Ketahanan dan strategi pertahanan Indone

Final version, as of 24 Mei 2016

Ketahanan dan strategi pertahanan Indonesia
menuju Negara Wibawa 2045
Kusnanto Anggoro
kusnantoanggoro@gmail.com
Pendahuluan
2045 adalah tahun penting. Seratus tahun Indonesia merdeka. Pada tahun itu diharapkan
Indonesia benar-benar menjadi negara bedaulat, dan mudah-mudahan juga perkasa dan
berwibawa sebagai negara bangsa (nation state) maupun sebagai pelaku sejarah di kancah
internasional. Tujuh puluh tahun setelah merdeka (2015), semua itu masih menjadi citacita. Gema Indonesia di percaturan internasional mengalami pasang surut, begitu pula
dengan wibawa negara di wilayah nasional yang kerapkali masih terganggu dengan
berbagai riak separatisme. Diplomasi dan pertahanan, saudara kembar dalam menjaga
kedaulatan dan kewibawaan negara, kerapkali lebih menjadi instrumen untuk menjelaskan
persoalan-persoalan internal daripada sebagai instrumen untuk menebar wibawa.
Perubahan-perubahan eksternal yang terjadi, baik dimasa lalu, kini maupun di masa depan,
dipastikan akan mempengaruhi bagaimana tanggapan strategis (strategic responses).
Begitu pula halnya dengan penataan politik dalam negeri, mulai dari kemampuan untuk
konsolidasi kebangsaan maupun optimalisasi kinerja pemerintahan yang efektif dalam
kerangka demokratik.
Dua asumsi melatarbelakangi tulisan ini. Pertama adalah bahwa kekuatan lunak (sof

power, termasuk diplomasi dan pendekatan kesejahteraan) tentu memainkan peranan
penting dalam. Namun soft power tak pernah berdiri sendiri. Mereka hanya dapat efektif
kalau ditopang oleh hard power (kekuatan militer). Apalagi diplomasi sendiri kerap
diyakini tak lebih dari the first line of defense, sehingga dalam keadaan mendesak tidak
mustahil kekuatan senjata pada akhirnya digunakan. “You may be not interested in war,
but war may be interested in you”, seperti dikatakan Leo Tolstoy, yang menamsilkan
betapa suatu negara hanya bisa menghadapi, bukan menolak, perang. Kedua, ketahanan
lebih dikaitkan dengan kapasitas untuk bertahan dan bangkit (ability to bouncing back)
yang bertumpu pada kekuatan cadangan (redundancy) tetapi paling jauh bermuara pada
penangkalan pasif, bukan kemampuan gelar kekuatan yang dibutuhkan dalam penangkalan
aktif.
Kondisi pertahanan keamanan Indonesia saat ini
Indonesia memang belum mencapai kejayaan sepereti 50 tahun silam, ketika kekuatan
militernya dipercaya sebagai kekuatan paling tangguh di Asia Tenggara. Cita-cita besar
untuk menjejakkan kedaulatan atas bumi Irian Jaya, yang dianggap sebagai satu-satunya
kepentingan penting (vital interests), dukungan berbagai spektrum politik atas cita-cita itu,
kemampuan Presiden Soekarno sebagai pemimpin nasional untuk menyatukan cita-cita
1

negara bangsa, dan persaingan Amerika-Soviet di tengah bentangan Perang Dingin

memainkan peranan penting. Sama seperti akhir 1940an, elit politik Indonesia pada awal
1960an amat risau pada “penegakan kedaulatan”.
Kedaulatan politik atas wilayah yang dijanjikan dalam KMB (Konferensi Meja Bundar)
menjadikan elit politik memiliki kepaduan cita-cita itu mampu mengkonsolidasikan
sumberdaya negara untuk memperkuat pertahanan negara. Kecemasan Soviet pada
Marshall Plan di penghujung 1940an atau polaritas Timur-Barat antar kedua negara
adidaya yang mulai terpolarisasi dengan silang-selisih Peking-Moskwa pada awal 1960an
memberi ruang mannuver bagi diplomasi. Dukungan Amerika yang menjelang KMB
berhasil menghimpit Belanda di meja diplomasi seakan-akan diulang secara terbalik
dengan dukungan senjata Soviet untuk merebut Irian Barat, masing-masing harus ditebus
dengan suasana politik yang runyam – gejolak kedaerahan pada tahun-tahun 1950an dan
kontestasi ideologi pada awal 1960an.
Pemerintahan Orde Baru memusatkan perhatiannya pada konsolidasi ekonomi dan politik
dalam negeri. Ancaman komunisme dan runtuhnya bangunan ekonomi nasional tahuntahun sebelumnya menempatkan pembangunan kekuatan militer bukan prioritas utama.
Keterlibatan tentara dalam politik menyebabkan TNI lebih hirau pada ancaman
disintegrasi ideologi dan politik nasional daripada pertahanan negara. Mereka pula yang
merancang seluruh rancang bangun politik, ekonomi dan diplomasi Indonesia. Stabilitas
politik disangga melalui politics of fear dan kehadiran Babinsa di seluruh persada
Nusantara. Kekuatan militer Indonesia dipandang cukup sejauh memenuhi fungsi
pengamanan internal. Senjata-senjata perkasa pada tahun 1960an pada akhirnya uzur

dimakan umur, ketika pada akhirnya pemerintahan Orde Baru harus tumbang pada akhir
1990an.
Satu setengah dasawarsa reformasi pertahanan (1999-2015), kekuatan militer Indonesia
kembali menguat – sekalipun dirancang secara moderat hanya untuk memenuhi kebutuhan
kekuatan minimal (minimum essential forces). Embargo Amerika yang diberlakukan
setelah huru-hara Timor Timur melemah, meskipun sebagian besar diantaranya sekedar
untuk memenuhi doktrin perang melawan teror (war on terror) setelah tragedi 911 dan oleh
karenanya lebih banyak dinikmati POLRI daripada TNI. Anggaran pertahanan meningkat
hampir 1000 persen dalam rentang waktu 15 tahun itu, sekalipun tetap tidak melebihi 1%
dari pendapatan nasional kotor (GNP).
Berdasarkan ukuran-ukuran tertentu, misalnya Global Fire Power, peringkat kekuatan
militer Indonesia meningkat dari tahun ketahun, mencapai tingkat ke 12 pada tahun 2015,
tiga peringkat lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. TNI juga memainkan peran yang
semakin besar dalam misi-misi perdamaian internasional – sekalipun pada umumnya
terbatas pada fungsi “menjaga perdamaian” (peacekeeping), termasuk pengamanan pemilu
di beberapa daerah pasca conflict, daripada “menciptakan perdamaian (peace enforcement)
seperti pernah dimainkan Indonesia di Congo (1960an) dan Sinai (1970an). Di dalam
negeri, kekuatan TNI dipandang cukup sepadan karena keharusan politik bukan karena
kebutuhan militer untuk menyangga politik negara.
Namun apakah kekuatan seperti itu benar-benar dapat diandalkan (reliable) dan dipercaya

(credibel) untuk penangkalan (deterrence) dalam penyelenggaraan fungsi esensial
mempertahankan kemerdekaan dan melindungi kedaulatan selalu dapat dipertanyakan.
Kemerdekaan pada masa interdependsi tidak melulu berkisar pada pilihan-pilihan mandiri
sesuai dengan kepentingan nasional tetapi pada saat yang sama juga harus membuka ruang
pada keterlibatan pihak lain secara lebih lentur, kecuali manyangkut hal-hal yang esensial
seperti bangunan negara bangsa, ideologi negara dan sistem politik. Entah “untung” atau
2

“buntung” ketika ruang kemerdekaan itu menjadi pertarungan yang tidak terbuka, dan
sebagian diantaranya menjadi isu ketahanan nasional daripada pertahanan nasional.
Kedaulatan negara menjadi isu yang jauh lebih kompleks, khususnya karena Indonesia
merupakan negara kepulauan (archipelagic state). Mempertahankan dan melindungi kuasa
dan wibawa di dalam wilayah nasional hanya merupakan sebagian saja dari apa yang
seharusnya dibela, diperjuangkan dan dibina. Ketergantungan besar, dan akan semakin
besar, pada perairan internasional sebagai konsekuensi dari interdependensi perdagangan
dunia menyebabkan Indonesia perlu kemampuan untuk menjangkau kawasan ekonomi
eksklusif sejauh 200 mil laut dari garis-garis terluar. Sebagai negara pihak dalam
UNCLOS, Indonesia dihadapkan pada kemungkinan untuk menggunakan sumberdaya
kelautan dan maritim tetapi juga dihadapkan pada kerawanan sea lanes of communication
dan corong-corong laut dari berbagai bentuk tantangan termasuk lalu lalang kapal selam

nuklir, intrusi tak terkendali, dan keselamatan pelayaran laut dan udara. Kedaulatan
wilayah tidak lagi dapat ditafsirkan hanya sebagai hak untuk menguasai dan tangungjawab
untuk melindungi wilayah nasional melainkan juga hak untuk memperoleh jaminan atas
akses.
Tentu, itu bukan perkara mudah. Pertahanan negara harus mampu menjadi pilar utama
bagi penangkalan (deterrence) maupun jaminan (assurance) atas kedaulatan itu. Kekuatan
pertahanan harus ditempatkan dalam konteks. Ukuran kuantitatif penting, tetapi tidak
mencerminkan realitas, apalagi jika ukuran itu sekedar bersifat statis seperti jumlah
pasukan per penduduk, jumlah pesawat/kawasan dll sekalipun ukuran itu tentu
mencerminkan sesuatu dan dapat mejadi salah satu ukuran kekuatan tempur. Peringkat
Indonesia, seperti antara lain disinyalir oleh Global Fire Power seperti dikutip di atas,
boleh jadi memang sudah cukup meyakinkan pada tataran komparatif tetapi tidak
mencerminkan kebutuhan Indonesia sebagai negara kepulauan, khususnya ketika force-toarea rasio memang jauh lebih kompleks dibanding negara-negara kontinen.
Jika dilihat kebih cermat, kekuatan relatif Indonesia amat tergantung dengan siapa
dibandingkan dan model pembangunan kekuatan militer negara itu. Di Asia Tenggara saja,
tidak seluruh force element Indonesia lebih unggul, bahkan jika dibandingkan dengan
Vietnam dan Malaysia yang seperti Indonesia juga mengembangkan kekuatannya
berdasarkan konsep platform centric. Dalam beberapa aspek, kekuatan militer Indonesia
jauh lebih lemah dibanding Vietnam atau negarea anggota ASEAN yang lain. (Lihat Tabel
1). Ukuran kuantitatif itu mungkin menjadi semakin sulit dibandingkan dengan negara

tetangga yang lebih mengandalkan pada teknologi, misalnya Singapura dan Australia. Bisa
dipastikan jika kekuatan seluruh anggota ASEAN, apalagi Indonesia saja, dibandingkan
dengan kekuatan China.
Tabel 1

3

Dengan kata lain, keselamatan Indonesia semata-mata tergantung karena tidak adanya
intensi negara-negara luar itu untuk terjun dalam perang konvensional. Taburan beberapa
sorti bom ke sasaran-sasaran kritis, termasuk rantai komando militer dan sasaran strategis,
jejaring urat syarat operasi militer kemungkinan besar cukup melumpuhkan Indonesia.
Sulit membayangkan hal seperti itu bisa dilawan dengan semangat juang gerilya
tradisional.
Menjaga perbatasan darat mugkin tidak menjadi asalah utama, khususnya untuk
menghadapi perang konvensional dan dihadapkan pada negara-negara yang memiliki
perbatasan darat sepereti Timor Leste, Papua Nugini dan Malaysia. Perbatasan laut dan
udara jauh lebih kompleks baik karena kebutuhan untuk memperoleh assurance kepada
perairan dan ruang udara internasoinal tetapi juga karena fungsi pertahanan matra laut dan
udara juga merambah pada isu kedaulatan di laut dan udara, tidak melulu pertahanan matra
seperti angkatan darat. Fungsi constabulari (baca: penegakanm hukum, atau penegakan

kedaulatan) mejadi jauh lebih kompleks dan penting seiring dengan merebaknya berbagai
ancaman transnaisonal seperti terorisme maritim, perompakan dan pebajakan, maupun
sekedar memastikan sea lanes of communicationm dan choke points mampu menyangga
gerak pertahanan laut dan udara.
Ruang udara adalaah titik lemah lain, khususnya karena pengaturan ruang udara masih
dikendalikan oleh Singapura. Keliru besar untuk menganggap pengaturan itu hanya
merupakan isu pengelolaan (managerial) dan bukan isu kedaulatan, dan oleh karenanya
pertahanan negara. Sejarah menunjukkan bahwa koridor Selat Malaka, Selat Karimata dan
perairan Natuna merupakan perbatasan kritis (critical border). Sebagian besar invasi ke
wilayah Nusantara di masa lalu memasuki wilayah Indonesia dari perbatasan kritis itu.
Selat jalur itu juga merupakan jalur perdagangan paling penting di dunia, dengan nilai
lebih dari 5 trilyun dolla pertahun. Rapuhnya penjagaan atas ruang FIR (Flight Information
Region) terkait secara langsung dengan pertahanan militer maupun ketahanan
perekonomian Indonesia.
Kemampuan pertahanan Indonesia yang dirancang hingga tahun 2019 atau bahkan 2024
tidak lebih dari sekedar kemampuan militer minimum, untuk mengatasi dua trouble spot
sekaligus. Namunn konteks utama minimum essential forces yang utama dan terutama
adalah untuk keamanan internal, misalnya menghadapi daerah-daerah rawan konflik di
penghujung timur dan barat Indonesia. Sejarah panjang Aceh dan Papua memberi bekas
yang begitu kuat dalam persepsi elit Indonesia. Dinamika politik identitas dan globalisasi

4

ideologi radikal masih juga akan menjadi salah satu tantangan penting, sekurangkurangnya sampai tahun 2024 ketika Indonesia diharapkan memenuhi siklus demokratisasi
yang stabil dan, oleh karenanya, berhasil membangun persatuan negara bangsa.
Oleh sebab itu dapat dimengerti kalau daerah-daerah itu tetap dinyatakan sebagai daerah
rawan konflik atau sekurang-kurangnya yang paling potensial untuk mengancam
kedaulatan internal Indonesia. Apalagi rumusan tugas TNI dalam UU 34/2004 yang agak
ambiguous, misalnya dalam kaitannya dengan kecenderungan preemtif maupun untuk
tujuan-tujuan menyelenggarakan operasi militer selain perang seperti dimaksud dalam
pasal 7 UU 34/2004. Dalam perdebatan menjelang perumusan UU TNI 2004, operasi
militer selain perang tidak lebih dari sekedar peran tambahan (secondary roles) bagi TNI
yang tugas utamanya tetap mempertahankan keutuhan wilayah, kedulatan negara dan
ancaman disintegrasi bangsa.
Dalam berbagai pembahasan RUU TNI waktu itu diasumsikan beberapa hal, khususnya:
pertama, “kekuatan TNI yang mampu mengatasi berbagai ancaman militer dengan
sendirinya dapat pula mengatasi ancaman-ancaman non-militer”; kedua, ancaman militer
tidak terjadi setiap saat, berbeda dengan canaman non-militer yang memang dapat terjadi
kapanpun, sehingga kekuatan TNI yang tidak digelar untuk menghadapi ancaman militer
itulah yang digunakan untuk menghadapi ancaman-ancaman nir-militer. Karena itu pula
perlu keputusan politik dalam penggunaan kekuatan TNI untuk tugas-tugas non-militer;

dan ketiga, tugas-tugas untuk menghadapi ancaman nir-militer pada prinsipnya merupakan
fungsi sipil (civilian function), sehingga reformasi militer dan/atau reformasi militer harus
disertai dengan peningkatan kapasitas sipil untuk menghadapi ancaman-ancaman nonmiliter itu.
Alutsista Indonesia juga sudah meningkat. Sampai tahun 2015, sasaran MEF sudah dicapai
sekitar 79%. Dalam sisa waktu sampai 2019 tidak akan terlalu sulit untuk memenuhi 30%
sisanya. Namun perlu dicatat bahwa capaian kualitatif agak mengecewakan. Sampai tahun
2014, serapan teknologi persenjataan hanya meingkat 2% saja di matra laut, sedangkan
matra darat dan udara justru merosot sebesar 2% dan 4% berturut-turut. Struktur kekuatan
militer Indoensia juga sulit diukur besarnya, sbeagian diantaranya karena 70% senjata
merupakan senjata-senjata yang telah digelar lebih dari 40 tahun. Diragukan apakah
senjata-senjata itu betul-betul dapat berperan secara optimal. Kesiagaan paling tinggi
hanya di pasukan-pasukan khusus seperti Kostrad dan Kopassus, sedangkan komandokomando teritorial umumnya hanya memiliki tingkat kesiagaan di bawah 60% saja.
Secara kumulatif, kekuatan tempur Indonesia tampaknya tidak lebih dari 10-15 persen saja
dari apa yang digambarkan dalam ukuran-ukuran kuantitatif itu. Keselamatan Indonesia
tampaknya hanya terjadi karena pasif deterence, khususnya menghadapi ancaman
tradisional; atau karena perang trandisional memang tidak lagi merupakan modus operandi
utama dalam percaturan internasional. Kondisi geografis Indonesia yang menyebar susah
ditaklukan dalam peperanmgan konvensional.
Entah apakah semua itu cukup memadai untuk menjawab tantangan Indonesia. Sejak awal
ancaman itu bersifat internal. Buku Putih Pertahanan Indonesia sejak 2003 memang

memberi pekiraan ancaman eksternal, termasuk ancaman-ancaman transnasional. Namun
kontekstualisasi MEF dengan kemampuan memelihara negara kesatuan, dan tugas TNI
yang menetapkan MOOTW sebagai tugas, bukan sebagai operasi pendukung, condong
pada penafsiran pengamanan internal, termasuk untuk mengahdapi separatisme bersenjata,
pemberomntak bersenjata, dan konflik komunal. Seharusnya semua itu tidak boleh
ditetapkan sebagai tugas tetapi tidak lebih dari sebagai operasi dukungan (support

5

operation) atau operasi stabnilisasi (stabilization operation) yang cukup diatasi dengan
kemampuan militer pada masa damai (baca: idle capacity).
UU tida cukup memadai, sebagain akrena issu kelengkapan horisontal, mislanya berap
abanyak UU yang betul-betul diperlukan untuk mengembangkan sistem pertahanan
nasional yang handal, afdaptif, dan responsif; sebagian yang lain karena kelengkapan
vertikal, yaitu kelengkapan UU denganm peraturan pelaksanaan. Satu setengah daasawar
tidak culkup, hanya tenbtang UU pertahanan negara, tentara, kepolisian negara,
penanggulangan tindak poidana terotrisme, penanggulangan bencana, dan industri
pertahanan. Belum ada pengaturan tentang rahasia negara, keamanan nasional, dan
peradilan militer. Tahun 2014 saja menyaksikan kelambanan penyusunuan struktur dan
organisasi TNI yang baru.

Rekam jejak legislasi DPR 2009-2014 merupakan yang paling rendah dibanding periode
sebelumnya. Berbagai perundangan, beberapa diantaranya adalah RUU Kamnas dan RUU
Komponen Cadangan dan Pendukung, sudah dirancang sejak 2005 dan 2002 berturut-turut
dan hingga kini belum ada kepastian apakah itu akan bisa disetujui tahun 2016.
Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak banyak menuntaskan
reformasi pertahanan Indonesia, sekalipun dalam kepemimpinannya yang kedua memberi
ruang lebih besar pada transformasi militer. Nuansa kontestasi politik dalam hubungan
antara Mabes TNI dan Kemenhan tidak terlalu tampak, meskipun tidak mudah bagi TNI
untuk merumuskan doktrin dan strategi nirmiliter.
Anggaran pertahanan meningkat dari tahun-ketahun, kecuali tahun 2009 dan 2015. Namun
besaran anggaran itu tidak nmelebihi 1% saja dari pendapatan nasional kotor (GNP), jauh
lebih rendah dibanding semua negara anggota ASEAN, dan tentu tak dapat dibandingkan
dengan Australia, China, Jepang ataupun Ameika Serikat. Namun alokasi anggaran tidak
cukup ideal, khususnya karena sekitar 68-78.92% masih diserap untuk anggaran rutin.
Hampir dipastikan tidak mungkin memperbesar alokasi anggaran untuk pembelian senjata
baru tanpa perimbakan radikal struktur kekiuatan militer Indonesia. Rumus teoretik yang
moderat -- stabilisation for the army, modernization for the navy and air force – yang
pernah muncul pada tahun 2004 pada akhrinya kandas, ketika Menteri Purnomo
Yusgiantoro secara resmi mengakhirinya dengan alokasi berimbang masing-masing
sebesar 33.3% bagi setiap matra.
Industri pertahanan tidak beranjak. Reformasi industri setrategis yang dikukuhkan dalam
UU Industri Pertahanan (2012) membawa isyarat penting, khususnya terkait dengan
dukungan keuangan negara, komitmen pengguna, dan alih teknologi. Namun dalam
kenyataannya UU tidak cukup menyelesaikan berbagai masalah. Semangat nasionalisme
tak mudah ditegakkan ketika pasar senjata begitu eksesif dan membeli relatif lebih mudah
dibanding dengan memproduksi. Lemahnya pasar domestik, sebagian karena permintaan
sebagian yang lain karena rigidfitas asal asul sumber pasokan senjata, menyebabkan
industri pertahanan selalu disudutkan oleh keharusan untuk memenuhi economic of scale;
dan persoalan itu hanya dapat diatasi dengan ekspor. Sementara ekspor persenjataan
Indonesia bisa saja meningkat, namun tidak cukup untuk menutup kelangkaan modal.
Tingkat penguasaan industri dan pasar belum seperti apa yang dicapai poleh industri
pertahanan yang bersifat global supply chain atau niche technology.
Tentara Indonesia berhasil meraih kembali kepercayaan publik. Terlepas dari berbagai
persoalan disiplin prajurit, misalnya yang antara lain tercermin dalam sejumlah pertikaian
fisik antara prajurut TNI dan anggota POLRI, institusi TNI dianggap sebagai institusi yang
bersih. Perbaikan internal dan terutama keterbukaan TNI maupun Kemenhan pada
kalangan sipil, terbatas sekalipun, berhasil membangun hubungan sipil militer yang
6

semakin baik. Sampai tahun 2014, harmoni Mabes TNI-Kemenhan dapat dijaga, terutama
dengan membatasi civilian over-reach, kehadiran perwira aktif TNI di lebih dari 90%
jabatan struktural Kemenhan, ataupun orientasi kesejahteraan pada pergeseran alokasi
anggaran.
Faktor strategis yang mempengaruhi
Tujuh puluh tahun Indonesia merdeka dihadapkan pada perubahan lingkungan eksternal
dan internal yang amat kompleks. Sebagian perubahan itu memberi ruang yang lebih besar
bagi optimisme bahwa Indonesia akan berhasil menapak keberhasilan. Sebagian yang lain
memberi isyarat betapa kendala tidak dengan mudah dapat diatasi.keberhasilan untuk
mendayung di antara dua persoalan besar itu akan menentukan nasib apakah Indonesia
pada akhirnya akan berhasil memperingati 100 tahun Indonesia merdeka dengan
menegakkan dada, menghentakkan kaki, dan menggelorakan semangat nusantara.
Perjalanan sejarah dalam 70 tahun belakangan ini menunjukkan betapa pertahanan negara
tidak kebal terhadap komplikasi neksus eksternal-internal (external-internal nexus). Pada
tataran eksternal fenomena yang paling penting adalah berakhirnya Perang Dingin di
penghujung 1980an yang kemudian disusul dengan universaliasi nilai-nilai dmeokrasi, hak
asasi manusia dan pemerintahan demokratik. Tumbangnya Uni Soviet juga menjadikan
Amerika hadir tanpa pesaing sehingga Indonesia tidak dapat memainkan adidaya satu
terhadap yang lain seperti pada awal 1960an. Dominasi diskursus “ekonomi global”
dan/atau ancaman transnasional tampaknya juga akan meminimalisasi intensi penggunaan
kekuatan militer secara langsung untuk menyelesaikan persoalan antar negara, selain
menggeser modalitas operasi militer pada operasi non-tempur.
Pada tataran domestik, demokratisasi membuka ruang yang lebih baik untuk menata ulang
hubungan sipil-militer, pola relasional negara-masyarakat, dan hubungan yang lebih nonkolonialistik antara pemerintah pusat dan daerah. Namun demokratisasi itu juhga hadir di
tengah peneguhan nilai-nilai demokratik. Tidak mudah menegakkan demokrasi sebagai
satu-satunya aturan main (democtracy is the only game in town) seperti ditulis Guilermo
O’Donell. Teramat sulit menjaga kendali stabilitas antara pluralisme dan
multikulturalisme, terutama di tengah pengutamaan arus politik identitas. Semakin
dominannya teknologi informasi membangun global village, virtual world, atau istilah
apapun yang pada dasaranya memperkokoh demonstration effect apa yang terjadi di
belahan dunia lain memiliki konsekuensi pada tataran dalam negeri.
Tingkat vulnerabilitas Indonesia menjadi semakin tinggi dari waktu ke waktu. Begitu pula
halnya dengan ketidakterdugaan (unpredictability). Pada tatarahn internasional itu
sekurang-kurangnya terdapat tiga perubahan penting di Asia Timur dan Tenggara. Pertama
adalah unilateralisme Amerika Serikat dan dominasinya pada penataan arsitektur
keamanan regional.. Dalam usianya yang sudah melebihi dua dawarsa, ARF (ASEAN
Regional Forum) tidak berhasil secara signifikan menggeser agenda confidence building
measures menjadi kerjasama multilateral yang lebih berarti, misalnya preventive diplomasi
dan, apalagi, approaces to conflict resolution. Fokus pada kawasan panas, misalnya
Semenanjung Korea, dengan sendirinya menggeser prioritas keamanan di Asia Tenggara.
Laut China Selatan tidak merrupakan agenda utama Amerika, kecuali pada tataran yang
relatif moderat lemah untuk sekedar menyuarakan kepenitngan kemerdekaan pelayaran
(freedom of navigation).
Kedua adalah semakin kuatnya dominasi globalisasi ekonomi. Keyakinan pada
interdependensi dalam hubungan antar negara menyebabkan peminggiran pertahanan
7

tradisional. Bersama dengan globalisasi penadbiran keamanan yang demokratik (global
democratic security govertnance), multilateralisme ekonomi dianggap sebagai pengerak
utama kemajuan global dan sekaligus menjaga agar penggunaan senjata dalam kehidupan
antar bangsa dapat diminimalisasi. Namun multilateralisme itu pada akhirnya terbatas pada
liberalisasi perdagangan dan penyeragaman rejim demokratik, dengan tetap mengecualikan
alih teknologi, termasuk tetapi tidak terbatas pada teknologi berkemampuan ganda (dual
use technology) seperti nuklir, roket, dan komputer.
Ruang kerjasama internasional dianggap cukup dengan memusatkan perhatian pada
operasi militer selain perang, yang memang harus diakui merupakan salah satu ciri
humanisasi pertahanan tetapi di lain pihak juga menghambat pembangunan kekuatan
pertahanan nasional negara-negara, mungkin dengan perkecualian China yang mampu dan
berani melakukan reversed technology maupun operasi intelijen agresif penguasaan
teknologi, sekalipun dengan risiko diplomasi.
Harus diakui bahwa kecenderungan-kecenderungan itu memang condong membawa
stabilitas (stabilizing), meski stabilitas itu tampaknya terbatas pada tidak adanya perang
tradisional secara sistematis dan terbuka. Kecenderungan itu juga memendam bara tak
kunjung padam dan rapuh pada munculnya kekuatan baru yang mandiri secara ekonomi
maupun militer. Pola perimbangan kekuatan (balance of power) selalu ditandai dengan
kerjasama dan persaingan (discord and collaboration). Persepsi negara tentang kekuatan
pesaing utamanya akan jauh lebih menentukan dibanding perimbangan kekuatan obyektif.
Gebrakan diplomasi China akan ditentukan oleh bagaimana elit politik partai Komunis
China memandang tentang Amerika Serikat. Begitu pula sebaliknya, Washington akan
bertindak atas apa yang diyakininya sebagai tindakan yang akan dilakukan China.
Sampai penghujung abad 21, tampaknya sebagian elit politik Ameirka masih optimis
tentang keunggulannya atas China, sehingga mereka tidak cukup membangun aliansi baru
selain sekedar memantapkan alinasi lama, misalnya Jepang, Korea Selatan dan Australia.
Kerjasama yang belakangan ini dibangun dengan beberapa negara anggota ASEAN,
khususnya Vietnam dan Filipina, terbatas pad akemampuan militer minimum dan terutama
ditujukan untuk penegakan hukum (baca: kedaulatan). Kerjasama itu tidak secara langsung
memberi opsi militer kepada Vietnam dan Filipina untuk menantang China.
Dengan demikian pembangunan kekuatan militer China tampaknya akan menjadi kunci
utama dinamika di Asia Pasifik, khsusnya ketika Amerika Serikat tetap membatasi pada
keterlibatan langsung untuk bersitegang dengan China. Memang, defraksi China dengan
ideologi globalisme Beijing Consensus, langkah diplomatik dengan bingkai kerjasama
ekonomi di Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin memperlunak citra China sebagai
kekuatan militer. Namun peningkatan anggaran militer yang konsisten, penataan struktur
organisasi pertahanan, dan rumusan strategti yang solid menjadikan China sebagai
kekuatan yang nyaris tak terbendung.
Elit politik China sendiri tampaknya memang belum cukup memiliki keyakinan untuk
menjadi kekuatan global. Konsolidasi politik dan teritorial atas wilayah Xinjiang dan Tibet
masih menjadi prioritas utama, disamping membangun hubungan antar kawasan pesisir
Timur dan pedalaman yang lebih padu. Confucian Institute memang mulai menebar soft
power, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat, tetapi tetap hanya sebagian kecil saja di
Asia Tenggara di luar Kamboja dan Laos. Dalam beberapa tahun belakangan ini, bahkan
pengaruh China di Myanmar cenderung menurun; padahal Myanmar selama ini dikenal
sebagai slaah stau pijakan kuat China di Asia Tenggara.

8

Secara konsisten kebijakan seperti itu telah dianut oleh China sejak awal 1990an. Fokus
pembangunan kekuatan militer mereka pada "operasi kontra-intervensi" yang ditopang
strategi anti-access/area denial selama 30 tahun terakhir ini mampu mengimbangi, bahkan
membendung kapal induk Amerika memasuki perairan China, sekurang-kurangnya tidak
sampai menyentuh demarkasi "rantai pulau pertama" (first island chain). Mungkin juga
hanya satu dua pesawat tempur canggih Amerika mampu menembus benteng pertahanan
udara (Air Defense Identification Zone) yang membentang dari Laut China Timur sampai
ruang udara di selatan China. Serangan terbatas seperti itu hampir tidak mungkin membuat
China tak-berdaya. Satuan-satuan tempur mereka masih lebih dari sekedar cukup untuk
membelenggu Vietnam dan/atau tanker dan kapal dagang Barat yang memasuki wilayah
nine-dashed-line.
Bagaimana Indonesia akan dan bisa menempatkan diri secara perkasa dalam konteks
hubungan Amerika-China itu tetap menjadi pertanyaan. Politik luar negeri bebas aktif dan
belenggu minimum essential forces Indonesia belum menjadi solusi untuk menyangga
mimpi Indonesia sebagai negara perkasa, digdaya dan wibawa. Rumus thousand friends,
zero enemy” pada masa pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono dan fokus pada
“diplomasi ekonomi” pada masa Jokowidodo menjadikan pembangunan kekuatan
pertahanan Indonesia setengah hati, disamping kekuatan diplomasi masih dihadapkan pada
fragmentasi para “diplomat” yang kini diyakini tidak lagi dimainkan hanya oleh diplomat
profesional di bawah kendali Kementerian Luar Negeri.
Pada tataran yang lebih tinggi, strategi nasional tidak dirumuskan secara baik dan benar.
Tidak baik karena dirumuskan di tengah ilusi bahwa soft power sudah menggeser hard
power, sekalipun sulit mencari contoh sejarah negara berhasil menjadi perkasa dan wibawa
yang tidak ditopang oleh kekuatan militer. Tidak benar karena apa yang disebut sebagai
“Kebijakan Umum Pertahanhan Negara” yang seharusnya dirumuskan oleh Presiden, pada
akhirnya tidak lebih dari sekedar dokumen yang ditandatangani oleh Presiden tetapi
dirumuskan secara bpotom-up oleh Kementerian Pertahanan. Akibatnya rancang bangun
tentang pembangunan kekuatan pertahanan melulu didasarkan pada pemahaman
Kementerian Pertahanan tentang apa yang disebutnya sebagai “keamanan nasional”.
Ketidaklengkapan undang-undang, misalnya belum adanya “Dewan Pertahanan Negara”
seperti dimandatkan oleh UU No. 3 tentang Pertahahan Negara mungkin merupakan salah
satu sebab. Begitu pula halnya dengan tidak adanya garis utama diplomasi Indonesia, lebih
dari sekedar program 5 (lima) tahunan pada setiap awal pemerintahan. Namun yang lebih
penting adalah kemiskinan dan keberanian untuk menembus dinding ortodoksi, khususnya
untuk mengubah orientasi ke dalam mnenjadi ke luar. Entah berapa dalam terpendam
gagasan-gagasan besar seperti Cakrawarti Mandala Dwipantara (Kertanegara) dan Sumpah
Palapa (Gajah Mada) yang ditopang oleh misi ekspedionari seperti Svarnadwipa Mandala
(Sriwijaya), Pamalayu (1275), patroli laut Laksamana Nala (Majapahit), atau pembebasan
Malaka dari tangan Portugis oleh Pangeran Sabrang Lor Pati Unus (Demak).
Persepsi ancaman Indonesia masih tak beranjak dari tantangan internal, tanpa dengan tegas
menyebut penggunaan kekerasan (coercive capacity), dari luar maupun dalam, sebagai
indikator utama. Ideologi radikal saja menjadi ancaman, tanpa menambahkan kategori
ekstremisme atau penggunaan kekerasan oleh penganut ideologi radikal itu. Perang
ditafsirkan dalam konteks legalitas perang dalam hukum internasional, tetapi tidak
dimaknai sebagai penggunaan instrumen koersif secara sistematis dan terorganisasi.
Strategi pertahanan berlapis pada prinsipnya tetap ditafsirkan berdasarkan konsentri
wilayah daerah penyangga, penangkalan dan pertahanan yang dengan sendirinya hanya
menyisakan ruang kecil untuk menghadapi peprangan modern (modern warfare),
9

ikhususnya yang ditandai dengan penggunaan teknologi maju dan ditujukan pada sasaransasaran strategis.
Akibatnya, penataan institusional tetap mengidap penyakit non-integratif dan bertumpu
pada pembangunan kekuatan sektoral. Kekuatan operasional POLRI memang meningkat
dan dipastikan akan terus meningkat tetapi tetap dikaitkan dengan kebutuhan polisi
kolonial yang sekaligus menggegam kekuasaan atas ancaman terhadap keamanan umum
dan sekaligus keamanan negara, seperti berturut-turut dibingkai dalam KUHP Buku
Pertama dan Kedua. Badan Intelijen Negara dan Badan Intelijen Strategis bersinggungan
dengan dimensi pengamanan dalam negeri, dan lebih dari itu terlalu hirau pada dimensi
preventif sehingga tidak dilengkapi dengan kewenangan operasional untuk penindakan
ancaman-ancaman mendesak. Transformasi Bakorkamla menjadi Bakamla meningkatkan
otoritas integratif pengamanan laut, tetapi belum dilengkapi dengan kekuatan mandiri yang
secara operasional mampu menegakkan hukum laut secara efektif.
Peningkatan kekuatan matra (darat, laut dan udara) berjalan secara natural, yang seperti
disebutkan di bagian lain tulisan ini bertumpu pada penignkatan besaran anggaran tanpa
diimbangi oleh afirmasi pangalokasian anggaran khususnya untuk pengembangan
kekuatan matra udara dan laut. Penguatan fasilitas pendukung menjadi prioritas, misalnya
dengan peningkatan kualitas pelabuhan laut dan udara. Peningkatan serapan teknologi
kedua matra itu tidak lebih dari 4% saja dalam satu setengah dasawarsa terakhir ini.
Jangkauan operasi tidak lebih dari pengawasan dan penginderaan tidak menjangkau
penindakan, yang sebagian besar diantaranya terkendala oleh tidak adanya anggaran
maupun energi.
Nawacita seperti dijanjikan oleh calon Presiden Joko Widodo tampaknya masih mencari
bentuk operasional, sesuatu yang dapat dimengerti mengingat gagasan kepemimpinan
Presiden Joko Widodo memang baru berusia satu tahun. Kehadiran negara yang utama
memang harus dimulai pada kehadiran pemerataan keadilan ekonomi, pelayanan publik,
perlindungan warganegara, dan pengamanan perbatasan. Namun tetap saja semua itu tidak
boleh mengabaikan manifestasi dari reorientasi pertahanan negara dari inward looking
menjadi outward looking. Diplomasi juga tidak bisa disederhanakan melulu menjadi ajang
perjuangan untuk menangguk investasi dan perdagangan. Negara perkasa dan wibawa
memerlukan pengembangan kemampuan saudara kembar pertahanan dan diplomasi
menjadi instrumen deterrence maupun assurance yang ditopang olehj kekuatan
ooperasional yang efektif.
Mengesampingkan kendala domestik, pembangunan kekuatan yang efektif itu hanya dapat
dilakukan jika orientasi ke luar memang tidak mengurbankan keselamatan di dalam
wilayah nasional dan sekaligus dapat diwujudkan secara efektif. Dengan asumsi bahwa
negara-negara anggota ASEAN akan tetap berpegang pada Treaty of Amity and
Cooperation, dan oleh karenanya mengutamakan jalur diplomasi daripada penggunaan
kekerasan, konflik bersenjata secrara sistematis dan panjang antara sesama negara anggota
ASEAN memang tidak terlalu besar. Pembangunan kekuatan militer di dalam ASEAN
sendiri masih condong pada platform centric, dengan perlecualian Singapura yang
mengutamakan keunggulan teknologi modern. Namun stabilitas itu tidak boleh
mengabaikan kemungkinan terjadinya konflik bersenjata secara terbatas atau serangan taksengaja (accidental attacks, unintentional attacks) yang selalu harus menjadi pertimbangan.
Secara militer tidak satupun negara-negara anggota ASEAN mampu mengimbangi
kekuatan China, bahkan seandainya ASEAN bersama-sama menggelar operasi militer
untuk menandingi kekuatan China di perbatasan darat Vietnam-China ataupun di perairan
Laut China Selatan. Muhibah kapal induk Liaoning ke Samudera Hindia, upaya China
10

untuk membangun pangkalan militer di Gwadar (Pakistan), pembangunan air strips di
beberapa pulau di Spratly merupakan isyarat bahwa lambat laun kehadiran ekonomi dan
investasi China di Asia Tenggara akan dilengkapi dengan kekuatan penjepit untuk
mematikan Diego Garcia, Okinawa dan Guam. Karakter diplomasi pertahanan yang
selama ini lebih miskin dengan diplomasi preventif menunjukkan betapa accidental war
tetap merupakan salah satu kemungkinan yang dapat terjadi.
Persoalannya adalah apakah accidental war yang terbatas itu tidak membawa bencana yang
lebih besar, yang melibatkan kekuatan militer China dan Amerika Serikat berikut
rekanannya di Asia, termasuk Australia. Sulit untuk memastikan kalau dalam konteks
accidental war, yang kemungkinan melibatkan penggunaan teknmologi dan terjadi di
palagan laut itu semangat juang dan latihan dasar kemiliteran dapat efektif digunakan.
Sulung mlebu geni, Gelatik Nebo, atau Samudera Rob adalah gelar-gelar perang
konvensional yang memiliki relevansi paling kecil untuk menghadapi peperangan modern.
Hanya Jinantra Sawur dan Jaring Guemelar yang ditopang oleh kesaktian teknologi
Pasupati yang dapat memenangkan Barata Yudha.
Itu pula yang kini berada di balik gagasan pembangunan Komando Gabungan Wilayah
Pertahanan dengan harapan agar kekuatan ketiga matra dapai diintegrasi dan disinergikan
untuk melakukan operasi mandiri. Namun Indonesia dikejar waktu untuk dapat
mewujudkan gagasan itu menjadi satuan-satuan tempur yang operasional. Besaran
anggaran harus dipastikan bukan masalah utama. Rencana untuk mencapai anggaran
pertahanan 1.5% dari GNP dan mendekati 3% pada akhir 2020an kemungkinan besar
tercapai, jika dilihat dari kecenderungan selama ini. Pada tingkatan itu anggaran
pertahanan Indonesia masih dapat disebut sebagai anggaran yang legitimate (legitimate
budget).
Namun pendekatan klasik itu tidak akan menjawab tantangan kesenjangan teknologi
(technological gap), khususnya dengan Singapura, Australia dan China. Mereka adalah
negara-negara yang mampu melancarkan serangan “Stuxnet” seperti dilakukan Rusia
terhadap Georgia (2007). Menghadapi serangan seperti itu, Indonesia memang tidak akan
hancur lumat. Kecil kemungkinan raksasa China sekalipun akan mengirim pasukan
pendudukan. Selama Indonesia tidak seperti Afghanistan pada masa Mullah Mohammed
Omar atau Suriah pada masa Bashar al Assad, kecil kemugnkinan Amerika Serikat akan
mengirim pasukan untuk mengganti rejim di Jakarta.
Ketahanan pertahanan Indonesia selama ini menunjukkan betapa pentingnya kemampuan
penyesuaian diri (adjustment); dan lebih penting lagi untuk menetapkan apakah
penyesuasian diri itu dilakukan dengan resistensi, preserverance atau transofrmasi.
Gelobalisasi ekonomi, kemajuan teknologi, dan interdependesi hanya menyisakan sedikit
ruang untuk dua pilihan pertama – resistensi dan preserverance. Satu-satunya pilihan yang
tersisa adalah transformasi pertahanan Indonesia.
Proyeksi Ketahanan dan pertahanan Indonesia 2045
Telah disebut di bagian lain tulisan ini bahwa ketika memasuki usianya yang ke 100 pada
tahun 2045, Indonesia seharusnya memiliki kekuatan militer dan gerak diplomasi yang
dapat diandalkan untuk mencapai cita-cita Indonesia sebagai negara kawasan (regional
power) atau middle power pada tataran internasoinal. Negara yang mampu hamemayu
hayuning buwana, yang menjadi sandaran bagi negara-negara tetangga, dan negara yang
mampu menjadi salah satu kutub dalam percaturan global. Prinsip bebas aktif harus
memperoleh dimensi baru, kihussunya bebas untuk meilih berdarkan rational judgement
11

dan aktif sebagai pemimpin Asxia Tenggara. Pertahahan Inodnesia tidak boleh hanya
sekedar untuk menjaga kepentingan nasional tetapi juga untuk memelihara stabilitas
regional. Indonesia harus mampu mejadi kutu ketiga – di samping Amerika Serikat dan
China
Sepuluh sampai limabelas tahun menjelang 2045 akan merupakan tenggat yang amat
krusial. Di dalam negeri, akhir 2020an adalah saat ketika demokratisasi sudah mencapai
tahapan konsolidasi demokrasi dalam hubungan pusat-daerah maupun antara negara dan
masyarakat, sekalipun tidak seorangpun dapat menjawab dengan pasti bagaimana hal itu
dapat dilakukan; dan, lebih dari itu, di luar jangkauan tulisan ini untuk membahasanya.
Mudah-mudahan saja berbagai kebutuhan tentang dasar hukum, pembangunan institusi,
dan penyelenggaraan pertahanan sudah dapat dijalankan sesuai dengan yang diharapkan.
Akhir dasawarsa 2020an juga tenggat ketika kemampuan militer Indonesia mencapai
penangkalan standar vis-à-vis negara tetangga di Asia Tenggara, sekalipun tentu tidak
cukup memadai untuk menghadapi negara-negara raksasa seperti China, India dan
Amerika Serikat. Mudah-mudahan saja kemampuan itu disertai denhgan perwujudan yang
lebih konkrit tentang stabilitas dalam negeri, sehingga tentara tak lagi dirisaukan,
dicemaskan, dan diganggu dengan godaan-godaan memainkan peran stabilitas peran
internal – kecuali dalam bentuk civic mission untuk menjaga keselarasan hubungan
tentarea-rakyat dan/atau humanitarian mission untuk pemulihan pasca bencana. Apapun
alasannya, penguatan kapasitas pemerintahan sipil merupakan salah satu kunci agar tentara
dapat memusatkan perhatiannya pada olah krida dan olah yudha.
Kalau harapan itu terpenuhi sekalipun tidak berarti tantangan ketahanan pertahanan
nasional menjadi semakin ringan. Pertengahan dasawarsa 2030an, kurang lebih dasawarsa
terakjhir menjelang seratus tahun Indonesisa merdeka, merupakan tahun penting, misalnya
karena untuk pertama kalinya anggaran pertahanan China akan melebihi anggaran
pertahanan Amerika Serikat. Tahun-tahun tersebut juga sekitar 70 tahun modernisasi
pertahanan China yang digelorakan sejak akhir 1970an melalui program modernisasi Deng
Xiaping yang secara konsisten dijalankan China selama ini. Kemugkinan besar kehadiran
militer Amerika di Asia Pasifik masih cukup signifdikan, meskipun tampaknya akan lebih
memaksakan burden sharing denhgan rekanan aliansi tradisional Amerika daripada
mempertahankan kehadiran sebagai polisi dunia.
Menurut perkiraan percaturan global pada waktu itu akan ditandai dengan berbagai ciri.
Pertama adalah kelangkaan sumberdaya, khususnya pangan, energi dan air. Kebutuhan
akan sumberdaya seperti itu meningkat sekitar 35, 40, dan 50 persen karena pertumbuhan
demografi global dan pola konsumsi seiring dengan meluasnya kelompok kelas
menenngah. Perubahan iklim akan semakin memburuk dan mempersempit ketersediaan
sumberdaya kritis (critical resources). Perubahan cuaca akan semakin memnburuk dan takterduga, denhgan daerah basah akan menjadi semakin basah dan daserah kering menjadi
semakin kering. Daerah-daerah yang paling tertimpa adalah Timur Tengah, Afrika Utara,
Asia Tengah bagian Barat, Eropa Tenggara, Afrika Selatan dan Amerika Barat daya.
Kedua adalah perkembangan teknologi persenjataan yang semakin mematikan, khususnya
di Amerika Serikat dan China – untuk menyebut dua negara yang secara langsung menebar
dan mempertahankan pengaruh dan sekaligus pertarungan politik di kawasan Asia Timur
dan Tenggara. Kecenderungan dalam sepuluh tahun belakangan ini, dan bisa dipastikan
akan selalu berlanjut di masa yang akan datang, adalah bahwa peperangan modern yang
melibatkan teknologi informasi akan semakin intens. Serangan terbatas pada jejaring
informasi kritis di bidang perbankan, komando militer, dan jantung pengambilan

12

keputusan nasional akan lebih sering terjadi, meskipun tidak pernah diumumkan secara
terbnuka karena akan menguak kelemahan sendiri.
Energi dan teknologi akan menjadi pertarungan dan sekaligus kerjasama pada tataran
internasional, sekalipun kemungkinan besar mereka akan menjadi sumbu utama
pertarungan antara China dan Amerika Serikat berikut aliansinya seperti Jepang, Australia,
Korea, dan hingga tingkat tertentu India. Dinamika Laut China Timur akan semakin
terkait, dan lebih dari itu akan menjadi asupan utama tentang bagaimana dinamika di Laut
China Selatan – yang sekalipun pada waktu itu sudah memiliki Code of Conduct tetap
tidak mungkin menghentikan kemungkinan terjadinya konflik antar negara-negara besar.
Pertarungan langsung antara Amerika Serikat dan China tampaknya memang tidak
menjadi pilihan, bagi Peking maupun Washington. Tak ada skenario perang. Publikasi di
Amerika dalam beberapa tahun terakhir ini lebih menandai key drivers tetapi tidak
mengidentifikasi China sebagai ancaman militer. Global Trend 2030 yang dipublikasikan
oleh National Intelligence Council (2012) dan/atau gagasan intelijen strategis China
menunjukkan pola persepsi atau sasaran yang asimetrik (assymetric objectives). Amerika
lebih risau pada masalah-masalah keamanan global seprerti energi, pangan dan air –
sekalipun kecemasan itu lebih terkait dengan wilayah lain, bukan wilayah nasional
Amerika kecuali belahan Barat Daya berbatasan dengan Meksiko.
Pola pemikiran ini masih menunjukkan keinginan Amerika untuk tetap memainkan
peranan global. Asian Pivot atau Asian Rebalancing yang diluncurkan beberapa tahun
silam hanyalah merupakan salah satu strategi awal saja dari pola gelar pengaruh Amerika
di Asia Pasifik. Betapapun Amerika harus tetap membagi perhatiannya atas Eropa dan
Asia. Mundurnya dinamisme Eropa tidak menyurutkan perhatian Amerika, khususnya
karena kegagalan penemuan jatidiri Eropa Bersatu dan bangfkitnya kembali nasionalisme
Russia. Isyarat Moscwa tentang patriotic disney land, penggunaan milisia untuk melatih
semangat belarusia remaja Russia, maupun kecenderungan Tsarist pemimpin Rusia
hanyalah sebuah konsekuensi logis dari sebuah negara dengan cita-cita bnesar yang
ditopang oleh keagungan sejarah dan kemampuan senjata.
Bersamaan dengan itu kecil kemungkinan China dapat secara signifikan menanamkan
pengaruhnya secara signifikan di Amerika Latin dan Karibia yang secara tradisional
merupakan wilayah pengaruh Ameirka Serikat. Karena itu China akan tetap melanjutkan
konsolidasi politik teritorialnya untuk mengembalikan kejayaan Kerajaan-Tengah (Middle
Kingdom). “Enam medan laga China dalam 50 tahun mendatang” (Six Wars China is sure
to fight in the next 50 years,中國未來 50 年裡必打的六場戰爭, sebuah tulisan di koran
pro-partai komunis Wenweipo (8 Juli 2013), mengukuhkan jejak itu. Medan-medan laga
itu adalah pendudukan Taiwan (2020-2025), Spratly (2025-2030), Tibet Selatan (20352040), Senkaku dan Riukyu (2040-2045) – dan baru setelah itu sebagian ditepian Sungai
Ussuri (yang berbatasan dengan Russia (2045-2050).
Perubahan gelar tentara China, bersama dengan berbagai pernyataan doktrinal maupun
perluasan first menjadi second chain menunjukkan kemungkinan itu. The rise of China
akan berakhir pada konsolidasi wilayah nasional China pada tahun 2050. Namun tentu saja
persoalan tentang the peaceful rise of China masih tetap dibicarakan di luar wilayah
pengaruh tradisional China. Menjadi tanda tanya besar bagaimana Amerika Serikat akan
menjawab tantangan itu. Rencana penyatuan Senkaku dan Ryukyu bisa dipastikan akan
mengawali pertempuran China-Jepang, yang kerap dibayangkan sebagai awal mula Perang
Dunia Ketiga. Pada tataran diplomatik, pertikaian perebutan pengaruh Amerika dan China
akan terjadi di berbagai belahan lain, terutama Afrika, Timur Tengah dan Asia Selatan.
13

Persoalannya adalah bagaimana pertarungan diplomatik dua raksasa itu akan
mempengaruhi dinamika Laut China Selatan. Asia Tenggara akan semakin bersatu secara
ekonomi, politik dan sosial meski tetap menyisakan integrasi dari segi militer (keamanan).
Kekuatan militer ASEAN secara bersama tidak mungkin mengimbangi kekuatan China.
Sekurang-kurangnya sampai tahun 2040, ketika China mengawali upaya militer untuk
meningtegrasikan Senkaku dan Riukyu, skenario yang paling mungkin adalah non-war
antara China dan Amerika Serikat. Kejengahan masing-masing pihak untuk perang secara
langsung menyebabkan ketegangan tak kunjung henti tetapi tidak berekskalasi menjadi
perang terbuka.
Menarik untuk disimak bahwa rentang waktu 2030-2035 China tidak merancang
pertempuran untuk konsolidasi politik teritorial di wilayah Kerajaan Tengahynya.
Limapuluh tahun modernisasi pertahahan China (1980-2030), dua dawarsa sebelum China
berhasil memancang tonggak cita-citanya sendiri (2050), tampaknya dipandang sebagai
perubahan besar di China. Hadirnya elit politik yang lebih globalis, tetapi sekaligus juga
condong mengutamakan kekuatan diplomasi, tampaknya menjadi salah satu faktor yang
meredam ambisi imperialisme China pada periode itu. Gugatan yang lebih militeristik baru
akan dimulai setelah konsolidasi rejim yang pada waktu itu diwakili oleh generasi 1980an.
Pengekangan diri China dan keterbatasan Amerika itu menempatkan Indonesia seakanakan Sriwijaya atau Majapahit yang pad aabad ke6-14 mampu by default memanfaatkan
pertarungan pengaruh India dan China untuk memperkokoh wilayah pengaruhnya sendiri
di Asia Tenggara. Berbeda dengan operasi pembebasan Malaka oleh Pangeran Sabrang
Lor (1621) pada masa Demak atau Ekspedisi Pamalayu (1275) pada masa Kertanegara
Singashari, peran Indonesia menjadi tulang punggung stabilitas Asia Tenggara akan
memperoleh “restu” dari negara-negara besar seperti China dan Amerika Serikat.
Secara natural apa yang dianggap sebagai kepentingan Indonesia pada waktu itu memang
tidak bisa hanya terbatas pada mempertahankan dan melindungi wilayah dan sumber daya
nasional maupun akses kepada perairan internasional. Kepentingan itu harus juga
memasukkan ke dalamnya unsur-unsur yang lebih abstrak seperti “wibawa” dan
“prabawa”. Dimensi kepemimpinan regional akan jauh lebih menonjol dibanding kekuatan
pertahanan militer, tentu dengan asumsi bahwa kebutuhan penangkalan standar memang
sudah dipenuhi pada akhir 2020an atau skurang-kurangnya awal 2030an. Tantangan
ketahanan nasional dari pertahanan negara Indonesia pada waktu itu, katakanlah 20252035, mengalami transformasi yang luar biasa, yaitu peneguhan jati diri Indonesia sebagai
negara berwibawa.
Perjalanan sejarah Indonesia pada periode 1945-1965 dan 1965-2005 menunjukkan betapa
segitiga Clausewitz “rakyat-tentara-pemerintah” memainkan peranan penting – apakah
segitiga itu dibaca sebagai segitiga emosi-kesempatan-rasionalitas (reasons), komponen
cadangan-komponen utama-mobilisasi, ataupun sekedar semangat-pertahanan-diplomasi.
Manuver diplomasi merupakan jantung segitiga strategis Indonesia selama dua puluh
tahun pertama kemerdekaannya, dengan Presiden Sukarno sebagai pembangun dan
penggelora cita-cita bangsa dan negara. Konsolidasi politik dan pembangunan ekonomi,
yang pada akhirnya menampilkan diri dalam sosok penguatan tatanan domestik merupakan
kunci pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan perwira murah senyum (the
Smiling General) Suharto. Satu setengah dasawarsa pasca Orde Baru masih mencari
bentuk, sampai Joko Widodo menawarkkan Poros Maritim pada tahun 2014.
Kecuali yang disebut terakhir, Poros Maritim, yang memang baru berusia kurang dari dua
tahun, dua yang pertama mengidap ketimpangan strategis. Lebih dari itu, sesusatu yang
datang kemudian membumi hanguskan yang terdahulu. Usurpasi, bukan suksesi, mungkin
14

memang merupakan slaah satu ciri paling penting dari perjalanan Indonesia sebagai negara
bangsa. Kekuatan pertahanan negara tidak pernah menjadi bagian penting dari strategi
Indonesia, mungkin dengan perkecualian perang gerilya yang memang harus ditempatkan
dalam konteks yang amat khusus – perlawanan melawan kekuatan yang jauh lebih kuat
dan sudah berada di medan laga. Penangkalan tidak me