Pentingnya Moratorium Pembukaan Fakultas Kedokteran

PENTINGNYA MORATORIUM PEMBUKAAN FAKULTAS KEDOKTERAN
DEMI MUTU PENDIDIKAN KEDOKTERAN

Bambang Supriyatno
Ketua Konsil Kedokteran Indonesia

Akhir-akhir ini, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) merasa ‘diserbu’ oleh
beberapa Universitas yang akan membuka program studi S1 bidang
Kedokteran atau Fakultas Kedokteran (FK). KKI merupakan salah satu
lembaga yang berwenang merekomendasikan pembukaan FK baru selain
beberapa stakeholder utama lainnya. Beberapa UNiversitas yang akan
membuka FK mendatangi KKI untuk “menanyakan” atau “meminta”
rekomendasi pembukaan FK baru.

Cukupkah jumlah dokter di Indonesia?
Kemenkes menyatakan bahwa rasio ideal dokter dibandingkan jumlah
penduduk adalah 40:100.000 penduduk (atau 1:2.500).
Saat ini, produksi
lulusan dokter-baru, sekitar 9000-10.000-an; ditambah dengan dokter dan
dokter gigi yang telah teregistrasi di KKI berjumlah 186.293 (terdiri dari
120.234 dokter, 29.002 dokter gigi, 33.723 dokter spesialis, dan 3.334 dokter

gigi spesialis-per 28 Juli 2017), maka rasio jumlah dokter bagi jumlah
penduduk Indonesia yang sekitar 250 jutaan sudah mencukupi.
Masalahnya, secara distribusi sebaran dokter belum merata karena sebagian
besar menumpuk di kota besar. Baru sekitar 10 provinsi saja yang memenuhi
rasio tersebut.
Dengan dasar di atas,
beberapa Universitas menginginkan membuka
Fakultas Kedokteran baru untuk memenuhi dan mendistribusikan dokter
lulusannya ke daerah yang belum terjangkau.
Disisi lain, Konsil Kedokteran Indonesia dan beberapa stakeholders utama
Kementerian Ristekdikti menganggap bahwa diperlukan Moratorium
Pembukaan FK yang baru.
Kementerian Ristekdikti mengeluarkan Surat Edaran no 2/M/SE/IX/2016
tertanggal 21 September 2016, yang menyatakan bahwa sejak Januari 2017
akan dilakukan moratorium pembukaan program studi kecuali science,
technology, engineering, dan mathematics (STEM) dan diberi celah untuk
membuka apabila termasuk terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) dan
kelompok yang khusus.




1

KKI meyakini bahwa yang dimaksud dengan Moratorium adalah
PENUNDAAN pembukaan sampai batas waktu tertentu, bukan tidak
boleh dibuka sama sekali.

Alasan Pentingnya Moratorium
Alasan utama dari moratorium dilandasi oleh upaya perlindungan pada
masyarakat agar terhindar dari lulusan dokter yang tidak kompeten dan tidak
professional. Secara detil, dapat kami jelaskan sebagai berikut:
Pertama,
Saat ini Indonesia sudah memiliki 83 Fakultas Kedokteran (FK), dengan
rincian 20 (24%) akreditasi A; 28 (34%) akreditasi B; dan 35(42%) akreditasi C
(per Mei 2017). Artinya, saat ini masih ada disparitas mutu antar FK.
Perlu diketahui, akreditasi C adalah akreditasi yang paling rendah karena
tidak ada FK yang tidak terakreditasi (FK yang baru buka saja, mendapat C).
Banyaknya akreditasi C, maka mutu menjadi perlu perhatian khusus.
Memang ada FK dengan akreditasi C yang cukup baik tetapi sebagian besar
kurang baik.

Kedua,
Setelah lulus pendidikan kedokteran, dalam upaya menstandarkan lulusan
dokter Indonesia, maka seluruh mahasiswa FK mengikuti UKMPPD (Uji
Kpmpetensi Mahasiswa Pendidikan Program Dokter) yang diadakan secara
Nasional oleh Panitia khusus (4 kali setahun).
Hasilnya, masih ada beberapa FK yang angka kelulusannya di bawah 50%.
Secara rerata angka kelulusannya sekitar 70%. Hal ini berarti, setiap
tahunnya terdapat sekitar 30% mahasiswa dari 9000-10.000an tidak bisa
menjadi dokter karena harus mengulang uji kompetensi (UKMPPD). Kalau hal
ini berlangsung terus menerus maka akan terjadi penumpukan calon dokter
yang dapat merupakan ‘bom waktu’ yang suatu saat akan meledak.
Ada yang mengajukan solusi, untuk mengurangi penumpukan calon dokter
maka nilai batas lulusnya diturunkan. Tetapi, kalau nilai batas lulus
diturunkan akibatnya, kompetensi dokter menjadi rendah.
Apakah masyarakat mau menerima lulusan dokter dengan kompetensi yang
rendah? Jika ini terjadi, hal ini adalah malapetaka bagi dunia kedokteran.
Masyarakat akan menjadi tidak percaya terhadap lulusan dokter dan
kepercayaan berobat menjadi turun (‘fobi’ terhadap dokter).
Jadi, ini adalah sebuah dilemma. Bila nilai batas kelulusan tinggi (saat ini 65)
maka angka residu (penumpukan) juga tinggi. Sedangkan, bila angka

kelulusan diturunkan (kurang dari 65), maka kompetensinya menjadi kurang



2

dan ketakutan masyarakat akan mutu dokter menjadi bencana.
Yang perlu menjadi perhatian adalah,
dengan FK akreditasi C.

persentase lulusan berkorelasi

Ketiga,
Penyebab rendahnya persentase kelulusan adalah karena jumlah dosen yang
tidak sebanding dengan mahasiswa. Rasio yang diwajibkan adalah 1:5 untuk
klinik dan 1:10 untuk preklinik). Dengan rasio yang tidak seimbang, maka
mahasiswa menjadi kurang bimbingan dan kompetensi menjadi rendah.
Ketersediaan dosen dengan kualitas yang baik, bagi fakultas kedokteran
merupakan suatu keharusan. Indikator akreditasi juga merefleksikan jumlah
dosen.

Keempat,
Sebuah FK harus memiliki kerjasama dengan Rumah Sakit (RS) Pendidikan
yang untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa. Banyaknya FK di satu
kota, membutuhkan RS Pendidikan yang juga sesuai jumlahnya.
Misalnya sebuah RS Pendidikan bekerja sama dengan beberapa FK
(katakanlah 3 FK), maka kesempatan mahasiswa untuk memegang atau
kontak dengan pasien, menjadi berkurang dan skill-nya kurang terasah. Jika
FK tidak memiliki kerja sama dengan RS Pendidikan, maka mahasiswa tidak
akan memperoleh pengalaman yang dibutuhkan.
Lalu, bila FK bekerjasama dengan RS tipe C sebagai RS pendidikan maka
mahasiswa akan diajari atau disupervisi oleh HANYA beberapa dokter
spesialis. Hal ini karena RS tipe C tidak mengharuskan memiliki seluruh
spesialis.
Kalaupun FK yang baru, mencari dokter spesialis di sekitar wilayah FK atau
sekitar RS, maka bisa saja mendapatkan jumlah spesialis yang mencukupi,
tetapi mutu dan cara mengajar menjadi masalah.
Pertanyaan akan timbul di masyarakat: Maukah masyarakat berobat kepada
dokter yang kurang kompeten?

Alasan Universitas Membuka FK

Universitas yang menghendaki pembukaan FK, didasari oleh faktor
• Ingin memberikan sumbangsihnya demi negara,
• ‘Gengsi’ (karena bila Universitas tanpa FK masih belum prestisius),
• Mungkin sebagai pendapatan Universitas sebagai subsidi silang untuk
Fakultas lain,
• Ingin mengangkat putra daerah agar dapat menjadi dokter.
Alasan lain adalah bahwa masih adanya FK dengan mutu yang rendah
sehingga Universitas yang akan membuka FK merasa memiliki kemampuan



3

untuk lebih baik dari FK dengan akreditasi C ataupun B dengan potensi
sumber daya manusia (SDM), sarana-prasarana, dan lain-lain.
Mari kita bahas satu persatu.
Benar bahwa membuka FK dapat membantu menyumbangkan atau berperan
dalam pendidikan kedokteran, namun bila belum layak, maka justru akan
membebani pemerintah karena dapat menjadi masalah dikemudian hari.
Masalah ‘gengsi’ yang dihubungkan dengan

kenyataannya hal ini tidak seluruhnya benar.

putra

daerah.

Pada

Beberapa FK negeri maupun swasta di daerah - misalnya Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi - mahasiswanya sebagian besar bukan ‘putra daerah’
tersebut, melainkan dari pulau Jawa yang pada akhirnya kembali ke daerah
masing-masing sehingga daerah tersebut tetap saja tidak terdistribusikan oleh
dokter.
Contoh lain di Papua, seharusnya putra daerah menjadi pengisi mahasiswa di
Papua tetapi kenyataannya masih banyak yang berasal dari pulau Jawa,
Sumatra, dan Sulawesi.

SOLUSI
Lalu, bagaimana mencari jalan keluarnya?
Pertama,

Kemenristekdikti tetap melakukan moratorium (penundaan pembukaan FK)
sampai mutu sebagian besar FK, sudah baik. Yang dimaksud baik adalah
hampir seluruhnya (>90%) FK, mempunyai akreditasi yang baik (A atau B).
Artinya hanya sekitar 10% saja yang akreditasi C.
Kedua,
Mengupayakan agar angka kelulusan uji kompetensi (UKMPPD), >85%,
sehingga angka penumpukan hanya sekitar 15%.
Tentu dengan tidak menurunkan nilai batas kelulusan karena akan
membahayakan masyarakat seperti yang telah dijelaskan diatas.
Upaya ini akan berhasil apabila Pemerintah serius melakukan pembimbingan
atau pembinaan kepada FK dengan akreditasi C (sebagai prioritas) untuk
menjadi B dan FK dengan akreditasi B menjadi A.
Ketiga,
Pemerintah harus bekerjasama dengan stakeholders seperti KKI, Organisasi
Profesi, Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia, Asosiasi Rumah
Sakit Pendidikan Indonesia, Kementrian Kesehatan, dan LAM-PTKes
(Lembaga Akreditas Mandiri Perguruan Tinggi bidang Kesehatan).
Keempat,
Saat pembinaan perlu ditetapkan batasan waktu bagi FK untuk berubah




4

menjadi akreditasi yang ditargetkan dan angka kelulusan yang lebih tinggi.
Apabila dalam waktu yang telah disepakati dan sudah dilakukan pembinaan
tetapi tidak ada perubahan (2 kali akreditasi C), maka dilakukan ‘merger’ atau
bergabung dengan FK lain, atau terpaksa ditutup (perlu law enforcement).
Kelima,
Untuk meningkatkan angka kelulusan, dapat dilakukan dengan
kuota
penerimaan mahasiswa baru. KUOTA ini dilakukan secara Nasional. Saat ini
sudah ada Peraturan Menristekdikti no 43 tahun 2017 tentang Kuota Nasional
yang terdiri dari unsur jenis akreditasi, angka kelulusan UKMPPD, rasio dosen
dan mahasiswa serta kerjasama dengan Rumah Sakit Pendidikan. Kuota
Nasional ini harus diberlakukan agar proses pendidikan dan pengajaran
berlangsung dengan tertib dan benar.
Dosen mempunyai waktu dan kesempatan bertemu dengan mahasiswa
secara intensif karena rasio yang cukup. Yang penting adalah dibangun
sistem yang dapat melihat adanya ‘ketidakpatuhan’ FK dalam menerima

mahasiswa baru.
Seluruh FK yang membuka mahasiswa baru harus melaporkan kepada
Kemristekdikti. Jumlahnya pun perlu sesuai kuota yang dibuktikan dengan
menyertakan nama mahasiswa baru. Kemristekdikti harus memasukkan
nama sesuai daftar yang dikirim dari FK untuk diinput ke dalam Pusat
Pangkalan Data. Nama yang tidak tercantum dalam Pusat Pangkalan Data
Kemristekdikti tidak akan dikenal dan apabila tetap kuliah di FK tersebut maka
tidak akan mendapat ijazah kerena tidak diakui oleh Kemristekdikti.
Pengumuman jumlah kuota untuk FK yang membuka penerimaan mahasiswa
baru ke ranah public melalui surat kabar, media social, dan lain-lain, juga
merupakan upaya bersama melibatkan pengawasan publik untuk
menghasilkan mutu lulusan terbaik.
Semua itu harus dijalankan dan jika tidak dilaksanakan diberikan sanksi
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanpa law-inforcement
yang konsisten, maka peraturan tinggal peraturan yang mudah dilanggar.

Keenam,
Bagi Universitas yang akan membuka FK, mempunyai kesempatan untuk
memperbaiki diri selama moratorium dijalankan. Dengan upaya memperbaiki
SDM (merekrut dari RS atau FK yang sudah ada); memberi pendidikan

tambahan;
peningkatan sarana-prasarana terutama Rumah Sakit;
dan
pengampuan oleh FK yang sudah mempunyai akreditasi A atau B, semua
dilakukan dengan sebaik-baiknya. Maka, apabila saatnya tiba (dibukanya
moratorium), semua sudah siap.
Kesiapan calon FK yang matang dan baik akan membantu FK itu sendiri,
Kemristekdikti, dan stakeholders dalam mengawal pembukaan FK dan mutu
pendidikan dokter nya.



5

Apabila moratorium dibuka saat ini, maka beberapa calon FK yang mungkin
belum siap akan tercoret dari daftar yang akan dibuka oleh Kemristekdikti dan
kesempatan membuka FK baru menjadi tertutup.

Kesimpulan
Secara ringkas, untuk meningkatkan mutu pendidikan kedokteran adalah
sebagai berikut:
Kemristekdikti tetap menjalankan moratorium kecuali untuk daerah terdepan,
terluar, dan tertinggal serta kekhususan. Disamping itu, Kemenristekdikti juga
tetap melakukan bimbingan kepada FK dengan akreditasi C (prioritas) dan B
agar meningkatkan akreditasinya. Kuota Nasional penerimaan mahasiswa
baru dengan konsisten dijalankan termasuk dengan law-inforcement.

Bagi KKI dan stakeholders lainnya, tetap mengawal dan membantu
Kemristekdikti untuk selalu menjaga mutu pendidikan kedokteran dengan
melakukan koordinasi yang lebih intensif.
Bagi Universitas yang akan melakukan pembukaan FK baru diharapkan
melakukan perbaikan SDM, sarana-prasarana, dan kelengkapan lainnya agar
pada saat dilakukan pembukaan sudah lengkap dan baik terutama sarana
Rumah Sakit sebagai lahan pendidikan.
Apabila jumlah FK dan mutu serta kelulusan sudah tinggi, maka moratorium
siap dibuka kembali.
Dengan demikian mengenai moratorium tidak menjadi ‘momok’ bagi
Universitas dan FK baik yang baru maupun yang sudah ada, pada saat yang
sama, kita semua dapat memastikan adanya perlindungan pada masyarakat
Indonesia.
Semoga bermanfaat.
Jakarta, 22 Oktober 2017
BS



6

Dokumen yang terkait

ANALISIS ELEMEN-ELEMEN BRAND EQUITY PADA PRODUK KARTU SELULER PRABAYAR SIMPATI, IM3, DAN JEMPOL (Studi Kasus Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Jember)

2 69 20

Hubungan Kualitas Tidur dan Kebiasaan Mengkonsumsi Kopi pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang

11 91 19

MOTIF MAHASISWA MENYAKSIKAN TAYANGAN INFOTAINMENT SILET DI RCTI Studi Pada Mahasiswa Fakultas Agama Islam Angkatan 2005 Universitas Muhammadiyah Malang

0 22 2

Problematika Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Dalam Mengakses Layanan Administrasi Via Internet : studi simak UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

0 22 77

Perilaku Konsumsi Serat pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Tahun 2012

21 162 166

Tingkat Kepuasan Mahasiswa Terhadap Mutu Layanan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3 29 73

Citra IAIN dan Fakultas Dakwah pada komunitas publiknya: studi FGD terhadap sepuluh komunitas sekitar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3 53 125

Pentingnya interaksi edukatif pendidik (guru) dalam upaya pembentukan akhlak peserta didik di sekolah: study mata pelajaran akidah akhlak di MTS Miftahul Amal

0 25 0

Tingkat Pemahaman Fiqh Muamalat kontemporer Terhadap keputusan menjadi Nasab Bank Syariah (Studi Pada Mahasiswa Program Studi Muamalat Konsentrasi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

1 34 126

Perancangan Kampanye Sosial Pentingnya Sarapan Pagi

1 17 1