Ruang Waktu dan Politik Religiositas Seb

Ruang, Waktu dan Politik Religiositas:
Sebuah Wawancara dengan Prof. Abidin Kusno

Banyak monumen di berbagai kota di Indonesia yang dikritisi masyarakat. Menariknya,
sebagian dari masyarakat itu memberi kritik bernuansakan agama. Misalnya, Patung
Tiga Mojang di Bekasi yang dihubungkan dengan Trinitas; Patung Naga Mas di
Singkawang yang dianggap bertentangan dengan budaya lokal, dan sebagainya.
Fenomena tersebut sangat menarik karena ruang publik makin diseret ke wilayah
religiositas, dan perbedaan waktu (konteks) menentukan pula pemaknaan-pemaknaan
religius yang muncul. Sementara itu, ruang publik ternyata semakin didominasi pula oleh
kepentingan pasar berbasiskan ideologi neoliberal, dan negara telah kehilangan
sebagian otoritasnya untuk menjaga dan mengatur ruang publik itu. Lalu bagaimana
prospek ruang publik ke depan? Apa peran aparatus agama dalam pembangunan dan
pemaknaan ruang publik itu? Ruang publik seperti apa yang perlu dikembangkan?
Bagaimana mengatasi kontestasi ruang publik dalam masyarakat antar-kelas yang
diwarnai pula dengan perbedaan secara kultur dan agama?
Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Jimmy Marcos Immanuel (JMI)
dengan Abidin Kusno (AK), seorang pakar sejarah arsitektur Indonesia, terhadap
beberapa pertanyaan di atas ditemukan jawaban menarik dari sang pakar. Berikut
petikan wawancara yang dilakukan oleh JMI saat berada di National University of
Singapore sebagai fellow di Asia Research Institute, tahun 2009.

(Diskusi tentang ruang publik dan memori kolektif, yang kemudian merembet ke
kepentingan ekonomi, budaya, politik, kekuasaan, dan kelas sosial.)

Agama, Monumen dan Kekuasaan
JMI: Sejauh mana kesadaran aparatus agama mampu membutakan monumenmonumen religius untuk membangun kolektifitas memori di Indonesia?
AK: Sebaiknya kita mulai dari pengertian-pengertian: Sebuah monumen, termasuk juga
yang bernilai religius, maknanya dibentuk oleh penguasa, institusi dan masyarakat yang
mendukung. Sebuah monumen juga bisa mengandung berbagai makna yang saling
konflik. Berbagai penguasa, dengan institusional interest masing-masing, selalu
berupaya mengeser dan menguasai kolektif memori masyarakat melalui pemaknaan
monumen. Dengan demikian monumen dan memori kolektif itu tidak berdiri diluar
kekuasaan. Memori dan monumen yang dimarginalkan misalnya, karena tidak
ditampung oleh penguasa, ia tergeser ke pinggiran, disembunyikan atau mengambil
bentuk lain, namun ia tidaklah hilang begitu saja meskipun cenderung dilupakan. Proses
penguasaan kolektif memori itu tidak semuanya baik atau jelek. Tergantung isi dan
konteks pemakaiannya. Misalnya dalam konteks memperjuangkan toleransi, komunitas
agama berupaya untuk menunjukkan lintas budaya dari agamanya. Makna
kemajemukan dari arsitektur (-monumen) sebuah agama misalnya menjadi penting

1


dalam membangun kolektif memori terutama pada saat suatu masyarakat berada di
bawah ancaman fundamentalisme agama.
JMI: Jadi monumen religius itu tidak lepas dari relasi kekuasaan. Bagaimana kaitan
antara negara dan agama?
AK: Dalam teori politik, negara dan agama (sebagai bagian dari masyarakat sipil) pada
umumnya terpisah, sehingga organisasi agama (seperti organisasi sipil lainnya) mampu
menjadi sebuah kekuatan yang men-check atau mem-balance kekuatan negara. Dalam
posisi ini, organisasi-organisasi agama bergerak independen tanpa dikooptasi oleh
negara, sehingga mereka menjadi kekuatan sipil yang kuat. Kalau kita melihat sejarah
Indonesia (seperti yang telah ditulis Robert Hefner), organisasi-organisasi agama kita
cenderung berada di pihak sipil dan tidak dikuasai oleh negara. Meskipun demikian,
interaksi antara negara dan agama selalu terjadi sejak Indonesia merdeka. Terutama
masa kini, ada usaha yang luar biasa dari kelompok Islam tertentu untuk memengaruhi
negara. Tarik-tarikan sering terjadi dan efek dari interaksi ini adalah pergeseran dan
penguasaan ”kolektif memori” dan ”ruang publik,” salah satu ekspresinya adalah
monumen.
JMI: Tapi untuk pembangunan kolektif memori ”demokrasi” di Indonesia apakah
komunitas agama itu mampu berdiri sendiri tanpa didukung oleh negara?
AK: Ini adalah suatu dilema dalam perjuangan demokrasi. Apakah agama itu mampu

menjadi tulang punggung demokratisasi di Indonesia tanpa menunggangi negara atau
didukung oleh negara? Demokrasi bukanlah monopoli masyarakat sipil, karena
sebenarnya masyarakat sipil (dengan berbagai komunitas agamanya) itu sering diwarnai
konflik dan praktek-praktek tidak demokratis bila ia tidak diwadahi oleh negara yang
mampu menjaga hukum dan praktek-praktek demokrasi.
Dalam upaya mencapai negara demokratis, masyarakat sipil tidak hanya menghadapi
negara, tapi juga menghadapi sesama kelompok sosial yang berbeda pandangan.
Sebenarnya di era pasca-reformasi ini justru perbedaan-perbedaan di level masyarakat
sipil menjadi makin menonjol sehingga negarapun kewalahan menghadapinya. Dalam
konteks ini anggota masyarakat sipil dan agama sangat perlu mawas diri dan
membangun tradisi ”self-criticism” dan ”check and balance” terhadap diri sendiri (dan
sesama kelompok lainnya). Kritis terhadap diri sendiri ini akan membantu terciptanya
masyarakat yang majemuk, toleran dan demokratis. Jadi ”check and balance” dari
masyarakat sipil ini berjalan secara vertikal (terhadap negara) dan horizontal (terhadap
kelompoknya sendiri dan terhadap kelompok masyarakat yang lain).
JMI: Bagaimana sebuah organisasi agama mampu berpartisipasi dalam ”check and
balance” masyarakat melalui monumen?
AK: Kita perlu memahami konteks setempat. Bila kita berada di sebuah ruang dan
waktu pada saat agama menjadi bagian dari praktek intolerance dan uncivil, maka yang
kita perjuangkan adalah kemajemukan dan tradisi toleransi dan civic-ness dari sebuah

agama. Jadi kembali ke pertanyaan-pertanyaan awal, kita perlu mengetahui dulu,
aparatus agama itu di bawah kekuasaan siapa? Dan apa pandangannya? Apa yang
ingin diperjuangkan? Memori kolektif apa yang ingin dibangun (melalui penghancuran
dan pembangunan monumen) dan apa pula dampaknya terhadap memori kolektif yang
lain?

2

Pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri itu akan mampu memberi kritik dan strategi
kebudayaan pada sebuah organisasi agama. Kalau suatu agama ingin memperlihatkan
identitasnya sebagai bagian dari budaya majemuk, maka organisasi agama tersebut
akan memperlihatkan pertautan budaya melalui monumennya– misalnya suatu mesjid
mengandung dimensi Cina, Jawa dan Barat. Dalam konteks kemajemukan Indonesia,
maka narasi keragaman agama yang demikian untuk sebuah monumen dapat
membantu pengembangan jiwa kemajemukan masyarakat dan melawan kepicikan
pemahaman memori kolektif yang hanya memihak golongan tertentu. Dengan demikian
mungkin bisa terjadi suatu wacana ”public-ness” dari monumen / arsitektur tersebut.

Public Space
JMI: Diskusi mengenai wacana kekuasaan, agama dan monumen ini tampak berada di

wilayah awang-awang, karena isu politik dan agama di Indonesia sudah semakin
kompleks. Terkadang kita dibawa pula pada situasi yang sulit untuk membedakan mana
wilayah agama dan negara. Perbedaan kedua elemen tersebut sudah sangat tipis,
antara mana yang menggunakan dan mana yang digunakan, sehingga terjadi tarikmenarik kekuasaan, dan yang menunjukkan pula bahwa kekuasaan bukan lagi sebagai
entitas tunggal yang dimiliki seseorang ataupun sekelompok orang. Namun demikian,
apakah ada dalam sejarah arsitektur Indonesia yang menunjukkan pertemuan kedua
entitas ini, yang kemudian menunjukkan pula bahwa ada golongan tertentu yang
berusaha menguasai space yang sering kita sebut ‘public space’ atau ruang publik?
AK: Perlu kita jelaskan dulu konsepnya. Ruang publik boleh dimaknai sebagai ruang
yang dimiliki atau diurus oleh negara untuk kepentingan publik. Di era pembangunan
berorientasi pasar dan monopoli ekonomi yang mengambil konsep public-private
partnership (sejak zaman Orde Baru, terutama sejak akhir tahun 1980an– mengikuti
perubahan paradigma ekonomi dunia), makna ruang publik telah berubah menjadi ruang
public-private –atau ruang private yang berorientasi publik atau ruang publik yang
berorientasi private, dan sebagainya. Neoliberalisme itu selalu butuh negara untuk
menjamin keamanan privatisasi, sehingga muncullah partnership public / private. Sejak
jaman Soeharto, mekanisme itu telah terjaga. Pada saat Soeharto runtuhpun
mekanisme itu tidak terganggu karena ideologi neoliberalisme itu mampu menyesuaikan
diri dengan jaman pasca reformasi. Karena sekarang ruang publik makin terbuka untuk
kemungkinan ”private ownership” maka kepentingan-kepentingan non-state actors-pun

makin kelihatan. Keterbukaan ini juga mengundang aparatus agama untuk ikut
memengaruhi ruang publik.
Kalau definisi public space itu adalah bahwa negara bertanggungjawab menjaga supaya
ruang tersebut berada di luar pasar / market dan kepentingan golongan-golongan
tertentu, maka kita sekarang mengalami the crisis of public space. Yang jelas negara
sudah tidak punya kekuatan untuk menjaga public space tadi. Di era liberalisasi
ekonomi, public space tidaklah seutuhnya dikuasai oleh negara lagi. Status public space
telah digeser oleh space yang berorientasi public / private partnership. ”Private” dalam
hal ini mengandung arti privatisasi secara ekonomi. Jadi yang menarik pada situasi ini
adalah bagaimana agama (sebagai anggota dari private sector) hidup dan berperan

3

dalam era hegemoni ekonomi bebas ini. Bagaimana agama memanfaatkan atau
dimanfaatkan kehidupan ekonomi kompetitif dan monopolistik neoliberal?
JMI: Jadi apakah ruang publik itu lebih baik dikuasai oleh negara daripada pasar?
AK: Ruang publik yang dimiliki dan diurus oleh negara tidaklah selalu lebih baik atau
lebih buruk dari pada ruang publik yang dikuasai private. Semua itu tergantung pada
konteks dan politik pemakaiannya. Kedua tipe ruang ini bisa saja menjadi arena
penguasaan yang represif. Tapi mereka juga bisa menjadi pendorong terbentuknya

kesadaran kolektif yang kritis – melalui perlawanan misalnya. Kita tahu Bung Karno
sering memanfaatkan ruang publik untuk menyatukan perasaan melawan neoimperialisme dan sebagainya. (Lihat diskusi di bagian berikutnya) Kita tahu jalan-jalan
protokol di zaman Orde Baru dan Reformasi sering menjadi arena demonstrasi. Kita
juga sudah melihat bagaimana Front Pembela Islam memilih kekerasaan untuk
menguasai ruang publik. Kita juga tahu bahwa acapkali ruang-ruang private (seperti
mal) atau warung kopi di pinggir jalan bisa menjadi arena perdebatan politik yang bisa
membangkitkan kesadaran sosial masyarakat. Yang jelas, ruang publik yang dimiliki dan
diurus negara makinlah berkurang karena statusnya telah diubah menjadi public-private
atau telah diprivatisasi demi kepentingan tertentu. Pergeseran ini menciptakan krisis
pada ruang publik dan membangkitkan keinginan-keinginan baru untuk menguasainya –
kalau perlu melalui kekerasan juga.
JMI: Jadi ada prospek ruang publik di kota-kota di Indonesia meskipun ia berada dalam
konteks private / public partnership?
AK: Prospek selalu ada dan ini perlu di teliti melalui analisa para urbanis Indonesia.
Cukup banyak peneliti Indonesia yang telah menulis dampak private / public partnership
terhadap kota Jakarta (-misalnya Tommy Firman, Marco Kusumawijaya, Jo Santoso,
dan Herlambang Suryono). Bagi yang mendukung privatisasi mengatakan bahwa
kualitas ruang makin baik, contohnya keteraturan kota-kota real estate di pinggiran kota
atau mal-mal di tengah kota –meskipun ketertibannya tergantung pada satpam dan
gardu. Sementara, yang melawan privatisasi mengatakan bahwa makin menghilang

ruang publik yang secara bebas boleh dipakai masyarakat umum, dan interaksi sosial
pun jadi kurang beragam karena ruang-ruang private cenderung eksklusif, dan
sebagainya. Sedangkan yang berada di tengah-tengah menunjukkan kontradiksi
pemakaian ruang dan mengatakan bahwa mungkin di ruang-ruang private itu muncul
kreativitas-kreativitas yang progresif dan juga regresif. Intinya, prospek ruang publik
untuk demokrasi makin menipis dan tantangan makin banyak karena ia berada di ruang
ekonomi yang mengutamakan privatisasi. Berbagai kelompok masyarakat mulai dari
yang berorientasi agama, etnisitas dan kelas berusaha memanfaatkan strategi private /
public partnership untuk menguasai ruang kota, baik dengan maksud yang progresif
maupun regresif. Ruang publik telah menjadi arena perebutan untuk kepentingan
masing-masing. Masih diperlukan suatu analisa yang memperlihatkan penguasaan
ruang publik oleh aparatus agama sebagai akibat dari private/public partnership.

4

Monumen Nasional di Zaman Neoliberal
JMI: Kalau dalam konteks sekarang apakah ada tren tertentu dalam pembangunan dan
pemaknaan public space yang ada di Indonesia? Contohnya pembangunan monumen
pahlawan Jenderal Soedirman di Jakarta beberapa tahun belakangan ini di tengahtengah pembangunan bangunan moderen seperti superblok dan berbagai bangunan
pencakar langit. Apakah dengan demikian pembangunan monumen-monumen seperti

itu juga dimaknai sebagai bagian dari proses privatisasi dan kapitalisasi ruang yang
sedang berlangsung seirama dengan bangunan-bangunan moderen tersebut? Atau,
apakah memang ada usaha untuk pengingatan masa lalu di tengah-tengah
perkembangan saat ini melalui monumen seperti itu?
AK: Ini persoalan ruang-ruang kota yang sudah dipengaruhi kekuatan neoliberal (istilah
lain dari private / public partnership). Artinya pasar bebas itu dibiarkan untuk
menentukan arah atau wujud kota. Sebetulnya kalau dianalisa superblok-superblok yang
terjadi di Indonesia itu kita bisa melihatnya dengan kacamata politik ekonomi, yakni
ketika sektor private (melalui investasi kapital) itu mampu menata kota, merubah ruang
dan bentuk kota. Jadi ada semacam penguasaan ruang untuk mencapai profit maksimal
(-tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan sosial setempat). Kemungkinan pun
terbuka bagi kelompok agama untuk ikut berperan dalam keterbukaan ekonomi dan
menguasai ruang kota.
Tapi pada saat yang sama pemerintah kota juga cukup giat membangun monumenmonumen bersifat nasional seperti monumen Soedirman dan pelestarian (melalui
pemagaran) Monumen Nasional. Di satu pihak terlihat semacam usaha menunjukkan
nasionalisme, di lain pihak kota itu sudah dilahap oleh ekonomi global. Kelihatannya ada
dua kekuatan yang saling melawan tapi sebenarnya mereka bekerjasama, jadi sangat
beda dengan, misalnya era Soekarno, ketika monumen-monumen yang didirikan
memang untuk membangun politik dekolonialisasi. Selama zaman Suharto dan
Reformasi (melalui Sutiyoso) monumen bersifat nasional juga dibangun, tapi itu terjadi

pada konteks ketika Indonesia sedang mengalami neoliberalisasi.
JMI: Bagaimana sebaiknya kita memahami pembangunan monumen nasional (atau
keagamaan) di era neoliberal?
AK: Pendirian monumen Soedirman dan Tugu Selamat Datang di jamannya Sutiyoso
misalnya boleh dikatakan adalah usaha untuk menunjukkan bahwa negara atau
pemerintah kota masih punya wibawa untuk melawan krisis ekonomi. Di era Reformasi
setelah jatuhnya Soeharto ada semacam looseness in the center, bahwa pusat itu
seakan-akan sudah goyang, terllihat bahwa kewibawaan pemerintah sudah runtuh.
Sutiyoso itu ’kan diangkat pada masa Soeharto. Jadi sebetulnya secara mental dia
masih mengikuti jaman lama. Dia agak kaget dan emosi-an bahwa ternyata saat dia
menjabat gubernur sifat orang Jakarta sudah berbeda. Dia merasakan efek losseness in
the center, dan itu perlu diutuhkan kembali. Dan berbagai usaha dilakukannya. Selain
membangun monumen, monas juga dipagari, dan tugu selamat datang dibuat lebih
meriah. Semua monumen ini dilalui busway-nya. Semua usaha ini seakan-akan mau
menunjukkan kepada setiap orang bahwa kita itu masih mempunyai pusat kekuasaan –
semacam public order di public space yang sebenarnya sudah makin dilahap oleh
kapital. Posisi ini yang pernah saya sebut sebagai kaum nationalist urbanism, yakni
usaha membangun rasa nasionalisme (-mirip dengan membangun rasa keagamaan)

5


disaat ekonomi global atau privat capital sedang melahap ruang kota. Jadi wacana
monumen nasional-nya Sutiyoso itu adalah dalam rangka menghadapi tekanan ”masa
kini” dan juga untuk mengangkat kewibawaannya di zaman Reformasi dan digiatkan
oleh kapital. Di era kita, rasa nasionalisme dan rasa keagamaan tidak terlepas dari rasa
kebebasan yang diberikan oleh ekonomi liberal.
JMI: Jadi Sutiyoso itu ingin mengangkat semacam kolektif memori bangsa di masa
”looseness in the centre”?
AK: Melalui simbol-simbol kota. Tapi pada saat yang sama Sutiyoso itu juga pragmatis.
Dia ingin dikenang sebagai gubernur yang berprestasi. Jadi dia juga ikut budaya
gubernur di Jakarta sejak dulu sampai sekarang, yaitu bahwa setiap gubernur ingin
suatu ”monumen” dibangun pada jamannya. Jadi pembangunan yang bersifat short term
selalu diutamakan. Kalau diminta untuk investasi sesuatu yang lebih substansial tapi
memakan waktu jangka panjang, misalnya lebih dari 5 atau 6 tahun, yang melebihi
masa pemerintahannya, biasanya gubernur-gubernur tidak mau, merasa sayang
namanya nanti tidak muncul dalam sejarah. Kalau melebihi masa pemerintahannya,
proyek jangka panjang itu takut akan diklaim sebagai hasil dari pemerintahan gubernur
berikutnya.
Jadi monumen-monumen yang menjadi simbol kota itu tidak mempunyai makna yang
utuh, dia harus dipahami menurut konteks keberadaannya. Kita harus memahami
formasi sosial politik yang berkembang dan dikaitkan dengan monumen itu. Belum kita
ketahui juga bagaimana persepsi masyarakat terhadap monumen-monumen Sutiyoso
misalnya, jadi dibutuhkan riset sendiri.

Monumen di Era Bung Karno
JMI: Bagaimana pula dengan monumen-monumen di era Soekarno?
AK: Di era Soekarno kita mengalami ”state modernisme” ketika negara (bukan pasar)
mengambil peran utama dalam menata ruang kota. Untuk era ini kita perlu menganalisa
Presiden Soekarno dan geopolitik perang dingin beserta upaya negara ketiga untuk
membentuk jati dirinya yang moderen di luar tatanan blok Timur dan Barat. Uniknya, di
pasca perang dunia II itu, arsitektur modernis (yang memengaruhi bahasa arsitektur blok
Timur dan Barat) itu pula yang menjadi bahasa arsitektur dunia ketiga. Tampak sekali
Bung Karno terpesona oleh monumen-monumen yang bersifat modernis, dan monumen
itu punya bahasa tertentu yang menurut dia beda dari segala bahasa yang pernah ada
di ruang Indonesia. Soekarno tidak tertarik pada arsitektur kolonial atau bangunan
tradisional Indonesia. Dia lebih tertarik dengan bahasa yang baru, yang translokal.
Bahasa itu didiskusikan pada zamannya dan diterapkan di luar Indonesia, ada istilahnya
international style dan modernist architecture. Itu baginya adalah aspirasi dunia baru,
dan itu yang dia ambil. Untuk memahami bagaimana Bung Karno bisa berpikir demikian,
kita harus memahami konsep dari arsitektur modernis yang dia pakai, seperti gedung
Wisma Nusantara, gedung Parlemen dan boulevard yang sangat kontras dengan bagian
lain dari Jakarta. Konsep demikian itu bukan penemuan dari Bung Karno sendiri, tapi
dipinjam dari dunia luar. Beliau suka mengajak melalui pidato: ”Kalau kamu melihat kota
baru, lihatlah dunia luar misalnya Brasilia.”

6

Estetika dari arsitektur modernis bisa cocok dengan jiwanya Bung Karno karena
gerakan arsitektur modernist waktu itu percaya bahwa mentalitas manusia bisa dirubah
melalui kekuatan bentuk dan ruang arsitektur. Ada misi untuk men-”civilize” manusia
Indonesia melalui aristektur modernist. Konsep ini juga berlaku saat ini. Manusia dibawa
ke dalam superblok untuk dididik menjadi manusia superblok. Bedanya adalah
superblok masa kini dipengaruhi oleh ”market modernism” yang dalam keterbukaannya
cenderung men-segregasi-kan kelas.

Civic Space
JMI: Belakangan muncul konsep civic space di celah-celah market modernismenya era
neoliberal. Apa itu civic space?
AK: Civic space ini merupakan konsep baru yang muncul karena tidak puas dengan
konsep public space (yang telah kita diskusikan). Public space menurut teorinya itu
dimiliki atau diatur oleh negara. Jadi ada semacam ketergantungan dengan negara.
Masyarakat (kelas menengah merasa tidak bebas karena political consciousness-nya
tidak lepas dari framework negara. Sehingga, para urbanis mau memunculkan suatu
ruang baru yang namanya civic space, yakni ruang yang dibentuk (dan dimiliki) oleh
masyarakat sipil yang terlepas dari kekuatan negara dan ekonomi.
Alasan lainnya adalah untuk melawan ideologi neoliberal, public-private partnership,
yakni pada saat ruang publik milik negara telah ”dijualkan” ke private. Contohnya
Senayan. Bung Karno mengatakan tempat itu mengandung jiwa perjuangan bangsa,
dan situs itu hanya untuk pemerintahan dan olahraga. Pelan-pelan prinsip ruang publik
Senayan itu tergeser oleh ideologi public-privateship partnership.
Konsep civic space (yang di populerkan oleh Michael Douglass) ini berangkat dari
suasana dan aspirasi post-authoritarianisme Asia. Konsep ini ingin memberi peran yang
lebih banyak pada civil society dalam menghadapi kekuatan private / public partnership
yang telah diuraikan diatas. Jadi civic space itu adalah space-nya civil society– sebuah
ruang yang terbuka untuk semua golongan masyarakat tanpa dikuasai oleh kepentingan
negara dan ekonomi. Jadi menurut teori, civic space adalah ruang publik yang bisa
menjadi tempat untuk masyarakat madani, atau sipil, bisa berkembang tanpa tekanan
negara dan bisnis.
Konsep ini cukup menarik dalam usahanya untuk memperdaya civil society, tapi ia juga
punya kelemahan terutama dalam konteks civil society yang tidak menyatu– ketika
konflik mewarnai kehidupan masyarakat madani. Civil society itu tidak selalu demokratis
dan banyak anggota civil society yang tidak punya toleransi terhadap kemajemukan
ruang kota kita. Pertanyaan berikut sering muncul dalam diskusi civic space: Apakah
betul lebih baik organisasi masyarakat yang menguasai dan menjaga civic space?
Bukankah masyarakat sipil itu terbagi atas berbagai kepentingan? Siapakah yang
dimaksud dengan masyarak sipil? Yang bayar pajak? Yang punya tanah? Yang punya
kekuasaan? Yang punya jumlah penduduk terbanyak? Yang punya kepercayaan
tertentu? Yang punya nenek moyang di Nusantara?Jadi siapa yang menjamin

7

kehidupan civic space yang sehat bila civil society sendiri tidak mampu menjaganya
karena banyaknya kepentingan yang berbeda? Akhirnya, civic space yang baik mungkin
hanya bisa terwujud bila ”dijaga” (tanpa dikuasai) oleh negara yang civil, yakni negara
yang memiliki civic consciousness. Tapi cukup civil-kah negara kita?
JMI: Apakah mungkin negara menjaga civic space?
AK: Masalahnya adalah siapa lagi kalau bukan negara berdasarkan hukum yang punya
kekuatan menjaga kualitas civic space yang demokratis? Civic space harus dijamin
keamanannya supaya masyarakat merasa aman dan bebas mengkritik kebijaksanaan
negara yang dianggap tidak adil dan bijaksana.
Negara dan kapital sebenarnya mempunyai sikap yang ambiguous terhadap civic space.
Mereka jelas tidak mendukung civic space bila ia dipakai untuk, justru, mengkritik
negara dan kapital. Tapi Negara dan kapital juga perlu civic space karena mereka punya
kepentingan juga, yaitu untuk memoderasi konflik masyarakat. Bukankah lebih baik
menyediakan ruang untuk protes (yang tertib) dari pada sama sekali tidak ada ruang
untuk mencurahkan hati, sehingga yang terjadi adalah kekerasan tanpa kontrol? Jadi
dalam konteks ini kita bisa melihat kepentingan negara dalam menjaga keberadaan civic
space. Dalam konsep civic space, peran negara, kapital dan masyarakat memang agak
kontradiktif, tapi cobalah dipikirkan – Apakah civic space (space-nya civil society) bisa
berjalan dengan baik dan demokratis tanpa di dukung oleh negara?
JMI: Apakah penting menciptakan civic space yang sifatnya religius?
AK: Memang civic space itu sulit menjadi netral karena ia cenderung mau diisi oleh
makna, nilai dan norma oleh kelompok-kelompok yang merasa perlu memimpin civil
society. Bila pertaruhan nilai tidak terhindarkan terutama di masyarakat madani yang
tidak kompak, maka pertanyaannya adalah nilai yang mana? Norma dari mana? Dan
maknanya siapa? Apa kepentingannya? Apa konsekuensinya bila makna, nilai, dan
norma itu diterapkan? Siapa yang bakal tersingkirkan? Akhirnya kita terbentur pada
pertarungan makna ”civic-ness” dan apa maksud dari suatu ”peradaban” kota.
Pertanyaan-pertanyaan demikian haruslah dihadapi dulu sebelum memikirkan civic
space yang sifatnya religius. Apakah penting atau tidak untuk diadakan civic space yang
sifatnya religius tergantung pada konteks setempat. Pada saat menghadapi
komersialisasi ruang, misalnya, maka ide bahwa ada ruang bersifat religius yang tidak
bisa dijual-belikan adalah argumen yang penting untuk dihadirkan. Tapi bila civic space
yang bersifat religius itu maksudnya ruang yang tidak mengizinkan protes pada
pelanggaran hak asasi manusia atau tidak mengizinkan identitas majemuk, tentulah
bukan civic space lagi namanya.

8

Agama, Urbanisasi dan Memori Bangsa
JMI: Bagaimana Anda melihat dinamika pembangunan rumah-rumah Ibadah di
Indonesia? Apakah framework mayoritas-minoritas bisa ditempatkan di sini?
AK: Hubungan antara agama dan urbanisasi belumlah banyak dianalisa dalam studi
perkotaan. Dinamika pembangunan rumah-rumah ibadah di Indonesia sekarang cukup
penting untuk dikaji. Apakah ada kaitannya dengan masalah ketimpangan sosial dan
kemiskinan? Masalah transmisi tradisi beragama? Masalah penciptaan kebersamaan
dalam kesusahan dan keberhasilan? Masalah penguasaan identitas? Masalah konflik
mayoritas dan minoritas? Tidaklah jelas, tapi realitas menunjukkan bahwa kalau di
Indonesia dalam pembangunan rumah ibadah untuk Muslim sangat dipermudah, tapi
kalau untuk membangun gereja, misalnya, itu akan dipersulit. Dalam hal ini terlihat
struktur-struktur yang mendukung dan juga membatasi identitas suatu agama.
Masalahnya mungkin bukanlah hanya karena mayoritas perlu lebih banyak bangunan
ibadah, tapi berkurangnya toleransi kemajemukan dan ambiguitas dalam pembangunan
identitas agama. Padahal kemajemukan dan toleransi adalah kolektif memorinya
Indonesia. Sayang kolektif memori demikian makin diancam oleh kolektif memori yang
mengutamakan konflik dan pembedaan.
Kembali ke monumen dan memori, kalau kita melihat mesjid-mesjid tua, kita bisa
merasakan percampuran arsitekturnya dengan elemen Hindu, Buddha, dan
kepercayaan lokal. Kalau kita melakukan studi mesjid kuno itu terlihat jelas bahwa ada
percampuran dan ambiguitas identitas, suatu suasana yang juga dimiliki beberapa
bangunan ibadah agama lainnya. Tradisi sinkretisme demikian sering terlupakan
meskipun sebetulnya ia punya kolektif memori yang cukup kuat. Mungkin karena
konteks politik dan ekonomi sekarang kelihatannya nilai-nilai sinkretisme itu makin
dipermasalahkan. Jadi saat ini bisa disebut juga sebagai masa munculnya wacanawacana moralitas yang membekukan identitas. Norma-norma makin berperan sehingga
perasaan ambiguitas yang menjadi dasar terbentuknya toleransi menjadi makin
tergeser.
JMI: Memori seperti apa yang perlu terus dibangun dalam ingatan masyarakat
Indonesia?
AK: Bahwa Indonesia itu dibentuk oleh berbagai kalangan masyarakat majemuk,
Pramoedya Ananta Toer memakai istilah anak semua bangsa; bahwa Indonesia itu
bukan warisan yang bisa dimonopoli oleh suatu kelompok, tapi ia adalah suatu proyek
bersama yang sifatnya incomplete; Bahwa Indonesia itu incomplete dan berorientasi ke
depan (future-perfect, menurut Ben Anderson) menunjukan perlunya partisipasi dan
usaha semua orang untuk menjaga dan membina kualitas kemajemukannya. Memori
demikian sering terlupakan karena sudah dihapuskan oleh wacana warisan nenek
moyang, wacana ”milik kita,” ”semau gue” dan ”sesuka bapak” – semua ini adalah
ungkapan-ungkapan dan kebiasaan-kebiasaan yang akhirnya meruntuhkan memori
kolektif dan juga menjatuhkan civic-ness dari sebuah ruang publik.
JMI: Apakah proses pelupaan itu bagus / baik bagi memori bangsa Indonesia?
AK: Memori bangsa itu selalu selektif dan terikat konteks. Bangsa itu, kata Ben
Anderson, seperti manusia. Kita dibentuk oleh pelupaan, karena kita tidak pernah ingat

9

saat kita dilahirkan atau masih bayi. Kita diingatkan melalui cerita orang tua, foto album,
video, dan sebagainya. Si itu kakakmu, si itu adikmu, sering kaget juga ternyata kita
anak pungutan. Itu pun kita tahunya karena cerita orang. Asalmu dari mana itu tidak
pernah habis awal dan akhir ceritanya. Jadi kalau ada tugas mencari asal mula, maka
orang cenderung ingin melihat jauh ke belakang– semakin jauh semakin baik, katanya.
Politiknya tentu ada juga. Bagaimana kalau oomku ternyata bajingan; bagaimana kalau
tanteku dari tanah seberang; bagaimana kalau kakek-ku komunis, wah untunglah
ternyata iparnya nenekku ajudan jendral dan sebagainya. Dalam situasi demikian, orang
cenderung memilih koneksi mana yang ingin ditampilkan.
Sejarah bangsa itu juga demikian, disusun mirip album famili. Tidaklah mungkin pernah
lengkap, bisa berubah, dan selalu disertai pelupaan karena malu, benci, takut, dan
sebagainya bila diketahui generasi berikutnya. Memori bangsa memang dibentuk dari
pelupaan, atau pelupaan selektif. Yang penting bukanlah pelupaan itu bagus atau tidak,
karena tidak ada memori tanpa pelupaan, tapi bagaimana pelupaan itu dipahami
sebagai bagian dari keputusan dan kebutuhan politik. Pelupaan itu bagus bila
diperlihatkan prosesnya– sehingga kita menjadi cerdas, paham, dan mengerti sejarah
dan konsekuensinya. Bagus juga bila kita mengetahui bahwa bangsa kita bukanlah hasil
warisan yang tidak perlu dipertanyakan, tapi perjuangan yang penuh dengan politik
pelupaan.
Bahwa, seperti Walter Benjamin pernah bilang, barbarism adalah bagian dari civilization
kita, dan mengetahui kontradiksi ini akan membantu generasi muda untuk memahami
dirinya, sebagai akibat pelupaan– bukan warisan. Dengan demikian, semoga generasi
muda menjadi lebih terbuka dan kritis dalam menghadapi wacana dan politik pelupaan
yang mereka hadapi dalam konteks mereka sendiri.
JMI: Sebagai bagian dari pertanyaan terakhir, bagaimana mengatasi kontestasi ruang
kota di Indonesia antara masyarakat kelas atas dan kelas bawah?
AK: Seperti telah kita coba diskusikan, kebijaksanan ekonomi kita, sejak akhir tahun
1980an, adalah berdasarkan prinsip public-private partnership, yang mirip dengan
praktek ekonomi neo-liberal. Dalam sistem ini, manusia diberi kebebasan untuk
memperbaiki nasibnya melalui mekanisme pasar bebas– artinya makin banyak barang
dan ruang yang bisa dijual-belikan, makin banyaklah kesempatan untuk memperbaiki
nasib. Menurut ceritanya, makin banyak aset yang bisa dijual-belikan, makin
sempurnalah sistemnya– aset-aset ini sering termasuk kesehatan, pendidikan,
perumahan, dan ruang publik.
Bagi negara, ini berarti membantu memperluas ruang ekonomi– artinya melepaskan
aset-aset negara (termasuk ruang publik) supaya bisa dijual-belikan. Negara juga
melepaskan, secara perlahan-lahan (- supaya tidak habis diprotes), hak dan
kewajibannya atas kesejahteraan rakyat. Dengan demikian paket-paket kesejahteraan
itu pun bisa dijual-belikan di pasar bebas. Terjadilah apa yang kita pahami sebagai
private-public partnership.
Kebjiaksanaan yang demikian (seperti telah diungkapkan di atas) mengubah status
ruang publik karena telah dimasukkan ke pasar untuk bisa dijual-belikan atau diberi izin
komersialnya, dan sebagainya). Kita lihat makin banyak ruang publik di Jakarta,
misalnya, menjadi ruang private berorientasi publik.

10

Kebijaksanaan ini jelas berpengaruh besar pada masyarakat miskin kota karena tempat
tinggal mereka di ruang-ruang milik negara menjadi target penyediaan lahan untuk bisa
dijual-belikan. Akibatnya, terjadi banyak penggusuran. Lahan-lahan ini ingin
dimanfaatkan oleh pemerintah kota untuk memperluas taman kota, untuk menyediakan
infrastruktur dan untuk mengembangkan ruang private berorientasi publik. Semua ini
bertujuan untuk menjadikan kota Jakarta lebih menarik bagi investor dan masyarakat
kelas menengah-atas karena kota yang indah bukan hanya nyaman tapi juga akan
menaikkan nilai properti dari penghuninya.
Dari skenario ini, jelaslah bahwa kebijaksanaan ekonomi neo-liberal berpotensi
membuka lebih luas jurang yang memisahkan kelas atas dan kelas bawah. Dan jurang
ini bisa membuka atau memperdalam jurang-jurang yang lain seperti jurang perbedaan
agama, etnisitas dan identitas-identitas yang lain. Jadi konflik kelas merupakan masalah
yang sangat menekan kehidupan kota. Dan konflik ini terlihat di ruang publik yang kini
telah banyak di-privatisasi. Penggusuran adalah manifestasi dari konflik itu, dan
masyarakat kelas bawah akhirnya kehilangan hak untuk tinggal di dalam kota.
Bagaimana mengatasinya? Sudah banyak contohnya di negara-negara maju tapi pada
umumnya bukan contoh yang baik. Biasanya yang miskin dipindahkan ke luar kota–
sehingga pusat kota makin dikuasai oleh kelas atas. Bayangannya adalah terciptanya
keseragaman pusat kota, tempat masyarakat dari kelas yang sama tinggal di superblok
dan keluar-masuk kota yang telah penuh dengan taman dan jaringan pedestrian dan
transport yang efisien (-kelihatannya Tata Ruang Jakarta 2010-2030 sudah
mengisyaratkan program demikian).
Tapi penyelesaian ini akan dipenuhi oleh banyak masalah, pertama, karena masyarakat
kelas atas telah terbiasa tergantung pada masyarakat kelas bawah. Kedua, karena kota
yang secara ruang terbagi miskin dan kaya akan makin mengundang konflik. Ketiga,
masyarakat kelas bawah yang telah tergeser keluar juga akan meminta penyediaan
sarana yang memadai dan pemerintah kota tidak akan mampu menyediakan, sementara
investor pun tidak akan memberi dana untuk menfasilitasi kelas bawah karena kurang
profit.
Lantas bagaimana mengatasi konflik kelas? Mungkin jawaban sederhananya adalah
memberi ruang pada masyarakat miskin untuk hidup di dalam kota, sehingga
merekapun mendapat bagian dari hasil perbaikan kota (dan kampung). Bukankah
masyarakat miskin juga adalah anggota civil society? Bukankah mereka bisa ikut
berperan dalam pembinaan civic space? Apakah mungkin, masyarakat bawah diberi
kesempatan untuk mendapat bagian dari hasil profit private-public partnership? David
Harvey bahkan pernah menyarankan supaya masyarakat kelas bawah diberi kekuasaan
untuk ikut menentukan pemakaian dana hasil dari profit yang diperoleh dari privatepublic partnership? Mungkin kita perlu belajar dulu dari organisasi masyarakat yang
telah banyak membantu kaum miskin kota?
JMI: Apakah pembentukan ruang itu sendiri, seperti konsep peri-urban, desa-kota itu
bisa disebut pembentukan ”segregasi” mentalitas juga?
AK: Pierre Bourdieu pernah mengatakan bahwa pengalaman kita dalam sebuah ruang
dibentuk menurut posisi kelas dan identitas kita dalam struktur masyarakat. Jadi ruang
dan identitas itu saling berkait. Ruang memperkuat identitas dan sebaliknya. Meskipun
demikian hubungan ruang dan manusia tidaklah mutlak, karena kontradiksi sering terjadi

11

dalam hubungan tersebut. Wacana-wacana dan realitas-realitas (politik, ekonomi dan
sosial) yang memberi desa kedudukan yang lebih rendah dibandingkan dengan kota
bisa menyebabkan urbanisasi. Akibatnya adalah makin terbelangkangnya kedudukan
desa dan makin bias terhadap kota dalam segala peraturan pemerintah. Orang desapun
selalu dianggap lebih rendah dari pada orang kota, dan sebagainya. Sementara desa
menjadi tempat impian bagi kota yang dianggap terpolusi modernitas. Apakah ini yang
disebut segregasi mentalitas? Bisa jadi, meskipun dalam kehidupan nyata kita merasa
bahwa desa dan kota saling bertaut sehingga terbentuk suatu gaya kehidupan Jakarta
yang khas.
Konsep peri-urban dan desa-kota itu boleh dikatakan melawan segregasi mentalitas.
Konsep ini berasal dari ahli geografi, seperti Terry McGee yang mengambarkan proses
urbanisasi [-ekspansi kota (urban sprawl)] yang dianggap unik. Pemekaran kota ke desa
katanya tidak menghilangkan desa, tapi justru percampuran antara kedua wilayah
tersebut dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Terry McGee menganggap desa-kota itu
memberi harapan bagi kota Indonesia. Tapi ada juga ahli yang menganggap
perkembangan yang terjadi di Indonesia (khususnya Jakarta) cukup patologis. Misalnya,
daerah peri-urban itu telah menjadi arena permainan kapital dalam bentuk industriindustri milik multicorporation yang menginginkan buruh murah dari desa. Sementara itu,
di era market modernisme-nya Soeharto, banyak lahan juga terambil oleh developer
besar untuk pembangunan rumah mewah dan kelas menengah. Tanah-tanah di periurban telah menghasilkan banyak uang, dan pada saat yang sama cocok dengan politik
Indonesia pada tahun 1980an, ketika ada suatu keinginan untuk menciptakan generasi
Indonesia baru yang menjauhi kota. Melalui kota baru di peri-urban diharapkan tercipta
dunia baru tempat manusia baru yang sesuai dengan Orde Baru itu bisa dilahirkan.
Budaya bermobil juga muncul karena meskipun di peri-urban telah dibangun berbagai
fasilitas untuk membuat pusat Jakarta itu tidak terlalu dipadati orang penduduk, tetap
saja ada usaha untuk terus mengakses pusat kota– dengan mobil dan sekarang juga
dengan sepeda motor. Sementara itu makin banyak perumahan kumuh di peri-urban
karena tidak tersedianya perumahan yang cukup bagi tenaga kerja di daerah industri.
Intinya, meskipun peri-urban itu telah berkembang dan makin bising, ia makin di penuhi
masalah. Status ”frontier” dari peri-urban untuk membantu menyelesaikan masalah
Jakarta tidaklah membantu peri-urban itu sendiri. Masalah di peri-urbanpun makin
banyak dan ini kembali ke topik yang menjadi bahan diskusi kali ini, yaitu penyerangan
terhadap kebebasan beragama. Penyerangan terhadap gereja oleh kelompok radikal
Islam makin banyak terjadi di daerah per-urban seperti Bekasi dan juga Bogor. Kitapun
akhirnya dipaksa untuk berpikir lebih luas bagaimana menjalin konflik agama dengan
rangkaian politik ekonomi dan kehidupan sosial kita yang spesifik tapi tidak terlepas dari
kekuatan global.

Abidin Kusno adalah seorang sejarahwan arsitektur dan perkotaan Indonesia. Minat
utamanya dalam dunia akademik adalah pada kajian sosiologi, antropologi, budaya
visual, sejarah dan politik. Ia mengajar di University of British Columbia. Beberapa buku
yang pernah Ia tulis antara lain: 1) Appearances of Memory: Mnemonic Practices of
Architecture and Urban Form in Indonesia (Durham: Duke University Press, 2010); 2)
Behind the Postcolonial: Architecture, Urban Space and Political Cultures in Indonesia.
(London and New York: Routledge, 2000); 3) Ruang Publik, Identitas dan Memori
Kolektif: Jakarta Pasca-Soeharto. Yogyakarta: Ombak Press, 2009; 4) Penjaga Memori:
Gardu di Perkotaan Djawa, Yogyakarta: Ombak Press, 2006.

12