atsiri dari daun dan batang geranium

ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN PADA TANAMAN TEBU

LAPORAN PRAKTIKUM

Diajukan Guna Memenuhi Laporan Praktikum Mata Praktikum
Budidaya Tanaman Perkebunan

Oleh:
NAMA

: DIYAH NATALIA A.

NIM

: 131510501164

GOLONGAN : A
KELOMPOK : 4 (empat)

LABORATORIUM AGROTEKNOLOGI
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu tanaman
yang sangat berguna bagi masyarakat karena sebagai bahan baku untuk membuat
gula pasir, dan sumber utama rasa manis pada sebagian besar makanan dan
minuman. Tanaman Tebu merupakan tanaman yang saat ini memiliki nilai
ekonomi yang tinggi. Tanaman ini dapat dengan mudah ditemukan di Indonesia,
bahkan terdapat perkebunan tebu yang khusus dibuat untuk memproduksi gula
pasir. Luas areal tanaman tebu di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 436.500 ha
dengan produksi gula nasional sebesar 2.668.427 ton. Industri gula di Indonesia
pernah mengalami kejayaan sebelum perang dunia II, yaitu sekitar tahun 1930-an.
Pada saat itu Indonesia adalah pengekspor gula terbesar di dunia dengan produksi
hampir mencapai tiga juta ton per tahun. Tetapi setelah terjadi krisis ekonomi
dunia dan perang dunia II, produksi gula Indonesia menurun dan belum mampu
mengimbangi besarnya konsumsi yang semakin meningkat baik di daerah
perkotaan maupun di pedesaan.

Budidaya tanaman tebu yang baik sangat bergantung pada iklim dan cuaca.
Tebu akan tumbuh dengan sangat baik di daerah beriklim panas, seperti Indonesia
ini, dengan suhu 25 sampai 28 derajat Celsius. Selain itu, daerah yang paling baik
untuk ditanami tebu adalah daerah dengan curah hujan 100 mm/tahun. Jenis tanah
yang paling baik untuk ditanami tanaman tebu adalah jenis tanah alivial, regosol,
podsolik atau mediteran. Kandungan pH dalam tanah yang paling baik untuk
tanaman tebu adalah antara 6,4 sampai 7,7 atau keadaan keasaman netral. Hal ini
penting dalam teknik budidaya agar bisa menghasilakn tebu yang baik. Budidaya
tanaman tebu yang benar sangat menentukan keberhasilan produksi tebu agar
dapat memenuhi kebutuhan gula nasional.
Kebutuhan gula di Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun dan
belum mampu dipenuhi hingga saat ini. Salah satu kendala dalam budidaya tebu
adalah adanya serangan berbagai jenis hama disepanjang pertumbuhan tanaman.
Serangan hama dan penyakit pada tanaman tebu merupakan hambatan dalam

memproduksi gula tebu. Kerugian yang disebabkan oleh hama tebu di Indonesia
ditaksir dapat mencapai 75%. Lebih dari 100 jenis hama yang menyerang tebu.
Sebagian besar hama tersebut berasal dari jenis serangga. Adapun hama dan
penyakit yang sering muncul pada tanaman tebu adalah hama tikus, penyakit
fusarium pokkahbung juga berpotensi menyerang tebu. Penyebab jamur gibbrella

moniliformis. Tandanya daun klorosis pada tebu, yakni pelepah daun tidak
sempurna dan pertumbuhan terhambat, ruas-ruas bengkok dan sedikit gepeng
serta terjadi pembusukan dari daun hingga ke batang. Daun-daun klorotis akan
ongering, biasanya pada pucuk daun dan umumnya daun-daun akan melipat
sepanjang garisgaris tadi. Jika daun terserang hebat, seluruh daun bergarisgaris
hijau dan putih.
Penyakit berikutnya yang umum ditemukan pada tebu yaitu dongkelan.
Penyebabnya berupa jamur Marasnius sacchari, yang biasa mempengaruhi berat
dan rendemen tebu. Gejala, tanaman tua sakit tiba-tiba, daun mengering dari luar
ke dalam. Penyakit Blendok, disebabkan oleh bakteri Xanthomonas albilincans
mula-mula muncul pada umur 1,5-2 bulan setelah tanam. Hama penyakit tersebut
sangat merugikan dalam budidaya tanaman tebu. Oleh karena itu mengetahui dan
mengenali organisme pengganggu tanaman tebu sangat penting untuk diketahui
agar dapat menentukan tindakan yang harus diambil ketika hama penyakit
menyerang tanaman maupun proteksi pada tanaman.
1.2 Tujuan
Mahasiswa mampu mengidentifikasi, mengetahui dan menggambarkan
organisme pengganggu tanaman pada tanaman tebu.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

Tebu merupakan suatu tanaman jenis rumput-rumputan yang termasuk kelas
Monocotyledonae, ordo Glumiflorae, keluarga Gramineae dengan nama ilmiah
Saccharum officinarum L. Terdapat lima spesies tebu yang diketahui, yaitu
Saccharum spontaneum (glagah), Saccharum sinensis (tebu Cina), Saccharum
barberry (tebu India), Saccharum robustum (tebu Irian) dan Saccharum
officinarum (tebu kunyah). Sejak ditanam sampai bisa dipanen, umur tanaman
tebu mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tanaman tebu banyak
dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatera (Chandel et al, 2011). Tanaman tebu
merupakan tanaman tropis yang sangat penting karena dapat digunakan sebagai
bahan baku untuk pembuatan gula. Gula yang dihasilkan dari tebu merupakan satu
dari sembilan bahan pokok yang menempati kedudukan yang penting dalam
kehidupan masyarakat. Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan yang
merupakan komoditi penting di Indonesia karena tanaman tebu memiliki nilai
ekonomi yang tinggi. Jumlah permintaan tebu sebagai bahan baku gula setiap
tahunnya meningkat sehingga diharapkan produksi tebu meningkat pada tiap
tahunnya (Suwarto dkk, 2014).
Tebu merupakan salah satu jenis tanaman yang hanya dapat ditanam di
daerah yang memiliki iklim tropis. Luas areal tanaman tebu di Indonesia
mencapai 344 ribu hektar dengan kontribusi utama adalah di Jawa Timur
(43,29%), Jawa Tengah (10,07%), Jawa Barat (5,87%), dan Lampung (25,71%).

Pada dekade 1930-an usaha tebu mengalami masa kejayaan, yakni mampu
menghasilkan produksi 14,8 ton gula/ha. Pada saat itu indonesia adalah
pengekspor gula terbesar di dunia dengan produksi hampir mencapai tiga juta ton
per tahun. Tetapi setelah terjadi krisis ekonomi dunia dan perang dunia II,
produksi gula Indonesia semakin menurun dan belum mampu mengimbangi
besarnya konsumsi yang semakin meningkat baik di perkotaan maupun di
pedesaan. Perkebunan tebu yang ada di Indonesia, 50% di antaranya adalah
perkebunan rakyat, 30% perkebunan swasta dan hanya 20% perkebunan negara.
Pada tahun 2004 produksi gula Indonesia mencapai 2.051.000 ton hablur dan pada

tahun 2008 mencapai 436.500 ha dengan produksi gula nasional sebesar
2.668.427 ton (Andaka, 2011).
Kebutuhan gula di Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun dan
belum mampu dipenuhi hingga saat ini. Salah satu kendala dalam budidaya tebu
adalah adanya serangan berbagai jenis hama disepanjang pertumbuhan tanaman.
Serangan hama dan penyakit pada pertanaman tebu merupakan hambatan utama
dalam memproduksi gula tebu. Kerugian yang disebabkan oleh hama tebu di
Indonesia ditaksir dapat mencapai 75%.

Lebih dari 100 jenis hama yang


menyerang tebu. Sebagian besar hama tersebut berasal dari jenis serangga. Jenis
serangga yang menyerang tebu diantaranya adalah hama penggerek tebu (Admin
dkk, 2012).
Hama penggerek merupakan hama yang paling merugikan pada tanaman
Graminae di seluruh dunia. Hanya tebu di kawasan Australia dan Fiji yang bebas
dari serangan penggerek yang ganas. Penggerek termasuk dalam ordo
Lepidoptera, yang terdiri dari ngengat (sayap berwarna kusam) dan kupu-kupu
(sayap berwarna warni dan cerah). Penggerek dari jenis Lepidoptera biasanya
menimbulkan kerusakan paling besar dibandingkan dengan penggerek dari jenis
Coleoptera. Bagian tanaman yang diserang, ngengat penggerek dibedakan atas
penggerek pucuk, penggerek batang, penggerek tunas, dan penggerek akar.
Penggerek tunas kadang juga menjadi penggerek batang jika menyerang tanaman
tua. Jenis penggerek tebu yang sering merusak dan menimbulkan kerugian yang
cukup besar salah satunya adalah penggerek pucuk tebu (Scirpophaga
excerptalis). Hama ini dapat ditemui di beberapa negara di Asia Tengah hingga
Tenggara, Papua Nugini, dan Indonesia (Widiastuti dkk, 2014).
Pokahbung merupakan salah satu penyakit yang banyak dijumpai pada
tanaman tebu. Penyakit yang disebabkan oleh jamur Fusarium Moniliformae
memiliki 3 stadia. Stadium 1 ditandai dengan gejala yang hanya terdapat pada

daun yakni berupa munculnya klorotis pada helaian daun yang baru saja terbuka
yang akan timbul titik-titik atau garis-garis merah. Stadium 2 terdiri dari gejala
yang terdapatanya garis-garis merah kecoklatan yang dapat meluas menjadi
rongga-rongga yang dalam. Stadium 3 memiliki gejala spesifik berupa

membengkoknya batang tanaman tebu akibat gejala lanjutan dari stadium dua.
Pada stadium ini jamur F. moniliformae menyerang titik tumbuh dan
menyebabkan pembusukan yang disertai bau tidak sedap dan serangan yang lanjut
dapat menyebabkan matinya tanaman (Pratiwi dkk, 2013).
Penyakit Ratoon Stunting Disease (RSD) atau penyakit pembuluh tebu
adalah penyakit yang sulit dideteksi berdasarkan gejala visual. Saat ini penyakit
tersebut telah tersebar di seluruh pertanaman tebu di Indonesia dengan persentase
serangan antara 10–100%. Penyakit pembuluh (RSD) disebabkan oleh bakteri
Clavibacter xyli. Batang yang terserang penyakit pembuluh tidak mesti
menunjukkan gejala luar, tetapi apabila batangnya dibelah maka di bagian
dalamnya akan terlihat perubahan warna (discoloration) kemerahan pada bagian
pembuluh terutama di bagian buku. Perubahan warna ini dapat pula disebabkan
oleh penyakit tebu lainnya sehingga belum tentu dapat dikatakan sebagai gejala
pasti penyakit pembuluh. Satu–satunya yang dapat memastikan adalah uji
serologi. Pada beberapa varietas, tunas–tunas muda juga akan mengalami

perubahan warna menjadi berwarna pink. Penularan utama penyakit pembuluh
adalah melalui benih. Benih tebu yang terinfeksi berpotensi menularkannya pada
benih sehat, baik pada saat penebangan, pemotongan ataupun pengangkutan.
Untuk mencegah penyebarannya, maka diupayakan penyediaan benih tebu yang
bebas/tidak terinfeksi penyakit pembuluh, salah satunya yaitu dengan penyediaan
benih tebu yang berasal dari kultur jaringan. Metode yang digunakan untuk
mencegah penularan penyakit pembuluh pada benih konvensional adalah dengan
perlakuan Hot Water Treatment (HWT) sebelum penanaman (Ghai et al, 2013).
Penyakit sereh adalah salah satu penyakit tumbuhan yang menyerang tebu.
Penyakit ini sudah sejak abad ke-19 dikenal dan pada tahun 1880-an
menyebabkan wabah yang luas di Pulau Jawa sehingga dikhawatirkan mematikan
bisnis pergulaan. Selain di Jawa, penyakit ini juga menyerang di beberapa pusat
industri gula lain. Penyebab penyakit ini belum diketahui sampai sekarang tetapi
diduga adalah (beberapa) virus. Gejala yang tampak adalah mosaik bertutul-tutul
pada daun, disertai dengan batang yang tumbuh pendek sehingga tebu tampak
mirip serai (sereh). Gejala lainnya adalah daun melipat memanjang, kerdil, dan

menyempit. Pengendalian yang pernah dilakukan terhadap penyakit sereh
tanaman tebu yakni dengan melaksanakan program perbaikan yang intensif
melalui persilangan antar spesies tanaman tebu, yaitu antara tebu (Saccharum

officinarum) dan gelagah (S. Spontaneum). Pada tahun 1901 telah dihasilkan
beberapa klon unggulan harapan (Mangoendidjojo, 2003).
Whip Smut merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur Ustilago
Scitamineae. Klamidisopora berwarna hijau zaitun sampai coklat, bulat atau
berbentuk tidak teratur, dengan garis tengah 4-9 µm permukaannya licin atau
dengan tonjolan-tonjolan halus. Klamidiospora berkecambah membentuk
promiselium yang pendek, bersel 3 atau 4. Tiap sel membentuk hifa yang dapat
mengadakan infeksi atau membentukhifa atau membentuk sporadium sekunder.
Daun muda berubah bentuk dan fungsinya. Bentuk bulat memanjang menyerupai
cambuk, berwarna hitam, berukuran lebih kurang sebesar pensil. Pada cambuk
tersebut menempel berjuta-juta spora jamur yang menyerupai jelaga hitam,
diliputi oleh selaput tipis dan akan pecah setelah masak sehingga spora tersebar.
Spora-spora ini mudah tersebar oleh angin, sehingga dari cambuk tadi hanya
pusatnya yang tertinggal (Farooq et al, 2014).
Penyakit mosaik pada tebu disebabkan oleh Sugarcane streak mosaic virus
(SCSMV) merupakan virus yang menyebabkan mosaik bergaris (streak mosaic).
Gejala umum penyakit mosaik bergaris pada tebu meliputi garis-garis halus pada
helaian daun tebu yang bewarna hijau muda, kuning atau putih yang berselang
seling dengan warna hijau yang normal pada daun tebu. Gejala yang paling
khusus adalah perbedaan pola pada warna hijau atau daerah kuning klorosis pada

hijau daun. Pada umumnya, daerah klorosis menyebar, tetapi bisa jadi tampak
lebih jelas pada beberapa koloni yang terinfeksi oleh beberapa strain virus. Infeksi
bisa disertai oleh bermacam-macam tingkat memerahnya daun atau nekrosis.
Daerah klorosis paling jelas tampak pada dasar daun. Daerah klorosis juga bisa
hadir pada pelepah daun, tetapi jarang terdapat pada batang. Tanaman muda yang
tumbuh dengan cepat lebih rentan terinfeksi dibandingkan tanaman yang lebih tua
yang pertumbuhannya lebih lambat (Viswanathan et al, 2011).

BAB 3. METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan praktikum mata kuliah “Budidaya Tanaman Perkebunan” dengan
acara praktikum Organisme Pengganggu Tanaman Tebu dilaksanakan pada hari
Sabtu, tanggal 17 Oktober 2015, pukul 07.00 sampai 09.00 WIB di Agrotechno
park Jubung.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1. Alat tulis
2. Kamera
3.2.2 Bahan
1. Tanaman tebu

2. Worksheet
3.3 Cara Kerja
1. Mengamati OPT pada tanaman kakao sesuai dengan worksheet yang ada.
2. Mengambil gambar OPT maupun gejala serangan yang ada di lapangan dengan
menggunakan kamera.
3. Menggambar yang telah diperoleh dan mendekripsikan secara singkat dan
membandingkan dengan gambar dari literature.
4. Membuat Laporan dari hasil pengamatan OPT tanaman kakao yang dilakukan.

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 4.1 Tabel Pengamatan Hama Tanaman Kopi
No
Nama
1. Penggerek
Pucuk

Gambar
1.
2.

3.
4.

Keterangan
Kupu-kupu memiliki
warna sayap dan
punggung putih.
Siklus
hidup
penggerek bentina
48-58 hari dan jantan
50-56 hari.
Stadia
menyerang
adalah larva.
Menyerang bagian
batang dan daun
serta menepel pada
batang

Tabel 4.2 Hasi Pengamatan Penyakit Tanaman Kopi
No Nama
Gambar
1. Penyakit Mosaik
(Marmor sachari)

Keterangan
1. Daun
menunjukkan
gambaran mosaik.
2. Daun yang terserang
timbul warna jingga
kekuningan.

2.

1. Daun yang terserang
adlah daun muda yang
baru membuka
2. Pada daun tampak
klorosis dengan garis
merah.

Penyakit
Pokahbung
(Fusarium
monoliforme)

3.

Penyakit RSD

1.
2.
3.
4.

5.

Penyakit
oleh virus

Sereh

1.
2.

3.

Pertumbuhan tanaman
terhambat
Berkas pembuluh bila
dibuka berwara merah
jingga
Pembuluh
tersumbat
blendok
Pada tebu yang masak
terlihat jelas
Terdapat warna merah
pada jaringan floem dan
dibatasi buku-buku.
Tunas
samping
berkembang
sehingga
tanaman
menyerupai
sereh.
Daun mati dan bakal
akar
berkembang
sehingga
tanaman
dipenuhi akar.

4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil didapatkan bahwa tanaman tebu terserang hama dan
penyakit yakni penggerek pucuk, penyakit mosaik, penyakit sereh, pokahbung dan
RSD. Gejala serangan yakni sebagai berikut :
1.

Penggerek pucuk pada tanaman tebu sangat merugikan.
Gejala serangan pada helai daun terdapat lubang melintang dan ibu tulang daun
terlihat bekas gerekan berwarna coklat. Daun yang terserang akan menggulung
dan kering yang disebut mati puser. Apabila batang dibelah maka akan
kelihatan lorong gerekan dari titik tumbuh ke bawah kemudian mendekati
permukaan batang dan sering menembus batang. Oleh karena itu serangan
penggerek pucuk dapat menyebabkan kematian. Pada ruas batang yang muda
yaitu di bawah titik tumbuh terdapat lubang keluar ngengat (Widiastuti dkk,
2014). Pengendalian yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan teknik
Pengendalian Hama Terpadu yang dapat diterapkan diantaranya :
a. Pengendalian mekanis
Pengendalian mekanis dilakukan pada saat pengamatan di kebun yaitu
dengan memungut atau mengambil telur atau kelompok telur, larva atau

ulat atau pupa atau serangga dewasa pada bagian tanaman yang terserang
secara langsung dan membunuhnya.
b. Pengendalian Kultur Teknis atau Budidaya
Pengendalian dengan cara kultur teknis atau budidaya dapat dilakukan
dengan cara penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk berimbang yang
sesuai dengan jenis, dosis, waktu dan cara pemakaian yang dianjurkan,
pengaturan pola tanam, penanaman serentak, pengaturan jarak tanam dan
pergiliran tanaman.
c. Pengendalian Hayati atau Biologis
Pengendalian dengan cara konservasi musuh alami yang merupakan cara
yang paling murah dan mudah dilakukan oleh petani baik sendiri atau
berkelompok. Konservasi musuh alami merupakan usaha kita untuk
membuat lingkungan kebun disenangi dan cocok untuk kehidupan musuh
alami terutama kelompok predator dan parasitoid. Selain konservasi
dilakukan pula pelepasan musuh alami Pelepasan musuh alami dilakukan
dengan mencari atau mengumpulkan musuh alami dari tempat lain,
kemudian langsung dilepas di kebun yang dituju. Musuh alami hama
penggerek pucuk berupa parasit telur dan parasit larva. Parasit telur
misalnya Trichogramma japonicum. Pada 1 (satu) periode dilakukan 8
(delapan) kali aplikasi dan dilakukan tiap minggu sejak tanaman usia 1,5
bulan. Tiap aplikasi dibutuhkan 50 pias/ha.
d. Aplikasi insektisida kimia hanya dilakukan jika persentase serangan hama
penggerek pucuk dengan kategori serangan berat sudah mencapai 40 %.
Jenis insektisida yang dianjurkan adalah golongan karbamat, antara lain
Karbofuran Furadan 3GR, Petrofur 3GR, Furio 3GR konsentrasi yang
digunakan sesuai rekomendasi 10kg/Ha.
5. Penyakit mosaik pada tebu disebabkan oleh Sugarcane streak mosaic virus
(SCSMV). Gejala umum penyakit mosaik bergaris pada tebu meliputi garisgaris halus pada helaian daun tebu yang bewarna hijau muda, kuning atau putih
yang berselang seling dengan warna hijau yang normal pada daun tebu. Gejala
yang paling khusus adalah perbedaan pola pada warna hijau atau daerah kuning

klorosis pada hijau daun. Daerah klorosis menyebar, tetapi bisa jadi tampak
lebih jelas pada beberapa koloni yang terinfeksi oleh beberapa strain virus.
Infeksi bisa disertai oleh bermacam-macam tingkat memerahnya daun atau
nekrosis. Daerah klorosis paling jelas tampak pada dasar daun, pelepah daun,
tetapi jarang terdapat pada batang. Tanaman muda yang tumbuh dengan cepat
lebih rentan terinfeksi dibandingkan tanaman yang lebih tua yang
pertumbuhannya lebih lambat (Viswanathan et al, 2011).
Strategi pengendalian untuk mengurangi penyebaran virus secara terusmenerus yang ditularkan oleh kutu ini adalah Barrier crops (tanaman sela).
barrier crop yang cocok digunakan diantara pertanaman tebu antara lain
tanaman palawija seperti jagung. Jenis dan saat tanam barrier crop (tanaman
sela) dengan menggunakan tanaman jagung, tidak berpengaruh nyata terhadap
indeks luas daun, laju asimilasi bersih, laju pertumbuhan tanaman, tinggi
tanaman, dan jumlah anakan per rumpun tebu. Hal ini disebabkan oleh habitus
tanaman dan sistem perakaran yang berbeda, tebu lebih tinggi, memiliki sistem
perakaran lebih luas sehingga dalam berkompetisi dengan tanaman palawija
seperti jagung terhadap kebutuhan cahaya, CO2, air dan unsur hara
dimenangkan tebu. Jenis tanaman palawija tidak berpengaruh nyata terhadap
berat batang tebu saat tebang.
3. Penyakit sereh adalah salah satu penyakit tumbuhan yang menyerang tebu.
Penyakit ini sudah sejak abad ke-19 dikenal dan pada tahun 1880-an
menyebabkan wabah yang luas di Pulau Jawa sehingga dikhawatirkan
mematikan bisnis pergulaan. Selain di Jawa, penyakit ini juga menyerang di
beberapa pusat industri gula lain. Penyebab penyakit ini belum diketahui
sampai sekarang tetapi diduga adalah (beberapa) virus. Gejala yang tampak
adalah mosaik bertutul-tutul pada daun, disertai dengan batang yang tumbuh
pendek sehingga tebu tampak mirip serai (sereh). Gejala lainnya adalah daun
melipat memanjang, kerdil, dan menyempit. Pengendalian yang pernah
dilakukan terhadap penyakit sereh tanaman tebu yakni dengan melaksanakan
program perbaikan yang intensif melalui persilangan antar spesies tanaman
tebu, yaitu antara tebu (Saccharum officinarum) dan gelagah (S. Spontaneum).

Pada tahun 1901 telah dihasilkan beberapa klon unggulan harapan
(Mangoendidjojo, 2003).
4. Pokahbung merupakan salah satu penyakit yang banyak dijumpai pada
tanaman tebu. Penyakit yang disebabkan oleh jamur Fusarium Moniliformae
memiliki 3 stadia. Stadium 1 ditandai dengan gejala yang hanya terdapat pada
daun yakni berupa munculnya klorotis pada helaian daun yang baru saja
terbuka yang akan timbul titik-titik atau garis-garis merah. Stadium 2 terdiri
dari gejala yang terdapatanya garis-garis merah kecoklatan yang dapat meluas
menjadi rongga-rongga yang dalam. Stadium 3 memiliki gejala spesifik berupa
membengkoknya batang tanaman tebu akibat gejala lanjutan dari stadium dua.
Pada stadium ini jamur F. moniliformae menyerang titik tumbuh dan
menyebabkan pembusukan yang disertai bau tidak sedap dan serangan yang
lanjut dapat menyebabkan matinya tanaman (Pratiwi dkk, 2013).
Agensia hayati digunakan untuk mengendalikan jamur patogen Fusarium
moniliformae adalah jamur antagonis Trichoderma sp. Jamur antagonis ini
telah banyak digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman dan 90%
aplikasi

yang

telah

dilakukan berasal

dari

berbagai

macam

strain

Trichoderma. Pengendalian secara kimia dilakukan dengan perendaman bibit
tebu pada larutan fungisida digunakan untuk mengendalikan beberapa penyakit
tebu termasuk pokahbung.
5. Penyakit Ratoon Stunting Disease (RSD) atau penyakit pembuluh tebu adalah
penyakit yang sulit dideteksi berdasarkan gejala visual. Saat ini penyakit
tersebut telah tersebar di seluruh pertanaman tebu di Indonesia dengan
persentase serangan antara 10–100%. Penyakit pembuluh (RSD) disebabkan
oleh bakteri Clavibacter xyli. Batang yang terserang penyakit pembuluh tidak
mesti menunjukkan gejala luar, tetapi apabila batangnya dibelah maka di
bagian dalamnya akan terlihat perubahan warna (discoloration) kemerahan
pada bagian pembuluh terutama di bagian buku. Perubahan warna ini dapat
pula disebabkan oleh penyakit tebu lainnya sehingga belum tentu dapat
dikatakan sebagai gejala pasti penyakit pembuluh. Satu–satunya yang dapat
memastikan adalah uji serologi. Pada beberapa varietas, tunas–tunas muda juga

akan mengalami perubahan warna menjadi berwarna pink. Penularan utama
penyakit pembuluh adalah melalui benih. Benih tebu yang terinfeksi berpotensi
menularkannya pada benih sehat, baik pada saat penebangan, pemotongan
ataupun pengangkutan. Untuk mencegah penyebarannya, maka diupayakan
penyediaan benih tebu yang bebas/tidak terinfeksi penyakit pembuluh, salah
satunya yaitu dengan penyediaan benih tebu yang berasal dari kultur jaringan.
Metode yang digunakan untuk mencegah penularan penyakit pembuluh pada
benih konvensional adalah dengan perlakuan Hot Water Treatment (HWT)
sebelum penanaman (Ghai et al, 2013).
Organisme pengganggu tanaman sangat mempengaruhi bagi kelagsungan
hidup tanaman tebu dan mempengaruhi keberhasilan dalam produksi tebu.
Penggerek pucuk pada tanaman tebu mengakibatkan tanaman menjadi mati karena
hama menyerang pada titik tumbuh tanaman. Pada tanaman tebu serangan
penggerek pucuk mampu menyebabkan penurunan hasil panen tanaman tebu
sampai dengan 51%. Serangannya juga mampu menurunkan bobot tebu dan
panjang tebu berturut-turut sebesar 30,08% dan 24,39% (Widiastuti dkk, 2014).
Kerugian akibat penyakit mosaik pada tebu berdampak secara langsung pada
produksinya. Serangan virus ini sangat membahayakan tanaman tebu karena dapat
menyebar secara sistematik serta dapat menurunkan produksi tebu hingga
mencapai 40 persen. Penyakit sereh pada tebu sudah sejak abad ke-19 dikenal dan
pada tahun 1880-an menyebabkan wabah yang luas di Pulau Jawa sehingga
dikhawatirkan mematikan bisnis pergulaan di sana. Selain di Jawa, penyakit ini
juga menyerang di beberapa pusat industri gula lain. Gejala yang ditimbulkan oleh
penyakit sereh, dapat dilihat tanaman tebu tampak seperti tanaman sereh (serai),
batang tebu menjadi pendek ruas-ruasnya, daun melipat memanjang, mengerdil,
menyempit dan tidak menghasilkan gula. Selain itu terdapat pula penyakit
pokahbung dan RSD. RSD telah tersebar di seluruh pertanaman tebu di Indonesia,
prosentase serangan berkisar 10 – 100 % dengan prosentase kerugian sebesar 5 –
15 % dalam menurunkan produksi. Perbandingan lahan sawah dan lahan kering di
Indonesia saat ini adalah 20 : 80. Kondisi ini akan mengakibatkan peningkatan
serangan penyakit pembuluh / RSD di Indonesia.

Pencegahan terhadap serangan opt pada tanaman tebu dapat dilakukan yakni
meliputi langkah – langkah sebagai berikut :
1. Penggunaan bibit yang sehat dan terbebas dari hama penyakit.
2. Ada perlakuan pendahuluan sebelum bibit di tanamkan.
3. Mengadakan pengamatan secara intensif terhadap tanaman, untuk mementau
setiap perubahan yang terjadi pada bibit.
4. Sanitasi lingkungan dengan cara membuang sumber sarang hama penyakit baik
dengan cara pembakaran maupun pemberian agen hayati disekitar lahan.
5. Mengusahakan kondisi lingkungan sebaik mungkin, terutama drainase hingga
tercipta lingkungan yang baik.
6. Membersihkan gulma yang dapat berfungsi inang bagi hama penyakit
Pada kondisi tanaman terserang hama penyakit, perlu dilaksanakan
pengendalian dengan menerapkan system pengendalian hama terpadi (PHT) yaitu
dilakukan dengan beberapa cara pengendalian yang kompatible, sehingga cara
pengendalian menggunakan kimia merupakan alternatif terakhir apabila terjadi
serangan yang parah (Admin dkk, 2012).

BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Hama dan penyakit yakni penggerek pucuk, penyakit mosaik, penyakit sereh,
pokahbung dan RSD.
2. Pada tanaman tebu serangan penggerek pucuk mampu menyebabkan penurunan
hasil panen tanaman tebu sampai dengan 51%. Serangannya juga mampu
menurunkan bobot tebu dan panjang tebu berturut-turut sebesar 30,08% dan
24,39%. Serangan virus ini sangat membahayakan tanaman tebu karena dapat
menyebar secara sistematik serta dapat menurunkan produksi tebu hingga
mencapai 40 persen. RSD telah tersebar di seluruh pertanaman tebu di
Indonesia, prosentase serangan berkisar 10 – 100 % dengan prosentase
kerugian sebesar 5 – 15 % dalam menurunkan produksi.
3. Pencegahan terhadap serangan opt pada tanaman tebu dapat dilakukan yakni
meliputi langkah – langkah sebagai berikut : Penggunaan bibit yang sehat dan
terbebas dari hama penyakit. Ada perlakuan pendahuluan sebelum bibit di
tanamkan. Mengadakan pengamatan secara intensif terhadap tanaman, untuk
mementau setiap perubahan yang terjadi pada bibit. Sanitasi lingkungan
dengan cara membuang sumber sarang hama penyakit baik dengan cara
pembakaran maupun pemberian agen hayati disekitar lahan. Mengusahakan
kondisi lingkungan sebaik mungkin, terutama drainase hingga tercipta
lingkungan yang baik. Terakhir adalah membersihkan gulma yang dapat
berfungsi inang bagi hama penyakit.
5.2 Saran
Praktikum sudah dilakukan dengan cukup baik. Diharapkan kedepannya
pada saat pelaksanaan praktikum dapat dilakukan dengan lebih disiplin.

DAFTAR PUSTAKA
Admin., I. A. Wicaksono dan Zulfanita. 2012. Persepsi Petani Tebu Terhadap
Program Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Surya Agritama, 1(2): 10-19.
Andaka, G. 2011. Hidrolisis Ampas Tebu Menjadi Furfural dengan Katalisator
Asam Sulfat. Teknologi, 4(2): 180-188.
Chandel, A. K., S. S. Silva,. W. Carvalhoa dan O. V. Singh. Sugarcane Bagasse
and Leaves: Foreseeable Biomass of Biofuel and Bio-products. Chem
Technol Biotechnol, 18(5): 11-29.
Farooq, M. A., A. Rasool,. M. Zubair,. A. Bahadar,. S. Ahmad dan S. Afghan.
2014. Loss Of Resistance In Hsf-240 Against Whip Smut Of Sugarcane
Over Consecutive Ratoons. Agronomy, 29(10): 112-125.
Ghai. M., L. Martin., S. Mcfarlane., V. Antwerpen dan Rutherford. 2013. Rapid
Diagnosis Of Ratoon Stunting Disease By Loop-Mediated Isothermal
Amplification. Proc S Afr Sug Technol Ass, 86(12): 255 – 260.
Mangoendidjojo, W. 2003. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta:
Kanisius.
Pratiwi, B. N., L. Sulistyowati., A. Muhibuddin dan A. Kristini. 2013. Uji
Pengendalian Penyakit Pokahbung (Fusarium moniliformae) Pada Tanaman
Tebu (Saccharum officinarum) Menggunakan Trichoderma sp. Indigenous
Secara In Vitrodan In Vivo. Hpt, 1(3): 1-11.
Suwarto., Y. Octavianty dan S. Hermawati. 2014. Top 15 Tanaman Perkebunan.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Viswanathan, R.., R. Karuppaiah dan V. G. Kumar. 2011. Expression Of
Sugarcane Streak Mosaic Virus (Scsmv) Coa Tprotein In Expression
Vector As a Fusion Protein With Mal Tose Binding Protein. Sugarcane
Research, 1(1) : 63 – 68.
Widiastuti, R. P., B. T. Rahardjo dan H. Tarno. 2014. Ketahanan Beberapa Varietas
Tebu Komersial Terhadap Serangan Hama Penggerek Batang Berkilat Chilo
auricilius Dudgeon (Lepidoptera: Pyralidae) Di Rumah Kaca. Hpt, 2(2):1125.