KAJIAN BAHASA INDONESIA kalimat anisae.doc
BAHAN AJAR PENDIDIKAN GURU SKOLAH DASAR
MATA KULIAH KAJIAN BAHASA INDONESIA
OLEH
OYANG F. LASSA
EDITOR
ROBERT TAGANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2016
BAGIAN SATU
ADANYA BAHASA MANUSIA:
Suatu Tinjuan Historis
1
A. PENGANTAR
Para ahli linguistik dunia berdaya upaya untuk menjejaki,
dari mana
asal bahasa manusia itu? Apakah manusia pertama di “Taman Firdaus”
telah diberikan bahasa oleh Penciptanya? Apakah ada teori lain yang dapat
membuktikan bahwa bahasa pada manusia sesungguhnya berkembang
secara bertahap sesuai perkembangan manusia? Tidak ada data yang
cukup
kuat
beberapa
untuk
pandangan
menjawab
yang
pertanyaan-pertanyaan
akan
kita
pelajari
pada
tersebut.
bagian
materi
pengayaan.
B. INDIKATOR PENCAPAIAN HASIL BELAJAR
Mahasiswa mampu menjelaskan lahirnya bahasa manusia ditinjau dari:
1.
Teori Tekanan Sosial
2.
Teori Onomatopetik atauTeori Ekoik
3.
Teori Interyeksi
4.
Teori Nativistik atau Teori Fonetik
5.
Teori YO – HE – HO
6.
Teori Isyarat
7.
Teori Permainan Vokal
8.
Teori Isyarat Oral
9.
Tepri Kontrol Sosial
10.
Teori Kontak
11.
Teori Hockett - Ascher
C. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN
LANGKAH 01
Durasi Waktu keg.
1 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
2
Ada
KEGIATAN PADA LANGKAH 01
1) Mahasiswa diajak duduk di dalam kelompok-kelompok kecil.
2) Mahasiswa distimulasi dengan beberapa pertanyaan:
Menurut pendapat Anda, bagaimanakah pada awalnya
o
manusia memperoleh bahasa?
Apakah sejak masa primitif, manusia telah mengenal
o
bahasa?
3) Pendamping dapat memastikan bahwa mahasiswa telah menemukan
jawaban
atas
pertanyaan-pertanyaan
tersebut
di
atas
sesuai
pemahaman mereka masing-masing.
4) Pendamping diharapkan lebih banyak bersabar selama mahasiswa
berupaya menemukan jawabannya.
LANGKAH 02
Durasi Waktu keg.
2 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout Penulisan
Artikel
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
KEGIATAN PADA LANGKAH 02
1. Mahasiswa dibagikan Handout BAHASA MANUSIA: SUATU TINJAUAN
HISTORIS BAHASA DAN HAKEKATNYA untuk dicermati, baik secara
berkelompok maupun secara mandiri.
2. Materi Pengayaan
ADANYA BAHASA MANUSIA:
Suatu Tinjauan Historis
3
(1)
Pengantar
Para ahli linguistik dunia berdaya upaya untuk menjejaki, dari mana asal
bahasa manusia itu? Apakah manusia pertama di “Taman Firdaus” telah
diberikan bahasa oleh Penciptanya? Apakah ada teori lain yang dapat
membuktikan bahwa bahasa pada manusia sesungguhnya berkembang secara
bertahap sesuai perkembangan manusia? Tidak ada data yang
cukup kuat
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Paba bagian awal ini kita mencoba mengikuti beberapa pandangan yang
dikemukakan oleh sejumlah ahli bahasa.
(a) Teori tekanan Sosial
Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith di dalam bukunya The Theory of
Moral Sentiments. Teori ini bertolak dari suatu anggapan bahwa bahasa
manusia lahir karena manusia dihadapkan pada kebutuhan untuk saling
memahami. Apabila manusia primitif dihadapkan pada objek tertentu,
manusia terdorong untuk mengucapkan sesuatu melalui bunyi-bunyi
tertentu. Bunyi-bunyi tertentu itu dikenal sebagai tanda untuk menyatakan
hal-hal yang dimaksudkannya. Jika
pengalaman manusia bertambah,
manusia akan menyampaikan pengalaman-pengalaman barunya itu melalui
bunyi-bunyi tertentu pula.
Teori Tekanan Sosial tidak mempersoalkan fisik manusia primitif – yang
berhubungan langsung dengan perkembangan kemampuan berbahasa
manusia.
Teori Tekanan Sosial memberikan suatu gambaran bahwa manusia pada
saat itu sudah memiliki bentuk fisik (jasmani) yang sudah sempurna,
sehingga kapasitas mentalnya sudah sempurna pula. Teori Tekanan Sosial
menegaskan bahwa perilaku tutur manusia pada saat itu terjadi sebagai
akibat dari tekanan sosial, dan bukan terjadi dari hasil
perkembangan
manusia itu sendiri.
(b) Teori Onomatopetik atau Ekoik
Teori ini disebut juga teori Imitasi Bunyi atau Teori Gema. Teori ini pertama
kali dikumandangkan oleh J.G Herder, dkk.
J.G Herder, dkk menyatakan
bahwa objek-objek di bumi diberi nama sesuai dengan bunyi-bunyi yang
dihasilkan oleh objek-objek itu sendiri. Objek yang dimaksudkannya adalah
binatang dan alam.
Secara awal, manusia berusaha meniru bunyi-bunyi
4
seperti lolongan anjing, bunyi ayam, desiran angin, deburan gelombang,
dan sebagainya. Melalui tiruan itulah lahirlah kata-kata.
Walaupun dalam kenyataan yang sudah diakui oleh para ahli bahasa
bahasa bahwa ada unsur-unsur bahasa yang diciptakan manusia dengan
meniru-niru bunyi binatang atau gejala alam yang terjadi di sekitar
kehidupan manusia, tetapi kebenaran teori ini masih dipersoalkan para ahli
yang lain.
Para penyanggah mempersoalkan bahwa walaupun untuk
berkomunikasi, manusia waktu itu cenderung meniru bunyi-bunyi makhluk
rendahan seperti bunyi-bunyi binatang dan gejala alam, tidak berarti
bahwa daya cipta manusia lebih rendah dari mahluk-mahluk rendahan itu.
(c)Teori Interyeksi
Teori ini diberi nama TEORI POOH-POOH. Teori ini dicetuskan pertama kali
oleh Etienne Bonnet Condillac, dkk. TEORI POOH-POOH selanjutnya
dikembangkan
oleh
Whitney
setelah
dikolaborasikannya
dengan
temuannya yakni onomatopetik. Dalam menguatkan hasil kolaborasinya,
Whitney menjelaskan bahwa adalah wajar jika orang-orang yang tidak
terpelajar dan belum berkembang, mengucapkan ujaran-ujaran tertentu,
sementara mereka juga secara alamiah mengexpresikan keadaan jiwanya.
Whitney
memberikan
penguatan
kepada
pengikutnya
bahwa
dalam
melakukan ssesuatu hal manusia cenderung menampilkan expresi jiwa,
dan berdasarkan expresi jiwa itulah manusia memberi makna pada ujaranujaran yang juga merupakan refleksi
atau wujud dari suasana bathin
tertentu itu. Whitney menambahkan,
bahwa karena dengan adanya
ketakutan,
kegembiraan,
dan
sebagainya,
makhluk-makhluk
binatang dan manusia cenderung mengucapkan
seperti
ujaran tertentu, dan
ujaran-ujaran itu diterima oleh manusia lainnya.
Pengembangan teori ini dilatari oleh suatu asumsi bahwa bahasa itu
lahir dari ujaran-ujaran instingtif karena tekanan bathin – karena manusia
mengalamai perasaan yang mendalam, atau karena rasa sakit yang
dialaminya. Para penganut teori ini tidak menjelaskan, bagaimana caranya
bahasa itu lahir.
5
(d) Teori Nativistik atau Tipe Fonetik
Oleh
Max Muller (pencetus), teroi ini diberi nama DING-DONG. Max
Muller berdalih, terdapat satu hukum yang menguasai seluruh alam ini,
yakni “bahwa setiap barang akan mengeluarkan bunyi kalau barang itu
dipukul”. Secara kodrati, semua barang memiliki bunyi-bunyi yang khas
dan kekhasan itu ditanggapi manusia. Kekuatan dasar manusia
memiliki
kemampuan
expresif
artikulatoris.
Dengan
kekuatan
adalah
itulah
manusia mengirimkan pesan kepada penerima melalui expresi pancaindra
–
artikulatorisnya.
Max
Muller
mengingatkan
bahwa
kemampuan
artikulatoris itu bukan buatan manusia sendiri, melainkan suatu daya
insting dari manusia. Oleh sebab itu bahasa merupakan suatu produk dari
insting manusia yang dikategorikan dalam suatu tahapam kemampuan
yang sangat primitif (sederhana).
Max Muller menjelaskan bahwa dengan insting manusia meresapi setiap
inpresi dari luar yang menciptakan expresi vokalnya dari dalam. Bahasa
berawal dari akar, dan akar itu merupakan tipe fonetik atau bunyi yang
khas. Kata lahir dari bermacam-macam inpresi
yang diramu dari
perpaduan fonetik, dan peragaman dan /atau perubahan-perubahan
fonetik. Bila expresi instingtif telah diselesaikan, instingtif tersebut akan
padam dengan sendirinya.
Muller kembali menyimpulkan bahwa “tipe barang selalu memberikan
reaksi tertentu bila diberikan srimulus”. Reaksi itu terjadi pada manusia
yang separuhnya berbentuk vokal, yang dalam hal ini telah membentuk
tipe-tipe fonetik tertentu yang kemudian menjadi akar bagi perkembangan
bahasa manusia itu sendiri.
Dalam perjalanannya, tapatnya pada tahun
1891,
Max Muller
memodifikasi teori ding dong dengan nama Yo-He-Ho, yang sesungguhnya
telah populer berangka tahun 1861 – 1863. Dalam kata pengantar teorinya,
Max Muller menjelaskan
bahwa sesuangguhnya istilah
dipinjamnya dari tipe fonetiknya
teorinya
itu
Noire, seorang sarjana filologi Perancis
yang menerangkan tentang sumber tipe-tipe fonetik. Menurut Muller.
Teori Yo-He-Ho beranggapan bahwa aktivitas lahir dari otot-otot yang
kuat mengakibatkan manusia berupaya melepaskan bunyi-buniyi melalui
pernafasan yang dari padanya menyebabkan perangkat mekanisme pita
6
suara bergetar menghasilkan berbagai tipe bunyi. Akibat gateran yang
dihasilkan itulah, lahirlah bunyi ujaran. Orang-orang pada kelas
primitif
yang belum mengenal peralatan maju akan mengalami beban yang sangat
berat. Oleh sebab itu, manusia kelas primitif selalu bekerja bersama-sama
dalam
menyelesaikan berbagai pekerjaan-pekerjaan yang amat berat
sekali pun. Untuk memberikan semangat kepada sesama mereka selama
bekerja, manusia-manusia kelas itu mengucapkan bunyi-bunyi yang khas –
yang selalu dipertalikan dengan pekerjaan yang sedang dikerjakannya.
Nama-nama baru akan selalu lahir dari aktivitas seperti itu dan sekali gus
nama-nama itu dipakai untuk menamakan pekerjaan mereka.
(e) Teori Isyarat
Teori ini dikumandangkan oleh Wilhelm Wundt, seorang psikolog
terkenal pada abad
XIX. Dengan berpatok tolak dari hukum psikologis,
Wundt menjelaskan bahwa setiap perasaan manusia mempunyai bentuk
expresi yag khusus, yang merupakan pertalian tertentu antara saraf
reseptor dengan saraf axeptor. Bila diamati secara mendalam dari ekspresiekspresi yang lahir, tampaklah bahwa setiap ekspresi selalu mereflekesikan
peraaan
tertentu
yang
dapat
dipakai
dalam
mengkomunikasikan
kenyataan-kenyataan.
Teori ini menjelaskan bahwa bahasa isyarat lahir dari emosi dan
gerakan-gerakan ekspresif yang tak disadari – yang menyertai emosi.
Suatu komunikasi gagasan dilakukan dengan gerakan tangan yang
mendukung gerakan-gerakan mimik. Bila seseorang diajak berbicara dalam
suatu gerakan yang disepakati maka lahirlah suatu kesepahaman, dan
melalui proses kesepahaman itu selalu lahir dan dikembangkan dari suatu
proses berpikir yang sama. Kesepahaman itu kemudian terbentuk dan
terakumulasi dalam gerakan-gerakan konkrit yang tak disadari. Gerakangerakan konkrit yang tidak disadari itu lambat laun diganti oleh gerakangerakan yang disadari.
Berdasarkan konten ideasional inilah,
gerakan-gerakan pengungkap
emosi berubah menjadi pengungkap gagasan. Pada saat yang sama terjadi
alih-fungsi komunikasi, dari
mengenal pengalaman manusia berubah
7
menjadi mwujudkan komunikasi pikiran. Wujud konkrit yang lahir pada
masa inilah yang dinamakan bahasa.
Perlu diingat bahwa, komunikasi untuk mendengar memungkinkan
manusia
menciptakan
jenis
gerakan
yang
ketiga
yakni
gerakan
artikulatoris, di samping gerakan mimietik dan pantomimiek yang sudah
ada. Dijelaskannya pula bahwa walaupun bahasa isyarat merupakan
bahasa primitif, tetapi Wundt, dkk sama sekali tidak menegaskan bahwa
artikulatoris berkembang dari bahasa isyarat. Wundt menganggap bahwa
kedua hal itu (artikulasi dan isyarat) dipakai bersama-sama, kemudian
bahasa ujaran memperoleh status yang lebih tetap karena flexibilitasnya
dan kemampuannya untuk mengadakan abstraksi.
(f) Teori Permainan Vokal
Jespersen seorang filolog Denmark menyimpulkan bahwa bahasa
primitif manusia menyerupai bahasa anak-anak. Keputusan Jespersen
diumumkan setelah dilakukannya penelitian bahasa anak-anak, bahasa
suku-suku primitif, dan sejarah bahasa-bahasa. Bahasa manusia pada
mulanya berwujud dengungan dan senandung yang tak berkeputusan yang
tidak mengungkapkan pikiran apa pun, sama seperti suara senandung
orang tua dalam membuat dan menyenangkan bayi. Bahasa lahir dari
suatu
permainan vokal, didukung oleh ujaran-ujaran. Dengungan dan
senandung itu bermula dari suatu kebiasaan mengisi waktu senggang.
Kesan Jespersen, bahwa bahasa yang terjadi dari dan berkembang dari
kata-kata hasil dengungan dan senandung itu sesungguhnya merupakan
suatu bentuk lahir
Walaupun
yang sangat kaku, yang rumit, dan bahkan kacau.
demikian,
bahasa
yang
lahir
dari
proses
seperti
itu
kecenderungan untuk berkembang lambat – kendatipun “dia” terus
bergerak maju menuju ke suatu yang lebih jelas, teratur, dan mudah.
Hasil
permenungan
Jespersen
menegaskan
bahwa
sesungguhnya
bahasa manusia mula-mula bersifat puitis yang lahir dari permainan yang
gembira, dalam suatu impian yang romantik. Perkembangan selanjutnya
teori ini kemudian berusaha untuk menjembatani upaya penyatuan
kesenggangan antara vokalisasi emosional dan ideasional.
8
(g) Teori Isyarat Oral
Teori ini dikumandangkan oleh Sir Richard Piaget dalam bukunya Human
Speech.
Dalam
upaya
memperkuat
mengemukakan bukti-bukti yang selalu
teorinya,
Richard
Piaget
bertolak dari zaman bahasa
isyarat. Bahwa ketika manusia mulai menggunakan peralatan, tangan
manusia
dipenuhi barang-barang sehingga manusia tidak secara bebas
berkomunikasi. Berdasarkan hal itulah manusia selalu menggunakan oral
(mulut) untuk membuat isyarat, yang sejatinya dilakukan dengan tangan
(baca Keraf, 1996:9 – 11).
(h) Teori Kontrol Sosial
Teori ini diajukan oleh Grace Andrus de Laguna dalam bukunya Speech:
Its Function and Development. Menurut teori ini, ujaran adalah suatu
medium yang besar yang memungkinkan manusia bekerja sama. Bahasa
(ujaran) merupakan upaya yang mengkoordinasikan dan menghubungkan
teriakan hewan (cry) dan panggilan (call) yang memiliki fungsi sosial.
Panggilan yang merupakan bahasa dari seekor induk ayam ketika seekor
elang terbang melintasi di atasnya, membangkitkan respon tertentu pada
anak-anak ayam untuk mencari tempat persembunyian. Kontrol sosial yang
berwujud teriakan binatang dihubungkan dengan tingkah laku sederhana
manusia
dan
kemampuan
yang
masih
rendah
dari
spesies
yang
bersangkutan.
Dewasa ini kompleksitas hidup semakin bertambah disertai perubahanperubahan yang terjadi pada habitat itu dari jangkauan kegiatan yang
cenderung
meluas
secara
konstan,
yang
semuanya
menciptakan
kebutuhan akan kerja sama yang lebih kompak, baik untuk mengadakan
pertahanan bersama maupun untuk mengadakan serangan-serangan
bersama.
kelompok.
Keamanan
Perubahan
kelompok
dalam
semakin
kontrol
tergantung
ssial
ini
dari
solidaritas
memerlukan
pula
pengembangan suatu alat kontrol yang lebih ampuh. Sebab itu timbullah
perbedaan antara proklamasi
dan perintah. Tiap tipe situasi akan
memerlukan tipe respons yang berlainan yang perlu dikembangkan dalam
kelompok. Dan situasi yang khusus itu perlu juga dikembangkan suatu alat
yang khusus.
9
Perubahan-perubahan dalam cara hidup manusia menyebabkan cry dan
call sama sekali tidak mencukupi kebutuhan dalam berkomunikasi.
Perubahan dari manusia yang arboreal (manusia yang hidup di atas
pohon), ke manusia yang hidup dan tinggal di tanah menyebabkan
perubahan dalam susunan urat saraf yang cukup kompleks dan fleksibel
untuk manata kembali suatu kehidupan yang lebih tinggi tingkatannya.
Semakin
meningkatnya
komplesitas,
organisme
manusia
pun
harus
menjadi lebih sensitif untuk membuat variasi-variasi yang lebih halus
dalam membuat rangsangan (baca de Laguna dalam Keraf, 1996:11-12).
Ketika (cry) manusia primitif berakhir sebagai determinan langsung dari
tingkah laku kelompok, ia berubah menjadi proklamasi yang sesungguhnya
sebagai penentu bermacam-macam tingkah laku kelompok, dan sebagai
alat untuk membangkitkan dan mengonsentrasikan persiapan bagi tindaktanduk yang akan dilakukan. Ketidaklangsungannya sebagai alat kontrol
sosial adalah sesuai dengan tingkat kebebasan ekspresi emosional di satu
pihak dan fungsi simbolisme yang asli di pihak yang lain.
Pemisahan teriakan dari sebegitu banyaknya teriakan menuju pada
ekspresi yang lain yang memungkinkan teriakan itu dipergunakan dalam
kapasitas yang lain. Teori ini membandingkjan pemakaian bunyi-bunyi
vokal manusia primitif dengan bunyi yang digunakan oleh manusia dewasa
ini. Pandangan ini sependapat dengan Jespersen, yakni bahwa permainan
vokal adalah unsur yang penting pada waktu lahirnya bahasa. Bunyi-bunyi
yang
digunakan
dalam
bentuk
tindak-tanduk
itu
sendiri
memang
menyenangkan, tetapi juga ada kesenangan dalam tindak-tanduk itu
sendiri. Ketika bunyi-bunyi itu dipakai secara sistimatik untuk mengontrol
tingkah laku orang-orang lain yang mengacu pada objek-objek selama
permainan berlangsung, nama-nama itu menjadi kata dan masuk sebagai
unsur dalam struktur bahasa. Bila kita tengok ke belakang, teori ini ibarat
seorang bayi yang kelaparan. Ketika seorang bayi hendak mengucapkan
bunyi-bunyi ”din-din now”, bayi itu secara otomatis mulai bicara dalam arti
kata yang sesungguhnya.
(i) Teori Kontak
Dalam bukunya The Origins and Prehistory of Language, G. Reveesz
menjelaskan asal-usul bahasa berdasarkan TEORI KONTAK. Sebagian teori
10
ini menyerupai teori kontrol sosial yang diajukan Adam Smith. Namun,
bagian-bagian yang penting meyerupai teori kontrol sosial-nya Laguna.
Teori
ini
menjelaskan
bahwa
hubungan
sosial
pada
mahluk
hidup
memperlihatkan bahwa kebutuhan manusia untuk mengadakan kontak
satu sama lain tidak pernah memberikan kepuasan antara individu. Pada
tahap yang sangat rendah, yakni pada tingkat instingtif – kebutuhan
untuk mengadakan kontak tampaknya dapat dipenuhi oleh kontak spesial.
Tetapi
semakin
kehidupan
dilapisi
oleh
pengalaman
yang
terarah,
keinginan akan kontak spesial (kontak karena kerapatan jarak fisik) tadi
akan menjelma menjkadi suatu keinginan untuk mengadakan kontak
emosional. Pada tingkatan ini kepuasan manusia karena kedekatan
emosinal dengan yang lain yang akan menibulkan pengertian, simpati, dan
empati pada orang lain tercapai. Kontak emosional adalah hal biasa dan
esensial pada tingkah laku berbahasa. Bahasa hanya mungkin ada bila ada
hubungan personal atau kontak emosional antara orang-orang yang
mampu berbicara.
Aspek terakhir dari kontak yang sangat esensial dari perkembangan
bahasa
adalah
kontak
intelektual.
Kontak
ini
berfungsi
untuk
menyampaikan pikiran. Hal ini berlaku secara filogenetis, bahwa bahasa
dapat lahir sesudah tercapai prakondisi untuk kontak emosional dan kontak
intelektual pada anggota-anggota masyarakat primitif.
(j) Teori Hockett-Ascher
Dengan
arkeologi
mempertimbangkan
dan
data-data
evolusi
geologis,
manusia
Hockett-Ascher
berdasarkan
data
mengupas
lebih
menyeluruh perihal adanya bahasa manusia dalam bukunya The Human
Revolution. Hockett-Ascher merumuskan bahwa sekitar dua sampai satu
juta tahun yang lalu, makhluk yang disebut PROTO-HOMINOID sudah
memiliki semacam bahasa. Primat PROTO-HOMINOID ini dianggap memiliki
semacam sistem komunikasi yang disebut call. Makhluk proto-hominoid
adalah makhluk arboreal – hidup mereka berkelompok-kelompok antara 5 –
30 anggota. Mereka menggunakan tongkat dan batu sebagai peralatan
kerja.
Proto-hominoid tidak memapu berbicara. Mereka menggunakan sistem
komunikasi seperti yang terdapat pada GIBBON MODERN. Dari penelitian
11
mendalam ditemukan suatu teori bahwa sistem call yang digunakan oleh
makhluk proto-hominoid itu dikenallah dua sistem komunikasi yang masih
bertahan sampai dewasa ini, yakni sistem komunikasi yang diturunkan
pada Gibbon modern dan yang lainnya berkembang menjadi bahasa nenek
moyang manusia.
Call merupakan suatu sistem yang komunikasi sederhana, terdiri atas
enam tanda distingsi, sesuai dengan situasi yang dihadapi. Keenam
perbendahaan call itu diuraikan:
(a)
call untuk menandakan adanya makanan,
(b)
call untuk menyatakan adanya bahaya,
(c)
call
untuk
menyatakan
persahabatan
atau
keinginan untuk bersahabat,
(d)
call
yang
tidak
mempunyai
arti
dan
hanya
menunjukkan dimana seekor Gibbon berada – call ini berfungsi untuk
menjaga agar anggota kelompok jangan berpisah terlalu jauh ketika
mereka bergerak di antara pohon-pohonan,
(e)
call untuk perhatian sexual,
(f)
call
untuk
menyatakan
kebutuhan
akan
perlindungan keibuan.
Untuk menyatakan sifat stimulus yang dihadapi setiap call dapat
bervariasi berdasarkan intensitasnya, lamanya, dan jumlah perulangannya.
Tiap call bersifat exklusif dan timbali-balik. Ciri exklusif yang timbali-balik
ini secara teknis disebut sistem tertutup (clossed system), sebaliknya
bahasa yang digunakan manusia dewasa ini sifatnya terbuka (open
system). Sistem call dan bahasa berbeda dalam tiga hal - sebagaimana
diuraikan berikut.
(1) Sistem call tidak mengandung ciri pemindahan (displacement),
bahasa justru memiliki ciri ini. Ciri pemindahan mengandung
pengertian bahwa kita dapat berbicara dengan bebas mengenai
suatu hal yang jauh letaknya dari pandangan kita, atau sesuatu
yang berada dalam masa lampau, atau yang
ada pada masa
datang, bahkan kita bisa berbicara mengenai sesuatu yang tidak
ada. Gibbon tak akan mengeluarkan call mengenai makanan
kalau tidak ada makanan, atau ia tidak akan melakukan call jika
yang dimaksudkan adalah ”tadi ada makanan tetapi sekarang
12
sudah tidak ada makanan”, atau Gibbon lainnya juga tidak akan
merespons bila ”mereka akan menunggu makanan berikutnya”.
Atau, Gibbon yang mendapat makanan akan berlari ke markas
induknya
untuk
menyebarkan
informasi
bahwa
ia
sudah
menemukan makanan di suatu tempat, dan ia akan berada di
tempat itu setelah mengeluarkan makanan.
(2) Ujaran dari suatu bahasa terdiri atas susunan unit-unit tanda
yang disebut fonem yang tidak mengandung makna, tetapi
berfungsi untuk memisahkan ujaran-ujaran yang bermakna satu
dengan yang lainnya. Jadi, ujaran memiliki dua hal, yakni struktur
dari ujaran yang tidak mengandung makna, tetapi bisa dibedakan
satu dari yang lain, dan juga sebuah struktur dari unsur-unsur
yang
mengandung
makna.
Sistem
ini
disebut
dengan
kekembaran pola (duality of patterning). Sebuah call tidak
memiliki ciri ini. Perbedaan antara dua call bersifat global.
(3) Konvensi-konvensi dari sebuah bahasa yang dialihkan secara
tradisional,
walaupun
kepastian
mempelajari
bahasa
dan
rangsangan untuk berbahasa bersifat genetis. Hal ini belum
dipastikan mengenai Gibbon, walaupun telah dicatat bahwa ada
berbedaan regional dari call Gibbon. Sebab itu dapat disimpulkan
bahwa call proto-hominoid diteruskan dari generasi ke generasi
dilakukan secara genetis.
Menurut Hockett-Ascher, sekitar 1.000.000 – 40.000 tahun yang lalu,
proto-hominoid perlahan-lahan berkembang menjadi kera pra-manusia.
Dalam suatu peristiwa yang sangat penting kelompok proto-hominoid
berpindah
dan membuat tempat kediaman mereka di tanah dengan
cara yang sangat kasar (Keraf, 1996:17-21).
Perlu dicatat bahwa lahirnya ssuatu bahasa dari sistem
call
hendaknya ditanggapi secara wajar. Ciri-ciri khusus dari sistem call
proto-hominoid masih dapat dijumpai dalam tingkah laku manusia pada
tingkat vokal-auditoris, yang bukan sebagai bagian dari bahasa, tetapi
sebagai kesetaraan dalam penggunaan bahasa.
Proto-hominoid dapat meragamkan intensitas, nada, dan durasi;
kadang-kadang juga manusia
berbicara sangat keras, kadang-kadang
dengan lemah lembut, dan kadang-kadang dengan register yang lebih
13
tinggi dan kadang-kadang lebih rendah. Manusia masih menggunakan
gerutu, desah, atau teriakan-teriakan yang bukan kata atau morfem,
juga semuanya itu bukan bagian dari bahasa.
Bermacam-macam
fonomenon-fenomenon paralinguistik ini diolah kembali dan diubah
dengan
banyak
cara
berdasarkan
kondisi
hidup
manusia,
tetapi
silsilahnya tetap lebih tua dari bahasa itu sendiri.
LANGKAH 03
Durasi Waktu
1 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
KEGIATAN PADA LANGKAH 03
1) Mahasiswa dibagikan lembaran latihan untuk dikerjakan secara
berkelompok. (Lembaran soal: tersendiri)
2) Hasil kerja kelompok disampaikan dalam pleno kelas.
3) Pendamping mendampingi diskusi mahasiswa.
LANGKAH 04
Durasi Waktu
1 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
KEGIATAN PADA LANGKAH 04
1) Pendamping mengajak mahasiswa mereview proses dan materi
perkuliahan
tentang
ADANYA
BAHASA
MANUSIA:
SUATU
TINJAUAN HISTORIS.
2) Mahasiswa disampaikan tugas pengayaan untuk dikerjakan di rumah.
(Lembaran informasi tugas: tersendiri).
D. PENILAIAN
Untuk
menilai
keberhasilan
mahasiswa
dalam
PERKULIAHAN
INI,
digunakanlah tiga model penilaian, yakni penilaian proses, portofolio, dan
hasil kerja. Butir-butir penilaian disiapkan dalam lembar kerja mahasiswa.
14
Pendamping diharapkan merekam seluruh proses sejak awal kegiatan,
proses kegiatan di kelas, dan tugas-tugas sebagai salah bentuk portofolio..
(Lembar penilaian: terlampir).
BACAAN PENGAYAAN
o
Alwasillah,
chaedar.
1983.
Linguiustik:
Suatu
Pengantar.
Bandung: Angkasa.
o
Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT
Grammedia.
o
o
o
------------------- 1984. Komposisi: Sebuah Kemahiran Berbahasa.
Ende: Nusa Indah.
Parera, Jos Daniel. 1991. Kajian Linguistik Umum, Historis
komparatif, dan Tipologi Struktural. Jakarta: Erlangga.
Pateda, Mansoer. 1994. Linguistik: Sebuah Pengantar. Bandung:
Angkasa.
o
Sanda, Fransiskus. 2000. “Pengantar Linguistik: Bahan Ajar.”
Kupang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univ. Nusa
Cendana.
15
BAGIAN DUA
HAKEKAT DAN CIRI BAHASA
(1 x 150 menit)
A.
PENGANTAR
Sudah jam tujuh, saya terlambat ke sekolah.
Pateda (1994) menjelaskan rumusan
terlambat ke sekolah”
“sudah jam tujuh, saya
merupakan serentetan bunyi artikulatif yang
lahir dari seseorang penutur dalam satuan
rumusan yang bermakna.
Pateda (1994) menjelaskan, bahwa gambaran peristiwa yang tergambar
dari sudah jam tujuh saya terlambat ke sekolah, hanya dapat dipahami dan
diterima oleh pihak-pihak yang memiliki pengalaman yang sama.
Gambaran rumusan peristiwa tersebut
tidak akan terjadi bagi pihak-
pihak yang memiliki latar bahasa Dawan, Tetun, Jerman, Inggris, atau
yang lain-lainnya.
B.
TUJUAN
Setelah
pembahasan
ini,
mahasiswa
menjelaskan hakekat bahasa secara benar.
C.
BAHAN DAN ALAT
c.1 Referensi yang Digunakan
16
diharapkan
mampu
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik, hal. 21. PT.
Grammedia: Jakarta.
Pateda, Mansoer. 1994. Linguistik Terapan, hal. 18. Penerbit
Nusa Indah: Jakarta. Bandung: Angkasa.
Parera, Jos Daniel. 1991. Kajian Linguistik Umum, Historis
komparatif,
dan
Tipologi
Struktural. Jakarta:
Erlangga.
Sumarsono, dkk. 2002. Sosiolinguistik, hal. 8. Yogyakarta:
Penerbit Sabda.
Sanda, Fransiskus. 2000. ”Pengantar Linguistik:
Bahan
Ajar.” Kupang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Univ. Nusa Cendana.
c.2 Bahan dan Alat
Komputer, LCD, Meta-plano, Flipchart, Bahan ajar/ handout
D.
LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN
PENYAJIAN
PENYAJIAN
AWAL
AWAL
(1O’)
(1O’)
PENJELASAN
PENJELASAN
MATERI
MATERI
POKOK
POKOK
(15’)
(15’)
DISKUSI KELOMPOK
(45’)
REVIEW
REVIEW
(10’)
(10’)
EVALUASI
EVALUASI
(25’)
(25’)
PLENO HASIL
PLENO HASIL
DISKUSI
DISKUSI
(45)
(45)
Langkah 1: PENYAJIAN AWAL (1O MENIT)
Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses langkah ini lebih
kurang 10 menit, dengan alur proses sebagai berikut.
1) Mahasiswa
diajak
duduk
berkelompok,
yang
setiap
pre-test
yang
kelompoknya beranggotakan 3 – 5 orang.
2) Mahasiswa
distimulasi
dengan
berkisar sekitar “hakekat bahasa”.
17
soal-soal
3) Pendamping dapat memastikan bahwa mahasiswa telah
memiliki pengetahuan siap yang memadai tentang “hakekat
bahasa”.
4) Mahasiswa diberi kesempatan mencermati materi “hakekat
bahasa”.
5) Hasil pre-test mahasiswa (pada butir 2) dapat dijadikan
pendamping
sebagai bahan stimulan untuk pembelajaran
selanjutnya.
Langkah 2: PENJELASAN MATERI POKOK (15 menit)
Materi pokok “hakekat bahasa” disampaikan dalam bentuk
powerpoint diselingi penjelasan dan tanya jawab.
Langkah 3: DISKUSI KELOMPOK (45 MENIT)
Pada langkah ini, mahasiswa dibagikan soal-soal diskusi melalui
LKM (lembar kerja mahasiswa).
Soal-soal diskusi dapat dilihat pada
LKM.
Langkah 4: PLENO HASIL DISKUSI (45 MENIT)
Langkah ini mengikuti alur belajar sebagai berikut.
1) Setiap kelompok menanfaatkan waktu 5 menit sacara baik untuk
mempresentasikan hasil diskusi kelompok. Waktu yang disiapkan
untuk setiap itu untuk melakukan kegiatan presentasi, tanggapan,
dan
penyampaian
rangkuman
oleh
Penetapan waktu tersebut akan
pemahaman
mahasiswa
kelompok
pengamat.
disesuaikan dengan tingkat
terhadap
materi
saji
dan
waktu
kadang
terjadi
dimulainya kegiatan diskusi kelompok.
2) Untuk
menghindari
“terbengkelainya”
(yang
sebagai akibat peristiwa debat kusir) penyampaian dan tanggapan
hasil pleno kelompok,
pendamping menyiapkan satu kelompok
belajar di antara kelompok-kelompok yang ada untuk merekam
seluruh proses dan hasil diskusi kelompok. Strategi seperti ini juga
terjadi
ketika
diskusinya.
kelompok-kelompok
Pertimbangan
lain
18
lain
dari
menyampaikan
strategi
ini,
hasil
yakni
mempermudah proses
penyimpulan yang akan dilakukan pada
langkah 5.
Langkah 5: REVIEW (10 MENIT)
1) Mahasiswa diajak mereview atau merangkum seluruh isi sajian
pada pertemuan ini.
2) Demi
penyempurnaan
pendamping
perlu
hasil
review
menyampaikan
atau
materi
hasil
rangkuman,
pengayaan
yang
berhubungan dengan pertemuan ini.
3) Sebagai akhir dari pertemuan ini, kepada mahasiswa disampaikan
tugas pengayaan untuk dikerjakan secara kelompok di luar waktu
tatap muka.
4) Perlu diingat, bahwa peran dosen pada seluruh langkah kegiatan
adalah sebagai fasilitator, motivator, dan observer.
E.
BAHAN BACAAN UNTUK MAHASISWA DAN DOSEN
HAKEKAT BAHASA
Sudah jam tujuh, saya terlambat ke sekolah.
Pateda (1994) menjelaskan rumusan
terlambat ke sekolah
Sudah jam tujuh, saya
merupakan serentetan bunyi artikulatif yang lahir
dari seseorang penutur bahasa dalam satuan rumusan yang bermakna.
Jika dianalisis,
pertanyaan-pertanyaan yang lahir barangkali
sebagai
berikut.
o
Siapa yang berartikulasi? ”Saya” (orang).
o
Perihal apakah yang disampaikan ”saya?” ”Sudah jam tujuh”.
o
Pertanyaan selanjutnya, ”maksud apakah yang terkandung dalam ”sudah jam
tujuh itu?” ”Saya sudah terlambat ke sekolah”.
Jika
direnungkan,
sesungguhnya
serentetan
bunyi
yang
digambarkan dalam deretan “sudah jam tujuh saya terlambat ke
19
sekolah” itu memantulkan amanat dari seseorang pemakai bahasa
(Indonesia), dan dari deretan bunyi itulah memantulkan makna yang
sempurna, dan oleh kesempurnaan jualah amanat itu dapat ditanggapi
secara sempurna pula oleh para pemakai bahasa Indonesia, dan
dipastikan tidak bertentangan dengan:
Sudah jam tujuh, saya sudah terlambat ke sekolah.
Pateda (1994) menjelaskan, pesan peristiwa tersebut ditanggapi
secara baik hanya karena pihak-pihak yang memiliki pengalaman yang
sama benar-benar memahami pesan itu secara baik pula. Tentu saja,
gambaran pesan itu tidak akan terjadi untuk pemakai bahasa: seperti
Dawan, Tetun, Jerman, Inggris, atau yang lainnya.
1. Apa itu bahasa?
Bloomfield
(Sumarsono,
2002:18;
baca
juga
Kridalaksana
2001:21) mendefinisikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang
bersifat sewenang-wenang (arbitrer), dipakai oleh anggota masyarakat
untuk saling berhubungan, berinteraksi, dan mengidentifdikasikan diri.
Definisi Bloomfield itu dipandang Archibal A Hill (lihat Pateda, 1994:7),
tidak hanya mengandung makna berinteraksi, dan mengidntifikasi diri,
tetapi bahasa memiliki sifat yang sempurna dan universal.
Definisi
tersebut dinilai Chaer (2003:30-31), memiliki dua
kandungan, yakni
kandungan hakekat, dan kandungan fungsi.
Terhadap kandungan pertama, Chaer mengartikannya sebagai suatu
sistem yang sistematik dan sistemis, sama dengan sistem lambang
lainnya.
Chaer menjelaskan, sistem bahasa tidak bersifat tunggal,
tetapi dibangun dari sejumlah subsistem seperti fonem (dalam tataran
fonologis), kalimat (dalam tataran sintaksis), dan leksem (dalam tataran
leksis). Masih oleh Chaer, bahasa dan juga yang lainnya
adalah
lambang, tetapi sistem pada bahasa adalah bunyi, berbeda dengan
lambang-lambang
lalu lintas jalan yang dipasang di jalan-jalan, dan
sebagainya. Walaupun demikian, oleh Chaer dipertanyakan, apakah
bahasa atau yang lainnya, sama-sama memiliki sifat arbiter-konvesional
20
dan wajib hubungannya antara lambang yang tampak dengan konsep
yang dilambangkannya?
2. Ciri Universal
Para ahli bahasa menemukan sejumlah ciri universal bahasa
diuraikan sebagai berikut.
a)
Sistemis dan Sistematis.
Sebagai suatu sistem, bahasa
terdiri atas sejumlah unsur yang tersusun secara teratur yang
masing-masing unsurnya saling bekerja sama, berhubungan satu
sama lainnya. Unsur-unsur
itu diuraikan sebagai bunyi,
bentuk,
makna, fungsi, struktur, proses, dan unsur para-lingual.
b)
Lambang Bunyi. Satuan unsur mulai dari unsur yang paling
rendah dalam suatu hierarkis bahasa sampai pada suatu tingkat yang
tertinggi itu berwujud lambang atau simbol bunyi yang artikulatif.
Lambang
kata,
atau simbol yang tertata dalam satuan fonem, morfem,
frase, klausa, kalimat, dan wacana itu bermuara pada suatu
pengertian utuh, yakni satu satuan konsep, satu satuan ide, atau satu
satuan pikiran.
c)
Bersifat Arbitrer.
Lambang bunyi yang bersistem itu
berhubungan secara wajib dengan konsep, ide, atau pengertian yang
dikandungnya. Sebagai misal, suatu deretan
lambang bunyi yang
membentuk kembang mengacu pada makna bakal buah. Makna
bakal
buah
dari
leksem
lambang
itu
adalah semena-mena,
sewenang-wenang, dan manasuka, dan hanya untuk pemakai bahasa
Indonesia dan tidak untuk pemakai bahasa lain, seperti Inggris,
Jerman,
Tetun,
Lamaholot,
kembang bagi orang
dan
lain-lainnya.
Dengan
demikian,
Inggris adalah hasil kesepakatan atau
konsensus orang Inggris. Begitu pun, bagi pemakai yang berbahasa
Jerman, Tetun, Lamaholot, atau pun Dawan. Berdasarkan keadaan
itulah, lahirlah keberbagaian bahasa di atas muka bumi ini.
21
d)
Bermakna. Satuan-satuan lambang sistematis itu,
baik
yang mempunyai rujukan yang jelas maupun yang tidak mempunyai
rujukan,
semuanya
digunakan
secara
fungsional
untuk
berkomunikasi dan mengidentifikasi diri oleh para pemakainya. Oleh
karena itu, suatu makna mengikuti lambang-lambang dan memiliki
sifat yang sempurna.
e)
Konvensional. Agar komunikasi sosial dalam suatu kelompok
pemakai bahasa berjalan dengan lancar dan tidak terjadi hambatan
karena salah paham atau salah pengertian, semua anggota kelompok
masyarakat pemakai bahasa tertentu mestinya memahami konvensi
keterkaitan lambang bunyi yang digunakannya itu dengan konsep,
ide, pengertian, atau pikiran yang mewakilinya. Kekonvensionalan
bahasa terletak pada ketaatan dan kepatutan para penuturnya untuk
menggunakan lambang bunyi itu sesuai dengan konsep yang
dilambangkannya.
f)
Unik.
Setiap bahasa memiliki ciri yang spesifik dan unik.
Artinya, lambang atau bentuk, struktur, dan makna yang dimiliki oleh
suatu bahasa tidak sama dan bahkan tidak dimiliki oleh bahasa yang
lain. Bahwa ciri khas itu mengenai seluruh tataran kebahasaan, mulai
fonem, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, sampai pada suatu
wacana yang luas dan kompleks. Keunikan bahasa juga dapat terjadi
pada struktur supra segmental seperti nada, tekanan, intonasi, jeda.
g)
Bervariasi.
Setiap
kelompok
sosial
atau
kelompok
masyarakat bahasa mempunyai perbedaan akibat adanya tingkat
pendidikan, staus sosial, tempat tinggal, letak geografis, umur,
profesi-keahlian,
pekerjaan,
budaya,
dan
lain-lainnya.
Karena
perbedaan-perbedaan itulah maka lahirlah variasi-variasi atau ragamragam bahasa. Misalnya, ada ideolek sarjana, ada idiolek masyarakat
pesisir, ada idiolek pejabat, ada idiolek baku, ada idiolek resmi, ada
22
idiolek masyarakat adat, dan sebagainya. Koine (variasi bahasa) yang
digunakan oleh masyarakat yang merasa dirinya petinggi
akan
berbeda dengan masyarakat kelas petani, nelayan, atau masyarakat
penutur kebanyakan.
h)
Produktif.
Meskipun jumlah unsur-unsur pembentuk suatu
bahasa seperti fonem, morfem, kata, kalimat, dan wacana
itu
terbatas, unsur-unsur itu dapat menurunkan satuan-satuan baru yang
jumlahnya tak terbatas. Misalnya, dengan sejumlah kosa kata seperti:
saya, gunung, laut, mereka, ke, dan, orang dapat secara
produktif memformulasikan berbagai-bagai kalimat dengan makna
yang tak terbatas.
Saya ke gunung dan mereka ke laut;
Saya ke laut dan mereka ke gunung;
Saya, mereka ke laut dan ke gunung, dan seterusnya.
i)
Dinamis dan Berkembang. Bahasa itu selalu berubah dan
berkembang
sesuai
dengan
perubahan
dan
perkembangan
masyarakat penuturnya. Sebelum tahun 1965, kata gerombolan
digunakan
tanpa
ada
dampak
politisnya.
Namun,
setelah
pemberontakan G30S/PKI, kata itu berdampak pada kelompok yang
mengacu pada pengertian yang lain. Kata tikus mengacu pada suatu
benda, hewan atau binatang jenis pengerat. Ikuti contoh formulasi
kalimat:
Sebidang sawah milik Bapak Siso habis dimakan tikus sawah.
Bandingkan formulasi di atas dengan:
Dana purnabakti sejumlah pensiunan guru SD tahun 2007
Kecamatan Siso, habis dimakan tikus pengurus.
F.
LEMBAR KERJA MAHASISWA (LKM)
Petunjuk: Kerjakanlah dalam kelompok!
1)
Bahasa adalah suatu sistem bunyi? Jelaskanlah
sistem fonologis bahasa Anda?
2)
Jika penutur pada kampung seberang, sedikit
pun tidak mengerti bahasa yang Anda gunakan, apakah artinya
23
bahwa bahasa Anda berbeda dengan orang-orang di kampung
seberang? Jika berbeda, mengapa hal itu terjadi?
3)
Bahasa
adalah
suatu
sistem
yang
konvensional? Jelaskan dari sisi sintaksis!
4)
Tuturan manusia, jelas berbeda dengan tuturan
hewan. Di manakah letak perbedaan yang paling hakiki?
5)
Pada sekitar tahun 1960-an, kata “oknum,
gerombolan, diamankan”, dirasakan meresahkan masyarakat
Indonesia. Jelaskanlah dari sisi makna!
G.
TES
AKHIR( 25 MENIT)
Petunjuk: jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut secara
singkat!
1) Apa itu “bahasa” menurut Bloomfield?
2) Unsur-unsur apa sajakah yang Anda dapatkan dari batasan
Bloomfield itu?
3) Sebutkan ciri-ciri universal dari bahasa!
4) Menurut Anda, apakah bahasa Indonesia yang digunakan oleh
masyarakat penutur Bahasa Dawan di kota So’e, sama dengan
bahasa Indonesia yang digunakan oleh masyarakat penutur
Bahasa Malayu Kupang di Kodya Kupang?
5) Salah satu ciri bahasa adalah “dinamis dan bervariasi”.
Jelaskan maksud tersebut!
24
BAGIAN TIGA
KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA
A. INDIKATOR PENCAPAIAN HASIL BELAJAR
Mahasiswa mampu menjelaskan bahwa:
1.
kedudukan Bahasa Indonesia dalam perpolitikan Indonesia
2.
fungsi
Bahasa
Indonesia
dalam
berbagai
aspek
kehidupan
masyarakat Indonesia.
LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN
LANGKAH 01
Durasi Waktu keg.
1 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
KEGIATAN PADA LANGKAH 01
5) Mahasiswa distimulasi dengan beberapa pertanyaan:
o
Menurut pendapatmu, Bagaimanakah kedudukan bahasa
Indonesia dalam duania perpolitikan dewasa ini?
o
Menurut pendapatmu, bagaimanakah fungsi praktis
funsi pendidikan bahasa Indonesia dalam
dewasa ini?
25
dan
dunia pendidikan
6) Pendamping memastikan bahwa mahasiswa dapat menemukan
jawaban tersebut sesuai dengan pemahaman mereka masingmasing.
7) Pendamping diharapkan lebih banyak bersabar selama mahasiswa
berupaya menemukan jawaban.
LANGKAH 02
Durasi Waktu keg.
2 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout Penulisan
Artikel
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
B. BACAAN PENGAYAAN
Halliday,M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks,
dan Teks: Aspek-Aspek bahasa dalam Pandangan Semiotik
Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.
Keraf, Gorys. 1997. Komposisi. Ende: Nusa Indah.
Kridalaksana,
Harimurti.
1995.
“Pendayagunaan
Potensi
Intern dan Extern dalam Pengembangan Bahasa Indonesia
dan Peningkatan Budaya bangsa”. Makalah yang disajikan
dalam Seminar nasional Sejarah Bahasa Indonesdia dalam
Perjalanan Bangsa.” Denpasar, Bali: Univ Udayana.
---------------------.
1991.
Masa
Lampau
Bahasa
Indonesia:
Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Pateda Mansoer. 1991. Linguistik Terapan. Ende: Nusa Indah.
Sa’adie, Maimur, dkk. 1997. Bahasa Bantu. Jakarta: Depdikbud,
bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III tahun 1997/1998.
KEGIATAN PADA LANGKAH 02
3. Mahasiswa dibagikan Handout
KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA
INDONESIA untuk dicermati, baik secara berkelompok maupun
secara mandiri.
4. Materi Pengayaan
26
KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA
(2)
Kedudukan Bahasa Indonesia
Kedudukan
bahasa adalah suatu status relatif bahasa sebagai sistem
lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial yang
dihubungkan dengan bahasa yang bersangkutan (Politik Bahasa Nasional
2:145). Sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia memiliki status tertinggi.
Secara tegas, kedudukan ini dimilikinya sejak diikrarkannya oleh para pemuda
dalam Sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Selain berkedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga
berkedudukan sebagai bahasa negara atau bahasa resmi. Hal ini juga
ditegaskan dalam UUD ’45, Bab XV pasal 36. Dalam dokumen tertinggi itu
Bahasa Indonesia dimaklumatkan sebagai bahasa negara.
(3)
Fungsi Bahasa Indonesia
Sebelum kita berbicara tentang fungsi Bahasa Indonesia, alangkah
baiknya kita berbicara sejenak perihal fungsi bahasa pada umumnya.
Keraf (1997:3-6) menuliskan bahwa secara umum bahasa berfungsi
sebagai berikut.
(a) Untuk menyatakan ekspresi diri. Fungsi tersebut mengidikasikan bahwa
melalui bahasa, manusia dapat menyatakan diri secara terbuka tentang
segala sesuatu yang tersirat dalam “dadanya”, sekurang-kurangnya
untuk memaklumatkan keberadaan dirinya.
Faktor-faktor yang yang
mendorong lahirnya fungsi ini adalah:
ketertarikan dan perhatian orang lain terhadap diri kita,
keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi.
(b) Untuk menyatakan transaksi dan komunikasi. Sebagai alat komunikasi,
bahasa merupakan saluran perumusan maksud, melahirkan perasaan,
dan memungkinkan kita bekerja sama dengan sesama warga. Fungsi ini
memiliki kekuatan, bahwa bahasa dapat mengatur berbagai macam
aktivitas kemasyarakatan, merencanakan, dan mengarahkan masa
depan
pemakainya.
Dengan
bahasa,
manusia
pemakai
dapat
menganalisis masa lampau kehidupan, menyempurnakan aktivitas
27
kehidupan masa kini, dan dapat memprediksi dan menganalisis
kehidupan pada masa yang akan datang.
(c) Alat intergrasi dan adaptasi sosial. Fungsi ini mengindikasikan, bahwa
dengan
kekuatan
bahasa,
anggota-anggota
masyarakat
dapat
dipersatukan secara efisien, dan setiap warga merasa dirinya terikat
erat dengan warga kelompok lain, karena manusia merasa bahwa ”dia”
adalah bagian dari kelompok sosial yang lebih besar. Dengan bahasa,
manusia dapat melakukan aktivitas kemsyarakatan dan menghindarkan
diri
sejauh mungkin terhadap bentrokan-bentrokan dalam kehidupan
kemasyarakatan. Bahasa juga memiliki kekuatan untuk memungkinkan
manusia
berintgrasi
(hidup
membaur)
secara
sempurna
dengan
kelompok sosial yang dimasukinya. Dengan kekuatan bahasa manusia
dapat secara perlahan-lahan belajar mengenal adat-istiadat, tingkah
laku, dan tata krama masyarakat. Manusia berusaha berdaptasi dengan
kelompok sosial lain yang tentunya memiliki tatakrama, adat istiadat
yang berbeda daripadanya.
(d) Alat kontrol sosial. Fungsi ini mengindikasikan bahwa dengan kekuatan
bahasa manusia berdaya upaya mempengaruhi tingkah laku dan tindaktanduk orang lain. Bahwa, tingkah laku manusia dapat bersifat terbuka
(overt: tingkah laku yang dapat diamati dan diobservasi) dan tingkah
laku yang bersifat tetrtutup (covert: tingkah laku yang tidak dapat
diobservasi). Dengan kekuatan bahasa manusia dapat mengadakan
kontrol sosial melalui proses-proses sosialisasi yang berwujud: (i)
keahlian bicara, (ii) pengalihan kepercayaan dan sikap orang tua kepada
anak-anak yang sedng tumbuh, (iii) melukiskan dan menjelaskan
peranan serta mampu mengidentifikasi diri dalam melakukan tindakan,
(iv) menanamkan rasa keterlibatan (sense of belonging atau esprit de
corps) pada si anak tentang masyarakat bahasanya.
Roman Jacobson (Pateda, 1991:82) menuliskan bahwa secara umum
bahasa
memiliki
fungsi
(a)
emotive
(emotif),
yang
mengacu
kepada
penggunaan bahasa dalam kaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan
pribadi
pembicara;
(b)
fungsi
referensial
(referntial)
mengacu
kepada
penggunaan bahasa yang berkaitan dengan hal, benda, proses, peristiwa yang
berada di luar pembicara atau pendengar, (c) fungsi konatif (conative)
28
mengacu
pada
penggunaan
bahasa
untuk
mempengaruhi,
mengajak,
menyuruh atau melarang, (e) fungsi puitis (poetic) mengacu pada penggunaan
bahasa yang bernilai puitis, (f) fungsi fatis (phatic) mengacu kepada
penggunaan bahasa untuk memelihara kontak antara pembicara dengan
pendengar, (g) fungsi metalingual (metalingual) mengacu kepada penggunaan
untuk menguraikan unsur-unsur bahasa itu sendiri.
Finocchiaro (Dardjowidjojo 1987) menuliskan bahwa bahasa memiliki
fungsi (a) fungsi personal mengacu kepada kemampuan pembicara atau
penulis untuk mengungkapkan pikiran, kemauan, dan perasaannya, (b) fungsi
interpersonal mengacu pada penggunaan bahasa yang berakibat pada
hubungan
pembicara
dengan
pendengar
atau
antara
penulis
dengan
pembaca, (c) fungsi direktif mengacu pada penggunaan bahasa yang
berhubungan dengan permintaan, ajakan, bujukan, perintah, dan larangan, (d)
fungsi referensial yang mengacu pada penggunaan bahasa yang berhubungan
dengan dunia luar pembicara/penulis dan pendengar/pembaca, misalnya
berhubungan dengan benda, peristiwa, dan proses, (e) fungsi imajinatif yang
mengacu kepada penggunaan bahasa yang bersifat imajinatif, misalnya dalam
menyusun sajak, cerpen, dan novel.
Blundell, cs. (Dardjowidjojo 1987:138-139) menuliskan bahwa bahasa
memiliki (a) fungsi informational, attitudinal, active yang didasarkan pada
kenyataan bahwa sebelum kita mempunyai sikap (attitude) terhadap suatu
pendapat, ujaran, kita memerlukan informasi lebih dahuulu, (b) social formula,
yakni penggunaan bahasa hanya untuk basa-basi, misalnya halo, apa khabar!
(c) pelumas komunikasi mengacu pada penggunaan bahasa yang bermaksud
agar komunikasi berjalan terus, mislnya: ah, masak, oh.... ya, mm... I see,
aha...! (d) fungsi informasi kebahasaan yang mengacu kepada informasi
kebahasaan saja.
Halliday dan Ruqaya Hasan (Asruddin B Tou) menuliskan bahwa bahasa
memiliki fungsi (a) instrumental, yang mengacu kepada penggunaan bahasa
yang menyebabkan timbulnya keadaan tertentu, misalnya: siap...., maju....,
jangan pegang bukuku!, (b) fungsi regulatory mengacu kepada penggunaan
bahasa yang bersifat memelihara, termasuk di dalamnya persetujuan,
penolakan, pengawasan terhadap tingkah laku, (c) fungsi representasional
mengacu
kepada
penggunaan
bahasa
yang
menyajikan
fakta
dan
pengetahuan, mempresentasikan kenyataan seperti yang kita lihat, misalnya
29
Inem sexi!, (d) fungsi interactional mengacu kepada penggunaan bahasa yang
beruasaha
agar
kominikasi
tertap
berjalan
lancar,
misalnya:
harus
memperhatikan situasi, norma, (e) fungsi personal, yang mengacu kepada
penggunaan bahasa yang menyatakan pikran, kemauan, perasaan pribadi, (f)
fungsi heuristic mengacu kepada penggunaan bahasa untuk
memperoleh
pengetahuan, untuk mengenal lingkungan, (g) fungsi imaginatif mengacu
kepada penggunaan bahasa untukmenciptakan ide yang imajinatif, misalnya
menciptakan sajak, novel, dan cerpen.
Berdasarkan
fungsi-fungsi
umum,
fungsi
Bahasa
Indonesia
dapat
dijabarkan, bahwa Dalam kedudukannya sebagai sebagai bahasa nasional dan
juga sebagai bahasa resmi kenegaraan Bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
(1) Sebagai lambang kebanggaan nasional.
(2) Sebagai lambang identitas nasional.
(3) Sebagai alat yang memungkinkan penyatuan suku atau etnik yang
memiliki ciri bahasa dan ciri budaya masing-masing.
(4) Sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
Di samping itu, dalam kedudukan sebagai bahasa negara atau bahasa
resmi kenegaraan, Bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
(1) bahasa resmi dalam menjalankan adminitrasi kenegaraan,
(2) bahasa pengantar dalam dunia pendidikan,
(3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencaraan
dan
pelaksanaan
pembangunan
nasional
serta
kepentingan
pemerintahaan,
(4) alat pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan dan teknologi
LANGKAH 03
Durasi Waktu
1 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
KEGIATAN PADA LANGKAH 03
4) Mahasiswa dibagikan lembaran latihan untuk dikerjakan secara
berkelompok. (Lembaran soal: tersendiri)
5) Hasil kerja kelompok disampaikan dalam pleno kelas.
30
6) Pendamping mendampingi diskusi mahasiswa.
LANGKAH 04
Durasi Waktu
1 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
KEGIATAN PADA LANGKAH 04
3) Pendamping mengajak mahasiswa mereview proses dan materi
perkuliahan tentang KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA
4) Mahasiswa disampaikan tugas pengayaan untuk dikerjakan di rumah.
(Lembaran informasi tugas: tersendiri).
C. PENILAIAN
Untuk
menilai
keberhasilan
mahasiswa
digunakanlah tiga model penilaian, yakni
dalam
PERKULIAHAN
INI,
penilaian proses, portofolio, dan
hasil kerja. Butir-butir penilaian disiapkan dalam lembar kerja mahasiswa.
Pendamping diharapkan merekam seluruh proses sejak awal kegiatan, proses
kegiatan di kelas, dan tugas-tugas sebagai salah satu bentuk portofolio..
(Lembar penilaian: terlampir).
BAGIAN EMPAT
PUNGTUASI
(1 x 200 menit)
31
H.
PENGANTAR
Bahasa terdiri-dari dua aspek yakni aspek bentuk dan aspek
makna. Aspek bentuk dapat dibagi menjadi dua unsur yaitu unsur
segmental dan unsur suprasegmental. Unsur segmental dapat
dibagi-bagi atas bagian-bagian yang lebih ke
MATA KULIAH KAJIAN BAHASA INDONESIA
OLEH
OYANG F. LASSA
EDITOR
ROBERT TAGANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2016
BAGIAN SATU
ADANYA BAHASA MANUSIA:
Suatu Tinjuan Historis
1
A. PENGANTAR
Para ahli linguistik dunia berdaya upaya untuk menjejaki,
dari mana
asal bahasa manusia itu? Apakah manusia pertama di “Taman Firdaus”
telah diberikan bahasa oleh Penciptanya? Apakah ada teori lain yang dapat
membuktikan bahwa bahasa pada manusia sesungguhnya berkembang
secara bertahap sesuai perkembangan manusia? Tidak ada data yang
cukup
kuat
beberapa
untuk
pandangan
menjawab
yang
pertanyaan-pertanyaan
akan
kita
pelajari
pada
tersebut.
bagian
materi
pengayaan.
B. INDIKATOR PENCAPAIAN HASIL BELAJAR
Mahasiswa mampu menjelaskan lahirnya bahasa manusia ditinjau dari:
1.
Teori Tekanan Sosial
2.
Teori Onomatopetik atauTeori Ekoik
3.
Teori Interyeksi
4.
Teori Nativistik atau Teori Fonetik
5.
Teori YO – HE – HO
6.
Teori Isyarat
7.
Teori Permainan Vokal
8.
Teori Isyarat Oral
9.
Tepri Kontrol Sosial
10.
Teori Kontak
11.
Teori Hockett - Ascher
C. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN
LANGKAH 01
Durasi Waktu keg.
1 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
2
Ada
KEGIATAN PADA LANGKAH 01
1) Mahasiswa diajak duduk di dalam kelompok-kelompok kecil.
2) Mahasiswa distimulasi dengan beberapa pertanyaan:
Menurut pendapat Anda, bagaimanakah pada awalnya
o
manusia memperoleh bahasa?
Apakah sejak masa primitif, manusia telah mengenal
o
bahasa?
3) Pendamping dapat memastikan bahwa mahasiswa telah menemukan
jawaban
atas
pertanyaan-pertanyaan
tersebut
di
atas
sesuai
pemahaman mereka masing-masing.
4) Pendamping diharapkan lebih banyak bersabar selama mahasiswa
berupaya menemukan jawabannya.
LANGKAH 02
Durasi Waktu keg.
2 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout Penulisan
Artikel
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
KEGIATAN PADA LANGKAH 02
1. Mahasiswa dibagikan Handout BAHASA MANUSIA: SUATU TINJAUAN
HISTORIS BAHASA DAN HAKEKATNYA untuk dicermati, baik secara
berkelompok maupun secara mandiri.
2. Materi Pengayaan
ADANYA BAHASA MANUSIA:
Suatu Tinjauan Historis
3
(1)
Pengantar
Para ahli linguistik dunia berdaya upaya untuk menjejaki, dari mana asal
bahasa manusia itu? Apakah manusia pertama di “Taman Firdaus” telah
diberikan bahasa oleh Penciptanya? Apakah ada teori lain yang dapat
membuktikan bahwa bahasa pada manusia sesungguhnya berkembang secara
bertahap sesuai perkembangan manusia? Tidak ada data yang
cukup kuat
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Paba bagian awal ini kita mencoba mengikuti beberapa pandangan yang
dikemukakan oleh sejumlah ahli bahasa.
(a) Teori tekanan Sosial
Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith di dalam bukunya The Theory of
Moral Sentiments. Teori ini bertolak dari suatu anggapan bahwa bahasa
manusia lahir karena manusia dihadapkan pada kebutuhan untuk saling
memahami. Apabila manusia primitif dihadapkan pada objek tertentu,
manusia terdorong untuk mengucapkan sesuatu melalui bunyi-bunyi
tertentu. Bunyi-bunyi tertentu itu dikenal sebagai tanda untuk menyatakan
hal-hal yang dimaksudkannya. Jika
pengalaman manusia bertambah,
manusia akan menyampaikan pengalaman-pengalaman barunya itu melalui
bunyi-bunyi tertentu pula.
Teori Tekanan Sosial tidak mempersoalkan fisik manusia primitif – yang
berhubungan langsung dengan perkembangan kemampuan berbahasa
manusia.
Teori Tekanan Sosial memberikan suatu gambaran bahwa manusia pada
saat itu sudah memiliki bentuk fisik (jasmani) yang sudah sempurna,
sehingga kapasitas mentalnya sudah sempurna pula. Teori Tekanan Sosial
menegaskan bahwa perilaku tutur manusia pada saat itu terjadi sebagai
akibat dari tekanan sosial, dan bukan terjadi dari hasil
perkembangan
manusia itu sendiri.
(b) Teori Onomatopetik atau Ekoik
Teori ini disebut juga teori Imitasi Bunyi atau Teori Gema. Teori ini pertama
kali dikumandangkan oleh J.G Herder, dkk.
J.G Herder, dkk menyatakan
bahwa objek-objek di bumi diberi nama sesuai dengan bunyi-bunyi yang
dihasilkan oleh objek-objek itu sendiri. Objek yang dimaksudkannya adalah
binatang dan alam.
Secara awal, manusia berusaha meniru bunyi-bunyi
4
seperti lolongan anjing, bunyi ayam, desiran angin, deburan gelombang,
dan sebagainya. Melalui tiruan itulah lahirlah kata-kata.
Walaupun dalam kenyataan yang sudah diakui oleh para ahli bahasa
bahasa bahwa ada unsur-unsur bahasa yang diciptakan manusia dengan
meniru-niru bunyi binatang atau gejala alam yang terjadi di sekitar
kehidupan manusia, tetapi kebenaran teori ini masih dipersoalkan para ahli
yang lain.
Para penyanggah mempersoalkan bahwa walaupun untuk
berkomunikasi, manusia waktu itu cenderung meniru bunyi-bunyi makhluk
rendahan seperti bunyi-bunyi binatang dan gejala alam, tidak berarti
bahwa daya cipta manusia lebih rendah dari mahluk-mahluk rendahan itu.
(c)Teori Interyeksi
Teori ini diberi nama TEORI POOH-POOH. Teori ini dicetuskan pertama kali
oleh Etienne Bonnet Condillac, dkk. TEORI POOH-POOH selanjutnya
dikembangkan
oleh
Whitney
setelah
dikolaborasikannya
dengan
temuannya yakni onomatopetik. Dalam menguatkan hasil kolaborasinya,
Whitney menjelaskan bahwa adalah wajar jika orang-orang yang tidak
terpelajar dan belum berkembang, mengucapkan ujaran-ujaran tertentu,
sementara mereka juga secara alamiah mengexpresikan keadaan jiwanya.
Whitney
memberikan
penguatan
kepada
pengikutnya
bahwa
dalam
melakukan ssesuatu hal manusia cenderung menampilkan expresi jiwa,
dan berdasarkan expresi jiwa itulah manusia memberi makna pada ujaranujaran yang juga merupakan refleksi
atau wujud dari suasana bathin
tertentu itu. Whitney menambahkan,
bahwa karena dengan adanya
ketakutan,
kegembiraan,
dan
sebagainya,
makhluk-makhluk
binatang dan manusia cenderung mengucapkan
seperti
ujaran tertentu, dan
ujaran-ujaran itu diterima oleh manusia lainnya.
Pengembangan teori ini dilatari oleh suatu asumsi bahwa bahasa itu
lahir dari ujaran-ujaran instingtif karena tekanan bathin – karena manusia
mengalamai perasaan yang mendalam, atau karena rasa sakit yang
dialaminya. Para penganut teori ini tidak menjelaskan, bagaimana caranya
bahasa itu lahir.
5
(d) Teori Nativistik atau Tipe Fonetik
Oleh
Max Muller (pencetus), teroi ini diberi nama DING-DONG. Max
Muller berdalih, terdapat satu hukum yang menguasai seluruh alam ini,
yakni “bahwa setiap barang akan mengeluarkan bunyi kalau barang itu
dipukul”. Secara kodrati, semua barang memiliki bunyi-bunyi yang khas
dan kekhasan itu ditanggapi manusia. Kekuatan dasar manusia
memiliki
kemampuan
expresif
artikulatoris.
Dengan
kekuatan
adalah
itulah
manusia mengirimkan pesan kepada penerima melalui expresi pancaindra
–
artikulatorisnya.
Max
Muller
mengingatkan
bahwa
kemampuan
artikulatoris itu bukan buatan manusia sendiri, melainkan suatu daya
insting dari manusia. Oleh sebab itu bahasa merupakan suatu produk dari
insting manusia yang dikategorikan dalam suatu tahapam kemampuan
yang sangat primitif (sederhana).
Max Muller menjelaskan bahwa dengan insting manusia meresapi setiap
inpresi dari luar yang menciptakan expresi vokalnya dari dalam. Bahasa
berawal dari akar, dan akar itu merupakan tipe fonetik atau bunyi yang
khas. Kata lahir dari bermacam-macam inpresi
yang diramu dari
perpaduan fonetik, dan peragaman dan /atau perubahan-perubahan
fonetik. Bila expresi instingtif telah diselesaikan, instingtif tersebut akan
padam dengan sendirinya.
Muller kembali menyimpulkan bahwa “tipe barang selalu memberikan
reaksi tertentu bila diberikan srimulus”. Reaksi itu terjadi pada manusia
yang separuhnya berbentuk vokal, yang dalam hal ini telah membentuk
tipe-tipe fonetik tertentu yang kemudian menjadi akar bagi perkembangan
bahasa manusia itu sendiri.
Dalam perjalanannya, tapatnya pada tahun
1891,
Max Muller
memodifikasi teori ding dong dengan nama Yo-He-Ho, yang sesungguhnya
telah populer berangka tahun 1861 – 1863. Dalam kata pengantar teorinya,
Max Muller menjelaskan
bahwa sesuangguhnya istilah
dipinjamnya dari tipe fonetiknya
teorinya
itu
Noire, seorang sarjana filologi Perancis
yang menerangkan tentang sumber tipe-tipe fonetik. Menurut Muller.
Teori Yo-He-Ho beranggapan bahwa aktivitas lahir dari otot-otot yang
kuat mengakibatkan manusia berupaya melepaskan bunyi-buniyi melalui
pernafasan yang dari padanya menyebabkan perangkat mekanisme pita
6
suara bergetar menghasilkan berbagai tipe bunyi. Akibat gateran yang
dihasilkan itulah, lahirlah bunyi ujaran. Orang-orang pada kelas
primitif
yang belum mengenal peralatan maju akan mengalami beban yang sangat
berat. Oleh sebab itu, manusia kelas primitif selalu bekerja bersama-sama
dalam
menyelesaikan berbagai pekerjaan-pekerjaan yang amat berat
sekali pun. Untuk memberikan semangat kepada sesama mereka selama
bekerja, manusia-manusia kelas itu mengucapkan bunyi-bunyi yang khas –
yang selalu dipertalikan dengan pekerjaan yang sedang dikerjakannya.
Nama-nama baru akan selalu lahir dari aktivitas seperti itu dan sekali gus
nama-nama itu dipakai untuk menamakan pekerjaan mereka.
(e) Teori Isyarat
Teori ini dikumandangkan oleh Wilhelm Wundt, seorang psikolog
terkenal pada abad
XIX. Dengan berpatok tolak dari hukum psikologis,
Wundt menjelaskan bahwa setiap perasaan manusia mempunyai bentuk
expresi yag khusus, yang merupakan pertalian tertentu antara saraf
reseptor dengan saraf axeptor. Bila diamati secara mendalam dari ekspresiekspresi yang lahir, tampaklah bahwa setiap ekspresi selalu mereflekesikan
peraaan
tertentu
yang
dapat
dipakai
dalam
mengkomunikasikan
kenyataan-kenyataan.
Teori ini menjelaskan bahwa bahasa isyarat lahir dari emosi dan
gerakan-gerakan ekspresif yang tak disadari – yang menyertai emosi.
Suatu komunikasi gagasan dilakukan dengan gerakan tangan yang
mendukung gerakan-gerakan mimik. Bila seseorang diajak berbicara dalam
suatu gerakan yang disepakati maka lahirlah suatu kesepahaman, dan
melalui proses kesepahaman itu selalu lahir dan dikembangkan dari suatu
proses berpikir yang sama. Kesepahaman itu kemudian terbentuk dan
terakumulasi dalam gerakan-gerakan konkrit yang tak disadari. Gerakangerakan konkrit yang tidak disadari itu lambat laun diganti oleh gerakangerakan yang disadari.
Berdasarkan konten ideasional inilah,
gerakan-gerakan pengungkap
emosi berubah menjadi pengungkap gagasan. Pada saat yang sama terjadi
alih-fungsi komunikasi, dari
mengenal pengalaman manusia berubah
7
menjadi mwujudkan komunikasi pikiran. Wujud konkrit yang lahir pada
masa inilah yang dinamakan bahasa.
Perlu diingat bahwa, komunikasi untuk mendengar memungkinkan
manusia
menciptakan
jenis
gerakan
yang
ketiga
yakni
gerakan
artikulatoris, di samping gerakan mimietik dan pantomimiek yang sudah
ada. Dijelaskannya pula bahwa walaupun bahasa isyarat merupakan
bahasa primitif, tetapi Wundt, dkk sama sekali tidak menegaskan bahwa
artikulatoris berkembang dari bahasa isyarat. Wundt menganggap bahwa
kedua hal itu (artikulasi dan isyarat) dipakai bersama-sama, kemudian
bahasa ujaran memperoleh status yang lebih tetap karena flexibilitasnya
dan kemampuannya untuk mengadakan abstraksi.
(f) Teori Permainan Vokal
Jespersen seorang filolog Denmark menyimpulkan bahwa bahasa
primitif manusia menyerupai bahasa anak-anak. Keputusan Jespersen
diumumkan setelah dilakukannya penelitian bahasa anak-anak, bahasa
suku-suku primitif, dan sejarah bahasa-bahasa. Bahasa manusia pada
mulanya berwujud dengungan dan senandung yang tak berkeputusan yang
tidak mengungkapkan pikiran apa pun, sama seperti suara senandung
orang tua dalam membuat dan menyenangkan bayi. Bahasa lahir dari
suatu
permainan vokal, didukung oleh ujaran-ujaran. Dengungan dan
senandung itu bermula dari suatu kebiasaan mengisi waktu senggang.
Kesan Jespersen, bahwa bahasa yang terjadi dari dan berkembang dari
kata-kata hasil dengungan dan senandung itu sesungguhnya merupakan
suatu bentuk lahir
Walaupun
yang sangat kaku, yang rumit, dan bahkan kacau.
demikian,
bahasa
yang
lahir
dari
proses
seperti
itu
kecenderungan untuk berkembang lambat – kendatipun “dia” terus
bergerak maju menuju ke suatu yang lebih jelas, teratur, dan mudah.
Hasil
permenungan
Jespersen
menegaskan
bahwa
sesungguhnya
bahasa manusia mula-mula bersifat puitis yang lahir dari permainan yang
gembira, dalam suatu impian yang romantik. Perkembangan selanjutnya
teori ini kemudian berusaha untuk menjembatani upaya penyatuan
kesenggangan antara vokalisasi emosional dan ideasional.
8
(g) Teori Isyarat Oral
Teori ini dikumandangkan oleh Sir Richard Piaget dalam bukunya Human
Speech.
Dalam
upaya
memperkuat
mengemukakan bukti-bukti yang selalu
teorinya,
Richard
Piaget
bertolak dari zaman bahasa
isyarat. Bahwa ketika manusia mulai menggunakan peralatan, tangan
manusia
dipenuhi barang-barang sehingga manusia tidak secara bebas
berkomunikasi. Berdasarkan hal itulah manusia selalu menggunakan oral
(mulut) untuk membuat isyarat, yang sejatinya dilakukan dengan tangan
(baca Keraf, 1996:9 – 11).
(h) Teori Kontrol Sosial
Teori ini diajukan oleh Grace Andrus de Laguna dalam bukunya Speech:
Its Function and Development. Menurut teori ini, ujaran adalah suatu
medium yang besar yang memungkinkan manusia bekerja sama. Bahasa
(ujaran) merupakan upaya yang mengkoordinasikan dan menghubungkan
teriakan hewan (cry) dan panggilan (call) yang memiliki fungsi sosial.
Panggilan yang merupakan bahasa dari seekor induk ayam ketika seekor
elang terbang melintasi di atasnya, membangkitkan respon tertentu pada
anak-anak ayam untuk mencari tempat persembunyian. Kontrol sosial yang
berwujud teriakan binatang dihubungkan dengan tingkah laku sederhana
manusia
dan
kemampuan
yang
masih
rendah
dari
spesies
yang
bersangkutan.
Dewasa ini kompleksitas hidup semakin bertambah disertai perubahanperubahan yang terjadi pada habitat itu dari jangkauan kegiatan yang
cenderung
meluas
secara
konstan,
yang
semuanya
menciptakan
kebutuhan akan kerja sama yang lebih kompak, baik untuk mengadakan
pertahanan bersama maupun untuk mengadakan serangan-serangan
bersama.
kelompok.
Keamanan
Perubahan
kelompok
dalam
semakin
kontrol
tergantung
ssial
ini
dari
solidaritas
memerlukan
pula
pengembangan suatu alat kontrol yang lebih ampuh. Sebab itu timbullah
perbedaan antara proklamasi
dan perintah. Tiap tipe situasi akan
memerlukan tipe respons yang berlainan yang perlu dikembangkan dalam
kelompok. Dan situasi yang khusus itu perlu juga dikembangkan suatu alat
yang khusus.
9
Perubahan-perubahan dalam cara hidup manusia menyebabkan cry dan
call sama sekali tidak mencukupi kebutuhan dalam berkomunikasi.
Perubahan dari manusia yang arboreal (manusia yang hidup di atas
pohon), ke manusia yang hidup dan tinggal di tanah menyebabkan
perubahan dalam susunan urat saraf yang cukup kompleks dan fleksibel
untuk manata kembali suatu kehidupan yang lebih tinggi tingkatannya.
Semakin
meningkatnya
komplesitas,
organisme
manusia
pun
harus
menjadi lebih sensitif untuk membuat variasi-variasi yang lebih halus
dalam membuat rangsangan (baca de Laguna dalam Keraf, 1996:11-12).
Ketika (cry) manusia primitif berakhir sebagai determinan langsung dari
tingkah laku kelompok, ia berubah menjadi proklamasi yang sesungguhnya
sebagai penentu bermacam-macam tingkah laku kelompok, dan sebagai
alat untuk membangkitkan dan mengonsentrasikan persiapan bagi tindaktanduk yang akan dilakukan. Ketidaklangsungannya sebagai alat kontrol
sosial adalah sesuai dengan tingkat kebebasan ekspresi emosional di satu
pihak dan fungsi simbolisme yang asli di pihak yang lain.
Pemisahan teriakan dari sebegitu banyaknya teriakan menuju pada
ekspresi yang lain yang memungkinkan teriakan itu dipergunakan dalam
kapasitas yang lain. Teori ini membandingkjan pemakaian bunyi-bunyi
vokal manusia primitif dengan bunyi yang digunakan oleh manusia dewasa
ini. Pandangan ini sependapat dengan Jespersen, yakni bahwa permainan
vokal adalah unsur yang penting pada waktu lahirnya bahasa. Bunyi-bunyi
yang
digunakan
dalam
bentuk
tindak-tanduk
itu
sendiri
memang
menyenangkan, tetapi juga ada kesenangan dalam tindak-tanduk itu
sendiri. Ketika bunyi-bunyi itu dipakai secara sistimatik untuk mengontrol
tingkah laku orang-orang lain yang mengacu pada objek-objek selama
permainan berlangsung, nama-nama itu menjadi kata dan masuk sebagai
unsur dalam struktur bahasa. Bila kita tengok ke belakang, teori ini ibarat
seorang bayi yang kelaparan. Ketika seorang bayi hendak mengucapkan
bunyi-bunyi ”din-din now”, bayi itu secara otomatis mulai bicara dalam arti
kata yang sesungguhnya.
(i) Teori Kontak
Dalam bukunya The Origins and Prehistory of Language, G. Reveesz
menjelaskan asal-usul bahasa berdasarkan TEORI KONTAK. Sebagian teori
10
ini menyerupai teori kontrol sosial yang diajukan Adam Smith. Namun,
bagian-bagian yang penting meyerupai teori kontrol sosial-nya Laguna.
Teori
ini
menjelaskan
bahwa
hubungan
sosial
pada
mahluk
hidup
memperlihatkan bahwa kebutuhan manusia untuk mengadakan kontak
satu sama lain tidak pernah memberikan kepuasan antara individu. Pada
tahap yang sangat rendah, yakni pada tingkat instingtif – kebutuhan
untuk mengadakan kontak tampaknya dapat dipenuhi oleh kontak spesial.
Tetapi
semakin
kehidupan
dilapisi
oleh
pengalaman
yang
terarah,
keinginan akan kontak spesial (kontak karena kerapatan jarak fisik) tadi
akan menjelma menjkadi suatu keinginan untuk mengadakan kontak
emosional. Pada tingkatan ini kepuasan manusia karena kedekatan
emosinal dengan yang lain yang akan menibulkan pengertian, simpati, dan
empati pada orang lain tercapai. Kontak emosional adalah hal biasa dan
esensial pada tingkah laku berbahasa. Bahasa hanya mungkin ada bila ada
hubungan personal atau kontak emosional antara orang-orang yang
mampu berbicara.
Aspek terakhir dari kontak yang sangat esensial dari perkembangan
bahasa
adalah
kontak
intelektual.
Kontak
ini
berfungsi
untuk
menyampaikan pikiran. Hal ini berlaku secara filogenetis, bahwa bahasa
dapat lahir sesudah tercapai prakondisi untuk kontak emosional dan kontak
intelektual pada anggota-anggota masyarakat primitif.
(j) Teori Hockett-Ascher
Dengan
arkeologi
mempertimbangkan
dan
data-data
evolusi
geologis,
manusia
Hockett-Ascher
berdasarkan
data
mengupas
lebih
menyeluruh perihal adanya bahasa manusia dalam bukunya The Human
Revolution. Hockett-Ascher merumuskan bahwa sekitar dua sampai satu
juta tahun yang lalu, makhluk yang disebut PROTO-HOMINOID sudah
memiliki semacam bahasa. Primat PROTO-HOMINOID ini dianggap memiliki
semacam sistem komunikasi yang disebut call. Makhluk proto-hominoid
adalah makhluk arboreal – hidup mereka berkelompok-kelompok antara 5 –
30 anggota. Mereka menggunakan tongkat dan batu sebagai peralatan
kerja.
Proto-hominoid tidak memapu berbicara. Mereka menggunakan sistem
komunikasi seperti yang terdapat pada GIBBON MODERN. Dari penelitian
11
mendalam ditemukan suatu teori bahwa sistem call yang digunakan oleh
makhluk proto-hominoid itu dikenallah dua sistem komunikasi yang masih
bertahan sampai dewasa ini, yakni sistem komunikasi yang diturunkan
pada Gibbon modern dan yang lainnya berkembang menjadi bahasa nenek
moyang manusia.
Call merupakan suatu sistem yang komunikasi sederhana, terdiri atas
enam tanda distingsi, sesuai dengan situasi yang dihadapi. Keenam
perbendahaan call itu diuraikan:
(a)
call untuk menandakan adanya makanan,
(b)
call untuk menyatakan adanya bahaya,
(c)
call
untuk
menyatakan
persahabatan
atau
keinginan untuk bersahabat,
(d)
call
yang
tidak
mempunyai
arti
dan
hanya
menunjukkan dimana seekor Gibbon berada – call ini berfungsi untuk
menjaga agar anggota kelompok jangan berpisah terlalu jauh ketika
mereka bergerak di antara pohon-pohonan,
(e)
call untuk perhatian sexual,
(f)
call
untuk
menyatakan
kebutuhan
akan
perlindungan keibuan.
Untuk menyatakan sifat stimulus yang dihadapi setiap call dapat
bervariasi berdasarkan intensitasnya, lamanya, dan jumlah perulangannya.
Tiap call bersifat exklusif dan timbali-balik. Ciri exklusif yang timbali-balik
ini secara teknis disebut sistem tertutup (clossed system), sebaliknya
bahasa yang digunakan manusia dewasa ini sifatnya terbuka (open
system). Sistem call dan bahasa berbeda dalam tiga hal - sebagaimana
diuraikan berikut.
(1) Sistem call tidak mengandung ciri pemindahan (displacement),
bahasa justru memiliki ciri ini. Ciri pemindahan mengandung
pengertian bahwa kita dapat berbicara dengan bebas mengenai
suatu hal yang jauh letaknya dari pandangan kita, atau sesuatu
yang berada dalam masa lampau, atau yang
ada pada masa
datang, bahkan kita bisa berbicara mengenai sesuatu yang tidak
ada. Gibbon tak akan mengeluarkan call mengenai makanan
kalau tidak ada makanan, atau ia tidak akan melakukan call jika
yang dimaksudkan adalah ”tadi ada makanan tetapi sekarang
12
sudah tidak ada makanan”, atau Gibbon lainnya juga tidak akan
merespons bila ”mereka akan menunggu makanan berikutnya”.
Atau, Gibbon yang mendapat makanan akan berlari ke markas
induknya
untuk
menyebarkan
informasi
bahwa
ia
sudah
menemukan makanan di suatu tempat, dan ia akan berada di
tempat itu setelah mengeluarkan makanan.
(2) Ujaran dari suatu bahasa terdiri atas susunan unit-unit tanda
yang disebut fonem yang tidak mengandung makna, tetapi
berfungsi untuk memisahkan ujaran-ujaran yang bermakna satu
dengan yang lainnya. Jadi, ujaran memiliki dua hal, yakni struktur
dari ujaran yang tidak mengandung makna, tetapi bisa dibedakan
satu dari yang lain, dan juga sebuah struktur dari unsur-unsur
yang
mengandung
makna.
Sistem
ini
disebut
dengan
kekembaran pola (duality of patterning). Sebuah call tidak
memiliki ciri ini. Perbedaan antara dua call bersifat global.
(3) Konvensi-konvensi dari sebuah bahasa yang dialihkan secara
tradisional,
walaupun
kepastian
mempelajari
bahasa
dan
rangsangan untuk berbahasa bersifat genetis. Hal ini belum
dipastikan mengenai Gibbon, walaupun telah dicatat bahwa ada
berbedaan regional dari call Gibbon. Sebab itu dapat disimpulkan
bahwa call proto-hominoid diteruskan dari generasi ke generasi
dilakukan secara genetis.
Menurut Hockett-Ascher, sekitar 1.000.000 – 40.000 tahun yang lalu,
proto-hominoid perlahan-lahan berkembang menjadi kera pra-manusia.
Dalam suatu peristiwa yang sangat penting kelompok proto-hominoid
berpindah
dan membuat tempat kediaman mereka di tanah dengan
cara yang sangat kasar (Keraf, 1996:17-21).
Perlu dicatat bahwa lahirnya ssuatu bahasa dari sistem
call
hendaknya ditanggapi secara wajar. Ciri-ciri khusus dari sistem call
proto-hominoid masih dapat dijumpai dalam tingkah laku manusia pada
tingkat vokal-auditoris, yang bukan sebagai bagian dari bahasa, tetapi
sebagai kesetaraan dalam penggunaan bahasa.
Proto-hominoid dapat meragamkan intensitas, nada, dan durasi;
kadang-kadang juga manusia
berbicara sangat keras, kadang-kadang
dengan lemah lembut, dan kadang-kadang dengan register yang lebih
13
tinggi dan kadang-kadang lebih rendah. Manusia masih menggunakan
gerutu, desah, atau teriakan-teriakan yang bukan kata atau morfem,
juga semuanya itu bukan bagian dari bahasa.
Bermacam-macam
fonomenon-fenomenon paralinguistik ini diolah kembali dan diubah
dengan
banyak
cara
berdasarkan
kondisi
hidup
manusia,
tetapi
silsilahnya tetap lebih tua dari bahasa itu sendiri.
LANGKAH 03
Durasi Waktu
1 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
KEGIATAN PADA LANGKAH 03
1) Mahasiswa dibagikan lembaran latihan untuk dikerjakan secara
berkelompok. (Lembaran soal: tersendiri)
2) Hasil kerja kelompok disampaikan dalam pleno kelas.
3) Pendamping mendampingi diskusi mahasiswa.
LANGKAH 04
Durasi Waktu
1 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
KEGIATAN PADA LANGKAH 04
1) Pendamping mengajak mahasiswa mereview proses dan materi
perkuliahan
tentang
ADANYA
BAHASA
MANUSIA:
SUATU
TINJAUAN HISTORIS.
2) Mahasiswa disampaikan tugas pengayaan untuk dikerjakan di rumah.
(Lembaran informasi tugas: tersendiri).
D. PENILAIAN
Untuk
menilai
keberhasilan
mahasiswa
dalam
PERKULIAHAN
INI,
digunakanlah tiga model penilaian, yakni penilaian proses, portofolio, dan
hasil kerja. Butir-butir penilaian disiapkan dalam lembar kerja mahasiswa.
14
Pendamping diharapkan merekam seluruh proses sejak awal kegiatan,
proses kegiatan di kelas, dan tugas-tugas sebagai salah bentuk portofolio..
(Lembar penilaian: terlampir).
BACAAN PENGAYAAN
o
Alwasillah,
chaedar.
1983.
Linguiustik:
Suatu
Pengantar.
Bandung: Angkasa.
o
Keraf, Gorys. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: PT
Grammedia.
o
o
o
------------------- 1984. Komposisi: Sebuah Kemahiran Berbahasa.
Ende: Nusa Indah.
Parera, Jos Daniel. 1991. Kajian Linguistik Umum, Historis
komparatif, dan Tipologi Struktural. Jakarta: Erlangga.
Pateda, Mansoer. 1994. Linguistik: Sebuah Pengantar. Bandung:
Angkasa.
o
Sanda, Fransiskus. 2000. “Pengantar Linguistik: Bahan Ajar.”
Kupang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univ. Nusa
Cendana.
15
BAGIAN DUA
HAKEKAT DAN CIRI BAHASA
(1 x 150 menit)
A.
PENGANTAR
Sudah jam tujuh, saya terlambat ke sekolah.
Pateda (1994) menjelaskan rumusan
terlambat ke sekolah”
“sudah jam tujuh, saya
merupakan serentetan bunyi artikulatif yang
lahir dari seseorang penutur dalam satuan
rumusan yang bermakna.
Pateda (1994) menjelaskan, bahwa gambaran peristiwa yang tergambar
dari sudah jam tujuh saya terlambat ke sekolah, hanya dapat dipahami dan
diterima oleh pihak-pihak yang memiliki pengalaman yang sama.
Gambaran rumusan peristiwa tersebut
tidak akan terjadi bagi pihak-
pihak yang memiliki latar bahasa Dawan, Tetun, Jerman, Inggris, atau
yang lain-lainnya.
B.
TUJUAN
Setelah
pembahasan
ini,
mahasiswa
menjelaskan hakekat bahasa secara benar.
C.
BAHAN DAN ALAT
c.1 Referensi yang Digunakan
16
diharapkan
mampu
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik, hal. 21. PT.
Grammedia: Jakarta.
Pateda, Mansoer. 1994. Linguistik Terapan, hal. 18. Penerbit
Nusa Indah: Jakarta. Bandung: Angkasa.
Parera, Jos Daniel. 1991. Kajian Linguistik Umum, Historis
komparatif,
dan
Tipologi
Struktural. Jakarta:
Erlangga.
Sumarsono, dkk. 2002. Sosiolinguistik, hal. 8. Yogyakarta:
Penerbit Sabda.
Sanda, Fransiskus. 2000. ”Pengantar Linguistik:
Bahan
Ajar.” Kupang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Univ. Nusa Cendana.
c.2 Bahan dan Alat
Komputer, LCD, Meta-plano, Flipchart, Bahan ajar/ handout
D.
LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN
PENYAJIAN
PENYAJIAN
AWAL
AWAL
(1O’)
(1O’)
PENJELASAN
PENJELASAN
MATERI
MATERI
POKOK
POKOK
(15’)
(15’)
DISKUSI KELOMPOK
(45’)
REVIEW
REVIEW
(10’)
(10’)
EVALUASI
EVALUASI
(25’)
(25’)
PLENO HASIL
PLENO HASIL
DISKUSI
DISKUSI
(45)
(45)
Langkah 1: PENYAJIAN AWAL (1O MENIT)
Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan proses langkah ini lebih
kurang 10 menit, dengan alur proses sebagai berikut.
1) Mahasiswa
diajak
duduk
berkelompok,
yang
setiap
pre-test
yang
kelompoknya beranggotakan 3 – 5 orang.
2) Mahasiswa
distimulasi
dengan
berkisar sekitar “hakekat bahasa”.
17
soal-soal
3) Pendamping dapat memastikan bahwa mahasiswa telah
memiliki pengetahuan siap yang memadai tentang “hakekat
bahasa”.
4) Mahasiswa diberi kesempatan mencermati materi “hakekat
bahasa”.
5) Hasil pre-test mahasiswa (pada butir 2) dapat dijadikan
pendamping
sebagai bahan stimulan untuk pembelajaran
selanjutnya.
Langkah 2: PENJELASAN MATERI POKOK (15 menit)
Materi pokok “hakekat bahasa” disampaikan dalam bentuk
powerpoint diselingi penjelasan dan tanya jawab.
Langkah 3: DISKUSI KELOMPOK (45 MENIT)
Pada langkah ini, mahasiswa dibagikan soal-soal diskusi melalui
LKM (lembar kerja mahasiswa).
Soal-soal diskusi dapat dilihat pada
LKM.
Langkah 4: PLENO HASIL DISKUSI (45 MENIT)
Langkah ini mengikuti alur belajar sebagai berikut.
1) Setiap kelompok menanfaatkan waktu 5 menit sacara baik untuk
mempresentasikan hasil diskusi kelompok. Waktu yang disiapkan
untuk setiap itu untuk melakukan kegiatan presentasi, tanggapan,
dan
penyampaian
rangkuman
oleh
Penetapan waktu tersebut akan
pemahaman
mahasiswa
kelompok
pengamat.
disesuaikan dengan tingkat
terhadap
materi
saji
dan
waktu
kadang
terjadi
dimulainya kegiatan diskusi kelompok.
2) Untuk
menghindari
“terbengkelainya”
(yang
sebagai akibat peristiwa debat kusir) penyampaian dan tanggapan
hasil pleno kelompok,
pendamping menyiapkan satu kelompok
belajar di antara kelompok-kelompok yang ada untuk merekam
seluruh proses dan hasil diskusi kelompok. Strategi seperti ini juga
terjadi
ketika
diskusinya.
kelompok-kelompok
Pertimbangan
lain
18
lain
dari
menyampaikan
strategi
ini,
hasil
yakni
mempermudah proses
penyimpulan yang akan dilakukan pada
langkah 5.
Langkah 5: REVIEW (10 MENIT)
1) Mahasiswa diajak mereview atau merangkum seluruh isi sajian
pada pertemuan ini.
2) Demi
penyempurnaan
pendamping
perlu
hasil
review
menyampaikan
atau
materi
hasil
rangkuman,
pengayaan
yang
berhubungan dengan pertemuan ini.
3) Sebagai akhir dari pertemuan ini, kepada mahasiswa disampaikan
tugas pengayaan untuk dikerjakan secara kelompok di luar waktu
tatap muka.
4) Perlu diingat, bahwa peran dosen pada seluruh langkah kegiatan
adalah sebagai fasilitator, motivator, dan observer.
E.
BAHAN BACAAN UNTUK MAHASISWA DAN DOSEN
HAKEKAT BAHASA
Sudah jam tujuh, saya terlambat ke sekolah.
Pateda (1994) menjelaskan rumusan
terlambat ke sekolah
Sudah jam tujuh, saya
merupakan serentetan bunyi artikulatif yang lahir
dari seseorang penutur bahasa dalam satuan rumusan yang bermakna.
Jika dianalisis,
pertanyaan-pertanyaan yang lahir barangkali
sebagai
berikut.
o
Siapa yang berartikulasi? ”Saya” (orang).
o
Perihal apakah yang disampaikan ”saya?” ”Sudah jam tujuh”.
o
Pertanyaan selanjutnya, ”maksud apakah yang terkandung dalam ”sudah jam
tujuh itu?” ”Saya sudah terlambat ke sekolah”.
Jika
direnungkan,
sesungguhnya
serentetan
bunyi
yang
digambarkan dalam deretan “sudah jam tujuh saya terlambat ke
19
sekolah” itu memantulkan amanat dari seseorang pemakai bahasa
(Indonesia), dan dari deretan bunyi itulah memantulkan makna yang
sempurna, dan oleh kesempurnaan jualah amanat itu dapat ditanggapi
secara sempurna pula oleh para pemakai bahasa Indonesia, dan
dipastikan tidak bertentangan dengan:
Sudah jam tujuh, saya sudah terlambat ke sekolah.
Pateda (1994) menjelaskan, pesan peristiwa tersebut ditanggapi
secara baik hanya karena pihak-pihak yang memiliki pengalaman yang
sama benar-benar memahami pesan itu secara baik pula. Tentu saja,
gambaran pesan itu tidak akan terjadi untuk pemakai bahasa: seperti
Dawan, Tetun, Jerman, Inggris, atau yang lainnya.
1. Apa itu bahasa?
Bloomfield
(Sumarsono,
2002:18;
baca
juga
Kridalaksana
2001:21) mendefinisikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang
bersifat sewenang-wenang (arbitrer), dipakai oleh anggota masyarakat
untuk saling berhubungan, berinteraksi, dan mengidentifdikasikan diri.
Definisi Bloomfield itu dipandang Archibal A Hill (lihat Pateda, 1994:7),
tidak hanya mengandung makna berinteraksi, dan mengidntifikasi diri,
tetapi bahasa memiliki sifat yang sempurna dan universal.
Definisi
tersebut dinilai Chaer (2003:30-31), memiliki dua
kandungan, yakni
kandungan hakekat, dan kandungan fungsi.
Terhadap kandungan pertama, Chaer mengartikannya sebagai suatu
sistem yang sistematik dan sistemis, sama dengan sistem lambang
lainnya.
Chaer menjelaskan, sistem bahasa tidak bersifat tunggal,
tetapi dibangun dari sejumlah subsistem seperti fonem (dalam tataran
fonologis), kalimat (dalam tataran sintaksis), dan leksem (dalam tataran
leksis). Masih oleh Chaer, bahasa dan juga yang lainnya
adalah
lambang, tetapi sistem pada bahasa adalah bunyi, berbeda dengan
lambang-lambang
lalu lintas jalan yang dipasang di jalan-jalan, dan
sebagainya. Walaupun demikian, oleh Chaer dipertanyakan, apakah
bahasa atau yang lainnya, sama-sama memiliki sifat arbiter-konvesional
20
dan wajib hubungannya antara lambang yang tampak dengan konsep
yang dilambangkannya?
2. Ciri Universal
Para ahli bahasa menemukan sejumlah ciri universal bahasa
diuraikan sebagai berikut.
a)
Sistemis dan Sistematis.
Sebagai suatu sistem, bahasa
terdiri atas sejumlah unsur yang tersusun secara teratur yang
masing-masing unsurnya saling bekerja sama, berhubungan satu
sama lainnya. Unsur-unsur
itu diuraikan sebagai bunyi,
bentuk,
makna, fungsi, struktur, proses, dan unsur para-lingual.
b)
Lambang Bunyi. Satuan unsur mulai dari unsur yang paling
rendah dalam suatu hierarkis bahasa sampai pada suatu tingkat yang
tertinggi itu berwujud lambang atau simbol bunyi yang artikulatif.
Lambang
kata,
atau simbol yang tertata dalam satuan fonem, morfem,
frase, klausa, kalimat, dan wacana itu bermuara pada suatu
pengertian utuh, yakni satu satuan konsep, satu satuan ide, atau satu
satuan pikiran.
c)
Bersifat Arbitrer.
Lambang bunyi yang bersistem itu
berhubungan secara wajib dengan konsep, ide, atau pengertian yang
dikandungnya. Sebagai misal, suatu deretan
lambang bunyi yang
membentuk kembang mengacu pada makna bakal buah. Makna
bakal
buah
dari
leksem
lambang
itu
adalah semena-mena,
sewenang-wenang, dan manasuka, dan hanya untuk pemakai bahasa
Indonesia dan tidak untuk pemakai bahasa lain, seperti Inggris,
Jerman,
Tetun,
Lamaholot,
kembang bagi orang
dan
lain-lainnya.
Dengan
demikian,
Inggris adalah hasil kesepakatan atau
konsensus orang Inggris. Begitu pun, bagi pemakai yang berbahasa
Jerman, Tetun, Lamaholot, atau pun Dawan. Berdasarkan keadaan
itulah, lahirlah keberbagaian bahasa di atas muka bumi ini.
21
d)
Bermakna. Satuan-satuan lambang sistematis itu,
baik
yang mempunyai rujukan yang jelas maupun yang tidak mempunyai
rujukan,
semuanya
digunakan
secara
fungsional
untuk
berkomunikasi dan mengidentifikasi diri oleh para pemakainya. Oleh
karena itu, suatu makna mengikuti lambang-lambang dan memiliki
sifat yang sempurna.
e)
Konvensional. Agar komunikasi sosial dalam suatu kelompok
pemakai bahasa berjalan dengan lancar dan tidak terjadi hambatan
karena salah paham atau salah pengertian, semua anggota kelompok
masyarakat pemakai bahasa tertentu mestinya memahami konvensi
keterkaitan lambang bunyi yang digunakannya itu dengan konsep,
ide, pengertian, atau pikiran yang mewakilinya. Kekonvensionalan
bahasa terletak pada ketaatan dan kepatutan para penuturnya untuk
menggunakan lambang bunyi itu sesuai dengan konsep yang
dilambangkannya.
f)
Unik.
Setiap bahasa memiliki ciri yang spesifik dan unik.
Artinya, lambang atau bentuk, struktur, dan makna yang dimiliki oleh
suatu bahasa tidak sama dan bahkan tidak dimiliki oleh bahasa yang
lain. Bahwa ciri khas itu mengenai seluruh tataran kebahasaan, mulai
fonem, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, sampai pada suatu
wacana yang luas dan kompleks. Keunikan bahasa juga dapat terjadi
pada struktur supra segmental seperti nada, tekanan, intonasi, jeda.
g)
Bervariasi.
Setiap
kelompok
sosial
atau
kelompok
masyarakat bahasa mempunyai perbedaan akibat adanya tingkat
pendidikan, staus sosial, tempat tinggal, letak geografis, umur,
profesi-keahlian,
pekerjaan,
budaya,
dan
lain-lainnya.
Karena
perbedaan-perbedaan itulah maka lahirlah variasi-variasi atau ragamragam bahasa. Misalnya, ada ideolek sarjana, ada idiolek masyarakat
pesisir, ada idiolek pejabat, ada idiolek baku, ada idiolek resmi, ada
22
idiolek masyarakat adat, dan sebagainya. Koine (variasi bahasa) yang
digunakan oleh masyarakat yang merasa dirinya petinggi
akan
berbeda dengan masyarakat kelas petani, nelayan, atau masyarakat
penutur kebanyakan.
h)
Produktif.
Meskipun jumlah unsur-unsur pembentuk suatu
bahasa seperti fonem, morfem, kata, kalimat, dan wacana
itu
terbatas, unsur-unsur itu dapat menurunkan satuan-satuan baru yang
jumlahnya tak terbatas. Misalnya, dengan sejumlah kosa kata seperti:
saya, gunung, laut, mereka, ke, dan, orang dapat secara
produktif memformulasikan berbagai-bagai kalimat dengan makna
yang tak terbatas.
Saya ke gunung dan mereka ke laut;
Saya ke laut dan mereka ke gunung;
Saya, mereka ke laut dan ke gunung, dan seterusnya.
i)
Dinamis dan Berkembang. Bahasa itu selalu berubah dan
berkembang
sesuai
dengan
perubahan
dan
perkembangan
masyarakat penuturnya. Sebelum tahun 1965, kata gerombolan
digunakan
tanpa
ada
dampak
politisnya.
Namun,
setelah
pemberontakan G30S/PKI, kata itu berdampak pada kelompok yang
mengacu pada pengertian yang lain. Kata tikus mengacu pada suatu
benda, hewan atau binatang jenis pengerat. Ikuti contoh formulasi
kalimat:
Sebidang sawah milik Bapak Siso habis dimakan tikus sawah.
Bandingkan formulasi di atas dengan:
Dana purnabakti sejumlah pensiunan guru SD tahun 2007
Kecamatan Siso, habis dimakan tikus pengurus.
F.
LEMBAR KERJA MAHASISWA (LKM)
Petunjuk: Kerjakanlah dalam kelompok!
1)
Bahasa adalah suatu sistem bunyi? Jelaskanlah
sistem fonologis bahasa Anda?
2)
Jika penutur pada kampung seberang, sedikit
pun tidak mengerti bahasa yang Anda gunakan, apakah artinya
23
bahwa bahasa Anda berbeda dengan orang-orang di kampung
seberang? Jika berbeda, mengapa hal itu terjadi?
3)
Bahasa
adalah
suatu
sistem
yang
konvensional? Jelaskan dari sisi sintaksis!
4)
Tuturan manusia, jelas berbeda dengan tuturan
hewan. Di manakah letak perbedaan yang paling hakiki?
5)
Pada sekitar tahun 1960-an, kata “oknum,
gerombolan, diamankan”, dirasakan meresahkan masyarakat
Indonesia. Jelaskanlah dari sisi makna!
G.
TES
AKHIR( 25 MENIT)
Petunjuk: jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut secara
singkat!
1) Apa itu “bahasa” menurut Bloomfield?
2) Unsur-unsur apa sajakah yang Anda dapatkan dari batasan
Bloomfield itu?
3) Sebutkan ciri-ciri universal dari bahasa!
4) Menurut Anda, apakah bahasa Indonesia yang digunakan oleh
masyarakat penutur Bahasa Dawan di kota So’e, sama dengan
bahasa Indonesia yang digunakan oleh masyarakat penutur
Bahasa Malayu Kupang di Kodya Kupang?
5) Salah satu ciri bahasa adalah “dinamis dan bervariasi”.
Jelaskan maksud tersebut!
24
BAGIAN TIGA
KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA
A. INDIKATOR PENCAPAIAN HASIL BELAJAR
Mahasiswa mampu menjelaskan bahwa:
1.
kedudukan Bahasa Indonesia dalam perpolitikan Indonesia
2.
fungsi
Bahasa
Indonesia
dalam
berbagai
aspek
kehidupan
masyarakat Indonesia.
LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN
LANGKAH 01
Durasi Waktu keg.
1 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
KEGIATAN PADA LANGKAH 01
5) Mahasiswa distimulasi dengan beberapa pertanyaan:
o
Menurut pendapatmu, Bagaimanakah kedudukan bahasa
Indonesia dalam duania perpolitikan dewasa ini?
o
Menurut pendapatmu, bagaimanakah fungsi praktis
funsi pendidikan bahasa Indonesia dalam
dewasa ini?
25
dan
dunia pendidikan
6) Pendamping memastikan bahwa mahasiswa dapat menemukan
jawaban tersebut sesuai dengan pemahaman mereka masingmasing.
7) Pendamping diharapkan lebih banyak bersabar selama mahasiswa
berupaya menemukan jawaban.
LANGKAH 02
Durasi Waktu keg.
2 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout Penulisan
Artikel
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
B. BACAAN PENGAYAAN
Halliday,M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks,
dan Teks: Aspek-Aspek bahasa dalam Pandangan Semiotik
Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Press.
Keraf, Gorys. 1997. Komposisi. Ende: Nusa Indah.
Kridalaksana,
Harimurti.
1995.
“Pendayagunaan
Potensi
Intern dan Extern dalam Pengembangan Bahasa Indonesia
dan Peningkatan Budaya bangsa”. Makalah yang disajikan
dalam Seminar nasional Sejarah Bahasa Indonesdia dalam
Perjalanan Bangsa.” Denpasar, Bali: Univ Udayana.
---------------------.
1991.
Masa
Lampau
Bahasa
Indonesia:
Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Pateda Mansoer. 1991. Linguistik Terapan. Ende: Nusa Indah.
Sa’adie, Maimur, dkk. 1997. Bahasa Bantu. Jakarta: Depdikbud,
bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III tahun 1997/1998.
KEGIATAN PADA LANGKAH 02
3. Mahasiswa dibagikan Handout
KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA
INDONESIA untuk dicermati, baik secara berkelompok maupun
secara mandiri.
4. Materi Pengayaan
26
KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA
(2)
Kedudukan Bahasa Indonesia
Kedudukan
bahasa adalah suatu status relatif bahasa sebagai sistem
lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial yang
dihubungkan dengan bahasa yang bersangkutan (Politik Bahasa Nasional
2:145). Sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia memiliki status tertinggi.
Secara tegas, kedudukan ini dimilikinya sejak diikrarkannya oleh para pemuda
dalam Sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Selain berkedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga
berkedudukan sebagai bahasa negara atau bahasa resmi. Hal ini juga
ditegaskan dalam UUD ’45, Bab XV pasal 36. Dalam dokumen tertinggi itu
Bahasa Indonesia dimaklumatkan sebagai bahasa negara.
(3)
Fungsi Bahasa Indonesia
Sebelum kita berbicara tentang fungsi Bahasa Indonesia, alangkah
baiknya kita berbicara sejenak perihal fungsi bahasa pada umumnya.
Keraf (1997:3-6) menuliskan bahwa secara umum bahasa berfungsi
sebagai berikut.
(a) Untuk menyatakan ekspresi diri. Fungsi tersebut mengidikasikan bahwa
melalui bahasa, manusia dapat menyatakan diri secara terbuka tentang
segala sesuatu yang tersirat dalam “dadanya”, sekurang-kurangnya
untuk memaklumatkan keberadaan dirinya.
Faktor-faktor yang yang
mendorong lahirnya fungsi ini adalah:
ketertarikan dan perhatian orang lain terhadap diri kita,
keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi.
(b) Untuk menyatakan transaksi dan komunikasi. Sebagai alat komunikasi,
bahasa merupakan saluran perumusan maksud, melahirkan perasaan,
dan memungkinkan kita bekerja sama dengan sesama warga. Fungsi ini
memiliki kekuatan, bahwa bahasa dapat mengatur berbagai macam
aktivitas kemasyarakatan, merencanakan, dan mengarahkan masa
depan
pemakainya.
Dengan
bahasa,
manusia
pemakai
dapat
menganalisis masa lampau kehidupan, menyempurnakan aktivitas
27
kehidupan masa kini, dan dapat memprediksi dan menganalisis
kehidupan pada masa yang akan datang.
(c) Alat intergrasi dan adaptasi sosial. Fungsi ini mengindikasikan, bahwa
dengan
kekuatan
bahasa,
anggota-anggota
masyarakat
dapat
dipersatukan secara efisien, dan setiap warga merasa dirinya terikat
erat dengan warga kelompok lain, karena manusia merasa bahwa ”dia”
adalah bagian dari kelompok sosial yang lebih besar. Dengan bahasa,
manusia dapat melakukan aktivitas kemsyarakatan dan menghindarkan
diri
sejauh mungkin terhadap bentrokan-bentrokan dalam kehidupan
kemasyarakatan. Bahasa juga memiliki kekuatan untuk memungkinkan
manusia
berintgrasi
(hidup
membaur)
secara
sempurna
dengan
kelompok sosial yang dimasukinya. Dengan kekuatan bahasa manusia
dapat secara perlahan-lahan belajar mengenal adat-istiadat, tingkah
laku, dan tata krama masyarakat. Manusia berusaha berdaptasi dengan
kelompok sosial lain yang tentunya memiliki tatakrama, adat istiadat
yang berbeda daripadanya.
(d) Alat kontrol sosial. Fungsi ini mengindikasikan bahwa dengan kekuatan
bahasa manusia berdaya upaya mempengaruhi tingkah laku dan tindaktanduk orang lain. Bahwa, tingkah laku manusia dapat bersifat terbuka
(overt: tingkah laku yang dapat diamati dan diobservasi) dan tingkah
laku yang bersifat tetrtutup (covert: tingkah laku yang tidak dapat
diobservasi). Dengan kekuatan bahasa manusia dapat mengadakan
kontrol sosial melalui proses-proses sosialisasi yang berwujud: (i)
keahlian bicara, (ii) pengalihan kepercayaan dan sikap orang tua kepada
anak-anak yang sedng tumbuh, (iii) melukiskan dan menjelaskan
peranan serta mampu mengidentifikasi diri dalam melakukan tindakan,
(iv) menanamkan rasa keterlibatan (sense of belonging atau esprit de
corps) pada si anak tentang masyarakat bahasanya.
Roman Jacobson (Pateda, 1991:82) menuliskan bahwa secara umum
bahasa
memiliki
fungsi
(a)
emotive
(emotif),
yang
mengacu
kepada
penggunaan bahasa dalam kaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan
pribadi
pembicara;
(b)
fungsi
referensial
(referntial)
mengacu
kepada
penggunaan bahasa yang berkaitan dengan hal, benda, proses, peristiwa yang
berada di luar pembicara atau pendengar, (c) fungsi konatif (conative)
28
mengacu
pada
penggunaan
bahasa
untuk
mempengaruhi,
mengajak,
menyuruh atau melarang, (e) fungsi puitis (poetic) mengacu pada penggunaan
bahasa yang bernilai puitis, (f) fungsi fatis (phatic) mengacu kepada
penggunaan bahasa untuk memelihara kontak antara pembicara dengan
pendengar, (g) fungsi metalingual (metalingual) mengacu kepada penggunaan
untuk menguraikan unsur-unsur bahasa itu sendiri.
Finocchiaro (Dardjowidjojo 1987) menuliskan bahwa bahasa memiliki
fungsi (a) fungsi personal mengacu kepada kemampuan pembicara atau
penulis untuk mengungkapkan pikiran, kemauan, dan perasaannya, (b) fungsi
interpersonal mengacu pada penggunaan bahasa yang berakibat pada
hubungan
pembicara
dengan
pendengar
atau
antara
penulis
dengan
pembaca, (c) fungsi direktif mengacu pada penggunaan bahasa yang
berhubungan dengan permintaan, ajakan, bujukan, perintah, dan larangan, (d)
fungsi referensial yang mengacu pada penggunaan bahasa yang berhubungan
dengan dunia luar pembicara/penulis dan pendengar/pembaca, misalnya
berhubungan dengan benda, peristiwa, dan proses, (e) fungsi imajinatif yang
mengacu kepada penggunaan bahasa yang bersifat imajinatif, misalnya dalam
menyusun sajak, cerpen, dan novel.
Blundell, cs. (Dardjowidjojo 1987:138-139) menuliskan bahwa bahasa
memiliki (a) fungsi informational, attitudinal, active yang didasarkan pada
kenyataan bahwa sebelum kita mempunyai sikap (attitude) terhadap suatu
pendapat, ujaran, kita memerlukan informasi lebih dahuulu, (b) social formula,
yakni penggunaan bahasa hanya untuk basa-basi, misalnya halo, apa khabar!
(c) pelumas komunikasi mengacu pada penggunaan bahasa yang bermaksud
agar komunikasi berjalan terus, mislnya: ah, masak, oh.... ya, mm... I see,
aha...! (d) fungsi informasi kebahasaan yang mengacu kepada informasi
kebahasaan saja.
Halliday dan Ruqaya Hasan (Asruddin B Tou) menuliskan bahwa bahasa
memiliki fungsi (a) instrumental, yang mengacu kepada penggunaan bahasa
yang menyebabkan timbulnya keadaan tertentu, misalnya: siap...., maju....,
jangan pegang bukuku!, (b) fungsi regulatory mengacu kepada penggunaan
bahasa yang bersifat memelihara, termasuk di dalamnya persetujuan,
penolakan, pengawasan terhadap tingkah laku, (c) fungsi representasional
mengacu
kepada
penggunaan
bahasa
yang
menyajikan
fakta
dan
pengetahuan, mempresentasikan kenyataan seperti yang kita lihat, misalnya
29
Inem sexi!, (d) fungsi interactional mengacu kepada penggunaan bahasa yang
beruasaha
agar
kominikasi
tertap
berjalan
lancar,
misalnya:
harus
memperhatikan situasi, norma, (e) fungsi personal, yang mengacu kepada
penggunaan bahasa yang menyatakan pikran, kemauan, perasaan pribadi, (f)
fungsi heuristic mengacu kepada penggunaan bahasa untuk
memperoleh
pengetahuan, untuk mengenal lingkungan, (g) fungsi imaginatif mengacu
kepada penggunaan bahasa untukmenciptakan ide yang imajinatif, misalnya
menciptakan sajak, novel, dan cerpen.
Berdasarkan
fungsi-fungsi
umum,
fungsi
Bahasa
Indonesia
dapat
dijabarkan, bahwa Dalam kedudukannya sebagai sebagai bahasa nasional dan
juga sebagai bahasa resmi kenegaraan Bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
(1) Sebagai lambang kebanggaan nasional.
(2) Sebagai lambang identitas nasional.
(3) Sebagai alat yang memungkinkan penyatuan suku atau etnik yang
memiliki ciri bahasa dan ciri budaya masing-masing.
(4) Sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
Di samping itu, dalam kedudukan sebagai bahasa negara atau bahasa
resmi kenegaraan, Bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
(1) bahasa resmi dalam menjalankan adminitrasi kenegaraan,
(2) bahasa pengantar dalam dunia pendidikan,
(3) alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencaraan
dan
pelaksanaan
pembangunan
nasional
serta
kepentingan
pemerintahaan,
(4) alat pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan dan teknologi
LANGKAH 03
Durasi Waktu
1 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
KEGIATAN PADA LANGKAH 03
4) Mahasiswa dibagikan lembaran latihan untuk dikerjakan secara
berkelompok. (Lembaran soal: tersendiri)
5) Hasil kerja kelompok disampaikan dalam pleno kelas.
30
6) Pendamping mendampingi diskusi mahasiswa.
LANGKAH 04
Durasi Waktu
1 x 50 menit
Media Pendukung
Lembar informasi/ Handout
Lembar kerja mahasiswa (LKM)
Sumber lain yang relevan
KEGIATAN PADA LANGKAH 04
3) Pendamping mengajak mahasiswa mereview proses dan materi
perkuliahan tentang KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA
4) Mahasiswa disampaikan tugas pengayaan untuk dikerjakan di rumah.
(Lembaran informasi tugas: tersendiri).
C. PENILAIAN
Untuk
menilai
keberhasilan
mahasiswa
digunakanlah tiga model penilaian, yakni
dalam
PERKULIAHAN
INI,
penilaian proses, portofolio, dan
hasil kerja. Butir-butir penilaian disiapkan dalam lembar kerja mahasiswa.
Pendamping diharapkan merekam seluruh proses sejak awal kegiatan, proses
kegiatan di kelas, dan tugas-tugas sebagai salah satu bentuk portofolio..
(Lembar penilaian: terlampir).
BAGIAN EMPAT
PUNGTUASI
(1 x 200 menit)
31
H.
PENGANTAR
Bahasa terdiri-dari dua aspek yakni aspek bentuk dan aspek
makna. Aspek bentuk dapat dibagi menjadi dua unsur yaitu unsur
segmental dan unsur suprasegmental. Unsur segmental dapat
dibagi-bagi atas bagian-bagian yang lebih ke