Salah Paham dan Salah Timbang Sang Penja
SALAH PAHAM DAN SALAH TIMBANG SANG PENJAGA KONSTITUSI
TENTANG PRAKTIK KRIMINALISASI KEBIJAKAN
(NIAT MENYELESAIKAN MASALAH YANG MENAMBAH MASALAH)
Pada tanggal 25 Januari 2017 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan
Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016. Putusan ini pada intinya menyatakan bahwa kata
“dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat. Dengan hilangnya kata “dapat” ini, maka otomatis, seseorang baru
dapat dikatakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor jika perbuatan
seorang tersebut telah menimbulkan kerugian Negara secara nyata (rill), atau kerugian
dengan sifat actual loss, dan tidak lagi mengakomodir kerugian Negara yang masih
bersifat potensi, atau potential loss. Putusan ini menjadi menarik untuk dibahas lebih
lanjut karena sedikit banyak mengubah wajah pemberantasan korupsi di Indonesia,
terutama mengenai bagaimana pembuktian Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
di persidangan pasca putusan ini, dan juga meninggalkan permasalahan dalam
penegakan hukum korupsi jika dikaitkan dengan pelaksanaan pasal-pasal di dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU
Adminsitrasi pemerintahan), yang akan penulis jabarkan dalam bagian selanjutnya.
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa permohonan yang diajukan dalam perkara
ini tidak hanya mengenai kata “dapat” dalam pasal-pasal tersebut. Norma lain yang
juga diuji adalah frase “atau orang lain atau korporasi” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan
Pasal 3 UU Tipikor. Namun, karena pengujian norma ini tidak dikabulkan oleh MK
dan juga tidak menjadi poin penting dalam pembahasan penulis, maka penulis tidak
akan membahas mengenai pengujian frase “atau orang lain atau korporasi” dalam
pasal-pasal tersebut, dan hanya akan memfokuskan pembahasan pada pengujian kata
“dapat”. Pembahasan inipun nantinya tidak mencakup seluruh dalil Para Pemohon
dan pertimbangan Hakim, namun hanya dalil-dalil dan pertimbangan-pertimbangan
yang menurut penulis adalah inti dari perkara dan putusan ini. Bagi yang ingin
membaca putusan MK tersebut secara lengkap, silahkan membaca disini.
Setelah membaca permohonan Para Pemohon, menurut penulis, Para Pemohon
mendalilkan bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus
dinyatakan inkonstitusional karena menimbulkan ketidakpastian hukum dan
menimbulkan ketakutan serta rasa khawatir dalam bertindak bagi pemegang jabatan,
karena takut dijatuhi pidana korupsi. Hal ini disebabkan kata “dapat” di depan frase
“merugikan keuangan negara” mengakibatkan kerugian Negara tersebut tidaklah
harus terjadi secara nyata (actual loss), cukup dengan berpotensi merugikan keuangan
Negara (potential loss). Hal ini diperkuat pula dengan perumusan Pasal 2 Ayat (1) dan
Pasal 3 UU Tipikor sebagai delik formil, sehingga kerugian keuangan negara tidak
harus secara nyata telah terjadi (actual loss) untuk menyatakan bahwa telah terjadi
tindak pidana korupsi, cukup memenuhi unsur perbuatan yang ada di dalam pasal
tersebut saja, dan kerugian dapat hanya berupa potensi kerugian keuangan negara
(potential loss), maka sebuah perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana korupsi.
Atas dasar ini, Para Pemohon berpendapat bahwa apabila terdapat kesalahan
administrasi, yang menurut Para Pemohon adalah salah satu bentuk perbuatan
melawan hukum dan pada praktiknya potensi kerugian Negara akan selalu ada, maka
perbuatan tersebut akan langsung dikategorikan sebagai perbuatan korupsi. Padahal,
unsur “merugikan keuangan Negara” adalah unsur yang esensial dari pasal-pasal
tersebut karena apabila unsur “kerugian Negara” hilang, maka seluruh pelanggaran
administrasi merupakan delik korupsi, sehingga apabila tidak ada “kerugian Negara”,
maka tidak dapat dikatakan ada tindak pidana korupsi.
Selain itu, menurut Para Pemohon, adanya kata “dapat” dan perumusan Pasal
2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor secara formil ini tidak sejalan dengan
perkembangan politik hukum di Indonesia. Pertama, Pasal 1 angka 22 Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan
Negara) telah mengatur bahwa pada intiya kerugian Negara haruslah kerugian yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai. Atas dasar keharusan adanya kerugian yang nyata ini, maka Para
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus
dirumuskan sebagai delik materiil.
Kedua, UU Administrasi Pemerintahan mengedepankan penindakan secara
administratif dalam menindak kesalahan administrasi yang mengandung unsur
penyalahgunaan kewenangan dan menimbulkan kerugian Negara. Hal ini terlihat dari
adanya mekanisme penentuan ada tidaknya penyalahgunaan kewenangan yang
dijalankan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Para pemohon mendalilkan, UU
Administrasi Pemerintahan ini lahir sebagai respon atas kesalahan praktik
kriminalisasi pelanggaran administrasi yang dilakukan berdasarkan Pasal 2 Ayat (1)
UU Tipikor. Terbitnya UU ini telah membawa perubahan pandangan dalam
penegakan hukum korupsi dimana orang yang dihukum korupsi adalah orang yang
secara materiil melakukan perbuatan korupsi dan secara materiil merugikan keuangan
Negara, bukan orang yang dianggap melakukan korupsi karena jabatan, tetapi karena
kejahatan.
Dengan dalil-dalil ini, Para Pemohon menyatakan bahwa “kerugian keuangan
negara” harus telah secara nyata terjadi (actual loss) untuk menyatakan sebuah
perbuatan adalah tindak pidana korupsi, sehingga Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU
Tipikor harus dirumuskan secara materiil dengan menyatakan kata “dapat”
inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Seperti yang telah penulis sebutkan sebelumnya bahwa Hakim MK dalam
putusannya mengabulkan permohonan untuk menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2
Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi. Setelah membaca
pertimbangan Hakim MK, menurut penulis, putusan ini dijatuhkan dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
Pencantuman kata “dapat” membuat delik dalam kedua pasal tersebut menjadi
delik formil. Hal itu sering disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan
yang diduga merugikan keuangan Negara, termasuk diskresi yang diambil yang
bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya. Termasuk juga
dalam hubungan bisnis. Dengan pemahaman bahwa kedua pasal tersebut adalah
delik formil, maka banyak perbuatan seperti di atas dikenakan pidana korupsi.
Kondisi ini menyebabkan ketakutan pejabat publik dalam mengambil keputusan,
sehingga delik ini harus dirumuskan secara delik materiil.
Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara telah mengatur konsep kerugian
Negara berupa kerugian yang nyata dan pasti jumlahnya, sehingga Pasal 2 Ayat (1)
dan Pasal 3 UU Tipikor harus dirumuskan sebagai delik materiil.
Adanya UU Administrasi Pemerintahan mengakibatkan kerugian Negara dan
adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan tidak selalu
dikenai tindak pidana korupsi. Dengan lahirnya UU ini, maka kerugian Negara
karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi.
Kerugian Negara menjadi unsur tindak pidana korupsi jika terdapat unsur melawan
hukum dan penyalahgunaan wewenang. Dalam hal adanya penyalahgunaan
wewenang, suatu perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana
korupsi apabila: 1) berimplikasi terhadap kerugian Negara; 2) pelaku diuntungkan
secara melawan hukum; 3) masyarakat tidak dilayani; dan 4) perbuatan tersebut
merupakan tindakan tercela. Kerugian Negara merupakan implikasi dari adanya
perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi (Pasal 2 Ayata (1)) dan adanya penyalahgunaan kewenangan dengan
tujuan menguntngkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi (Pasal 3). Dengan
demikian, Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor telah bergeser dengan
menitikberatkan pada adanya akibat, tidak lagi hanya perbuatan, dan unsur
“merugikan keuangan Negara” tidak lagi dipahami sebagai potential loss, namun
harus dipahami benar-benar sudah terjadi (actual loss).
Atas
dasar
pertimbangan-pertimbangan
di
atas,
ditambah
dengan
pertimbangan bahwa penerapan unsur “merugikan keuangan Negara” dengan
menggunakan konsep actual loss lebih memberi kepastian hukum dan sesuai dengan
harmonisasi instrument hukum nasional dan internasional, seperti UU Perbendaharaan
Negara, UU Administrasi Pemerintahan, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), dan United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC), maka Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
haruslah dirumuskan secara delik materiil, sehingga kata “dapat” dalam pasal-pasal
tersebut harus dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat.
Setelah mencermati poin-poin di atas, penulis berpendapat bahwa putusan MK
ini tidaklah tepat karena terdapat beberapa kesalahan dalam dalil-dalil permohonan
dan pertimbangan di atas, sehingga tidak semestinya kata “dapat” tersebut dinyatakan
inkonstitusional. Menurut penulis, kesalahan-kesalahan ini terjadi karena adanya
kesalahpahaman, baik oleh Para Pemohon, maupun Hakim MK, dalam menafsirkan
apa sebenarnya perbuatan yang dapat dikatakan perbuatan korupsi yang diatur dalam
Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Penghapusan kata “dapat” ini tidak akan
menyelesaikan masalah ketakutan dikenai pasal korupsi oleh pejabat publik dalam
mengambil tindakan. Putusan ini juga berdampak pada semakin tegasnya dualisme
penegakan hukum ketika ada suatu kesalahan administrasi yang mengandung unsur
penyalahgunaan wewenang dan mengakibatkan kerugian Negara, karena menjadi
dapat ditindak, baik secara administratif, maupun secara pidana. Kesalahan-kesalahan
inilah yang akan penulis bahas satu per satu secara lebih rinci pada bagian
selanjutnya.
1. Kesalahpahaman bahwa kata “dapat” adalah penyebab sebuah kebijakan
dapat “dipidanakan” dengan korupsi
Dalam perkara ini, baik Para Pemohon, maupun Hakim MK, menyatakan bahwa
dengan adanya kata “dapat”, maka Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
menjadi delik formil sehingga kerugian Negara tidak harus secara nyata terjadi,
sehingga terjadi ketidakpastian hukum dimana perbuatan yang hanya bersifat
pelanggaran administrasi akan dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi.
Akibatnya, pejabat publik menjadi takut dalam mengambil keputusan karena
apabila pejabat tersebut salah mengambil keputusan, maka dengan serta merta akan
dapat dipidana dengan pasal korupsi, walaupun tidak ada kerugian Negara. Untuk
itu, kata “dapat” harus dinyatakan inkonstitusional, sehingga Pasal 2 Ayat (1) dan
Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik materiil dan unsur kerugian keuangan Negara
harus secara nyata terjadi dan dapat dibuktikan. Dengan begitu, “kriminalisasi”
terhadap kebijakan tidak akan terjadi lagi.
Atas dalil ini, penulis berpendapat bahwa walaupun MK menyatakan kata “dapat”
adalah inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, hal tersebut
tidak akan mengubah apapun dalam konteks “kriminalisasi” kebijakan, karena
kebijakan-kebijakan tersebut masih akan tetap dapat dipidana dengan pidana
korupsi dan ketakutan untuk mengambil kebijakan tidak akan selesai dan akan
terus ada. Menurut penulis, Hakim MK telah melakukan kekeliruan dengan
menganggap bahwa kata “dapat” adalah faktor banyaknya kebijakan yang
“dipidanakan”. Lebih jauh, Hakim MK telah tidak secara jernih melihat perbuatan
apa yang seharusnya dapat dipidana dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU
Tipikor, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil pejabat publik tidak dengan
mudah dijatuhi pidana korupsi.
Seperti yang telah penulis jabarkan dalam tulisan penulis sebelumnya yang
berjudul “Salah Paham Tentang Korupsi : Kedzaliman Yang Berasal Dari
Ketidakpahaman”, bahwa untuk dapat mengatakan seseorang telah melakukan
tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka harus
terdapat perbuatan yang bersifat melawan hukum, yang mana perbuatan
tersebut memang dilakukan dengan niat atau tujuan jahat, untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain. Yang harus dipahami pula bahwa
perbuatan jahat atau bestandeel delict dari korupsi bukan lah “adanya
kerugian negara atau potensi kerugian negara”, namun adanya niat jahat
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dilaksanakan dengan
perbuatan yang bersifat melawan hukum. Walaupun terdapat kerugian
negara, namun sepanjang perbuatan tersebut dilakukan tidak dengan niat
jahat memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang dilakukan dengan
melawan hukum, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
perbuatan korupsi.
Menurut penulis, pemahaman seperti inilah yang dapat menghentikan adanya
kebijakan-kebijakan yang dipidanakan dengan pasal korupsi, bukan dengan
menyatakan kata “dapat” dalam Pasal-pasal tersebut adalah inkonstitusional.
Tidaklah penting apakah kerugian Negara telah secara nyata telah terjadi atau
masih berupa potensi untuk menyatakan sebuah kebijakan mengandung unsur
korupsi, karena yang terpenting adalah harus ada niat jahat untuk memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau korporasi, yang mana tujuan tersebut dilakukan dengan
mengambil dan/atau melaksanakan kebijakan tersebut. Walaupun terdapat
kerugian Negara secara nyata atau adanya potensi kerugian negara, namun
sepanjang kebijakan tersebut dilakukan tidak dengan niat jahat memperkaya diri
sendiri atau orang lain, walaupun dilakukan dengan melawan hukum, maka
perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan korupsi. Untuk lebih
memahami konsep ini, penulis akan menjelaskan dengan kasus Hotasi Nababan,
yang sudah penulis jabarkan dalam tulisan tersebut di atas. Bagi yang ingin
membaca lengkap bagaimana kasus tersebut sampai putusan Peninjauan Kembali
(PK) nya, silahkan membaca tulisan tersebut.
Pada intinya, dalam persidangannya, Hotasi Nababan, selaku Direktur Utama PT
Merpati Nusantara Airlines (PT MNA), terbukti telah melakukan perbuatan yang
bersifat melawan hukum, dimana ada prosedur pengambilan kebijakan untuk
penyewaan pesawat yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Akibat
perbuatannya tersebut, ada pihak yang diuntungkan, yaitu perusahaan penyewaan
pesawat yang seharusnya menyewakan pesawat kepada PT MNA, yaitu Thirdstne
Aircraft Leasing Group (TALG) dan Negara telah dirugikan secara nyata sebesar
US$ 1,000,000. Mari kita lihat bersama kasus ini dengan kacamata putusan MK
dan pemahaman yang penulis sebutkan di atas.
Dengan kacamata putusan MK, maka menurut penulis, perbuatan Hotasi Nababan
tetap dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan,
kacamata putusan MK menitikberatkan kepada adanya kerugian Negara yang
sudah nyata terjadi. Dalam kasus Hotasi Nababan, kerugian telah nyata terjadi,
yaitu sebesar US$ 1,000,000. Namun, apakah memang pantas perbuatan Hotasi
Nababan dikatakan sebagai tindak pidana korupsi, terlebih ia mengajak Jaksa
Pengacara Negara untuk menggugat TALG di Amerika Serikat dan memenangkan
perkara tersebut? Bukankah perbuatan Hotasi Nababan tersebut menggambarkan
bahwa ia tidak memiliki niat jahat untuk memperkaya TALG dengan mengambil
kebijakan yang bersifat melawan hukum?
Dengan menggunakan kacamata pemahaman yang penulis sebutkan di atas, maka
penulis berpendapat perbuatan Hotasi Nababan tidaklah dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan karena pemahaman tersebut
menitikberatkan kepada ada tidaknya niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi, yang dilakukan dengan tindakan yang bersifat melawan
hukum. Oleh karena itu, terlepas dari adanya kerugian Negara sebesar US$
1,000,000 yang dinikmati oleh TALG, Hotasi Nababan terbukti tidak memiliki niat
jahat untuk memperkaya TALG, seperti yang telah penulis jabarkan sebelumnya,
sehingga perbuatan Hotasi Nababan tidak dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana korpusi.
Apabila kita mencermati kacamata putusan MK dan pemahaman yang penulis
sebutkan di atas, maka menurut penulis, pemahaman di atas lah yang dapat
menghilangkan ketakutan pejabat publik dalam mengambil kebijakan. Pejabat
publik tidak perlu takut lagi utuk mengambil keputusan atau kebijakan karena
khawatir dikenai pasal korupsi selama keputusan atau kebijakan tersebut tidak
diambil dengan niat jahat untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau korporasi, walaupun keputusan atau kebijakan tersebut bersifat
melawan hukum dan merugikan keuangan Negara, seperti yang terjadi di dalam
kasus Hotasi Nababan. Menurut penulis, apabila MK ingin menghilangkan rasa
takut dari pejabat publik tersebut, maka seharusnya pemahaman di atas lah yang
diberlakukan untuk Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, bukan dengan
menghapus kata “dapat” dan menjadikan pasal tersebut menjadi delik materiil.
Terbukti bahwa dengan kacamata putusan MK ini, kebijakan yang diambil Hotasi
Nababan tetap dapat disebut sebagai tindak pidana korupsi, yang berarti putusan
ini masih membuka peluang adanya kebijakan-kebijakan yang seharusnya tidak
dapat disebut sebagai tindak pidana korupsi, namun masih tetap dipidanakan
dengan pasal korupsi.
Lagipula, pejabat publik tidak perlu khawatir sebuah kebijakan dapat dipidana
dengan pidana korupsi karena adanya kata “dapat” atau menggunakan konsep
potential loss. Menurut penulis, MK sendiri sudah melindungi pejabat publik dari
hal tersebut dengan menyatakan dalam Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006
bahwa kata “dapat” di depan frase “merugikan keuangan Negara” haruslah
ditafsirkan bahwa unsur kerugian Negara haruslah tetap dapat dihitung dan
dibuktikan serta dibuktikan oleh ahli pada bidangnya, walaupun masih bersifat
potensi. Hal ini menunjukkan bahwa penegak hukum tidak bisa menyatakan bahwa
seseorang secara serta merta telah melakukan tindak pidana korupsi hanya karena
adanya pelanggaran administrasi sebelum adanya penghitungan dan pembuktian
secara pasti berapa besar potensi kerugian Negara yang ditimbulkan akibat
perbuatan orang tersebut. Dengan adanya ketentuan ini, maka menurut penulis,
kata “dapat” tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum, malah justru
menciptakan sebuah kepastian hukum berupa perlindungan bagi pejabat publik
dalam mengambil kebijakan, sehingga kata tersbeut tidaklah harus dinyatakan
inkonstitusional.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa kata
“dapat” bukanlah faktor yang seharusnya membuat para pejabat publik takut
mengambil kebijakan atau keputusan, sehingga harus dinyatakan inkonstitusional,
karena pada faktanya, walaupun MK menyatakan kata “dapat” adalah
inkonstitusional, maka tidak akan mengubah apapun dalam hal kriminalisasi
terhadap kebijakan, karena dengan kacamata putusan MK ini, masih akan ada
kebijakan yang dipidanakan dengan tindak pidana korupsi dan masalah ketakutan
pejabat publik dalam mengambil keputusan atau kebijakan tidak akan selesai.
Faktor utama penyebab ketakutan ini, yang seharusnya diluruskan oleh MK untuk
menghilangkan ketakutan ini, adalah kesalahpahaman dalam memandang
perbuatan apa yang sebenarnya dilarang dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU
Tipikor, yaitu adanya niat jahat untuk memperkaya atau menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau korporasi, yang dilakukan secara melawan hukum atau
dalam bentuk penyalahgunaan kewenangan.
2. Pengubahan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dari delik formil
menjadi delik materiil sebagai suatu kesalahan
Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa perumusan Pasal 2 Ayat (1)
dan Pasal 3 UU Tipikor secara formil menimbulkan ketakutan pejabat publik
dalam mengambil keputusan. Selain itu, seperti yang sudah penulis tuliskan di
bagian pertimbangan Hakim, Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara telah
mengatur konsep kerugian keuangan negara yang secara nyata terjadi. Atas dasar
tersebut, maka MK memutuskan bahwa Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
harus dirumuskan secara materiil dimana kerugian Negara harus secara nyata
terjadi.
Menurut penulis, keputusan MK yang menyatakan sifat Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal
3 UU Tipikor adalah delik materiil adalah sebuah kesalahan fatal. Merumuskan
bahwa kerugian Negara harus secara nyata terjadi dengan merumuskan pasal-pasal
tersebut sebagai delik materiil adalah hal yang berbeda, walaupun terkesan sama.
Kalau MK ingin menyatakan bahwa unsur kerugian negara haruslah dibuktikan
dengan adanya kerugian secara nyata agar dapat menyatakan bahwa sebuah
perbuatan adalah tindak pidana korupsi, silahkan nyatakan demikian, namun tidak
perlu sampai mengubah sifat pasal-pasal tersebut menjadi delik materiil.
Nampaknya MK lupa bahwa ada konsekuensi logis dalam pembuktian di
persidangan korupsi nantinya karena pengubahan pasal-pasal tersebut menjadi
delik materiil, karena pembuktian di persidangan terhadap delik formil dan materiil
memiliki penekanan yang berbeda.
Pada intinya, sependek yang penulis pahami, pembuktian delik formil akan
menitikberatkan kepada bagaimana cara pelaku melakukan tindak pidana tersebut,
tanpa memperdulikan apa akibat dari perbuatan tersebut. Jadi, selama Terdakwa
terbukti telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh sebuah peraturan, maka ia
dapat dipidana atas perbuatan tersebut. Contohnya adalah apabila Terdakwa
didakwa melakukan pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP. Dalam proses
pembuktian, tidaklah penting untuk melihat apakah ada akibat yang terjadi dari
pencurian yang dilakukan Terdakwa, misalnya apakah korban merasa sedih atau
kehilangan atas barang yang dicuri. Pembuktian hanya akan menitikberatkan
kepada apakah benar terdakwa mengambil barang tersebut secara melawan hukum.
Sedangkan sebaliknya, pembuktian delik materiil akan lebih menitikberatkan
kepada apa akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku. Selama perbuatan
Terdakwa terbukti menimbulkan akibat yang diancam dengan pidana, tanpa harus
memperhatikan
bagaimana
cara
Terdakwa
melakukan
perbuatan
untuk
menimbulkan akibat tersebut, maka Terdakwa dapat dipidana karena telah
menimbulkan akibat tersebut. Contoh, dalam hal Terdakwa didakwa melakukan
pembunuhan yang diatur dalam Pasal 338 KUHP. Pembuktian di persidangan tidak
akan mementingkan dengan cara apa Tedakwa membunuh korban, apakah dengan
menusukkan pisau, melemparkan batu, menembakkan senjata api, namun cukup
dibuktikan bahwa akibat perbuatan tersebut telah terbukti ada nyawa orang lain
yang hilang.
Dengan konstruksi di atas, dengan MK menyatakan bahwa Pasal 2 Ayat (1) dan
Pasal 3 UU Tipikor adalah delik materiil, maka secara logis, pembuktian
persidangan atas pasal-pasal tersebut nantinya tidak akan melihat lagi bagaimana
cara pelaku melakukan tindak korupsi, namun cukup melihat apakah ada akibat
yang ditimbulkan dari perbuatan Terdakwa, yaitu apakah telah ada kerugian
Negara secara nyata sebagai akibat perbuatan Terdakwa. Dengan kata lain, apabila
terbukti bahwa dari sebuah perbuatan telah menimbulkan kerugian Negara secara
nyata, maka otomatis perbuatan Terdakwa tersebut langsung diklasifikasikan
sebagai tindak pidana korupsi, tanpa harus melihat bagaimana Terdakwa
melakukan perbuatan tersebut.
Lalu, dengan konstruksi ini, bagaimana apabila sebuah kebijakan atau keputusan
pada faktanya menimbulkan kerugian Negara secara nyata? Secara logis,
jawabannya adalah perbuatan tersebut harus langusng diklasifikasikan sebagai
tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3
UU Tipikor, tanpa harus dibuktikan bagaimana cara pengambilan kebijakan atau
keputusan tersebut. Mengacu kepada hal ini, maka terlihat jelas bahwa putusan
MK ini faktanya dapat semakin memperbesar kemungkinan dipidananya sebuah
kebijakan dan dapat semakin menimbulkan ketakutan pejabat publik dalam
mengambil keputusan, karena walaupun kebijakan atau keputusan tersebut diambil
dengan tujuan yang baik dan tidak bersifat melawan hukum, namun sepanjang
telah menimbulkan kerugian Negara secara nyata, maka perbuatan tersebut harus
disebut sebagai tindak pidana korupsi.
Menurut penulis, seperti yang telah penulis sebutkan di atas, tidaklah perlu MK
menyatakan bahwa Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berubah menjadi delik
materiil, walaupun MK ingin menyatakan bahwa unsur kerugian negara haruslah
dibuktikan dengan adanya kerugian secara nyata agar dapat menyatakan bahwa
sebuah perbuatan adalah tindak pidana korupsi. Hal ini tidak terlepas dari sifat
delik-delik materiil itu sendiri yang pada dasarnya tidak cocok dengan sifat pasalpasal tersebut. Menurut penulis, dalam delik materiil, sifat melawan hukum dari
perbuatan akan muncul secara otomatis ketika akibat yang disyaratkan sudah
terjadi. Yang bisa membuat sifat melawan hukum tersebut hilang adalah dasardasar pembenar, baik yang ada di KUHP, seperti yang diatur dalam Pasal 49 Ayat
(1) KUHP, Pasal 50, dan Pasal 51 Ayat (1) KUHP, maupun yang diatur di luar
KUHP. Sedangkan, Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, akibat berupa
kerugian Negara tidak serta merta melahirkan sifat melawan hukumnya perbuatan
karena pada faktanya ada kerugian negara yang disebabkan perbuatan yang tidak
bersifat melawan hukum, misalnya dalam konteks bisnis atau dalam pengerjaan
sebuah proyek yang tidak selesai. Sifat melawan hukumnya perbuatan dalam Pasal
2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus tetap dibuktikan, walaupun tidak
mengunakan alasan-alasan pembenar, baik yang ada di KUHP, maupun di luar
KUHP, seperti yang sudah penulis jelaskan sebelumnya. Hal tersebut tidak perlu
dibuktikan dalam konsep delik materiil. Dengan alasan-alasan ini, maka penulis
berpendapat bahwa seharusnya MK tidak menyatakan pasal-pasal tersebut menjadi
delik materiil.
Hal-hal inilah yang mendasari penulis menyatakan bahwa pengubahan Pasal 2
Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik materiil adalah sebuah kesalahan
yang fatal dari MK dengan putusan ini. Di samping memang pasal-pasal tersebut
tidak cocok dengan karakteristik delik materiil, sepertinya Hakim lupa akan adanya
konsekuensi logis ini ketika mengubah Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
menjadi delik materiil karena untuk menyatakan bahwa ada tindak pidana korupsi
cukup dengan dibuktikan adanya kerugian Negara secara nyata, tanpa harus
memperhatikan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan niat baik atau buruk
dan apakah dengan melawan hukum atau tidak. Sebuah ironi dari putusan MK
yang ingin memperkecil bahkan menghilangkan peluang sebuah kebijakan
dipidanakan dengan korupsi dan menghilangkan rasa takut pejabat publik
mengambil kebijakan atau keputusan, namun faktanya justru semakin memperlebar
peluang dipidananya sebuah kebijakan dan menimbulkan ketakutan yang lebih
besar bagi pejabat publik dalam mengambil keputusan atau kebijakan.
3. Kesalahan
dalam
Pemerintahan
menganggap
mengubah
bahwa
pendekatan
lahirnya
penindakan
UU
Administrasi
penyalahgunaan
kewenangan yang mengakibatkan kerugian negara, dari pendekatan pidana
menjadi pendekatan administratif
Anggapan ini berangkat dari adanya ketentuan di dalam UU Administrasi
Pemerintahan yang memuat mekanisme administrasi dalam penindakan kesalahan
administrasi yang mengandung unsur penyalahgunaan kewenangan yang
mengakibatkan kerugian Negara, dimana sanksi yang diatur apabila hal tersebut
terbukti adalah pengembalian keuangan Negara oleh pejabat yang melakukan
penyalahgunaan kewenangan tersebut. Dengan adanya ketentuan ini, maka
kesalahan
administrasi
yang memuat
penyalahgunaan
kewenangan yang
menyebabkan kerugian Negara seharusnya tidak dapat serta merta dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi, sehingga tidak dapat serta merta pula ditindak
dengan mekanisme pidana korupsi. UU ini dinilai lahir sebagai respon atas
kesalahan praktik bahwa ada kebijakan-kebijakan yang dipidanakan dengan
korupsi, hanya karena terdapat kesalahan administrasi yang memuat unsur
penyalahgunaan kewenangan dan mengakibatkan kerugian Negara dalam
kebijakan tersebut.
Menurut penulis, ketentuan yang dimaksud dalam UU Administrasi Pemerintahan
tersebut adalah Pasal 20 Ayat (1), (2) huruf c, (4), dan (6). Adapun bunyi pasalpasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 20 Ayat (1)
Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh aparat pengawasan
intern pemerintah.
Pasal 20 Ayat (2) huruf c
Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa:
a….
b….
c. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan
negara.
Pasal 20 Ayat (4)
Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan
administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan
negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan
diterbitkannya hasil pengawasan.
Pasal 20 Ayat (6)
Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan
kepada Pejabat Pemerintahan, apabila kesalahan administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan
Wewenang.
Dari ketentuan-ketentuan ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila
berdasarkan hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
ditemukan adanya kesalahan administratif yang terjadi karena adanya unsur
penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan Negara, maka pejabat
pemerintahan
yang
melakukan
kesalahan
administrasi
tersebut
harus
mengembalikan kerugian Negara tersebut paling lama 10 (sepuluh) kerja terhitung
sejak hasil pemeriksaan dikeluarkan. Ketentuan-ketentuan ini menunjukkan bahwa
apabila ada kesalahan administratif yang terjadi karena adanya unsur
penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan Negara, maka harus diproses
secara administrasi dengan sanksi pengembalian kerugian Negara, bukan diproses
secara pidana dengan pasal korupsi. Menurut penulis, ketentuan inilah yang
menjadi dasar untuk menyebutkan bahwa telah terjadi perubahan pendekatan
penindakan perbuatan tersebut, dari pendekatan pidana, menjadi pendekatan
administratif. Pertanyaannya, apakah memang benar aturan ini mengubah
pendekatan penindakan perbuatan tersebut, dari yang harus menggunakan
mekanisme pida dengan pidana korupsi, menjadi menggunakan penindakan
administratif berupa pengembalian kerugian keuangan Negara?
Menurut penulis, aturan tersebut tidaklah mengubah pendekatan penindakan
apabila ada kesalahan administratif yang terjadi karena adanya unsur
penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan Negara, dari dapat dipidana
dengan korupsi, menjadi harus secara administratif. Hal ini disebabkan karena
pada dasarnya, aturan tersebut di atas berbeda dengan aturan di dalam Pasal 2 Ayat
(1) dan Pasal 3 UU Tipikor dan masing-masing dapat dilakukan, namun tergantung
dengan konstruksi kasus yang ada. Menurut penulis, perbedaan tersebut terletak
kepada adanya niat jahat atau tidak dalam kesalahan administrasi yang terjadi,
dimana terdapat penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan Negara.
Apabila terbukti bahwa kesalahan administratif tersebut dilakukan dengan dasar
niat jahat untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang
dilakukan dengan penyalahgunaan wewenang dan menyebabkan kerugian Negara,
maka perbuatan tersebut harus dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi dan
dijatuhi pidana. Apabila tidak ditemukan niat jahat dalam melakukan perbuatan
tersebut, namun pada faktanya ada kesalahan administrasi yang mengandung unsur
penyalahgunaan wewenang dan mengakibatkan kerugian Negara, maka perbuatan
tersebut harus dintindak dengan ketentuan dalam UU Administrasi Pemerintahan
di atas dengan sanksi administratif berupa pengembalian kerugian Negara oleh
pejabat yang melakukan perbuatan tersebut, bukan dengan tindak pidana korupsi.
Menurut penulis, justru ketentuan di dalam UU Administrasi Pemerintahan di atas
adalah pelengkap ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, dimana
apabila tidak ditemukan niat jahat dalam diri pelaku, sehingga tidak dapat dipidana
dengan tindak pidana korupsi, namun kerugian Negara yang telah timbul tetap
harus dikembalikan, maka dapat menggunakan ketentuan dalam UU Administrasi
Pemerintahan untuk dapat mengembalikan kerugian negara tersebut.
Memang, penulis menyadari bahwa UU Administrasi Pemerintahan tidak
menggambarkan hubungan saling melengkapi antara aturan di dalam UU tersebut
dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, seperti yang penulis jabarkan di
atas. Namun, hal tersebut dapat diselesaikan dengan mengatur hukum acara yang
jelas mengenai mulai dari proses mana yang terlebih dahulu harus dijalankan,
sampai kepada bagaimana apabila ada pertentangan antara putusan administrasi
dan pidana korupsi satu sama lain. Atas dasar tersebut, penulis berpendapat bahwa
UU
Administrasi
Pemerintahan
tidak
mengubah
penindakan
kesalahan
administratif yang terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang dan
merugikan keuangan Negara, dari dapat dipidana dengan korupsi, menjadi harus
secara administratif, namun malah aturan di dalam UU Administrasi Pemerintahan
dan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor adalah ketentuan yang saling
melengkapi satu sama lain.
4. Kesalahan pendefinisian perbuatan korupsi yang membuat perbedaan antara
perbuatan korupsi dan perbuatan di dalam UU Administrasi Pemerintahan
menjadi kabur
Seperti yang telah penulis sebutkan sebelumnya, Para Pemohon mendalilkan
bahwa terbitnya UU Administrasi Pemerintahan telah membawa perubahan
pandangan dalam penegakan hukum korupsi dimana orang yang dihukum korupsi
adalah orang yang secara materiil melakukan perbuatan korupsi dan secara materiil
merugikan keuangan Negara, bukan orang yang dianggap melakukan korupsi
karena jabatan, tetapi karena kejahatan. Hakim MK dalam pertimbangannya
menyebutkan bahwa kerugian Negara karena kesalahan administratif bukan
merupakan unsur tindak pidana korupsi. Kerugian Negara menjadi unsur tindak
pidana korupsi jika terdapat unsur melawan hukum dan penyalahgunaan
wewenang. Dalam hal adanya penyalahgunaan wewenang, suatu perbuatan baru
dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila: 1) berimplikasi
terhadap kerugian Negara; 2) pelaku diuntungkan secara melawan hukum; 3)
masyarakat tidak dilayani; dan 4) perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela.
Menurut penulis, pendefinisian Para Pemohon dan Hakim MK di atas telah
membuat perbedaan antara perbuatan apa yang dapat ditindak sebagai tindak
pidana korupsi dan perbuatan yang harus ditindak secara administratif menjadi
kabur. Kalau kita melihat dalil Para Pemohon dimana orang yang dihukum korupsi
adalah orang yang secara materiil melakukan perbuatan korupsi dan secara materiil
merugikan keuangan Negara, bukan orang yang dianggap melakukan korupsi
karena jabatan, tetapi karena kejahatan, pertanyaannya, bukankah perbuatan
korupsi dapat dilakukan dengan penyalahgunaan wewenang? Bukankah ketentuan
dalam UU Administrasi Pemerintahan juga mengharuskan adanya kerugian Negara
yang nyata agar dapat dijatuhi sanksi administratif? Menurut penulis, pendefinisian
oleh Para pemohon ini membuat perbuatan yang dapat dipidana dengan korupsi
dan perbuatan yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan menjadi sama
dan tidak ada perbedaan sama sekali, karena menurut Para Pemohon, untuk dapat
dikatakan sebagai tindak pidana korupsi, maka secara materiil harus terbukti
bahwa orang tersebut melakukan tindak pidana korupsi dan secara materiil
merugikan keuangan Negara. Bukankah perbuatan itu sama dengan yang diatur
dalam UU Administrasi Pemerintahan, dimana untuk dapat dikenai sanksi
administratif, maka harus terpenuhi adanya unsur penyalahgunaan wewenang,
yang adalah salah satu bentuk perbuatan korupsi, dan merugikan keuangan Negara
secara riil?
Hal yang sama juga terjadi dengan pendefinisian perbuatan korupsi oleh MK,
dimana MK mendefinisikan bahwa sebuah penyalahgunaan kewenangan dapat
dikatakan sebagai tindak pidana korupsi apabila memenuhi unsur-unsur: 1)
berimplikasi terhadap kerugian Negara; 2) pelaku diuntungkan secara melawan
hukum; 3) masyarakat tidak dilayani; dan 4) perbuatan tersebut merupakan
tindakan tercela. Kalau kita mencermati lebih dalam, maka menurut penulis, kita
akan mendapati fakta bahwa beberapa unsur di atas pada dasarnya sama. Unsur
“penyalahgunaan wewenang” sendiri pada dasarnya sama dengan “secara melawan
hukum” dan “perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela”, karena pada
dasarnya sebuah “penyalahgunaan wewenang” pasti dapat dikatakan sebagai
“perbuatan yang bersifat melawan hukum” dan juga merupakan “perbuatan
tercela”. Dengan pertimbangan bahwa unsur “masyarakat tidak dilayani” bukanlah
unsur perbuatan, namun merupakan unsur akibat, sehingga dapat dikesampingkan
dalam pembahasan unsur perbuatan apa yang harus dibuktikan, maka otomatis
unsur yang harus dibuktikan untuk menyatakan sebuah penyalahgunaan wewenang
adalah perbuatan korupsi hanya 2 (dua) unsur, yaitu adanya “kerugian Negara” dan
adanya “keuntungan yang didapat secara melawan hukum”.
Pertanyannya adalah, bukankah unsur “kesalahan administrasi yang mengandung
unsur penyalahgunaan wewenang”, yang ada di dalam UU Administrasi
Pemerintahan, termasuk dalam unsur “secara melawan hukum”, yang ada dalam
definisi di atas? Bukankah “keuntungan” akan selalu ada apabila terjadi kerugian
Negara, baik keuntungan bagi diri sendiri, orang lain atau korporasi? Dengan
sama-sama mengharuskan terbuktinya kerugian Negara, maka otomatis definisi
sebuah penyalahgunaan wewenang dapat dikatakan perbuatan korupsi oleh Hakim
MK di atas menjadi sama dengan perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi
administratif menurut UU Administrasi Pemerintahan, karena menurut penulis,
unsur “secara melawan hukum” dalam definisi di atas mencakup unsur “kesalahan
administrasi yang mengandung unsur penyalahgunaan wewenang” dalam UU
Administrasi Pemerintahan. Oleh karena itu, definisi oleh MK di atas membuat
pendefinisian penyalahgunaan wewenang yang dapat dipidana dengan korupsi dan
perbuatan yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan menjadi sama dan
tidak ada perbedaan sama sekali.
Dengan tidak adanya perbedaan definisi ini, maka terjadi ketidakjelasan kapan
sebuah kesalahan administrasi
yang mengandung
unsur penyalahgunaan
wewenang yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara akan ditindak secara
administrasi, kapan akan ditindak secara pidana korupsi, karena pada dasarnya
perbuatan tersebut dapat ditindak dengan 2 (dua) cara tersebut. Dengan fakta ini,
maka akan terbuka kemungkinan bahwa pebruatan yang seharusnya ditindak
secara administratif, namun ditindak secara pidana. Hadirnya definisi ini tidak
akan membuat praktik kriminalisasi kebijakan akan berhenti, akan tetap ada, malah
mungkin akan menjadi semakin parah.
Selain itu, dengan kesamaan definisi ini, maka terdapat 2 (dua) pilihan untuk
menindak perbuatan tersebut di atas, yaitu secara administratif dan pidana, yang
mana 2 (dua) cara tersebut memiliki penanganan yang berbeda. Secara logika,
penanganan secara administratif akan lebih ringan karena hanya akan dibebankan
pengembalian kerugian Negara apabila terbukti daripada cara pidana yang dapat
dikenakan upaya paksa, dijatuhi hukuman penjara dan denda, serta masih
dibebankan mengembalikan kerugian Negara. Dengan tidak adanya kejelasan
kapan perbuatan tersebut di atas ditindak secara administratif atau pidana, maka
penindakan yang dilakukan akan diserahkan seluruhnya kepada pihak yang akan
menindak perbuatan tersebut, yang mana hal tersebut sangat berpotensi dilakukan
secara sewenang-wenang atau sesuai selera dari pihak penindak. Konsekuensi
logisnya, hal ini akan menimbulkan budaya koruptif baru, dimana orang akan
melakukan perbuatan tersebut akan cenderung menghindari penindakan yang lebih
berat, yaitu secara pidana, dan mengupayakan segala cara untuk mendapatkan
proses yang lebih ringan, yaitu secara administratif.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka terbukti bahwa telah terjadi
kesalahpahaman oleh Hakim MK dalam memandang penyebab adanya praktik
kriminalisasi terhadap kebijakan dimana terdapat penyalahgunaan wewenang di
dalamnya, sehingga menjatuhkan putusan yang tidak tepat, tidak akan menyelesaikan
masalah, dan malah akan menambah masalah baru. Walaupun MK menghapuskan
kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka tidak akan
mengurangi masalah praktik kriminalisasi terhadap kebijakan, karena pada dasarnya,
penyebab kriminalisasi tersebut bukanlah karena keberadaan kata “dapat” tersebut,
melainkan adanya kesalahan dalam melihat perbuatan apa yang sebenarnya dapat
dipidana dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, yaitu adanya niat jahat
untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dari penyalahgunaan
wewenang tersebut. Pada dasarnya MK hanya cukup meluruskan pandangan ini dan
dengan pandangan ini, maka praktik kriminalisasi akan dapat terselesaikan dengan
baik, karena tidak akan ada lagi kebijakan yang dipidanakan selama tidak ditemukan
ada niat jahat untuk memperkaya dalam mengambil kebijakan tersebut.
Selain itu, putusan ini terbukti menimbulkan masalah baru yang malah dapat
menambah kemungkinan timbulnya praktik kriminalisasi terhadap penyalahgunaan
wewenang dalam pengambilan suatu kebijakan atau keputusan. Hal ini disebabkan
dengan putusan ini, maka definisi perbuatan penyalahgunaan wewenang yang
mengakibatkan kerugian negara yang dapat ditindak secara pidana dengan Pasal 2
Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dengan perbuatan yang dapat ditindak secara
administratif dengan Pasal 20 Ayat (2), (4), dan (6) UU Administrasi Pemerintahan
menjadi tidak ada perbedaan sama sekali. Akibatnya, perbuatan tersebut dapat
ditindak, baik secara pidana, maupun secara administratif, tidak jelas kapan harus
secara pidana, kapan harus secara administratif. Hal ini sangat membuka
kemungkinan sebuah penyalahgunaan wewenang yang seharusnya ditindak secara
administratif akan ditindak secara pidana, atau malah dapat ditindak 2 kali, secara
pidana dan secara administratif, karena pada dasarnya dapat juga ditindak secara
pidana. Masalah baru yang berpotensi terjadi akibat putusan ini adalah timbulnya
budaya koruptif baru karena dengan sifat penindakan yang berbeda dan penentuan
tindakan apa yang harus dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada penindak yang
syarat penentuan tindakan itu yang tidak jelas, maka akan membuka celah orang yang
menyalahgunakan wewenang tersebut untuk berusaha sekuat mungkin dengan cara
apapun menghindari penindakan yang bersifat lebih berat, yang mana cara tersebut
dapat berupa perbuatan korupsi yang baru.
Putusan MK adalah sebuah putusan yang mempengaruhi hidup banyak orang.
Sifatnya yang mengubah norma sebuah Undang-undang, berlaku bagi semua orang
(erga omens), dan juga putusan tersebut bersifat final, mengikat, dan tidak ada lagi
upaya hukum untuk menguji putusan tersebut, membuat putusan tersebut harus
dijatuhkan dengan dasar yang kuat dan logika yang tepat. Apabila tidak dilakukan
dengan cara tersebut, maka putusan tersebut akan mendatangkan masalah, baik secara
norma, maupun dalam pelaksanaan normanya, dan yang akan menerima akibatnya
adalah semua orang, tidak hanya yang mengajukan permohonan. Kedepannya, para
Hakim MK harus bisa lebih mawas diri dalam melihat apa sebenarnya penyebab dari
sebuah permasalahan, untuk kemudian mempertimbangkan dengan logika yang tepat,
sehingga putusan yang diberikan tepat dan dapat menyelesaikan permasalahan
tersebut, bukan malah menambah permasalahan baru.
TENTANG PRAKTIK KRIMINALISASI KEBIJAKAN
(NIAT MENYELESAIKAN MASALAH YANG MENAMBAH MASALAH)
Pada tanggal 25 Januari 2017 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan
Putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016. Putusan ini pada intinya menyatakan bahwa kata
“dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat. Dengan hilangnya kata “dapat” ini, maka otomatis, seseorang baru
dapat dikatakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor jika perbuatan
seorang tersebut telah menimbulkan kerugian Negara secara nyata (rill), atau kerugian
dengan sifat actual loss, dan tidak lagi mengakomodir kerugian Negara yang masih
bersifat potensi, atau potential loss. Putusan ini menjadi menarik untuk dibahas lebih
lanjut karena sedikit banyak mengubah wajah pemberantasan korupsi di Indonesia,
terutama mengenai bagaimana pembuktian Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
di persidangan pasca putusan ini, dan juga meninggalkan permasalahan dalam
penegakan hukum korupsi jika dikaitkan dengan pelaksanaan pasal-pasal di dalam
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU
Adminsitrasi pemerintahan), yang akan penulis jabarkan dalam bagian selanjutnya.
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa permohonan yang diajukan dalam perkara
ini tidak hanya mengenai kata “dapat” dalam pasal-pasal tersebut. Norma lain yang
juga diuji adalah frase “atau orang lain atau korporasi” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan
Pasal 3 UU Tipikor. Namun, karena pengujian norma ini tidak dikabulkan oleh MK
dan juga tidak menjadi poin penting dalam pembahasan penulis, maka penulis tidak
akan membahas mengenai pengujian frase “atau orang lain atau korporasi” dalam
pasal-pasal tersebut, dan hanya akan memfokuskan pembahasan pada pengujian kata
“dapat”. Pembahasan inipun nantinya tidak mencakup seluruh dalil Para Pemohon
dan pertimbangan Hakim, namun hanya dalil-dalil dan pertimbangan-pertimbangan
yang menurut penulis adalah inti dari perkara dan putusan ini. Bagi yang ingin
membaca putusan MK tersebut secara lengkap, silahkan membaca disini.
Setelah membaca permohonan Para Pemohon, menurut penulis, Para Pemohon
mendalilkan bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus
dinyatakan inkonstitusional karena menimbulkan ketidakpastian hukum dan
menimbulkan ketakutan serta rasa khawatir dalam bertindak bagi pemegang jabatan,
karena takut dijatuhi pidana korupsi. Hal ini disebabkan kata “dapat” di depan frase
“merugikan keuangan negara” mengakibatkan kerugian Negara tersebut tidaklah
harus terjadi secara nyata (actual loss), cukup dengan berpotensi merugikan keuangan
Negara (potential loss). Hal ini diperkuat pula dengan perumusan Pasal 2 Ayat (1) dan
Pasal 3 UU Tipikor sebagai delik formil, sehingga kerugian keuangan negara tidak
harus secara nyata telah terjadi (actual loss) untuk menyatakan bahwa telah terjadi
tindak pidana korupsi, cukup memenuhi unsur perbuatan yang ada di dalam pasal
tersebut saja, dan kerugian dapat hanya berupa potensi kerugian keuangan negara
(potential loss), maka sebuah perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana korupsi.
Atas dasar ini, Para Pemohon berpendapat bahwa apabila terdapat kesalahan
administrasi, yang menurut Para Pemohon adalah salah satu bentuk perbuatan
melawan hukum dan pada praktiknya potensi kerugian Negara akan selalu ada, maka
perbuatan tersebut akan langsung dikategorikan sebagai perbuatan korupsi. Padahal,
unsur “merugikan keuangan Negara” adalah unsur yang esensial dari pasal-pasal
tersebut karena apabila unsur “kerugian Negara” hilang, maka seluruh pelanggaran
administrasi merupakan delik korupsi, sehingga apabila tidak ada “kerugian Negara”,
maka tidak dapat dikatakan ada tindak pidana korupsi.
Selain itu, menurut Para Pemohon, adanya kata “dapat” dan perumusan Pasal
2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor secara formil ini tidak sejalan dengan
perkembangan politik hukum di Indonesia. Pertama, Pasal 1 angka 22 Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan
Negara) telah mengatur bahwa pada intiya kerugian Negara haruslah kerugian yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai. Atas dasar keharusan adanya kerugian yang nyata ini, maka Para
Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus
dirumuskan sebagai delik materiil.
Kedua, UU Administrasi Pemerintahan mengedepankan penindakan secara
administratif dalam menindak kesalahan administrasi yang mengandung unsur
penyalahgunaan kewenangan dan menimbulkan kerugian Negara. Hal ini terlihat dari
adanya mekanisme penentuan ada tidaknya penyalahgunaan kewenangan yang
dijalankan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Para pemohon mendalilkan, UU
Administrasi Pemerintahan ini lahir sebagai respon atas kesalahan praktik
kriminalisasi pelanggaran administrasi yang dilakukan berdasarkan Pasal 2 Ayat (1)
UU Tipikor. Terbitnya UU ini telah membawa perubahan pandangan dalam
penegakan hukum korupsi dimana orang yang dihukum korupsi adalah orang yang
secara materiil melakukan perbuatan korupsi dan secara materiil merugikan keuangan
Negara, bukan orang yang dianggap melakukan korupsi karena jabatan, tetapi karena
kejahatan.
Dengan dalil-dalil ini, Para Pemohon menyatakan bahwa “kerugian keuangan
negara” harus telah secara nyata terjadi (actual loss) untuk menyatakan sebuah
perbuatan adalah tindak pidana korupsi, sehingga Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU
Tipikor harus dirumuskan secara materiil dengan menyatakan kata “dapat”
inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Seperti yang telah penulis sebutkan sebelumnya bahwa Hakim MK dalam
putusannya mengabulkan permohonan untuk menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2
Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi. Setelah membaca
pertimbangan Hakim MK, menurut penulis, putusan ini dijatuhkan dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
Pencantuman kata “dapat” membuat delik dalam kedua pasal tersebut menjadi
delik formil. Hal itu sering disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan
yang diduga merugikan keuangan Negara, termasuk diskresi yang diambil yang
bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya. Termasuk juga
dalam hubungan bisnis. Dengan pemahaman bahwa kedua pasal tersebut adalah
delik formil, maka banyak perbuatan seperti di atas dikenakan pidana korupsi.
Kondisi ini menyebabkan ketakutan pejabat publik dalam mengambil keputusan,
sehingga delik ini harus dirumuskan secara delik materiil.
Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara telah mengatur konsep kerugian
Negara berupa kerugian yang nyata dan pasti jumlahnya, sehingga Pasal 2 Ayat (1)
dan Pasal 3 UU Tipikor harus dirumuskan sebagai delik materiil.
Adanya UU Administrasi Pemerintahan mengakibatkan kerugian Negara dan
adanya unsur penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan tidak selalu
dikenai tindak pidana korupsi. Dengan lahirnya UU ini, maka kerugian Negara
karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi.
Kerugian Negara menjadi unsur tindak pidana korupsi jika terdapat unsur melawan
hukum dan penyalahgunaan wewenang. Dalam hal adanya penyalahgunaan
wewenang, suatu perbuatan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana
korupsi apabila: 1) berimplikasi terhadap kerugian Negara; 2) pelaku diuntungkan
secara melawan hukum; 3) masyarakat tidak dilayani; dan 4) perbuatan tersebut
merupakan tindakan tercela. Kerugian Negara merupakan implikasi dari adanya
perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
korporasi (Pasal 2 Ayata (1)) dan adanya penyalahgunaan kewenangan dengan
tujuan menguntngkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi (Pasal 3). Dengan
demikian, Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor telah bergeser dengan
menitikberatkan pada adanya akibat, tidak lagi hanya perbuatan, dan unsur
“merugikan keuangan Negara” tidak lagi dipahami sebagai potential loss, namun
harus dipahami benar-benar sudah terjadi (actual loss).
Atas
dasar
pertimbangan-pertimbangan
di
atas,
ditambah
dengan
pertimbangan bahwa penerapan unsur “merugikan keuangan Negara” dengan
menggunakan konsep actual loss lebih memberi kepastian hukum dan sesuai dengan
harmonisasi instrument hukum nasional dan internasional, seperti UU Perbendaharaan
Negara, UU Administrasi Pemerintahan, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK), dan United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC), maka Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
haruslah dirumuskan secara delik materiil, sehingga kata “dapat” dalam pasal-pasal
tersebut harus dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat.
Setelah mencermati poin-poin di atas, penulis berpendapat bahwa putusan MK
ini tidaklah tepat karena terdapat beberapa kesalahan dalam dalil-dalil permohonan
dan pertimbangan di atas, sehingga tidak semestinya kata “dapat” tersebut dinyatakan
inkonstitusional. Menurut penulis, kesalahan-kesalahan ini terjadi karena adanya
kesalahpahaman, baik oleh Para Pemohon, maupun Hakim MK, dalam menafsirkan
apa sebenarnya perbuatan yang dapat dikatakan perbuatan korupsi yang diatur dalam
Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Penghapusan kata “dapat” ini tidak akan
menyelesaikan masalah ketakutan dikenai pasal korupsi oleh pejabat publik dalam
mengambil tindakan. Putusan ini juga berdampak pada semakin tegasnya dualisme
penegakan hukum ketika ada suatu kesalahan administrasi yang mengandung unsur
penyalahgunaan wewenang dan mengakibatkan kerugian Negara, karena menjadi
dapat ditindak, baik secara administratif, maupun secara pidana. Kesalahan-kesalahan
inilah yang akan penulis bahas satu per satu secara lebih rinci pada bagian
selanjutnya.
1. Kesalahpahaman bahwa kata “dapat” adalah penyebab sebuah kebijakan
dapat “dipidanakan” dengan korupsi
Dalam perkara ini, baik Para Pemohon, maupun Hakim MK, menyatakan bahwa
dengan adanya kata “dapat”, maka Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
menjadi delik formil sehingga kerugian Negara tidak harus secara nyata terjadi,
sehingga terjadi ketidakpastian hukum dimana perbuatan yang hanya bersifat
pelanggaran administrasi akan dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi.
Akibatnya, pejabat publik menjadi takut dalam mengambil keputusan karena
apabila pejabat tersebut salah mengambil keputusan, maka dengan serta merta akan
dapat dipidana dengan pasal korupsi, walaupun tidak ada kerugian Negara. Untuk
itu, kata “dapat” harus dinyatakan inkonstitusional, sehingga Pasal 2 Ayat (1) dan
Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik materiil dan unsur kerugian keuangan Negara
harus secara nyata terjadi dan dapat dibuktikan. Dengan begitu, “kriminalisasi”
terhadap kebijakan tidak akan terjadi lagi.
Atas dalil ini, penulis berpendapat bahwa walaupun MK menyatakan kata “dapat”
adalah inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, hal tersebut
tidak akan mengubah apapun dalam konteks “kriminalisasi” kebijakan, karena
kebijakan-kebijakan tersebut masih akan tetap dapat dipidana dengan pidana
korupsi dan ketakutan untuk mengambil kebijakan tidak akan selesai dan akan
terus ada. Menurut penulis, Hakim MK telah melakukan kekeliruan dengan
menganggap bahwa kata “dapat” adalah faktor banyaknya kebijakan yang
“dipidanakan”. Lebih jauh, Hakim MK telah tidak secara jernih melihat perbuatan
apa yang seharusnya dapat dipidana dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU
Tipikor, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil pejabat publik tidak dengan
mudah dijatuhi pidana korupsi.
Seperti yang telah penulis jabarkan dalam tulisan penulis sebelumnya yang
berjudul “Salah Paham Tentang Korupsi : Kedzaliman Yang Berasal Dari
Ketidakpahaman”, bahwa untuk dapat mengatakan seseorang telah melakukan
tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka harus
terdapat perbuatan yang bersifat melawan hukum, yang mana perbuatan
tersebut memang dilakukan dengan niat atau tujuan jahat, untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain. Yang harus dipahami pula bahwa
perbuatan jahat atau bestandeel delict dari korupsi bukan lah “adanya
kerugian negara atau potensi kerugian negara”, namun adanya niat jahat
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dilaksanakan dengan
perbuatan yang bersifat melawan hukum. Walaupun terdapat kerugian
negara, namun sepanjang perbuatan tersebut dilakukan tidak dengan niat
jahat memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang dilakukan dengan
melawan hukum, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
perbuatan korupsi.
Menurut penulis, pemahaman seperti inilah yang dapat menghentikan adanya
kebijakan-kebijakan yang dipidanakan dengan pasal korupsi, bukan dengan
menyatakan kata “dapat” dalam Pasal-pasal tersebut adalah inkonstitusional.
Tidaklah penting apakah kerugian Negara telah secara nyata telah terjadi atau
masih berupa potensi untuk menyatakan sebuah kebijakan mengandung unsur
korupsi, karena yang terpenting adalah harus ada niat jahat untuk memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau korporasi, yang mana tujuan tersebut dilakukan dengan
mengambil dan/atau melaksanakan kebijakan tersebut. Walaupun terdapat
kerugian Negara secara nyata atau adanya potensi kerugian negara, namun
sepanjang kebijakan tersebut dilakukan tidak dengan niat jahat memperkaya diri
sendiri atau orang lain, walaupun dilakukan dengan melawan hukum, maka
perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan korupsi. Untuk lebih
memahami konsep ini, penulis akan menjelaskan dengan kasus Hotasi Nababan,
yang sudah penulis jabarkan dalam tulisan tersebut di atas. Bagi yang ingin
membaca lengkap bagaimana kasus tersebut sampai putusan Peninjauan Kembali
(PK) nya, silahkan membaca tulisan tersebut.
Pada intinya, dalam persidangannya, Hotasi Nababan, selaku Direktur Utama PT
Merpati Nusantara Airlines (PT MNA), terbukti telah melakukan perbuatan yang
bersifat melawan hukum, dimana ada prosedur pengambilan kebijakan untuk
penyewaan pesawat yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Akibat
perbuatannya tersebut, ada pihak yang diuntungkan, yaitu perusahaan penyewaan
pesawat yang seharusnya menyewakan pesawat kepada PT MNA, yaitu Thirdstne
Aircraft Leasing Group (TALG) dan Negara telah dirugikan secara nyata sebesar
US$ 1,000,000. Mari kita lihat bersama kasus ini dengan kacamata putusan MK
dan pemahaman yang penulis sebutkan di atas.
Dengan kacamata putusan MK, maka menurut penulis, perbuatan Hotasi Nababan
tetap dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan,
kacamata putusan MK menitikberatkan kepada adanya kerugian Negara yang
sudah nyata terjadi. Dalam kasus Hotasi Nababan, kerugian telah nyata terjadi,
yaitu sebesar US$ 1,000,000. Namun, apakah memang pantas perbuatan Hotasi
Nababan dikatakan sebagai tindak pidana korupsi, terlebih ia mengajak Jaksa
Pengacara Negara untuk menggugat TALG di Amerika Serikat dan memenangkan
perkara tersebut? Bukankah perbuatan Hotasi Nababan tersebut menggambarkan
bahwa ia tidak memiliki niat jahat untuk memperkaya TALG dengan mengambil
kebijakan yang bersifat melawan hukum?
Dengan menggunakan kacamata pemahaman yang penulis sebutkan di atas, maka
penulis berpendapat perbuatan Hotasi Nababan tidaklah dapat dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan karena pemahaman tersebut
menitikberatkan kepada ada tidaknya niat jahat untuk memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau korporasi, yang dilakukan dengan tindakan yang bersifat melawan
hukum. Oleh karena itu, terlepas dari adanya kerugian Negara sebesar US$
1,000,000 yang dinikmati oleh TALG, Hotasi Nababan terbukti tidak memiliki niat
jahat untuk memperkaya TALG, seperti yang telah penulis jabarkan sebelumnya,
sehingga perbuatan Hotasi Nababan tidak dapat dikategorikan sebagai tindak
pidana korpusi.
Apabila kita mencermati kacamata putusan MK dan pemahaman yang penulis
sebutkan di atas, maka menurut penulis, pemahaman di atas lah yang dapat
menghilangkan ketakutan pejabat publik dalam mengambil kebijakan. Pejabat
publik tidak perlu takut lagi utuk mengambil keputusan atau kebijakan karena
khawatir dikenai pasal korupsi selama keputusan atau kebijakan tersebut tidak
diambil dengan niat jahat untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau korporasi, walaupun keputusan atau kebijakan tersebut bersifat
melawan hukum dan merugikan keuangan Negara, seperti yang terjadi di dalam
kasus Hotasi Nababan. Menurut penulis, apabila MK ingin menghilangkan rasa
takut dari pejabat publik tersebut, maka seharusnya pemahaman di atas lah yang
diberlakukan untuk Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, bukan dengan
menghapus kata “dapat” dan menjadikan pasal tersebut menjadi delik materiil.
Terbukti bahwa dengan kacamata putusan MK ini, kebijakan yang diambil Hotasi
Nababan tetap dapat disebut sebagai tindak pidana korupsi, yang berarti putusan
ini masih membuka peluang adanya kebijakan-kebijakan yang seharusnya tidak
dapat disebut sebagai tindak pidana korupsi, namun masih tetap dipidanakan
dengan pasal korupsi.
Lagipula, pejabat publik tidak perlu khawatir sebuah kebijakan dapat dipidana
dengan pidana korupsi karena adanya kata “dapat” atau menggunakan konsep
potential loss. Menurut penulis, MK sendiri sudah melindungi pejabat publik dari
hal tersebut dengan menyatakan dalam Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006
bahwa kata “dapat” di depan frase “merugikan keuangan Negara” haruslah
ditafsirkan bahwa unsur kerugian Negara haruslah tetap dapat dihitung dan
dibuktikan serta dibuktikan oleh ahli pada bidangnya, walaupun masih bersifat
potensi. Hal ini menunjukkan bahwa penegak hukum tidak bisa menyatakan bahwa
seseorang secara serta merta telah melakukan tindak pidana korupsi hanya karena
adanya pelanggaran administrasi sebelum adanya penghitungan dan pembuktian
secara pasti berapa besar potensi kerugian Negara yang ditimbulkan akibat
perbuatan orang tersebut. Dengan adanya ketentuan ini, maka menurut penulis,
kata “dapat” tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum, malah justru
menciptakan sebuah kepastian hukum berupa perlindungan bagi pejabat publik
dalam mengambil kebijakan, sehingga kata tersbeut tidaklah harus dinyatakan
inkonstitusional.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa kata
“dapat” bukanlah faktor yang seharusnya membuat para pejabat publik takut
mengambil kebijakan atau keputusan, sehingga harus dinyatakan inkonstitusional,
karena pada faktanya, walaupun MK menyatakan kata “dapat” adalah
inkonstitusional, maka tidak akan mengubah apapun dalam hal kriminalisasi
terhadap kebijakan, karena dengan kacamata putusan MK ini, masih akan ada
kebijakan yang dipidanakan dengan tindak pidana korupsi dan masalah ketakutan
pejabat publik dalam mengambil keputusan atau kebijakan tidak akan selesai.
Faktor utama penyebab ketakutan ini, yang seharusnya diluruskan oleh MK untuk
menghilangkan ketakutan ini, adalah kesalahpahaman dalam memandang
perbuatan apa yang sebenarnya dilarang dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU
Tipikor, yaitu adanya niat jahat untuk memperkaya atau menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau korporasi, yang dilakukan secara melawan hukum atau
dalam bentuk penyalahgunaan kewenangan.
2. Pengubahan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dari delik formil
menjadi delik materiil sebagai suatu kesalahan
Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa perumusan Pasal 2 Ayat (1)
dan Pasal 3 UU Tipikor secara formil menimbulkan ketakutan pejabat publik
dalam mengambil keputusan. Selain itu, seperti yang sudah penulis tuliskan di
bagian pertimbangan Hakim, Pasal 1 angka 22 UU Perbendaharaan Negara telah
mengatur konsep kerugian keuangan negara yang secara nyata terjadi. Atas dasar
tersebut, maka MK memutuskan bahwa Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
harus dirumuskan secara materiil dimana kerugian Negara harus secara nyata
terjadi.
Menurut penulis, keputusan MK yang menyatakan sifat Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal
3 UU Tipikor adalah delik materiil adalah sebuah kesalahan fatal. Merumuskan
bahwa kerugian Negara harus secara nyata terjadi dengan merumuskan pasal-pasal
tersebut sebagai delik materiil adalah hal yang berbeda, walaupun terkesan sama.
Kalau MK ingin menyatakan bahwa unsur kerugian negara haruslah dibuktikan
dengan adanya kerugian secara nyata agar dapat menyatakan bahwa sebuah
perbuatan adalah tindak pidana korupsi, silahkan nyatakan demikian, namun tidak
perlu sampai mengubah sifat pasal-pasal tersebut menjadi delik materiil.
Nampaknya MK lupa bahwa ada konsekuensi logis dalam pembuktian di
persidangan korupsi nantinya karena pengubahan pasal-pasal tersebut menjadi
delik materiil, karena pembuktian di persidangan terhadap delik formil dan materiil
memiliki penekanan yang berbeda.
Pada intinya, sependek yang penulis pahami, pembuktian delik formil akan
menitikberatkan kepada bagaimana cara pelaku melakukan tindak pidana tersebut,
tanpa memperdulikan apa akibat dari perbuatan tersebut. Jadi, selama Terdakwa
terbukti telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh sebuah peraturan, maka ia
dapat dipidana atas perbuatan tersebut. Contohnya adalah apabila Terdakwa
didakwa melakukan pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP. Dalam proses
pembuktian, tidaklah penting untuk melihat apakah ada akibat yang terjadi dari
pencurian yang dilakukan Terdakwa, misalnya apakah korban merasa sedih atau
kehilangan atas barang yang dicuri. Pembuktian hanya akan menitikberatkan
kepada apakah benar terdakwa mengambil barang tersebut secara melawan hukum.
Sedangkan sebaliknya, pembuktian delik materiil akan lebih menitikberatkan
kepada apa akibat yang ditimbulkan dari perbuatan pelaku. Selama perbuatan
Terdakwa terbukti menimbulkan akibat yang diancam dengan pidana, tanpa harus
memperhatikan
bagaimana
cara
Terdakwa
melakukan
perbuatan
untuk
menimbulkan akibat tersebut, maka Terdakwa dapat dipidana karena telah
menimbulkan akibat tersebut. Contoh, dalam hal Terdakwa didakwa melakukan
pembunuhan yang diatur dalam Pasal 338 KUHP. Pembuktian di persidangan tidak
akan mementingkan dengan cara apa Tedakwa membunuh korban, apakah dengan
menusukkan pisau, melemparkan batu, menembakkan senjata api, namun cukup
dibuktikan bahwa akibat perbuatan tersebut telah terbukti ada nyawa orang lain
yang hilang.
Dengan konstruksi di atas, dengan MK menyatakan bahwa Pasal 2 Ayat (1) dan
Pasal 3 UU Tipikor adalah delik materiil, maka secara logis, pembuktian
persidangan atas pasal-pasal tersebut nantinya tidak akan melihat lagi bagaimana
cara pelaku melakukan tindak korupsi, namun cukup melihat apakah ada akibat
yang ditimbulkan dari perbuatan Terdakwa, yaitu apakah telah ada kerugian
Negara secara nyata sebagai akibat perbuatan Terdakwa. Dengan kata lain, apabila
terbukti bahwa dari sebuah perbuatan telah menimbulkan kerugian Negara secara
nyata, maka otomatis perbuatan Terdakwa tersebut langsung diklasifikasikan
sebagai tindak pidana korupsi, tanpa harus melihat bagaimana Terdakwa
melakukan perbuatan tersebut.
Lalu, dengan konstruksi ini, bagaimana apabila sebuah kebijakan atau keputusan
pada faktanya menimbulkan kerugian Negara secara nyata? Secara logis,
jawabannya adalah perbuatan tersebut harus langusng diklasifikasikan sebagai
tindak pidana korupsi dan dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3
UU Tipikor, tanpa harus dibuktikan bagaimana cara pengambilan kebijakan atau
keputusan tersebut. Mengacu kepada hal ini, maka terlihat jelas bahwa putusan
MK ini faktanya dapat semakin memperbesar kemungkinan dipidananya sebuah
kebijakan dan dapat semakin menimbulkan ketakutan pejabat publik dalam
mengambil keputusan, karena walaupun kebijakan atau keputusan tersebut diambil
dengan tujuan yang baik dan tidak bersifat melawan hukum, namun sepanjang
telah menimbulkan kerugian Negara secara nyata, maka perbuatan tersebut harus
disebut sebagai tindak pidana korupsi.
Menurut penulis, seperti yang telah penulis sebutkan di atas, tidaklah perlu MK
menyatakan bahwa Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor berubah menjadi delik
materiil, walaupun MK ingin menyatakan bahwa unsur kerugian negara haruslah
dibuktikan dengan adanya kerugian secara nyata agar dapat menyatakan bahwa
sebuah perbuatan adalah tindak pidana korupsi. Hal ini tidak terlepas dari sifat
delik-delik materiil itu sendiri yang pada dasarnya tidak cocok dengan sifat pasalpasal tersebut. Menurut penulis, dalam delik materiil, sifat melawan hukum dari
perbuatan akan muncul secara otomatis ketika akibat yang disyaratkan sudah
terjadi. Yang bisa membuat sifat melawan hukum tersebut hilang adalah dasardasar pembenar, baik yang ada di KUHP, seperti yang diatur dalam Pasal 49 Ayat
(1) KUHP, Pasal 50, dan Pasal 51 Ayat (1) KUHP, maupun yang diatur di luar
KUHP. Sedangkan, Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, akibat berupa
kerugian Negara tidak serta merta melahirkan sifat melawan hukumnya perbuatan
karena pada faktanya ada kerugian negara yang disebabkan perbuatan yang tidak
bersifat melawan hukum, misalnya dalam konteks bisnis atau dalam pengerjaan
sebuah proyek yang tidak selesai. Sifat melawan hukumnya perbuatan dalam Pasal
2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus tetap dibuktikan, walaupun tidak
mengunakan alasan-alasan pembenar, baik yang ada di KUHP, maupun di luar
KUHP, seperti yang sudah penulis jelaskan sebelumnya. Hal tersebut tidak perlu
dibuktikan dalam konsep delik materiil. Dengan alasan-alasan ini, maka penulis
berpendapat bahwa seharusnya MK tidak menyatakan pasal-pasal tersebut menjadi
delik materiil.
Hal-hal inilah yang mendasari penulis menyatakan bahwa pengubahan Pasal 2
Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik materiil adalah sebuah kesalahan
yang fatal dari MK dengan putusan ini. Di samping memang pasal-pasal tersebut
tidak cocok dengan karakteristik delik materiil, sepertinya Hakim lupa akan adanya
konsekuensi logis ini ketika mengubah Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
menjadi delik materiil karena untuk menyatakan bahwa ada tindak pidana korupsi
cukup dengan dibuktikan adanya kerugian Negara secara nyata, tanpa harus
memperhatikan apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan niat baik atau buruk
dan apakah dengan melawan hukum atau tidak. Sebuah ironi dari putusan MK
yang ingin memperkecil bahkan menghilangkan peluang sebuah kebijakan
dipidanakan dengan korupsi dan menghilangkan rasa takut pejabat publik
mengambil kebijakan atau keputusan, namun faktanya justru semakin memperlebar
peluang dipidananya sebuah kebijakan dan menimbulkan ketakutan yang lebih
besar bagi pejabat publik dalam mengambil keputusan atau kebijakan.
3. Kesalahan
dalam
Pemerintahan
menganggap
mengubah
bahwa
pendekatan
lahirnya
penindakan
UU
Administrasi
penyalahgunaan
kewenangan yang mengakibatkan kerugian negara, dari pendekatan pidana
menjadi pendekatan administratif
Anggapan ini berangkat dari adanya ketentuan di dalam UU Administrasi
Pemerintahan yang memuat mekanisme administrasi dalam penindakan kesalahan
administrasi yang mengandung unsur penyalahgunaan kewenangan yang
mengakibatkan kerugian Negara, dimana sanksi yang diatur apabila hal tersebut
terbukti adalah pengembalian keuangan Negara oleh pejabat yang melakukan
penyalahgunaan kewenangan tersebut. Dengan adanya ketentuan ini, maka
kesalahan
administrasi
yang memuat
penyalahgunaan
kewenangan yang
menyebabkan kerugian Negara seharusnya tidak dapat serta merta dikategorikan
sebagai tindak pidana korupsi, sehingga tidak dapat serta merta pula ditindak
dengan mekanisme pidana korupsi. UU ini dinilai lahir sebagai respon atas
kesalahan praktik bahwa ada kebijakan-kebijakan yang dipidanakan dengan
korupsi, hanya karena terdapat kesalahan administrasi yang memuat unsur
penyalahgunaan kewenangan dan mengakibatkan kerugian Negara dalam
kebijakan tersebut.
Menurut penulis, ketentuan yang dimaksud dalam UU Administrasi Pemerintahan
tersebut adalah Pasal 20 Ayat (1), (2) huruf c, (4), dan (6). Adapun bunyi pasalpasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pasal 20 Ayat (1)
Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh aparat pengawasan
intern pemerintah.
Pasal 20 Ayat (2) huruf c
Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa:
a….
b….
c. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan
negara.
Pasal 20 Ayat (4)
Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan
administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c, dilakukan pengembalian kerugian keuangan
negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan
diterbitkannya hasil pengawasan.
Pasal 20 Ayat (6)
Pengembalian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan
kepada Pejabat Pemerintahan, apabila kesalahan administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan
Wewenang.
Dari ketentuan-ketentuan ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila
berdasarkan hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
ditemukan adanya kesalahan administratif yang terjadi karena adanya unsur
penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan Negara, maka pejabat
pemerintahan
yang
melakukan
kesalahan
administrasi
tersebut
harus
mengembalikan kerugian Negara tersebut paling lama 10 (sepuluh) kerja terhitung
sejak hasil pemeriksaan dikeluarkan. Ketentuan-ketentuan ini menunjukkan bahwa
apabila ada kesalahan administratif yang terjadi karena adanya unsur
penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan Negara, maka harus diproses
secara administrasi dengan sanksi pengembalian kerugian Negara, bukan diproses
secara pidana dengan pasal korupsi. Menurut penulis, ketentuan inilah yang
menjadi dasar untuk menyebutkan bahwa telah terjadi perubahan pendekatan
penindakan perbuatan tersebut, dari pendekatan pidana, menjadi pendekatan
administratif. Pertanyaannya, apakah memang benar aturan ini mengubah
pendekatan penindakan perbuatan tersebut, dari yang harus menggunakan
mekanisme pida dengan pidana korupsi, menjadi menggunakan penindakan
administratif berupa pengembalian kerugian keuangan Negara?
Menurut penulis, aturan tersebut tidaklah mengubah pendekatan penindakan
apabila ada kesalahan administratif yang terjadi karena adanya unsur
penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan Negara, dari dapat dipidana
dengan korupsi, menjadi harus secara administratif. Hal ini disebabkan karena
pada dasarnya, aturan tersebut di atas berbeda dengan aturan di dalam Pasal 2 Ayat
(1) dan Pasal 3 UU Tipikor dan masing-masing dapat dilakukan, namun tergantung
dengan konstruksi kasus yang ada. Menurut penulis, perbedaan tersebut terletak
kepada adanya niat jahat atau tidak dalam kesalahan administrasi yang terjadi,
dimana terdapat penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan Negara.
Apabila terbukti bahwa kesalahan administratif tersebut dilakukan dengan dasar
niat jahat untuk memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang
dilakukan dengan penyalahgunaan wewenang dan menyebabkan kerugian Negara,
maka perbuatan tersebut harus dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi dan
dijatuhi pidana. Apabila tidak ditemukan niat jahat dalam melakukan perbuatan
tersebut, namun pada faktanya ada kesalahan administrasi yang mengandung unsur
penyalahgunaan wewenang dan mengakibatkan kerugian Negara, maka perbuatan
tersebut harus dintindak dengan ketentuan dalam UU Administrasi Pemerintahan
di atas dengan sanksi administratif berupa pengembalian kerugian Negara oleh
pejabat yang melakukan perbuatan tersebut, bukan dengan tindak pidana korupsi.
Menurut penulis, justru ketentuan di dalam UU Administrasi Pemerintahan di atas
adalah pelengkap ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, dimana
apabila tidak ditemukan niat jahat dalam diri pelaku, sehingga tidak dapat dipidana
dengan tindak pidana korupsi, namun kerugian Negara yang telah timbul tetap
harus dikembalikan, maka dapat menggunakan ketentuan dalam UU Administrasi
Pemerintahan untuk dapat mengembalikan kerugian negara tersebut.
Memang, penulis menyadari bahwa UU Administrasi Pemerintahan tidak
menggambarkan hubungan saling melengkapi antara aturan di dalam UU tersebut
dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, seperti yang penulis jabarkan di
atas. Namun, hal tersebut dapat diselesaikan dengan mengatur hukum acara yang
jelas mengenai mulai dari proses mana yang terlebih dahulu harus dijalankan,
sampai kepada bagaimana apabila ada pertentangan antara putusan administrasi
dan pidana korupsi satu sama lain. Atas dasar tersebut, penulis berpendapat bahwa
UU
Administrasi
Pemerintahan
tidak
mengubah
penindakan
kesalahan
administratif yang terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang dan
merugikan keuangan Negara, dari dapat dipidana dengan korupsi, menjadi harus
secara administratif, namun malah aturan di dalam UU Administrasi Pemerintahan
dan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor adalah ketentuan yang saling
melengkapi satu sama lain.
4. Kesalahan pendefinisian perbuatan korupsi yang membuat perbedaan antara
perbuatan korupsi dan perbuatan di dalam UU Administrasi Pemerintahan
menjadi kabur
Seperti yang telah penulis sebutkan sebelumnya, Para Pemohon mendalilkan
bahwa terbitnya UU Administrasi Pemerintahan telah membawa perubahan
pandangan dalam penegakan hukum korupsi dimana orang yang dihukum korupsi
adalah orang yang secara materiil melakukan perbuatan korupsi dan secara materiil
merugikan keuangan Negara, bukan orang yang dianggap melakukan korupsi
karena jabatan, tetapi karena kejahatan. Hakim MK dalam pertimbangannya
menyebutkan bahwa kerugian Negara karena kesalahan administratif bukan
merupakan unsur tindak pidana korupsi. Kerugian Negara menjadi unsur tindak
pidana korupsi jika terdapat unsur melawan hukum dan penyalahgunaan
wewenang. Dalam hal adanya penyalahgunaan wewenang, suatu perbuatan baru
dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila: 1) berimplikasi
terhadap kerugian Negara; 2) pelaku diuntungkan secara melawan hukum; 3)
masyarakat tidak dilayani; dan 4) perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela.
Menurut penulis, pendefinisian Para Pemohon dan Hakim MK di atas telah
membuat perbedaan antara perbuatan apa yang dapat ditindak sebagai tindak
pidana korupsi dan perbuatan yang harus ditindak secara administratif menjadi
kabur. Kalau kita melihat dalil Para Pemohon dimana orang yang dihukum korupsi
adalah orang yang secara materiil melakukan perbuatan korupsi dan secara materiil
merugikan keuangan Negara, bukan orang yang dianggap melakukan korupsi
karena jabatan, tetapi karena kejahatan, pertanyaannya, bukankah perbuatan
korupsi dapat dilakukan dengan penyalahgunaan wewenang? Bukankah ketentuan
dalam UU Administrasi Pemerintahan juga mengharuskan adanya kerugian Negara
yang nyata agar dapat dijatuhi sanksi administratif? Menurut penulis, pendefinisian
oleh Para pemohon ini membuat perbuatan yang dapat dipidana dengan korupsi
dan perbuatan yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan menjadi sama
dan tidak ada perbedaan sama sekali, karena menurut Para Pemohon, untuk dapat
dikatakan sebagai tindak pidana korupsi, maka secara materiil harus terbukti
bahwa orang tersebut melakukan tindak pidana korupsi dan secara materiil
merugikan keuangan Negara. Bukankah perbuatan itu sama dengan yang diatur
dalam UU Administrasi Pemerintahan, dimana untuk dapat dikenai sanksi
administratif, maka harus terpenuhi adanya unsur penyalahgunaan wewenang,
yang adalah salah satu bentuk perbuatan korupsi, dan merugikan keuangan Negara
secara riil?
Hal yang sama juga terjadi dengan pendefinisian perbuatan korupsi oleh MK,
dimana MK mendefinisikan bahwa sebuah penyalahgunaan kewenangan dapat
dikatakan sebagai tindak pidana korupsi apabila memenuhi unsur-unsur: 1)
berimplikasi terhadap kerugian Negara; 2) pelaku diuntungkan secara melawan
hukum; 3) masyarakat tidak dilayani; dan 4) perbuatan tersebut merupakan
tindakan tercela. Kalau kita mencermati lebih dalam, maka menurut penulis, kita
akan mendapati fakta bahwa beberapa unsur di atas pada dasarnya sama. Unsur
“penyalahgunaan wewenang” sendiri pada dasarnya sama dengan “secara melawan
hukum” dan “perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela”, karena pada
dasarnya sebuah “penyalahgunaan wewenang” pasti dapat dikatakan sebagai
“perbuatan yang bersifat melawan hukum” dan juga merupakan “perbuatan
tercela”. Dengan pertimbangan bahwa unsur “masyarakat tidak dilayani” bukanlah
unsur perbuatan, namun merupakan unsur akibat, sehingga dapat dikesampingkan
dalam pembahasan unsur perbuatan apa yang harus dibuktikan, maka otomatis
unsur yang harus dibuktikan untuk menyatakan sebuah penyalahgunaan wewenang
adalah perbuatan korupsi hanya 2 (dua) unsur, yaitu adanya “kerugian Negara” dan
adanya “keuntungan yang didapat secara melawan hukum”.
Pertanyannya adalah, bukankah unsur “kesalahan administrasi yang mengandung
unsur penyalahgunaan wewenang”, yang ada di dalam UU Administrasi
Pemerintahan, termasuk dalam unsur “secara melawan hukum”, yang ada dalam
definisi di atas? Bukankah “keuntungan” akan selalu ada apabila terjadi kerugian
Negara, baik keuntungan bagi diri sendiri, orang lain atau korporasi? Dengan
sama-sama mengharuskan terbuktinya kerugian Negara, maka otomatis definisi
sebuah penyalahgunaan wewenang dapat dikatakan perbuatan korupsi oleh Hakim
MK di atas menjadi sama dengan perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi
administratif menurut UU Administrasi Pemerintahan, karena menurut penulis,
unsur “secara melawan hukum” dalam definisi di atas mencakup unsur “kesalahan
administrasi yang mengandung unsur penyalahgunaan wewenang” dalam UU
Administrasi Pemerintahan. Oleh karena itu, definisi oleh MK di atas membuat
pendefinisian penyalahgunaan wewenang yang dapat dipidana dengan korupsi dan
perbuatan yang diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan menjadi sama dan
tidak ada perbedaan sama sekali.
Dengan tidak adanya perbedaan definisi ini, maka terjadi ketidakjelasan kapan
sebuah kesalahan administrasi
yang mengandung
unsur penyalahgunaan
wewenang yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara akan ditindak secara
administrasi, kapan akan ditindak secara pidana korupsi, karena pada dasarnya
perbuatan tersebut dapat ditindak dengan 2 (dua) cara tersebut. Dengan fakta ini,
maka akan terbuka kemungkinan bahwa pebruatan yang seharusnya ditindak
secara administratif, namun ditindak secara pidana. Hadirnya definisi ini tidak
akan membuat praktik kriminalisasi kebijakan akan berhenti, akan tetap ada, malah
mungkin akan menjadi semakin parah.
Selain itu, dengan kesamaan definisi ini, maka terdapat 2 (dua) pilihan untuk
menindak perbuatan tersebut di atas, yaitu secara administratif dan pidana, yang
mana 2 (dua) cara tersebut memiliki penanganan yang berbeda. Secara logika,
penanganan secara administratif akan lebih ringan karena hanya akan dibebankan
pengembalian kerugian Negara apabila terbukti daripada cara pidana yang dapat
dikenakan upaya paksa, dijatuhi hukuman penjara dan denda, serta masih
dibebankan mengembalikan kerugian Negara. Dengan tidak adanya kejelasan
kapan perbuatan tersebut di atas ditindak secara administratif atau pidana, maka
penindakan yang dilakukan akan diserahkan seluruhnya kepada pihak yang akan
menindak perbuatan tersebut, yang mana hal tersebut sangat berpotensi dilakukan
secara sewenang-wenang atau sesuai selera dari pihak penindak. Konsekuensi
logisnya, hal ini akan menimbulkan budaya koruptif baru, dimana orang akan
melakukan perbuatan tersebut akan cenderung menghindari penindakan yang lebih
berat, yaitu secara pidana, dan mengupayakan segala cara untuk mendapatkan
proses yang lebih ringan, yaitu secara administratif.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka terbukti bahwa telah terjadi
kesalahpahaman oleh Hakim MK dalam memandang penyebab adanya praktik
kriminalisasi terhadap kebijakan dimana terdapat penyalahgunaan wewenang di
dalamnya, sehingga menjatuhkan putusan yang tidak tepat, tidak akan menyelesaikan
masalah, dan malah akan menambah masalah baru. Walaupun MK menghapuskan
kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka tidak akan
mengurangi masalah praktik kriminalisasi terhadap kebijakan, karena pada dasarnya,
penyebab kriminalisasi tersebut bukanlah karena keberadaan kata “dapat” tersebut,
melainkan adanya kesalahan dalam melihat perbuatan apa yang sebenarnya dapat
dipidana dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, yaitu adanya niat jahat
untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dari penyalahgunaan
wewenang tersebut. Pada dasarnya MK hanya cukup meluruskan pandangan ini dan
dengan pandangan ini, maka praktik kriminalisasi akan dapat terselesaikan dengan
baik, karena tidak akan ada lagi kebijakan yang dipidanakan selama tidak ditemukan
ada niat jahat untuk memperkaya dalam mengambil kebijakan tersebut.
Selain itu, putusan ini terbukti menimbulkan masalah baru yang malah dapat
menambah kemungkinan timbulnya praktik kriminalisasi terhadap penyalahgunaan
wewenang dalam pengambilan suatu kebijakan atau keputusan. Hal ini disebabkan
dengan putusan ini, maka definisi perbuatan penyalahgunaan wewenang yang
mengakibatkan kerugian negara yang dapat ditindak secara pidana dengan Pasal 2
Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dengan perbuatan yang dapat ditindak secara
administratif dengan Pasal 20 Ayat (2), (4), dan (6) UU Administrasi Pemerintahan
menjadi tidak ada perbedaan sama sekali. Akibatnya, perbuatan tersebut dapat
ditindak, baik secara pidana, maupun secara administratif, tidak jelas kapan harus
secara pidana, kapan harus secara administratif. Hal ini sangat membuka
kemungkinan sebuah penyalahgunaan wewenang yang seharusnya ditindak secara
administratif akan ditindak secara pidana, atau malah dapat ditindak 2 kali, secara
pidana dan secara administratif, karena pada dasarnya dapat juga ditindak secara
pidana. Masalah baru yang berpotensi terjadi akibat putusan ini adalah timbulnya
budaya koruptif baru karena dengan sifat penindakan yang berbeda dan penentuan
tindakan apa yang harus dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada penindak yang
syarat penentuan tindakan itu yang tidak jelas, maka akan membuka celah orang yang
menyalahgunakan wewenang tersebut untuk berusaha sekuat mungkin dengan cara
apapun menghindari penindakan yang bersifat lebih berat, yang mana cara tersebut
dapat berupa perbuatan korupsi yang baru.
Putusan MK adalah sebuah putusan yang mempengaruhi hidup banyak orang.
Sifatnya yang mengubah norma sebuah Undang-undang, berlaku bagi semua orang
(erga omens), dan juga putusan tersebut bersifat final, mengikat, dan tidak ada lagi
upaya hukum untuk menguji putusan tersebut, membuat putusan tersebut harus
dijatuhkan dengan dasar yang kuat dan logika yang tepat. Apabila tidak dilakukan
dengan cara tersebut, maka putusan tersebut akan mendatangkan masalah, baik secara
norma, maupun dalam pelaksanaan normanya, dan yang akan menerima akibatnya
adalah semua orang, tidak hanya yang mengajukan permohonan. Kedepannya, para
Hakim MK harus bisa lebih mawas diri dalam melihat apa sebenarnya penyebab dari
sebuah permasalahan, untuk kemudian mempertimbangkan dengan logika yang tepat,
sehingga putusan yang diberikan tepat dan dapat menyelesaikan permasalahan
tersebut, bukan malah menambah permasalahan baru.