Pluralisme Hukum dan Reformasi Peradilan (1)
Pluralisme Hukum dan Reformasi Peradilan di era
Pembangunan Ekonomi Negara
Oleh :
Mirza Satria Buana, S.H, M.H
Law no doubt is a stabilizing or conserving force. It is also simultaneously a crucial
instrument of social change (Wallace Mandelson)
Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya raya
akan sumber daya alam, baik yang berada diatas tanah seperti kesuburan lahanlahan pertanian, lahan-lahan perkebunan maupun kekayaan hutan-hutan tropis di
Pulau Kalimantan dan Sumatera. Selain itu Indonesia juga memilikii kekayaan alam
di bawah tanah (underground resources) seperti kekayaan hasil tambang seperti
deposit minyak bumi, gas, batubara, nikel yang tersebar dari barat laut Aceh
sampai timur Papua. Karena kekayaan sumber daya alam itulah,maka dahulu kala
Indonesia sangat terkenal sebagai “ladang basah” untuk mendirikan koloni-koloni
(kolonialisasi dan imperialisme),banyak bangsa barat yang tergiur oleh sumber
daya alam dan keindahan alam Nusantara. Tercatat dalam sejarah bahwa Spanyol
dan Portugis merupakan negara-negara aristrokat Eropa yang pertama menjajah
Nusantara, baru kemudian disusul oleh Belanda dan Jepang. Masa penjajahan
panjang akhirnya dapat diakhiri oleh bangsa Indonesia dengan dibantu oleh
kekalahan serdadu Jepang di Filiphina dan hancurnya kota Hiroshima dan Nagasaki
pada tahun 1945 oleh serdadu Sekutu di Perang Dunia ke-II.
1
Berkaca dari masa lalu kolonialisme
tersebut, Indonesia harusnya dapat
memanfaatkan kelebihan dari potensi sumber daya alam tersebut, sehingga dapat
membantu Indonesia untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi makro negara
yang pada akhirnya akan mensejahterakan rakyat banyak (welfare state) sesuai
dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945 1 . Dengan bermodalkan sumber daya
alam tersebut sesungguhnya Indonesia memiliki bargaining position yang sangat
dominan terhadap para investor-investor asing (PMA) yang ingin menginvestasikan
modal mereka di Indonesia.
Tercatat dari tahun awal kemerdekaan Indonesia, sudah begitu banyak
perusahaan-perusahaan asing yang ingin berinvestasi dan sudah berinvestasi di
Indonesia, sebutlah nama-nama perusahaan asing (Multi National Corporation)
seperti Shell (Belanda dan Inggris), Unicol (AS) dan Japex (Jepang) yang menguasai
cadangan minyak bumi di perairan Ambalat di Kalimantan Timur 2, Freeport (AS) di
Irian Jaya/Papua, dan perusahaan raja minyak Chevron (AS) yang beroperasi di
kepulauan Riau. Selain perusahaan-perusahaan diatas, di Indonesia juga banyak
sekali terjadi sharing capital antara perusahaan pemerintah daerah dengan investor
asing, seperti dalam contoh PT. Galuh Cempaka di Kalimantan Selatan yang
bergerak dibidang penambangan intan, 60% sahamnya dimiliki GIM (Afrika
Selatan)3, sampai kepada bidang produksi kelapa sawit di wilayah Kalimantan dan
Sumatera hampir semuanya dimiliki oleh pengusaha negara tetangga Malaysia.
Fenomena diatas apabila dipandang dari sisi positif mungkin dapat disebut
sebagai sebuah prestasi yang membanggakan, karena Indonesia sanggup menarik
1 Pasal 33 UUD 1945 Ayat (3),dan (4) Perubahan Ke-empat
2 http://tempointeraktif.com/hg/narasi/2005/03/08/nrs.20050308.id.html, diakses tgl 27
Oktober 2008
3 Radar Banjarmasin, Gubernur keluarkan SK Pemberhentian Eksploitasi Galuh Cempaka, 11
April 2008
2
banyak investor-investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia, efek positif
yang paling dapat dirasakan adalah pada bertambahnya angka pekerja (employee
numbers) yang secara signifikan mengurangi jumlah penganguran (unemployee
numbers), logisnya bila angka penganguran menurun maka secara otomatis tingkat
kesejaheraan rakyat pun akan meningkat.
Tetapi fenomena pasar bebas (free liberalism) tersebut juga dapat membawa
dampak negatif yang tidak kalah hebat, seperti: semakin dalamnya jurang antara
pengusaha (the have) dengan pekerja (the have not), terabaikannya konsep
penguasan hak adat atas tanah komunal (hak ulayat) 4 , matinya usaha kecil dan
menengah, tidak efektifnya proses alih teknologi negara maju terhadap negara
berkembang,
berlebihan
rusaknya
lingkungan
hidup
akibat
eksploitasi
tambang
dan tidak adilnya pembagian keuntungan (profit sharing)
yang
sehingga
pasar hanya dimonopoli oleh kekuasaan kapitalis global sedangkan negara hanya
berperan sebagai penonton belaka.
Indonesia
sebagai bagian dari komunitas internasional, jelas tidak bisa
menafikan perlunya iklim investasi yang kondusif sebagai pra syarat wajib untuk
dapat menjadi negara yang terus berkembang perekonomiannya di era globalisasi
sekarang ini. Indonesia sebagai sebuah negara haruslah memiliki sifat yang dinamis
dalam perkembangannya, karena eksistensi sebuah negara sangat tergantung dari
kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dan
perkembangan yang terjadi pada lingkup global 5. Kondisi dan fenomena globalisasi
seperti ini semakin membuat batas-batas fisik antar negara seolah-olah tidak ada
4 Hasil Penelitian Tanah Adat di Kabupaten Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan, 2006,
UNLAM Press, hlm.107
5Huala Adofl, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional,PT.Raja Grafindo,
Jakarta,2002, Hlm.111
3
lagi (non-boundaries world), dan negara bisa dengan mudah berinteraksi dengan
negara-negara lain tanpa ada halangan dan batasan untuk melakukannya. Tetapi
dalam ranah aplikatif, kendala utama yang sering dihadapi oleh pemerintah untuk
menarik minat investor untuk menanamkan modal asingnya adalah budaya
formalitas birokrasi yang tidak praktis, cenderung kolusif dan praktik korupsi
birokrasi
di bidang perizinan dan pembagian royalty perusahaan pertambangan
yang tidak fair dan kolusif.
Dalam praktiknya, tidak jarang terjadi economic corruption yang merupakan
hasil selingkuh penguasa dengan pengusaha kolusif 6.
Sehingga investor merasa
“ditikam dari belakang” oleh aparat-aparat di institusi negara dan pemerintah pun
dirugikan ber-milyar-milyar rupiah karena efek economic corruption tersebut. Patut
diingat bahwa, budaya kerja yang kolusif dari para aparatur administrasi dan
penegak hukum di Indonesia
secara terang benderang telah mencoreng asas
kepastian hukum (legal predictablelity) dalam hukum investasi.
Berdasarkan deskripsi singkat diatas, tulisan ini akan menganalisa dan
memberikan solusi atas berbagai permasalahan kontemporer yang dihadapi oleh
Negara Pancasila Indonesia, seperti peranan hukum dengan ekonomi makro,
penerapan konsep state legal pluralism yang akan membantu stabilitas hukum dan
perekonomian negara dan urgensi perbaikan peradilan yang terpercaya (reliable
court) yang akan membantu reformasi di bidang ekonomi dan hukum.
Mencari Korelasi Positif Hukum dan Ekonomi
Tidak sedikit literatur-literatur dan diskursus antara ahli hukum dan ahli
ekonomi, yang membahas tentang korelasi antara hukum dan ekonomi pada masa
6 Denny Indrayana, Negara Para Mafioso, PT.Kompas, Jakarta,2008, Hlm.119
4
sekarang. Memang dalam suatu negara, kuatnya supremasi hukum dan stabilnya
perekonomian merupakan indikator wajib dari suatu negara maju (developed
country)7. Ambilah contoh negara-negara maju semisal Jepang dan Singapura, yang
membangun kekuatan pasarnya dengan memberlakukan regulasi perekonomian
(UU ekonomi) dengan sangat baik dan terarah, karena mampir semua UU yang
bernafaskan ekonomi dibuat berdasarkan kebutuhan pasar (baik nasional maupun
internasional) dan berorientasi pada kepentingan nasional, dalam artian hukum
menjadi
variable yang responsif terhadap kebutuhan ekonomi pasar dan
kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Pada contoh diatas, hukum dan ekonomi
menikmati relasi yang saling mempengaruhi (inter-dependent relation) dan
menguntungkan satu sama lain (beneficial relation), tetapi dalam konteks Indonesia
yang baru saja bangkit dari kubangan rezim otoriter Orde Baru yang mengekang
hukum dalam penjara politik, hal tersebut menjadi sulit untuk dilakukan. Pola relasi
hukum dan ekonomi di Indonesia pada saat ini, jauh dari hubungan saling sokong,
saling bantu malah cenderung konfrontatif 8.
Lawyers of developing countries have not employed their talents in developmental
activities, and the role of law in economic development has been sadly
neglected9
Dalam rezim otoriter Orde Baru, dibawah komando seorang Soeharto (the
Smiling General) yang berjalan selama lebih dari 23 tahun, hukum dipandang
sebelah mata oleh penguasa, hukum hanya dipandang sebagai kosmetik pelengkap
semata, dan
sebuah produk politik kekuasaan. Sedangkan ekonomi dipandang
7 Seperti yang disampaikan Prof Erman Rajaguguk,LLM,PhD, dalam suatu sesi perkuliahan.
8 Seperti yang disampaikan Prof Erman Rajaguguk,LLM,PhD, dalam suatu sesi perkuliahan.
9 L. Michael Hager, The Role of Lawyers in Developing Countries, dalam Erman Rajagukguk,
Hukum dan Pembangunan,Universitas Indonesia, 2007, Hal 256.
5
sebagai kompas menuju negara kesejahteraan, kebijakan-kebijakan ekonomi
pemerintahan
menjadi
kewajiban
dan
kepatuhan
bagi
semua
pihak
yang
berkecimpung didalamnya tanpa terkecuali. Bahkan tidak jarang kebijakankebijakan ekonomi pada rezim Orde Baru tersebut menabrak dinding pembatas
yuridis10. Hal tersebut dapat terjadi karena citra penegak hukum dan ahli hukum
(Lawyers) pada masa Orde Baru sangat korup dan pragmatis, karena terkontaminasi
oleh politik kekuasaan negara, sehingga yang terjadi hukum bukannya mendukung
pembangunan, tetapi malah mendukung kekuasaan semata.
Lawyers in developing countries do not enjoy a favorable public image, Too often
they are associated in the popular mind with personal ambition and selfinterest….it make the field of development law is virtually unknown 11.
Rezim Orde Baru pada waktu itu berpendapat bahwa ukuran kemapanan
suatu negara adalah dalam hal peningkatkan kemampuan ekonomi,
dapat
diketahui dari indikator Gross National Product (GNP). Berdasarkan penelitian yang
pernah dilakukan oleh Karl.W.Deutsch pada tahun 1999 menunjukkan bahwa
Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris adalah negara-negara yang sangat mapan
secara ekonomi di seluruh dunia
12
.
The Domain of National Power in Term of Gross National Product
(1999)
RANK
GNP IN BILLIONS ($)
PERCENTAGE (%)
CHANGE OF (%)
10 Ambilah contoh, Proyek Mobil Nasional (PT.Timor) yang dipegang oleh anak emas
Soeharto (Tommy), proyek perkebunan Jeruk, Proyek Lahan Gambut Se-juta hektar di
Kalimantan Tengah, Pembalakan hutan oleh Probosujetjo yang semuanya merugikan negara
secara materii dengan melanggar batas-batas yuridis.
11 L.Micheal Hager, Ibid,Hal 256
12 Karl.W.Deutsch.1999.Nationalism and Social Communication,rev.ed.Cambridbe,MA;MIT
Press
Source from International Monetary Fund 1999 and World Bank Atlas,Washington
DC
6
United
1,293
27
-3
States
624
13
-3
German
416
9
+1
Japan
349
7
-1
England
Menurut hasil penelitian ini, hegemoni kapitalisme seolah-olah menjadi
jaminan
atas
keberhasilan
empat
(4)
negara
Kapitalis
diatas
untuk
menguasai perekonomian Internasional. Asumsi inilah yang dipakai rezim
Orde
baru
untuk
memaksimalkan
potensi
ekonomi
dengan
cara
melaksanakan kebijakan-kebijakan ekonomi kapitalis dalam setiap denyut
nafas negara.
Pertumbuhan ekonomi pada masa rezim Orde Baru, secara kuantitas
memang menunjukkan peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan masa
rezim Orde Lama. Tetapi yang patut disayangkan adalah, kekuatan ekonomi hanya
dimonopoli oleh segelintir elit yang dekat dengan penguasa (Soeharto), perniagaan
dengan cara yang kolusif inilah yang mengakibatkan Indonesia pada tahun 1998
masuk dalam jurang krisis moneter. Tanpa bermaksud membesar-besarkan,
keadaan Indonesia pada masa rezim Orde Baru dapat dianalogikan dengan keadaan
“Kandang-Kandang Sapi Raja Augeas”13 yang kotor dan bau.
13 Istilah ini diambil dari mitos Yunani kuno, tentang tugas-tugas Hercules (The Labour of
Hercules), tugas ke-5 Hercules adalah untuk membersihkan Kandang-Kandang Sapi Raja
Auges yang sangat besar dan luas tetapi sangat kotor dan bau. Hercules akhirnya dapat
membersihkan kandang-kandang sapi tersebut dengan menggunakan akalnya. Dia
membangun bendungan besar yang akan mengarahkan arus sungai untuk membanjiri
kandang-kandang sapi tersebut. Dalam konteks Indonesia, siapakah yang mau dan rela
menjadi seorang Hercules?
7
Pengalaman pahit dari rezim Orde Baru tersebut, memberikan
pelajaran
yang
berharga
akan
pentingnya
peranan
hukum
dalam
menjalankan perekonomian negara, dalam artian hukum haruslah bisa
menjadi
a
guardian
of
economic
development14
dalam
kegiatan
perekonomian negara yang kompetitif.
Nations must do so with the discipline of competition, and the knowledge
that some choices impede the competetivenness of the nation15
Untuk
menciptakan
relasi
harmonis
antara
hukum
dengan
pembangunan ekonomi, diperlukan sebuah paradigma baru yang lebih
demokratis dan responsif. Idealnya, hukum harus dibersihkan dari pengaruh
penguasa (status quo), hukum haruslah dibentuk berdasarkan nilai-nilai lokal
masyarakat (local values) agar hukum dapat lebih tanggap terhadap aspirasi
masyarakat lokal, selain itu hukum juga harus dapat mengakomodir nilainilai international (international values) yang dibawa oleh para investorinvestor asing, selama nilai-nilai tersebut tidak bertentangan dengan jati diri
bangsa dan negara. Relasi harmonis antara hukum dengan pembangunan
ekonomi, dapat dipahami dalam ilustrasi berikut ini:
Internationa
l Values
Supremacy of
Law
Enhanced
Economic
Development
Local Values
14 Seperti yang pernah disampaikan Nandang, LLM,PhD, dalam suatu kesempatan diskusi.
15 Richard C.Breeden, The Globalization of Law and Bussiness in the 1980’s dalam Erman
Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan,Universitas Indonesia, 2007.
8
Sehingga pada akhirnya hukum dapat berperan secara objektif dan
responsif terhadap pembangunan nasional, bukan saatnya lagi hukum
menjadi variable inferior dibawah ekonomi ataupun dibawah kepentingankepentingan lain.
If the law does not stay within these bounds, it may run so far ahead of its
people as to lose its meaning16
Konsep
state legal pluralism
dalam mendorong pembangunan
Indonesia
Sub judul ini bertolak dari sebuah asumsi bahwa Indonesia yang
merupakan negara pluralisme hukum, dimana Indonesia mengakui dan
menghargai bermacam-macam hukum (non-negara) yang ada di masyarakat
selain hukum nasional sendiri17. Konsep state legal pluralism tersebut
menjadi urgent untuk diterapkan guna untuk menciptakan stabilitas hukum
(legal stability) dalam negara, guna mempercepat dan mendukung proses
pembangunan
negara. Dalam bagian ini akan dipaparkan sejarah singkat
state legal pluralism di Indonesia, dari fase awal (hukum adat), fase tengah
(hukum islam), sampai dengan fase terakhir yaitu fase hukum sipil eropa.
Fase Awal (Hukum Adat)
Indonesia, sungguh negara yang dikarunia Tuhan dengan begitu banyak
kelebihan, tidak hanya dalam hal kekayaan alam (SDA), tetapi juga dalam hal
16 Leonard J.Theberge, Law and Development, dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan
Pembangunan,Universitas Indonesia, 2007.
17 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler,Pustaka Alvabet,2008,hlm.49
9
kekayaan budaya dan adat istiadat masyarakat yang sangat heterogen.
Jauh
sebelum kedatangan bangsa Barat ke Nusantara, masyarakat adat telah lama hidup
dalam ikatan hukum adat yang berasal dari harmonisasi alam dan lingkungannya 18.
Masyarakat tersebut merupakan masyarakat pra-modernisasi, dimana kehidupan
mereka sangat tergantung pada alam, masih memiliki pemikiran yang irrasional,
dan anti terhadap nilai-nilai baru. Ketertundukan masyarakat adat terhadap hukum
adat
mereka bertujuan untuk menjaga keseimbangan kehidupan individu dan
masyarakat19.
Fase Tengah (Hukum Islam)
Setelah memasuki awal abad ke-11, Nusantara memasuki suatu fase baru
kehidupan, dimana pada masa itu pengaruh hukum Islam datang dan tersebar
dihampir disemua wilayah Nusantara. Hukum Islam merupakan hukum yang sakral,
dalam artian hukum tersebut dijiwai oleh unsur-unsur ilahiyah yang wajib dipatuhi
dan diamalkan oleh semua penganutnya 20. Dalam masa awal perkembangannya,
hukum Islam menghadapi cobaan yang berat ketika harus berhadapan dengan
hukum adat masyarakat yang telah lebih dulu ada dan berkembang di Nusantara.
Pada masa itu, pendekatan yang dilakukan oleh para pendakwah Islam bisa dibilang
sangatlah cerdas, mereka tidak cenderung konfrontatif dengan tradisi hukum adat,
malah mereka merangkul masyarakat adat dengan cara yang persuasif dengan
tetap menghargai dan mengakui hukum adat mereka masing-masing. Dalil yang
digunakan oleh para pendakwah ini adalah ulf, yaitu sumber hukum yang
18 Dr.Abdurrahman,S.H,M.H, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan Agraria
Indonesia, Akademika Pressindo,Jakarta, 1984, Hlm 34
19 Ratno Lukito, Op.cit,hlm.47
20 Ratno Lukito,Ibid, hlm 55
10
mendasarkan diri pada adat dan kebiasaan masyarakat setempat 21. Prinsip
dasarnya adalah
hukum adat tetap diakui sebagai hukum selama adat tersebut
tidak bertentangan dengan sumber dasar hukum Islam (Al-Qur’an dan Hadist),
sehingga Hukum islam dianggap sebagai penyempurna Hukum Adat di Nusantara 22.
Dengan pendekatan seperti inilah maka hukum adat dan hukum islam bisa berjalan
dengan harmonis sampai saat ini.
Fase Akhir (Hukum Sipil Eropa)
Tetapi cobaan pluralisme hukum di Nusantara, tidak berhenti sampai disitu,
pada akhir abad ke-17 Bangsa Belanda datang ke Nusantara dengan membawa
tradisi hukum baru yang bernama hukum Sipil yang berasal dari Eropa Kontinental.
Pada fase ini, gesekan antara hukum adat, hukum islam dan hukum sipil eropa tidak
bisa dihindari. Golongan islam idealis beranggapan bahwa hukum sipil merupakan
sistem hukum sekuler23, golongan pembela hukum adat beranggapan bahwa hukum
sipil merupakan hukum yang tidak humanis dan cenderung eksploitatif ,hal ini
dapat dibuktikan dengan bukti sejarah pada masa pemerintahan Raffles (18111816) yang memberlakukan sistem pajak tanah (landrent), dan masa pemerintahan
Van den Bosch (1830) yang memberlakukan sistem tanam paksa (cultuurstelsel)24.
Sedangkan kalangan bangsa eropa berpendapat bahwa hukum yang sudah lebih
dulu di Nusantara merupakan produk mistik semata dan jauh dari rasionalitas.
Sekuat apapun tradisi hukum islam dan hukum adat mencoba melawan
tradisi hukum barat tetap saja laju roda positivisme hukum yang menjadi slogan
21 Abd al-Wahhab Khallaf,ilm Ushul al-Fiqh,dalam Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum
Sekuler,Pustaka Alvabet,2008,hlm.85
22 Ratno Lukito,Ibid ,hlm 65
23 Ratno Lukito,Ibid,hlm.78
24 Erman Rajaguguk,S.H,LLM, Pemahaman Rakyat terhadap Hak atas Tanah, dalam Hukum
dan Masyarakat, Bina Aksara, Jakarta, hlm.13
11
hukum sipil tidak dapat terbendung oleh kedua tradisi hukum lain, hal ini terbukti
dengan banyaknya produk-produk hukum sipil eropa yang dipatuhi oleh masyarakat
pribumi asli maupun timur jauh, seperti BW, WvS,dan lain-lain. Hal tersebut
disinggung oleh L. Michael heger, yang menyatakan:
The fact that these legal system have been externally imposed or imported, rather
than created from within25
Hal ini menjadi masalah ketika Indonesia merdeka, banyak aspirasi yang
menginginkan pembentukan hukum nasional yang terbebas dari ikatan hukum sipil
eropa, dari perdebatan yang panjang antara berbagai macam kelompok tersebut
lahirlah sebuah konsep state legal pluralism (pluralisme hukum negara) yang mana
diciptakan untuk mengakomodir keinginan-keinginan dalam masyarakat yang saling
bersaing26.
Konsep tersebut diyakini sebagai konsep terbaik untuk Indonesia yang
memiliki lebih dari satu tradisi hukum, multi suku dan agama, esensi dari konsep ini
lebih
sebagai
stabilisator
atau
harmonisator
yang
mencoba
untuk
mengharmoniskan /mendamaikan tradisi hukum islam dengan hukum adat vis-à-vis
hukum sipil eropa. Dengan menciptakan kestabilan hukum maka akan tercipta
suatu konfigurasi hukum yang responsif terhadap pembangunan.
Dalam konteks hukum pertanahan, tidak hanya kepastian hukum yang akan
didapat oleh investor, tetapi juga akan mencipatakan rasa keadilan sosial dan
kemanfaatan bagi komunitas masyarakat adat karena (idealnya) para investor yang
ingin berinvestasi di Indonesia tidak hanya tunduk kepada aturan normatif hukum
negara saja (UU PMA, UU PA, UU Pertanahan dan UU Kehutanan), tetapi haruslah
25 L.Micheal Hager dalam Erman Rajagukguk, Op.cit,Hal 256
26 Seperti yang disampaikan Prof Erman Rajaguguk,LLM,PhD, dalam suatu sesi perkuliahan.
12
menghormati segala bentuk hukum-hukum tidak tertulis dan kearifan lokal (local
genius) masyarakat lokal tersebut27. Sehingga terciptalah suatu relasi ideal, yang
akan diilustrasikan sebagai beri
State Legal Pluralism
Tribal Community Rights
Investor Needs
Development Progress
Perbaikan
peradilan
yang
terpercaya
(reliable
court)
dan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigation)
Sub judul ketiga pada makalah ini, bertolak pada suatu asumsi dasar bahwa
suatu negara menjalankan jurisdiksi dalam setiap ruang lingkup publik dengan
menggunakan hukum negara (pengadilan) sebagai penegak dan pencari keadilan di
masyarakat28. Namun sebaliknya, walaupun ada negara, tetapi bila negara tidak
berhasil hadir secara konkrit dan efektif dalam hal penegakan hukum dan pencari
keadialan, maka otoritas di luar jalur pengadilan negara menjadi pilihan bagi warga
masyarakat yang alergi dengan prosedural hukum negara yang kolusif 29. Dalam
artian, maraknya penggunaan metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan
27 Hasil Penelitian Tanah Adat di Kabupaten Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan, 2006,
UNLAM Press
28 Eddi Wibowo,Hukum dan Kebijakan Publik, Penerbit YPAPI,2004,hlm.13
29 Tamrin Amal Tomagalo, Masyarakat dan Negara Hukum, Law, Society and Development,
Vol 1,2007,hlm.7
13
(non-litigation) merupakan residu dari rasa ketidak percayaan masyarakat terhadap
peradilan negara, yang pada akhirnya akan menghalangi gerak maju pembangunan
negara.
Reformasi peradilan negara
Salah satu agenda mendesak Indonesia saat ini adalah membersihkan
peradilan negara dari praktek kotor judicial corruption yang sudah berakar kuat
dalam kehidupan praktisi hukum di Indonesia. Sudah merupakan rahasia umum di
dunia peradilan Indonesia, asas equality before law tidak diterapkan dengan baik
dan cenderung kolusif, tidak ada yang sama di depan hakim-hakim di Indonesia,
semua
hanya
dinilai
dari
segi
tebal
/tidak
kantong
seseorang
atau
berkedudukan/tidak seseorang. Judicial corruption telah dengan terang benderang
mencederai perasaan keadilan masyarakat, menabrak asas kepastian hukum dan
membuat hukum dari bermanfaat menjadi hudarat 30.
Dalam konteks hukum investasi dan perdagangan internasional, iklim
peradilan negara yang bersih dari korupsi merupakan syarat wajib dari terciptanya
iklim investasi dan perdagangan internasional yang kondusif pula 31. Investor dan
perusahaan asing sebagai pihak yang ingin menanamkan modal kapitalnya pada
bidang tertentu, pastilah menginginkan kepastian hukum (legal certainly) dalam
berniaga. Sebaliknya, apabila iklim peradilan negara sangat kental dengan nuansa
kolusif maka investor pun akan dengan berat hati meninggalkan negara tersebut. Di
Indonesia, ada sebuah adagium yang mengatakan : berinvestasi di Indonesia lebih
banyak “sunnah” dari “wajib”. Hal ini sungguh sangat memalukan dan memberikan
30 Denny Indrayana, Op.cit, hlm.199
31 Guntur Purwanto Joko Lelono, Peranan Pengadilan Tinggi dalam mengatasi kemacetan
penyelenggaraan rapat umum pemegang saham, Penerbit Guntur,2004,hlm.39
14
citra buruk bagi Indonesia sebagai sebuah negara yang ingin berpartisipasi dalam
ajang perdagangan internasional.
Peradilan sebagai gerbang terakhir pencari keadilan bagi para investor asing
dan masyrakat lokal, tentu sangat perlu untuk di reform, yang menjadi titik tekan
adalah dalam tubuh Mahkamah Agung (Supreme Court) sendiri, yang kinerjanya
sering tidak efektif karena terlalu banyak perkara yang diperiksa oleh badan
peradilan tertinggi ini. Idealnya, tidak semua perkara bisa sampai tingkat Kasasi,
misalnya: perkara perdata yang menyangkut gugatan sampai jumlah tertentu cukup
sampai tingkat pengadilan tinggi saja, sebagai pengadilan tinggi terakhir 32. Dengan
begitu maka peradilan akan semakin cepat, efisien , efektif dan tentunya lebih
murah.
Selain dengan cara-cara yang konvensional diatas, peradilan juga bisa
diperbaiki dengan cara yang revolusioner.Yaitu dengan, rekruitmen calon hakim
harus dibersihkan dari praktik nepotisme dan main mata antar para aparat,
kedepan akan lebih baik bila rekruitment tersebut dilakukan oleh suatu komisi yang
bersifat independent dan impartial 33, memberikan reward kepada hakim atau
penegak hukum lain yang bersih dari korupsi dan memberikan punishment yang
berat kepada hakim atau penegak hukum lain yang terbukti terlibat judicial
corruption34.
Dengan direformasinya peradilan Indonesia, diharapkan akan menumbuhkan
rasa kepercayaan internasional terhadap iklim pembangunan nasional di Indonesia
dan sebagai ajang
pembuktian diri oleh para praktisi hukum Indonesia
bahwa
32 Erman Rajagukguk,S.H,LLM, Mahkamah Agung : Unifikasi, Reformasi dan Pengawasan,
dalam Hukum dan Masyarakat, Bina Aksara, Jakarta,hlm.97
33 Wacana rekruitment para hakim Agung yang digagas oleh Komisi Yudisial, mendapatkan
cobaan ketika kewenangan tersebut diamputasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
34 Denny Indrayana, Op.cit, hlm 57
15
hukum merupakan elemen penting dalam pertumbuhan. Law as a guardian of
economic development.
Penyelesaian
Sengketa
di
luar
pengadilan
(Non-litigation
mechanism)
Ketika suatu negara berkeinginan untuk terjun ke dalam sistem
perdagangan internasional, maka konsekuasi logisnya, negara tersebut
haruslah
memiliki
institusi
penyelesaian
sengketa
perdagangan
yang
terpercaya, efisien, dan efektif. Dalam suatu hubungan perniagaan, yang
diperlukan tidak hanya asas kepastian hukum semata tetapi juga banyak
pertimbangan psikologis dan budaya yang juga harus diperhatikan.
Dalam pertimbangan psikologis, Hubungan perdagangan dimaknai
sebagai hubungan kepercayaan, membawa perkara ke pengadilan negara
berarti menghadapi resiko putusnya hubungan dagang, yang berarti
kerugian secara ekonomis35. Cara-cara negosiasi dan mediasi lebih disukai
untuk diterapkan dalam lingkup perdagangan, seperti yang terjadi di Chili,
dimana para pekerja-pekerja di pabrik lebih memilih cara mediasi melalui
institusi yang disebut the inpectorat36, padahal mereka memiliki labour court.
Hubungan kontrak antara perusahaan di negara-negara sosialis Polandia
ditangani secara arbitrasi oleh badan yang disebut Arbitracs37. Sementara
cara-cara negosiasi lebih disukai dalam transaksi perusahaan-perusahaan
35 Sulistyowati Irianto, Sengketa dalam perspektif hukum dan budaya, dalam Law,Society
and Development,Vol.1,2007,hlm.4
36 Ieswaart, dalam Sulistyowati Irianto,Ibid,hlm.3
37 Kurczewski and Frieske,dalam Sulistyowati Irianto,Ibid,hlm.3
16
besar di Amerika38. Dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan, nilainilai adat masyarakat setempat, nilai agama, hukum nasional, hukum
internasional dan nilai-nilai universal menjadi acuan dasar untuk mencapai
keadilan dan kemanfaatan bersama tanpa ada perasaan sakit hati oleh salah
satu pihak (win-win solutions).
Selain pertimbangan psikologis diatas, para pelaku usaha perdagangan
juga tunduk kepada suatu nilai kepatutan dalam budaya mereka. Dalam
budaya
Barat
yang
mengedepankan
asas
equality
before
the
law,
melahirkan prinsip win or lose dalam penyelesaian sengketa mereka,
sedangkan pada masyarakat Timur, prinsip win or lose diakhir sengketa tidak
diinginkan, karena adanya budaya malu yang kuat didalam masyarakat
mereka. Sengketa antara pemilik pabrik kimia dan masyarakat yang hidup di
Teluk
Minamata
berdampak
pada
(1940-an).
Pencemaran
air
yang
begitu
kesehatan (Minamata Desease) tidak
hebat
dan
menyebabkan
masyarakat membawa masalah tersebut ke pengadilan. Orang Jepang pada
umumnya lebih senang menyelesaikan sengketa dengan cara negosiasi dan
arbitrasi.
When stated, law is often portayed as something that Japanese do not use or
do not need; to never use the la, or be involved with the law, is the normal
hope of honorable people. To take someone to court to guarantee the
38 Macaulay,dalam Sulistyowati Irianto,Ibid,hlm.4
17
protection of one’s own interest, or to be mentioned in court, even in civil
matter, is a shameful thing. In word Japanese do not like law39.
Dalam konteks Indonesia, penggunaan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan juga sering dilakukan dalam bidang perdagangan, terutama oleh
para pedagang-pedagang Cina yang menetap di Pulau Jawa dan Sumatera.
Mereka lebih mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan, kekerabatan dan
menjaga hubungan baik kepada rekanan bisnis mereka. Cara ini dianggap
lebih efisien dan bermanfaat, ketimbang membawa perkara ke pengadilan
negara yang birokrasinya bertele-tele, kolusif dan terlalu lama.
Penggunaan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, merupakan cara
alternatif yang dapat dipakai oleh pelaku-pelaku usaha perdagangan di
Indonesia, cara ini dapat menutupi kekurangan dari lemahnya sistem
peradilan di Indonesia. Dengan mempergunakan cara alternatif tersebut
maka iklim perdagangan akan semakin meningkat, investor akan tidak ragu
lagi untuk mengucurkan kapital pada industri besar maupun kecil di
Indonesia, sehingga roda pembangunan ekonomi Indonesia pun akan
berjalan dengan baik dan terarah berkat kawalan supremasi hukum dan
praktisi hukum yang pro terhadap pembangunan negara.
39 Noda dalam MacNaughton, dalam Sulistyowati Irianto,Ibid,hlm.3
18
Kesimpulan
Hukum dan ekonomi haruslah berada dalam gerbong lokomotif yang sama,
berorientasi pada pembangunan negara, kemaslahatan masyarakat, keadilan
sosial masyarakat dan memberikan kepastian hukum kepada para pelaku
perdagangan baik nasional maupun internasional.
Peranan hukum yang stabil dalam negara, merupakan syarat wajib dari
terselenggaranya iklim investasi dan perdagangan yang baik. Indonesia
sebagai
penganut
teori
state
legal
pluralism,
harus
dapat
mengaplikasikannya dalam setiap prilaku hukum di masyarakat. Sehingga
akan tercipta hubungan yang harmonisasi antara hukum negara dan hukum
non-negara (hukum islam dan adat), yang menciptakan rasa aman dan
kepastian hukum bagi para pelaku perdagangan baik nasional maupun
internasional.
Peranan peradilan
yang
terpercaya
merupakan
syarat
wajib
dari
penyelenggaraan pembangunan ekonomi suatu negara. Peradilan (perdata)
sebagai pintu keadilan terakhir dari penyelesain sengketa perdagangan
haruslah bersih dari unsur-unsur kolusif dan korupsi, reformasi di tingkat law
enforcer wajib dilakukan segera, perbaikan birokrasi peradilan yang berteletela dan lamban merespon keinginan masyarakat juga wajib untuk diperbaiki
sesegera
mungkin.Transparansi
dalam
proses
penyidikan
perkara,
penuntutan sampai pada putusan hakim wajib diberikan kepada masyarakat
luas. Peradilan yang terpercaya mutlak diperlukan guna mendukung roda
pembangunan ekonomi negara.
Penggunaan cara alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dapat
memberikan stimulus positif bagi pembangunan ekonomi negara. Pendekatan
19
sosiologis, budaya dan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat (living law) dapat
dipakai untuk mencapai keadilan kolektif bagi semua pihak yang berperkara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan Agraria
Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1984.
Adofl, Huala, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional,PT.Raja
Grafindo, Jakarta,2002.
Deutsch,
Karl.
W,
Nationalism
Communication,rev.ed.Cambridbe,MA;MIT Press
and
Social
Source from
International Monetary Fund 1999 and World Bank Atlas,Washington
DC 1999.
Indrayana, Denny, Negara Para Mafioso, PT.Kompas, Jakarta,2008.
Irianto, Sulistyowati, Sengketa dalam perspektif hukum dan budaya, dalam
Law, Society and Development,Vol.1, 2007.
Lelono, Guntur Purwanto Joko, Peranan Pengadilan Tinggi dalam mengatasi
kemacetan penyelenggaraan rapat umum pemegang saham, Penerbit
Guntur,2004.
Lukito, Ratno, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler,Pustaka Alvabet, 2008.
Rajagukguk, Erman, Bahan Ajar : Hukum dan Pembangunan, Universitas
Indonesia, 2007.
Rajaguguk, Erman, Hukum dan Masyarakat, Bina Aksara, Jakarta, 1983.
20
Tomagalo, Tamrin Amal, Masyarakat dan Negara Hukum, Law, Society and
Development, Vol 1, 2007.
Tim Peneliti FH UNLAM, Hasil Penelitian Tanah Adat di Kabupaten Kotabaru,
Pulau Laut, Kalimantan Selatan, UNLAM Press, 2006.
Wibowo, Eddi, Hukum dan Kebijakan Publik, Penerbit YPAPI, 2004.
21
Pembangunan Ekonomi Negara
Oleh :
Mirza Satria Buana, S.H, M.H
Law no doubt is a stabilizing or conserving force. It is also simultaneously a crucial
instrument of social change (Wallace Mandelson)
Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya raya
akan sumber daya alam, baik yang berada diatas tanah seperti kesuburan lahanlahan pertanian, lahan-lahan perkebunan maupun kekayaan hutan-hutan tropis di
Pulau Kalimantan dan Sumatera. Selain itu Indonesia juga memilikii kekayaan alam
di bawah tanah (underground resources) seperti kekayaan hasil tambang seperti
deposit minyak bumi, gas, batubara, nikel yang tersebar dari barat laut Aceh
sampai timur Papua. Karena kekayaan sumber daya alam itulah,maka dahulu kala
Indonesia sangat terkenal sebagai “ladang basah” untuk mendirikan koloni-koloni
(kolonialisasi dan imperialisme),banyak bangsa barat yang tergiur oleh sumber
daya alam dan keindahan alam Nusantara. Tercatat dalam sejarah bahwa Spanyol
dan Portugis merupakan negara-negara aristrokat Eropa yang pertama menjajah
Nusantara, baru kemudian disusul oleh Belanda dan Jepang. Masa penjajahan
panjang akhirnya dapat diakhiri oleh bangsa Indonesia dengan dibantu oleh
kekalahan serdadu Jepang di Filiphina dan hancurnya kota Hiroshima dan Nagasaki
pada tahun 1945 oleh serdadu Sekutu di Perang Dunia ke-II.
1
Berkaca dari masa lalu kolonialisme
tersebut, Indonesia harusnya dapat
memanfaatkan kelebihan dari potensi sumber daya alam tersebut, sehingga dapat
membantu Indonesia untuk mengembangkan pertumbuhan ekonomi makro negara
yang pada akhirnya akan mensejahterakan rakyat banyak (welfare state) sesuai
dengan amanah Undang-Undang Dasar 1945 1 . Dengan bermodalkan sumber daya
alam tersebut sesungguhnya Indonesia memiliki bargaining position yang sangat
dominan terhadap para investor-investor asing (PMA) yang ingin menginvestasikan
modal mereka di Indonesia.
Tercatat dari tahun awal kemerdekaan Indonesia, sudah begitu banyak
perusahaan-perusahaan asing yang ingin berinvestasi dan sudah berinvestasi di
Indonesia, sebutlah nama-nama perusahaan asing (Multi National Corporation)
seperti Shell (Belanda dan Inggris), Unicol (AS) dan Japex (Jepang) yang menguasai
cadangan minyak bumi di perairan Ambalat di Kalimantan Timur 2, Freeport (AS) di
Irian Jaya/Papua, dan perusahaan raja minyak Chevron (AS) yang beroperasi di
kepulauan Riau. Selain perusahaan-perusahaan diatas, di Indonesia juga banyak
sekali terjadi sharing capital antara perusahaan pemerintah daerah dengan investor
asing, seperti dalam contoh PT. Galuh Cempaka di Kalimantan Selatan yang
bergerak dibidang penambangan intan, 60% sahamnya dimiliki GIM (Afrika
Selatan)3, sampai kepada bidang produksi kelapa sawit di wilayah Kalimantan dan
Sumatera hampir semuanya dimiliki oleh pengusaha negara tetangga Malaysia.
Fenomena diatas apabila dipandang dari sisi positif mungkin dapat disebut
sebagai sebuah prestasi yang membanggakan, karena Indonesia sanggup menarik
1 Pasal 33 UUD 1945 Ayat (3),dan (4) Perubahan Ke-empat
2 http://tempointeraktif.com/hg/narasi/2005/03/08/nrs.20050308.id.html, diakses tgl 27
Oktober 2008
3 Radar Banjarmasin, Gubernur keluarkan SK Pemberhentian Eksploitasi Galuh Cempaka, 11
April 2008
2
banyak investor-investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia, efek positif
yang paling dapat dirasakan adalah pada bertambahnya angka pekerja (employee
numbers) yang secara signifikan mengurangi jumlah penganguran (unemployee
numbers), logisnya bila angka penganguran menurun maka secara otomatis tingkat
kesejaheraan rakyat pun akan meningkat.
Tetapi fenomena pasar bebas (free liberalism) tersebut juga dapat membawa
dampak negatif yang tidak kalah hebat, seperti: semakin dalamnya jurang antara
pengusaha (the have) dengan pekerja (the have not), terabaikannya konsep
penguasan hak adat atas tanah komunal (hak ulayat) 4 , matinya usaha kecil dan
menengah, tidak efektifnya proses alih teknologi negara maju terhadap negara
berkembang,
berlebihan
rusaknya
lingkungan
hidup
akibat
eksploitasi
tambang
dan tidak adilnya pembagian keuntungan (profit sharing)
yang
sehingga
pasar hanya dimonopoli oleh kekuasaan kapitalis global sedangkan negara hanya
berperan sebagai penonton belaka.
Indonesia
sebagai bagian dari komunitas internasional, jelas tidak bisa
menafikan perlunya iklim investasi yang kondusif sebagai pra syarat wajib untuk
dapat menjadi negara yang terus berkembang perekonomiannya di era globalisasi
sekarang ini. Indonesia sebagai sebuah negara haruslah memiliki sifat yang dinamis
dalam perkembangannya, karena eksistensi sebuah negara sangat tergantung dari
kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dan
perkembangan yang terjadi pada lingkup global 5. Kondisi dan fenomena globalisasi
seperti ini semakin membuat batas-batas fisik antar negara seolah-olah tidak ada
4 Hasil Penelitian Tanah Adat di Kabupaten Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan, 2006,
UNLAM Press, hlm.107
5Huala Adofl, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional,PT.Raja Grafindo,
Jakarta,2002, Hlm.111
3
lagi (non-boundaries world), dan negara bisa dengan mudah berinteraksi dengan
negara-negara lain tanpa ada halangan dan batasan untuk melakukannya. Tetapi
dalam ranah aplikatif, kendala utama yang sering dihadapi oleh pemerintah untuk
menarik minat investor untuk menanamkan modal asingnya adalah budaya
formalitas birokrasi yang tidak praktis, cenderung kolusif dan praktik korupsi
birokrasi
di bidang perizinan dan pembagian royalty perusahaan pertambangan
yang tidak fair dan kolusif.
Dalam praktiknya, tidak jarang terjadi economic corruption yang merupakan
hasil selingkuh penguasa dengan pengusaha kolusif 6.
Sehingga investor merasa
“ditikam dari belakang” oleh aparat-aparat di institusi negara dan pemerintah pun
dirugikan ber-milyar-milyar rupiah karena efek economic corruption tersebut. Patut
diingat bahwa, budaya kerja yang kolusif dari para aparatur administrasi dan
penegak hukum di Indonesia
secara terang benderang telah mencoreng asas
kepastian hukum (legal predictablelity) dalam hukum investasi.
Berdasarkan deskripsi singkat diatas, tulisan ini akan menganalisa dan
memberikan solusi atas berbagai permasalahan kontemporer yang dihadapi oleh
Negara Pancasila Indonesia, seperti peranan hukum dengan ekonomi makro,
penerapan konsep state legal pluralism yang akan membantu stabilitas hukum dan
perekonomian negara dan urgensi perbaikan peradilan yang terpercaya (reliable
court) yang akan membantu reformasi di bidang ekonomi dan hukum.
Mencari Korelasi Positif Hukum dan Ekonomi
Tidak sedikit literatur-literatur dan diskursus antara ahli hukum dan ahli
ekonomi, yang membahas tentang korelasi antara hukum dan ekonomi pada masa
6 Denny Indrayana, Negara Para Mafioso, PT.Kompas, Jakarta,2008, Hlm.119
4
sekarang. Memang dalam suatu negara, kuatnya supremasi hukum dan stabilnya
perekonomian merupakan indikator wajib dari suatu negara maju (developed
country)7. Ambilah contoh negara-negara maju semisal Jepang dan Singapura, yang
membangun kekuatan pasarnya dengan memberlakukan regulasi perekonomian
(UU ekonomi) dengan sangat baik dan terarah, karena mampir semua UU yang
bernafaskan ekonomi dibuat berdasarkan kebutuhan pasar (baik nasional maupun
internasional) dan berorientasi pada kepentingan nasional, dalam artian hukum
menjadi
variable yang responsif terhadap kebutuhan ekonomi pasar dan
kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Pada contoh diatas, hukum dan ekonomi
menikmati relasi yang saling mempengaruhi (inter-dependent relation) dan
menguntungkan satu sama lain (beneficial relation), tetapi dalam konteks Indonesia
yang baru saja bangkit dari kubangan rezim otoriter Orde Baru yang mengekang
hukum dalam penjara politik, hal tersebut menjadi sulit untuk dilakukan. Pola relasi
hukum dan ekonomi di Indonesia pada saat ini, jauh dari hubungan saling sokong,
saling bantu malah cenderung konfrontatif 8.
Lawyers of developing countries have not employed their talents in developmental
activities, and the role of law in economic development has been sadly
neglected9
Dalam rezim otoriter Orde Baru, dibawah komando seorang Soeharto (the
Smiling General) yang berjalan selama lebih dari 23 tahun, hukum dipandang
sebelah mata oleh penguasa, hukum hanya dipandang sebagai kosmetik pelengkap
semata, dan
sebuah produk politik kekuasaan. Sedangkan ekonomi dipandang
7 Seperti yang disampaikan Prof Erman Rajaguguk,LLM,PhD, dalam suatu sesi perkuliahan.
8 Seperti yang disampaikan Prof Erman Rajaguguk,LLM,PhD, dalam suatu sesi perkuliahan.
9 L. Michael Hager, The Role of Lawyers in Developing Countries, dalam Erman Rajagukguk,
Hukum dan Pembangunan,Universitas Indonesia, 2007, Hal 256.
5
sebagai kompas menuju negara kesejahteraan, kebijakan-kebijakan ekonomi
pemerintahan
menjadi
kewajiban
dan
kepatuhan
bagi
semua
pihak
yang
berkecimpung didalamnya tanpa terkecuali. Bahkan tidak jarang kebijakankebijakan ekonomi pada rezim Orde Baru tersebut menabrak dinding pembatas
yuridis10. Hal tersebut dapat terjadi karena citra penegak hukum dan ahli hukum
(Lawyers) pada masa Orde Baru sangat korup dan pragmatis, karena terkontaminasi
oleh politik kekuasaan negara, sehingga yang terjadi hukum bukannya mendukung
pembangunan, tetapi malah mendukung kekuasaan semata.
Lawyers in developing countries do not enjoy a favorable public image, Too often
they are associated in the popular mind with personal ambition and selfinterest….it make the field of development law is virtually unknown 11.
Rezim Orde Baru pada waktu itu berpendapat bahwa ukuran kemapanan
suatu negara adalah dalam hal peningkatkan kemampuan ekonomi,
dapat
diketahui dari indikator Gross National Product (GNP). Berdasarkan penelitian yang
pernah dilakukan oleh Karl.W.Deutsch pada tahun 1999 menunjukkan bahwa
Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Inggris adalah negara-negara yang sangat mapan
secara ekonomi di seluruh dunia
12
.
The Domain of National Power in Term of Gross National Product
(1999)
RANK
GNP IN BILLIONS ($)
PERCENTAGE (%)
CHANGE OF (%)
10 Ambilah contoh, Proyek Mobil Nasional (PT.Timor) yang dipegang oleh anak emas
Soeharto (Tommy), proyek perkebunan Jeruk, Proyek Lahan Gambut Se-juta hektar di
Kalimantan Tengah, Pembalakan hutan oleh Probosujetjo yang semuanya merugikan negara
secara materii dengan melanggar batas-batas yuridis.
11 L.Micheal Hager, Ibid,Hal 256
12 Karl.W.Deutsch.1999.Nationalism and Social Communication,rev.ed.Cambridbe,MA;MIT
Press
Source from International Monetary Fund 1999 and World Bank Atlas,Washington
DC
6
United
1,293
27
-3
States
624
13
-3
German
416
9
+1
Japan
349
7
-1
England
Menurut hasil penelitian ini, hegemoni kapitalisme seolah-olah menjadi
jaminan
atas
keberhasilan
empat
(4)
negara
Kapitalis
diatas
untuk
menguasai perekonomian Internasional. Asumsi inilah yang dipakai rezim
Orde
baru
untuk
memaksimalkan
potensi
ekonomi
dengan
cara
melaksanakan kebijakan-kebijakan ekonomi kapitalis dalam setiap denyut
nafas negara.
Pertumbuhan ekonomi pada masa rezim Orde Baru, secara kuantitas
memang menunjukkan peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan masa
rezim Orde Lama. Tetapi yang patut disayangkan adalah, kekuatan ekonomi hanya
dimonopoli oleh segelintir elit yang dekat dengan penguasa (Soeharto), perniagaan
dengan cara yang kolusif inilah yang mengakibatkan Indonesia pada tahun 1998
masuk dalam jurang krisis moneter. Tanpa bermaksud membesar-besarkan,
keadaan Indonesia pada masa rezim Orde Baru dapat dianalogikan dengan keadaan
“Kandang-Kandang Sapi Raja Augeas”13 yang kotor dan bau.
13 Istilah ini diambil dari mitos Yunani kuno, tentang tugas-tugas Hercules (The Labour of
Hercules), tugas ke-5 Hercules adalah untuk membersihkan Kandang-Kandang Sapi Raja
Auges yang sangat besar dan luas tetapi sangat kotor dan bau. Hercules akhirnya dapat
membersihkan kandang-kandang sapi tersebut dengan menggunakan akalnya. Dia
membangun bendungan besar yang akan mengarahkan arus sungai untuk membanjiri
kandang-kandang sapi tersebut. Dalam konteks Indonesia, siapakah yang mau dan rela
menjadi seorang Hercules?
7
Pengalaman pahit dari rezim Orde Baru tersebut, memberikan
pelajaran
yang
berharga
akan
pentingnya
peranan
hukum
dalam
menjalankan perekonomian negara, dalam artian hukum haruslah bisa
menjadi
a
guardian
of
economic
development14
dalam
kegiatan
perekonomian negara yang kompetitif.
Nations must do so with the discipline of competition, and the knowledge
that some choices impede the competetivenness of the nation15
Untuk
menciptakan
relasi
harmonis
antara
hukum
dengan
pembangunan ekonomi, diperlukan sebuah paradigma baru yang lebih
demokratis dan responsif. Idealnya, hukum harus dibersihkan dari pengaruh
penguasa (status quo), hukum haruslah dibentuk berdasarkan nilai-nilai lokal
masyarakat (local values) agar hukum dapat lebih tanggap terhadap aspirasi
masyarakat lokal, selain itu hukum juga harus dapat mengakomodir nilainilai international (international values) yang dibawa oleh para investorinvestor asing, selama nilai-nilai tersebut tidak bertentangan dengan jati diri
bangsa dan negara. Relasi harmonis antara hukum dengan pembangunan
ekonomi, dapat dipahami dalam ilustrasi berikut ini:
Internationa
l Values
Supremacy of
Law
Enhanced
Economic
Development
Local Values
14 Seperti yang pernah disampaikan Nandang, LLM,PhD, dalam suatu kesempatan diskusi.
15 Richard C.Breeden, The Globalization of Law and Bussiness in the 1980’s dalam Erman
Rajagukguk, Hukum dan Pembangunan,Universitas Indonesia, 2007.
8
Sehingga pada akhirnya hukum dapat berperan secara objektif dan
responsif terhadap pembangunan nasional, bukan saatnya lagi hukum
menjadi variable inferior dibawah ekonomi ataupun dibawah kepentingankepentingan lain.
If the law does not stay within these bounds, it may run so far ahead of its
people as to lose its meaning16
Konsep
state legal pluralism
dalam mendorong pembangunan
Indonesia
Sub judul ini bertolak dari sebuah asumsi bahwa Indonesia yang
merupakan negara pluralisme hukum, dimana Indonesia mengakui dan
menghargai bermacam-macam hukum (non-negara) yang ada di masyarakat
selain hukum nasional sendiri17. Konsep state legal pluralism tersebut
menjadi urgent untuk diterapkan guna untuk menciptakan stabilitas hukum
(legal stability) dalam negara, guna mempercepat dan mendukung proses
pembangunan
negara. Dalam bagian ini akan dipaparkan sejarah singkat
state legal pluralism di Indonesia, dari fase awal (hukum adat), fase tengah
(hukum islam), sampai dengan fase terakhir yaitu fase hukum sipil eropa.
Fase Awal (Hukum Adat)
Indonesia, sungguh negara yang dikarunia Tuhan dengan begitu banyak
kelebihan, tidak hanya dalam hal kekayaan alam (SDA), tetapi juga dalam hal
16 Leonard J.Theberge, Law and Development, dalam Erman Rajagukguk, Hukum dan
Pembangunan,Universitas Indonesia, 2007.
17 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler,Pustaka Alvabet,2008,hlm.49
9
kekayaan budaya dan adat istiadat masyarakat yang sangat heterogen.
Jauh
sebelum kedatangan bangsa Barat ke Nusantara, masyarakat adat telah lama hidup
dalam ikatan hukum adat yang berasal dari harmonisasi alam dan lingkungannya 18.
Masyarakat tersebut merupakan masyarakat pra-modernisasi, dimana kehidupan
mereka sangat tergantung pada alam, masih memiliki pemikiran yang irrasional,
dan anti terhadap nilai-nilai baru. Ketertundukan masyarakat adat terhadap hukum
adat
mereka bertujuan untuk menjaga keseimbangan kehidupan individu dan
masyarakat19.
Fase Tengah (Hukum Islam)
Setelah memasuki awal abad ke-11, Nusantara memasuki suatu fase baru
kehidupan, dimana pada masa itu pengaruh hukum Islam datang dan tersebar
dihampir disemua wilayah Nusantara. Hukum Islam merupakan hukum yang sakral,
dalam artian hukum tersebut dijiwai oleh unsur-unsur ilahiyah yang wajib dipatuhi
dan diamalkan oleh semua penganutnya 20. Dalam masa awal perkembangannya,
hukum Islam menghadapi cobaan yang berat ketika harus berhadapan dengan
hukum adat masyarakat yang telah lebih dulu ada dan berkembang di Nusantara.
Pada masa itu, pendekatan yang dilakukan oleh para pendakwah Islam bisa dibilang
sangatlah cerdas, mereka tidak cenderung konfrontatif dengan tradisi hukum adat,
malah mereka merangkul masyarakat adat dengan cara yang persuasif dengan
tetap menghargai dan mengakui hukum adat mereka masing-masing. Dalil yang
digunakan oleh para pendakwah ini adalah ulf, yaitu sumber hukum yang
18 Dr.Abdurrahman,S.H,M.H, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan Agraria
Indonesia, Akademika Pressindo,Jakarta, 1984, Hlm 34
19 Ratno Lukito, Op.cit,hlm.47
20 Ratno Lukito,Ibid, hlm 55
10
mendasarkan diri pada adat dan kebiasaan masyarakat setempat 21. Prinsip
dasarnya adalah
hukum adat tetap diakui sebagai hukum selama adat tersebut
tidak bertentangan dengan sumber dasar hukum Islam (Al-Qur’an dan Hadist),
sehingga Hukum islam dianggap sebagai penyempurna Hukum Adat di Nusantara 22.
Dengan pendekatan seperti inilah maka hukum adat dan hukum islam bisa berjalan
dengan harmonis sampai saat ini.
Fase Akhir (Hukum Sipil Eropa)
Tetapi cobaan pluralisme hukum di Nusantara, tidak berhenti sampai disitu,
pada akhir abad ke-17 Bangsa Belanda datang ke Nusantara dengan membawa
tradisi hukum baru yang bernama hukum Sipil yang berasal dari Eropa Kontinental.
Pada fase ini, gesekan antara hukum adat, hukum islam dan hukum sipil eropa tidak
bisa dihindari. Golongan islam idealis beranggapan bahwa hukum sipil merupakan
sistem hukum sekuler23, golongan pembela hukum adat beranggapan bahwa hukum
sipil merupakan hukum yang tidak humanis dan cenderung eksploitatif ,hal ini
dapat dibuktikan dengan bukti sejarah pada masa pemerintahan Raffles (18111816) yang memberlakukan sistem pajak tanah (landrent), dan masa pemerintahan
Van den Bosch (1830) yang memberlakukan sistem tanam paksa (cultuurstelsel)24.
Sedangkan kalangan bangsa eropa berpendapat bahwa hukum yang sudah lebih
dulu di Nusantara merupakan produk mistik semata dan jauh dari rasionalitas.
Sekuat apapun tradisi hukum islam dan hukum adat mencoba melawan
tradisi hukum barat tetap saja laju roda positivisme hukum yang menjadi slogan
21 Abd al-Wahhab Khallaf,ilm Ushul al-Fiqh,dalam Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum
Sekuler,Pustaka Alvabet,2008,hlm.85
22 Ratno Lukito,Ibid ,hlm 65
23 Ratno Lukito,Ibid,hlm.78
24 Erman Rajaguguk,S.H,LLM, Pemahaman Rakyat terhadap Hak atas Tanah, dalam Hukum
dan Masyarakat, Bina Aksara, Jakarta, hlm.13
11
hukum sipil tidak dapat terbendung oleh kedua tradisi hukum lain, hal ini terbukti
dengan banyaknya produk-produk hukum sipil eropa yang dipatuhi oleh masyarakat
pribumi asli maupun timur jauh, seperti BW, WvS,dan lain-lain. Hal tersebut
disinggung oleh L. Michael heger, yang menyatakan:
The fact that these legal system have been externally imposed or imported, rather
than created from within25
Hal ini menjadi masalah ketika Indonesia merdeka, banyak aspirasi yang
menginginkan pembentukan hukum nasional yang terbebas dari ikatan hukum sipil
eropa, dari perdebatan yang panjang antara berbagai macam kelompok tersebut
lahirlah sebuah konsep state legal pluralism (pluralisme hukum negara) yang mana
diciptakan untuk mengakomodir keinginan-keinginan dalam masyarakat yang saling
bersaing26.
Konsep tersebut diyakini sebagai konsep terbaik untuk Indonesia yang
memiliki lebih dari satu tradisi hukum, multi suku dan agama, esensi dari konsep ini
lebih
sebagai
stabilisator
atau
harmonisator
yang
mencoba
untuk
mengharmoniskan /mendamaikan tradisi hukum islam dengan hukum adat vis-à-vis
hukum sipil eropa. Dengan menciptakan kestabilan hukum maka akan tercipta
suatu konfigurasi hukum yang responsif terhadap pembangunan.
Dalam konteks hukum pertanahan, tidak hanya kepastian hukum yang akan
didapat oleh investor, tetapi juga akan mencipatakan rasa keadilan sosial dan
kemanfaatan bagi komunitas masyarakat adat karena (idealnya) para investor yang
ingin berinvestasi di Indonesia tidak hanya tunduk kepada aturan normatif hukum
negara saja (UU PMA, UU PA, UU Pertanahan dan UU Kehutanan), tetapi haruslah
25 L.Micheal Hager dalam Erman Rajagukguk, Op.cit,Hal 256
26 Seperti yang disampaikan Prof Erman Rajaguguk,LLM,PhD, dalam suatu sesi perkuliahan.
12
menghormati segala bentuk hukum-hukum tidak tertulis dan kearifan lokal (local
genius) masyarakat lokal tersebut27. Sehingga terciptalah suatu relasi ideal, yang
akan diilustrasikan sebagai beri
State Legal Pluralism
Tribal Community Rights
Investor Needs
Development Progress
Perbaikan
peradilan
yang
terpercaya
(reliable
court)
dan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigation)
Sub judul ketiga pada makalah ini, bertolak pada suatu asumsi dasar bahwa
suatu negara menjalankan jurisdiksi dalam setiap ruang lingkup publik dengan
menggunakan hukum negara (pengadilan) sebagai penegak dan pencari keadilan di
masyarakat28. Namun sebaliknya, walaupun ada negara, tetapi bila negara tidak
berhasil hadir secara konkrit dan efektif dalam hal penegakan hukum dan pencari
keadialan, maka otoritas di luar jalur pengadilan negara menjadi pilihan bagi warga
masyarakat yang alergi dengan prosedural hukum negara yang kolusif 29. Dalam
artian, maraknya penggunaan metode penyelesaian sengketa di luar pengadilan
27 Hasil Penelitian Tanah Adat di Kabupaten Kotabaru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan, 2006,
UNLAM Press
28 Eddi Wibowo,Hukum dan Kebijakan Publik, Penerbit YPAPI,2004,hlm.13
29 Tamrin Amal Tomagalo, Masyarakat dan Negara Hukum, Law, Society and Development,
Vol 1,2007,hlm.7
13
(non-litigation) merupakan residu dari rasa ketidak percayaan masyarakat terhadap
peradilan negara, yang pada akhirnya akan menghalangi gerak maju pembangunan
negara.
Reformasi peradilan negara
Salah satu agenda mendesak Indonesia saat ini adalah membersihkan
peradilan negara dari praktek kotor judicial corruption yang sudah berakar kuat
dalam kehidupan praktisi hukum di Indonesia. Sudah merupakan rahasia umum di
dunia peradilan Indonesia, asas equality before law tidak diterapkan dengan baik
dan cenderung kolusif, tidak ada yang sama di depan hakim-hakim di Indonesia,
semua
hanya
dinilai
dari
segi
tebal
/tidak
kantong
seseorang
atau
berkedudukan/tidak seseorang. Judicial corruption telah dengan terang benderang
mencederai perasaan keadilan masyarakat, menabrak asas kepastian hukum dan
membuat hukum dari bermanfaat menjadi hudarat 30.
Dalam konteks hukum investasi dan perdagangan internasional, iklim
peradilan negara yang bersih dari korupsi merupakan syarat wajib dari terciptanya
iklim investasi dan perdagangan internasional yang kondusif pula 31. Investor dan
perusahaan asing sebagai pihak yang ingin menanamkan modal kapitalnya pada
bidang tertentu, pastilah menginginkan kepastian hukum (legal certainly) dalam
berniaga. Sebaliknya, apabila iklim peradilan negara sangat kental dengan nuansa
kolusif maka investor pun akan dengan berat hati meninggalkan negara tersebut. Di
Indonesia, ada sebuah adagium yang mengatakan : berinvestasi di Indonesia lebih
banyak “sunnah” dari “wajib”. Hal ini sungguh sangat memalukan dan memberikan
30 Denny Indrayana, Op.cit, hlm.199
31 Guntur Purwanto Joko Lelono, Peranan Pengadilan Tinggi dalam mengatasi kemacetan
penyelenggaraan rapat umum pemegang saham, Penerbit Guntur,2004,hlm.39
14
citra buruk bagi Indonesia sebagai sebuah negara yang ingin berpartisipasi dalam
ajang perdagangan internasional.
Peradilan sebagai gerbang terakhir pencari keadilan bagi para investor asing
dan masyrakat lokal, tentu sangat perlu untuk di reform, yang menjadi titik tekan
adalah dalam tubuh Mahkamah Agung (Supreme Court) sendiri, yang kinerjanya
sering tidak efektif karena terlalu banyak perkara yang diperiksa oleh badan
peradilan tertinggi ini. Idealnya, tidak semua perkara bisa sampai tingkat Kasasi,
misalnya: perkara perdata yang menyangkut gugatan sampai jumlah tertentu cukup
sampai tingkat pengadilan tinggi saja, sebagai pengadilan tinggi terakhir 32. Dengan
begitu maka peradilan akan semakin cepat, efisien , efektif dan tentunya lebih
murah.
Selain dengan cara-cara yang konvensional diatas, peradilan juga bisa
diperbaiki dengan cara yang revolusioner.Yaitu dengan, rekruitmen calon hakim
harus dibersihkan dari praktik nepotisme dan main mata antar para aparat,
kedepan akan lebih baik bila rekruitment tersebut dilakukan oleh suatu komisi yang
bersifat independent dan impartial 33, memberikan reward kepada hakim atau
penegak hukum lain yang bersih dari korupsi dan memberikan punishment yang
berat kepada hakim atau penegak hukum lain yang terbukti terlibat judicial
corruption34.
Dengan direformasinya peradilan Indonesia, diharapkan akan menumbuhkan
rasa kepercayaan internasional terhadap iklim pembangunan nasional di Indonesia
dan sebagai ajang
pembuktian diri oleh para praktisi hukum Indonesia
bahwa
32 Erman Rajagukguk,S.H,LLM, Mahkamah Agung : Unifikasi, Reformasi dan Pengawasan,
dalam Hukum dan Masyarakat, Bina Aksara, Jakarta,hlm.97
33 Wacana rekruitment para hakim Agung yang digagas oleh Komisi Yudisial, mendapatkan
cobaan ketika kewenangan tersebut diamputasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
34 Denny Indrayana, Op.cit, hlm 57
15
hukum merupakan elemen penting dalam pertumbuhan. Law as a guardian of
economic development.
Penyelesaian
Sengketa
di
luar
pengadilan
(Non-litigation
mechanism)
Ketika suatu negara berkeinginan untuk terjun ke dalam sistem
perdagangan internasional, maka konsekuasi logisnya, negara tersebut
haruslah
memiliki
institusi
penyelesaian
sengketa
perdagangan
yang
terpercaya, efisien, dan efektif. Dalam suatu hubungan perniagaan, yang
diperlukan tidak hanya asas kepastian hukum semata tetapi juga banyak
pertimbangan psikologis dan budaya yang juga harus diperhatikan.
Dalam pertimbangan psikologis, Hubungan perdagangan dimaknai
sebagai hubungan kepercayaan, membawa perkara ke pengadilan negara
berarti menghadapi resiko putusnya hubungan dagang, yang berarti
kerugian secara ekonomis35. Cara-cara negosiasi dan mediasi lebih disukai
untuk diterapkan dalam lingkup perdagangan, seperti yang terjadi di Chili,
dimana para pekerja-pekerja di pabrik lebih memilih cara mediasi melalui
institusi yang disebut the inpectorat36, padahal mereka memiliki labour court.
Hubungan kontrak antara perusahaan di negara-negara sosialis Polandia
ditangani secara arbitrasi oleh badan yang disebut Arbitracs37. Sementara
cara-cara negosiasi lebih disukai dalam transaksi perusahaan-perusahaan
35 Sulistyowati Irianto, Sengketa dalam perspektif hukum dan budaya, dalam Law,Society
and Development,Vol.1,2007,hlm.4
36 Ieswaart, dalam Sulistyowati Irianto,Ibid,hlm.3
37 Kurczewski and Frieske,dalam Sulistyowati Irianto,Ibid,hlm.3
16
besar di Amerika38. Dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan, nilainilai adat masyarakat setempat, nilai agama, hukum nasional, hukum
internasional dan nilai-nilai universal menjadi acuan dasar untuk mencapai
keadilan dan kemanfaatan bersama tanpa ada perasaan sakit hati oleh salah
satu pihak (win-win solutions).
Selain pertimbangan psikologis diatas, para pelaku usaha perdagangan
juga tunduk kepada suatu nilai kepatutan dalam budaya mereka. Dalam
budaya
Barat
yang
mengedepankan
asas
equality
before
the
law,
melahirkan prinsip win or lose dalam penyelesaian sengketa mereka,
sedangkan pada masyarakat Timur, prinsip win or lose diakhir sengketa tidak
diinginkan, karena adanya budaya malu yang kuat didalam masyarakat
mereka. Sengketa antara pemilik pabrik kimia dan masyarakat yang hidup di
Teluk
Minamata
berdampak
pada
(1940-an).
Pencemaran
air
yang
begitu
kesehatan (Minamata Desease) tidak
hebat
dan
menyebabkan
masyarakat membawa masalah tersebut ke pengadilan. Orang Jepang pada
umumnya lebih senang menyelesaikan sengketa dengan cara negosiasi dan
arbitrasi.
When stated, law is often portayed as something that Japanese do not use or
do not need; to never use the la, or be involved with the law, is the normal
hope of honorable people. To take someone to court to guarantee the
38 Macaulay,dalam Sulistyowati Irianto,Ibid,hlm.4
17
protection of one’s own interest, or to be mentioned in court, even in civil
matter, is a shameful thing. In word Japanese do not like law39.
Dalam konteks Indonesia, penggunaan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan juga sering dilakukan dalam bidang perdagangan, terutama oleh
para pedagang-pedagang Cina yang menetap di Pulau Jawa dan Sumatera.
Mereka lebih mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan, kekerabatan dan
menjaga hubungan baik kepada rekanan bisnis mereka. Cara ini dianggap
lebih efisien dan bermanfaat, ketimbang membawa perkara ke pengadilan
negara yang birokrasinya bertele-tele, kolusif dan terlalu lama.
Penggunaan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, merupakan cara
alternatif yang dapat dipakai oleh pelaku-pelaku usaha perdagangan di
Indonesia, cara ini dapat menutupi kekurangan dari lemahnya sistem
peradilan di Indonesia. Dengan mempergunakan cara alternatif tersebut
maka iklim perdagangan akan semakin meningkat, investor akan tidak ragu
lagi untuk mengucurkan kapital pada industri besar maupun kecil di
Indonesia, sehingga roda pembangunan ekonomi Indonesia pun akan
berjalan dengan baik dan terarah berkat kawalan supremasi hukum dan
praktisi hukum yang pro terhadap pembangunan negara.
39 Noda dalam MacNaughton, dalam Sulistyowati Irianto,Ibid,hlm.3
18
Kesimpulan
Hukum dan ekonomi haruslah berada dalam gerbong lokomotif yang sama,
berorientasi pada pembangunan negara, kemaslahatan masyarakat, keadilan
sosial masyarakat dan memberikan kepastian hukum kepada para pelaku
perdagangan baik nasional maupun internasional.
Peranan hukum yang stabil dalam negara, merupakan syarat wajib dari
terselenggaranya iklim investasi dan perdagangan yang baik. Indonesia
sebagai
penganut
teori
state
legal
pluralism,
harus
dapat
mengaplikasikannya dalam setiap prilaku hukum di masyarakat. Sehingga
akan tercipta hubungan yang harmonisasi antara hukum negara dan hukum
non-negara (hukum islam dan adat), yang menciptakan rasa aman dan
kepastian hukum bagi para pelaku perdagangan baik nasional maupun
internasional.
Peranan peradilan
yang
terpercaya
merupakan
syarat
wajib
dari
penyelenggaraan pembangunan ekonomi suatu negara. Peradilan (perdata)
sebagai pintu keadilan terakhir dari penyelesain sengketa perdagangan
haruslah bersih dari unsur-unsur kolusif dan korupsi, reformasi di tingkat law
enforcer wajib dilakukan segera, perbaikan birokrasi peradilan yang berteletela dan lamban merespon keinginan masyarakat juga wajib untuk diperbaiki
sesegera
mungkin.Transparansi
dalam
proses
penyidikan
perkara,
penuntutan sampai pada putusan hakim wajib diberikan kepada masyarakat
luas. Peradilan yang terpercaya mutlak diperlukan guna mendukung roda
pembangunan ekonomi negara.
Penggunaan cara alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dapat
memberikan stimulus positif bagi pembangunan ekonomi negara. Pendekatan
19
sosiologis, budaya dan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat (living law) dapat
dipakai untuk mencapai keadilan kolektif bagi semua pihak yang berperkara.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan Agraria
Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1984.
Adofl, Huala, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional,PT.Raja
Grafindo, Jakarta,2002.
Deutsch,
Karl.
W,
Nationalism
Communication,rev.ed.Cambridbe,MA;MIT Press
and
Social
Source from
International Monetary Fund 1999 and World Bank Atlas,Washington
DC 1999.
Indrayana, Denny, Negara Para Mafioso, PT.Kompas, Jakarta,2008.
Irianto, Sulistyowati, Sengketa dalam perspektif hukum dan budaya, dalam
Law, Society and Development,Vol.1, 2007.
Lelono, Guntur Purwanto Joko, Peranan Pengadilan Tinggi dalam mengatasi
kemacetan penyelenggaraan rapat umum pemegang saham, Penerbit
Guntur,2004.
Lukito, Ratno, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler,Pustaka Alvabet, 2008.
Rajagukguk, Erman, Bahan Ajar : Hukum dan Pembangunan, Universitas
Indonesia, 2007.
Rajaguguk, Erman, Hukum dan Masyarakat, Bina Aksara, Jakarta, 1983.
20
Tomagalo, Tamrin Amal, Masyarakat dan Negara Hukum, Law, Society and
Development, Vol 1, 2007.
Tim Peneliti FH UNLAM, Hasil Penelitian Tanah Adat di Kabupaten Kotabaru,
Pulau Laut, Kalimantan Selatan, UNLAM Press, 2006.
Wibowo, Eddi, Hukum dan Kebijakan Publik, Penerbit YPAPI, 2004.
21