TUGAS INDIVIDU FORENSIK id. doc

TUGAS INDIVIDU

“AUDIT FORENSIK DAN PENELUSURAN ASET MELALUI INFORMASI
PENYEMBUNYIAN DAN/ATAU PENGKONVERSIAN ASET”

Tugas Untuk Perbaikan Nilai Pemeriksaan Akuntansi Forensik

DISUSUN OLEH:
SELLIH SAPITRI (123130038)

MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS TRISAKTI
2015

0

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penelusuran aset pada umumnya berkaitan dengan pengembalian kembali aset yang
dimiliki oleh suatu negara/organisasi atau suatu entitas yang diambil oleh pihak lain

dengan cara melawan hukum seperti perbuatan tindak pidana korupsi dan atau tindak
pidana pencucian uang. Aset yang diambil secara melawan hukum tersebut oleh pelaku
disembunyikan sedemikian rupa misalnya dibelikan ke aset tetap seperti bangunan, tanah,
kendaraan, atau disimpan dalam bentuk sertifikat deposito, diinvestasikan dalam surat
berharga saham, obligasi atau cara lain yang dilakukan pelaku untuk dapat mengaburkan
asal usul aset tersebut. Tujuan penelusuran aset adalah untuk mengetahui keberadaan dan
jenis aset yang disembunyikan dari hasil tindak pidana, yang akan digunakan untuk
penggantian kerugian negara. Penelusuran aset dilakukan oleh penegak hukum dan
dapat dibantu oleh auditor forensik pada kegiatan berikut ini:
1. Pada saat penyelidik melakukan penyelidikan atas suatu perkara tindak pidana korupsi
dan atau tindak pidana pencucian uang. Dalam hal ini auditor porensik dapat
membantu penyelidik dengan pendekatan audit investigatif untuk memperoleh buktibukti yang kompeten, relevan dan cukup melalui keahlian di bidang akuntansi.
2. Pada saat penyidik melakukan penyidikan atas suatu perkara tindak pidana korupsi
dan atau tindak pidana pencucian uang. Dalam hal ini auditor forensik dengan
keahlian di bidang akuntansi dan auditing yang dimilikinya, dapat membantu
penyidik dengan pendekatan teknik penghitungan kerugian keuangan Negara.
3. Pada saat kejaksaaan (penuntut umum) akan melakukan eksekusi atas putusan
pengadilan,

namun


terpidana

dengan

sengaja

menolak

membayar

atau

menyembunyikan aset hasil kejahatan pidana tersebut sehingga kejaksaan kesulitan
dalam merampasnya untuk memulihkan kerugian keuangan negara. Dalam hal ini
auditor forensik dengan keahlian di bidang akuntansi dan auditing yang dimilikinya
1

dapat membantu kejaksaaan (eksekutor) melalui analisis transaksi keuangan, transaksi
aset lainnya yang berkaitan dengan harta kekayaan yang diperoleh terpidana secara

melawan hukum, sehingga dapat diblokir/ditahan dan kemudian disita untuk
memulihkan kerugian keuangan negara.
Penyelidik/penyidik dalam menelusuri aset/harta dibantu auditor forensik dengan
cara mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti transaksi keuangan dan non keuangan
yang berkaitan dengan aset hasil perbuatan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana
pencucian uang yang disembunyikan oleh pelaku untuk dapat diidentifikasikan, dihitung
jumlahnya, dan selanjutnya agar dapat dilakukan pemblokiran/pembekuan dan penyitaan
untuk pemulihan kerugian akibat perbuatan pelaku tindak pidana korupsi dan atau tindak
pidana pencucian uang tersebut”.
Biarpun penyelidik/penyidik berhasil menelusuri aset tersebut, namun tidak berarti
bahwa kerugian negara dapat segera dipulihkan. Hal ini sangat tergantung dari keberadaan
aset/harta yang disembunyikan, kalau harta yang disembunyikan berada di Indonesia
masih perlu ada proses hukum seperti pembuktian mengenai hak kepemilikan atas aset
tersebut. Kalau hartanya berada di luar Indonesia, masalahnya menjadi lebih kompleks,
karena menyangkut masalah hukum (perundang-undangan) di negara yang bersangkutan,
masalah perjanjian timbal balik atau traktat yang ada antar negara yang berkaitan.
Seperti yang diungkapkan Dimitri Vlasis bahwa masyarakat dunia, baik di negara
berkembang maupun negara maju, semakin frustasi dan menderita akibat ketidakadilan
dan kemiskinan yang diakibatkan tindak pidana korupsi. Masyarakat dunia menjadi pasrah
dan sinis ketika menemukan bahwa aset hasil tindak pidana korupsi, termasuk yang

dimiliki oleh para pejabat negara, tidak dapat dikembalikan karena telah ditransfer dan
ditempatkan di luar negeri melalui pencucian uang yang dalam praktik dilakukan dengan
maksud untuk menghilangkan jejak.
2

Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para koruptor banyak yang
dilarikan serta disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi disembunyikan di rekening
bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian uang sehingga upaya dalam melacak
serta mengembalikan aset tersebut menjadi sulit. Tidak jarang teknik pencucian uang ini
disempurnakan oleh akuntan, pengacara, dan bankir yang disewa oleh koruptor.
Dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini, negaranegara di dunia saling melakukan kerja sama internasional dalam rangka mempermudah
proses pengembalian aset ini. Tetapi dalam pelaksanaanya terdapat kendala-kendala yang
disebabkan antara lain: sistem hukum yang berbeda, sistem perbankan dan finansial yang
ketat dari negara di mana aset berada, praktek dalam menjalankan hukum, dan perlawanan
dari pihak yang hendak diambil asetnya oleh pemerintah.

B.

Permasalahan
Aset para koruptor yang didapat dari hasil tindak pidana banyak disembunyikan baik

di bank-bank lokal maupun bank luar negeri dan asset tersebut juga dikoversi menjadi
barang seperti dibelikan rumah, tanah, mobil dan lain-lain. Penelusuran asset dilakukan
karena adanya pelanggaran hukum yang dilakukan pelaku dan telah menyebabkan
kerugian Negara. Kerugian Negara harus dipulihkan atau dengan kata lain, asset-aset
yang didapat pelaku dengan cara melanggar hukum tersebut harus dikembalikan ke
pihak-pihak yang dirugikan dan/atau dikembalikan ke Negara. Oleh karena itu, dalam
makalah ini mengulas bagaimana melakukan audit forensik dan penelusuran asset melalui
informasi penyembunyian dan/atau pengkonversian asset.
II. PEMBAHASAN

A. Korupsi dan Ketentuan UNCAC
3

Menurut UU NO.31/1999 jo UU No.20/2001 pasal 2 dan 3 menyebutkan bahwa
pengertian korupsi mencakup perbuatan:
1.

Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan
/perekonomian negara (pasal 2)


2.

Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan
keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian negara (pasal 3
Pemberantasan korupsi tidak hanya terletak pada upaya pencegahan maupun

pemidanaan para koruptor saja, tetapi juga meliputi tindakan yang dapat mengembalikan
kerugian keuangan negara akibat dari kejahatan

extraordinary tersebut. Kegagalan

pengembalian aset hasil korupsi dapat mengurangi makna penghukuman terhadap para
koruptor. Upaya pengembalian aset negara yang dicuri (stolen asset recovery) melalui
tindak pidana korupsi (tipikor) cenderung tidak mudah untuk dilakukan. Para pelaku
tipikor memiliki akses yang luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan
maupun melakukan pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsinya.
Permasalahan menjadi semakin sulit untuk upaya recovery dikarenakan tempat
penyembunyian (safe haven) hasil kejahatan tersebut yang melampaui lintas batas
wilayah negara dimana tindak pidana korupsi itu sendiri dilakukan. Dalam menentukan
dasar hukum penyitaan, United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

menentukan agar negara-negara peserta harus membuat ketentuan untuk pelaksanaan
penyitaan terhadap harta kekayaan dari pelanggaran konvensi. Indonesia sebagai negara
yang telah menandatangani UNCAC berkewajiban untuk melaksanakan prinsip-prinsip
dasar konvensi yaitu:
1. Adanya tanggung jawab pemerintah untuk mengembangkan kebijakan antikorupsi
yang efektif;

4

2. Perlunya melibatkan masyarakat;
3. Pentingnya kerjasama internasional.
Perjuangan menentang “penyakit” korupsi secara global berujung dengan
terbentuknya konvensi-konvensi PBB. Pasal 2 huruf (a) United Nation Convention
Against Transnational Crime (UNCATC) Tahun 2000 memasukkan tipikor sebagai salah
satu kejahatan lintas batas yang dilakukan oleh organized criminal group. Kesadaran
tersebut kemudian dilanjutkan dengan terbentuknya United Nation Convention Against
Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang menyatakan bahwa korupsi tidak lagi
merupakan masalah lokal di suatu negara tetapi juga dapat mempengaruhi perekomian
global sehingga diperlukan kerjasama internasional untuk “mengatasinya”.
UNCAC telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006.

UNCAC juga memberikan peluang untuk memudahkan pengembalian aset curian yang
dihalangi ketentuan kerahasian\bank, dengan syarat; negara tempat aset itu disimpan
meratifikasi UNCAC. Pasa l 40 UNCAC menyatakan bahwa setiap negara pihak wajib
memastikan terdapatnya mekanisme yang layak dalam sistem hukum nasionalnya untuk
mengatasi halangan-halangan yang mungkin timbul dari UU kerahasian bank atas
penyidikan terhadap kasus-kasus pidana yang ditentukan dalam UNCAC tersebut.
Dalam hal upaya pembekuan, penyitaan dan perampasan asset negara yang dicuri
melalui tipikor yang ditentukan Pasal 31 UNCAC (juga pasal-pasal lainnya)
sesungguhnya hanyalah ketentuan pasif yang tidak dapat memaksa negara-negara safe
haven untuk bekerjasama mengembalikan asset korupsi yang tersimpan di negaranya.
Dalam mengaktifkan ketentuan tersebut masih diperlukan kerjasama internasional
diantara negara-negara dunia. Hanya saja hal tersebut tentu menjadi kendala bagi negaranegara berkembang yang tidak memiliki bargaining position yang kuat dalam kancah
politik internasional.

5

Kendala kerjasama dan belum diratifikasinya UNCAC oleh banyak negaranegara besar menjadi penghambat utama dalam mengembalikan aset-aset curian dari
tipikor. Aset kekayaan yang dicuri tersebut sangat membantu pembangunan negaranegara dunia berkembang dan miskin. Berdasarkan pentingnya upaya pengembalian
asset tersebut bagi negara berkembang, maka perlu diketahui sejauhmana peran dari
konvensi PBB dan program inisiatif seperti StAR itu sendiri bagi pengembalian aset

curian tipikor.

B. Audit Forensik
1. Pengertian Audit Forensik
Audit Forensik terdiri dari dua kata, yaitu audit dan forensik. Audit adalah
tindakan untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara
forensik adalah segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum / pengadilan.
Menurut D. Larry Crumbley, editor-in-chief dari Journal of Forensic Accounting
(JFA) “Akuntansi forensik adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum.
Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses
pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau administratif”. Dengan
demikian, Audit Forensik bisa didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan
membandingkan antara kondisi di lapangan dengan criteria, untuk menghasilkan
informasi atau bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan.
Sifat dasar dari audit forensik yang berfungsi untuk memberikan bukti di
muka pengadilan, maka fungsi utama dari audit forensik adalah untuk melakukan
audit investigasi terhadap tindak kriminal dan untuk memberikan keterangan saksi
ahli (litigation support) di pengadilan. Audit Forensik dapat bersifat proaktif maupun
6


reaktif. Proaktif artinya audit forensik digunakan untuk mendeteksi kemungkinankemungkinan risiko terjadinya fraud atau kecurangan. Sementara itu, reaktif artinya
audit akan dilakukan ketika ada indikasi (bukti) awal terjadinya fraud. Audit tersebut
akan menghasilkan “red flag” atau sinyal atas ketidakberesan. Dalam hal ini, audit
forensik yang lebih mendalam dan investigatif akan dilakukan.
Perbedaan yang paling teknis antara Audit Forensik dan Audit Tradisional
adalah pada masalah metodologi. Dalam Audit Tradisional, mungkin dikenal ada
beberapa teknik audit yang digunakan. Teknik-teknik tersebut antara lain adalah
prosedur analitis, analisa dokumen, observasi fisik, konfirmasi, review, dan
sebagainya. Namun, dalam Audit Forensik, teknik yang digunakan sangatlah
kompleks. Teknik-teknik yang digunakan dalam audit forensik sudah menjurus secara
spesifik untuk menemukan adanya fraud. Teknik-teknik tersebut banyak yang bersifat
mendeteksi fraud secara lebih mendalam dan bahkan hingga ke level mencari tahu
siapa pelaku fraud. Oleh karena itu jangan heran bila teknik audit forensik mirip
teknik yang digunakan detektif untuk menemukan pelaku tindak kriminal. Teknikteknik yang digunakan antara lain adalah metode kekayaan bersih, penelusuran jejak
uang / aset, deteksi pencucian uang, analisa tanda tangan, analisa kamera tersembunyi
(surveillance), wawancara mendalam, digital forensic, dan sebagainya.

2. Tujuan Audit Forensik
Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi atau mencegah berbagai jenis
kecurangan (fraud). Penggunaan auditor untuk melaksanakan audit forensik telah

tumbuh pesat. Untuk mendukung proses identifikasi alat bukti dalam waktu yang

7

relatif cepat, agar dapat diperhitungkan perkiraan potensi dampak yang ditimbulkan
akibat perilaku jahat yang dilakukan oleh kriminal terhadap korbannya, sekaligus
mengungkapkan alasan dan motivitasi tindakan tersebut sambil mencari pihak-pihak
terkait yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan perbuatan tidak
menyenangkan dimaksud.
Teknik-teknik yang digunakan dalam audit forensik sudah menjurus secara
spesifik untuk menemukan adanya fraud. Teknik-teknik tersebut banyak yang
bersifat mendeteksi fraud secara lebih mendalam dan bahkan hingga ke level mencari
tahu siapa pelaku fraud. Oleh karena itu jangan heran bila teknik audit forensik mirip
teknik yang digunakan detektif untuk menemukan pelaku tindak kriminal. Teknikteknik yang digunakan antara lain adalah metode kekayaan bersih, penelusuran jejak
uang / aset, deteksi pencucian uang, analisa tanda tangan, analisa kamera
tersembunyi (surveillance), wawancara mendalam, digital forensic, dan sebagainya.
3. Praktik Ilmu Audit Forensik
a. Penilaian Risiko Fraud
Penilaian risiko terjadinya fraud atau kecurangan adalah penggunaan ilmu
audit forensik yang paling luas. Dalam praktiknya, hal ini juga digunakan
dalam perusahaan-perusahaan swasta untuk menyusun sistem pengendalian
intern yang memadai. Dengan dinilainya risiko terjadinya fraud, maka
perusahaan untuk selanjutnya bisa menyusun sistem yang bisa menutup celahcelah yang memungkinkan terjadinya fraud tersebut.
b. Deteksi dan investigasi fraud

8

Dalam hal ini, audit forensik digunakan untuk mendeteksi dan membuktikan
adanya fraud dan mendeteksi pelakunya. Dengan demikian, pelaku bisa
ditindak secara hukum yang berlaku. Jenis-jenis fraud yang biasanya ditangani
adalah korupsi, pencucian uang, penghindaran pajak, illegal logging, dan
sebagainya.
c. Deteksi kerugian keuangan
Audit forensik juga bisa digunakan untuk mendeteksi dan menghitung
kerugian keuangan negara yang disebabkan tindakan fraud.
d. Kesaksian ahli (Litigation Support)
Seorang auditor forensik bisa menjadi saksi ahli di pengadilan. Auditor
Forensik yang berperan sebagai saksi ahli bertugas memaparkan temuantemuannya terkait kasus yang dihadapi. Tentunya hal ini dilakukan setelah
auditor menganalisa kasus dan data-data pendukung untuk bisa memberikan
penjelasan di muka pengadilan.
e. Uji Tuntas (Due diligence)
Uji tuntas atau Due diligence adalah istilah yang digunakan untuk
penyelidikan guna penilaian kinerja perusahaan atau seseorang , ataupun
kinerja dari suatu kegiatan guna memenuhi standar baku yang ditetapkan. Uji
tuntas ini biasanya digunakan untuk menilai kepatuhan terhadap hukum atau
peraturan.
Dalam praktik di Indonesia, audit forensik hanya dilakukan oleh auditor BPK,
BPKP, dan KPK (yang merupakan lembaga pemerintah) yang memiliki sertifikat CFE
9

(Certified Fraud Examiners). Sebab, hingga saat ini belum ada sertifikat legal untuk
audit forensik dalam lingkungan publik. Oleh karena itu, ilmu audit forensik dalam
penerapannya di Indonesia hanya digunakan untuk deteksi dan investigasi fraud,
deteksi kerugian keuangan, serta untuk menjadi saksi ahli di pengadilan. Sementara
itu, penggunaan ilmu audit forensik dalam mendeteksi risiko fraud dan uji tuntas
dalam perusahaan swasta, belum dipraktikan di Indonesia.
Penggunaan audit forensik oleh BPK maupun KPK ini ternyata terbukti
memberi hasil yang luar biasa positif. Terbukti banyaknya kasus korupsi yang
terungkap oleh BPK maupun KPK. Tentunya kita masih ingat kasus BLBI yang
diungkap BPK. BPK mampu mengungkap penyimpangan BLBI sebesar Rp84,8
Trilyun atau 59% dari total BLBI sebesar Rp144,5 Trilyun. Temuan tersebut berimbas
pada diadilinya beberapa mantan petinggi bank swasta nasional. Selain itu juga ada
audit investigatif dan forensik terhadap Bail out Bank Century yang dilakukan BPK
meskipun memberikan hasil yang kurang maksimal karena faktor politis yang
sedemikian kental dalam kasus tersebut.

C.

Penelusuran Aset
Penelusuran Aset (Asset Tracing) adalah suatu teknik yang digunakan oleh
seorang investigator/auditor forensik dengan mengumpulkan dan mengevaluasi buktibukti transaksi keuangan dan non keuangan yang berkaitan dengan asset hasil perbuatan
TPK dan atau tindak pidana pencucian uang yang disembunyikan oleh pelaku untuk
dapat diidentifikasikan, dihitung jumlahnya,

10

dan selanjutnya agar dapat dilakukan

pemblokiran/pembekuan dan penyitaan untuk pemulihan kerugian akibat perbuatan
pelaku TPK dan atau tindak pidana pencucian uang tersebut.
Sedangkan menurut BPKP dalam Modul Audit Forensik (2007) yang dimaksud
dengan penelusuran aset adalah merupakan suatu teknik yang digunakan oleh seorang
investigator/auditor forensik dengan mengumpulkan dan mengevaluasi bukti-bukti
transaksi keuangan dan non keuangan yang berkaitan dengan aset hasil perbuatan tindak
pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang yang disembunyikan oleh pelaku
untuk dapat diidentifikasikan, dihitung jumlahnya, dan selanjutnya agar dapat dilakukan
pemblokiran/pembekuan dan penyitaan untuk pemulihan kerugian akibat perbuatan
pelaku tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang tersebut.

Penelusuran asset merupakan bagian dari audit forensik. Penelusuran asset
dilakukan oleh auditor forensik dari pihak BPK, BPKP dan KPK beserta pihak-pihak dari
penegak hukum. Beberapa peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia
memungkinkan dilakukannya penarikan kembali atas hasil kejahatan dan merampas
sarana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatan. Namun berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang sudah ada tersebut, upaya mengambil kembali aset hasil tindak
11

pidana umumnya hanya dapat dilaksanakan jika pelaku kejahatan oleh pengadilan telah
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.
Kegiatan Pelacakan Aset adalah serangkaian kegiatan yang meliputi Penelaahan
Data Awal, Penyusunan Rencana Kegiatan,Pengumpulan Informasi, Analisis dan
Verifikasi, Pemeriksaan Fisik serta Penilaian Aset dalam rangka mendapatkan data aset
yang dimiliki oleh Tersangka, Terdakwa, Terpidana dan pihak terkait.
Dalam rangka pengembalian kerugian negara kegiatan penelusuran aset ini adalah
salah satu tahap kegiatan yang sangat penting untuk mendapatkan pembuktian ada atau
tidaknya tindak pidana pencucian uang terkait dengan tindak pidana asa
Selain untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana pencucian uang, penelusuran
aset dalam kegiatan penyidikan berfungsi sebagai berikut:
 Mendukung pembuktian unsur-unsur pasal yang dipersangkakan seperti unsur
“memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu kooperasi“ dan unsur “merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara”;
 Mengamankan aset tersangka sedini mungkin dalam proses penyidikan untuk
kepentingan pembayaran uang pengganti atau denda, dalam rangka pengembalian
kerugian negara yang diakibatkan oleh terjadinya tindak pidana asal atau TPPU;
 Memperkuat keyakinan hakim terhadap pemenuhan unsur, perbuatan tersangka dan
akibat yang ditimbulkan dalam rangka pengambilan putusan hukum;
 Mendukung pengembangan perkara dan pengungkapan tindak pidana asal dan TPPU
lainnya.

Kegiatan pelacakan aset meliputi beberapa tahap, yaitu:
1. Penelaahan data awal: adalah kegiatan mempelajari, menelaah informasi yang sudah
tersedia dalam rangka mencari keterkaitan satu informasi dengan informasi lainnya.
12

2. Penyusunan Rencana Kegiatan: adalah rancangan kegiatan pelacakan aset yang
disusun sebelum melakukan kegiatan pelacakan aset.
3. Pengumpulan Informasi: adalah kegiatan atau cara mencari, mengumpulkan,
mendapatkan informasi dari sumber internal maupun eksternal. Pengumpulan
informasi terdiri dari empat jenis yaitu:
a. Permintaan Data Resmi adalah upaya untuk mendapatkan data atau informasi dari
instansi pemerintah dan pihak swasta;
b. Pengumpulan data atau informasi yang dilakukan secara mandiri yaitu upaya
pencarian atau pengumpulan data dari berbagai sumber;
c. Penggeledahan, yaitu adalah tindakan Penyidik untuk memasuki rumah tinggal
dan

tempat

tertutup

lainnya

untuk

melakukan

tindakanpemeriksaan

dan/ataupenyitaan dan/atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam Undang-Undang no 8 Tahun 1981 tentang KUHAP;
d. Pengumpulan informasi lainnya.
4. Analisis dan Verifikasi: adalah serangkaian kegiatan meliputi pemeriksaan,
pengecekan, pengklasifikasian, dan pemilihan informasi untuk mendapatkan data
yang valid dan relevan;
5. Pemeriksaan Fisik: adalah kegiatan mengidentifikasikan secara visual terhadap aset
yang dilacak untuk memastikan keberadaan dan/atau penguasaan aset;
6. Penilaian Aset: adalah kegiatan menentukan, memperkirakan nilai ekonomis suatu
aset berdasarkan nilai jual, harga pasar, nilai jual objek pajak atau kombinasinya.

D. Kerugian Negara dan Pemulihan Kerugian Negara
1. Kerugian Negara

13

Penelusuran Aset dilakukan karena adanya tindak pidana korupsi atau
pencucian uang yang mengakibatkan adanya kerugian Negara. Menurut Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, memberikan definisi
tentang kerugian negara/ daerah yaitu dalam Pasal 1 ayat (22) Undang-undang ini
berbunyi: Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan
barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum
baik sengaja maupun lalai. Sedangkan pengertian kerugian negara (BPK RI:1983)
adalah berkurangnnya kekayaan negara yang disebabkan oleh sesuatu tindakan
melanggar hukum/ kelalaian seseorang dan/atau disebabkan suatu keadaan di luar
dugaan dan di luar kemampuan manusia (force majeure).
Kerugian Keuangan Negara menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi terdapat dalam pasal 2-3 sebagai berikut:
Pasal 2
1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidanakan dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 2 ayat (1) Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam pasal
ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti
materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena

14

tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam keadaan tertentu,
kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara”
menunjukan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu ada
tidaknya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Pasal 2 ayat (2) yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini
adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku
tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap
dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana
alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana
korupsi.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Undang-undang memberikan penjelasan
sebagai berikut:.
Pasal 3 Kata “dapat” dalam ketentuan ini diartikan sama dengan penjelasan Pasal 2.
Perumusan dalam pasal-pasal di atas berkenaan dengan kerugian keuangan dan
perekonomian negara, sangat tegas. Perumusannya menggunakan frasa potensi
(“dapat”) terjadi.

15

2. Pemulihan Kerugian Negara
Tuanakotta dalam bukunya Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif (2007)
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pemulihan kerugian adalah merupakan
proses untuk mengubah aset yang sudah ditemukan lewat penelusuran aset, menjadi
aset untuk diserahkan kepada pihak yang dimenangkan dalam penyelesaian sengketa.
Proses ini bisa terjadi di dalam maupun di luar negeri, antara lain meliputi
penyelidikan atas bukti-bukti mengenai kepemilikan harta, pembekuan atau
pemblokiran rekening di perbankan dan lembaga keuangan lainnya serta pemblokiran.
Dengan demikian dapat disimpulkan apabila terjadi tindak pidana pencucian uang
ataupun tindak pidana korupsi dalam hal ini yang dirugikan negara, maka pemulihan
kerugian akan diserahkan kepada negara.
Banyak pihak yang sependapat bahwa Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU)
lebih efektif untuk memulihkan keuangan negara dalam hal pengembalian aset (asset
recovery), jika dibandingkan dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU TIPIKOR). Alasannya karena UU PPTPPU menggunakan paradigma
baru dalam penanganan tindak pidana, yaitu dengan pendekatan follow the money
(menelusuri aliran uang) untuk mendeteksi TPPU dan tindak pidana lainnya. Dasar
hukum pemulihan kerugian negara dari hasil penelusuran aset antara lain terdapat
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU)

dan Undang-undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001).
Dalam UU PPTPPU masalah pemulihan kerugian negara antara lain terdapat
dalam pasal 3 dan 4 sebagai berikut:
Pasal 3

16

Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah
bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana

sebagaimana

dimaksud

dalam

Pasal

2

ayat

(1)

dengan

tujuan

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak
pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 4
Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana
pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Dalam konsep anti pencucian uang, pelaku dan hasil tindak pidana dapat
diketahui melalui penelusuran aset. Selanjutnya aset hasil tindak pidana tersebut
dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang berhak. Apabila harta
kekayaan hasil tindak pidana tadi milik negara, maka harta tersebut akan
dikembalikan kepada negara. Penelusuran harta kekayaan hasil tindak pidana pada
umumnya dilakukan oleh lembaga keuangan melalui mekanisme yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Lembaga keuangan memiliki peranan penting
khususnya dalam menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa dan melaporkan

17

transaksi tertentu kepada otoritas sebagai bahan analisis dan untuk selanjutnya
disampaikan

kepada

penyidik.

Berdasarkan

data

tersebut

penyidik

akan

menindaklanjuti data tersebut secara hukum sampai dengan aset tersebut jelas nilainya
dan keberadaannya yang pada akhirnya dapat digunakan untuk penggantian kerugian
kepada yang berhak.
Sedangkan dasar hukum

penggantian kerugian negara dalam

Undang-

undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20
Tahun 2001) yang diuraikan dalam Pasal 17 dan Pasal 18 sebagai berikut:

Pasal 17
Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5
sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18.

Pasal 18 ayat (1) huruf b
Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta
benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Maksud

diterapkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti adalah untuk

mengembalikan kerugian uang negara yang dikorupsi oleh pelakunya, sehingga
dengan demikian keuangan negara diharapkan dapat dipulihkan, diselamatkan atau
dikembalikan nilainya seperti dalam keadaan semula.

Pasal 18 ayat (2)
Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu)
bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,

18

maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti tersebut.

Pasal 18 ayat (3)
Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar
uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksirnum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

E.

Audit Forensik dan Penelusuran Aset Melalui Informasi Penyembunyian
dan/atau Pengkonversian Aset
Penelusuran aset adalah prosedur pelacakan aset atau dana untuk mencari asal
usul maupun keberadaannya baik itu yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri
Penelusuran aset biasanya terjadi ketika ada kecurigaan atau tindakan penipuan,
pencucian uang, dan penggelapan, dan lain-lain.
Penyembunyian aset oleh pelaku kejahatan tindak pidana korupsi dan atau tindak
pidana pencucian uang, dapat menggunakan sarana perbankan yang mana uang hasil
tindak pidana tersebut disembunyikan ke bank-bank lokal maupun bank luar negeri dan
bisa juga uang dari hasil tindak pidana tersebut dikonversi dalam bentuk barang, jadi
tersangka melakukan pembelian barang dagangan, membuka restaurant, usaha hiburan
atau pembelian aset tetap lainnya seperti; mesin-mesin, kendaraan, bangunan, tanah dll.
Untuk mengetahui tempat persembunyian tersebut, pihak penegak hukum yang
dibantu oleh auditor forensik akan dapat memperoleh informasi penyembunyian tersebut
dari sumber-sumber berikut ini:
1. Penyedia Jasa Keuangan

19

Laporan Transaksi Keuangan yang mencurigakan (Suspicius transaction
report) dan transaksi keuangan tunai (Cash transaction report) yang dikirim Penyedia
Jasa Keuangan kepada PPATK. Laporan ini mencantumkan detail dari jumlah yang
ditransfer, nama bank, dan nomor rekening bank pengirim (kalau transfer bukan
berasal dari setoran tunai) dan penerima. Informasi ini bermanfaat untuk pembekuan
rekening bank dan penelusuran lebih lanjut dari arus dana berikutnya.
2. Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK)
PPATK juga mempunyai jaringan kerjasama dengan lembaga serupa di luar
negeri seperti Financial Inteligence Service (FIS) di Inggris, yang menjadi
counterpart-nya maupun pihak interpol. Informasi dari dalam dan luar negeri dapat
digunakan untuk maksud penelusuran aset sesuai dengan peraturan perundangundangan tindak pidana pencucian uang, misalnya oleh Tim Pemburu Koruptor.
3. Hasil Penelitian Akademisi dan LSM
Informasi lain adalah dari hasil penelitian dari orang-orang yang
mengkhususkan diri dalam ”perburuan harta haram”,. Biasanya ada beberapa sumber
dari LSM yang melakukaan wawancara terhadap mereka yang mengetahui
pelanggaran yang telah terjadi, tetapi lebih suka identitas diri mereka tidak
diungkapkan. Dengan kondisi semacam ini, mereka lebih bebas berbicara tanpa perlu
khawatir dengan tuntutan pencemaran nama baik.
4. Persengketaan di Pengadilan
Informasi penyembunyian aset juga dapat diperoleh dari sangketa-sangketa
yang sedang disidangkan di pengadilan baik dalam negeri mapun luar negeri.
Sangketa bisa terjadi antara keluarga maupun antar perusahaan atau organisasi yang
bisa diikuti, mungkin harta yang dipersengketakan diduga berasal dari tindakan
pidana.
5. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Dalam rangka untuk menjalankan perintah undang-undang serta untuk
menguji integritas dan tranparansI, maka setiap pejaba/penyelenggara Negara
diwajibkan menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN

20

ke KPK. LHKPN dapat memberikan informasi kepada KPK tentang harta kakayaan
dan KPK akan menelusuri harta kekayaan yang telah dilaporkan dan jika ditemukan
kejanggalan makan akan dilakukan pemeriksaan dan penyedikan,
6. Kantor Pelayanan Informasi Untuk Publik
Di banyak negara dan macam-macam kantor pendaftaran (registrasi) yang
informasinya terbuka untuk umum karena memang dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan umum. Contoh di Indonesia, Badan Pertanahan Nasional, Bapepam dan
Bursa Efek merupakan sumber informasi mengenai perusahaan yang menjual surat
berharga (efek-efek) di pasar modal. Kelemahannya adalah untuk pemegang saham
yang tercatat di negara-negara yang disebut tax haven countries, tidak jelas siapa
pemegang saham sesungguhnya. Departemen Perdagangan mempunyai Direktorat
Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan (Kantor Pendaftaran Perusahaan Tingkat
Pusat) kemana laporan keuangan perusahaan yang diaudit (baik perusahaan tertutup
maupun perusahaan TBK), dikirimkan. Ada kantor pengacara yang mengkatalog
anggaran dasar perseroan terbatas yang sudah mendapat pengesahan Departemen
Kehakiman. Kantor polisi yang mengelola pendaftaran kendaraan bermotor juga
merupakan sumber informasi penting (apakah ada mobil mewah atas nama pejabat
negara atau keluarganya).
7. Pembocoran informasi oleh orang dalam.
Alasannya bermacam-macam ,mulai dari kekecewaan atau sakit hati dengan
partner dagangannya, sampai harapan untuk memperoleh keringanan hukum karena
bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar suatu kasus. Dalam
beberapa kasus,usia yang lanjut juga membawa dampak terhadap keinginan ”
mengaku dosa”.
8. Kerjasama International
Kerjasama internasional dibidang penegakan hukum telah terbukti sangat
menentukan

keberhasilan

penegakan

hukum

nasional

terhadap

kejahatan

transnasional. Kerjasama Internasional tersebut akan sia-sia jika tidak ada kerjasama
melalui perjanjian bilateral atau multilateral dalam penyidikan, penuntutan dan
21

peradilan. Prasyarat perjanjian tsb tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian
itupun kerjasama penegakan hukum dapat dilaksanakan berlandaskan asas yang
dikenal dan diakui oleh masyarakat internasional yang dikenal dengan asas
resiprositas (timbal balik) .
Kerjasama penegakan hukum tersebut secara lengkap diatur dalam Konvensi
PBB Anti Korupsi (UN Convention Against Corruption) tahun 2003 telah diratifikasi
dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UN Convention
Against Corruption; dan Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisasi
(UN Convention Against Transnational Organized Crime) tahun 2000, sudah
ditandatangani Pemerintah Indonesia pada bulan Desember tahun 2000.
UN Model Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters (1990)
menegaskan antara lain, dalam Pasal 1 angka 3, Ketentuan Pasal 2 Asean Treaty on
Mutual Legal Assistance (2004) juga memuat ketentuan tsb sehingga secara a
contrario, perjanjian ekstradisi juga tidak dapat memuat ketentuan mengenai
pembekuan,penyitaan dan pengembalian aset.
UN Model (1990) tsb juga dilengkapi dengan Optional Protocol yang antara
lain menegaskan kewajiban negara diminta (requested state) untuk memenuhi
permintaan penelusuran, penetapan lokasi aset yang disembunyikan, melakukan
penyidikan ransaksi keuangan dari pemilik aset dimaksud, dan melakukan upaya
untuk memperoleh informasi atau bukti untuk “mengamankan” aset tersebut. Selain
hal tersebut, optional protocol juga mewajibkan negara diminta untuk membolehkan
putusan pengadilan di negara peminta (requesting state) dapat dilaksanakan di negara
diminta untuk membekukan dan menyita aset hasil kejahatan dimaksud.
Dalam kerjasama international ini terdapat kelemahan yaitu tidak semua
Negara mengikuti perjanjian Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters,

22

sehingga tidak semua Negara yang dapat di ajak kerja sama dalam pemberantasan
tindak pidana, bahkan ada beberapa Negara yang membantu pelaku tindak pidana
dalam menyembunyikan asset pelaku karena bagi Negara tersebut, asset pelaku dapat
mereka gunakan untuk membangun Negara mereka. Contohnya, seperti antara
Inonesia dengan Singapura yang tidak memiliki kerjasama extradisi dengan Singapura
sehingga banyak koruptor Indonesia yang menyembunyikan harta kekayaanya di
Singapura.
9. Lain-lain
a. Mengetahui kebiasaan etnik tertentu akan sangat membantu dalam
penelusuran aset. Pada umumnya ,etnik perantau akan mengembalikan hasil
jerih payah mereka ke kampung halaman. Hasil korupsi atau kejahatan lain
yang menghasilkan uang dalam jumlah besar, akan dikonversikan dalam
bentuk tanah-tanah yang serba luas, bangunan yang serba megah dan mewah,
resort yang serba wah. Etnis lain membangun pabrik, bank, universitas, dan
macam-macam proyek mercu suar ditanah leluhur. Ini adalah cara manusia
menyatakan kepada masyarakat di kampung halamannya. Tingkah lakunya ini
diamati penyidik dengan dugaan bahwa ia membenahi dokumen kepemilikan
tanah.
b. Psikologi manusia yang mendadak kaya, atau mendadak kaya dengan jalan
pintas terlihat dari pola pengeluaran. Disamping keinginan untuk ”diakui” di
kampung halaman atau negeri leluhur, juga pola hidup pelaku. Semuanya
serba wah (besar, mewah, mahal, dengan kecendrungan mengada-ada) properti
di negeri asing yang serba wah dilokasi orang kaya tingkat dunia, kapal pesiar,
intan berlian dan perusahaan. Pola konsumsi mewah ini seharusnya
merupakan tanda-tanda untuk indikasi fraud. Lebih dari itu, sang pelaku
bahkan memamerkan kekayaannya. Pada waktu kekayaan ini akan
23

disembunyikan, semua orang sudah mengetahuinya. Karena itu di negara
maju, lembaga-lembaga seperti PPATK kita membuat kaitan antara uang hasil
kejahatan dengan pembelian mobil, intan-berlian, tanah dan bangunan melalui
teknik data mining.
c. Advertensi mengenai perusahaan-perusahaan dalam iklan kematian.
Dalam etnis ini, iklan tentang berita duka cita dan iklan turut berduka cita
diiringi dengan daftar perusahaan yang dimiliki almarhum (ah) beserta
anggota keluarga dapat menjadi sumber informasi bagi auditor forensik dalam
menelusuri aset. Keterkaitan pemilikan di berbagai perusahaan yang tidak
terungkap dalam laporan keuangan, justru terungkap dalam iklan kematian dan
turut berbela sungkawa. (Kehadiran pejabat negara dipemakaman sang
konglomerat, dan kehadiran konglomerat dan karangan bunganya di
pemakaman pejabat juga merupakan bagian yang menarik).

24

III.

KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Penelusuran aset pada umumnya berkaitan dengan pengembalian kembali aset
yang dimiliki oleh suatu negara/organisasi atau suatu entitas yang diambil oleh pihak
lain dengan cara melawan hukum seperti perbuatan tindak pidana korupsi dan atau
tindak pidana pencucian uang. Tujuan penelusuran aset adalah untuk mengetahui
keberadaan dan jenis aset yang disembunyikan dan/atau yang telah dikonversi menjadi
barang dari hasil tindak pidana, yang akan digunakan untuk penggantian kerugian
negara.
Sumber informasi tentang penyembunyian dan/atau pengkonversian asset yang
dilakukan tersangka didapat dari Penyedia Jasa Keuangan untuk mengetahui informasi
secara detail transaksi keuangan pelaku fraud, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi
Keuangan (PPATK) untuk menelusuri asset sampai dengan ke luar negeri, Hasil
Penelitian Akademisi dan LSM, Persengketaan di Pengadilan, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Kantor Pelayanan Informasi Untuk Publik, Pembocoran Informasi Oleh
Orang Dalam (Whistelblower), dan Dengan Kerjasama International

untuk

mendapatkan informasi mendetail tentang pelaku kecurangan yang menyembunyikan
asset di LN dan melakukan kerjasama untuk menegakkan keadilan dengan cara
penegakan dalam bidang hukum.
Dasar hukum pemulihan kerugian negara dari hasil penelusuran aset antara lain
terdapat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU)

25

dan Undang-undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun
2001).
B. SARAN
1. Pemerintah harus mempunyai suatu politic will Negara dalam memerangi korupsi
termasuk

didalamnya

political

will

parlemen

yang

terkesan

menutupi

menyembunyikan informasi tentang kasus korupsi jika tersangka yang melakukan
tindakan korupsi mempunyai hubungan dengan parlemen, atau lembaganya dan yang
terakhir adalah political will dari aparat penegak hukum yang merupakan pelaksana
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Indonesia sebagai Negara berkembang juga harus mempunyai politic will yang baik
dalam melakukan negosiasi membuat perjanjian ekstradisi dengan Negara lain baik
itu bilateral maupun multilateral agar Negera tersebut membantu Indonesia
memberikan informasi sedetail mungkin mengenai tersangka fraud/koruptor yang
menyembunyikan asetnya di Negara tersebut., dari memberikan transaksi keuangan,
daftar harta pelaku sampai dengan menangkap pelaku serta mengembalikan tersangka
beserta harta kekayaannya kembali ke Indonesia.

26