Otonomi Daerah dan Desentralisasi. docx

MAKALAH
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH

NAMA ANGGOTA KELOMPOK 2:
1. FERNANDO R. BREEMER
2. JAMES D. YAWAN
3. JANA MORIN
4. MARTEN DEGEI
5. MEIVY TATORI
6. MELKIANUS PAPARE

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
MANAJEMEN ADMINISTRASI
PERKANTORAN
2017
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami naikkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas rahmatNya kami
kelompok 2 dapat menyelesaikan makalah Administrasi Pemerintahan Daerah Yang Membahas Tentang
Perbedaan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah beserta
Peluang, Tantangan dan Solusi Dari Tiap Udang- Undang.

Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik berupa materi maupun pikiran.
Dan harapan kami, semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, untuk kedepannya dapat mempernbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi
lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak kekurangan
dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Jayapura, 4 Mei 2017

Kelompok 2
Manajemen Administrasi perkantoran | S1

Daftar Isi

Kata Pengantar............................................................................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang...................................................................................................................................1
1.2 Rumusan Maslah..............................................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................................................................1
BAB II: PEMBAHASAN
2.1 Sekilas Tentang UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 ................................................2
2.2 Perbandingan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004...................................................4
2.3 Peluang, Tantangan dan Solusi UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004.........................6
2.3.1 Peluang....................................................................................................................................8
2.3.2 Tantangan.................................................................................................................................9
2.3.3 Solusi......................................................................................................................................10
BAB III: PENUTUP
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................................11
3.2 Saran...............................................................................................................................................11
Daftar Pustaka
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Reformasi bidang pemerintahan daerah salah satunya adalah tuntutan demokratisasi
penyelenggaraan pemerintahan di daerah itu sendiri, terutama optimalisasi peran Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Reformasi ditandai dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintah Daerah. Kemudian disusul dengan lahirnya Undang – Undang baru yang
mengantikan Undang – Undang tersebut diatas, yaitu Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerinatah daerah.
Misi utama Undang – undang tersebut adalah Desentralisasi yang memberikan sebagian
wewenang Pemerintah Pusat kepada Daerah, untuk melaksanakan dan menyelesaikan urusan yang
menjadi tanggung jawab dan menyangkut kepentingan daerah yang bersangkutan (Otonomi). Yaitu
urusan yang menyangkut kepentingan dan tanggung jawab suatu daerah dalam urusan umum dan

pemerintahan,

penyelesaian

fasilitas

pelayanan

dan

urusan


Sosial,

Budaya,

Agama

dan

Kemasyarakatan.
Kewenangan daerah dalam bidang pemerintahan semua tercantum sebagaimana yang diatur
dalam Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 . Hal
yang mendasar yang membedakannya ialah mengenai hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah, serta antar Pemerintah Daerah itu sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
a) Sekilas Tentang UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No, 32 Tahun 2004
b) Perbandingan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No, 32 Tahun 2004
c) Peluang, Tantangan dan Solusi dari UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No, 32 Tahun 2004
1.3 Tujuan Penulisan
a) Mempelajari dan Mengenal UU tentang Pemerintah Daerah
b) Apa saja yang Peluang, Tantangan dan solusi akibat diberlakukannya UU tersebut

c) Menyelesaikan Tugas yang Diberikan Oleh Dosen Pengampuh
BAB II
Pembahasan
2.1 Sekilas Tentang UU No. 22 Tahun 1999 dan UU N. 32 Tahun 2004
Pelaksanaan

otonomi

daerah

berdasarkan

Undang-Undang

Nomor

22 Tahun

1999


Tentang Pemerintahan Daerah dan juga diikuti dengan otonomi Desa telah berlangsung sekitar 4
(empat) tahun. Selama periodisasi pelaksanaan otonomi ini telah terjadi perubahan yang
mendasar dari konsepsi pelaksanan otonomi daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Jika
sebelumnya pelaksanaan “otonomi daerah” dijalankan secara sentralistik, melalui UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 ini dicoba diberikan makna otonomi yang sesungguhnya.
Namun demikian, ternyata Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini tidak berumur lama.
Hanya berjalan sekitar 5 (lima) tahun, Undang-undang ini harus diganti dengan Undang- undang yang
baru. Pada bulan September 2004 telah terjadi perubahan besar menyangkut perubahan paradigma
dan substansi materi mengenai otonomi daerah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

yang telah dianggap tidak relevan lagi untuk diterapkan sebagai payung hukum Pelaksanaan Otonomi
Daerah di Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah telah
disahkan dan diundangkan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri pada tanggal 15
Oktober 2004.
Pengesahan Undang-undang Otonomi Daerah yang baru ini, oleh sebagian kalangan dianggap
sebagai


kemunduran

sesungguhnya.

konseptual

Undang-undang

dan kontekstual

bagi pelaksanaan

otonomi daerah yang

yang telah disahkan pada akhir september 2004 tersebut

sebenarnya bukan hanya revisi atas Undang-undang sebelumnya. Lebih tepat jika kemunculan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 nyata-nyata sebagai pengganti bagi Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 yang telah dianggap tidak relevan lagi.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang sebelumnya hanya
terdiri dari 16 Bab dengan 134 Pasal telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 yang terdiri dari 16 Bab dengan 204 Pasal. Dari sinilah perbedaan demi perbedaan dapat
ditemui dari kedua Undang-undang tentang pemerintahan daerah tersebut.
Pergeseran

demi

pergeseran

pemaknaan

tentang

konsep

otonomi

daerah

yang


fundamental dapat ditemukan dari pergantian Undang-undang tersebut. Makna desentralisasi
misalnya, dari penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintahan kepala daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Pemerintahan Republik
Indonesia. Perubahan kalimat “Untuk mengatur dan mengurus rumah pemerintahan dalam sistem
Pemerintahan Republik Indonesia” dalam Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
tersebut sebenarnya telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Penambahan
kalimat tersebut hanya akan menyempitkan makna otonomi (khususnya yang bersifat politis) di
daerah. Pemahaman sempit yang muncul dari adanya kalimat tersebut menimbulkan pengertian yang
membatasi otonomi daerah menjadi hanya pada kewenangan untuk mengatur dan mengurus
urusan Pemerintahan Daerah. Kalimat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan akan semakin
sempit dipahami hanya sebagai penyerahan kewenangan secara birokratis bukan penyerahan
kewenangan yang seutuhnya sesuai dengan kehendak otonomi oleh sebagian besar masyarakat.
Selain pergeseran makna desentralisasi, makna otonomi daerah juga bergeser. Dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Otonomi Daerah

adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Perbedaan

yang mendasar dari kedua makna otonomi daerah berdasarkan


kedua

Undang-undang adalah dihapuskannya kalimat “Kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri

berdasarkan

aspirasi

masyarakat”

dari

pemaknaan

Otonomi

Daerah sebagaimana

yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Penghapusan kalimat tersebut akan

memberikan implikasi atas kewenangan yang diserahkan kepala daerah otonom. Daerah otonom
akan sangat dibatasi hanya dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku dan bukan pada
adanya kehendak dan aspirasi dari masyarakat setempat. Padahal, secara
Perundang-undangan

nyata

Peraturan

yang dimaksud adalah tidak lain Peraturan Perundang-undangan diatas

Peraturan Daerah yang kewenangan pembuatannya berada pada kekuasaan Pemerintahan Pusat. Dari
sinilah, terkesan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah akan
mengembalikan konsep desentralisasi sebagai konsep dasar pelaksanaan otonomi daerah menjadi
sentralisasi yang justru mengkerdilkan makna otonomi itu sendiri.
Pada hakikatnya, perubahan – perubahan atau revisi undang – undang mengenai sistem
pemerintahan daerah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dengan memberikan wewenang kepada
daerah untuk mengurus sendiri daerahnya dan terciptanya kemandirian serta terwujudnya kepentingan
masyarakat. Perubahan ini pula sebagai upaya untuk mengatasi masalah – masalah yang timbul pada
undang – undang yang berlaku sebelumnya. Bukan berarti dengan perubahan ini tidak akan
menimbulkan masalah baru, tetapi akan semakin meminimalisir masalah – masalah yang ada guna
terwujudnya suatu pemerintahan daerah yang baik nantinya.
2.2 Perbedaan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004
Setiap Undang – Undang pasti memilki sebuah perbedaan dalam berbagai hal, dalam persoalan ini
adalah UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, biarpun sekilas keduanya hampir sama yaitu
membahas tentang Otonomi Daerah (Pemerintahan Daerah) tetapi keduanya memiliki beberapa
perbedaan karena mengalami beberapa revisi dan perubahan. Berikut ini adalah beberapa perbedaan
antara kedua UU:
No.

PERBEDAAN

UNDANG-UNDANG
UU No 22 Tahun 1999

UU No 32 Tahun 2004

ANALISIS

1.

Konsep Otonomi
Daerah

Otonomi Daerah adalah
kewenangan daerah Otonom
untuk
menatur
dan
mengurus
kepentingan
masyarakat
setempat
menurut prakarsa sendiri
berdasarkan
aspirasi
masyarakat sesuai dengan
peraturan
perundangundangan.
(Pasal 1 huruf h)

2.

Pemerintahan
Daerah

pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
otonom oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut
asas desentralisasi. (ps.1
huruf d)

3.

Pemerintah
Daerah

Pemerintah daerah
kepala
daerah
perangkat daerah
yang lain sebagai
eksekutif daerah.(ps
b)

adalah
beserta
otonom
badan
1 huruf

Otonomi Daerah adalah
hak, wewenang, dan
kewajiban
daerah
otonom
untuk
mengatur
dan
mengurus
sendiri
urusan pemerintahan
dan
kepentingan
masyarakat
setempat
sesuai
dengan
peraturan perundangundangan.
(Pasal 1 angka 5)
Pemerintahan daerah
adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas
otonomi dan tugas
pembantuan
dengan
prinsip otonomi seluasluasnya dalam sitem
dan prinsip Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-Undang Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945.
(Ps.1 angka 2)

Pada
intinya
sama,
Otonomi
daerah
merupakan hak wewenang
dan kewajiban daerah
untuk mengurus urusan
pemerintahannya sendiri.

pemerintah
daerah
adalah gubernur, bupati,
atau
walikota
dan
perangkat
daerah
sebagai
unsur
penyelenggara
pemerintah
daerah.
(ps.1 angka 3)

dalam UU no.32/2004
terdapat
penunjukan
secara jelas siapa saja
pelaksana
pemerintah
daerah yang dimaksud,
seperti Gubernur, bupati,
walikota. sedangkan dalam
UU No.22/1999 pelaksana
pemerintah daerah hanya
disebut secara umum yaitu
kepala
daerah
dan
perangkat-perangkatnya
sebaga badan eksekutif
daerah

Dalam UU No.22/1999
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
otonom oleh pemerintah
dan DPRD hanya berdasar
asas
desentralisasi.
Sedangkan dalam UU
No.32/2004
penyelenggaraan
pemerintah daerah oleh
pemda
dan
DPRD
menganut asas otonomi
serta tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi
yang seluas-luasnya.

4.

Kewenangan
Daerah

Kewenangan
daerah
mencakup
kewenangan
dalam
seluruh
bidang
pemerintahan,
kecuali
kewenangan dalam bidang
politik
luar
negeri,
pertahanan
keamanan,
peradilan, moneter dan
fiskal,
agama,
serta
kewenangan dalam bidang
lain. (Ps. 7 ayat 1)
Kewenangan bidang lain
sebagaimana di maksud
dalam ayat (1), meliputi
kebijaksanaan
tentang
perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan
nasional secara makro, dana
perimbangan
keuangan,
sistem administrasi negara
dan lembaga perekonomian
negara, pembinaaan dan
pemberdayaaan
sumber
dana
manusia,
pendayagunaan sumber daya
alam serta teknologi tinggi
yang strategis, konservasidan
standarisasi nasional. (Ps. 7
ayat 2)

Pemerintahan daerah
menyelenggarakan
urusan pemerintah yang
menjadi
kewenangannya kecuali
urusan pemerintah yang
oleh Undang-Undang ini
di tentukan menjadi
urusan Pemerintah. (Ps.
10 ayat 1)
Urusan
pemerintah
yang
dimaksud
sebagaimana pada ayat
(1) meliputi:
a. Politik luar negeri
b. Pertahanan
c. Keamanan
d. Yustisi
e. Moneter dan fiskal
nasional
f. Agama
(Ps. 10 ayat 3)

Dalam UU No.22/1999
urusan pemerintahan yang
bukan menjadi urusan
pemerintahan
daerah
meliputi:
politik
luar
negeri,
pertahanan
keamanan,
peradilan
moneter
dan
fiscal
nasional, agama di tambah
di dalam Ps. 7 ayat 2 yaitu
kewenangan bidang lain
yang meliputi: kebijakan
tentag
perencanaan
nasional dan pengendalian
pembangunan
secara
makro, dana perimbangan
keuangan,
sistem
administrasi
negara,
pembinaan
dan
pemberdayaan
sumber
daya
manusia,
pendayagunaaan sumber
daya alam serta teknologi
tinggi
yang
strategis,
konservasi
dan
standarisasi
nasional.
Sedangkan dalam UU
No.32/2004
urusan
pemerintah yang menjadi
urusan pemerintah Daerah
hanya terbatas pada yang
di sebutkan dalam (Ps. 10
ayat 3) yaitu: politik luar
negeri,
pertahanan,
keamanan,
yustisi,
moneter
dan
fiscal
nasional, agama.

2.3 Peluang, Tantangan dan Solusi UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004
Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 sama-sama
mengandung asas desentralisasi. Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan bentuk sistem
penyerahan urusan pemerintahan dan pelimpahan wewenang kepada daerah yang berada dibawahnya.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Chalis, 2005). Dengan
kata lain, pemerintah daerah diberi wewenang/kekuasaan untuk mengatur dan mengelola kepentingan
wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan

keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat
daerah lingkungannya.
Sejak tahun 1945 sampai era Orde Baru, pemerintahan bersifat sentral dan di era Reformasi ini
diganti dengan asas desentralisasi atau otonomi yang pertama kali diturunkan berdasarkan UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian dilanjutkan dengan UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah pusat memberikan keleluasaan kepada masyarakatnya untuk
mengelola dan memanajemen potensi yang dimiliki masing-masing daerah yang diwadahi oleh
pemerintah daerah.
Dalam perkembangannya, konsepsi mengenai otonomi daerah yang pada dasarnya merupakan
sistem Pemerintahan desentralisasi atau tidak dari pusat sering terjadi kesalahpahaman dalam
menjalankannya. Apakah hal tersebut dikarenakan masih minimnya pengetahuan mengenai konsep
desentralisasi, atau mungkin karena kurang siapnya baik itu masyarakat atau pemimpin daerah dalam
menjalankan proses otonomi daerah.
Oleh sebabnya akan dibahas lebih lanjut mengenai Peluang, Tantangan Dan Solusi
diberlakukannya asas desentralisasi dalam Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2004.
2.3.1 Peluang
Peluang yang didapat akibat diberlakukanya Desentralisasi Pada UU No. 22 Tahun 1999 & 32 Tahun
2004:
1. Kondisi SDM Aparatur Pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya Pelaksanaan
Otonomi Daerah
Penyelenggaraan otonomi daerah yang baik haruslah didukung oleh kondisi SDM aparatur
pemerintah yang memiliki kualitas yang cakap sehingga dapat menjalankan berbagai kewenangan
pemerintah daerah. Namun sayangnya hal ini cukup sulit untuk diwujudkan. Pentingnya posisi
manusia karena manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yang bertindak/berfungsi
sebagai subjek penggerak roda organisasi Pemerintahan. Oleh sebab itu kualitas mentalitas dan
kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya melahirkan impikasi yang kurang
menguntungkan bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Manusia pelaksana Pemerintah daerah
dapat di kelompokkan menjadi:

1) Pemerintah daerah yang terdiri dari kepala daerah dan dewan perwakilan daerah (DPRD).
Dalam kenyataan syarat syarat yang di tentukan bagi seorang kepala daerah belum cukup
menjamin tuntutan kualitas yang ada.
2) Alat-alat perlengkapan daerah yakni aparatur daerah dan pegawai daerah.
3) Rakyat daerah yakni sebagai komponen environmental (lingkungan)yang merupakan sumber
energi terpenting bagi daerah sebagai organisasi yang bersifat terbuka.
Para aparatur Pemerintah daerah pada umumnya memiliki kualitas yang belum memadai, hal ini
juga disebabkan oleh kurangnya kemampuan daerah dalam merekrut pegawai baru yang berada di
luar struktur Pemerintahan sebelumnya. Menurut Widjaja (2003:37) Daerah mempunyai
kewenangan untuk mengangkat perangkat daerah, namun belum cukup jelas kewenangannya
untuk merekrut perangkat daerah baru yang berada di luar struktur Pemerintahan sebelumnya,
misalnya merekrut dari kalangan LSM, Perguruan Tinggi, kalangan Swasta Profesional dan lain-lain.
Hal ini menyebabkan daerah sulit untuk mendapatkan calon-calon pegawai yang cakap.
2. Bergesernya Korupsi Dari Pusat Ke Daerah
Korupsi yang awalnya terjadi pada Pemerintah pusat bergeser ke daerah karena daerah
diberikan wewenang sendiri dalam mengatur keuangannya. Banyak pejabat daerah yang masih
mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk ke luar Negeri dengan alasan
studi banding. Otonomi daerah memberikan kewenangan yang sangat penting bagi kepala daerah.
Hal ini juga menyebabkan adanya kedekatan pribadi antara kepala daerah dan pengusaha yang
ingin berinvestasi di daerah. Dengan begitu maka akan terjadi pemerasan dan penyuapan.
Contoh Kasus: Pertama, Yumler Lahar. Yang menjabat Walikota Solok. Kasus yang menjeratnya
adalah “pembatalan kerjasama antara Pemerintah Kota Solok, Sumatra Barat dan Investor Hariadi,
yang menyebabkan kerugian negara”. Dalam hal ini negara dirugikan sebesar 1,3 miliar (Kompas, 11
Agustus 2004) Kedua, kasus korupsi yang menimpa Wakil Bupati Agam. Umar diduga terlibat dalam
kasus korupsi proyek swakelola perbaikan jalan lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Agam
tahun 2008 dengan kerugian negara RP 2.9 miliar (Kompas, selasa, 9 November 2010).
3. Eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam
pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi
pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah
muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan
optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah

harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun
pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang
statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah
juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dengan alasan di atas, biasanya Pemerintah daerah
kemudian berusaha mencari pendapatan daerah sebanyak mungkin, seperti melalui pemungutan
pajak, retribusi, hingga eksploitasi daerah yang maksimal.
4. Potensi Munculnya Konflik Antar Daerah
Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-sentrisme atau fenomena primordial
kedaerahan semakin kuat. Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa kebijakan di daerah
yang menyangkut pemekaran daerah, pemilihan kepala daerah, rekruitmen birokrasi lokal dan
pembuatan kebijakan lainnya. Selain itu, ancaman disintegrasi juga dapat memicu sebuah konflik.
Dengan adanya pelimpahan pelimpahan wewenang kepada daerah menyebabkan daerah menjadi
terbagi-bagi dan muncul kesenjangan yakni ketimpangan pembangunan antara daerah yang
sumber dayanya kaya dengan daerah yang hanya memiliki sumber daya alam yang sedikit.
Adanya potensi sumber daya alam di suatu wilayah, juga rawan menimbulkan perebutan dalam
menentukan batas wilayah masing-masing. Konflik horizontal sangat mudah tersulut. Di era
otonomi daerah tuntutan pemekaran wilayah juga semakin kencang dimana-mana. Pemekaran ini
telah menjadikan NKRI terkerat-kerat menjadi wilayah yang berkeping-keping. Satu provinsi pecah
menjadi dua-tiga provinsi, satu kabupaten pecah menjadi dua-tiga kabupaten, dan seterusnya,
semakin berkeping-keping NKRI semakin mudah separatisme dan perpecahan terjadi.
2.3.2 Tantangan
Tantangan yang dihadapi pemerintah dalam menerapkan sistem Otonomi Daerah diantaranya
(1) mentalitas aparat pemerintah yang belum berubah dari mindset sentral menjadi disentral
(otonom); (2) hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah; (3) sumber daya manusia yang
terbatas; (4) pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan dan
penguasaan aset oleh aparat pemerintah; serta (5) keinginan pemerintah untuk menjadikan desa
sebagai unit politik di samping unit sosial budaya.
Dalam situasi yang serba terikat selama lebih dari tiga puluh tahun, tiba-tiba daerah diberikan
kewenangan yang sedemikian besar. Dengan kewenangan yang cukup besar tersebut berarti
pemerintah daerah memiliki keleluasaan dan tanggung jawab yang lebih besar daripada sistem yang

berlangsung sebelumnya. Akan tetapi di sisi lain, mentalitas sumber daya manusia hingga saat ini
masih belum berubah dari mindset sentralisme menjadi disentralisme atau otonom. Maka, tidak
mengherankan jika muncul persoalan-persoalan seperti batas wilayah, ketidakharmonisan
hubungan antar institusi pusat daerah, berbagai konflik horizontal yang dipengaruhi oleh konfigurasi
etnis dan berbagai kebijakan untuk meningkatkan pendapatan daerah yang cenderung
memberatkan rakyat.
Di sisi lain pemerintah daerah juga dihadapkan pada berbagai tantangan baik internal maupun
eksternal. Tantangan internal yang dihadapi oleh pemerintah antara lain adalah lemahnya sumber
daya aparatur pemerintah daerah, sementara masyarakat telah mengalami perkembangan yang
cukup pesat, sehingga tuntutan terhadap pengelolaan pemerintahan daerah yang sangat
demokratis akan mewarnai perjalanan pemerintahan itu sendiri. Sedangkan secara eksternal
pemerintah daerah dihadapkan pada arus perubahan yang semakin cepat dan mengglobal yang
harus direspon oleh pemerintah daerah.
2.3.3 Solusi
Solusi yang ditawarkan oleh kelompok 2 adalah menggunakan asas good governance untuk
membentuk dan menjalankan suatu pemerintahan daerah yang baik.
Pengertian dari good governance dapat dilihat dari pemahaman yang dimiliki baik oleh IMF
maupun World Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara untuk memperkuat
"kerangka kerja instirusional dari pemerintah" (Bappenas, 2002). Hal ini menurut mereka berarti
bagairnana memperkuat aturan hukum dan prediktibilitas serta imparsialitas dari penegakannya
(Bappenas, 2002). lni juga berarti mencabut akar dari korupsi dan aktivitas-aktivitas rent seeking,
yang dapat dilakukan melalui transparansi dan aliran informasi serta menjamin bahwa informasi
mengenai kebijakan dan kinerja dari institusi pemerintah dikumpulkan dan diberikan kepada
masyarakat secara memadai sehingga masyarakat dapat memonitor dan mengawasi manajemen
dari dana yang berasal dari masyarakat (Bappenas, 2002). Pengertian ini sejalan dengan pendapat
Bovaird and Loffler (2003) yang mengatakan bahwa good govemance

mengusung sejumlah isu

seperti: keterlibatan stakeholder; transparansi; agenda kesetaraan (gender, etnik, usia. agama. dan
lainnya}; etika dan perilaku jujur: akuntabilitas: serta keberlanjutan.
Berdasarkan

pengertian

berikut (Bappenas. 2002):

di atas, good governance memiliki sejumlah ciri sebagai

 Akuntabel. artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus disertai
pertanggungjawabannya:
 Transparan, artinya harus tersedia informasi yang memadai kepada masyarakat terhadap
proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan:
 Responsif. artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus mampu
melayani semua stakeholder:
 Setara dan inklusif artinya seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali harus memperoleh
kesempatan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan sebuah kebijakan;
 Efektif dan efisien, artinya kebijakan dibuat dan dilaksanakan dengan menggunakan
sumberdaya-sumberdaya yang tersedia dengan cara yang terbaik:
 Mengikuti aturan hukum. artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
membutuhkan kerangka hukum yang adil dan ditegakan:
 Partisiparif artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus membuka ruang bagi
keterlibatan banyak aktor:
 Berorientasi pada konsensus (kesepakatan), artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan
harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para aktor yang terlibat

Solusi diatas jika dipersempit maka hal – hal yang sangat kritis yang harus diperhatikan oleh
pemeritah daerah untuk menjalankan pemerintahannya supaya berjalan dengan lancar dan baik,
antara lain:
a) Manusia (SDM)
b) Sistem, dan
c) Regulasi

BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan

Perubahan UU tentang pemerintahan daerah sudah beberapa mengalami amandemen seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya undang-undang tentang pemerintahan yang merupakan amanat
undang-undang dasar Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya di daerah
otonom dengan tujuan meningkatkan kesejahtraan masyarakat,pelayanan umum dan daya saing daerah.
Dalam penerapannya pun, Otonomi Daerah mengalamai beberapa tantangan seperti mentalitas
aparat pemerintah yang belum berubah dari mindset sentral menjadi disentral (otonom), hubungan
antara pemerintah pusat dengan daerah yang kurang lancar, sumber daya manusia yang terbatas,
pertarungan kepentingan yang berorientasi pada perebutan kekuasaan dan penguasaan aset oleh aparat
pemerintah, dan keinginan pemerintah untuk menjadikan desa sebagai unit politik di samping unit sosial
budaya. Sedangkan solusi untuk menghadapi kendala tersebut adalah meningkatkan kerja sama antara
seluruh elemen masyarakat dan pemerintah, serta menjalin hubungan yang baik secara horisontal
maupun vertikal. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara menyusun kebijakan yang adil bagi semua
pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.
Tetapi mengingat bahwa bawasanya tidak ada sesuatu yang sempurna didunia ini demikian pula
peraturan perundang – undangan yang diberlakukan di Negara Republik Indonesia, tetapi setidaknya
Undang – Undang baru yang dibuat dengan tujuan merevisi, menabal bahkan merubah isi Undang –
Undang yang lama diharapkan dapat mengurangi kesalahan yang ada pada Undang – Undang
sebelumnya, sehingga peraturan yang dibuat dapat dijalankan dengan sebaik mungkin.
3.2 Saran
Dari pembahasan yang telah dibahas, hal – hal yang mungkin harus diperhatikan menurut penulis,
antara lain: (a) Penyusunan aturan atau perundangan yang akan diterapkan harus menyentuh dan
berpihak pada kepentingan masyarakat; (b) SDM yang berkualitas, Profesional, Jujur serta setia dalam
mengemban tugas yang dipercayakan; (c) Adannya peraturan yang bersifat tegas dan mengikat bagi
pelaku pelanggaran kebijakan negara, serta; (d) sistem pemerintahan yang kompleks.
Daftar Pustaka

BAPPENAS. 2002. Public Good Governance: Sebuah Paparan Singkat. Jakarta:
Sekretariat Pengembangan Public Good Govemance BAPPENAS

Bovaird. Tony and Elke Loffler (Eds.). 2003. Public Management and Governance. New
York: Routledge
Chalis, Pheni. 2005. Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. Adviser for
Decentralization and Regional Autonomy, Partnership for Governance Reform
Udang - Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Udang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Widjaja, H. 2003. Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Jakarta: Raja Grafindo
Persada