuningan, kelabu atau kecokelatan.

Pektin kering yang diperoleh pada penelitian ini berwarna kecoklatan, hal ini dapat dimungkinkan adanya pengaruh oksidasi pada bahan baku pada saat penyimpanan. Hal tersebut dimungkinkan karena terdapat jeda waktu antara proses penyerbukan kulit pisang dengan proses ekstraksi, sehingga paparan udara bebas pada saat penyimpanan menyebabkan serbuk kulit pisang menjadi kehitaman, mengingat wadah untuk penyimpanan serbuk kulit pisang tidak kedap udara.


(51)

Apabila merujuk kepada Farmakope Indonesia V, maka hasil yang diperoleh dari penelitian ini belum sesuai dengan standar mutu pektin, tapi apabila dibandingkan dengan standar yang mutu yang tertera dalam Food Chemical Codex (1996), maka hasil pektin yang didapatkan masih masuk kedalam kriteria standar mutu pektin.

Setelah didapatkannya serbuk pektin, maka tahap selanjutnya adalah melakukan identifikasi pektin. Identifikasi dilakukan guna memastikan secara kualitatif bahwasannya serbuk yang diperoleh merupakan pektin. Identifikasi pektin ini dilakukan sesuai dengan prosedur yang tertera dalam Farmakope Indonesia edisi 5 tahun 2014.

4.4 Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi

Tabel 4.3. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi

No Karakterisasi Waktu Ekstraksi Standar menurut

Food Chemical Codex 70 menit 80 menit

1 Bobot pektin (gram) 2,05 2,45

2 Kadar air (%) 9,97 9,58 Maks 12%

3 Kadar abu (%) 0,36 0,38 Maks 1,0%

4 Berat ekivalen 5.260,942 3.642,191 600-800 mg 5 Kadar metoksil (%) 3,07 3,20 2,5-7,12% 6 Kadar galakturonat (%) 69,95 72,95 Min 65% 7 Derajat esterifikasi (%) 24,97 24,96 Maks 50%


(52)

4.4.1 Bobot Pektin

Gambar 4.1 Diagram bobot pektin

Bobot pektin adalah banyaknya pektin yang dihasilkan dari ekstraksi kulit pisang Uli pada masing-masing variable waktu ekstraksi. Bobot pektin hasil ekstraksi dengan waktu 70 menit sebesar 2,0528 gram; dan waktu 80 menit sebesar 2,4511 gram, keduanya menggunakan suhu ekstraksi 95 . Dari data yang didapatkan menunjukkan bahwa ekstraki pektin dengan waktu 80 menit menghasilkan lebih banyak pektin dibandingkan dengan waktu ekstraksi 70 menit.

Menurut Nainggolan dalam Hanum (2012) menyatakan bahwa prinsip ekstraksi pektin merupakan perombakan protopektin yang tidak larut dalam air menjadi pektin yang dapat larut dalam air. Ekstraksi pektin ini dapat dilakukan dengan cara hidrolisis asam atau enzimatis. Pelarut HCl merupakan asam yang berperan sebagai katalis guna mempercepat reaksi hidrolisis protopektin menjadi pektin. Menurut percobaan yang dilakukan oleh Yusuf Ahda (2008), waktu ektraksi optimum pada kulit pisang yaitu pada rentang 1,5 hingga 2 jam untuk jenis solvent HCl.

Apabila proses ekstraksi melebihi waktu operasi maksimumnya, maka hasil pektin yang didapat mengalami penurunan dikarenakan pektin yang terbentuk mengalami hidrolisa lebih lanjut menjadi asam pektat. Dan

2,0528

2,4511

Bobot pektin (gram)

Diagram Bobot Pektin

Waktu Ekstraksi 70 menit Waktu Ekstraksi 80 menit


(53)

bila waktu ekstraksi terus ditambah maka pektin akan mengalami kejenuhan yang tetap serta mengakibatkan rusaknya pektin yang terbentuk.

4.4.2 Kadar Air

Gambar 4.2 Diagram kadar air pektin

Kadar air pada bahan berpengaruh terhadap masa simpan bahan.Tingginya kadar air dalam bahan dapat menyebabkan kerentanan terhadap aktivitas mikroba (budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Dalam upaya memperpanjang masa simpan bahan, dilakukan pengeringan sampai batas kadar air tertentu. Produk dengan kadar air rendah relatif lebih stabil dalam penyimpanan jangka panjang dibanding dengan produk berkadar air tinggi (Pardede, et al, 2013).

Pada penelitian ini, pengeringan dilakukan dalam oven pengering dengan suhu 40 selama 8 jam (hanum, et. Al., 2012). Kadar air pektin tertinggi diperoleh dari ekstraksi varian waktu 70 menit dibandingkan dengan pektin dengan waktu ekstraksi 80 menit. Syarat kadar air maksimum untuk pektin kering menurut IPPA (International Pectin Producer Association) adalah tidak lebih dari 12%, dengan demikian kadar air hasil penelitian ini masih termasuk dalam pektin yang memenuhi syarat menurut IPPA. Menurut Utami (2014), tingginya kadar air pektin yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh derajat pengeringan pektin yang tidak maksimal sehingga air yang dikandung bahan tidak teruapkan secara sempurna.

9,97

9,58

Kadar air (%)

Diagram Kadar Air

Waktu Ekstraksi 70 menit Waktu Ekstraksi 80 menit


(54)

4.4.3 Kadar Abu

Gambar 4.3 Diagram kadar abu pektin

Abu merupakan bahan anorganik yang diperoleh dari residu atau sisa pembakaran bahan organik. Kandungan mineral suatu bahan dapat diketahui dari kadar abu yang dimiliki oleh suatu bahan yang juga berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin, (Budiyanto dan Yulianingsih). Semakin tinggi tingkat kemurnian pektin, maka kadar abu dalam pektin akan semakin rendah, begitupun sebaliknya, bila kadar abu pada pektin semakin tinggi, maka tingkat kemurnian pektin semakin rendah. Kadar abu dalam tepung pektin dipengaruhi oleh adanya residu bahan anorganik yang terkandung dalam bahan baku, metode ekstraksi serta isolasi pektin (Kalapathy dan Proctor, 2001) .

Hasil analisa kadar abu menunjukkan bahwa kadar abu pektin tertinggi diperoleh pada pektin dengan waktu ekstraksi 80 menit, yaitu sekitar 0,3894 %. Batas maksimum kadar abu pektin dalam IPPA (2013) adalah tidak lebih dari 10%, dengan demikian kadar abu hasil penelitian ini masih dalam batas yang diperbolehkan IPPA

Menurut Mayer (1985) dalam Hanum et.al. (2012), dalam buah-buahan dan sayuran, protopektin terdapat dalam bentuk kalsium-magnesium pektat. Perlakuan dengan asam mengakibatkan terhidrolisisnya pektin dari ikatan kalsium dan magnesiumnya. Peningkatan reaksi hidrolisis protopektin mengakibatkan bertambahnya komponen dan

0,36

0,38

Kadar abu (%)

Diagram Kadar Abu

Waktu Ekstraksi 70 menit Waktu Ekstraksi 80 menit


(55)

dalam larutan ekstrak. Dengan demikian, semakin banyak mineral berupa kalsium dan magnesium akan semakin banyak kadar abu pektin tersebut.

Kadar abu dalam pektin semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi asam, suhu, dan waktu ekstraksi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan asam untuk melarutkan mineral alami dari bahan yang diekstrak yang semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi asam, suhu, dan waktu ekstraksi. Mineral yang terlarut akan ikut mengendap bercampur dengan pektin pada saat pengendapan dengan alkohol (Kalapathy dan Proctor, 2001). Hasil pengukuran kadar abu pada penelitian ini sesuai dengan pernyataan di atas, di mana waktu ekstraksi paling tinggi menghasilkan kadar abu yang tinggi pula.

4.4.4 Berat Ekivalen

Gambar 4.4 Diagram berat ekivalen pektin

Berat ekivalen merupakan kandungan gugus asam galakturonat bebas yang tidak terseterifikasi dalam rantai molekul pektin. Harga berat ekivalen ditentukan berdasarkan reaksi penyabunan gugus karboksil oleh NaOH dimana berat ekivalen akan berbanding terbalik dengan banyaknya volume NaOH yang digunakan untuk bereaksi dengan gugus karboksil (HUI dalam Prasetyowati, 2009). Asam pektat murni

5.260,94

3.642,19

Berat ekivalen

Diagram Berat Ekivalen


(56)

merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami esterifikasi. Semakin rendah kadar pektin menyebabkan berat ekivalen semakin rendah (Ranganna, 1977 dalam Hanum, 2012).

Berat ekivalen tertinggi pada penelitian ini dihasilkan pada pektin dengan waktu ekstraksi 70 menit, yaitu sebesar 5.260,942, sedangkan pada ekstraksi dengan waktu 80 menit sebesar 3.642,19, berat ekivalen menurun siring meningkatnya waktu ekstraksi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hesti Meilina (2003) menyatakan bahwasannya semakin meningkatnya waktu ekstraksi maka berat ekivalen semakin menurun, hal tersebut dikarenakan pektin akan mengalami depolimerisasi menjadi asam pektat sehingga gugus asam galakturonat yang tidak teresterifikasi menjadi lebih banyak jumlahnya.

Berat ekivalen pektin berdasarkan standar IPPA (2003) yakni berkisar antara 600-800. Pada penelitian ini pektin yang dihasilkan memiliki berat ekivalen yang tidak memenuhi standar yang ada.

Bobot molekul pektin tergantung pada jenis tanaman, kualitas bahan baku, metode ekstraksi, dan perlakuan pada proses ekstraksi. Kemungkinan besar hal yang mempengaruhi nilai berat ekivalen adalah sifat pektin hasil ekstraksi itu sendiri, serta proses titrasi yang dilakukan (Fitria, 2013).


(57)

4.4.5 Kadar Metoksil

Gambar 4.5 Diagram kadar metoksil pektin

Kadar metoksil menyatakan banyaknya gugus metil teresterifikasi pada ekstraksi kulit pisang Uli. Kadar metoksil berpengaruh terhadap kemampuan pembentukan gel yang baik. Semakin besar kandungan metoksil, maka kemampuan pembentukan gel akan semakin besar (Dudung Muhidin dalam Prasetyowati, 2009). Pektin dapat disebut bermetoksil tinggi bila memiliki nilai kadar metoksil sama dengan atau lebih dari 7%, sedangkan bila kadar metoksil di bawah 7% dapat dikatakan pektin tersebut bermetoksil rendah.

Pada penelitian ini kadar metoksil tertinggi diperoleh dari pektin dengan waktu ekstraksi 80 menit, yaitu sekitar 3,2%, sedangkan pada ekstraksi dengan waktu 70 menit, kadar metoksil sebesar 3,07%, tidak terdapat perbedaan yang signifikan, hal tersebut dikarenakan perbedaan waktu ekstraksi yang tidak terlalu jauh. Dalam Food Chemical Codex

(1996), pektin bermetoksil rendah berkisar antara 2,5-7,2%, sehingga pektin yang dihasilkan pada penelitian ini tergolong ke dalam pektin bermetoksil rendah.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kaban, et.al.,(2012) dan Tarigan et.al., (2012), bahwasannya kadar metoksil meningkat seiring dengan kenaikan suhu dan waktu ekstraksi, hal ini disebabkan karena gugus karboksil bebas yang teresterifikasi semakin meningkat.

3,07

3,2

Kadar metoksil (%)

Diagram Kadar Metoksil

Waktu Ekstraksi 70 menit Waktu Ekstraksi 80 menit


(58)

4.4.6 Kadar Galakturonat

Gambar 4.6 Diagram kadar galakturonat pektin

Kadar galakturonat serta muatan molekul pektin berperan penting dalam penentuan sifat fungsional larutan pektin dan mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin yang terbentuk (Constenla dan Lozano, 2006). Semakin tinggi nilai kadar galakturonatnya, maka mutu pektin juga semakin tinggi.

Kadar galakturonat tertinggi yang dihasilkan pada penelitian ini adalah pada waktu ekstraksi 80 menit, yaitu sekitar 72,95%, sedangkan pada ekstraksi dengan waktu 70 menit menghasilkan kadar galakturonat sekitar 69,95%. Kadar galakturonat meningkat seiring dengan bertambahnya waktu ekstraksi. Menurut IPPA (2003), kadar galakturonat minimum yang diizinkan adalah minimal 65%. Dengan demikian kadar galakturonat pektin hasil penelitian ini masih memenuhi persyaratan mutu pektin yang telah ditetapkan

Kadar galakturonat pektin dapat dipengaruhi oleh sumber bahan baku, pelarut, dan metode ekstraksi yang digunakan (Fitria, 2013). Menurut Nelson, et. al., (1977) dan Towle (1973) di dalam Fitriani (2003), selain asam galakturonat, pektin juga mengandung senyawa-senyawa lain yaitu gula netral seperti D-galaktosa, arabinosa, dan L-ramnosa, dan jenis gula lainnya. Senyawa-senyawa non uronat tersebut dapat terbawa pada saat proses penggumpalan pektin, yang mana dapat

69,95

72,95

Kadar galakturonat (%)

Diagram Kadar Galakturonat

Waktu Ekstraksi 70 menit Waktu Ekstraksi 80 menit


(59)

mempengaruhi komposisi senyawa pektin. Metode ekstraksi yang digunakan juga dapat mempengaruhi komposisi senyawa pektin yang berpengaruh terhadap kadar galakturonat. Beberapa senyawa non uronat dapat dihilangkan melalui pelarutan kembali pektin dalam air dan penggumpalan, tetapi tidak dapat menghilangkan semua senyawa uronat (Fitria, 2013).

4.4.7 Derajat Esterifikasi

Gambar 4.7 Diagram derajat esterifikasi pektin

Derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam D-galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol (Whistler dan Daniel, 1985 di dalam Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Nilai derajat esterifikasi pektin diperoleh dari nilai kadar metoksil dan kadar galakturonat (Fennema, 1996).

Nilai derajat esterifikasi tertinggi pada penelitian ini diperoleh pada pektin dengan waktu ekstraksi 70 menit, yakni sekitar 24,97%, sedangkan untuk waktu ekstraksi 80 menit senilai 24,96%. Menurut standar pektin dalam food chemical codex (1996), pektin bermetoksil tinggi memiliki kadar metoksil di atas 50%, sedangkan pektin bermetosil rendah memiliki kadar di bawah 50%.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Budiyanto dan Yulianingsih (2008) bahwasannya derajat esterifikasi

24,97

24,96

Derajat esterifikasi (%)

Diagram Derajat Esterifikasi

Waktu Ekstraksi 70 menit Waktu Ekstraksi 80 menit


(60)

menurun seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu ekstraksi, hanya saja dikarenakan perbedaan waktu yang tidak terlalu tinggi maka hasil dari derajat esterifikasi juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

Tingginya suhu dan lamanya waktu ekstraksi dapat menyebabkan degradasi gugus metil ester pada pektin menjadi asam karboksilat oleh adanya asam (Kertez, 1951 dalam hariyati, 2006). Asam dalam ekstraksi pektin akan menghidrolisis ikatan hidrogen. Ikatan gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat. Apabila ekstraksi dilakukan terlalu lama maka pektin akan berubah menjadi asam pektat yang dimana asam galaktuonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil tidak teresterifikasi (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008 dalam Vita Fitria, 2013). Menurut Awashti (2011), nilai derajat esterifikasi untuk pektin tinggi metoksil memiliki rentang nilai derajat esterifikasi sebesar 60-70% dan untuk pektin rendah metoksil memiliki rentang 20-40%. Pektin yang dihasilkan pada penelitian ini termasuk ke dalam pektin dengan kadar metoksil rendah karena tidak termasuk kedalam rentang derajat esterifikasi 60-70%.


(61)

45

5.1 Kesimpulan

Kulit pisang uli dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pektin dengan dilakukan ekstraksi menggunakan HCl. Pektin yang dihasilkan belum termasuk ke dalam standar pektin menurut Farmakope Indonesia V dikarenakan warna pektin yang berwarna kecoklatan, akan tetapi masih termasuk ke dalam pektin yang terstandar dalam Food Chemical Codex. Dari data yang di dapatkan, pektin dari kulit pisang uli ini termasuk ke dalam pektin bermetoksil rendah, karena kadar metoksil yang didapatkan kurang dari 50%. Berdasarkan hasil karakterisasi, di peroleh nilai bobot pektin 2,05 gram, kadar air 9,97%; kadar abu 0,36%; berat ekivalen 5.260,942; kadar metoksil 3,07%; kadar galakturonat 69,95% dan derajat esterifikasi 24,97% untuk waktu ekstraksi 70 menit. Sedangkan untuk waktu ekstraksi 80 menit diperoleh nilai bobot pektin 2,45 gram; kadar air 9,58%; kadar abu 0,38%; berat ekivalen 3.642,191; kadar metoksil 3,20%; kadar galakturonat 72,95% dan derajat esterifikasi 24,96%.

5.2 Saran

Perlunya pengembangan metode ekstraksi dan pemilihan pelarut yang lebih cocok untuk menghasilkan pektin dengan karakteristik yang lebih baik, sehingga pektin yang dihasilkan dapat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.


(62)

DAFTAR PUSTAKA

AACC. 2001.The Devinition of Dietary Fiber. Cereal Foods. Journal. World Adlin, N.M.D.Y, 2008. Correlation Between Total Phenolics and Mineral

Content With Antioksidant Activity and Determinaton of Bioactive Compound In Various Local Bananas(Musa sp.)

Akmalludin., Kurniawan, Arie. 2009. Pembuatan Pektin dari Kulit Cokelat dengan Cara Ekstraksi. Universitas Diponegoro: Semarang

Anhwage, M., Bhat, R and Karim, A.A. 2009. Antioksidant Capacity and Phenolic Content of Selected Tropical Fruit From Malaysia, Extracted With Different Solvent. Food Chemistry 115: 785-788

Budiyanto, Agus,. Yuliaingsih. 2008. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Karakter Pektin dari Ampas Jeruk Siam (Citrus nobilis L). Jurnal Pascapanen 5 (2). Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian: Bogor

Cahyono, Bambang, 2009. Pisang, Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen. Jogjakarta: Penerbit KANISIUS

Carpita, N.C., Gibeaut, D.M., 1993. Structural Model of Primary Cell Wall In Flowering Plants-Consistency of Molecular Strusture With The Physical Properties of The Wall During Growth. Plant J. 3, 1-30

Chang, KC. and A. Miyamoto. 1992. Gelling Characteristic Of Pectin From Sunflower Head Residue. Dalam Sahari. M.A.,A. Akbarian and M. Hamedi.2002. Effect Of Variety And Acid Washing Method On Extraction Yield And Quality Of Sunflower Head Pectin. J.Food Chemistry 83:43-47 Commite on Chemical Codex, 1996. Food Chemical Codex. Washington, D.C :

National Academic Press

D. Constenla dan J.E. Lozano, Kinetic Model of Pectin Demetylation, Latin American Applied Research33

Deman, John M, 1989.Kimia Makanan. Bandung : Penerbit ITB

Departemen Kesehatan RI, 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta : Direktorat Jendral Pengawasan Obat Dan Makanan.


(63)

Englberger, L. Damton-Hill I,. Coyne T,.Fitzgerald M H,. Marks, GC.2003. Carotenoid-Rich Bananas: A Potential Food Source for Alleliviating Vitamin A Deficiency. Food Nutr. Bull

Fitriani, vina. 2003. Ekstraksi dan akrakterisasi pektin dari kulit jeruk lemon (Citrus medica var Lemon). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Florent, Awedem Wobiwo., Bih Loh, Achu Mercy dan Thomas, Happy Emaga. 2015. Greener Journal of Agricultural Sciences : Nutritive Value of Three Vrieties of Banana and Plantain Blossom from Cameroon. Department of Biochemistry, University of Yaounde. Cameroon

G, Tchobanoglous., H. Theisen, dan S. Vigil. Integrated Solid Waste Management: Enginering Principles and Management Issues, New York: McGraw-Hill

Gallaher, D. 2000. Dietary Fiber and Its Physiological Effect In Essential of Function Food. Schmidl, M.K, T.P. (Eds). An Aspen Publication. Maryland Glicksman. 1969. Gum Technology In The Food Industry. Academic Press: New

York

Ginter, E., et al. (1979). Natural Hypocholestrolemic Agent: pectin plus acorbic acid. International Journal of Viticulture And Natural Resource, 49, pp. 406-408

Goewert, R.R. and H.J. Nicholas, 1980.Banana Peel Sugars As A Source of Food Stuff for Animal or Humans.Nutrition Report Int.,22:207-12

Happi Emaga,T., Bindelle, J.,Agneesens, R buldgen, A., Wathelet, B., Paquot., M. 2011. Ripening Influences Banana and Plantain Peels Composition and Energy Content

Hanum, Farida, Martha Angelina Tarigan, dan Irza Menka Deviliany Kaban. 2012. Ekstraksi Pektin Dari Kulit Pisang Raja (Musa sapientum). Jurnal Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara, Vol.1,No.2.

Hasbullah, Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat Pektin Jeruk, Jakarta: Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera Barat, 2001


(1)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 14. Bobot Pektin Hasil Ekstraksi

Varaibel waktu ekstraksi

Bobot bahan baku (gram)

Bobot pektin hasil ekstraksi (gram)

70 menit 30 2,0528


(2)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 15. Kadar Air Pektin

Variabel waktu ekstraksi

Bobot pektin Kadar air (%)

70 menit W 0,3007 9,9767

Wa 20,8156 Wb 20,7856

80 menit W 0,3005 9,5840

Wa 20,5791 Wb 20,5503 Keterangan :

Kadar air (%) = W = bobot pektin awal

Wa = bobot wadah + pektin sebelum pemanasan (gram) Wb = bobot wadah + pektin setelah pemanasan (gram)


(3)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 16. Kadar Abu Pektin

Variabel waktu ekstraksi

Bobot pektin Kadar abu (%)

70 menit W 0,3005 0,3660

W1 37,2991 W2 37,2980

80 menit W 0,3083 0,3894

W1 41,8285 W2 41,8273 Keterangan :

Kadar abu (%) = 100

W = bobot pektin awal

W2 = bobot wadah + pektin sebelum pemanasan (gram) W1 = bobot wadah + pektin setelah pemanasan (gram)


(4)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 17. Penentuan Berat Ekivalen Pektin

Waktu ekstraksi Bobot pektin (mg)

Volume NaOH

Normalitas NaOH

Berat ekivalen 70 menit 500 0,9 0,1056 5.260,942 80 menit 500 1,3 0,1056 3.642, 191

Keterangan :

Berat Ekivalen =


(5)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 18. Penentuan Kadar Metoksil Pektin

Waktu ekstraksi Bobot pektin (mg)

Volume NaOH

Normalitas NaOH

Kadar metoksil (%)

70 menit 500 4,7 0,1056 3,0771

80 menit 500 4,9 0,1056 3,2081

Keterangan :

Kadar metoksil =

% 31: berat molekul pektin


(6)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 19. Penentuan Kadar Galakturonat Pektin

Waktu ekstraksi mEq NaOH pada berat ekivalen

mEq NaOH pada kadar metoksil

Kadar asam galakturonat (%)

70 menit 0,38 1,9852 69,955

80 menit 0,5489 2,069 72,9597

Keterangan :

Kadar Asam Galakturonat (%) =